Anda di halaman 1dari 15

I’JAZ AL-QUR’AN DALAM PANDANGAN

AHLU SUNNAH WA AL-AL-JAMA’AH

Makalah

Diajukan untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah I’jaz Al-Qur’an

Oleh

Abdulida Avant S S (2318134147)

Paulus Ferdinand (2318134166)

Dosen Pengampu:

Mufti Labib Jalaluddin, S.Ag., M.A

Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir

Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur’an dan Sains Al-Ishlah (STIQSI)

Lamongan

2024
ii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puja dan puji bagi Allah Tuhan seluruh alam. Atas
berkat dan rahmatnya, penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah ini dengan
baik. Tidak lupa juga kepada Nabi Muhammad SAW., yang telah membimbing
manusia dari jalan kegelapan menuju jalan yang terang benderang dengan ajaran
agama islam. Ketiga kalinya penulis ucapkan terima kasih kepada Dosen Mufti
Labib Jalaluddin, S.Ag., M.A, selaku pembimbing, yang telah memberikan arahan
kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah dengan judul “I’jaz Al-
Qur’an dalam Pandangan Ahlu Sunnah Wa Al-Al-Jama’ah” ini. Serta berbagai
pihak yang telah membantu terwujudnya makalah ini.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah


pengetahuan dan wawasan bagi pembaca, terlebih tentang hadist maqbul dan
hadist mardud. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini dapat
menjadi sandaran bagi pembaca.

Selaku penulis, kami tentunya menyadari masih banyak terdapat


kekurangan dalam makalah ini, baik dari segi tata bahasa, penyusunan, dan aspek
lainnya. Oleh karena itu, kami selaku penulis meminta maaf dan memohon saran
supaya nantinya kedepannya menjadi lebih baik.

Sendangagung, 29 Januari 2024

Penulis
iii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................1
A. Latar Belakang.......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................................1
C. Tujuan Penulisan....................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................3
A. Definisi Ahlu Sunnah Wa Al-Jama’ah....................................................................3
B. Sejarah Istilah Ahlu Sunnah Wa Al-Jama’ah..........................................................6
C. Pemikiran Ahlu Sunnah Wa Al-Jama’ah tentang I’jaz Al-Qur’an...........................7
BAB III PENUTUP.......................................................................................................11
Kesimpulan..................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................12
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

I’jaz Al-Qur’an sering kita fahami sebagai kemukjizatan Al-Qur’an yang


melemahkan para penantangnya. Menurut sejarah perkembangan ilmu I’jaz Al-
Qur’an tak lepas dari peran dua kubu besar kala itu, yang dari keduanya ilmu I’jaz
Al-Qur’an dapat berkembang. Kedua kubu besar tersebut adalah golongan
mutazilah dan golongan ahlu sunnah wa Al-Jama’ah.

Pada awal perkembangannya ilmu I’jaz Al-Qur’an banyak didominasi oleh


pemikiran gologan mu’tazilah. Pemikiran golongan mu’tazilah yang paling
terkenal adalah sarfah, sedangkan dalam pemikiran golongan ahlu sunnah wa Al-
Jama’ah tidak sependapat dengan itu, dan lebih menekankan kemukjizatan Al-
Qur’an dari segi nazmnya.

Sebagai akademisi yang berusaha mempelajari ilmu I’jaz Al-Qur’an maka


seyogyanya mengetahui kedua pemikiran kubu besar di atas, karena ilmu I’jaz Al-
Qur’an dapat berkembang karena kedua kubu tersebut. Setelah membahas tentang
pemikiran tentang I’jaz Al-Qur’an menurut mutazilah. Maka mempelajari
pemikiran tentang I’jaz Al-Qur’an menurut sunni menjadi penting untuk
mengetahui pemikiran dari keduanya, sehingga pemakalah merasa penting untuk
menjelaskan pemikiran sunni terhadap I’jaz Al-Qur’an.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana definisi ahlu sunnah wa Al-Jama’ah?


2. Bagaimana pemikiran ahlu sunnah wa Al-Jama’ah tentang I’jaz Al-
Qur’an?
2

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui definisi ahlu sunnah wa Al-Jama’ah.


2. Untuk mengetahui pemikiran ahlu sunnah wa Al-Jama’ah tentang I’jaz Al-
Qur’an.
3

BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Ahlu Sunnah Wa Al-Jama’ah

Istilah ahlu sunnah wa Al-Jama’ah adalah sebutan untuk orang-orang yang


menempuh seperti apa yang dilakukan oleh nabi Muhammad Saw dan para
sahabatnya. Di sebut ahlu sunnah adalah karena kuatnya mereka dalam mengikuti
sunnah Nabi Muhammad Saw dan para sahabat.

Jika menurut bahasa (etimologi) sunnah adalah jalan atau cara, baik itu jalan
yang baik ataupun yang buruk, semuanya termasuk kategori sunnah. Sedangkan
menurut ulama’ Aqidah (terimonologi) sunnah adalah pertunjuk yang telah
dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw dan para sahabatnya, tentang ilmu, i’tiqad,
perkataan, perbuatan dan hal-hal lain.1

Di sisi yang lain, Ibnu Rajab mengartikan sunnah sebagai jalan yang
ditempuh oleh seseorang, dan di dalamnya orang tersebut berpegang teguh kepada
apa yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw dan para sahabatnya,
meliputi i’tiqad, perkataan, dan perbuatan. Oleh karena itulah ulama’ salaf tidak
menyebut sunnah jika tidak mencakup tiga aspek tersebut.

Disebut Al-Jammah karena mereka berkumpul dalam satu pimpinan para


imam yang berpegang teguh pada kebenaran, dan mereka bersatu, tak mau
terpecah belah dalam agama.2

Al-Jama’ah menurut ulama' aqidah (terimonologi) adalah generasi pertama


islam, yakni kalangan sahabat, ta>bi'i>n, tabi'ut ta>bi'i>n, dan semua orang yang
mengikuti jalan kebenaran mereka sampai hari kiamat.

Imam Abu Syammah asy-Syafi'i berkata bahwa maksud dari perintah


perpegang teguh pada Al-Jama’ah, yakni mengikuti dan berpegang teguh pada

1
Yazid bin Abdul Qahar Jawas, “Syarah Aqidah Ahlus sunnah wal jama’ah” (Bogor: Pustaka Imam
asy-Syafi’I, 2006), 36.
2
Ibid, 37.
4

sunnah, meski golongan sunnah berjumlah lebih sedikit dari pada golongan lain,
karena golongan sunnah yang benar. Ibnu Mas'ud juga mengatakan Al-Jama’ah
adalah yang mengikuti kebenaran meskipun hanya satu orang saja.

Sehingga dapat dipahami bahwa ahlu sunnah adalah mereka yang


mempunyai sifat dan karakter mengikuti sunnah Nabi Muhammad, dan menjauhi
semua perkara yang bid'ah dalam agama, karena mereka senantiasa berittiba'
(mengikuti) kepada sunnah Rasulullah, mengikuti athar (salaf Al-Ummah).

Ahlu sunnah wa Al-Jama’ah juga disebut dengan ahlu hadis, karena mereka
senantiasa mengambil hadis-hadis Nabi secara periwayatan dan d}irayah. Mereka
juga disebut ahlu al-atsar, karena mereka senantiasa mengambil dan mengikuti
atsar yang diwariskan berupa sunnah nabi dan sesuatu yang datang dari sahabat.3

Selain itu ahlu sunnah wa Al-Jama’ah juga disebut ahlu al-ittiba', karena
selalu mengikuti peribaadahan yang dicontohkan oleh Nabi. Ahlu sunnah wa Al-
Jama’ah juga disebut Al-t}a>'ifatu Al-Manshuurah (golongan yang mendapat
pertolongan Allah), Firqatu An-Na>jiyah (golongan yang selamat), dan
ghuraba>' (orang asing).4

Nabi bersabda tentang Al-t}a>'ifatu Al-Manshuurah dalam salah satu riwayat

‫اَل اُل ِم ن ُأَّم يِت ُأ ٌة َقاِئمٌة ِبَأمِر اِهلل اَل ُّر م ن َذ م اَل ِم ن اَلَف ض م ىَّت أِت م َأم اِهلل‬
‫َخ ُه َح َي َيُه ُر‬ ‫َيُض ُه َم َخ ُهَل َو‬ ‫َم‬ ‫َتَز‬

‫ِل‬
‫َوُه م َعَلى َذا َك‬

"Senantiasa ada segolongan dari ummatku yang selalu menegakkan perintah


Allah, tidak mencelakai mereka orang yang tidak menolong mereka dan orang
menyelisihi mereka sampai datang perintah Allah dan mereka tetap di atas
yang demikian itu"5

3
Wahdah, “Asal Usul Penamaan Ahlu Sunnah Wal Jamaah”, (https://intip.in/oyUp/) diakses pada
9 Februari 2024.
4
Yazid bin Abdul Qahar Jawas, “Syarah Aqidah Ahlus sunnah wal jama’ah” (Bogor: Pustaka Imam
asy-Syafi’I, 2006), 37.
5
Ibid.
5

Nabi juga bersabda tentang Al-Ghuraba>'

‫َبَد َأ اِإل ْس َالُم َغِريًبا َوَس َيُعوُد َك َم ا َبَد َأ َغِريًبا َفُطوىَب ِلْلُغَرَباء‬

"Islam awanya asing, dan kelak akan kembali asing sebagaimana awanya, maka
beruntunglah bagi al-Ghurabaa' (orang asing)”6

Dalam riwayat imam Ahmad rahimahullah disebutkan:

‫بدأ اإلسالم غريبا مث يعود غريبا كما بدا فطوىب للغرباء قيل يا رسول اهلل ومن الغرباء قال الذين‬

‫يصلحون إذا فسد الناس‬

“Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi asing maka
beruntunglah orang-orang yang asing itu.” Para sahabat bertanya, “wahai
Rasulullah siapakah yang asing itu?” beliau bersabda, “mereka adalah orang-
orang yang senantiasa mengadakan ishlah (perbaikan) ketika orang-orang telah
rusak: (agama dan akhlaknya)”7

Dalam riwayat Abdullah bin Amr bin Al-Ash, suatu hari Nabi menerangkan
makna dari Al-Ghuraba>'. Nabi bersabda

‫ُأَناٌس َص اُحِلوَن ىَف ُأَناِس ُس وٍء َك ِثٍري َم ن َيعِص يِه م َأكَثُر َّمِمن ُيِط يُعُه م‬

"Orang-orang yang shalih yang berada di tengah banyaknya orang-orang jelek,


orang yang mendurhakai mereka lebih banyak dari pada yang menaati
mereka"8

Nabi juga bersabda tentang makna Al-Ghuraba>'

‫َاّلِذ يَن ُيصِلُح وَن ِعنَد َفَس اِد الَّناِس‬

6
Ibid, 39.
7
Wahdah, “Asal Usul Penamaan Ahlu Sunnah Wal Jamaah”, (https://intip.in/oyUp/) diakses pada
9 Februari 2024.
8
Yazid bin Abdul Qahar Jawas, “Syarah Aqidah Ahlus sunnah wal jama’ah” (Bogor: Pustaka Imam
asy-Syafi’I, 2006), 40.
6

"Yaitu, orang-orang yang senantiasa memperbaiki (ummat) di tengah-tengah


rusaknya manusia."9

Dalam riwayat lain disebutkan

‫اَّلِذ يَن ُيصِلِح ُوَن َم ا َأَفَس َد الَّناُس ِم ن َبعِد ي ِم ن ُس َّنيِت‬

"yaitu orang-orang yang memperbaiki sunnahku (Sunnah Rasulullah) sesudah


di rudak oleh manusia."10

Sedangkan penamaan Firqatu An-Na>jiyah berasal dari hadis Nabi

‫ان أهل الكتابني افرتقوا يف دينهم على ثنتني وسبعني ملة وان هذه األمة ستفرتق على ثالث وسبعني‬

‫ملة يعين األهواء كلها يف النار اال واحدة وهي اجلماعة‬

“Sesungguhnya dua ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) telah terpecah belah
dalam agama mereka sebanyak tujuh puluh dua golongan. Adapun umat ini,
akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Mereka adalah para
pengikut hawa nafsu. Semuanya masuk neraka kecuali yaitu al jama’ah."11

B. Sejarah Istilah Ahlu Sunnah Wa Al-Jama’ah

Ahlu sunnah wa Al-Jama’ah difahami sebagai seseorang yang mengikuti


sunnah, dan apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. Maka istilah ahlu
sunnah wa Al-Jama’ah sudah ada sejak zaman nabi Muhammad Saw. Salah satu
bukti yang menunjukkan keberadaanya, yakni tafsir Abdullah bin Abbas terhadap
surat al-Imran 106.

‫ه َفَأَّم ا ٱَّلِذ يَن ٱۡس َو َّد ۡت ُو ُج وُهُهۡم َأَك َفۡر ُتم َبۡع َد ِإيَٰم ِنُك ۡم َف ُذ وُقوْا ٱۡل َع َذ اَب‬ٞۚ‫ه َو َتۡس َو ُّد ُو ُجو‬ٞ‫َيۡو َم َتۡب َيُّض ُو ُج و‬
‫ِبَم ا ُك نُتۡم َتۡك ُفُروَن‬

9
Ibid.
10
Ibid.
11
Wahdah, “Asal Usul Penamaan Ahlu Sunnah Wal Jamaah”, (https://intip.in/oyUp/) diakses pada
9 Februari 2024.
7

Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka
yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada
mereka dikatakan): "Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu
rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu".

Menurut Abdullah bin Abbas, yang dimaksud orang yang memiliki wajah putih
bersih adalah ahlu sunnah wa Al-Jama’ah, dan orang yang memiliki wajah hitam
adalah ahlu bid’ah.12

Kemudian istilah ahlu sunnah wa Al-Jama’ah diikuti oleh kebanyakan ulama


setelahnya. Salah satunya Ayyub as-Sikhtiyani (wafat pada 131 H), ia berkata,
“apabila aku dikabarkan tentang meninggalnya seorang ahlu sunnah seolah-
olah hilang salah satu anggota tubuhku.

Selain itu, ada Sufyan ats-Tsaury (wafat 161 H) berkata, “aku wasiatkan kelian
untuk tetap berpegang teguh kepada ahlu sunnah dengan baik. Karena mereka
adalah al-ghuraba’. Alangkah sedikitnya ahlu sunnah wa Al-Jama’ah.13

Kemudian istilah ahlu sunnah wa Al-Jama’ah populer pada saat abu hasan al-
Asy’ary menentang golongan mu’tazilah dengan berpegang pada sunnah,
sehingga ahlu sunnah sering dinisbatkan kepada golongan yang di dirikan oleh
abu hasan al-Asy’ari, yakni golongan asyariyah.

C. Pemikiran Ahlu Sunnah Wa Al-Jama’ah tentang I’jaz Al-Qur’an

Ilmu I’jaz Al-Qur’an adalah ilmu yang membahas tentang kemukjizatan Al-
Qur’an. Tidak dapat dipungkiri, pada awal perkembangannya banyak didominasi
oleh pemikiran golongan mu’tazilah. Golongan mu’tazilah menganggap bahwa
ketidak mampuan orang kafir Quraysh untuk membuat semisal Al-Qur’an adalah
karena adanya sarfah.

Menurut mereka sarfah adalah keadaan Allah SWT. yang melemahkan


motivasi dan kemampuan orang kafir Quraysh untuk membuat semisal Al-Qur’an.
12
Yazid bin Abdul Qahar Jawas, “Syarah Aqidah Ahlus sunnah wal jama’ah” (Bogor: Pustaka Imam
asy-Syafi’I, 2006), 41.
13
Ibid, 42.
8

Dengan kata lain mereka men ganggap bahwa Al-Qur’an sebenarnya dapat
ditandingi, tetapi Allah melemahkan motivasi dan kemampuan mereka sehingga
mereka tidak dapat menyaingi Al-Qur’an.14

Berbeda dengan golongan mu’tazilah, golongan sunnah menolak konsep


sarfah yang dipahami oleh golongan mu’tazilah. Para ulama memberikan
berbagai tanggapan terhadap konsep sarfah ini, salah satunya kurang setuju
dengan alasan bahwa anggapan tersebut bersifat dangkal. Karena bukti
menyebutkan dalam sejarah tidak ada seorangpun yang dapat membuat semisal
Al-Qur’an. Ungkapan keseharian seperti alhamdulillah tidak dapat dimasukkan
sebagai jawaban dari tantangan membuat semisal Al-Qur’an.15

Abu Bakr Muhammad ibn at-Tayyib al-Baqilani, seorang ahli dari golongan
asyariyah, atau penganut sunnah menjelaskan bahwa aspek kemukjizatan Al-
Qur’an terdapat pada 3 aspek, yakni

1. Al-Qur’an berisi informasi hal-hal gaib, yang terdiri dari berita yang akurat
pada masa lalu, kabar tentang masa depan.
2. Nabi Muhammad adalah orang yang buta huruf, tidak bisa membaca atau
menulis, sehingga tidak dapat mempelajari literatur-literatur atau cerita
sejarah di masa lalu. Maka jika Al-Qur’an merupakan buatan nabi
Muhammad, pastinya tidak dapat memuat berita di masa lalu, dan pastinya
Al-Qur’an berasal dari kalam Ilahi.
3. Al-Qur’an memiliki susunan kalimat yang sangat baik, ditandai dengan
susunan balaghah sedemikian rupa sehingga tidak dapat seorangpun
menyainginya.16

Al-Baqillani menganggap bahwa aspek terpenting kemukjizatan Al-Qur’an


terletak pada nazm. Nazm adalah pengaturan kata-kata sedemikian rupa sehingga
dapat mengekspresikan makna yang dimaksud. Penempatan suatu kata dan

14
Abdurrahman, “Konsep al-Sarfah dalam Kemukjizatan Al-Qur’an”, Journal of Islam and Plurality,
Vol. 6, No. 2 (2021), 138.
15
Ibid, 146.
16
M. Rafi Yunus, “Pendekatan Modern terhadap I’jaz Al-Qur’an”, Journal of Al-Jamiah, Vol. 40, No.
2 (July-December, 2002), 367.
9

keterkaitannya dengan kata lainnya dalam kalimat dapat menciptakan makna yang
dimaksud, terkadang pengubahan salah satu kata dengan kata yang memiliki
keserupaan makna, dapat mengubah seluruh arti dari keseluruhan kalimat. Dia
menjelaskan bahwa nazm dalam Al-Qur’an memiliki 3 aspek yang tidak dapat
ditiru, yakni

1. Nazm terdapat dalam keseluruhan Al-Qur’an, tetapi dengan gayanya


masing-masing, dan sangat berbeda dengan apa yang dikenal dalam
komposisi bahasa arab.
2. Al-Qur’an memiliki kekonsistenan dalam menggunakan nazm, berbeda
dengan karya sastra bahasa arab yang tidak konsisten.
3. Kekonsistenan nazm itu terdapat pada keseluruhan disposisinya, baik ketika
Al-Qur’an mengungkapkan kisah, argumentasi, atau masalah tentang
hukum. Mungkin karya bahasa arab dapat sempurna mengungkapkan suatu
topik, tapi tidak dengan topik yang lain.

Al-Baqillani membuktikan kemukjizatan Al-Qur’an dengan membandingkan


ayat-ayat Al-Qur’an dengan karya sastra arab. Dengan cara itu ia membuktikan
bahwa Al-Qur’an tidak dapat ditandingi oleh siapapun.17

Sejalan dengan pemikiran Al-Baqillani, Abdul Qahir ibn Abdur Rahman al-
Jurjani, salah satu ahli dalam bidang balaghah juga mengungkapkan kemukjizatan
Al-Qur’an melalui nazmnya. Menurutnya nazm adalah jalinan yang kompleks
dari hubungan gramatikal dan semantik.

Untuk membuktikan pandangannya, ia menegaskan bahwa Al-Qur’an adalah


mu’jiz karena balaghahnya. Ia menjelaskan bahwa bangsa arab adalah bangsa
dengan kamampuan sastra yang tinggi, dengan dibuktikan banyaknya karya sastra
arab yang sampai saat kini menjadi kajian yang menarik bagi para ahli linguistik.
Tetapi dengan kemampuan sastra yang tinggi, bangsa arab tidak dapat membuat
semisal dengan Al-Qur’an, karena memang keunikan dan kualitas Al-Qur’an tidak
dapat disaingi.18
17
Ibid, 368.
18
Ibid, 369.
10

Setelah al-Jurjani menegaskan bahwa Al-Qur’an itu mu’jiz, ia menjelaskan


bahwa nazm bukan sekedar komposisi kata-kata dalam kalimat, tetapi merupakan
serangkaian hubungan yang sedemikian antara kata-kata yang tercipta dari
hubungan gramatikal dan hubungan semantik.

Hubungan gramatikal dalam bahasa arab dapat dikaitkan dengan tiga acara,
yakni kata benda dengan kata benda, kata benda dengan kata kerja, dan partikel
dengan kata benda dan kata kerja. Sedangkan hubungan semantik adalah kaitan
antara kata-kata dengan artinya.

Dengan ini dapat difahami bahwa nazm menurut al-Jurjani adalah hubungan
erat antara arti gramatikal dan arti semantik. Dan nazm adalah upaya untuk
membuat arti gramatikal mengekspresikan arti semantik.19

19
Ibid, 370.
11

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapati diambil kesimpulan untuk menjawab rumusan


masalah di atas, yakni

1. Ahlu sunnah adalah orang-orang yang mengikuti jalan sunnah, mereka


mengerjakan sesuatu seperti apa yang telah dilakukan oleh nabi
Muhammad. Mereka yang mempunyai sifat dan karakter mengikuti sunnah
Nabi Muhammad, dan menjauhi semua perkara yang bid'ah dalam agama,
karena mereka senantiasa berittiba' (mengikuti) kepada sunnah Rasulullah.
2. I’jaz Al-Qur’an menurut ahlu sunnah wa Al-Jama’ah, yang diwakili oleh
pemikiran Al-Baqillani dan aljurjani menjelaskan bahwa kemukjizatan Al-
Qur’an terletak pada nazmnya, atau terletak pada pemilihan diksi dan
susunan diksi, sehingga nazm tersebut tidak dapat disaingi oleh orang-orang
arab.
12

DAFTAR PUSTAKA
Buku

Jawas, Yazid bin Abdul Qahar, “Syarah Aqidah Ahlus sunnah wal jama’ah”
Bogor: Pustaka Imam asy-Syafi’I, 2006.

Jurnal

Abdurrahman, “Konsep al-Sarfah dalam Kemukjizatan Al-Qur’an”, Journal of


Islam and Plurality, Vol. 6, No. 2 (2021).

Yunus, M. Rafi, “Pendekatan Modern terhadap I’jaz Al-Qur’an”, Journal of Al-


Jamiah, Vol. 40, No. 2 (July-December, 2002).

Internet

Wahdah, “Asal Usul Penamaan Ahlu Sunnah Wal Jamaah”,


(https://intip.in/oyUp/) diakses pada 9 Februari 2024.

Anda mungkin juga menyukai