Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

MASA KODIFIKASI HADIST

Disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Studi Hadist dan Hadist
Tarbawi

Dosen Pengampu : Bpk Mahrus Zainul Umam, S.Pd.I M.Pd.

Disusun Oleh Kelompok 5 :

Emalia Putri (202101030083)

Sifa Siti Wulandari(202101030081)

Mohamad Saddam Husain (202101030092)

Yussi Anjani (202101030056)

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

PRODI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER

SEPTEMBER,2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan
makalah tentang Masa Kodifikasi Hadist.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai Masa Kodifikasi Hadist. Kami juga
menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh
dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan
demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang,
mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang


membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami
sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila
terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan
saran yang membangun dari Anda demi perbaikan makalah ini di waktu yang
akan datang.

Jember, 25 September 2020

Kelompok 5

1
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................................1
KATA PENGANTAR.........................................................................................................1
DAFTAR ISI........................................................................................................................2
BAB I...................................................................................................................................3
PENDAHULUAN...............................................................................................................3
Latar Belakang.................................................................................................................3
Rumusan Masalah................................................................................................................3
BAB II..................................................................................................................................4
PEMBAHASAN..................................................................................................................4
Pengertian Hadist.............................................................................................................4
Hadis pada Masa Rasulullah SAW..................................................................................4
Hadis pada Masa Sahabat....................................................................................................7
Hadis pada Masa Tabi’in.................................................................................................9
Masa Kodifikasi Hadis...................................................................................................10
BAB III..............................................................................................................................12
PENUTUP..........................................................................................................................12
Kesimpulan....................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................13

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hadis nabi merupakan sumber ajaran agama Islam yang kedua setelah
Al-Quran. Hadis adalah ucapan (qauli) dan tindakan (fi’li) serta sikap dan
kesan (taqrir) Nabi Muhammad SAW terhadap sesuatu. Hadis dalam risalah
Islam merupakan teladan yang wajib diikuti. Sebagian besar hadis
diriwayatkan secara lisan oleh sahabat kepada generasi penerus mereka para
tabi’in.
Membicarakan sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis bertujuan
untuk mengangkat fakta dan peristiwa yang terjadi pada masa Rasulullah
SAW, masa sahabat, masa tabi’in, dan masa-masa berikutnya. Usaha
mempelajari hal ini diharapkan dapat menggambarkan sikap dan tindakan
umat Islam, khususnya para ulama ahli hadis terhadap hadis serta usaha
pembinaan dan pemeliharaannya tiap periode.1
Pengetahuan tentang sejarah perkembangan hadis dan kodifikasinya
sangat penting bagi mahasiswa, agar mereka memiliki pemahaman yang utuh
dan komprehensif mengenai hakekat hadis dan sumber-sumber rujukannya. 2
Oleh karena itu, agar mengetahui lebih lanjut mengenai perkembangan hadis,
maka dalam makalah ini akan diuraikan mengenai kodifikasi hadis lebih
lengkap.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pertumbuhan dan perkembangan hadis pada masa Rasul?
2. Bagaimana pertumbuhan dan perkembangan hadis pada masa sahabat?
3. Bagaimana pertumbuhan dan perkembangan hadis pada masa tabi’in?

1
Mudasir. Ilmu Hadist. (Bandung: Pustaka setia 1999).H.87
2
Octoberriansyah,dkk Al-Hadist (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijogo 2005).H.29

3
4. Bagaimana awal mula dan proses kodifikasi hadis

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadist
Ada tiga kata yang dijadikan makna dari hadis itu sendiri, yaitu:
1. Khabar – Ini artinya warta atau berita, dalam istilahnya ini banyak
diartikan dengan segala sesuatu yang diperbincangkan atau ucapan yang
dipindahkan dari seseorang kepada orang lain atau yang lebih dikenal
dengan “ma yatahaddatsu bihi wa yunqalu”. Dari makna ini yang
kemudian disebut perkataan “hadis Nabi”
2. Jadid – Artinya baru, ini adalah lawan kata dari qadim yang berarti yang
sudah lama. Jadi, hadis bisa juga diartikan dengan sesuatu yang baru jika
disandarkan dalam katanya saja, kecuali jika disandarkan pada nabi maka
maknanya lain lagi.
3. Qarib – Bermakna yang dekat, atau yang belum lama ini berlangsung atau
terjadi, misalnya dalam kalimat “haditsul ahdi bil-Islam” yang artinya
orang yang baru masuk Islam. Adapun jamaknya huduts atau hidats.
4. Jamak dari kata hadis bisa hudtsan atau hidtsan dan biasa juga disebut
ahadits. Bahkan jamak yang terakhir disebut inilah yang selalu digunakan
untuk mengungkapkan hadis-hadis yang bersumber dari nabi, yakni
Ahaditsul Rasul.
Menurut istilah dari ahli hadis, oleh al-Hafidh dalam syarah Al-Bukhary
menyebukan soal pengertian hadis ini, yakni:
‫َأْقَو اُلُه صلى هللا عليه وسلم َو َأْفَع اُلُه َو َأْح َو اُلُه‬
“Segala ucaban Nabi saw., segala perbuatannya dan juga segala keadaan
beliau.”
.

5
B. pada Masa Rasulullah SAW
Periode Rasul SAW merupakan periode yang cukup singkat, yaitu
berlangsung selama 23 tahun. Mulai tahun 13 sebelum hijriah sampai 11
tahun hijriah. Sebagai pewaris pertama Islam, sahabat sangat serius dan
berhati-hati dalam menerima sumber ajaran. Karena mereka
bertanggungjawab atas terpelihara dan tersampaikannya kepada pewaris
berikutnya. Umat Islam pada masa ini, dapat secara langsung memperoleh
Hadis dari Rasul SAW sebagai sumber Hadis tanpa ada jarak yang
menghambat pertemuannya.3 Untuk lebih memberikan arti dan bobot bagi
peningkatan kualitas para sahabat dalam menerima dan menyampaikan
ajaran, Rasul SAW menyampaikan beberapa petunjuk dan spirit. Dalam
sebuah Hadis riwayat Ahmad dari Abu Hurairah misalnya, beliau bersabda,
bahwa siapa saja yang dikehendaki oleh Allah adanya kebaikan pada dirinya,
ia akan diberi kefahaman dalam soal agama. Dalam hadis riwayat Ath-
Thabrani juga disebutkan, “Jadilah pengajar, atau pelajar, atau pendengar,
atau yang mencintai ilmu.” Dalam beberapa sabdanya, beliau menyampaikan
wasiat-wasiatnya untuk selalu menyampaikan Hadis kepada orang lain. Rasul
juga menyatakan ketinggian kedudukan siapa saja yang belajar dan
mengajarkan ajaran-ajarannya, sehingga dinilai sebagai seorang mujahid fi
sabilillah.4 Pertama, melalui para jamaah pada pusat pembinaannya yang
disebut majlis al-‘Ilmi. Melalui mejelis ini, para sahabat berpeluang banyak
untuk menerima Hadis, sehingga selalu lebih mengonsentrasikan diri.
Terkadang, kepala-kepala suku yang jauh dari Madinah mengirim utusannya
ke majelis ini, untuk kembali diajarkan ketika kembali. Kedua, dalam banyak
kesempatan Rasul SAW juga menyampaikan hadisnya melalui para sahabat
tertentu, kemudian disampaikan kepada orang lain. Untuk hal-hal sensitif
seperti, berkaitan dengan soal keluarga dan kebutuhan biologis (hubungan
suami – isteri), akan disampaikan melalui istri-istrinya. Ketiga, melalui
ceramah terbuka, seperti ketika haji wada’ dan futuh Makkah. Keempat,

3
Ranuwijaya, Utang. Ilmu Hadis (Jakarta: Gaya Media Pratama. 1996).

4
Ibid., h. 46

6
melalui perbuatan langsung yang disaksikan oleh para sahabat, seperti praktik
ibadah dan muamalah. 5
Tujuan Rasul menyampaikan hadis kepada para sahabat, di antaranya
ialah bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat yang diturunkan Allah
kepadanya dalam waktu yang cukup panjang dan menjelaskan kepastian
hukum tentang suatu peristiwa.6
Para sahabat tidak memiliki kadar perolehan dan penguasaan hadis yang
sama antara satu dan lainnya. Hal ini bergantung pada beberapa hal berikut:7
1. Perbedaan mereka dalam soal kesempatan bersama Rasulullah SAW.
2. Perbedaan dalam soal kesanggupan untuk selalu bersama Rasulullah
SAW.
3. Perbedaan mereka dalam soal kekuatan hafalan dan kesungguhan
bertanya kepada sahabat lain.
4. Perbedaan mereka dalam waktu masuk Islam dan jarak tempat
tinggal ke majelis.
Ada beberapa sahabat yang banyak menerima hadis dari rasul SAW,
dengan beberapa penyebabnya. Mereka adalah antara lain: 8 Para sahabat yang
tergolong kelompok As-Sabiqun Al-Awwalun (yang mula-mula masuk Islam),
seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib,
dan Ibnu Mas’ud.
1. Ummahat Al-Mukminin (istri-istri Rasulullah SAW), seperti Siti
Aisyah dan Ummu Salamah. Mereka lebih dekat dengan Rasulullah
SAWdaripada sahabat lainnya. Hadis-hadis yang diterima berkaitan
dengan persoalan keluarga dan pergaulan suami-istri.
2. Para sahabat yang selalu dekat dengan Rasulullah SAW dan juga
menuliskan hadis yang diterimanya, seperti Abdullah bin Amr bin
Al-As.
3. Sahabat yang tidak lama bersama Rasulullah SAW tetapi banyak
bertanya kepada para sahabat lainnya dengan sungguh-sungguh
seperti Abu Hurairah.
5
Ranuwijaya,Utang. Ilmu Hadis. Op.cit., h.47-48
6
Ibid., h.46.
7
Mudasir. Ilmu Hadis, op. cit., h. 89.
8
Ibid., h.90.

7
4. Sabahat yang sungguh-sungguh mengikuti majelis dan banyak
bertanya kepada sahabat lain, dan dari usia mereka hidup lebih lama
dari wafatnya Rasulullah, seperti Abdullah bin Umar, Anas bin
Malik, dan Abdullah bin Abbas.
Terhadap hadis, Rasul memberi perintah resmi untuk menghafal dan
menyampaikannya kepada orang lain.9 Aktifitas mencatat atau menulis hadis
yang sifatnya perorangan diperbolehkan oleh Rasul. Beliau bersabda:

)‫الحق اال منه يخرج ما بيده نفسى فوالذى اكتب (البخارى رواه‬

“Tulislah! Demi zat yang diriku berada pada kekuasaan-Nya tidak ada yang
keluar dari padanya kecuali yang benar.” (H.R. al-Bukhari).10 Beberapa
sahabat menulis hadis yang mereka terima dari Rasul SAW untuk disimpan
sendiri.

C. Hadis pada Masa Sahabat


Periode ini dikhususkan masa khulafaur rasyidin. Masa ini terhitung
sejak tahun 11 Hijriah sampai 40 H, disebut masa sahabat besar. Menjelang
akhir kerasulannya, Rasul SAW berpesan kepada para sahabat agar
berpegang teguh kepada Al-Quran dan Hadis, serta mengajarkannya kepada
orang lain.11 Setelah Rasul wafat, perhatian para sahabat terfokus pada usaha
menyebarluaskan dan memelihara Al-Quran. Meskipun demikian, bukan
berarti mereka melalaikan dan tidak menaruh perhatian terhadap hadis.
Mereka memegang hadis, sebagai amanah Rasul SAW sebagaimana halnya
yang diterimanya secara utuh ketika beliau masih hidup. Akan tetapi, dalam
meriwayatkannya mereka sangat berhati-hati. Kehati-hatian ini dilakukan
karena mereka khawatir terjadinya kekeliruan.12 Diriwayatkan oleh Ibnu
Syihab dari Qabisah bin Zuaib bahwa seorang nenek bertanya kepada Abu
Bakar tentnag bagian warisan untuk dirinya. Ketika ia menyatakan bahwa hal

9
Ranuwijaya, Utang. Op.cit. h.50.
10
Ibid., h. 52
11
Mudasir. Op. cit., h. 95.
12
Ranuwijaya, Utang. Op. cit., h. 54-56.

8
itu tidak ditemukan hukumnya, baik dalam Al-Quran maupun hadis, Al-
Mugirah menyebutkan bahwa Rasul SAW memberinya seperenam. Abu
Bakar kemudian meminta Al-Mugirah untuk mengajukan saksi. Sikap kehati-
hatian yang dilakukan tiga sahabat lain, yaitu selalu meminta saksi jika ada
yang meriwayatkan hadis. Selain cara tersebut, Ali kadang menguji dengan
sumpah.13 Pada masa ini belum ada usaha resmi untuk menghimpun hadis
dalam suatu kitab, seperti halnya Al-Quran. Hal ini dikarenakan agar tidak
memalingkan perhatian umat dalam mempelajari Al-Quran, dan tersebarnya
para sahabat di berbagai daerah kekuasaan Islam menyebabkan sulitnya
mereka berkumpul dan dikhawatirkan terjadi perselisihan pendapat.14
Ada dua jalan yang ditempuh para sahabat dalam meriwayatkan hadis
dari Rasul SAW, yaitu:15 Periwayatan Lafdzi
Adalah periwayatan yang redaksi atau matannya sama persis
seperti yang diwurudkan Rasul SAW. Ini hanya bisa dilakukan
apabila mereka benar, benar menghafal hadis yang disabdakan Rasul
SAW. Kebanyakan sahabat menempuh periwayatan hadis dengan
cara ini. Di antara sahabat yang paling menuntut periwayatan hadis
dengan lafdzi adalah Ibnu Umar.
1. Periwayatan Maknawi
Periwayatan hadis yang matannya tidak sama dengan yang
didengar dari Rasul SAW tetapi isi dan maknanya tetap terjaga
secara utuh. Sahabat lain berpendapat bahwa dalam keadaan darurat
karena tidak hafal persis, dibolehkan meriwayatkan hadis secara
maknawi. periwayatan ini mengakibatkan munculnya hadis-hadis
yang redaksinya antara satu hadis dengan lainnya berbeda, meskipun
maksudnya sama. Hal ini bergantung kepada para sahabat atau
geenrasi yang meriwayatkan.
Perselisihan para ulama dalam pembukuan hadis berpangkal pada adanya
dua kelompok hadis, yang dari sudut zhahirnya nampak adanya kontradiksi.
Kelompok pertama menunjukkan adanya larangan Rasul SAW menuliskan

13
Mudasir. Op. cit., h. 97.
14
Ranuwijaya. Utang. Op. cit., h.58
15
Mudasir. Op. cit., h. 98-99.

9
hadis, dan kelompok kedua menujukkan adanya perintah Rasul SAW untuk
menuliskan hadis. adanya dua kelompok tersebut mengundang perhatian para
ulama untuk menemukan penyelesaiannya. Di antara mereka ada yang
mencoba menggugurkan salah satunya, seperti dengan jalan melihat mana
hadis yang datang terdahulu untuk dihapus ketentuannyta dengan hadis yang
datang kemudian, dan ada yang berusaha men-taufiq-kan keduanya tetap
digunakan.16
Menurut An-Nawawi dan as-Syuyuti, bahwa larangan tersebut
dimaksudkan bagi orang yang kuat hafalannya, sheingga tidak ada
kekhawatiran terjadinya lupa. Akan tetapi, bagi orang yang khawatir lupa
atau kurang kuat ingatannya, diperbolehkan mencatatnya. Menurut Ibnu
Hajar al-Asqalani, larangan Rasul SAW menuliskan hadis adalah ketika Al-
Quran diturunkan. Ini karena adanya kekhawatiran tercampurnya antara ayat
Al-Quran dengan hadis.17 Beberapa pendapat lainnya ada yang menyebutkan
bahwa larangan pembukuan hadis terjadi pada periode awal Islam, karena
adanya keterbatasan tenaga dan fasilitas. Maka pada saat umat Islam sudah
semakin bertambah dan tenaga penulis hadis sudah cukup memungkinkan,
penulisan hadis dibolehkan. Ada pula ulama yang memandang bahwa
laranagan tersebut pada dasarnya bagi orang yang kuat hafalannya. Ijin
penulisan diberikan kepada orang yang lemah hafalannya atau yang khawatir
lupa. ada ulama yang memandang bahwa larangan tersebut dlaam bentuk
umum, yang sasarannya masyarakat banyak. Akan tetapi, untuk oang-orang
tertentu yang mempunyai keahlian menulis dan membaca, dibolehkan.18

D. Hadis pada Masa Tabi’in


Sejalan dengan pesatnya perluasan wilayah kekuasaan Islam, penyebaran
para sahabat ke daerah-daerah terus meningkat, yang berarti penyebaran hadis
juga meningkat. Oleh sebab itu, masa ini dikenal dengan masa menyebarnya
periwayatan hadis (intisyar ar-riwayah). Tercatat beberapa kota yang
dijadikan sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan hadis. kemudian
16
Ranuwijaya. Utang. Op. cit., h. 58-59.
17
Loc. Cit.
18
Ibid. h. 60-61

10
menjadi pusat kegiatan para tabi’in meriwayatkan hadis kepada para
muridnya. Kota-kota tersebut ialah Madinah, Makkah, Kuffah, Bashrah,
Syam, Mesir, Magrib, Andalus, Yaman, dan Khurasan. Ada beberapa orang
yang meriwayatkan hadis cukup banyak, di antaranya yaitu Abu Hurairah,
Abdullah bin Uamr, Anas bin Malik, A’isyah, Abdullah bin Abbas, Jabir bin
Abdillah, dan Abi Sa’id al-Khudzri.19
Pergolakan politik yang terjadi pada masa sahabat berakibat cukup
panjang dan berlarut-larut. Secara langsung atau tidak, pergolakan ini
memberi pengaru terhadap perkembangan hadis berikutnya. Pengaruh
langsungnya ialah munculnya hadis-hadis palsu untuk mendukung
kepentingan politik. Pengaruh lainnya yang bernilai positif adalah lahirnya
rencana dan usaha yang mendorong diadakannya kodifikasi hadis sebagai
upaya penyelamatan dari permusuhan dan pemalsuan akibat pergolakan
tersebut.20

E. Masa Kodifikasi Hadis


Kodifikasi atau tadwin hadis artinya pencatatan, penulisan, atau
pembukuan hadis. Yang dimaskud dengan kodifikasi hadis periode ini adalah
kodifikasi secara resmi berdasarkan perintah kepada negara, dengan
melibatkan beberapa sahabat yan ahli di bidangnya, tidak seperti kodifikasi
yang dilakukan secara perorangan untuk kepentingan pribadi.21
Kegiatan ini dimulai pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz. Alasan
pengkodifikasian hadis ini karena khalifah Umar khawatir hilangnya hadis-
hadis dengan meninggalnya para ulama di medan perang. Selain itu, ia
khawatir akan tercampurnya anatar hadis-hadis yang shahih dengan hadis-
hadis yang palsu. Kemudian dengan semakin meluasnya daerah kekuasaan
Islam, sementara kemampuan para tabi’in anatar satu dengan yang lainnya
tidak sama. Khalifah Umar sebagai pelopor yang memberi instruksi untuk
membukukan hadis, turut terlibat mendiskusikan hadis yang dihimpun.

19
Ibid., h. 61-62.
20
Mudasir.Ilmu Hadist. Op. cit., h. 103
21
Ibid., h. 105

11
Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengirim surat ke beberapa ulama dan
penguasa yang berisi perintah untuk segera menghimpun hadis-hadis yang
masih tersebar di masyarakat. Salah seorang penguasa yang mendapat
perintah tersebut adalah Abu Bakar ibn Muhammad ibn Amr ibn Hazm,
sebagai Gubernur Madinah. Dia diberi tugas untuk mengumpulkan hadis
yang ada pada Amrah binti Abdurrahman murid kepercayaan ‘Aisyah, dan al-
Qasim ibn Muhammad ibn Abu Bakar Ash-Shidiq, seorang pemuka tabi’in
yang merupakan salah satu dari tujuh fuqaha Madinah. Sedangkan ulama
yang dipercaya melakukan tugas yang sama adalah Abu Bakar Muhammad
ibn Muslim ibn Ubaidillah ibn Syihab al-Zuhry, seorang tabi’in yang ahli di
bidang fiqh dan hadis.22 Hadis yang dihimpun Abu Bakar ibn Hazm tidak
selengkap yang dihimpun Ibn Syihab Al-Zuhry. Sayangnya, kedua karya
tabi’in ini tidak sampai kepada geenrasi sekarang karena tidak dapat dilacak
keberadaannya. Namun demikian, ada beberapa kitab hasil kodifikasi para
ulama yang masyhur dan mendapat perhatian besar, yaitu al-Muwaththa’
ditulis oleh Malik ibn Annas, al-Musnad karya Imam Al-Syafi’i, Mukhtalif
al-Hadis, dan al-Sirah al-Nabawiyah (al-Maghazi wa al-Siyr).23

22
Ranuwijaya, Utang. Op. cit., h. 66-68
23
Octoberrinsyah, dkk. Op. cit., h. 42-43

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Hadis adalah ucapan (qauli) dan tindakan (fi’li) serta sikap dan kesan (taqrir)
Nabi Muhammad SAW terhadap sesuatu. Hadis kerap kali disamakan artinya
dengan Sunnah, Khabar, dan Atsar.
Aktifitas mencatat atau menulis hadis yang sifatnya perorangan
diperbolehkan oleh Rasul. Pergolakan politik yang terjadi pada masa sahabat
berakibat cukup panjang dan berlarut-larut. Secara langsung atau tidak,
pergolakan ini memberi pengaruh terhadap perkembangan hadis berikutnya.
Munculnya hadis-hadis palsu melahirnya rencana dan usaha diadakannya
kodifikasi hadis sebagai upaya penyelamatan. Kegiatan ini dimulai pada masa
khalifah Umar bin Abdul Aziz. Khalifah Umar sebagai pelopor yang memberi
instruksi untuk membukukan hadis, turut terlibat mendiskusikan hadis yang
dihimpun.
Selanjutnya dilakukan penyeleksian dan pen-tashih-an. Penyaringan hadis
dilakukan untuk memisahkan hadis dhaif dari yang shahih. Hasil nyata dari
upaya ini adalah lahirnya kitab-kitab hadis induk yang enam (al-Kutub al-Sittah).
Kitab-kitab yang dianggap berkualitas standar karena telah memuat hampir
seluruh hadis Nabi SAW yang shahih. Kitab-kitab tersebut adalah: Al-Jami’ah Al-
Shahih karya al-Bukhari, Al-Jami’ah al-Shahih karya Muslim, Al-Sunan karya
Abu Dawud, Al-Sunan karya al-Turmudzi, Al-Sunan karya al-Nasa’i, dan Al-
Sunan karya Ibn Majah.

13
DAFTAR PUSTAKA

Mudasir. (1999). Ilmu Hadis. Bandung: Pustaka Setia..


Muhammad Alawi Al-Maliki. (2006). Ilmu Ushul Hadis. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Octoberrinsyah, dkk. (2005). Al-Hadis. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan
Kalijaga.
Ranuwijaya, Utang. (1996). Ilmu Hadis. Jakarta: Gaya Media Pratama.

14

Anda mungkin juga menyukai