Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


TENTANG
PENGERTIAN HADIST
DAN PEMBAGIANNYA

Surahman Rusli 1219110016

STMIK BINA SARANA GLOBAL


2019

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wr wb

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak
akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-
natikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu
berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah sebagai Tugas Pendidikan Agama dengan judul :

“PENGERTIAN HADIST DAN PEMBAGIANNYA”.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta
saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah
yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis
mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .................................................................................................................... 2

Daftar Isi ............................................................................................................................. 3

Bab I PENDAHULUAN..................................................................................................... 4

A. Latar Belakang Masalah ......................................................................................... 4

B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 4

Bab II PEMBAHASAN ...................................................................................................... 5

A. Pengertian Hadist .................................................................................................... 5

B. Awal Terjadinya Hadist .......................................................................................... 5

C. Macam-Macam Hadist Dan Pembagiannya............................................................ 6

D. Dari Segi Kualitas Sanad Dan Matan Hadist .......................................................... 9

E. Dari Segi Kedudukan Dalam Hujjah ...................................................................... 10


F. Dari Segi Perkembangan Sanadnya ........................................................................ 11
G. Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur’an ....................................................................... 12

Bab III PENUTUP .............................................................................................................. 15

A. Kesimpulan ............................................................................................................. 15

B. Saran ....................................................................................................................... 17

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Roda kehidupan terus berputar tanpa bisa diulang. Banyak kendala atau masalah yang
dihadapi oleh umat islam mulai zaman dulu hingga sekarang baik yang berhubungan dengan
kehidupan sehari-hari atau yang lainnya, yang terkadang membuat orang hilang kendali yang
akhirnya memilih jalan pintas tanpa berfikir panjang bahwa manusia itu diberi pegangan hidup
untuk menjalani kehidupan yang lebih baik.
Untuk itu dibutuhkan sumber rujukan hukum dalam menyelesaikan masalah yaitu Al-
Qur’an dan hadits, sebab itu seluruh umat islam sepakat menjadikan hadits sebagai sumber
hukum yang kedua setelah Al-Qur’an, yang digunakan untuk memecahkan masalah atau
problematika kehidupan yang mereka hadapi. kemugkinan besar tanpa kita kembalikan
masalah tersebut pada sumber yang telah menjadi pegangan (Al-Qur’an & hadits) maka akan
kesulitan dalam menyelesaikannya.
Untuk itu hadits sebagai pegangan atau pedoman yang memegang peranan penting
dalam kelangsungan hidup tidak boleh ditinggalkan.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan tersebut, maka timbulah beberapa
rumusan masalah sebagai berikut:
 Pengertian Hadits
 Awal terjadinya Hadits
 Macam-macam Hadits dan pembagiannya
 Dari Segi Kualitas Sanad Dan Matan Hadist
 Dari Segi Kedudukan Dalam Hujjah
 Dari Segi Perkembangan Sanadnya
 Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur’an

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN HADIST

Definisi Umum Hadits


Pengertian hadits adalah segala bentuk perkataan, perbuatan, persetujuan serta beberapa
ketetapan dari Rasulullah SAW yang dijadikan sebagai suatu dasar ketetapan dalam hukum
agama Islam.

Pengertian Hadits Menurut Etimologi


Secara harfiah, hadits berarti perkataan atau percakapan. Sedangkan menurut terminologi
dalam agama Islam, hadits merupakan ketetapan dan hukum dalam agama Islam yang berasal
dari perkataan, perbuatan, berikut ketetapan dan juga persetujuan dari Rasulullah SAW. Hadits
termasuk salah satu sumber hukum dalam Islam selain Al-qur’an, ij’ma dan juga qiyas.

Definisi Hadits Menurut Ahli


Menurut ahli hadits diantaranya adalah Al Hafidz dalam Syarh Al bukhary dan Al Hafizh dari
Shakawu, hadits adalah segala ucapan, perbuatan, dan juga keadaan dari Nabi Muhammad
SAW termasuk didalamnya segala macam keadaan beliau yang diriwayatkan dalam sejarah
baik itu tentang kelahiran beliau, tempat tempat tertentu dan peristiwa peristiwa tertentu yang
berkaitan dengan itu, baik sebelum dibangkitkan sebagai Rasulullah maupun setelahnya.

B. Awal Terjadinya Hadist

Awal Terjadinya Hadits

Awal terjadinya hadits menimbulkan kontroversi dikalangan ulama’, diantaranya ada


yang berpendapat bahwa hadits nabi mulai terjadi pada masa kenabian (An-Nubuwah),
termasuk sifat-sifat luhur nabi yang terlihat sebelum masa kenabian juga menjadi panutan, tapi
kegiatan nabi sebelum masa kenabian yang tidak dicontohkan lagi pada masa kenabian tidak
menjadi panutan. Misal kegiatan nabi menyepi di gua hiro’. Sebagian ulama’ lagi mengatakan
bahwa hadits nabi teleh terjadi sebelum dan dalam masa kenabian.

5
Kemudian dari kedua pendapat tersebut dapat dilihat bahwa pendapat yang satulah yang lebih
kuat yaitu terjadinya hadits nabi mulai dari masa kenabian dengan alasan :

1. Perintah Allah kepada orang-orang yang beriman untuk meneladani dan menaati
Muhammad sebagai rosul Allah, yakni ketika Muhammad dalam masa kenabian.
2. Sifat-sifat luhur Muhammad yang tampak sebelum masa kenabian tidak harus
disimpulkan bahwa perintah-perintah mengikuti jejak-jejaknya berlaku sejak sebelum
kanabian.
3. Kegiatan nabi sebelum masa kenabian ada yang tidak diamalkan lagi pada masa
kenabian.Misal, kegiatan menyepi di gua hiro’, kegiatan tersebut tidak untuk diteladani
oleh umat Islam,sekiranya untuk diteladani niscaya nabi telah memberikan petunjuk
kepada para sohabat untuk melakukannya.Walaupun demikian berita kegiatan menyepi
itu merupakan bagian hadits nabi juga.
4. Khobar yang berkaitan dengan diri nabi Muhammad banyak termaktub dalam kitab-
kitab sejarah tafsir dan hadits.

C. Macam-Macam Hadits dan Pembagiannya


Hadits ditinjau dari segi kuantitasnya dibagi menjadi dua yaitu hadits Mutawatir dan
hadits Ahad.

A. Hadits Mutawattir

Hadits Mutawatir menurut bahasa adalah beriring-iringan atau berturut-turut antara


yang satu dengan yang lainnya, sedang menurut istilah artinya hadits yang diriwayatkan oleh
sejumlah rowi, yang menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut
seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya tidak terdapat kejanggalan jumlah pada tiap
tingkatan.
Hadits Mutawatir ini bersandar pada panca indra, biarpun tidak melihat orang yang
menyampaikannya. Misal, hanya lewat berita lisan itu tidak masalah, asal yang menyampaikan
meyakinkan kebenaran hadits tersebut.

6
Syarat-syarat hadits Mutawatir adalah :

1. Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan (daya
tangkap) pancaindera. Artinya bahwa berita yang disampaikan itu benar-benar merupakan hasil
pemikiran semata atau rangkuman dari peristiwa-peristiwa yang lain dan yang semacamnya,
dalam arti tidak merupakan hasil tanggapan panca indera (tidak didengar atau dilihat) sendiri
oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut hadits mutawatir walaupun rawi yang
memberikan itu mencapai jumlah yang banyak.

2. Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk
berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak
memungkinkan bersepakat dusta.

 Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan


jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim.
 Ashabus Syafi'i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para
Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.
 Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan
ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang
dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat 65).
 Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut
diqiyaskan dengan firman Allah: "Wahai nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang
mengikutimu (menjadi penolongmu)." (QS. Al-Anfal: 64).

3. Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama maupun
thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syarat-syarat seperti ini tidak banyak
jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutawatir tidak
mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah
berpendapat bahwa mutawatir itu memang ada, tetapi jumlahnya hanya sedikit.

Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas tidak benar. Ibnu Hajar
mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan hadits, kelakuan dan sifat-sifat
perawi yang dapat memustahilkan hadits mutawatir itu banyak jumlahnya sebagaimana
dikemukakan dalam kitab-kitab yang masyhur bahkan ada beberapa kitab yang khusus

7
menghimpun hadits-hadits mutawatir, seperti Al-Azharu al-Mutanatsirah fi al-Akhabri al-
Mutawatirah, susunan Imam As-Suyuti(911 H), Nadmu al-Mutasir Mina al-Haditsi al-
Mutawatir, susunan Muhammad Abdullah bin Jafar Al-Khattani (1345 H).

B. Hadits Ahad

Hadits yang tidak meningkat pada drajat mutawatir, hadits yang hanya diriwayatkan oleh satu,
dua atau lebih seorang perowi yang jumlahnya tidak memenuhi persyaratan hadits Masyhur
dan Mutawatir.
Adapun hadits ini dibagi menjadi tiga :
1) Hadits Masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok perowi tetapi bilangan
atau jumlahnya tidak sampai ukuran bilangan Mutawatir.
2) Hadits Aziz adalah hadits yang hanya diriwayatkan oleh dua orang perowi.
3) Hadits Ghoib adalah hadits yang hanya diriwayatkan oleh satu orang perowi.

Faedah Hadis Ahad

Para ulama sependapat bahwa hadis ahad tidak Qat'i, sebagaimana hadis mutawatir. Hadis ahad
hanya memfaedahkan zan, oleh karena itu masih perlu diadakan penyelidikan sehingga dapat
diketahui maqbul dan mardudnya. Dan kalau temyata telah diketahui bahwa, hadis tersebut
tidak tertolak, dalam arti maqbul, maka mereka sepakat bahwa hadis tersebut wajib untuk
diamalkan sebagaimana hadis mutawatir. Bahwa neraca yang harus kita pergunakan dalam
berhujjah dengan suatu hadis, ialah memeriksa "Apakah hadis tersebut maqbul atau mardud".
Kalau maqbul, boleh kita berhujjah dengannya. Kalau mardud, kita tidak dapat iktiqatkan dan
tidak dapat pula kita mengamalkannya.
Kemudian apabila telah nyata bahwa hadis itu (sahih, atau hasan), hendaklah kita periksa
apakah ada muaridnya yang berlawanan dengan maknanya. Jika terlepas dari perlawanan maka
hadis itu kita sebut muhkam. Jika ada, kita kumpulkan antara keduanya, atau kita takwilkan
salah satunya supaya tidak bertentangan lagi maknanya. Kalau tak mungkin dikumpulkan, tapi
diketahui mana yang terkemudian, maka yang terdahulu kita tinggalkan, kita pandang
mansukh, yang terkemudian kita ambil, kita pandang nasikh.
Jika kita tidak mengetahui sejarahnya, kita usahakan menarjihkan salah satunya. Kita ambil
yang rajih, kita tinggalkan yang marjuh. Jika tak dapat ditarjihkan salah satunya,
bertawaqquflah kita dahulu.

8
Walhasil, barulah dapat kita dapat berhujjah dengan suatu hadis, sesudah nyata sahih atau
hasannya, baik ia muhkam, atau mukhtakif adalah jika dia tidak marjuh dan tidak mansukh.

D. DARI SEGI KUALITAS SANAD DAN MATAN HADIST


Penentuan tinggi rendahnya tingkatan suatu hadis bergantung kepada tiga hal, yaitu jumlah
rawi, keadaan (kualitas) rawi, dan keadaan matan. Ketiga hal tersebut menetukan tinggi-
rendahnya suatu hadis. Bila dua buah hadis menentukan keadaan rawi dan keadaan matan yang
sama, maka hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi lebih tinggi tingkatannya dari hadis
yang diriwayatkan oleh satu orang rawi; dan hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi lebih
tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi.
Jika dua buah hadis memiliki keadaan matan jumlah rawi (sanad) yang sama, maka hadis yang
diriwayatkan oleh rawi yang kuat ingatannya, lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang
diriwayatkan oleh rawi yang lemah tingkatannya, dan hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang
jujur lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh rawi pendusta.

Hadits ditinjau dari segi kualitas dibagi menjadi tiga yaitu hadits Shoheh, hadits Hasan
dan hadits Dhoif.

 Hadits Shoheh

Yang dinamakan hadits Shoheh adalah hadits yang bersambung sanadnya,


diriwayatkan oleh perowi yang adil lagi dhobid, tidak cacat dan tidak tercela.
Syarat-syarat Hadits Shoheh yaitu :

 Sanadnya bersambung.
 Perowinya adil.
 Perowinya dhobid.
 Tidak syat.
 Tidak berillat.

 Hadits Hasan
adalah hadits yang tinkatannya dibawah hadits Shoheh, yang perowinya sederajad hadits
Shoheh.

9
 Hadits Dhoif
Hadits Dhoif adalah hadits yang tidak Shoheh dan tidak hasan, sebab diriwayatkan oleh
orang-orang yang tidak memenuhi persyaratan sebagai perowi hadits atau perowinya tidak
mencapai tingkatan sebagai perowi hadits Hasan.

E. DARI SEGI KEDUDUKAN DALAM HUJJAH


Sebagaimana telah dijelaskan bahwa suatu hadis perlu dilakukan pemeriksaan, penyelidikan
dan pemhahasan yang seksama khususnya hadis ahad, karena hadis tersebut tidak mencapai
derajat mutawatir. Memang berbeda dengan hadis mutawatir yang memfaedahkan ilmu darury,
yaitu suatu keharusan menerima secara bulat. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, hadis
ahad ahad ditinjau dari segi dapat diterima atau tidaknya terbagi menjadi 2 (dua) macam yaitu
hadis maqbul dan hadis mardud.

a. Hadis Maqbul
Maqbul menurut bahasa berarti yang diambil, yang diterima, yang dibenarkan. Jumhur ulama
berpendapat bahwa hadis maqbul ini wajib diterima. Sedangkan yang temasuk dalam kategori
hadis maqbul adalah:
 Hadis sahih, baik yang lizatihu maupun yang ligairihi.
 Hadis hasan baik yang lizatihi maupun yang ligairihi.
Kedua macam hadis tersebut di atas adalah hadis-hadis maqbul yang wajib diterima, namun
demikian para muhaddisin dan juga ulama yang lain sependapat bahwa tidak semua hadis yang
maqbul itu harus diamalkan, mengingat dalam kenyataan terdapat hadis-hadis yang telah
dihapuskan hukumnya disebabkan datangnya hukum atau ketentuan barn yangjugaditetapkan
oleh hadis Rasulullah SAW.
Adapun hadis maqbul yang datang kemudian (yang menghapuskan)disebut dengan hadis
nasikh, sedangkan yang datang terdahulu (yang dihapus) disebut dengan hadis mansukh.
Disamping itu, terdapat pula hadis-hadis maqbul yang maknanya berlawanan antara satu
dengan yang lainnya yang lebih rajih (lebih kuat periwayatannya). Dalam hal ini hadis yang
kuat disebut dengan hadis rajih, sedangkan yang lemah disebut dengan hadis marjuh.
Apabila ditinjau dari segi kemakmurannya, maka hadis maqbul dapat dibagi menjadi 2 (dua)
yakni hadis maqbulun bihi dan hadis gairu ma'mulin bihi.

10
1. Hadis maqmulun bihi
Hadis maqmulun bihi adalah hadis yang dapat diamalkan apabila yang termasuk hadis ini
ialah:
a. Hadis muhkam, yaitu hadis yang tidak mempunyai perlawanan
b. Hadis mukhtalif, yaitu dua hadis yang pada lahimya saling berlawanan yang mungkin
dikompromikan dengan mudah
c. Hadis nasih
d. Hadis rajih.
2. Hadis gairo makmulinbihi
Hadis gairu makmulinbihi ialah hadis maqbul yang tidak dapat diamalkan. Di antara hadis-
hadis maqbul yang tidak dapat diamalkan ialah:
a. Hadis mutawaqaf, yaitu hadis muthalif yang tidak dapat dikompromikan, tidak dapat
ditansihkan dan tidak pula dapat ditarjihkan
b. Hadis mansuh
c. Hadis marjuh.
B. Hadis Mardud
Mardud menurut bahasa berarti yang ditolak; yang tidak diterima.
Sebagaimana telah diterangkan di atas bahwa jumhur ulama mewajibkan untuk menerima
hadis-hadis maqbul, maka sebaliknya setiap hadis yang mardud tidak boleh diterima dan tidak
boleh diamalkan (harus ditolak).
Jadi, hadis mardud adalah semua hadis yang telah dihukumi daif.

F. DARI SEGI PERKEMBANGAN SANADNYA


1. Hadis Muttasil

Kata-kata "hadis yang didengar olehnya" mencakup pula hadis-hadis yang diriwayatkan
melalui cara lain yang telah diakui, seperti Al-Arz, Al-Mukatabah, dan Al-Ijasah, Al-Sahihah.
Dalam definisi di atas digunakan kata-kata "yang didengar" karena cara penerimaan demikian
ialah cara periwayatan yang paling banyak ditempuh. Mereka menjelaskan, sehubungan
dengan hadis Mu 'an 'an, bahwa para ulama Mutaakhirin menggunakan kata 'an dalam
menyampaikan hadis yang diterima melalui Al-Ijasah dan yang demikian tidaklah menafikan
hadis yang bersangkutan dari batas Hadis Muttasil. Adapun hadis Maqtu yakni hadis yang

11
disandarkan kepada tabi'in, bila sanadnya bersambung. Tidak diperselisihkan bahwa hadis
maqtu termasuk jenis Hadis muttasil; tetapi jumhur mudaddisin berkata, "Hadis maqtu tidak
dapat disebut hadis mausul atau muttasil secara mutlak, melainkan hendaknya disertai kata-
kata yang membedakannya dengan Hadis mausul sebelumnya. Oleh karena itu, mestinya
dikatakan "Hadis ini bersambung sampai kepada Sayid bin Al-Musayyab dan sebagainya ".
Sebagian ulama membolehkan penyebutan hadis maqtu sebagai hadis mausul atau muttasil
secara mutlak tanpa batasan, diikutkan kepada kedua hadis mausul di atas. Seakan-akan
pendapat yang dikemukakan jumhur, yaitu hadis yang berpangkal pada tabi'in dinamai hadis
maqtu. Secara etimologis hadis maqtu' adalah lawan Hadis mausul. Oleh karena itu, mereka
membedakannya dengan menyadarkannya kepada tabi'in.

2. Hadis Munqati'
Kata Al-Inqita' (terputus) berasal dari kata Al-Qat (pemotongan) yang menurut bahasa berarti
memisahkan sesuatu dari yang lain. Dan kata inqita' merupakan akibatnya, yakni terputus. Kata
inqita' adalah lawan kata ittisal (bersambung) dan Al-Wasl. Yang dimaksud di sini adalah
gugurnya sebagaian rawi pada rangkaian sanad. Para ulama berbeda pendapat dalam
memahami istilah ini dengan perbedaan yang tajam. Menurut kami, hal ini dikarenakan
berkembangnya pemakaian istilah tersebut dari masa ulama mutaqaddimin sampai masa ulama
mutaakhirin.
Definisi Munqati' yang paling utama adalah definisi yang dikemukakan oleh Al-Hafizh Ibnu
Abdil Barr. Hadis yang tidak bersambung sanadnya adalah hadis yang pada sanadnya gugur
seorang atau beberapa orang rawi pada tingkatan (tabaqat) mana pun. Definisi ini menjadikan
hadis munqati' berbeda dengan hadis-hadis yang terputus sanadnya yang lain. Dengan
ketentuan "Salah seorang rawinya" defnisi ini tidak mencakup hadis mu'dal; dengan kata-kata,
"Sebelum sahabat" definisi ini tidak mencakup hadis mursal; dan dengan penjelasan kata-kata
"Tidak pada awal sanad" definisi ini tidak mencakup hadis muallaq.

G. FUNGSI HADITS TERHADAP AL-QUR’AN

Al-Quran menekankan bahwa Rasul SAW. berfungsi menjelaskan maksud firman-


firman Allah (QS 16:44). Penjelasan atau bayan tersebut dalam pandangan sekian banyak
ulama beraneka ragam bentuk dan sifat serta fungsinya. Al-qur`an dan hadist merupakan dua
sumber yang tidak bisa dipisahkan.

12
Keterkaitan keduanya tampak antara lain:
1. Hadist menguatkan hukum yang ditetapkan Al-qur`an. Di sini hadits berfungsi
memperkuat dan memperkokoh hukum yang dinyatakan oleh Al-quran. Misalnya, Al- quran
menetapkan hukum puasa, dalam firman-Nya :
Hai orang–orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang–orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” . (Q.S Al Baqarah/2:183 )
Dan hadits menguatkan kewajiban puasa tersebut:
Islam didirikan atas lima perkara : “persaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah , dan
Muhammad adalah rasulullah, mendirikan shalat , membayar zakat , puasa pada bulan
ramadhan dan naik haji ke baitullah.” (H.R Bukhari dan Muslim)
2. Hadits memberikan rincian terhadap pernyataan Al qur`an yang masih bersifat global.
Misalnya Al-qur`an menyatakan perintah shalat :
“Dan dirikanlah oleh kamu shalat dan bayarkanlah zakat” (Q.S Al Baqarah / 2:110)
shalat dalam ayat diatas masih bersifat umum, lalu hadits merincinya, misalnya shalat yang
wajib dan sunat. sabda Rasulullah SAW:
Dari Thalhah bin Ubaidillah : bahwasannya telah datang seorang Arab Badui kepada
Rasulullah SAW. dan berkata : “Wahai Rasulullah beritahukan kepadaku salat apa yang
difardukan untukku?” Rasul berkata : “Salat lima waktu, yang lainnya adalah sunnat”
(HR.Bukhari dan Muslim)
Al-qur`an tidak menjelaskan operasional shalat secara rinci, baik bacaan maupun
gerakannya. Hal ini dijelaskan secara terperinci oleh Hadits, misalnya sabda Rasulullah
SAW:“Shalatlah kamu sekalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Bukhari)
3. Hadits membatasi kemutlakan ayat Al qur`an .Misalnya Al qur`an mensyariatkan
wasiat:
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan tanda–tanda maut dan dia
meninggalkan harta yang banyak, berwasiatlah untuk ibu dan bapak karib kerabatnya secara
makruf. Ini adalah kewajiban atas orang–orang yang bertakwa,” (Q.S Al Baqarah/2:180)
Hadits memberikan batas maksimal pemberian harta melalui wasiat yaitu tidak
melampaui sepertiga dari harta yang ditinggalkan (harta warisan). Hal ini disampaikan Rasul
dalam hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Sa`ad bin Abi Waqash yang
bertanya kepada Rasulullah tentang jumlah pemberian harta melalui wasiat. Rasulullah
melarang memberikan seluruhnya, atau setengah. Beliau menyetujui memberikan sepertiga
dari jumlah harta yang ditinggalkan.

13
4. Hadits memberikan pengecualian terhadap pernyataan Al Qur`an yang bersifat
umum. Misalnya Al-qur`an mengharamkan memakan bangkai dan darah:
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, daging yang disembelih
atas nama selain Allah , yang dicekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang dimakan
binatang buas kecuali yang sempat kamu menyembelihnya , dan yang disembelih untuk
berhala. Dan diharamkan pula bagimu mengundi nasib dengan anak panah, karena itu sebagai
kefasikan. (Q.S Al Maidah /5:3)
Hadits memberikan pengecualian dengan membolehkan memakan jenis bangkai tertentu
(bangkai ikan dan belalang ) dan darah tertentu (hati dan limpa) sebagaimana sabda Rasulullah
SAW:
Dari Ibnu Umar ra.Rasulullah saw bersabda : ”Dihalalkan kepada kita dua bangkai dan
dua darah. Adapun dua bangkai adalah ikan dan belalang dan dua darah adalah hati dan
limpa.”(HR.Ahmad, Syafii`,Ibn Majah ,Baihaqi dan Daruqutni)
5. Hadits menetapkan hukum baru yang tidak ditetapkan oleh Al-qur`an. Al-qur`an bersifat
global, banyak hal yang hukumnya tidak ditetapkan secara pasti .Dalam hal ini, hadits berperan
menetapkan hukum yang belum ditetapkan oleh Al-qur`an, misalnya hadits dibawah ini:
Rasulullah melarang semua binatang yang bertaring dan semua burung yang
bercakar (HR. Muslim dari Ibn Abbas)
‘Abdul Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar, dalam bukunya Al-Sunnah fi
Makanatiha wa fi Tarikhiha menulis bahwa Sunnah atau Hadits mempunyai fungsi yang
berhubungan dengan Al-Quran dan fungsi sehubungan dengan pembinaan hukum syara’.
Dengan menunjuk kepada pendapat Al-Syafi’i dalam Al-Risalah, ‘Abdul Halim menegaskan
bahwa, dalam kaitannya dengan Al-Quran, ada dua fungsi Al-Sunnah yang tidak
diperselisihkan, yaitu apa yang diistilahkan oleh sementara ulama dengan bayan ta’kid dan
bayan tafsir. Yang pertama sekadar menguatkan atau menggarisbawahi kembali apa yang
terdapat di dalam Al-Quran, sedangkan yang kedua memperjelas, merinci, bahkan membatasi,
pengertian lahir dari ayat-ayat Al-Quran.

14
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Definisi Umum Hadits

Pengertian hadits adalah segala bentuk perkataan, perbuatan, persetujuan serta beberapa
ketetapan dari Rasulullah SAW yang dijadikan sebagai suatu dasar ketetapan dalam hukum
agama Islam.

Pengertian Hadits Menurut Etimologi

Secara harfiah, hadits berarti perkataan atau percakapan. Sedangkan menurut terminologi
dalam agama Islam, hadits merupakan ketetapan dan hukum dalam agama Islam yang berasal
dari perkataan, perbuatan, berikut ketetapan dan juga persetujuan dari Rasulullah SAW. Hadits
termasuk salah satu sumber hukum dalam Islam selain Al-qur’an, ij’ma dan juga qiyas.

Definisi Hadits Menurut Ahli

Menurut ahli hadits diantaranya adalah Al Hafidz dalam Syarh Al bukhary dan Al Hafizh dari
Shakawu, hadits adalah segala ucapan, perbuatan, dan juga keadaan dari Nabi Muhammad
SAW termasuk didalamnya segala macam keadaan beliau yang diriwayatkan dalam sejarah
baik itu tentang kelahiran beliau, tempat tempat tertentu dan peristiwa peristiwa tertentu yang
berkaitan dengan itu, baik sebelum dibangkitkan sebagai Rasulullah maupun setelahnya.

Awal Terjadinya Hadits


Awal terjadinya hadits menimbulkan kontroversi dikalangan ulama’, diantaranya ada
yang berpendapat bahwa hadits nabi mulai terjadi pada masa kenabian (An-Nubuwah),
termasuk sifat-sifat luhur nabi yang terlihat sebelum masa kenabian juga menjadi panutan, tapi
kegiatan nabi sebelum masa kenabian yang tidak dicontohkan lagi pada masa kenabian tidak
menjadi panutan. Misal kegiatan nabi menyepi di gua hiro’. Sebagian ulama’ lagi mengatakan
bahwa hadits nabi teleh terjadi sebelum dan dalam masa kenabian.

Macam-Macam Hadits dan Pembagiannya

 Hadits Mutawattir
 Hadits Ahad

15
DARI SEGI KUALITAS SANAD DAN MATAN HADIS

Penentuan tinggi rendahnya tingkatan suatu hadis bergantung kepada tiga hal, yaitu jumlah
rawi, keadaan (kualitas) rawi, dan keadaan matan. Ketiga hal tersebut menetukan tinggi-
rendahnya suatu hadis. Bila dua buah hadis menentukan keadaan rawi dan keadaan matan
yang sama, maka hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi lebih tinggi tingkatannya
dari hadis yang diriwayatkan oleh satu orang rawi; dan hadis yang diriwayatkan oleh tiga
orang rawi lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi.
Jika dua buah hadis memiliki keadaan matan jumlah rawi (sanad) yang sama, maka hadis
yang diriwayatkan oleh rawi yang kuat ingatannya, lebih tinggi tingkatannya daripada hadis
yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah tingkatannya, dan hadis yang diriwayatkan oleh
rawi yang jujur lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh rawi
pendusta.
Hadits ditinjau dari segi kualitas dibagi menjadi tiga yaitu hadits Shoheh, hadits Hasan
dan hadits Dhoif.

DARI SEGI KEDUDUKAN DALAM HUJJAH

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa suatu hadis perlu dilakukan pemeriksaan, penyelidikan
dan pemhahasan yang seksama khususnya hadis ahad, karena hadis tersebut tidak mencapai
derajat mutawatir. Memang berbeda dengan hadis mutawatir yang memfaedahkan ilmu
darury, yaitu suatu keharusan menerima secara bulat. Sehubungan dengan hal tersebut di
atas, hadis ahad ahad ditinjau dari segi dapat diterima atau tidaknya terbagi menjadi 2 (dua)
macam yaitu hadis maqbul dan hadis mardud.

FUNGSI HADITS TERHADAP AL-QUR’AN

1. Hadist menguatkan hukum yang ditetapkan Al-qur`an. Di sini hadits berfungsi


memperkuat dan memperkokoh hukum yang dinyatakan oleh Al-quran
2. Hadits memberikan rincian terhadap pernyataan Al qur`an yang masih bersifat global
3. Hadits membatasi kemutlakan ayat Al qur`an .Misalnya Al qur`an mensyariatkan
wasiat
4. Hadits memberikan pengecualian terhadap pernyataan Al Qur`an yang bersifat umum

16
5. Hadits menetapkan hukum baru yang tidak ditetapkan oleh Al-qur`an. Al-qur`an
bersifat global, banyak hal yang hukumnya tidak ditetapkan secara pasti .Dalam hal ini,
hadits berperan menetapkan hukum yang belum ditetapkan oleh Al-qur`an

B. SARAN
Penulis menyadari bahwa makalah diatas banyak sekali kesalahan dan jauh dari kesempurnaan.
Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan berpedoman pada banyak sumber yang
dapat dipertanggungjawabkan. Maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran mengenai
pembahasan makalah dalam kesimpulan di atas.

17
Daftar Pustaka
 Abu Bakar, hasnan. 2009. Perkembangan Ilmu Hadist. PTS ISLAMIKA:Selangor

 Rahman, fazlur. Cetakan pertama. 2009. Hadist Rosululloh. PT Tiara Wacana Yogya :
Yogyakarta

 Muhammad Ajaj Khotib, H.M Qodirun Nur. 1999.Cetakan Pertama. Fungsi hadist.
Badan Cemerlang : Bandung

 M. Hasbi Ash Shiddieqy, 1965. Sedjarah dan pengantar Ilmu hadist. Bulan Bintang :
Universitas Michigan.

 Ali Hassan Ahmad Addary (Sjech.). 1980. Ilmu Hadist Praktis. Alma’arif : Medan
 http://gudangmakalahmu.blogspot.com
 http://gudangmakalahmu.blogspot.com
 http://seherbal.com
 Drs.H.Muhammad Ahmad,Drs.M.Mudzakkir,Ulumul Hadits (Bandung: Puska Setia,
2004)cet III,hal 11.
 Prof. Dr HM Syuhudi Ismail Kesahehan Sanad Hadis (Jakarta: PT Bulan Bintang,
1995) Cet II Hal. 26
 Drs. H. Muhammad Ahmad, Drs. M. Mudzakir, Ulumul Hadits (Bandung: Pustaka
Setia 2004) Cet III, Hal. 65-66.
 Drs Munzier Suparta, MA Ilmu Hadis (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002) Cet
III, Hal. 3-4
 http//ilmu hadis.blogspot.com
 Drs. Munzier Suparta, MA, Ilmu Hadis (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002) Cet.
III, Hal. 130.
 Muhyiddin Abdusshomad, Fiqih Tradisionalis (Malang: Pustaka Bayan, 2004)Cet. II,
Hal. 49.

18

Anda mungkin juga menyukai