Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH RANGKUMAN

MATERI TENTANG HADITS

Disusun oleh:

Riska Komariah
(2203805091062)
Tarbiyah

Dosen Pengajar : Alivia Nadatul Aisyi, M.Pd

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb

Bismillahirrahmanirrahim

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam. Atas izin dan
karunia- Nya, kami dapat menyelesaikan makalah tepat waktu tanpa kurang suatu apa pun. Tak lupa
pula kami haturkan shalawat serta salam kepada junjungan Rasulullah Muhammad SAW. Semoga
syafaatnya mengalir pada kita di hari akhir kelak.

Penulisan makalah berjudul “MAKALAH RANGKUMAN MATERI TENTANG HADITS”


bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Study Hadits. Isi materi makalah yang kami
uraikan di makalah ini berdasarkan referensi dari bapak Abdul Hamid, Lc., M.A selaku dosen
pengampu.

Selama proses penyusunan makalah, kami mendapatkan bantuan referensi dari beberapa pihak.
Oleh karena itu, kami berterima kasih kepada:

1. Bapak Abdul Hamid, Lc., M.A selaku dosen mata kuliah Pengantar Study Hadits
2. Kedua orang tua yang telah memberikan dukungan
3. Pihak yang tidak dapat disebutkan penulis satu per satu

Akhirul kalam, kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Besar harapan
kami agar pembaca berkenan memberikan masukkan berupa kritik dan saran. Semoga makalah ini
bisa memberikan manfaat bagi berbagai pihak. Aamiin.

Wassalamualaikum wr.wb

Jember, 26 September 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR..........................................................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................................................ii
BAB I....................................................................................................................................................3
PENDAHULUAN............................................................................................................................3
1.1 Latar Belakang.................................................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah...........................................................................................................4
BAB II..................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN...................................................................................................................................5
A. PENGERTIAN ILMU HADITS.........................................................................................5
B. َّSEJARAH PERKEMBANGAN ILMU HADITS...........................................................5
C. MACAM-MACAM HADITS..............................................................................................9
D. FUNGSI HADITS TERHADAP AL-QUR’AN................................................................10
E. MANFAAT MEMPELAJARI ILMU HADITS..............................................................11
BAB III...............................................................................................................................................12
PENUTUP......................................................................................................................................12
1.1 Kesimpulan.....................................................................................................................12
1.2 Saran...............................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................................13

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Alquran sebagai kalâm Allah (firman Allah) mencakup segala aspek persoalan kehidupan
manusia dalam berinteraksi dengan pencipta-Nya, sesama manusia dan alam semesta yang merupakan
persoalan mendasar dalam setiap kehidupan manusia. Alquran sebagai kitab suci umat Islam sangat
kaya dengan pesan-pesan yang mengandung nilai-nilai pendidikan.

Sedangkan Hadits bermakna seluruh sikap, perkataan dan perbuatan Rasulullah SAW dalam
menerapkan ajaran Islam serta mengembangkan kehidupan umat manusia yang benar-benar
membawa kepada kerahmatan bagi semua alam, termasuk manusia dalam mengaktualisasikan diri dan
kehidupannya secara utuh dan bertanggung jawab bagi keselamatan dalam kehidupannya. Kedudukan
al-Sunnah dalam kehidupan dan pemikiran Islam sangat penting, karena di samping memperkuat dan
memperjelas berbagai persoalan dalam Alquran, juga banyak memberikan dasar pemikiran yang lebih
kongkret mengenai penerapan berbagai aktivitas yang mesti dikembangkan dalam kerangka hidup dan
kehidupan umat manusia.

Sebelum berbicara tentang pengertian, jenis, dan perkembangan ilmu hadits, terlebih dahulu
akan dijelaskan secara singkat, kapan ilmu hadits muncul. Ilmu hadits muncul sejak masa Rasulullah
SAW dan perhatian para sahabat terhadap hadits atau sunnah sangat besar. Demikian juga perhatian
generasi berikutnya seperti Tabi’in, Tabi’ Tabi’in, dan generasi setelah Tabi’in. Mereka memelihara
hadits dengan cara menghapal, mengingat, bermudzakarah, menulis, menghimpun, dan
mengodifikasikannya ke dalam kitab-kitab hadits yang tidak terhitung jumlahnya. Akan tetapi, di
samping gerakan pembinaan hadits tersebut, timbul pula kelompok minoritas atau secara individual
berdusta membuat hadits yang disebut dengan hadits mawdhû’ (hadits palsu). Maksudnya
menyandarkan sesuatu yang bukan dari Nabi, kemudian dikatakan dari Nabi SAW.

Kondisi hadits pada masa perkembangan sebelum pengodifikasian dan filterisasi pernah
mengalami kesimpang siuran di tengah jalan, sekalipun hanya minoritas saja. Oleh karena itu, para
ulama bangkit mengadakan riset hadits-hadits yang beredar dan meletakkan dasar kaidah-kaidah atau
peraturan-peraturan yang ketat bagi seorang yang meriwayatkan hadits yang nantinya ilmu ini disebut
ilmu hadits. Meskipun makalah ini tidak bisa memuat hal-hal yang berkaitan dengan pengantar dan
sejarah perkembangan ilmu hadits secara menyeluruh, tapi paling tidak makalah ini cukup mampu
untuk memperkenalkan kita bagaimana sejarah perkembangan ilmu hadits. Berdasarkan permasalahan
di atas dalam makalah ini kami berusaha mencoba menjelaskan pengertian ilmu hadits dan bagaimana
sejarah perkembangan ilmu hadits.

3
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah pada makalah ini adalah :

1. Menjelaskan apa yang dimaksud dengan Hadits


2. Menjelaskan tentang Sejarah Perkembangan Ilmu Hadits
3. Menjelaskan Macam-macam Hadits
4. Menjelaskan Fungsi hadits terhadap Al-qur’an
5. Menjelaskan manfaat mempelajari Ilmu Hadits

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN ILMU HADITS

Dari segi bahasa ilmu hadits terdiri dari dua kata, yaitu ilmu dan hadits. Secara sederhana
ilmu artinya pengetahuan, knowledge dan science. Sedangkan hadits artinya segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik dari perkataan, perbuatan, maupun persetujuan.

Para ulama ahli hadits banyak yang memberikan definisi ilmu hadits, di antaranya Ibnu Hajar
Al-Asqalani: Adalah mengetahui kaidah-kaidah yang dijadikan sambungan untuk mengetahui
(keadaan) perawi dan yang diriwayatkan. Atau Ilmu yang mempelajari tentang keterangan suatu hal
yang dengan hal itu kita dapat mengetahui bahwa hadits itu diterima atau tidak. Atau definisi yang
lebih ringkas: Kaidah-kaidah yang mengetahui keadaan perawi dan yang diriwayatkannya.

Dari definisi di atas dapat dijelaskan bahwa ilmu hadits adalah ilmu yang membicarakan
tentang keadaan atau sifat para perawi dan yang diriwayatkan. Perawi adalah orang-orang yang
membawa, menerima, dan menyampaikan berita dari Nabi, yaitu mereka yang ada dalam sanad suatu
hadits.

Bagaimana sifat-sifat mereka, apakah bertemu langsung dengan pembawa berita atau tidak,
bagaimana sifat kejujuran dan keadilan mereka, dan bagaimana daya ingat mereka, apakah sangat
kuat atau lemah. Sedangkan maksud yang diriwayatkan (marwî) terkadang guru-guru perawi yang
membawa berita dalam sanad suatu hadits atau isi berita (matan) yang diriwayatkan, apakah terjadi
keganjilan jika dibandingkan dengan sanad atau matan perawi yang lebih kredibel (tsiqah). Dengan
mengetahui hal tersebut, dapat diketahui mana hadits yang shahih dan yang tidak shahih. Ilmu yang
berbicara tentang hal tersebut disebut ilmu hadits. Ilmu hadits ini kemudian terbagi menjadi dua
macam, yaitu Ilmu Hadits Riwayâh dan Ilmu Hadits Dirâyah

B. َّSEJARAH PERKEMBANGAN ILMU HADITS

Sesuai dengan perkembangan hadits, ilmu hadits selalu mengiringinya sejak masa Rasulullah
S.A.W, sekalipun belum dinyatakan sebagai ilmu secara eksplisit. Ilmu hadits muncul bersamaan
dengan mulainya periwayatan hadits yang disertai dengan tingginya perhatian dan selektivitas sahabat
dalam menerima riwayat yang sampai kepada mereka. Dengan cara yang sangat sederhana, ilmu
hadits berkembang sedemikian rupa seiring dengan berkembangnya masalah yang dihadapi.

5
Pada masa Nabi SAW masih hidup di tengah-tengah sahabat, hadits tidak ada persoalan
karena jika menghadapi suatu masalah atau skeptis dalam suatu masalah mereka langsung bertemu
dengan beliau untuk mengecek kebenarannya atau menemui sahabat lain yang dapat dipercaya untuk
mengonfirmasinya. Setelah itu, barulah mereka menerima dan mengamalkan hadits tersebut.

Sekalipun pada masa Nabi tidak dinyatakan adanya ilmu hadits, tetapi para peneliti hadits
memperhatikan adanya dasar-dasar dalam Alquran dan hadits Rasulullah S.A.W. Misalnya firman
Allah S.W.T dalam Q.S. Al-Hujurat/49: 6 “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu
orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan
suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
atas perbuatanmu itu.”

Demikian juga dalam Q.S. Al-Baqarah/2: 282 “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi
dari orang-orang lelaki di antara. Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan
dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi
mengingatkannya.”

Ayat-ayat di atas berarti perintah memeriksa, meneliti, dan mengkaji berita yang datang
dibawa seorang fasik yang tidak adil. Tidak semua berita yang dibawa seseorang dapat diterima
sebelum diperiksa siapa pembawanya dan apa isi berita tersebut. Jika pembawanya orang yang jujur,
adil, dan dapat dipercaya maka diterima. Akan tetapi sebaliknya, jika pembawa berita itu orang fasik,
tidak objektif, pembohong dan lainlain, maka tidak diterima karena akan menimpakan musibah
terhadap orang lain yang menyebabkan penyesalan dan merugikan.

Setelah Rasulullah SAW wafat, para sahabat sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadits
karena konsentrasi mereka kepada Alquran yang baru dikodifikasi pada masa Abu Bakar tahap awal,
khalifah Abu Bakar tidak mau menerima suatu hadits yang disampaikan oleh seseorang, kecuali orang
tersebut mampu mendatangkan saksi untuk memastikan kebenaran riwayat yang disampaikannya.
Dan masa Utsman tahap kedua, masa ini terkenal dengan masa taqlîl ar-riwayâh (pembatasan
periwayatan), para sahabat tidak meriwayatkan hadits kecuali disertai dengan saksi dan bersumpah
bahwa hadits yang ia riwayatkan benar-benar dari Rasulullah SAW.

Para sahabat merupakan rujukan yang utama bagi dasar ilmu riwayah hadits. Yakni, karena
hadits pada masa Rasulullah SAW merupakan suatu ilmu yang didengar dan didapatkan langsung dari
beliau, maka setelah beliau wafat hadits di sampaikan oleh para sahabat kepada generasi berikutnya
dengan penuh semangat dan perhatian sesuai dengan daya hafal mereka masing-masing. Para sahabat
juga telah meletakkan pedoman periwayatan hadits untuk memastikan keabsahan suatu hadits. Mereka
juga berbicara tentang para rijal-nya, hal ini mereka tempuh supaya dapat diketahui hadits makbul
untuk diamalkan dan hadits yang mardud untuk ditinggalkan. Dan dari sini muncullah mushthalah al-
hadits.

6
Pada masa awal Islam belum diperlukan sanad dalam periwayatan hadits karena orangnya
masih jujur-jujur dan saling mempercayai satu dengan yang lain. Akan tetapi, setelah terjadinya
konflik fisik (fitnah) antar elite politik, yaitu antara pendukung Ali dan Mu’awiyah dan umat berpecah
menjadi beberapa sekte; Syi’ah, Khawarij, dan Jumhur Muslimin. Setelah itu mulailah terjadi
pemalsuan hadits (hadits mawdhû’) dari masingmasing sekte dalam rangka mencari dukungan politik
dari masa yang lebih luas. Melihat kondisi seperti hal di atas para ulama bangkit membendung hadits
dari pemalsuan dengan berbagai cara, di antaranya rihlah checking kebenaran hadits dan
mempersyaratkan kepada siapa saja yang mengaku mendapat hadits harus disertai dengan sanad.
Sebagaimana ungkapan ulama hadits ketika dihadapan suatu periwayatan: Sebutkan kepada kami para
pembawa beritamu. Ibnu Al- Mubarak berkata: Isnad/sanad bagian dari agama, jikalau tidak ada
isnad sungguh sembarang orang akan berkata apa yang dikehendaki.

Keharusan sanad dalam penyertaan periwayatan hadits tidak diterima, tuntutan yang sangat
kuat ketika Ibnu Asy-Syihab Az-Zuhri menghimpun hadits dari para ulama di atas lembaran
kodifikasi. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa periwayatan hadits tidak di terima, kecuali
disertai sanad. Pada periode Tabi’in, penelitian dan kritik matan semakin berkembang seiring dengan
berkembangnya masalah-masalah matan yang para Tabi’in hadapi.

Demikian juga dikalangan ulama-ulama hadits selanjutnya. Perkembangan ilmu hadits


semakin pesat ketika ahli hadits membicarakan tentang daya ingat para pembawa dan perawi hadits
kuat atau tidak (dhâbit), bagaimana metode penerimaan dan penyampaiaan (thammul wa adâ), hadits
yang kontra bersifat menghapus (nâsikh dan mansûkh) atau kompromi, kalimat hadits yang sulit
dipahami (gharîb al-hadîts), dan lain-lain. Akan tetapi, aktivitas seperti itu dalam perkembangannya
baru berjalan secara lisan (syafawî) dari mulut ke mulut dan tidak tertulis.

Ketika pada pertengahan abad kedua Hijriyah sampai abad ketiga Hijriyah, ilmu hadits mulai
di tulis dan dikodifikasi dalam bentuk yang sederhana, belum terpisah dari ilmu-ilmu lain, belum
berdiri sendiri, masih campur dengan ilmu-ilmu lain atau berbagai buku atau berdiri secara terpisah.
Tetapi pada dasarnya, penulisan hadits baru dimulai pada abad kedua Hijriyah. Imam Syafi’i adalah
ulama pertama yang mewariskan terori-teori ilmu haditsnya secara tertulis sebagaimana terdapat
dalam karyanya. Misalnya ilmu hadits bercampur dengan ilmu ushul fiqih, seperti dalam kitab Ar-
Risâlah yang ditulis oleh Asy-Syafi’i, atau campur dengan fiqih seperti kitab Al-Umm. Dan solusi
hadits-hadits yang kontra dengan diberi nama Ikhtilâf Al-Hadîts karya Asy-Syafi’I (w. 204 H). Hanya
saja, teori ilmu haditsnya tidak terhimpun dalam pembahasan kitab Ar-Risâlah dan kitab Al-Umm.

Sesuai dengan pesatnya perkembangan kodifikasi hadits yang disebut pada masa kejayaan
atau keemasan hadits, yaitu pada abad ketiga Hijriyah, perkembangan penulisan ilmu hadits juga
pesat, karena perkembangan keduannya secara beriringan. Namun, penulisan ilmu hadits masih
terpisah- pisah, belum menyatu dan menjadi ilmu yang berdiri sendiri, ia masih dalam bentuk
bab-bab saja.
7
Mushthafa As-Siba’I mengatakan orang pertama kali menulis ilmu hadits adalah Ali bin Al-Madani,
syaikhnya Al-Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi.7 Dr. Ahmad Umar Hasyim juga menyatakan bahwa
orang pertama yang menulis ilmu hadits adalah Ali bin Al-Madani dan permasalahannya sebagaimana
yang ditulis oleh Al-Bukhari dan Muslim.8.

Di antara kitab-kitab ilmu hadits pada abad ini adalah kitab Mukhtalif Al-Hadîts, yaitu
Ikhtilâf Al-Hadîts karya Ali bin Al-Madani, dan ta’wîl Mukhtalif Al-Hadîts karya Ibnu Qutaibah (w.
276 H). Kedua kitab tersebut ditulis untuk menjawab tantangan dari serangan kelompok teolog yang
sedang berkembang pada masa itu, terutama dari golongan Mu’tazilah dan ahli bid’ah. Di antara
ulama ada yang menulis ilmu hadits pada mukadimah bukunya seperti Imam Muslim dalam kitab
Shahîh-nya dan At-Tirmidzi pada akhir kitab Jâmi’-nya. Diantara mereka Al-Bukhari menulis tiga
Târîkh, yaitu At- Târîkh Al-Kabîr, At-Târîkh AlAwsâth dan At-Târîkh Ash-Shaghîr, Muslim menulis
Thabaqât At- Tâbi’in dan Al-‘Ilal, AtTirmidzi menulis Al-Asmâ’ wa Al-Kunâ dan KitâbAt-Tawârikh,
dan Muhammad bin Sa’ad menulis Ath-Thabaqât Al-Kubrâ. Dan di antara mereka ada yang menulis
secara khusus tentang periwayat yang lemah seperti Ad-Dhu’afâ’ ditulis oleh Al-Bukhari dan Ad-
Dhu’afâ’ ditulis oleh An-Nasa’i, dan lain-lain.

Banyak sekali kitab-kitab ilmu hadits yang ditulis oleh para ulama abad ke-3 Hijriyah ini,
namun buku-buku tersebut belum berdiri sendiri sebagai ilmu hadits, ia hanya terdiri dari bab-bab
saja. Perkembangan ilmu hadits mencapai puncak kematangan dan berdiri sendiri pada abad ke-4 H
yang merupakan penggabungan dan penyempurnaan berbagai ilmu yang berkembang pada abad-abad
sebelumnya secara terpisah dan berserakan. Al-Qadhi Abu Muhammad Al-Hasan bin Abdurrahman
bin Khalad Ar-Ramahurmuzi (w. 360 H) adalah orang yang pertama kali memunculkan ilmu hadits
yang berdiri sendiri dalam karyanya Al-Muhaddits Al-Fâshil bain Ar-Râwî wa Al-Wâî. Akan tetapi,
tentunya tidak mencakup keseluruhan permasalahan ilmu, kemudian diikuti oleh Al-Hakim Abu
Abdullah An- Naisaburi (w. 405 H) yang menulis Ma’rifah “ulûm Al-Hadîts tetapi kurang sistematik,
Al-Khathib Abu Bakar Al-Baghdadi (w. 364 H) yang menulis Al-Jâmi li Adâb Asy-Syaikh wa As-
Sâmi’ dan kemudian diikuti oleh penulis-penulis lain.

Ringkasan Perkembangan Pembukuan Ilmu Hadits :

No. Masa Karakteristik

1 Masa Nabi Muhammad SAW Telah ada dasar-dasar ilmu hadits.


2 Masa Sahabat Timbul secara lisan, secara eksplisit.
Telah timbul secara tertulis, tetapi belum terpisah dengan
3 Masa Tabi’in
ilmu lain.

8
Ilmu hadits telah timbul secara terpisah dari ilmu-ilmu
4 Masa Tabi’ Tabi’in
lain, tetapi belum menyatu.
Masa setelah Tabi’ Tabi’in
5 Berdiri sendiri sebagai ilmu hadits.
(abad ke-4 H)

C. MACAM-MACAM HADITS

Ditnjau dari segi perawinya, hadits terbagi ke dalam tga bagian, yaitu seperti berikut.

1. Hadits Mutawatir

Hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak perawi, baik dari kalangan para
sahabat maupun generasi sesudahnya dan dipastkan di antara mereka tidak bersepakat dusta.
Contohnya adalah hadits yang berbunyi:

Artinya: “Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: Barangsiapa berdusta atas namaku
dengan sengaja, maka tempatnya adalah neraka.” (H.R. Bukhari, Muslim)

2. Hadits Masyhur
Hadits masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang sahabat atau lebih yang tidak
mencapai derajat mutawatr, namun setelah itu tersebar dan diriwayatkan oleh sekian banyak tabi’in
sehingga tidak mungkin bersepakat dusta. Contoh hadits jenis ini adalah hadits yang artnya, “Orang
Islam adalah orang-orang yang tidak mengganggu orang lain dengan lidah dan tangannya.” (H.R.
Bukhari, Muslim dan Tirmizi)

3. Hadits Ahad
Hadits ahad adalah hadits yang hanya diriwayatkan oleh satu atau dua orang perawi, sehingga tidak
mencapai derajat mutawatr.

Dilihat dari segi kualitas orang yang meriwayatkannya (perawi), hadits dibagi ke dalam tiga
bagian, yaitu sebagai berikut.
1. Hadits sahih, adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, kuat hafalannya, tajam
penelitannya, sanadnya bersambung kepada Rasulullah saw., tidak tercela, dan tidak
bertentangan dengan riwayat orang yang lebih terpercaya. Hadits ini dijadikan sebagai
sumber hukum dalam beribadah (hujjah).
2. Hadits hasan, adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, tetapi kurang kuat
hafalannya, sanadnya bersambung, tidak cacat, dan tidak bertentangan. Sama sepert hadits
sahih, hadits ini dijadikan sebagai landasan mengerjakan amal ibadah.

9
3. Hadits da’if, yaitu hadits yang tidak memenuhi kualitas hadits sahih dan hadits hasan. Para
ulama mengatakan bahwa hadits ini tidak dapat dijadikan sebagai hujjah, tetapi dapat
dijadikan sebagai motivasi dalam beribadah.
4. Hadits Maudu’, yaitu hadits yang bukan bersumber kepada Rasulullah saw. atau hadits palsu.
Dikatakan hadits padahal sama sekali bukan hadits. Hadits ini jelas tidak dapat dijadikan
landasan hukum, hadits ini tertolak.

D. FUNGSI HADITS TERHADAP AL-QUR’AN

Fungsi hadits terhadap al-Qur’an dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu sebagai berikut.

1. Menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat umum

Contohnya adalah ayatal-Qur’anyang memerintahkansalat. Perintah salat dalam al-Qur’an masih


bersifat umum sehingga diperjelas dengan hadits-hadits Rasulullah saw. tentang salat, baik tentang
tata caranya maupun jumlah bilangan raka’at-nya. Untuk menjelaskan perintah salat tersebut,
misalnya keluarlah sebuah hadits yang berbunyi, “salatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku
salat”. (H.R. Bukhari)

2. Memperkuat pernyataan yang ada dalam al-Qur’an

Seperti dalam al-Qur’an terdapat ayat yang menyatakan, “Barangsiapa di antara kalian melihat bulan,
maka berpuasalah!” Kemudian ayat tersebut diperkuat oleh sebuah hadits yang berbunyi, “...
berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya ...” (H.R. Bukhari dan Muslim)

3. Menerangkan maksud dan tujuan ayat yang ada dalam al-Qur’an

Misal, dalam Q.S. at-Taubah/9:34 dikatakan, “Orang-orang yang menyimpan emas dan perak,
kemudian tidak membelanjakannya di jalan Allah Swt., gembirakanlah mereka dengan azab yang
pedih!” Ayat ini dijelaskan oleh hadits yang berbunyi, “Allah Swt. tidak mewajibkan zakat kecuali
supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakat.” (H.R. Baihaqi)
4. Menetapkan hukum baru yang tidak terdapat dalam al-Qur’an

Maksudnya adalah bahwa jika suatu masalah tidak terdapat hukumnya dalam al-Qur’an, diambil dari
hadits yang sesuai. Misalnya, bagaimana hukumnya seorang laki-laki yang menikahi saudara
perempuan istrinya. Hal tersebut dijelaskan dalam sebuah hadits Rasulullah saw.:

Artnya: “Dari Abi Hurairah ra. Rasulullah saw. bersabda: “Dilarang seseorang mengumpulkan

10
(mengawini secara bersama) seorang perempuan dengan saudara dari ayahnya serta seorang perempuan
dengan saudara perempuan dari ibunya.” (H.R. Bukhari)

E. MANFAAT MEMPELAJARI ILMU HADITS

Banyak sekali faedah dan manfaat yang diperoleh dalam mempelajari ilmu hadits, di antaranya
sebagai berikut:

1. Mengetahui istilah-istilah yang disepakati ulama hadits dalam penelitian hadits. Demikian
juga dapat mengenal nilai-nilai dan kriteria hadits; mana hadits dan mana yang bukan hadits.
2. Mengetahui kaidah-kaidah yang disepakati para ulama dalam menilai, menyaring (filterasi)
dan mengklasifikasi ke dalam beberapa macam, baik dari segi kuantitas maupun kualitas
sanad dan matan hadits sehingga dapat menyimpulkan mana hadits yang diterima dan mana
hadits yang ditolak.
3. Mengetahui usaha-usaha dan jerih payah yang ditempuh para ulama dalam menerima dan
menyampaikan periwayatan hadits, kemudian menghimpun dan mengodifikasi ke dalam
berbagai kitab hadits.
4. Mengenal tokoh-tokoh ilmu hadits, baik dirâyah maupun riwâyah yang mempunyai peran
penting dalam perkembangan pemeliharaan hadits sebagai sumber syari’ah Islamiyah
sehingga hadits terpelihara dari pemalsuan tangantangan kotor yang tidak bertanggung jawab.
Seaindainya terjadi hal tersebut, mereka pun dapat mengungkap dan meluruskan yang
sebenarnya
5. Mengetahui hadits yang shahîh, hasan, dha’îf, muttashil, mursal, munqati’, mu’dal, maqlûb,
masyhûr, gharîb, ‘azîz mutawâtir, dan lain-lain.

Demikian pentingnya ilmu hadits untuk dipelajari bagi semua umat Islam, terutama bagi yang
ingin mempelajari ilmu agama secara dalam sehingga tidak goyah dalam menghadapi goyangan iman
yang meragukan otentisitas hadits.

11
BAB III
PENUTUP

1.1 Kesimpulan

Dari segi bahasa ilmu hadis terdiri dari dua kata, yaitu ilmu dan hadis. Secara sederhana ilmu
artinya pengetahuan, knowledge dan science. Atau ilmu hadis adalah ilmu yang mempelajari tentang
keterangan suatu hal yang dengan hal itu kita dapat mengetahui bahwa hadis itu diterima atau tidak.

Pada dasarnya, penulisan ilmu hadis baru dimulai sejak abad ke 2 Hijriyah. Sejarah
perkembangan dari masa Nabi Muhammad telah ada dasar-dasar ilmu hadis serta pada masa Nabi
masih hidup penulisan hadis dilarang keras oleh Nabi, karena khawatir akan bercampur dengan Al-
Quran dengan hadis. Pada masa sahabat para sahabat sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadis
karena konsentrasi mereka kepada Alquran yang baru dikodifikasi pada masa Abu Bakar tahap awal
dan masa Utsman tahap kedua, pada masa sahabat ilmu hadis timbul secara lisan atau secara eksplisit.
Pada masa Tabi’in (abad ke-4 H) telah timbul secara tertulis, tetapi belum terpisah dengan ilmu lain.
Pada masa Tabi’ Tabi’in, imu hadis telah timbul secara terpisah dari ilmu-ilmu lain, tetapi belum
menyatu. Sedangkan, pada masa setelah Tabi’ Tabi’in ilmu hadis berdiri sendiri sebagai ilmu hadis.

Dengan hadits dirayah kita dapat mengetahui masalah-masalah untuk mengetahui layak atau
tidaknya seorang perawi dalam meriwayatkan sebuah hadits. Dengan dua ilmu tersebut kita dapat
mengetahui sejarah tentang turun temurunnya sebuah hadits.

1.2 Saran

Menyadari bahwa kami masih jauh dari kata sempurna, kedepannya kami akan lebih fokus dan detail
dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber – sumber yang lebih banyak yang
tentunya dapat di pertanggung jawabkan.

Untuk saran bisa berisi kritik atau saran terhadap penulisan juga bisa untuk menanggapi terhadap
kesimpulan dari bahasan makalah yang telah di jelaskan.

Untuk bagian terakhir dari makalah adalah daftar pustaka. Pada kesempatan lain akan saya jelaskan
tentang daftar pustaka makalah.

12
DAFTAR PUSTAKA

Hamid, A. 2016. Pengantar Studi Al-Qur’an. Jakarta: Kencana.

file:///C:/Users/rohay/Downloads/PENGANTAR%20DAN%20SEJARAH%20PERKEMBANGAN%
20ILMU%20HADITS.pdf

http://makalahkampus15.blogspot.com/2017/10/makalah-studi-hadits-pengertian-sejarah.html

13

Anda mungkin juga menyukai