Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

TARIKH TASYRI’
“Munadzarah Ulama tentang Sunnah, Ijma’, Qiyas, dan Ijtihad serta
pengaruhnya”

Di susun oleh:
Dandy Ardiansyah
Ananda Aprilia Saputri
Siti Komariyah

Pengampu :
“Drs.H.Abdullah Munir, MA”

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)


INSTITUT PEMBINA ROHANI ISLAM JAKARTA (IPRIJA)
TAHUN AKADEMIK 2022/2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kita kesehatan
dan kesempatan dalam rangka menyelesaikan kewajiban kami sebagai mahasiswa, yakni dalam
bentuk tugas yang diberikan oleh bapak dosen dalam rangka menambah ilmu pengetahuan dan
wawasan kami.

Yang kedua shalawat serta dan salam selalu tercurahkan kepada baginda Nabi besar
Muhammad saw, sahabat beserta keluarganya karena dengan perjuangan beliau kita bisa
berkumpul di tempat yang mulia ini.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari sempurna, baik dari
penyusunan, bahasan, maupun penulisannya. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran
yang sifatnya membangun, khususnya dari dosen mata kuliah guna menjadi acuan dalam bekal
pengalaman bagi kami untuk lebih baik di masa yang akan datang.

Jakarta, 01 Desember 2022

Penulis,

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................................. ii

DAFTAR ISI............................................................................................................................................... iii

BAB I ............................................................................................................................................................ 1

PENDAHULUAN ....................................................................................................................................... 1

A. LATAR BELAKANG ..................................................................................................................... 1

B. RUMUSAN MASALAH ................................................................................................................. 1

BAB II ...................................................................................................................................................... 2

PEMBAHASAN ...................................................................................................................................... 2

A. As Sunnah atau Al-Hadits ................................................................................................................. 2

B. Al-Ijma’ ‫ االجماع‬.................................................................................................................................... 5

C. Al Qiyas (‫ )القينا س‬................................................................................................................................ 6

D. Ijtihad .................................................................................................................................................. 7

E. Pengaruh Sunnah Ijma’, Qiyas, dan Ijtihad terhadap Perkembangan Tasyri’ ........................... 9

BAB III....................................................................................................................................................... 12

PENUTUP.................................................................................................................................................. 12

A. Kesimpulan .................................................................................................................................... 12

DAFTAR PUSAKA .................................................................................................................................. 13

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Islam merupakan agama yang mampu mengatur kehidupan umat manusia secara
sempurna dalam semua segi kehidupan. Walaupun agama ini sudah melalui sejarah
panjang, sejak mulai diturunkannya oleh Allah swt. kepada nabi Muhammad saw., lebih
kurang dari 14 abad yang lalu, hal ini tidaklah menjadikan Islam kaku dalam menghadapi
sejarah yang dilaluinya, melainkan sebaliknya, mengakibatkan Islam semakin “dewasa”
untuk beraflikasi di tengahtengah kehidupan umat manusia.
Al-Qur’an, sebagai sumber utama, memberikan pedoman bagi agama Islam. Ayat-
ayatnya tidak hanya berbicara tentang masalah akidah serta akhlak, tetapi juga berisi
tuntunan bagi kehidupan yang bersifat amaliah. Memuat hukum-hukum yang bersifat
ibadah dan muamalah.
Sunnah Nabi, di samping al-Qur’an, juga merupakan salah satu sumber ajaran
Islam. Bila ditinjau dari segi kehujahannya dalam pembentu kan hukum, maka hubungan
Sunnah Nabi dengan al-Qur’an dipandang sebagai sumber kedua mengiringi al-Qur’an.
Sisi-sisi hukum yang datang dari Sunnah Nabi adakalanya memiliki fungsi sebagai
pengikut hukum yang sudah ada dalam al-Quran, adakalanya berfungsi menjelaskan dan
merinci hal-hal yang mujmal yang disebutkan al-Qur’an, dan ada pula kalanya as-Sunnah
itu berfungsi mendatangkan ketentuan-ketentuan hukum yang belum ada ketetuannya
dalam al-Qur’an.
Yurisprudensi Islam pada mulanya didasarkan pada al-Qur’an, as-Sunnah, Ijtihâd.
Ini semua merupakan sumber-sumber dasar hukum, yang tampaknya berdiri sendiri dan
terpisah satu sama lain. Sumber-sumber yang utama adalah al-Qur’an dan as-Sunnah. Ijmâ’
dan Qiyâs pada kenyataannya, adalah prinsip-prinsip tambahan. Ijmâ’ dan Qiyâs umumnya
diterapkan kalau sumber-sumber pokok (al-Qura’an dan as-Sunnah) tidak memberi
ketentuan mengenai masalah tertentu.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Mengetahui definisi as-sunnah, ijma’, qiyas dan ijtihad?
2. Pengaruh as-sunnah, ijma’, qiyas dan ijtihad terhadap perkembangan tasyri’?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. As Sunnah atau Al-Hadits

1. Definisi As Sunnah
Al Imam Abu Zahro’, mendifinisikan As Sunnah adalah
‫السنة النبوية هي اقوال النبى صلى هللا عليه وسلم و افعا له وتقريراته‬
Sunnah Nabi adalah sabda-sabda Nabi SAW, perbuatan beliau dan taqrir beliau.

2. Pembagian Sunnah Dilihat dari bentuknya

a. Sunnah Qouliyah
yakni berbentuk ucapan nabi SAW, misalnya:
‫عن ابي هريرةرض قال صعلم ال يشربن احدكم قاءما‬
”Janganlah minum salah seorang daripada kamu sambil berdiri.

b. Sunnah fi’liyah

Sunnah berupa perilaku nabi SAW, artinya Nabi SAW melakukan sesuatu perbuatan, misalnya:

‫عن ابن عباس رض قال سقيت رسول هللا صعلم من زمن و هوقاءم‬
Dari Ibu Abbas RA., ia berkata: Saya telah memberi minum Rosulullah SAW dengan air zamzam,
sedangkan beliau dalam keadaan berdiri.

c. Sunnah Taqririyah

Yakni Nabi SAW membiarkan perbuatan sahabat, artinya tidak menegur perbuatan yang perbuatan
yang dilakukan oleh sahabat, misalnya:

‫عن ابن عمر قال ناء كل على عهدرسول هللا صعلم ونخن نمشي ونشرب ونخن قيام‬
”Saya pernah makan dihadapan Rasulullah SAW, sedangkan kami dalam keadan berjalan, dan
kami pernah minum dihadapan beliau sedangkan kami berdiri.”

d. Sunnah Hammiyah

2
Yaitu cita-cita Nabi SAW. Para ulama’ berbeda pendapat tentang stutus dalil Sunnah Hamiyah ini.
Ada yang menganggap bahwa sunnah hammiyah menjadi sumber hukum karena telah disabdakan
oleh Nabi SAW, tetapi ada juga yang berpendapat bahwa sunnah hammiyah tidak menjadi sumber
hukum.

Contoh hammiyah Nabi SAW adalah:

‫لئن بقيت الى قابل ألصومن التا سع يعنى يوم عاشوراء‬


Sungguh jika aku masih hidup sampai tahun depan aku akan puasa hari kesembilan dari hari
Asyuro.”

3. Pembagian As Sunnah dari Bilangan Ruwahya


a. As Sunnah / Al Hadits Mutawatir

Hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan pada tiap tingkatan sanadnya oleh orang banyak
yang tidak terhitung jumlahnya dan menurut akal masing-masing tingkatan perowi itu tidak
mungkin bersepakat untuk berbuat bohong.

b. Hadits Masyhur

Hadits masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang seorang pada lapisan pertama
(sahabat) dan lapis kedua (tabi’in), kemudian setelah itu tersebar luas dinukilkan oleh segolongan
(banyak) orang yang tak dapat didakwa mereka itu bersepakat berbuat bohong.

c. Hadits Ahad

Hadits Ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang perorang atau beberapa orang, mulai
lapisan pertama sampai terakhir, tetapi tidak cukup terdapat padanya tanda-tanda yang dapat
menjadikannya hadits Masyhur apalagi hadits mutawatir.

4. Pembagian As Sunnah ditinjau dari Shoheh Tidaknya

a. Hadits Shahih

Hadits shoheh adalah hadits yang bersambung-sambung sanadnya oleh para perowi yang dhobit
(antara lain bersifat kokoh ingatan, adil jujur dan lain-lain) dan tidak terdapat padanya sifat-sifat
pribadi yang menjadikan keganjilan dan cacat-cacat yang memburukkannya atau tidak dapat
dipercayai selaku pembawa khabar berita.

b. Hadits hasan

3
Hadits hasan adalah hadits yang diriwayatkan dengan bersambung-sambung sanadnya, namun ada
perowinya yang kurang mempunyai derajat kepercayaan yang sempurna.

Menurut Ibnu Taimiyah, hadits hasan adalah hadits yang diriwayatkan dengan banyak jalan
datangnya, tak ada dalam sanadnya orang yang tertuduh dusta atau sadz.

c. Hadits dlo’if

Hadits dlo’if atau lemah adalah hadits yang tidak didapati didalamnya syarat-syarat hadits shoheh
maupun hadist hasan.

d. Hadits Maudlu’ (palsu)

Hadits maudlu adalah hadits palsu, yakni bukan dinukilkan dari Nabi SAW, misalnya:

‫تخذوابالعقيق فاءنه ينفى الفقرا‬


Pakailah cincin permata akik, karena ia dapat menghilangkan kefakiran.

5. Dalalah dari Al Hadits

Jumhur ulama’ sepakat bahwa status dalil hadits Mutawatir adalah qoth’i (menyakinkan)
sedangkan hadits ahad adalah dhonni (disangka kuat kebenarannya), sehingga hanya hadits
mutawatir yang dapat dipegangi sebagai dalil/hujjah masalah aqoid, sedangkan hadits ahad hanya
dapat sebagai hujjah masalah amalan-amalan.

6. Status hukum sunnah / hadits


Para ulama’ sepakat bahwa sunnah / hadits adalah merupakan sumber hukum syar’i yang kedua
sesudah Al Qur’anul Karim.

7. Hubungan As Sunnah dengan Al Qur’an


Hubungan As Sunnah dengan Al Qur’an itu sebagai uruta yang mengiringi atau sebagai urutan
kedua sesudah Al-Qur’an.
Ditinjau dari segi hukum yang ada, maka tidak lebih dari tiga masalah ini:

a. As Sunnah berfungsi sebagai penguat hukum yang telah ada didalam Al-Qur’an.
b. As Sunnah sebagai penjelas atau penafsir dari ketentuan hukum yang ada dalam Al
Qur’an, dalam hal ini As Sunnah menjelaskan tentang Mujmalnya Al Qur’an, Mutlaqnya
Al Qur’an.
c. As Sunnah membentuk dan menetapkan hukum tersendiri yang tidak terdapat dalam
Al - Qur’an, misalnya perihal tata cara makan, pesta dan lain sebagainya.

4
B. Al-Ijma’ ‫االجماع‬

1. Definisi / ta’arif Ijma’

Yang dimaksud dengan ijma’ adalah

‫اتفاق مجتهدى امة محمد صلم بعدوفا ته في عصر من اآل عصارعال امر من االمور‬
Kesepakatan para ulama’ mujtahidin (ahli ijtihad) dari ummat Muhammad SAW setelah wafat
beliau dalam suatu waktu dari beberapa waktu dan atas sesuatu perkata / masalah dari beberapa
masalah.

2. Kehujjahan Ijma’

Kebanyakan ulama berpendapat bahwa kehujjahan ijma’ adalah dhonni, bukan qoth’i. Oleh karena
itu ijma’ hanya dapat dipergunakan sebagai peganan dalam bidang amal dan tidak bisa dipakai
sebagai pegangan dalam bidang aqidah (I’tiqod), sebab urusan aqidah harus berdasarkan dalil yang
qoth’i.

3. Sandaran Ijma’

Ijma’ dipandang sah manakala bersandar pada Al Qur’an dan As Sunnah:

‫االجماع ليمس من ال لة المسـتفلة‬


Ijma’ itu bukanlah merupakan dalil yang berdiri sendiri

4. Pembagian Ijma’

Dilihat dari caranya maka ijma’ itu dibagi dua yakni ijma’ qouli dan sukuti.

1) Ijma’ qouli (‫)القولي‬

Ijma’ qouli adalah ijma’ berupa ucapan, dimana para ulama’ mujtahid yang berijma’ itu
menyatakan persetujuannya atau kesepakatan pendapatnya dengan terang-terangan memakai
ucapan atau tulisan. Ijma’ ini disebut juga dengan ijma qoth’i (ijma’ yang menyakinkan)

2) Ijma’ sukuti (‫)السكوتي‬

5
Ijma’ sukuti (ijma’ diam), yakni apabila persetujuan ulama mujtahid pada pendapat ulama
mujtahid lain itu dinyatakan dengan cara diam, yakni tidak mengomentari sama sekali terhadap
pendapat ulama mujtahid lain itu, namun diamnya itu bukan karena takut atau malu atau segan.
Ijma’ ini disebut dengan ijma’ dhonni (kurang meyakinkan).

Sikap ulama terhadap ijma’ sukuti antara lain adalah:

a. Imam Syafi’i, Imam Al baqillani dari golongan As’aiyah dan sebagian ulama hanafi seperti Ibnu
Iyan menyaakan bahwa ijma’ sukuti tidak bisa menjadi hujjah, sebab kemungkinan ada ulama’
yang setuju dan tidak setuju.

b. Al Juba’i menyatakan ijma’ sukuti bisa menjadi hujjah sebagaimana ijma’ qouli.

c. Imam Al Amidi menyatakan bahwa ijma’ sukuti bias saja menjadi hujjah kehujjahannya adalah
dhonni bukan qoth’i.

C. Al Qiyas (‫)القينا س‬

1. Definisi Qiyas

Qiyas itu adalah menetapkan sesuatu hukum perbuatan yang belum ada ketentuan hukumnya
berdasarkan sesuatu hukum perbuatan yang telah ada ketentuan hukumnya oleh Nash (Al Quran
dan As Sunnah) disebabkan adanya persamaan illat antara keduanya.

2. Rukun Qiyas

Rukun qiyas ada empat yaitu:

a. Pokok ‫ الصل‬yakni yang menjadi ukuran (‫)المقيس عليه‬ disebut juga dengan tempat
menserupakan (‫)المشبه به‬

b. Cabang / ‫ الفرع‬yakni hal yang diukurkan (‫ )المقيس‬atau hal yang diserupakan (‫)لمشلبه‬

c. Sebab / ‫ العلة‬yakni sesuatu sebab yang menghubungkan antara pokok dan cabang.

d. Hukum / ‫ لحكم‬yakni hukum cabang yang dihasilkan dari pengqiyasan tersebut.

6
3. Macam-macam Qiyas

Macam-macam qiyas itu antara lain:

a. Qiyas Aula (‫ )االء ولى‬yakni apabila qiyas yang ada pada furu’ terlebih kuat dari illat pada pokok.
Misalnya : kita melarang berkata “HUS” pada orang tua, maka kita tidak boleh menempeleng
orang tua, karena hus itu menyakiti rokhani, sedangkan menempeleng itu menyakiti rokhani dan
jasmani.

b. Qiyas Musawi (‫)المساوي‬, yakni bila illat pada cabang itu sama bobotnya dengan illat pada
pokok. Misalnya membakar harta anak yatim diqiyaskan dengan memakan harta anak yatim.

c. Qiyas Dalalah (‫ )الدال لة‬yakni qiyas yang menunjukkan dua perkara yang serupa satu sama lain,
bahwa illat didalamnya menunjukkan adanya hukum, tetapi illat itu tidak mengharuskan adanya
hukum. Misalnya zakat bagi anak yatim yang kaya, diqiyaskan dengan orang dewasa yang kaya.

d. Qiyas syibih (‫)الشبة‬, yakni mengqiyaskan furu’ pada dua pokok, illat dicari antara kedua pokok
tersebut yang paling cocok. Misalnya mendoakan orang kafir yang menyumbang harta untuk
kepentingan sosial Islam.

e. Qiyas Adwan (‫ )اآلدوان‬yakni mengqiyaskan hal yang diqiyaskan kepada hukum yang terhimpun
pada hukum tempat mengqiyaskan, seperti mengqiyaskan lelaki memakai perak kepada memakai
emas, karena ada hukum ashal tentang terkumpul pada haramnya perak dan emas digunakan
sebagai tempat air minum.

4. Kehujjahan Qiyas

Yang dikehendaki dengan ijtihad menurut pandangan golongan ini adalah dengan kemampuan
daya fikiran dan kemampuan lainnya menetapkan hukum dengan tetap melihat ketentuan yang
telah ada pada nash yakni dengan cara mengqiyas.

D. Ijtihad

1. Pengertiannya

‫االجتهاد هواستفراغ الوسع في نيل حكم شر عي بطريق االء ستنباط من الكتاب‬


‫والسنة‬
Ijtihad adalah usaha dengan sungguh-sungguh menggunakan seluuh kesanggupan untuk
menetapkan hukum-hukum syara’ berdasarkan dalil-dali nash (Al-Qur’an dan Al Hadits).

‫هوالفقيه المستفرغ لو سعه لتحصيل ظن بحكم شر عي بطريق االء ستنباط منهما‬


7
Mujtahid adalah para ahli fikih yang berusaha dengan sungguh-sungguh dengan seluruh
keanggupannya untuk menghasilkan hukum syara’ dengan jalan mengistinbathkan hukum dari Al
Qur’an dan As Sunnah.

2. Hukumnya

Ada tiga kriteria hukum berijtihad:

a. Wajib ‘ain, yakni apabila seseorang yang ditanya perihal hukum suatu peristiwa, sedangkan
peristiwa itu akan hilang sebelum ditetapkan hukumnya.

b. Wajib kifayah, yakni bagi seseorang yang ditanya tentang sesuatu peristiwa hukum, dan tidak
dikhawatirkan segera hilangnya peristiwa itu, sementara disamping dirinya masih ada mujtahid
lain yang lebih ahli.

c. Sunnat, yakni berijtihad terhadap sesuatu hukum yang belum terjadi baik ditanya ataupun tidak
ada yang mempertanyakan.

3. Syarat-syarat menjadi mujtahid

a. Mengetahui dengan mendalam nash-nash Al Qur’an dan As Sunnah dan segala ilmu yang
terkait dengannya.

b. Kalau ia memegangi ijma, maka ia harus tahu seluk beluk ijma’ dan apa-apa yang telah di
ijma’kan.

c. Mengetahui dengan mendalam ilmu ushul fiqih karena ilmu ini merupakan dasar pokok
didalam berijtihad.

d. Mengetuhi dengan mendalam masalah nasekh mansukh mana dalil yang sudah mansukh mana
pula yang tidak mansukh.

e. Mengetahui dengan mendalam bahasa arab dan ilmu-ilmu yang terkait dengannya, ilmu nahwu
shorof, balaghoh, badi’ dan bayan serta mantiqnya.

4. Pembagian ijtihad

Pada garis besarnya pelaksanaan ijtihad dibagi dua yakni:

a. Ijtihad ‫( الفردية‬fardiyah), yakni ijtihad yang dilakukan oleh orang-perorangan, tanpa melibatkan
persetujuan atau pertimbangan mujtahid lain.

b. Ijtihad ‫( لجماعية‬jam’iyah), yakni ijtihad dengan melibatkan fihak (mujtahid) lan untuk
bermusawarah menetapkan hukum sesuatu persoalan.

5. Keperluan terhadap ijtihad


8
Sejak Muadz bin Jabal diutus Rosul ke Yaman sampai sekarang ijtihad itu senantiasa tetap
diperlukan, karena banyaknya kasus yang tidak secara tegas ditetapkan hukumnya oleh Al Quran
dan As Sunnah. apabila zaman sekarang ini, dimana agama Islam telah berkembang dan bertemu
dengan budaya dan alam lain dari tempat kelahirannya, maka persoalan yang muncul tentu lebih
banyak lagi, apalagi saat ini perkembangan ilmu dan tehnologi dengan pesat sekali. Maka
persoalan-persoalan yang muncul itu harus ada kejelasan status hukumnya.

6. Perbedaan antara ijtihad dengan qiyas

Ijtihad itu mengenai kejadian-kejadian, baik yang ada nash atau yang tak ada nash-nya. Qiyas itu
mengukur kejadian-kejadian yang tidak ada nash-nya tetapi terdapat dalam syara’ yakni sesuatu
yang dijadikan pokok untuk diqiyaskan kepadanya, maka qiyas adalah sumber dari ijtihad.

E. Pengaruh Sunnah Ijma’, Qiyas, dan Ijtihad terhadap Perkembangan Tasyri’

Seiring dengan lajunya prkembangan Islam ke berbagai penjuru, maka muncullah


persoalan-persoalan baru yang saat itu terjadi pada masa Rasulullah, padahal al-Qur’an sendiri
hanya memuat sebagian hukum terinci, sementara sunnah hanya sebatas pada persoalan-persoalan
yang berkembang pada masa Rasulullah. Maka dari itu dalam menyelesaikan persoalan baru
dibutuhkanlah konsep “ijtihad”. Hingga pada akhirnya konsep "ijtihad" yang awal mulanya
muncul sekitar pada abad keempat Hijriyah, muncul produk pemikiran yang baru.

1. Periode fiqh di Era Kenabian

Nabi melakukan ijtihad apabila terhadap suatu peristiwa yang tidak ada ketentuan
hukumnya. Dan lamanya Nabi menunggu datangnya wahyu merupakan justifikasi dari al-Qur`an.
Kemudian dengan ijtihadnya para sahabat ? sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh Nabi, Nabi
membolehkan para sahabatnya untuk juga melakukan ijtihadnya

2. Periode fiqh di era Khulafaurrosyidun

Di dalam penetapan suatu hukum para khulafaurrosyidun tetap berpegang dengan al-
Qur`an dan as-Sunnah. Tetapi adakalanya dengan menggunakan kesepakatan bersama yang
disebut dengan Ijma` dan Qiyas.

Sebagai pengganti Nabi dalam mengambil sumber hukum untuk menentukan suatu
perkara, mengambil dari al-Qur`an, as-Sunnah, dan ijtihad "ra`yu" baik kolektif (hasil musyawarah
dari sahabat disebut dengan ijmak.), kemudian ijtihad individu.

3. Periode fiqh di era Sahabat dan Tabi’in

Di era ini perkembangan fiqh membingungkan banyak pengamat. Karena akibat dari
warisan pergolakan antara `Ustman dan Ali. Hingga sampai pada pemerintahan daulah Umayyah.
Hingga sampai melahirkan agitas teologi yang cukup tajam. Sehingga banyak pengamat sejarah
9
yang mengatakan bahwa dalam periode ini perkembangan fiqh tenggelam di bawah perpecahan
antara kesatuan agama dan negara.

Bahwa pergolakan daulah Umayyah yang membawa agitas teologi, ternyata membawa
pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan fiqh berikutnya yaitu era kodifikasi yang
munculnya Imam-imam mazhab. Pada pembahasan "fiqh dalam era keemasan". Sehingga fiqh dari
masa kemasa mempunyai kesinambungan antara yang satu dengan yang lain. Periode ini dalam
perkembangan fiqhnya bermula ketika pemerintahan Islam diambil alih oleh Muawiyah bin Abu
Sofyan tahun 41 H hingga awal abad kedua Hijrah.

4. Periode fiqh di era zaman keemasan

Masa ini sangat terkenal dengan perkembangan kebudayaan perluasan perdagangan dari
semua cabang ilmu ekonomi serta kemajuan dalam ilmu pengetahuan. kira-kira pada abad ke
delapan adalah banyak ilmu pengetahuan yang berbahasa ajam kedalam bahasa arab, terutama dari
bahasa Parsi dan bahasa Yunani. Ilmu-ilmu fiqh berkembang sangat pesat yaitu banyaknya tafsir-
tafsir al-Qur`an dan kumpulan-kumpulan hadis. Hingga yang paling menonjol dalam periode ini
adalah lahirnya beberapa fuqaha sunni yang terbagi ke dalam dua golongan yaitu fuqaha sunni ahli
ra`yi di Irak dengan pelopor Imam Abu Hanifah, dan golongan yang kedua fuqaha sunni hadis di
Hijaz yang dipelopori oleh Imam Malik bin Anas.

5. Periode fiqh diera stabnasi dan jumud

Pada pertengahan abad IV Bani Abasiyah mulai terdapat tanda-tanda kejatuhannya, karena
disebabkan banyak daerah-daerah dominannya melepaskan diri dari khalifah Abbasiyah dengan
mendirikan negara sendiri. Akibatnya kekuasaan menjadi lemah dan mundur. Dengan demikian
yang dahulu pemerintahan selalu dipegang oleh seorang muslim, akhirnya berpindah tangan
kepada orang yang tak mengenal TuhþKan, bengis, kejam, yaitu Jenghis Khan serta anak
keturunannya. Hal ini pergolakan politik semacam ini sangat berpengaruh dalam perkembangan
ilmu pengetahuan, sehingga ilmu pengetahuan dalam dunia Islam mengalami kemunduran. Dari
situasi politik yang kacau pada waktu itu, menyebabkan kemunduran dalam hal ilmu pengetahuan.
Hingga akhirnya munculah faham taqlid, Yaitu menerima pendapat secara mutlak dari seorang
imam (mazhab) yang tertentu untuk mengikuti fatwa-fatwa hukumnya. akhirnya fuqaha
SunnþÃmenutup pintu ijtihad, sehingga berkembang bid`ah, kurafat kejumudan berpikir.

6. Periode fiqh di era kebangkitan kembali

Kita dapat melihat dalam era kebangkitan fiqh ini dapat kita lihat sekurang-kurangnya
terdapat empat pola utama yang menonjol. Pertama, modernisme, dalam pola ini digandrungi oleh
banyak ulama yang terdidik dalam alam sekuler. Kedua, Survivalisme, agaknya berbeda dengan
pola pertama. Dalam pola kedua ini bercita-cita ingin membangun pemikiran fiqh dengan berpijak
kepada mazhab-mazhab fiqh yang sudah ada. Dengan menggali permasalahan yang didasarkan
pada pemikiran mazhab tersebut tanpa memandang kepedulian sosial. Ketiga, tradisional, pola ini
keþÃnderungan dengan aliran salafiyah, yang lebih menekankan pada kembalinya kepada al-
Qur`an dan as-Sunnah dengan mendakwahkan keharusan mengikuti ulama salaf (sahabat dan
tabi`ien) dengan karakteristiknya adalah benar-benar memegang sunnah Nabi yang sekiranya tidak
10
keluar dalam nash al-Qur`an. Keempat, neo survivalisme, dalam perkembangan terakhir ini,
banyak di kalangan ulama dan fuqaha merespon perkembangan yang baru dengan memfokuskan
terhadap kepedulian sosial.

11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Jadi kesimpulannya yaitu perkembangan tasyri di islam sangat berpengaruh antara lain

• Sunnah/hadits (perkataan , perbuatan dan ketetapan yang di lakukan Nabi Muhammad


SAW)
• Ijma (Kesepakatan para ulama’ mujtahidin (ahli ijtihad) dari ummat Muhammad SAW
setelah wafat beliau dalam suatu waktu dari beberapa waktu dan atas sesuatu perkata /
masalah dari beberapa masalah.)
• Qiyas adalah menetapkan sesuatu hukum perbuatan yang belum ada ketentuan hukumnya
berdasarkan sesuatu hukum perbuatan yang telah ada ketentuan hukumnya oleh Nash (Al
Quran dan As Sunnah) disebabkan adanya persamaan illat antara keduanya.
• Ijtihad adalah usaha dengan sungguh-sungguh menggunakan seluuh kesanggupan untuk
menetapkan hukum-hukum syara’ berdasarkan dalil-dali nash (Al-Qur’an dan Al Hadits).

karena muncul persoalan-persoalan yang baru sehingga banyak sekali yang harus dipecahkan
permasalahan tersebut dari periode kenabian hingga periode fiqh di era kebangkitan kembali.

12
DAFTAR PUSAKA

https://www.kompasiana.com/sitiropiah_19/551aba96813311c67f9de14c/munazarah-ulama-
tentang-as-sunnah-ijma-qiyas-dan-ijtihad-serta-pengaruhnya-terhadap-perkembangan-tasyri

http://nurkholisalbantani.blogspot.com/2012/12/pembahasan-para-ulama-tentang-sunnah.html

13

Anda mungkin juga menyukai