Anda di halaman 1dari 33

ARGUMENTASI KEHUJJAHAN SUNNAH

DAN INKAR SUNNAH

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah Studi Kritis Analisis
Hadits dan Ilmu Hadits

Dosen Pengampu: Dr Marwadi, M.Ag

Anis Amanulloh
NIM: 234120600019

1 MPAI-B
PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SAIFUDDIN ZUHRI
PURWOKERTO 2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................3
C. Tujuan...........................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................5

A. Dalil Kehujjahan Sunnah................................................................................5


B. Diskursus Inkar Sunnah.................................................................................14
C. Argumentasi Inkar Sunnah..........................................................................27
BAB III PENUTUP...............................................................................................31

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................32

i
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Sebagian besar di kalangan umat islam terdapat perbedaan dalam

memahami pengertian sunnah dan hadits. Bahkan di kalangan para intelektual

muslim sendiri juga masih terjadi hal tersebut. Dapat kita lihat sebagai contoh

dengan perbedaan pendapat yang terjadi di antara ulama hadis dan ulama ushul

fiqih tentang bagaimana pembahasan sabda Rasulullah saw dalam menetapkan

hukum.1 Hal seperti itu tidak harus menyebabkan setiap orang muslim selalu

bermasa bodoh dan menjadi pengikut tanpa mengetahui keberadaan dan

kejelasan yang sebenarnya.

Umat Islam sudah mahfum dan menyepakati terhadap posisi sunnah

sebagai sumber istimbat dalam pengambilan hukum Islam kedua setelah al-

Quran. Sunnah berfungsi sebagai penopang Al Quran dalam menjelaskan

hukum-hukum syarah karena itulah As-Syafii dalam menerangkan Al Quran

dan As Sunah tidak menguraikan secara terpisah. Keduanya merupakan satu

ke-satuan dalam kaitan dengan kepentingan dan dipandang sebagai sumber

yang pokok dan satu yakni Nash, keduanya saling menopang secara sempurna

dalam menyelesaikan masalah syarah.

Menyikapi kehujjahan sunnah kearah pemahaman yang sempurma,

merupakan suatu keharusan untuk mengetahui lebih dalam tentang kehujjaan

assunnah dan dalam kondisi yang bagaimana digunakan untuk mengistinbath-

kan hukum. Dalam al-Qur'an Allah memerintahkan kepala kita untuk

1
Lihat Thalib Muhamad, Cara menyelesaikan Pertenlangan Hadis dan Al Duran, Cet. I Bandung :
PT Al Maarif : 1979, h.7.

1
mengembalikan persoalan pada a!-Qur'an dan menyelesaikan suatu persoalan

Allah berfiram dalam al-Qur'an surat An-nisa : 59 yang berbunyi :

"Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dun taatilah Rasul dan Ulil

Amri diantara kamu, kemudian jika kamit herlainan pendapat tentang sesuatu,

maka kembalikan kepada Allah clan rasulnya.

Keberadaan sunnah yang didapati oleh umat Islam sekarang ini sudah

berbentuk sebuah produk yang dihasilkan oleh perjalanan ijtihad ilmiah para

pembukuannya didalam banyak hal terdapat batu sandungan perbedaan

pendapat contoh dua kitab sunnah yang termahsyur saat sekarang ini yang kita

pakai yaitu kita Bukhari dan Muslim.

Karena keingitahuannya kurang, bisa saja tanpa disadari kita banyak

mengamalkan hadis-hadis palsu yang banyak beredar atau mungkin kita jadi

pesimis dan menghindari kehujjaan assunnah sebagai salah satu sumber hukum

dalam agam Islam. Golongan yang seperti ini memang tidak ditemukan pada

zaman Rasul dan Khulafa Urasyidin serta pada zaman Bani Ummayah, tetapi

nanti pada masa Abbasiyah barn muncul secara jelas sekelompok kecil umat

Islam yang menolak as-Sunah sebagai salah satu sumber ajaran Islam tetap

besar jumlahnya. Dalam menempatkan posisi sunnah mereka telah banyak

mengembankan upaya penelitian yang mendalam, membuat berbagai macam

istilah merumuskan kaidah-kaidah meletakkan metode-metode dan menyusun

disiplin ilmu ang dapat digunakan untuk mempelajari sunnah, sehingga

kesungguhan mereka tersebut telah membuahkan hasil karya yang

monumental dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Gerakan-

gerakan penelitian mencakup banyak kajian yang jalam pemecahan

2
masalahnya yang ditempuh para Ulama tentang cara yang berbedabeda,

tetapi bukan berarti hasilnya berbeda pula. Salah satu contoh tentang hal ini

bagaimana para ulama menyelesaikan masalah ketika menemukan hadis yang

saling bertentang satu dengan yang lain. Hal ini umumnya ulama menggunakan

tiga macam cara yaitu:

at-Taufiq dan al-Tautiq. Hasilnya dipertemeukan banyak kesamaan.

Para Ulama juga berbeda pendapat tentang adanya hal-hal berupa

kelalaian siperawi dan kealpaannya sekalipun mereka dan kita tidak pernah

menemukan hal serupa dengan itu. Hal ini ditemukan ketika para Ulama

mengeluarkan argumen tentang keshahihan hadis ahad.

Perbedaan yang demikian tidak hanya didapati dalam masalah, tetapi

sangat banyak didapati dalam berbagai kajian bidang hadis lainnya dan hal ini

jelas menjadikan bagian yang sangat penting untuk dikaji kejelasannya.

Metodologi pemahaman dan penetapan hukum Islam terhadap masalah

yang dihadapi dalam lingkungan masyarakat muslim.

Dengan demikian dapat diketahui betapa pentingnya upaya bagi setiap

muslim untuk mengetahui seluk beluk ijtihad para Ulama dan aspek

permasalahannya dal am kai tan nya dengan kedudukan sunnah sebagai sumber

hukum kedua setelah al-Quran. Hal inilah yang mendorong penyusun untuk

meneliti lebih jauh tentang kehujjaan sunnah dalam meng- istinbath-kan

Hukum Islam.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana argumentasi kehujjahan sunnah?

2. Bagaimana argumentasi inkar sunnah?

3
C. Tujuan

1. Untuk mengetahui argumentasi kehujjahan sunnah

2. Untuk mengetahui argumentasi inkar sunnah

4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dalil Kehujjahan Sunnah

1. Pengertian Hujjah

”Hujjah yaitu gelar keahlian bagi para imam yang sanggup menghapal

300.000 hadists baik matan, sanad maupun perihal perawi, seperti, keadilan,

catatan, dan biografinya (riwayat hidupnya). Muhaditsin yang mendapat

gelar ini antara lain Hisyam ibn Urwah (meninggal 146 H), Abu Hudzail

Muhammad ibn Walid (149 H) dan Muhammad Abdullah ibn Amr

(meninggal 242 H).”

Kata kerja berhujah diartikan sebagai memberi alasan–alasan atau

argumentasi yang valid dari Muhaditsin yang adil dan tidak memiliki cacat,

sehinga dihasilkan kesimpulan yang dapat diyakini dan dipertanggung

jawabkan kebenarannya. Seperti dalam Al-Qur’an surah Al-An’am berikut.

َ ‫قُ ْل َفلِلّ ِه ْالحُجَّ ُة ْال َبالِ َغ ُة َفلَ ْو َشاء لَ َهدَا ُك ْم َأجْ َمع‬
‫ِين‬

“Katakanlah: “Allah mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat, maka jika Dia

menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kamu semuanya”.

2. Pengertian Dalil Kehujjahan Hadits atau Sunnah

Sunah pada lughah artinya jalan yang dijlani, terpuji atau tidak. Suatu

tradisi yang dibiasakan dinamakan sunnah. Sedangkan menurut istilah

muhaditsin adalah segala yang dinukilkan dari Nabi SAW. Baik berupa

perkataan, perbuatan, taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan maupun perjalanan

hidup. Yang demikian itu terjadi baik sebelum Nabi SAW diangkat menjadi

Rasul maupun sesudahnya yang berkaitan dengan hukum.

5
Jadi, dalil kehujjahan hadits atau sunnah adalah keberadaan hadist

sebagai ajaran atau dasar hukum dalam islam. Seperti dalam Al-Qur’an

surah Al-Hujurat berikut.

‫هللا َسمي ٌع َعلي ٌم‬ َ ‫هللا َو َرسُولِ ِه َو ا َّتقُوا‬


َ َّ‫هللا ِإن‬ َ َّ‫يا َأ ُّي َها ال‬
ِ ِ‫ذين آ َم ُنوا ال ُت َق ِّدمُوا َبي َْن َي َدي‬

”Hai orang-orang yang beriman janganlah engkau mendahului Allah dan

Rasulnya dan bertaqwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha

Mendengar lagi Maha Mengetahui”

3. Fungsi Tafsir Hadits Terhadap Al-Qur’an

Al-Qur’an dan hadits sebagai pedoman hidup, sumber hukum dan

ajaran dalam islam, antara satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan

serta keduanya merupakan satu kesatuan. Al-Qur’an merupakan sumber

hukum pertama dan utama. Oleh karena itu kehadiran hadits sebagai

penjelas (bayan) isi Al-Qur’an tersebut. Hal ini sesuai dengan firman Allah

surah An-Nahl sebagai berikut.

َ ‫اس َما ُن ِّز َل ِإلَي ِْه ْم َولَ َعلَّ ُه ْم َي َت َف َّكر‬


‫ُون‬ ِّ ‫ك‬
ِ ‫ٱلذ ْك َر لِ ُت َبي َِّن لِل َّن‬ َ ‫ٱلزب ُِر ۗ َوَأ‬
َ ‫نز ْل َنٓا ِإلَ ْي‬ ِ ‫ِب ْٱل َب ِّي ٰ َن‬
ُّ ‫ت َو‬

“Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerapkan kepada

umat manusia apa yang diturunkan merekan dan supaya mereka berpikir”.

Allah SWT menurunkan Al-Qur’an bagi seluruh umat manusia agar

dapat dipahami oleh manusia maka Rasul SAW diperintahkan untuk

menjelaskan kandungan dan cara-cara melaksanakan ajarannya melalui

hadist-hadistnya. Oleh karena itu fungsi hadits Rasul SAW sebagai penjelas

Al-Qur’an itu bermacam-macam, yaitu bayan at-taqrir, bayan at-taqyid,

bayan at-tafshil, bayan at-takhsis, bayan at-tasyri’.

6
Dari penjelasan di atas disimpulkan bahwa Al-Qur’an merupakan

sumber hukum pertama dan merupakan pedoman hidup bagi umat Islam di

dunia. Di dalam Al-Qur’an telah ditetapkan hukum-hukum Islam baik

dalam bentuk akidah maupun ibadah dan sunnah Rasul sebagai penjelas

bagi isi kandungan yang terdapat di dalam Al-Qur’an.

4. Macam-macam Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur’an

a. Bayan At-Taqrir

“Bayan At-Taqrir disebut juga dengan bayan al-ta’kid dan bayan

al-itsbat yang dimaksud dengan bayan ini ialah menetapkan dan

memperkuat apa yang telah diterangkan di dalam Al-Qur’an. Fungsi

hadits dalam hal ini hanya memperkokoh isi kandungan Al-Qur’an.”2

Jadi fungsi hadis ini untuk memperkuat suatu isi kandungan Al-

Qur’an dengan cara mentaqrirkannya. Salah satu contoh hadis yang

dirawayatkan Bukhari dari Abu Hurairah, yang berbunyi:

‫ضَأ‬ َ ‫صالةَ َأ َح ِد ُك ْم إ َذا َأحْ د‬


َّ ‫َث َحتَّى يَت ََو‬ َ ُ ‫ال يَ ْقبَ ُل هَّللا‬

“Rasulullah SAW telah bersabda: Tidak diterima shalat seseorang yang

berhadas sebelum ia berwudhu”. (HR. Bukhari).

Hadis ini mentaqrirkan Al-Qur’an surah Al-Maida ayat 6 mengenai

keharusan berwudhu ketika seseorang akan mendirikan shalat. Hadis itu

memperkuat dan memperjelas isi kandungannya dan hukum berwudhu

sebelum shalat.

2
Hasbi Ash-Shiddieqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Jakarta : Bulan Bintang, 1980), h. 178

7
‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذ َ‬
‫ين آ َمنُوا ِإ َذا قُ ْمتُ ْم ِإلَى الصَّال ِة فَا ْغ ِسلُوا‬

‫ُوجُ‪wwww‬وهَ ُك ْم َوَأيْ‪ِ wwww‬ديَ ُك ْم ِإلَى ْال َم َرافِ ِ‬


‫‪wwww‬ق َوا ْم َس‪wwww‬حُوا‬

‫وس‪ُ www‬ك ْم َوَأرْ ُجلَ ُك ْم ِإلَى ْال َك ْعبَي ِْن َوِإ ْن ُك ْنتُ ْم ُجنُبً‪www‬ا‬
‫بِ ُر ُء ِ‬

‫ضى َأ ْو َعلَى َسفَ ٍر َأ ْو جَا َء‬


‫فَاطَّهَّرُوا َوِإ ْن ُك ْنتُ ْم َمرْ َ‬

‫َأ َح ٌد ِم ْن ُك ْم ِم َن ْال َغاِئ ِط َأ ْو ال َم ْستُ ُم النِّ َس‪w‬ا َء فَلَ ْم تَ ِج‪ُ w‬دوا‬

‫ص ‪ِ w‬عي ًدا طَيِّبً‪ww‬ا فَا ْم َس ‪w‬حُوا بِ ُو ُج‪ww‬و ِه ُك ْم‬


‫مَا ًء فَتَيَ َّم ُم‪ww‬وا َ‬

‫َوَأ ْي ِدي ُك ْم ِم ْنهُ َما ي ُِري ‪ُ w‬د هَّللا ُ ِليَجْ عَ َل َعلَ ْي ُك ْم ِم ْن حَ َر ٍ‬


‫ج‬

‫َولَ ِك ْن ي ُِري‪ُ wwww‬د لِيُطَهِّ َر ُك ْم َولِيُتِ َّم نِ ْع َمتَهُ َعلَ ْي ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم‬

‫تَ ْش ُكر َ‬
‫ُون‬

‫‪“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan‬‬

‫‪shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku, dan sapulah‬‬

‫‪kepalamu dan basuhlah kakimu hingga mata kaki...”3‬‬

‫‪b. Bayan At-Taqyid‬‬

‫‪3‬‬
‫‪QS. Al-Maaidah /5 : 6‬‬

‫‪8‬‬
Bayan at-taqyid adalah penjelasan hadis dengan cara membatasi

ayat- ayat bersifat multak dengan sifat, keadaan atau syarat tertentu. Kata

mutlak artinya kata yang merujuk pada hakikat kata itu sendiri apa

adanya tanpa memandang jumlah atau sifatnya. 4


Berikut contoh hadis

yang membatasi ayat Al-Qur’an yaitu pada surah Al-Maidah ayat 38.

ِ ‫َّارقَةُ فَا ْقطَعُوا َأ ْي ِديَهُ َما َجزَ ا ًء بِ َما َك َسبَا نَ َكااًل ِمنَ هَّللا ِ ۗ َوهَّللا ُ ع‬
‫َزي ٌز َح ِكي ٌم‬ ُ ‫َّار‬
ِ ‫ق َوالس‬ ِ ‫َوالس‬

“Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri,

potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang

mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha

Perkasa, Maha Bijaksana”5

Kata tangan pada ayat di atas belum jelas makna atau batasan

tangan (ukuran tangan) yang dimaksud dan batasan materi yang di

curinya. Dijelaskan dalam sebuah hadis bahwa yang dimaksud dengan

tangan pada ayat itu adalah tangan kanan dan batasan tangan yang di

potong hanya sampai pergelangan tangan, tidak sampai siku atau bahkan

bahu6.

“Rasulullah didatangi seseorang dengan membawa pencuri, maka

beliau memotong tangan pencuri dara pergelangan tangan”.

4
Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits ( Jakarta : Gaya Media Pratama, 1996), h. 22.
5
QS. Al-Maidah/5 : 38
6
Ranuwijaya, Ilmu Hadits, h. 23-24.

9
Dalam riwayat lain juga dijelaskan tentang ukuran barang atau

materi yang dicuri sehingga seseorang pencuri dijatuhi hukuman potong

tangan. Hal ini sebagaimana dijelaskan di dalam hadis Nabi SAW.

‫اعدًا‬
ِ ‫ص‬ ٍ ‫ق ِإاَّل فِي ُرب ِْع ِد ْين‬
َ َ‫َار ف‬ ِ ‫اَل تُ ْقطَ ُع يَ ُد الس‬
ِ ‫َّار‬

Dari Aisyah dari Nabi SAW Bersabda, “Tangan pencuri dipotong

jika curian senilai seperempat dinar”. (HR. Al-Bukhari).

Hadis tersebut telah menjelaskan batasan materi atau barang yang

dicuri seseorang dan apabila pencuri tersebut mencuri sesuatu yang

bernilai seperempat dinar maka wajib hukumnya bagi si pencuri tersebut

untuk mendapatkan hukuman potong tangan.

c. Bayan At-Tafshil

Bayan at-tafshil atau bayan at-tafsir adalah kehadiran hadis yang

berfungsi untuk memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat Al-

Qur’an yang masih bersifat global, memberikan persyaratan/batasan

(taqyid) terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat mutlak, dan

mengkhususkan (takhsis) terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih

bersifat umum. Diantara contoh tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang masih

umum adalah perintah mengerjakan shalat, puasa, zakat, disyariatkannya

jual beli, nikah, qhisas, hudud, dan sebagainya. Ayat-ayat Al-Qur’an

tentang masalah ini, baik mengenai cara mengerjakannya, sebab-

sebabnya, syarat-syarat, atau halangan-halangannya. Oleh karena itu,

Rasulullah SAW, melalui hadisnya menafsirkan dan menjelaskan

10
masalah-masalah tersebut.7 Berikut adalah contoh dari hadis yang

berfungsi sebagai bayan at-tafsir.

َ ‫صلُّوْ ا َك َما َرَأ ْيتُ ُموْ نِ ْي ُأ‬


‫صلِّ ْي‬ َ

“Shalatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat”.(HR. Bukhari)

Ayat Al-qur’an yang memerintahkan shalat adalah surah Al-

Baqarah ayat 43.

ِ ‫َّارقَةُ فَا ْقطَعُوا َأ ْي ِديَهُ َما َجزَ ا ًء ِب َما َك َسبَا نَ َكااًل ِمنَ هَّللا ِ ۗ َوهَّللا ُ ع‬
‫َزي ٌز َح ِكي ٌم‬ ُ ‫َّار‬
ِ ‫ق َوالس‬ ِ ‫َوالس‬

“Dan kerjakanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuk’lah beserta

orang-orang yang rukuk”.8

Hadis di atas menjelaskan bagaimana mendirikan shalat. Sebab

dalam Al-Qur’an tidak menjelaskan secara terperinci. Di dalam Al-Qur’an

hanya memerintah untuk mendirikan shalat tanpa menjelaskan bagaimana

cara melaksanakannya lalu hadis tersebutlah yang berfungsi untuk merinci

dan menjelaskan caranya.9

d. Bayan At-Takhsis

Bayan at-takhsis adalah penjelasan hadis dengan cara membatasi

atau mengkhususkan ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat umum, sehingga

tidak berlaku pada bagian-bagian yang mendapat perkecualian. Dengan

cara membatasi keumuman ayat Al-Qur’an sehingga tidak berlaku pada

bagian-bagian tertentu.10
7
Munzier Suparta, Ilmu Hadis ( Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2014), cet 9, h. 61.
8
QS. Al-Baqarah/2 : 43
9
Suparta, Ilmu Hadis, cet 9, h. 62.

10
Asjmuni Abdur Rahman, Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadis (Yogyakarta : LPPI, 1996), h.
55.

11
Hadis yang berfungsi untuk mentakhsiskan keumuman ayat-ayat

Al-Qur’an ialah sabda Nabi SAW tentang masalah waris dikalangan para

Nabi.

ٌ‫ص َدقَة‬ ُ ‫نَحْ ُن َم َعاثِ َر اَأْل ْنبِيَا ِء اَل نُوْ َر‬


َ ُ‫ث َمات ََر ْكنَاه‬

“Rasulullah SAW bersabda : “Kami (para nabi) tidak mewarisi

sesuatu pun, dan yang kami tinggalka hanya berupah sedekah”

(HR. Muslim).

Hadis tersebut mentakhsiskan keumuman firman Allah dalam surah

An-Nisa’ ayat 11 berikut :

َ ْ‫َر ِم ْث ُل َحظِّ اُأْل ْنثَيَ ْي ۚ ِن فَِإ ْن ُك َّن نِّ َسا ًء فَو‬


‫ق ْاثنَتَي ِْن فَلَه َُّن ثُلُثَا َما تَر َۚكَ َوِإ ْن‬ َّ ِ‫ص ْي ُك ُم هّٰللا ُ فِ ْي َأوْ اَل ِد ُك ْم ل‬
ِ ‫لذك‬ ِ ْ‫يُو‬
ۗ ْ‫اح َدةً فَلَهَا النِّص‬
ٗ‫فُ َوَأِلبَ َو ْي ِه لِ ُكلِّ َوا ِح ٍد ِّم ْنهُ َما ال ُّسدُسُ ِم َّما تَرَكَ ِإ ْن َكانَ لَهٗ َولَ ۚ ٌد فَِإ ْن لَّ ْم يَ ُك ْن لَّهٗ َولَ ٌد و ََّو ِرثَه‬ ْ ‫كَان‬
ِ ‫َت َو‬

َ‫ص ْي بِهَا َأوْ َد ْي ۗ ٍن ٰابَاُؤ ُك ْم َوَأ ْبنَاُؤ ُك ۚ ْم اَل تَ ْدرُوْ ن‬


ِ ْ‫صيَّ ٍة يُّو‬ ُ ۚ ُ‫َأبَ ٰوهُ فَُأِل ِّم ِه الثُّل‬
ِ ‫ث فَِإ ْن َكانَ لَهٗ ِإ ْخ َوةٌ فَُأِل ِّم ِه ال ُّسدُسُ ِم ْن بَ ْع ِد َو‬

‫ْضةً ِّمنَ هّٰللا ۗ ِ ِإ َّن هّٰللا َ َكانَ َعلِ ْي ًما َح ِك ْي ًما‬


َ ‫َأيُّهُ ْم َأ ْق َربُ لَ ُك ْم نَ ْفع ًۗا فَ ِري‬

“Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang

(pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang

anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan”.11

Hadis di atas merupakan pengecualian dari keumuman ayat Al-

Qur’an yang menjelaskan tentang disyariatkannya waris bagi umat Islam.

Allah SWT mensyariatkan kepada umat Islam agar membagi warisan

kepada ahli waris, di mana anak laki-laki mendapatkan satu bagian dan

anak perempuan mendapatkan separuhnya. Syariat waris itu tidak berlaku

khusus bagi para nabi sehingga keumuman ayat di atas dikhususkan oleh

11
QS. An-Nisa/4 : 11

12
hadis tersebut. Jadi, mewariskan harta tidak wajib dilakukan oleh para

nabi namun wajib bagi setiap umat Islam untuk mewariskan harta.

e. Bayan At-Tasyri’

Bayan at-tasyri’ adalah hadits penjelas untuk mewujudkan suatu

hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam Al-Qur’an atau

hanya terdapat pokok-pokoknya saja. Hadis Rasul SAW dalam segala

bentuknya (baik yang qauli, fi’li, maupun taqriri) berusaha untuk

menunjukkan suatu kepastian hukum terhadap berbagai persoalan yang

muncul, yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Hadis-hadis Rasul SAW

ysng termasuk kedalam kelompok ini, diantaanya hadis tentang

penetapan haramnya mengumpulkan dua wanita bersaudara (antara istri

dengan bibinya), hukum-hukum tentang hak waris bagi seorang anak12.

Suatu contoh hadis tentang zakat fitrah, sebagai berikut.

ِ َّ‫ضانَ َعلَى الن‬


‫اس‬ ْ ِ‫ض َزكاةَ ْالف‬
َ ‫ط ِر ِم ْن َر َم‬ َ ‫ِإ َّن َرسُوْ َل هَّللا ِ ص م فَ َر‬

َ‫صاعًا ِم ْن َش ِعي ٍْر َعلَى ُك ِّل ُح ٍّر َأوْ َع ْب ٍد َذ َك ٍر َأوْ ُأ ْن َشى ِمن‬
َ ْ‫صاعًا ِم ْن تَ َم ٍر َأو‬
َ

َ‫ْال ُم ْسلِ ِم ْين‬

“Bahwasanya Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fitrah

kepada umat Islam pada bulan Ramadhan satu suka (sha’) kurma

atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-

laki atau perempuan Muslim”. (HR. Muslim)

Hadis Rasul SAW yang termasuk bayan at-tasyri’ ini wajib

diamalkan sebagaiman kewajiban mengamalkan hadis-hadis lainnya.

12
Munzier Suparta, Ilmu Hadis ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014), cet 9, h. 63-64.

13
Ibnu al-Qayyim berkata, bahwa hadis-hadis Rasul SAW yang berupa

tambahan terhadap Al-Qur’an, merupakan kewajiban atau aturan yang

harus ditaati, tidak boleh menolak atau mengingakarinya, dan ini

bukanlah sikap Rasul SAW untuk mendahuki Al-Qur’an melainkan

semata-mata karena perintah dari Allah.13

Jadi sebagai umat Islam yang beriman wajib untuk mengamalkan

fungsi hadis at-tasyri’ ini, yaitu fungsi untuk memperjelas megenai suatu

hukum dalam Islam yang belum terperinci hukumnya di dalam isi

kandungan Al-Qur’an.

B. Diskursus Inkar Sunnah

1. Pengertian Inkar Sunnah

a. Secara etimologi

Kata “Inkar Sunnah” terdiri dari dua kata, yaitu “Inkar” dan

“Sunnah”. Kata Inkar berasal dari akar kata baha Arab: ‫انكارا‬-‫ ينكر‬-‫انكر‬

yang memiliki beberapa arti di antaranya adalah: tidak mengakui dan

tidak menerima baik di lisan dan di hati, bodoh atau tidak mengetahui

sesuatu (antonim kata al-irfan) dan menolak apa yang tidak

tergambarkan dalam hati, misalnya dalam firman Allah dalam Q.S Yusuf

ayat 58, yang berbunyi:

َ‫ َعلَ ْي ِه فَ َع َرفَهُ ْم َوهُ ْم لَهٗ ُم ْن ِكرُوْ ن‬w‫َو َج ۤا َء اِ ْخ َوةُ يُوْ سُفَ فَ َدخَ لُوْ ا‬
Artinya: “Dan sudara-saudara Yusuf datang (ke Mesir) lalu mereka

masuk ke (tempat)nya. Maka Yusuf mengenal mereka sedang

mereka tidak kenal (lagi) kepadanya ”

Juga seperti terdapat dalam Q.S AN-Nahl ayat 83 yang berbunyi:

13
Ibid. h. 64-65

14
ࣖ َ‫م ْال ٰكفِرُوْ ن‬wُ ُ‫ْرفُوْ نَ نِ ْع َمتَ هّٰللا ِ ثُ َّم يُ ْن ِكرُوْ نَهَا َواَ ْكثَ ُره‬
ِ ‫يَع‬
Artinya: “Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudia mereka

mengingkarinya dan kebanyakan mereka adalah orang-orang

yang kafir”

Al-Askari memedakan antara makna al-inkar dan al-juhdu. Kata

“al inkar” terhadap sesuatu yang tersembunyi dan tidak disertai

pengetahuaan, sedangkan “al-juhdu” terhadap sesuatu yang tampak dan

disertai dengan pengetahuan. Dengan demikian, maka orang yang

mengingkari sunnah sebagai hujjah di kalangan orang yang tidak banyak

pengetahuannya tentang ulumul hadis.

Dari beberapa arti kata “Ingkar” di atas dapat disimpulkan

bahwa secara etimologis diartikan menolak, tidak mengakui, dan

tidak menerima sesuatu, baik lahir dan batin atau lisan dan hati yang

dilatarbelakangi oleh faktor ketidak tahuannya atau faktor lain,

misalnya karena gengsi, kesombongan, keyakinan dan lain-lain.

Sedangkan kata “sunnah” secara etimologi bermakna

‫يرةالمتبعة‬www‫( الس‬suatu perjalanan yang diikuti) baik perjalanan baik

maupun buruk. Juga dapat bermakna ‫تمرة‬www‫( العادةالمس‬tradisi yang

berkelanjutan).

Orang yang menolak sunnah sebagai hujjah dalam beragama

oleh umumnya ahli hadist disebut ahlul bid’ah dan menuruti hawa

nafsunya, bukan kemauan dari hati dan akal pikirannya.

b. Secara terminologi

15
Berikut ini akan dikemukakan pengertian Inkar Sunnah menurut

para ahli, sebagai berikut:

1) Paham yang timbul dalam masyarakat Islam yang menolak hadis

atau sunnah sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an.

2) Suatu paham yang timbul pada sebagiab minoritas umat Islam

yang menolak dasar hukum Islam dari sunnah shahih, baik sunnah

praktis atau yang secara formal dikodifikasikan para ulama, baik

totalitas mutawati maupun ahad atau sebagian saja, tanpa ada alsan

yang dapat diterima.

Dari kedua definisi di atas, dapat dipahami bahwa inkar sunnah

adalam paham atau pendapat perorangan atau kelompok yang

menolak sunnah nabil saw seagai landasan hukum Islam. Sunnah

yang dimaksud mulai dari sunnah yang shahih, baik secara

substansional, yakni sunnah praktis pengamalan (sunnah ‘amaliyah),

atau sunnah formal yang dikodifikasikan para ulama yang meliputi

perkataan (qulan), perbuatan (fi’lan) dan persetujuan nabi saw

(taqriran).

Demikian juga ulama lain seperti As-Suyuthi, berpendapat

bahwa orang yang mengingkari kehujahan hadits Nabi, baik

perkataan dan perbuatannya yang memenuhi syarat-sayarat yang jelas

dalam ilmu Ushul adalah kafir, keluar dari Islam dan digiring

bersama orang Yahudi dan Nasrani, atau bersama orang yang

dikehendaki Allah dari kelompok orang- orang kafir.8 As-Syaukani

juga mempertegas bahwa para ulama sepakat atas kehujjahan sunnah

16
secara mandiri sebagai sumber hukum Islam seperti Al-Qur’an dalam

menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram.

Kehujjahan dan kemandiriannya sebagai sumber hukum Islam

merupakan keharusan (dharuri) dalam beragama. Orang yang

menyalahinya tidak ada bagian dalam beragama Islam.9 Para ulama

dahulu dan sekarang sepakat bahwa sunnah menjadi dasar hukum

Islam yang kedua setelah al-Qur’an. Fuqaha sahabat selalu

bereferensi kepada sunnah dalam menjelaskan al-Qur’an dan dalam

beristinbat hukum yang tidak didapati dalam al-Qur’an.

2. Inkar Sunnah Pada Masa Periode Klasik

Pertanda munculnya “Ingkar Sunnah” sudah ada sejak masa

sahabat, ketika Imran bin Hushain (w. 52 H) sedang mengajarkan hadits,

seseorang menyela untuk tidak perlu mengajarkannya, tetapi cukup

dengan mengerjakan al-Qur’an saja. Menanggapi pernyataan tersebut

Imran menjelaskan bahwa “kita tidak bisa membicarakan ibadah (shalat

dan zakat misalnya) dengan segala syarat-syaratnya kecuali dengan

petunjuk Rasulullah saw. Mendengar penjelasan tersebut, orang itu

menyadari kekeliruannya dan berterima kasih kepada Imran. Sikap

penampikan atau pengingkaran terhadap sunnah Rasul saw yang

dilengkapi dengan argumen pengukuhan baru muncul pada

penghujung abad ke-2 Hijriyah pada awal masa Abbasiyah. Pada masa

ini bermunculan kelompok ingkar as-sunnah.

Menurut imam Syafi’i ada tiga kelompok ingkar as- sunnah

seperti telah dijelaskan di atas. Antara lain :

17
a. Khawarij. Dari sudut kebahasaan, kata khawarij merupakan bentuk

jamak dari kata kharij yang berarti sesuatu yang keluar. Sementara

menurut pengertian terminologis khawarij adalah kelompok atau

golongan yang pertama keluar dan tidak loyal terhadap pimpinan

yang sah. Dan yang dimaksud dengan khawarij disini adalah

golongan tertentu yang memisahkan diri dari kepemimpinan Ali bin

Abi Thalib r.a. Ada sumber yang mengatakan bahwa hadits-hadits

yang diriwayatkan oleh para sahabat sebelum terjadinya fitnah yang

mengakibatkan terjadinya perang saudara. Yaitu perang jamal (antara

sahabat Ali r.a dengan Aisyah) dan perang Siffin ( antara sahabat Ali

r.a dengan Mu’awiyah r.a). Dengan alasan bahwa sebelum kejadian

tersebut para sahabat dinilai sebagai orang-orang yang ‘adil (muslim

yang sudah akil-baligh, tidak suka berbuat maksiat, dan selalu

menjaga martabatnya). Namun, sesudah kejadian fitnah tersebut,

kelompok khawarij menilai mayoritas sahabat Nabi saw sudah keluar

dari Islam. Akibatnya, hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para

sahabat setelah kejadian tersebut mereka tolak. Seluruh kitab-kitab

tulisan orang-orang khawarij sudah punah seiring dengan punahnya

mazhab khawarij ini, kecuali kelompok Ibadhiyah yang masih

termasuk golongn khawarij. Dari sumber (kitab-kitab) yang ditulis

oleh golongan ini ditemukan Hadits nabi saw yang diriwayatkan

oleh atau berasal dari Ali, Usman, Aisyah, Abu Hurairah, Anas bin

Malik, dan lainnya. Oleh karena itu, pendapat yang menyatakan

bahwa seluruh golongan khawarij menolak Hadits yang diriwayatkan

18
oleh Shahabat Nabi saw, baik sebelum maupun sesudah peristiwa

tahkim adalah tidak benar.

b. Syiah. Kata syi’ah berarti ‘para pengikut’ atau para pendukung.

Sementara menurut istilah ,syi’ah adalahgolongan yang menganggap

Ali bin Abi Thalib lebih utama dari pada khalifah yang sebelumnya,

dan berpendapat bahwa ahlul al-bait lebih berhak menjadi khalifah

dari pada yang lain. Golongan syiah terdiri dari berbagai kelompok

dan tiap kelompok menilai kelompok yang lain sudah keluar dari

Islam. Sementara kelompok yang masih eksis hingga sekarang adalah

kelompok Itsna ‘Asyariyah. Kelompok ini menerima hadits nabawi

sebagai salah satu syari’at Islam. Hanya saja ada perbedaan mendasar

antara kelompok syi’ah ini dengan golongan ahl sunnah (golongan

mayoritas umat islam), yaitu dalam hal penetapan hadits. Golongan

syi’ah menganggap bahwa sepeninggal Nabi saw mayoritas para

sahabat sudah murtad kecuali beberapa orang saja yang menurut

mereka masih tetap muslim. Karena itu, golongan syiah menolak

hadits-hadits yang diriwayatkan oleh mayoritas para sahabat tersebut.

Syi’ah hanya menerima hadits-hadits yang diriwayatkan oleh ahli

baiat saja.

c. Muktazilah. Arti kebahasaan dari kata mu’tazilah adala ‘sesuatu yang

mengasingkan diri’. Sementara yang dimaksud disini adalah

golongan yang mengasingkan diri mayoritas umat Islam karena

berpendapat bahawa seorang muslim yang fasiq idak dapat disebut

mukmin atau kafir. Imam Syafi’i menuturkan perdebatannya dengan

19
orang yang menolak sunnah, namun beliau tidak menelaskan siapa

orang yang menolak sunah itu. Sementara sumber- sumber yang

menerangkan sikap mu’tazilah terhadap sunnah masih terdapat

kerancuan, apakah mu’tazilah menerima sunnah keseluruhan,

menolak keseluruhan, atau hanya menerima sebagian sunnah saja.

Kelompok mutazilah menerima sunnah seperti halnya umat Islam,

tetapi mungkin ada beberapa hadits yang mereka kritik apabila hal

tersebut berlawanan dengan pemikiran mazhab mereka. Hal ini tidak

berarti mereka menolak hadits secara keseluruhan, melainkan hanya

menerima hadits yang bertaraf mutawatir saja.

Ada beberapa hal yang perlu dicatat tentang ingkar as-sunnah

klasik yaitu, bahwa ingkar as-sunnah klasik kebanyakan masih

merupakan pendapat perseorangan dan hal itu muncul akibat

ketidaktahuan mereka tentang fungsi dan kedudukan hadist. Karena itu,

setelah diberitahu tentang urgensi sunnah, mereka akhirnya

menerimanya kembali. Sementara lokasi ingkar as-sunnah klasik berada

di Irak, Basrah. 10

Secara garis besar Muhammad Abu zahrah berkesimpulan bahwa

terdapat tiga kelompok pengingkar sunnah yang berhadapan dengan

Asy-Syafi’i, yaitu :

a. Golongan yang menolak seluruh Sunnah Nabi saw.

b. Golongan yang menolak Sunnah, kecuali bila sunnah memiliki

kesamaan dengan petunjuk al-Qur’an.

20
c. Mereka yang menolak Sunnah yang berstatus Ahad dan hanya

menerima Sunnah yang berstatus Mutawatir.11

Dilihat dari penolakan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa

kelompok pertama dan kedua pada hakekatnya memiliki kesamaan

pandangan bahwa mereka tidak menjadikan Sunnah sebagai hujjah. Para

ahli hadits menyebut kelompok ini sebagai kelompok Inkar Sunnah

Argumen kelompok yang menolak sunnah secara totalitas. Banyak

alasan yang dikemukakan oleh kelompok ini untuk mendukung

pendiriannya, baik dengan mengutip ayat-ayat al-Qur’an ataupun alasan-

alasan yang berdasarkan rasio.

Diantara ayat-ayat al-Qur’an yang digunakan mereka sebagai

alasan menolak sunnah secara total adalah Qur’an surat an- Nahl ayat

89, yang berbunyi:

‫ك َش ِه ْيدًا ع َٰلى ٰهُٓؤاَل ۤ ۗ ِء َونَ َّز ْلنَا‬َ ِ‫ش ِه ْيدًا َعلَ ْي ِه ْم ِّم ْن اَ ْنفُ ِس ِه ْم َو ِجْئنَا ب‬َ ‫ث فِ ْي ُكلِّ اُ َّم ٍة‬ُ ‫َويَوْ َم نَ ْب َع‬
ࣖ َ‫ش ْي ٍء َّوهُدًى َّو َرحْ َمةً َّوبُ ْش ٰرى لِ ْل ُم ْسلِ ِميْن‬ َ ‫َعلَ ْيكَ ْال ِك ٰت‬
َ ِّ‫ب تِ ْبيَانًا لِّ ُكل‬
Artinya: “(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-
tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan
Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas
seluruh umat manusia. dan Kami turunkan kepadamu Al kitab
(Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk
serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang
berserah diri.”

Kemudian Surat Al-An’am ayat 38 yang berbunyi:


ۤ ۤ
‫َّطنَا فِى‬ َ ‫ ُر بِ َجن‬wwْ‫ض َواَل ٰط ِٕى ٍر ي َِّطي‬
ْ ‫ ِه آِاَّل اُ َم ٌم اَ ْمثَالُ ُك ْم ۗمَا فَر‬wwْ‫َاحي‬ ِ ْ‫َومَا ِم ْن دَابَّ ٍة فِى ااْل َر‬
٣٨ َ‫شرُوْ ن‬ َ ْ‫ش ْي ٍء ثُ َّم اِ ٰلى َربِّ ِه ْم يُح‬ ِ ‫ْال ِك ٰت‬
َ ‫ب ِم ْن‬

Artinya: “Dan Tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-


burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat
(juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam
Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.”

21
Menurut mereka kepada ayat tersebut menunjukkan bahwa al-

Qur’an telah mencakup segala sesuatu yang berkenaan dengan ketentuan

agama, tanpa perlu penjelasan dari al-Sunnah. Bagi mereka perintah

shalat lima waktu telah tertera dalam al-Qur’an, misalnya surat al-

Baqarah ayat 238, surat Hud ayat 114, al-Isyra’ ayat 78 dan lain-lain.

Adapun alasan lain baik dan adalah bahwa al-Qur’an diturunkan dengan

berbahasa Arab yang tentunya al-Qur’an tersebut akan dapat dipahami

dengan baik pula. Argumen kelompok yang menolak hadits Ahad dan

hanya menerima hadits Mutawatir.

Untuk menguatkan pendapatnya, mereka menggunakan beberapa

ayat al-Qur’an sebagai dallil yaitu, surat Yunus ayat 36:

َ‫وْ ن‬wwُ‫شئًْـ ۗا اِ َّن هّٰللا َ َعلِ ْي ٌم ۢبِمَا يَ ْف َعل‬ ِّ َ‫ا اِ َّن الظَّ َّن اَل يُ ْغنِ ْي ِمنَ ْالح‬wۗ wًّ‫َو َما يَتَّبِ ُع اَ ْكثَ ُرهُ ْم اِاَّل ظَن‬
َ ‫ق‬
٣٦
Artinya: “Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan
saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna
untuk mencapai kebenaran[690]. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang mereka kerjakan.”

Berdasarkan ayat di atas, mereka berpendapat bahwa hadits Ahad

tidak dapat dijadikan hujjah atau pegangan dalam urusan agama.

Menurut kelompok ini, urusan agama harus didasarkan pada dalil yang

qath’i yang diyakini dan disepakati bersama kebenarannya. Oleh karena

itu hanya al- Qur’an dan hadits mutawatir saja yang dapat dijadikan

sebagi hujjah atau sumber ajaran Islam.

3. Inkar Sunnah Pada Periode Modern

Tokoh- tokoh kelompok Ingkar Sunnah Modern (akhir abad ke-19

dan ke-20) yang terkenal adalah Ghulam Ahmad Parvez dari India dan

Taufik Sidqi (w. 1920) dari Mesir, Rasyad Khalifah kelahiran Mesir

22
yang menetap di Amerika Serikat, dan Kasasim Ahmad mantan ketua

partai Sosialis Rakyat Malaysia. Mereka adalah tokoh-tokoh yang

tergolong pengingkar Sunnah secara keseluruhan. Argumen yang

mereka keluarkan pada dasarnya tidak berbeda dengan kelompok ingkar

sunnah pada periode klasik. Tokoh-tokoh “Ingkar Sunnah” yang tercatat

di Indonesia antara lain adalah Lukman Sa’ad (Dirut PT. Galia

Indonesia) Dadang Setio Groho (karyawan Unilever), Safran Batu Bara

(guru SMP Yayasan Wakaf Muslim Tanah Tinggi) dan Dalimi Lubis

(karyawan kantor DePag Padang Panjang). Sebagaimana kelompok

ingkar sunnah klasik yang menggunakan argumen baik dalil naqli

maupun aqli untuk menguatkan pendapat mereka, begitu juga kelompok

ingkar sunnah Indonesia. antara sebab utama ingkar sunnah modern

adalah akibat pengaruh kolonialisme yang semakin dahsyat pada awal

abad ke-19 di dunia Islam. Para kolonialis memperdaya dan

melemahkan Islam melalui penyebaran faham-faham yang bertentangan

dengan faham dasar Islam.

Diantara ayat-ayat yang dijadikan sebagai rujukan adalah surat an-

Nisa ayat 87, yang berbunyi:

٨٧ ࣖ ‫ق ِمنَ هّٰللا ِ َح ِد ْيثًا‬ َ ‫ُ ٓاَل اِ ٰلهَ اِاَّل هُ ۗ َو لَيَجْ َم َعنَّ ُك ْم اِ ٰلى يَوْ ِم ْالقِ ٰي َم ِة اَل َري‬
ُ ‫ْب فِ ْي ِه ۗ َو َم ْن اَصْ َد‬ ‫هّٰللَا‬
Artinya: “Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia.
Sesungguhnya Dia akan mengumpulkan kamu di hari kiamat,
yang tidak ada keraguan terjadinya. dan siapakah orang yang
lebih benar perkataan(nya) dari pada Allah ?”

Menurut mereka arti ayat tersebut adalah “Siapakah yang benar

haditsnya dari pada Allah”.

Kemudian surat al-Jatsiyah ayat 6, yang berbunyi:

23
‫ث بَ ْع َد هّٰللا ِ َو ٰا ٰيتِ ٖه‬
ٍ ۢ ‫ق فَبِاَيِّ َح ِد ْي‬ َ ‫ت هّٰللا ِ نَ ْتلُوْ هَا َعلَ ْي‬
ِّ ۚ ‫ك بِ ْال َح‬ ُ ‫ك ٰا ٰي‬
َ ‫تِ ْل‬
٦ َ‫يُْؤ ِمنُوْ ن‬
Artinya: “Itulah ayat-ayat Allah yang Kami membacakannya kepadamu
dengan sebenarnya; Maka dengan Perkataan manakah lagi
mereka akan beriman sesudah (kalam) Allah dan keterangan-
keterangan-Nya.”

Selain kedua ayat diatas, mereka juga beralasan bahwa yang

disampaikan Rasul kepada umat manusia hanyalah al- Qur’an dan jika

Rasul berani membuat hadits selain dari ayat- ayat al-Qur’an akan

dicabut oleh Allah urat lehernya sampai putus dan ditarik jamulnya,

jamul pendusta dan yang durhaka. Bagi mereka Nabi Muhammad tidak

berhak untuk menerangkan ayat-ayat al-Qur’an, Nabi hanya bertugas

menyampaikan.

Di Indonesia, pada dasawarsa tujuh puluhan muncul isu adanya

sekelompok muslim yang berpandangan tidak percaya terhadap Sunnah

Nabi Muhammad saw. Dan tidak menggunakannya sebagai sumber atau

dasar agama Islam. Pada akhir tujuh puluhan, muncul nama-nama Abdul

Rahman dan Achmad Sutarto, dan Nazwar Syamsu di padang Sumatera

Barat, Dalimi Lubis dan Sanwani Pasar Rumput Jakarta Selatan.

kelompok tersebut tampil secara terang- terangan menyebarkan

pahamnya dengan nama, misalnya, Jama’ah al-Islamiah al-Huda, dan

Jama’ah al-Qur’an dan Ingkar Sunnah, sama-sama hanya menggunakan

al-Qur’an sebagai petunjuk dalam melaksanakan agama Islam, baik

dalam masalah akidah maupun hal-hal lainnya.

4. Tokoh-tokoh Inkar Sunnah

a. Taufiq Shidqi (w.1920 m)

24
Tokoh ini berasal dari Mesir, dia menolak hadits Nabi SAW, dan

menyatakan bahwa al-Qur'an adalah satu- satunya sumber ajaran

Islam. Menurutnya "al-Islam huwa al-Qur'an" (Islam itu adalah al-

Qur'an itu sendiri). Dia juga menyatakan bahwa tidak ada satu pun

Hadits Nabi saw yang dicatat pada masa beliau masih hidup, dan baru

di catat jauh hari setelah Nabi wafat. Karena itu menurutnya,

memberikan peluang yang lebar kepada manusia untuk merusak dan

mengada-ngadakan hadits sebagaimana yang sempat terjadi. Namun

ketika memasuki dunia senja, tokoh ini meninggalkan pandangannya

dan kembali menerima otoritas kehujjahan hadits Nabi saw.

b. Rasyid Khalifa

Dia adalah seorang tokoh Inkar Sunnah yang berasal dari Mesir

kemudian menetap di Amerika. Dia hanya mengakui al-Qur'an

sebagai satu-satunya sumber ajaran Islam yang berakibat pada

penolakannya terhadap hadits Nabi saw.

c. Ghulam Ahmad Parwes

Tokoh ini berasal dari India, dan juga pengikut setia Taupiq Shidqi.

Pendapatnya yang terkenal adalah: bahwa bagaimana pelaksanaan

shalat terserah kepada para pemimpin umat untuk menentukannya

secara musyawarah, sesuai dengan tuntunan dan situasi masyarakat.

Jadi menurut kelompok ini tidak perlu ada hadits Nabi saw. Anjuran

taat kepada Rasul mereka pahami sebagai taat kepada sistem/ide yang

telah dipraktekkan oleh Nabi saw, bukan kepada Sunnah secara

25
harfiah. Sebab kata mereka, Sunnah itu tidak kekal, yang kekal itu

sistem yang terkandung di dalam ajaran Islam.

d. Kasim Ahmad

Tokoh ini berasal dari Malaysia, dan seorang pengagum Rasyad

Khalifa, karena itu pandangan-pandangnnya pun tentang hadits Nabi

SAW sejalan dengan tokoh yang dia kagumi. Lewat bukunya, "Hadits

Sebagai Suatu Penilaian Semua", Kasim Ahmad menyeru Umat Islam

agar meninggalkan hadits Nabi saw, karena menurut penilaianya

hadits Nabi saw tersebut adalah ajaran-ajaran palsu yang dikaitkan

dengan Hadits Nabi saw. Lebih lanjut dia mengatakan "bahwa hadits

Nabi saw merupakan sumber utama penyebab terjadinya perpecahan

umat Islam; kitab-kitab hadits yang terkenal seperti kitab Shahih

Bukhari dan Shahih Muslim adalah kitab-kitab yang menghimpun

hadits-hadits yang berkualitas dhaif dan maudhu', dan juga hadits

yang termuat dalam kitab-kitab tersebut banyak bertentangan dengan

al-Qur'an dan logika.

e. Tokoh-tokoh Inkar Sunnah asal Indonesia

Tokoh Inkar Sunnah yang berasal dari Indonesia adalah Abdul

Rahman, Moh. Irham, Sutarto, Lukman Saad, dan Achmad Sutarto,

dan Nazwar Syamsu di padang Sumatera Barat, Dalimi Lubis dan

Sanwani Pasar Rumput Jakarta Selatan. Sekitar tahun 1983an tokoh-

tokoh ini sempat meresahkan masyarakat dan menimbulkan banyak

reaksi dikarenakan pandangan-pandangan mereka terhadap al-Hadits.

Untuk menanggulangi keresahan, maka keluarlah "Surat Keputusan

26
Jaksa Agung No. kep. 169/J. A/1983 tertanggal 30 September 1983"

yang berisi larangan terhadap aliran Inkar Sunnah di seluruh wilayah

Republik Indonesia.

C. Argumentasi Inkar Sunnah

Sebagai suatu paham atau aliran, ingkar as-sunnah klasik ataupun

modern memiliki argumen-argumen yang dijadikan sebagai landasan

pemikiran dalam mempertahankan faham mereka. Argumen yang mereka

kemukakan terbagi dua:

1. Argumentasi Naqli

Yang dimaksud argument-argumen naqli tidak hanya berupa ayat-

ayat Al-Qur’an saja, tetapi juga berupa sunnah atau hadits Nabi.

Memang agak ironis juga bahwa mereka yang berfaham ingkar sunnah

ternyata mengajukan sunnah sebagai argument pembelaan faham

mereka.

Argumen dari ayat-ayat Al-Qur’an yang mereka gunakan, antara

lain sebagai berikut:

a. Q.S An-Nahl ayat 89

‫ُؤاَل ۤ ۗ ِء َونَ َّز ْلنَا‬wٓ‫ ِه ْيدًا ع َٰلى ٰه‬w‫كَ َش‬wwِ‫ ِه ْم َو ِجْئنَا ب‬w‫ ِه ْيدًا َعلَ ْي ِه ْم ِّم ْن اَ ْنفُ ِس‬w‫ث فِ ْي ُك ِّل اُ َّم ٍة َش‬ُ ‫َويَوْ َم نَ ْب َع‬
٨٩ ࣖ َ‫ب تِ ْبيَانًا لِّ ُك ِّل َش ْي ٍء َّوهُدًى َّو َرحْ َمةً َّوبُ ْش ٰرى لِ ْل ُم ْسلِ ِم ْين‬ َ ‫ك ْال ِك ٰت‬َ ‫َعلَ ْي‬
Artinya: “(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-
tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan
Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh
umat manusia. dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran)
untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan
kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.”
b. Q.S Al An’am ayat 38

ْ ‫ ِه آِاَّل اُ َم ٌم اَ ْمثَالُ ُك ْم ۗمَا فَر‬w‫ض َواَل ٰۤط ِٕى ٍر ي َِّط ْي ُر بِ َجنَا َح ْي‬
ِ ‫ فِى ْال ِك ٰت‬w‫َّطنَا‬ ۤ
‫ب‬ ِ ْ‫َو َما ِم ْن دَابَّ ٍة فِى ااْل َر‬
٣٨ َ‫ِم ْن َش ْي ٍء ثُ َّم اِ ٰلى َربِّ ِه ْم يُحْ َشرُوْ ن‬
Artinya: “Dan Tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-
burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat

27
(juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam
Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.”
Menurut para pengingkar sunnah, kedua ayat tersebut

menunjukkan bahwa Al-Qur’an telah mencakup segala sesuatu yang

berkaitan dengan ketentuan agama. Dengan demikian, tidak diperlukan

adanya keterangan lain termasuk sunnah.

Dari argument-argumen-argumen yang dikemukakan di atas dapat

difahami bahwa para pengingkar sunnah yang mengajukan argumen itu

adalah orang-orang yang berpendapat bahwa Nabi Muhammad tidak

berhak sama sekali untuk menjelaskan Al-Qur’an kepada umatnya. Nabi

Muhammad saw hanyalah bertugas untuk menerima wahyu dan

menyampaikan wahyu itu kepada pengikutnya. Di luar tersebut Nabi

tidak mempunyai wewenang. Dalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa,

orang- orang yang beriman diperintahkan untuk patuh kepada

Rasulullah. Hal itu menurut para pengingkar sunnah hanyalah berlaku

tatkala Rasulullah masih hidup, yakni tatkala jabatan sebagai ulul-amri

berada ditangan beliau. Setelah beliau wafat maka jabatan ulul-amri

berpindah kepada orang lain dan karenanya kewajiban patuh orang-

orang yang beriman kepada Nabi Muhammad menjadi gugur.

c. Q.S Yunus ayat 36

٣٦ َ‫ق َش ْيـ ًۗٔا اِ َّن هّٰللا َ َعلِ ْي ٌم ۢبِ َما يَ ْف َعلُوْ ن‬


ِّ ‫َو َما يَتَّبِ ُع اَ ْكثَ ُرهُ ْم اِاَّل ظَنًّ ۗا اِ َّن الظَّ َّن اَل يُ ْغنِ ْي ِمنَ ْال َح‬
Artinya: “Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan
saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna
untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang mereka kerjakan.”

d. Rasulullah pernah melarang sahabat menulis sunnah

2. Argumentasi Aqli

28
a. Alqur’an diwahyukan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad

(melalui malaikat jibril) dalam bahasa Arab. Orang-orang Arab yang

memiliki pengetahuan bahasa Arab mampu memahami Al-Qur’an

secara langsung, tanpa bantuan penjelasan dari hadits Nabi. Dengan

demikian tidak diperlukan untuk memahami Al-Qur’an

b. Tidak percaya kepada semua hadis rasulullah saw. Menurut mereka

hadis itu karangan Yahudi untuk menghancurkan Islam dari dalam.

c. Nabi Muhammad tidak berhak menjelaskan tentang ajaran al-

Qur’an, karena al-Qur’an itu sudah sempurna.

d. Dalam sejarah umat Islam mengalami kemunduran. Umat Islam

mundur karena umat Islam terpecah-pecah , perpecahan itu terjadi

karena umat Islam berpegang kepada hadits Nabi. Jadi menurut para

pengingkar sunnah, hadits Nabi itu merupakan penyebab

kemunduran umat Islam.

e. Asal mula hadits Nabi yang dihimpun dalam kitab-kitab hadits adalah

dongeng-dongeng semata. Dinyatakan demikian, karena hadits Nabi

lahir setelah lama Nabi wafat. Kitab-kitab hadits yang terkenal,

misalnya shahih Bukhori dan Muslim, adalah kitab-kitab yang

menghimpun berbagai hadits palsu.

f. Menurut Taufiq Siddiq, tiada satupun hadits Nabi yang dicatat pada

zaman Nabi. Pencatat hadits terjadi setelah Nabi wafat, dalam masa

tidak tertulisnya hadits tersebut, manusia berpeluang untuk

mempermainkan dan merusak hadits sebagaimana yang telah terjadi.

29
BAB III
PENUTUP
A. Ingkar sunnah adalah paham atau pendapat perorangan atau kelompok yang

menolak sunnah nabi saw sebagai landasan hukum Islam. Sunnah yang

dimaksud mulai dari sunnah yang sahih, baik secar substansial; yakni

sunnah praktis pengamalan (sunnah ‘amaliah), atau sunnah formal yang

dikodifikasikan para ulama yang meliputi perbuatan (qaulan), perbuatan

(fi’lan), dan persetujuan Nabi saw (taqriran).

B. Faham ini muncul sebagai kelompok kecil (sempalan saja) dalam sejarah

perekembangannya, sehingga faham ini tidak dapat berkembang dan tidak

dapat memberikan warna dalam wacana dinamika pemikiran aliran

dalam Islam. Karena fahamnya cenderung memperlemah sendi-sendi

dalam membangun syari’at islamiyah

C. Semua argumentasi yang dikemukakan oleh kelompok ingkar sunnah

sangat lemah, sehingga dengan mudah argumen mereka terhadap

pengingkaran sunnah dengan mudah dipatahkan oleh para ulama.

30
DAFTAR PUSTAKA
Jumatoro, Totok. 2002. Kamus Ilmu Hadits. Jakarta: PT Bumi Aksara
Suparta, Munzier. 2014. Ilmu Hadis. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
As-Shiddieqi, Hasbi. 1980. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Jakarta:
Bulan Bintang
Ranuwijaya, Utang. 1996. Ilmu Hadits. Jakarta: Gaya Media Pratama
Rahman, Asjmuni Abdur. 1996. Pengembangan Pemikiran Terhadap
Hadis. Yogyakarta: LPPI
Abdul Ghani Abdul Khaliq, Hujjiyyah as-Sunnah, Daar al- Qur’an,
Beirut.
Abdul Majid Khon, Sunnah dan Pengingkarannya di Mesir Modern,
Disertasi, 2004.
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Amzah, Jakarta, 2013.
Abi Hilal al-Askari, Al-Lum’ah Min Al-Furiq, As-Safaqiyah,
Surabaya, t.t. hlm. 2.
Ali Mustofa Ya’qub, Kritik Hadis, Cet. I.,Pustaka Firdaus,
Jakarta, 1995.
As-Syaukani, Irsyad al-Fuhul ila tahaqiq al-Haq min ‘Ilmi al- Ushul,
Daar Asy-Sya’ab al-Ilmiyyah, Beirut, 1999.
Ibrahim Anis, Almu’jam al-Washith, juz 3, Daar al-Ma’arif,
Mesir, tahun 1972.
Jalaluddin As-Suyuthi, Miftah al-Jannah fi al-Ihtijaj bi as-Sunnah,
Daar as-Salam, Cairo, 1999.
Mahmd Abu Rayyah, Adwa’ ‘ala as-Sunnah al-Muhammadiyah,
Daar al-Ma’arif, Cairo, t.t. 250.
Muhammad Abu Zahrah, Asy-Syafi’i Hayatuhu wa ‘Ashruh: Ara’uh
wa Fiqhuh, Mathba’ah Al-Mahadi, Cairo, 1996.
Muhammad Ajaj al- Khatib, Ushul al-Hadits Ulumuhu wa
Musthalahuhu, Daar al-Fikr, Bairut, Libanon, 1992.
Quraish Shihab, Membumuikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat, Mizan, Bandung.
Tim IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia,
Djambatan, Jakarta. 1992.

31

Anda mungkin juga menyukai