Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

HUBUNGAN ANTARA HADIS DENGAN AL-QUR`AN

Kelompok I

M. Irfan Maulana : 230603080

Baiq Yuni Islehatun : 230603077

PRODI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM

2024

i
KATA PENGANTAR

Kami berterima kasih kepada Allah SWT atas rahmat-Nya sehingga


makalah ini dapat diselesaikan. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada
semua orang yang telah membantu dengan memberikan kontribusi pikiran dan
materi.
Penulis sangat berharap pembaca akan memperoleh pengetahuan baru dan
pengalaman dari makalah ini. Kami juga berharap pembaca dapat menggunakan
makalah ini dalam kehidupan sehari-hari.
Karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami, kami sebagai
penyusun merasa ada banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Karena
itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk membantu
kami menyempurnakannya.

Mataram, 4 Maret 2024

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................iii
BAB I................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.............................................................................................................1
A. Latar Belakang........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...................................................................................................2
C. Tujuan......................................................................................................................2
BAB II...............................................................................................................................3
PEMBAHASAN...............................................................................................................3
A. Pengertian Hadits....................................................................................................3
B. Sinonim hadits.........................................................................................................4
C. Perbedaan Hadits Nabawi, Qudsi, dan Al-Qur`an...............................................6
D. Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur`an.......................................................................7
BAB III...........................................................................................................................10
PENUTUP.......................................................................................................................10
A. Kesimpulan............................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................11

iii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur'an dan hadis adalah sumber utama ajaran Islam, dan keduanya
sangat penting bagi kehidupan umat Islam. Walaupun ada perbedaan dalam hal
penafsiran dan aplikasi, tetapi setidaknya para ulama setuju bahwa keduanya
harus digunakan sebagai referensi. Islam diambil dari eduanya dan dijadikan
pedoman utama. Akibatnya, penelitian tentangnya tidak pernah berhenti, malah
berkembang seiring dengan kebutuhan umat Islam.

Meskipun demikian, ada perbedaan mendasar antara al-Qur'an dan Hadis.


Al-Qur'an menggunakan semua ayatayatnya secara mutawatir, sedangkan Hadis
menggunakan sebagian dari ayat-ayatnya secara ahad.1
Selain itu, al-Qur'an telah ditulis sejak masa hidup Rasulullah saw. dan
ditulis oleh sekretaris resmi yang ditunjuk langsung oleh Rasulullah. Namun,
hadis secara keseluruhan tidak ditulis sebelum masa Nabi Muhammad saw;
bahkan dia pernah melarang sahabatnya untuk menulisnya. Namun, sahabat telah
berusaha menulis hadis sejak masa itu.

Hadis, yaitu ucapan dan tindakan nabi. Tidak diragukan lagi, nabi adalah
orang yang paling memahami maksud Kitab suci. Dia dapat menafsirkan ayat-ayat
dengan benar dan bertindak sesuai dengan perintahnya. Selain itu, dia seorang
petunjuk utama bagi umat Islam. Nabi akan dihubungi oleh umat Islam untuk
menanyakan berbagai masalah dan mencari solusi untuk hampir semua masalah.
Mereka menunggu wahyu dari Allah, atau Nabi memberikan petunjuk langsung
kepada mereka. Dia secara hati-hati mencatat apa yang dia katakan atau lakukan,
dan dia menghafal apa yang dia katakan untuk disampaikan kepada orang lain.2

1
Syuhudi Ismail, Perkembangan Pemikiran Hadis, (Yogyakarta: LPPI
UMY, 1994), h. 3
2
Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, (Yogyakarta: LKiS,
2003), h. 26-27

1
Adanya beberapa kecenderungan yang mewabah di dunia Islam dan sejarah
panjang pembukuan hadis menyebabkan fakta bahwa ada pemalsuan hadis.
Karena keadaan objektif ini, para ulama muslim terdorong untuk melakukan
penelitian untuk mengidentifikasi dan membersihkan hadis dari segala bentuk
penipuan. Pemalsuan hadis baru terjadi pada zaman khalifah Ali bin abi Thalib
(w.40H/661M). Faktor-faktor penting yang melatarbelakangi pentingnya
penelitian hadis termasuk yang disebutkan di atas.

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Hadits

2. Sinonim Hadits

3. Perbedaan Hadits Nabawi, Qudsi dan Al-Qur`an

4. Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur`an

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian hadits

2. Untuk mengetahui sinonim dari hadits

3. Untuk mengetahui perbedaan hadits nabawi, qudsi dan Al-qur`an

4. Untuk mengetahui fungsi hadits terhadap Al-qur`an

2
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadits
1. Hadits dalam pengertian ahli hadits

“Semua yang diwariskan dari Nabi berupa perkataan, perbuatan, taqrir


(pengakuan), atau sifat; baik sifat fisikal maupun moral, ataupun sirah, baik
sebelum menjadi nabi atau sesudahnya.”

Apa yang dirumuskan oleh tokoh analisis hadits modern, al-Khathib, ini
merupakan suatu kristalisasi dari berbagai macam redaksi yang digunakan dalam
mendefinisikan hadits. Pengertian ini dapat dijadikan acuan, bahwa demikianlah
pemahaman mayoritas ahli hadits dalam memaknai kata “hadits” dalam dimensi
terminologisnya.3

2. Hadits dalam pengertian ahli ushul

Bagi ulama ushul, maksud hadits yang dikemukakan oleh ulama hadits
adalah memang hadits. Tetapi yang terpenting bagi mereka adalah hadits apa saja
yang mengikat umat sebagai konsekuensi syahadat. Ketika Allah memerintahkan
mengikuti Rasulullah, apakah harus mengikuti semua hadits yang ada dalam kitab
hadits atau sebagiannya. Karena itu, rumusan makna hadits dalam pemmaknaan
ulama ushul redaksinya lebih panjang, namun maknanya lebih sempit dan
terbatas. Dalam rumusan ulama ushul ada penambahan kata sebagaimana terlihat
dalam salah satu redaksi berikut.

“Semua yang bersumber dari Nabi berupa perkataan, perbuatan, atau taqrir
yang dapat dijadikan dalil hukum agama.”

Definisi diatas mengandung dua makna. Pertama, bahwa yang dimaksud


hadits adalah hadits Muhammad setelah diangkat menjadi nabi. Sementara hadits
yang bersumber dari beliau sebelum diangkat menjadi nabi, tidak termasuk dalam
makna hadits. Kedua, ada batasan bahwa yang digolongkan hadits adalah yang

3
Daniel Djuned, Ilmu Hadis, (Jakarta: Erlangga, 2010), h. 75

3
dapat dijadikan dasar hukum agama, atau dalam bahasa yang lebih luas berkaitan
dengan risalah.4

B. Sinonim hadits
1. Sunnah

Bila kata sunnah disebutkan dalam masalah yang berhubungan dengan


hukum syara`, maka yang dimaksudkan tiada lain kecuali segala sesuatu yang
diperintahkan oleh Rasulullah SAW, baik berupa perkataan, perbuatan maupun
ketetapannya. Dan apabila dalam dalil hukum syara` disebutkan al- kitab dan al-
sunnah, berarti yang dimaksudkan adalah al-qur`an dan hadits.

Sedang sunnah menurut istilah, dikalangan ulama terdapat perbedaan


pendapat. Hal ini disebabkan karena perbedaan latar belakang, persepsi, dan sudut
pandang masing-masing terhadap diri Rasulullah SAW.

Pengertian sunnah menurut ahli hadits adalah Segala yang bersumber dari
Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, perangai, budi pekerti,
perjalanan hidup, baik sebelum diangkat menjadi rasul maupun sesudahnya.

Jadi dengan definisi tersebut, para ahli hadits menyamakan antara sunnah
dengan hadits. Tampaknya para ahli hadits membawa makna sunnah ini kepada
seluruh kebiasaan Nabi SAW, baik yang melahirkan hukum syara` maupun tidak.
Hal ini terlihat dari definisi yang diberikan mencakup tradisi Nabi sebelum masa
terutusnya sebagai Rasul.

Akan tetapi bagi ulama ushuliyyin jika antara sunnah dan hadis dibedakan,
maka bagi mereka, hadits adalah sebatas sunnah qauliyah-nya Nabi SAW saja. Ini
berarti, sunnah cakupannya lebih luas dibanding hadits, sebab sunnah mencakup
perkataan, perbuatan, dan penetapan (taqrir) Rasul, yang bisa dijadikan dalil
hukum syar`i.

Mereka mendefinisikan sunnah sebagaimana di atas, karena mereka


memandang diri rasul sebagai uswatun hasanah (contoh atau tauladan yang baik).
Oleh karenanya, mereka menerima secara utuh segala yang diberikan tentang diri
4
Ibid, h. 77

4
Rasulullah SAW tanpa membedakan apakah yang diberikan itu berhubungan
dengan hukum syara` atau tidak.

2. Khabar

Khabar menurut bahasa serupa dengan makna hadits, yakni segala berita
yang disampaikan oleh seseorang kepada orang lain. Sedang pengertian khabar
menurut istilah, antara satu ulama dengan ulama lainnya beebeda pendapat.
Menurut ulama ahli hadits sama artinya dengan hadits, keduanya dapat dipakai
untuk sesuatu marfu`,mauquf,dan maqthu`, mencakup segala yang datang dari
Nabi SAW, sahabat dan tabi`in, baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapannya.

Ulama lain mengatakan bahwa khabar adalah sesuatu yang datang selain
dari Nabi SAW, sedang yang datang dari Nabi SAW disebut hadits. Ada juga
yang mengatakan bahwa hadits lebih umum dan lebih luas daripada khabar,
sehingga tiap hadits dapat dikatakan khabar, tetapi tidak setiap khabar dikatakan
hadits.

3. Atsar

Adapun atsar menurut pendekatan bahasa sama pula artinya dengan


khabar, hadits, dan sunnah.

Sedangkan atsar menurut istilah terjadi perbedaan pendapat diantara


pendapat para ulama. “Yaitu segala sesuatu yang diriwayatkan dari sahabat, dan
boleh juga disandarkan pada perkataan Nabi SAW.

Jumhur ulama mengatakan bahwa atsar sama dengan khabar, yaitu


ssesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, sahabat, dan tabi`in. Sedangkan
menurut ulama khurasan bahwa atsar untuk yang mauquf dan khabar untuk yang
marfu`. Dari keempat pengertian tentang hadits, sunnah, khabar, dan atsar
sebagaimana diuraikan di atas, dapat ditarik satu pengertian bahwa keempat istilah
tersebut pada dasarnya memiliki kesamaan maksud, yaitu segala sesuatu yang
bersumber dari Nabi SAW, baik itu perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya.

5
C. Perbedaan Hadits Nabawi, Qudsi, dan Al-Qur`an
Hadits Nabawi dianggap sebagai bagian penting dari sastra Islam dan
sangat penting untuk mendapatkan pemahaman yang akurat tentang ajaran dan
tindakan Nabi Muhammad. Tradisi-tradisi ini memberikan panduan tentang
berbagai aspek kehidupan, seperti praktik agama, moral, dan perilaku sosial.
Sebaliknya, Hadith Qudsi memiliki posisi khusus dalam sastra Islam
meskipun juga dikaitkan dengan Nabi Muhammad. Ini mencakup pernyataan dan
tindakan yang diilhami oleh Allah, tetapi tidak termasuk dalam Al-Qur'an secara
langsung. Hadis Qudsi dapat dianggap sebagai jembatan antara kata-kata dan
perbuatan Nabi dan wahyu ilahi Al-Qur'an. Cerita suci ini dianggap memiliki
otoritas yang lebih tinggi daripada hadits biasa karena mereka berisi kata-kata
Allah, meskipun disampaikan melalui Nabi.
Al-Qur'an adalah kitab suci Islam yang dianggap sebagai firman Allah
sebagaimana diwahyukan kepada Nabi Muhammad dan berfungsi sebagai sumber
utama panduan bagi kaum Muslim di seluruh dunia. Al-Qur'an mencakup
berbagai topik, seperti teologi, moral, prinsip-prinsip hukum, dan narasi sejarah.
Dianggap sebagai sumber utama ajaran Islam, ia berfungsi sebagai dasar iman dan
tindakan Islam.
Mari kita lihat apa yang membedakan ketiga jenis literatur ini. Perbedaan pertama
adalah seberapa otoritas mereka. Sementara Al-Qur'an adalah firman Allah yang
tak terbantahkan dan tak dapat diubah, Hadith Nabawi dan Hadith Qudsi dianggap
sebagai sumber petunjuk sekunder. Hadith Nabawi mengungkapkan tindakan dan
ajaran Nabi Muhammad, sedangkan Hadith Qudsi dipenuhi dengan inspirasi ilahi
dan menawarkan wawasan tambahan tentang pesan-pesan Allah.
Tingkat konservasi teks juga membedakan sumber-sumber ini satu sama
lain. Sejak wahyu-Nya, Al-Qur'an telah dijaga dengan hati-hati dan masih dapat
diakses dalam bentuk aslinya. Sebaliknya, Hadith Qudsi dan Hadith Nabawi telah
melalui proses dokumentasi dan otentikasi yang jauh lebih luas dan rumit.
Kompilasi dan otentikasi hadits melibatkan menilai rantai narator hadits dan
seberapa sesuai mereka dengan ajaran Islam. Ini sangat mempengaruhi legitimasi
hadits.

6
Sebagai kesimpulan, memahami bagaimana Al-Qur'an, Hadith Nabawi,
dan Hadith Qudsi berbeda, sangat penting untuk memahami berbagai sifat sastra
Islam. Al-Qur'an adalah sumber utama ajaran Islam, tetapi Hadith Nabawi dan
Hadith Qudsi memberikan informasi tambahan tentang kehidupan dan ajaran Nabi
Muhammad. Penghargaan dan interpretasi yang lebih baik diperoleh dengan
memahami tingkat otoritas yang berbeda dan cara mereka mempertahankan
otoritas.

D. Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur`an


Al-Qur`an dan hadis sebagai pedoman hidup, sumber hukum dan ajaran
dalam islam, antara satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Keduanya
merupakan satu kesatuan. Al-Qur`an sebagai sumber pertama dan utama banyak
memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global. Oleh karena itu kehadiran
hadits, sebagai sumber ajaran kedua tampil untuk menjelaskan (bayan) keumuman
isi Al-Qur`an tersebut.

1. Bayan at-Taqrir

Bayan at-taqrir disebut juga dengan bayan al-ta`kid dan bayan al-itsbat.
Yang dimaksud dengan bayan ini, ialah menetapkan dan memperkuat apa yang
telah diterangkan di dalam Al-qur`an. Fungsi hadits dalam hal ini hanya
memperkokoh isi kandungan Al-Qur`an.

Abu Hamadah menyebut bayan at-taqrir atau bayan ta`kid ini dengan
istilah bayan al-muwafiq li al-nas al-kitab. Hal ini dikarenakan munculnya hadits-
hadits itu sealur (sesuai) dengan nas Al-qur`an.

2. Bayan at-Tafsir

Yang dimaksud dengan bayan at-tafsir adalah bahwa kehadiran hadits


berfungsi untuk memberikan rincian dan tasiran terhadap ayat-ayat Al-Qur`an
yang masih bersifat global (mujmal), memberikan persyaratan/batasan (taqyid)
ayat-ayat Al-qur`an yang bersifat mutlak, dan mengkhususkan (takhsish) terhadap
ayat-ayat Al-Qur`an yang masih bersifat umum. Di antara contoh tentang ayat-
ayat Al-Qur`an yang masih mujmal adalah perintah shalat, puasa, zakat dll.

7
3. Bayan at-Tasyri`

Yang dimaksud dengan bayan at-tasyri` adalah mewujudkan suatu hukum


atau ajaran-ajaran yang tidak di dapati dalam Al-Qur`an. Hadits Rasul SAW
dalam segala bentuknya (baik yang qauli, fi`li maupun taqriri) berusaha
menunjukkan suatu kepastian hukum terhadap berbagai persoalan yang muncul,
yang tidak terdapat dalam Al-Qur`an. Ia berusaha menjawab pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan oleh para sahabat atau yang tidak diketahuinya, dengan
menunjukkan bimbingan dan menjelaskan duduk persoalannya.

Ibnu ak-Qayyim berkata, bahwa hadits-hadits Rasul SAW yang berupa


tambahan terhadap Al-Qur`an, merupakan kewajiban atau aturan yang harus
ditaati, tidak boleh menolak atau mengingkarinya, dan ini bukanlah sikap (Rasuk
SAW) mendahului Al-Qur`an melainkan semata-mata karena perintah-Nya.

4. Bayan Al-Nasakh

Ketiga bayan yang pertama telah diuraikan di atas disepakati oleh para
ulama, meskipun untuk bayan yang ketiga ada sedikit perbedaan yang terutama
menyangkut definisinya saja.

Untuk bayan jenis keempat ini, terjadi perbedaan pendapat yang sangat
tajam. Ada yang mengakui dan menerima fungsi hadits sebagai nasikh terhadap
sebagian hukum Al-Qur`an dan ada juga yang menolaknya.

Kata nasakh secara bahasa berarti ibthal (membatalkan), izalah


(menghilangkan), tahwil (memindahkan), dan taghyir (mengubah). Para ulama
mengartikan bayan al-nasakh ini banyak yang melalui pendekatan bahasa,
sehingga di antara mereka terjadi perbedaan pendapat antara ulama mutaakhirin
dengan ulama mutaqaddimin. Menurut pendapat yang dapat dipegang dari ulama
mutaqaddimin, bahwa terjadinya nasakh ini karena adanya dalil syara` yang
mengubah suatu hukum(ketentuan) meskipun jelas, karena telah berakhir masa
berlakunya serta tidak bisa diamalkan lagi, dan syar`I (pembuat syari`at)
menurunkan ayat tersebut tidak diberlakukan untuk selama-lamanya (temporal).

8
Jadi, intinya ketentuan yang datang kemudian tersebut menghapus
ketentuan yang datang terdahulu, karena yang terakhir dipandang lebih luas dan
lebih cocok dengan nuansanya. Ketidakberlakuan suatu hukum harus memenuhi
syarat-syaratnya yang ditentukan, terutama syarat/ketentuan adanya naskh dan
mansukh. Pada akhirnya, hadits sebagai ketentuan yang datang kemudian daripada
Al-Qur`an dapat menghapus ketentuan dan isi kandungan Al-Qur`an. Demikian
menurut pendapat ulama yang yang menganggap adanya fungsi bayan al-nasakh.

BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Hubungan antara Quran dan hadis sangat penting dalam pemahaman dan
praktik Islam. Quran, yang merupakan wahyu Allah SWT, adalah sumber utama

9
ajaran dalam agama Islam. Dalam Quran, terdapat petunjuk-petunjuk tentang tata
cara beribadah, hukum-hukum agama, moralitas, etika, dan berbagai aspek
kehidupan lainnya.

Namun demikian, Quran tidak memberikan penjelasan rinci tentang semua


aspek kehidupan, dan dalam beberapa hal, terdapat kebutuhan akan penjelasan
tambahan. Di sinilah hadis memainkan peran penting.

Secara umum, fungsi hadis terhadap Al-Qur'an adalah sebagai sumber


tambahan untuk memperjelas dan mengklarifikasi pengertian dan implementasi
ajaran Al-Qur'an. Hadis memberikan konteks sejarah, interpretasi, penjelasan
praktis, dan contoh nyata untuk memahami pesan-pesan Al-Qur'an yang mungkin
terdapat dalam bentuk yang lebih abstrak atau tersembunyi.

Berdasarkan analisis yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa sinonim dari


istilah "hadis" adalah "sunnah", "khabar", dan "atsar". Istilah-istilah ini memiliki
makna yang sama dalam konteks literatur keagamaan Islam.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa perbedaan utama antara


Hadis Nabawi, Hadis Qudsi, dan Al-Qur'an terletak pada sumber wahyunya.
Hadis Nabawi adalah perkataan dan perbuatan Rasulullah Muhammad SAW,
Hadis Qudsi adalah perkataan Allah SWT yang disampaikan melalui Nabi
Muhammad SAW, dan Al-Qur'an adalah wahyu langsung dari Allah SWT yang
diterima oleh Nabi Muhammad SAW secara bertahap. Semua tiga sumber ini
memiliki kepentingan dan kedudukan yang berbeda dalam pengembangan
pemahaman dan praktik agama Islam.

DAFTAR PUSTAKA
Djuned, Daniel. Ilmu Hadis. Jakarta: Erlangga. 2010

Hadi, Saeful. Panduan Ilmu Memahami Tentang Hadits Secara Komprehensif.


Yogyakarta: SABDA MEDIA. t.t

Jumantoro, Totok. Kamus Ilmu Hadis. Jakarta: PT Bumi Aksara. 2007

10
Majid Khon, Abdul. Pemikiran Modern Dalam Sunnah. Jakarta:
PRENADAMEDIA GROUP. 2015

Majid Khon, Abdul. Takhrij dan Metode Memahami Hadis. Jakarta: AMZAH.
2014

Sulaim Ibnu, Irfan. Himpuna Hadis Qudsi. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
2009

Suparta, Munzier. Ilmu Hadis (Edisi Revisi). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.


2013

11

Anda mungkin juga menyukai