Anda di halaman 1dari 36

MAKALAH

PEMBAGIAN HADITS

DOSEN PENGAMPU :ANNISA RASYIDAH, M.Pd

Nama Anggota :

Chaerul Amin : 190101040052

Hafizatuzzahriah : 190101010253

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA

BANJARMASIN

2019
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT. atas berkat rahmat dan karunia-
Nya sehingga kita masih diberi nikmat kesehatan dan kesempatan hingga kami
dapat menyelesaikan makalah Ulumul Hadits dengan judul “Pembagian Hadist”.
Sholawat serta salam selalu tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yang telah membimbing ummat dari jalan
kegelapan menuju jalan yang terang benderang.
Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan dan masih banyak kekurangannya, hal ini dikarenakan keterbatasan
waktu, pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki penyusun, oleh karena itu
penyusun sangat mengharapkan adanya saran atau kritik yang sifatnya
membangun untuk perbaikan dimasa yang akan datang dan sebagai motivasi bagi
kami untuk lebih baik kedepannya.
Pada kesempatan ini, penyusun mengucapkan terimakasih kepada semua
pihak yang telah membantu menyelesaikan tugas ini terutama kepada dosen
pengampu mata kuliah. Semoga Allah SWT, membalas amal kebaikan beliau.
Jazaakumullahkhairon . Aamiin.
Dengan segala pengharapan dan doa semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi penyusun khususnya dan bagi pembaca umumnya.

Barakallahufiikum,
Wassalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh.

Banjarmasin, 5 Desember 2019

Penyusun

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................. i

DAFTAR ISI ................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1

A. Latar Belakang ................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ............................................................................. 1
C. Tujuan ............................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN .............................................................................. 2

A. Pembagian Hadis ditinjau dari Segi kuantitasnya ............................. 2


A. Hadis Mutawatir ........................................................................... 2
B. Hadis Ahad ................................................................................... 11
C. Perbedaan Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad ............................... 15
B. Pembagian Hadis ditinjau dari Segi kualitas ..................................... 16
A. Hadis Shahih ................................................................................ 20
B. Hadis Hasan .................................................................................. 27
C. Hadis Dha’if ................................................................................. 29

BAB III PENUTUP ...................................................................................... 32

A. Kesimpulan ....................................................................................... 32
B. Saran .................................................................................................. 32

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 33

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadis atau Al-hadits menurut bahasa artinya al-jadid yang artinya sesuatu
yang baru. Hadis juga sering disebut berita atau sesuatu yang dipercayakan
dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain.
Sedangkan menurut ahli hadis, pengertian hadis ialah segala perkataan
Nabi, perbuatan, dan hal ihwalnya. Yang dimaksud "hal ihwal" ialah segala
yang diriwayatkan dari Nabi SAW yang berkaitan dengan himmah,
karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaannya.
Ada juga yang memberikan pengertian lain yakni, hadis ialah sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir,
maupun sifat beliau. Namun, sebagian muhadditsin berpendapat bahwa
pengertian hadis yang seperti itu merupakan pengertian hadis yang sempit.
Menurut mereka, hadis mempunyai cakupan pengertian yang lebih luas; tidak
terbatas pada apa yang disandarkan kepada Nabi SAW saja, melainkan
termasuk juga yang disandarkan kepada para sahabat, dan tabi'in.
Hadis dari satu segi dapat dibagi menjadi dua, yaitu secara kuantitas dan
kualitas. Yang dimaksud segi kuantitasnya adalah penggolongan hadis ditinjau
dari banyaknya rawi yang meriwayatkan hadis, sedangkan kualitas adalah
penggolongan hadis dari aspek ditolak atau diterimanya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan maka dapat dirumuskan
beberapa masalah sebagai berikut:
1. Apa saja pembagian hadis jika ditinjau dari kuantitas rawi dan
klasifikasinya?
2. Apa saja pembagian hadis jika ditinjau dari kualitas rawi?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk menjelaskan pembagian hadis berdasarkan kuantitas rawi
2. Untuk menjelakana pembagian hadis berdasarkan kualitas rawi

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pembagian Hadis ditinjau dari segi Kuantitasnya

Dalam mentransmisikan hadis, Nabi Muhammad saw. Terkadang


berhadapan langsung dengan sahabat yang jumlahnya sangat banyak karena
pada saat itu nabi sedang memberikan khutbah dihadapan kaum muslimin,
kadang hanya beberapa sahabat, bahkan juga bias terjadi hanya satu atau dua
orang sahabat saja. Demikian itu terus terjadi dari sahabat ke tabi’in sampai
pada generasi yang menghimpun hadis dalam berbagai kitab.
Para ulama berbeda pendapat tentang pembagian hadis yang ditinjau dari
segi kuantitas atau jumlah rawi yang menjadi sumber berita. Ada dua
golongan ulama yang berpendapat tentang pembagian hadis ini.
Ulama golongan pertama, yang menjadikan hadis masyhur yang berdiri
sendiri dan tidak termasuk bagian dari hadis ahad dianut oleh sebagian ulama
ushul, diantaranya adalah Abu Bakar Al-Jashshah (305-370 H). Adapun ulama
golongan kedua diikuti oleh kebanyakan ulama ushul dan ulama kalam.
Menurut mereka, hadis masyhur bukan merupakan hadis yang berdiri sendiri,
tetapi merupakan bagian hadis ahad. Oleh sebab itulah mereka membagi hadis
menjadi dua bagian, yaitu mutawatir dan ahad.1

A. Hadis Mutawatir
a. Pengertian Hadis Mutawatir
Mutawatir menurut bahasa berarti mutatabi' , yakni sesuatu yang
datang berikut dengan kita atau yang beriring-iringan antara satu dengan
lainnya tanpa ada jaraknya2. Ada juga yang mengartikan mutawatir,

1
Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2010). hlm. 113
2
Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: Rajagrafindo persada, 2011). Hlm. 95.

2
menurut bahasa, adalah isim fa'il musytaq dari At-tawatur artinya At-
tatabu' (berturut-turut).3
Adapun pengertian hadis mutawatir menurut istilah, terdapat beberapa
formulasi definisi, antara lain sebagai berikut.
"Hadis mutawatir adalah yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang
tidak mungkin bersepakat untuk berdusta dari sejumlah rawi yang semisal
mereka dan seterusnya sampai akhir sanad, dan sanadnya mereka adalah
pancaindra”.4
Ada juga menurut istilah ulama hadis adalah
"Khabar yang didasarkan pada pancaindra yang dikabarkan oleh
sejumlah orang yang mustahil menurut adat mereka bersepakat untuk
mengabarkan berita itu dengan dusta." 5

Tidak dapat dikategorikan dalam hadis mutawatir, yaitu segala berita


yang diriwayatkan dengan tidak bersandar pada pancaindra, seperti
meriwayatkan tentang sifat-sifat manusia, baik yang terpuji maupun yang
tercela, juga segala berita yang diriwayatkan oleh orang banyak, tetapi
mereka berkumpul untuk bersepakat mengadakan berita-berita secara
dusta6. Karena kita tidak mendengar hadis itu langsung dari Nabi
Muhammad SAW, maka jalan penyampaian hadis itu atau orang-orang
yang menyampaikan hadis itu harus dapat memberikan keyakinan tentang
kebenaran hadis tersebut. Dalam sejarah para perawi diketahui bagaimana
cara perawi menerima dan menyampaikan hadis, yaitu ada yang melihat
atau mendengar, ada pula yang dengan tidak melalui perantaraan
pancaindra, misalnya dengan lafaz diberitakan dan sebagainya. Disamping
itu, dapat diketahui pula banyak atau sedikitnya orang yang meriwayatkan
hadis itu.

3
M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2009). Hlm
129.
4
Sohari Sahrani, Ulumul Hadits (Medan: Ghalia Indonesia, 2010) Hlm. 84.
5
M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2009). Hlm.
129-130.
6
Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir, Ulumul Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2000).
Hlm. 66.

3
Jadi hadis mutawatir adalah suatu hadis yang diriwayatkan oleh
sekelompok orang dengan jumlah tertentu yang menurut kebiasaan
mustahil bersepakat berdusta.

b. Syarat-syarat Hadis Mutawatir


Dari berbagai definisi di atas dapat dijelaskan bahwa hadist mutawatir
adalah berita hadist yang bersifat indrawi (didengar dan dilihat) yang
diriwayatkan oleh banyak orang yang mencapai maksimal di seluruh
tingkatan sanad dan akal menghukumi mustahil menurut tradisi (adat)
jumlah yang maksimal itu berpijak untuk kebohongan.
Menurut ulama mutaakhirin, ahli ushul, suatu hadis dapat ditetapkan
hadis muthawatir, bila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Diriwayatkan sejumlah orang banyak
Para perawi hadis mutawatir syaratnya harus berjumlah
banyak. Para ulama berbeda pendapat tentang jumlah banyak pada
para perawi hadis tersebut dan tidaka ada pembatasan yang tetap.
Di antara mereka ada yang berpendapat 4, 5, dan 10 orang karena
ia minimal jamak katsrah. 40 dan 70 orang untuk jumlah sahabat
Musa. Bahkan ada yang berpendapat 300 orang lebih. Namun
pendapat yang terpilih minimal 10 orang seperti pendapat Al-
Ishthikhari.
b. Adanya jumlah banyak pada seluruh tingkatan sanad
Jumlah banyak orang pada tingkatan sanad dari awal sampai
akhir. Jika jumlah banyak tersebut hanya sebagian pada sebagian
sanad saja maka tidak dinamakan mutawatir, tertapi dinamakan
ahad atau wahid. Misalnya, pada awal tingkatan sanad 10 orang,
tingkatan sanad berikutnya menjadi 20 orang, 40 orang, 100 orang
dan seterusnya. Jumlah yang seperti ini tetap dinamakan sama
banyak dan tergolong mutawatir.
c. Mustahil bersepakat bohong

4
Misalnya para parawi dalam sanad itu datang dari berbagai
negara yang berbeda, jenis yang berbeda, dan pendapat yang
berbeda pula. Sejumlah perawi yang banyak ini secara logika
mustahil terjadi adanya kesepakatan berbihong secara uruf
(tradisi). Berdasarkan ini, jika periwayatan suatu hadis berjumlah
besar sangat sulit mereka bersepakat bohong dalam suatu
periwayatan. Diantara alasan pengingkaran sunnah dalam
penolakan mutawatir adalah pencapaian jumlah banyak tidak
menjamin dihukumi mutawatir karena dimungkinkan adanya
kesepakatan berbohong. Hal ini karena mereka menganalogikan
dengan realita dunia dan kejujuran yang tidak dapat dipertanggung
jawabkan, apalagi jika ditunggangi masalah politik dan lain-lain.
Demikian halnya belum dikatakan mutawatir karena sekalipun
sudah mencapai jumlah banyak tetapi masih memungkinkan untuk
berkonsensus berbohong.
d. Sandaran berita itu pada pancaindra
Maksud sandaran pancaindra adalah berita itu didengar dengan
telinga atau dilihat dengan mata dan disentuh dengan kulit, tidak
disandarkan pada logika atau akal seperti sifat barunya alam,
berdasarkan kaedah logika; setiap yang baru itu berubah (kullu
haditsin mutaghayyirun).Alam berubah (al- alamu mutaghayyirun).
Jika demikian, Alam itu baru (al- alamu haditsun). Baru artinya
sesuatu yang disiptakan bukan wujud dengan sendirinya.7

Di samping keempat syarat di atas, Al- Qasimy masih menetapkan


syarat-syarat lainnya lagi sehingga hadis itu berstatus mutawatir. Yakni,
harus diriwayatkan oleh orang islam, yang bersifat adil dan dhabit.
Pendapat Al-Qasimy ini, dibantah oleh Ulama lainnya dengan
menyatakan:

7
Abdul Majid khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2013). Hlm. 100.

5
a. Dengan keempat syarat di atas, telah mengahsilkan khabar yang
yakin berasal dari Rasulullah. Sebab, tidak mungkin perawi yang
jumlahnya banyak di setiap thabaqahnya itu, menyampaikan berita
dusta kepada kita.
b. Tujuan membuat persyaratan itu, adalah untuk memperoleh
keyakinan bahwa berita yang disampaikan oleh para perawi itu,
benar-benar memang berasal dari Rasulullah. Sedang dengan
keempat syarat di atas, keyakinan itu telah dapat diperoleh.
c. Tentang perawi harus beragama islam, ternyata Rasulullah sendiri
pernah menerima berita dari seorang Baduwi tentang datangnya
tanggal 1 Ramadhan. Argumen ini, memang memang agak lemah.
Sebab, keadaan orang Baduwi yang waktu itu masih “polos” yang
membawa berita tentang tanggal 1 Ramadhan, tentu berbeda dengan
berita yang dibawa oleh orang sesudah zaman Nabi, tentang apa
yang berasal dari Nabi. Karena itu, untuk Hadis Ahad, syarat
beragama islam ini, diperlukan.

Hadis mutawatir memang sedikit jumlahnya disbandingkan dengan hadis


ahad tetapi cukup banyak sebagaimana yang dijelaskan dalam buku-buku
hadis mutawatir yang tenar. Diantaranya hadis tentang telaga (al-hawdh)
diriwayatkan lebih dari 50 orang sahabat, hadis tentang menyapu sepatu
(khawf) diriwayatkan 70 orang sahabat, hadis tentang mengankat kedua
tangan dalam shalat diriwayatkan oleh 50 orang sahabat, dan lain-lain.

c. Pembagian Hadis Mutawatir


Menurut sebagian ulama, hadis mutawatir itu terbagi menjadi dua,
yaitu mutawatir lafzhi dan mutawatir ma’nawi. Namun ada juaga yang
membaginya menjadi tiga, yakni ditambah dengan hadis mutawatir amali.
1. Mutawatir Lafzhi
Yang dimaksud dengan hadis mutawatir lafdzhi adalah:

َ َ‫احد‬
َ ‫مَ َات َواتَرَتََرَ َوايََت َهَعَلَىَلَفَظََ َو‬
“Hadis yang mutawatir periwayatannya dalam satu Lafzi”

6
Ada yang mengatakan bahwa mutawatir lafdzi adalah:

َ‫مَ َات َواتَرَلَفَظَ َهَ َومَعَناه‬


“Hadis yang mutawatir lafaz dan maknanya”8
Berat dan ketatnya kriterian hadis mutawatir lafdzi seperti di atas,
menjadikan jumlah hadis ini sangat sedikit. Menurut ibnu Hibban dan Al-
Hazimi, bahwa hadis mutawatir dengan ta’rif ini tiada diperboleh. Ibn Al-
Shalah yang diikuti oleh Al-Nawawi menetapkan, bahwa hadis mutawatir
lafzhi sedikit sekali, sukar ditemukan contohnya selain hadis:
Man kazaba alayya
Namun pendapat ini ditolak oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani. Beliau
menandaskan, bahwa pendapat yang menetapkan hadis mutawatir lafdzhi
tidak ada, atau sedikit sekali adalah terjadi karena kurang mengetahui jalan
atau keadaan perawi serta sifat-sifatnya yang menghendaki bahwa mereka
itu tidak mufakat untuk dusta, atau karena kebetulan saja. Menurutnya, di
antara dalil yang paling baik untuk menetapkan adanya hadis mutawatir
adalah kitab-kitab yang sudah terkenal di antara ahli ilmu, baik timur dan
barat, yang mereak sudah yakin sah disandarakan kepada pengarang-
pengarangnya, apabila berkumpul untuk meriwayatkan hadis dengan
berbagai jalan, yang menurut adat mustahil mereka sepakat berdusta.9
Terjadinya perbedaan pendapat tersebut tidak dapat dilepaskan dari
perbedaan jumlah perawi hadis mutawatir yang persepsi mereka tentang
kata-kata “mustahil mereka menurut adat (yuhil al-adat)”. Artinya biasa
saja, menurut satu adat, bahwa jumlah perawi hadis mutawatir dimaksud
telah dianggap mustahil mereka sepakat berdusta, tetapi menurut adat yang
lain hal seperti itu mengkin belum dianggap.
Di antara contoh hadis mutawatir lafzhi ini adalah sabda Rasulullah
SAW.

َ َ‫يَمتعمدًاَفلَيتب َّواَمقعدهَمنَال َّنار‬


َّ ‫منَكذبَعل‬

8
Munzier suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: PT Rajagrafindo persada, 2011). Hlm 101
9
Ibid Hlm 102

7
“Barangsiapa berbuat dusta terhadap diriku, hendaklah ia menempati
neraka”.
Menurut Abu Bakar Al-Sairi, bahwa hadis ini diriwayatkan secara
marfu’ oleh enam puluh sahabat. Munurut Ibnu Al-Shalah, hadis ini
diriwayatkan oleh enam puluh dua sahabat, termsuk sepuluh sahabat yang
diakui akan masuk surga. Menurut mereka, tidak diketahui hadis lain yang
di dalam perawinya terkumpul sepuluh sahabat yang diakui masuk surga,
kecuali hadis ini. Menurut sebagian yang lain menyatakan, hadis ini
diriwayatkan oleh hamper dua ratus sahabat. Ibrahim Al-Harabi dan Abu
Bakar Al-Bazari mengatakan, hadis ini diriwayatkan oleh empat puluh
sahabat. Abu Al-Qasim ibn Manduh berpendapat bahwa hadis ini
diriwayatkan oleh lebih dari delapan puluh orang. Ada juga yang
menyatakan, diriwayatkan oleh seratus sahabat10. Jadi, hadis mutawatir
lafdzi ialah hadis mutawatir yang diriwayatkan oleh rawi yang banyak dan
mencapai syarat mutawatir dengan redaksi dan makna hadis yang sama
antara riwayat satu dan riwayat yang lain.
2. Mutawatir Ma’nawi
Yang dimaksud dengan hadis mutawatir ma’nawi adalah:

َ‫مَ َات َواتَرَمَعَناهََ َدوَنََلَفَظَه‬


“Hadis yang maknanya mutawatir, tetapi lafaznya tidak”.11
Ada juga yang mengatakan:
“Hadis yang dinukilkan oleh sejumlah orang yang mustahil mereka
sepakat berdusta atau karena kebetulan. Mereka menukilkan dalam
berbagai bentuk, tetapi dalam satu masalah atau mempunyai titik
persamaan”.
Al-Suyuthi mendefinisakan sebagai berikut:

َ‫جمَاعَةَ ََيسَتَحََيلَ َتَ َواط َؤهَمَ َعَلَى َالكَذَبَ َ َوقَ َائعَ َمَخََتلَفَ َةً ََتشََترَكَ َفَى‬
َ َ َ‫أن ََيَنقَل‬
َ‫أَمَر‬

10
Ibid Hlm 103
11
Ibid Hlm 104

8
“Hadis yang dinukilkan oleh sejumlah orang yang menurut ada mustahil
mereka sepakat berdusta atas kejadian yang berbeda-beda, tetapi bertemu
pada titik persamaan”.
Misalnya, seseorang meriwayatkan, bahwa Hatim umpamanya
memberikan seekor unta kepada seorang laki-laki. Sementara yang lain
meriwayatkan, bahwa Hatim memberi dinar kepada seorang laki-laki, dan
demikian seterusnya.
Dari riwayat-riwayat tersebut kita dapat memahami, bahwa Hatim
adalah seorang pemurah. Sifatnya pemurah Hatim ini kita pahami melalui
jalan khabar mutawatir ma’nawi.
Contoh hadis mutawatir ma’nawi, antara lain adalah hadis yang
meriwayatkan bahwa Nabi SAW. Mengangkat tangannya ketika berdo’a:

َ‫قَالََأََبوَمَوسَىَاَلَشَعَرَيََدَعَاالََّنبيَصلىَهللاَعليهَوسلمَث َّمَرفعَيديهَورأيت‬
)‫بياضَابطيهَ(رواهَالبخار‬
“Abu Musa al-Asy’ari berkata: Nabi SAW. Berdoa kemudian dia
mengangkat kedua tangannya dan aku melihat putih-putih kedua
ketiaknya”.
Hadis semacam ini diriwayatkan dari Nabi SAW. Berjumlah
sekitar seratus hadis dengan redaksi yang berbeda-beda, tetapi mempunyai
titik persamaan, yakni keadaan Nabi SAW mengangkat tangan saat
berdoa.12
Dari uraian diatas Hadis mutawatir ma’na yaitu hadis yang
mempunyai tingkat derajat mutaawatir namun susunan redaksinya berbeda
anatara yang diriwayatkan satu rawi dengan rawi yang lain, namun isi
kandungan maknanya sama.
3. Mutawtir Amali
Adapun yang dimaksud dengan hadis mutawatir ‘amali adalah:

12
Ibid Hlm 105

9
ََّ ‫أن َالََّنَب‬
َ‫ي َصلىَهللاَعليه‬ ًَ َ َ‫ضرَوَرَةَ َ َوتَ َو َاترََبَينَ َالَمَسَلَمََين‬
ََّ ‫مَاعَلَمَ َمَنَ َالدََينَ ََبال‬
ََ‫وسلم َفَعَلَ َه َاَ َوأَمَرََبهَ َأَ َوغَيَرَ َذَلَكَ َ َوهَ َو َالََّذَيَ ََينَطَبَقَ َعَلََيهَ َتَعَرََيفَ َالَجَمَاع‬
ََّ ‫اََنطََباقًَاَصَحََي‬
‫حا‬
“Sesuatu yang diketahui dengan mudah, bahwa dia termasuk urusan
agama dan dia telah mutawatir antara ummat Islam, bahwa Nabi SAW
mengerjakannya, menyuruhnya, atau selain dari itu. Dan pengertian ini
sesuai dengan ta’rif ijma’.”13
Hadis mutawatir ‘amali ini banyak jumlahnya, seperti hadis yang
menerangkan waktu shalat, raka’at shalat, shalat jenazah, shalat ‘id, tata
cara shalat, pelaksanaan haji, kadar zakat harta, dan lain-lain.
d. Nilai Hadis Mutawatir
Hadis mutawatir mempunyai nilai ‘ilmu dharuri (yufid ila’ilmi al-
dharuri), yakni keharusan untuk menerima dan mengamalkannya sesuai
dengan yang diberikan oleh hadis mutawatir tersebut, hingga membawa
kepada keyakinan yang qath’i (pasti).
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa suatu hadis dianggap mutawatir
oleh sebagian golongan lain dan kadang telah membawa keyakinan bagi
suatu golongan tetapi tidak bagi golongan lain. Barang siapa yang telah
menyakini akan kemutawatiran suatu hadis, wajib baginya mempercayai
kebenarannya dan mengamalkan sesuai dengan tuntutannya. Sedang bagi
orang yang belum mengetahuai dan menyakini kemutawatirannya, wajib
baginya mempercayai dan mengamalkan suatu hadis mutawatir yang
disepakati oleh para ulama sebagaimna kewajiban mereka mengikuti
ketentuan-ketentuan hukum yang disepakati oleh ahli ilmu.14

13
Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2010). Hlm 36
14
Munzier suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: PT Rajagrafindo persada, 2011) Hlm 106.

10
B. Hadis Ahad
a. Pengertian Hadis Ahad
Hadis ahad menurut bahasa hadis artinya satu-satu. Pengertian hadis
ahad, menurut bahasa terasa belum jelas. Menurut para ulama ahli hadis
batasan hadis ahad sebagai berikut:

َ‫الحديث َاْلحدهوالحديث َالَّذى َلم َيبلغ َرواته َمبلغ َالحديث َالمتواتر ََسواء‬
َ‫َالراوى َواحدًا َاواثنين َاوثَلثةً َاواربعةً َاوخمسةً َالى َغير َذلك َمن‬
َّ َ‫كان‬
َ‫اْلعدادَالَّتىَْلتشعربا َّنَالحديثَدخلَفىَخبرالمتواتر‬

Artinya:

“Hadis ahad adalah hadis yang para rawinya tidak mencapai jumlah rawi
hadis mutawatir, baik rawinya itu satu, dua, tiga empat, atau seterusnya.
Tetapi jumlahnya tidak memberi pengertian bahwa hadis dengan jumlah
rawi tersebut masuk dalam kelompok hadis mutawatir”.15

Singkatnya hadis ahad adalah hadis yang tidak memenuhi syarat-


syarat mutawatir. Ingatlah kembali empat syarat hadis mutawatir,
sebagaimana tercantum pada sebagian terdahulu. Bila suatu hadis tidak
memenuhi syarat rawi mutawatir, maka hadis itu termasuk dalam
kelompok hadis ahad.
b. Macam-macam Hadis Ahad
Dilihat dari segi jumlah rawi, maka hadis ahad terbagi dalam tiga
bagian, yaitu hadis masyhur (hadis mustafid), hadis aziz, dan hadis garib.
Ada juga ulama yang tidak menyamakan hadis masyhur dalam hadis
mustafid dengan demikian hadis ahad menjadi empat kelompok, yaitu
hadis mutafid, hadis masyhur, hadis aziz, dan hadis garib.

1) Hadis masyhur (Hadis Mustafid)

15
Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir, Ulumul Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2000).
Hlm 92.

11
Masyhur menurut bahasa berati yang sudah tersebar atau yang sudah
populer. Mustafid menurut bahasa juga berarti yang telah tersebar atau
tersiar. Jadi, menurut istilah ilmu hadis, hadis masyhur dan hadis mustafid
itu sama-sama berarti hadis yang sudah tersebar atau tersiar.
Dalam pengertian istilah hadis ilmu hadis, keduanya diberi batasan
yang sama, sebagai berikut:

ََّ ‫حدََيثَ َ َالَّذَىَ َرَ َواهَ َال‬


َ‫شَلَشَ َة‬ َ َ‫حدَيَثَ َالَمَسََتفََيضَ َهَ َو َال‬
َ َ‫حدََيثَ َالَمَشَهَ َورَاَ َوال‬
َ َ‫اَل‬
َ‫جةََالَتَّ َو َاتر‬
َ َ‫فَاَكََثرَ َولَمَََيصَلََدَر‬

Artinya:
“Hadis masyhur (hadis mustafid) adalah hadis yang diriwayatkan oleh
tiga rawi atau lebih, dan belum mencapai derajat mutawatir”16
Contoh hadis masyhur (hadis mustafid):

َ‫المَسَلَمَ َمَنَ َسَلَمَ َالَمَسَلَمَ َونَ َمَنَ َلَسَ َان َه‬:‫قال َرسول َهللا َصلى َهللا َعليه َوسلم‬
.َ‫َوَيدَه‬
Artinya:
“ Rasulullah SAW bersabda, “Seseorang muslim adalah kaum muslimin
yang tidak terganggu oleh lidah dan tangannya.” (HR. Bukhari Muslim,
dan Tirmizi).
Hadis tersebut tingkatan pertama (tingkatan sahabat Nabi) sampai ke
tingkat imam-imam yang membukukan hadis (dalam hal ini adalah
Bukhari, Muslim, dan Tirmizi) diriwayatkan oleh tidak kurang dari tiga
rawi dalam setiap tingkatan.
Sebagian ulama, membedakan hadis mustafid dari hadis masyhur,
yaitu hadis mustafid adalah hadis yang diriwayatkan oleh empat orang
rawi atau lebih dan belum mencapai derajat mutawatir, sedangkan hadis
masyhur adalah hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi.

16
Ibid Hlm 93

12
2) Hadis Aziz
Hadis aziz menurut bahasa berarti hadis yang mulia atau hadis yang
kuat atau hadis yang jarang, karena memang hadis aziz itu jarang adanya.
Para ulama memberikan batasan sebagai berikut:

َ ‫الحديثَالعزيزهوالحديثَالَّذئَرواهَاثنانََ َولَ َوكَانََفَىَطََبقَةََ َو‬


ََ‫احدَةَََث ََّمَرَ َواه‬
.َ‫َبعَدََذَلَكََجَمَاعَة‬
Artinya:
“Hadis Aziz adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, kendati
dua rawi itu pada satu tingkatan saja dan setelah itu diriwayatkan oleh
banyak rawi.”17
Dari batasan di atas, dapat dipahami bahwa bila suatu hadis pada
tingkatan pertama diriwayatkan oleh dua orang rawi dan setelah itu
diriwayatkan lebih dari dua rawi, maka hadis itu tetap saja dipandang
sebagai hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, dan karena itu
termasuk hadis aziz.
Contoh hadis Aziz

َ‫سابقون َيوم‬
َّ ‫نحن َاْلخرون َفىَالدَّنياَال‬:‫قال َرسول َهللا َصلىَهللاَعليهَوسلم‬
َ َ‫القيامة‬
Artinya:
“ Rasulullah SAW. Bersabda, “Kita adalah orang-orang yang paling
akhir (di dunia) dan yang paling terdahulu di hari kiamat.” (HR.
Hudzaifah dan Abu Hurairah)
Hudzaifah dan Abu Hurairah yang dicantumkan sebagai rawi hadis
tersebut adalah dua sahabat Nabi. Walaupun pada tingkatan selanjutnya
hadis ini diriwayatkan oleh lebih dan dua orang, namun hadis ini tetap saja

17
Ibid Hlm 95

13
dipandang sebagai hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, dank
arena itu termasuk hadis aziz.

3) Hadis Garib
Hadis Garib menurut bahasa berarti hadis yang terpisah atau
menyendiri dari yang lain. Para ulama memberikan batasan sebgai berikut:

َ‫حدََيثَ َ َالَّذَيَ َ َانفَرَدََبرَ َوايته َشخص َواحد َفى َاي‬


َ َ‫حدََيثَ َالَغرََيبَ َهَ َو َال‬
َ َ‫اَل‬
َّ ‫موضعَوقعَالتَّفردَمنَال‬
َ‫سند‬
Artinya:
“Hadis garib adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang rawi
(sendirian) pada tingkatan maupun sanad.”18
Dengan batasan tersebut, maka bila suatu hadis diriwayatkan oleh
seorang sahabat nabi dan baru pada tingkatan berikutnya diriwayatkan
oleh banyak rawi, hadis tersebut dipandang sebagai hadis garib.
Contoh hadis garib:

ََ‫طابََرَضَىََهللاََعََن َهَقَالََسَمَعَتََرَسَ َولََهللاََصََلَّىَهللاََعَلََيه‬


ََّ َ‫عَنََعَمَرَ َابنََالَخ‬
َ ‫اَنَمَاَاْلََعَمَالَََب‬:َ‫َوسََلَّمَََيقَ َول‬
‫النَياتََ َواَََّنمَالَكَلََامَرَئََمَانوى‬
Artinya:
“Dari Umar bin Khattab, katanya, aku mendengar Rasulullah SAW.
bersabda, “sesungguhnya amal perbuatan itu hanya (memperoleh) apa
yang diniatkannya.”
Kendati hadis di atas diriwayatkan oleh banyak imam hadis termasuk
Bukhari dan Muslim, namun pada tingakatan pertama hanya diriwayatkan
oleh seorang sahabat Nabi, yaitu Umar bin Khattab, da nada tingkatan
kedua juga diriwayatkan oleh satu orang tabi’in, yaitu Al-Qamah. Dengan

18
Ibid Hlm 96

14
demikian, hadis itu dipandang sebagai hadis yang diriwayatkan oleh satu
orang dan termasuk hadis garib.
c. Kedudukan Hadis Ahad
Bila hadis mutawatir dapat dipastikan sepenuhnya berasal dari
Rasulullah SAW. maka tidak demikian halnya hadis ahad. Hadis ahad
tidak pasti berasal dari Rasulullah SAW, tetapi diduga (zanni) berasal dari
beliau. Dengan ungkapan lain bahwa hadis ahad mungkin benar berasal
dari beliau.
Karena hadis ahad itu tidak pasti (gairu qar’I atau gairu maqtu) tetapi
diduga (zanni) berasal dari Rasulullah SAW, maka kedudukan hadis ahad,
sebagai sumber atau sumber ajaran islam, berada di bawah kedudukan
hadis mutawatir. Ini berarti bahwa suatu hadis, yang termasuk kelompok
hadis ahad bertentangan isinya dengan hadis mutawatir, maka hadis
tersebut ditolak, dan dipandang sebgai hadis yang tidak berasal dari
Rasulullah SAW.
Bila diperinci lebih lanjut, kedudukan hadis ahad itu berbeda-beda,
sejalan dengan perbedaan taraf dugaan atau taraf kemungkinannya berasal
dari Rasulullah SAW. Sebagian hadis-hadis tersebut lebih tinggi
kedudukannya dari sebgaian hadi yang lain, kendati semuanya sama-sama
termasuk hadis ahad. Hadis ahad itu ada yang dinilai sahih, ada yang
dinilai hasan, dan ada pula yang dinilai daif. Kedudukan hadis dahih lebih
tinggi daripada hasan, dan kedudukan hadis hasan lebih tinggi daripada
hadis daif.

C. Perbedaan Hadis Mutawatir dengan Hadis Ahad


a. Dari segi jumlah rawi, hadis mutawatir diriwayatkan oleh para rawi
yang jumlahnya sangat banyak pada setiap tingkatan sehingga menurut
adat kebiasaan, mustahil mereka sepakat untuk dusta, sedangkan hadis
ahad diriwayatkan oleh para rawi dalam jumlah yang menurut adat
kebiasaan masih memungkinkan mereka untuk sepakat berdusta.

15
b. Dari segi pengetahuan yang dihasilkan, hadis mutawatir menghasilkan
ilmu qat’I (pasti) atau ilmu daruri (mendesak untuk diyakini) bahwa
hadis itu sungguh-sungguh dari Rasulullah sehingga dapat dipastikan
kebenarannya, sedangkan hadis ahad menghasilkan ilmu zanni (besifat
dugaan) bahwa hadis itu berasal dari Rasulullah SAW. sehingga
kebenarannya masih berupa dugaan pula.
c. Dari segi kedudukan, hadis mutawatir sebgai sumber ajaran agama
islam memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada hadis ahad.
Sedangkan kedudukan hadis ahad sebgai sumber ajaran islam berada di
bawah kedudukan hadis mutawatir.
d. Dari segi kebenaran keterangan matan, dapat ditegaskan bahwa
keterangan matan hadis mutawatir mustahil bertentangan dengan
keterangan ayat dalam Al-Quran, sedangkan keterangan matan hadis
ahad mungkin saja (tidak mustahil) bertentangan dengan keterangan
ayat Al-Quran. Bila dijumpai hadis-hadis dalam kelompok hadis ahad
yang keterangan matan hadisnya bertentangan dengan keterangan ayat
Al-Quran, maka hadis-hadis tersebut tidak berasal dari Rasulullah
SAW. mustahil Rasulullah mengajarkan ajaran yang bertentangan
dengan ajaran yang terkandung dalam Al-Quran.

B. Pembagian Hadis ditinjau dari segi Kualitasnya


Kualitas adalah penggolongan hadis dari aspek ditolak atau diterimanya.
Penentuan tinggi rendahnya tingkatan suatu hadis bergantung kepada tiga hal,
yaitu jimlah rawi, keadaan (kualitas) rawi, dan keadaan matan. Ketiga hal
tersebut menentukan tinggi-rendahnya suatu hadis. Bila dua buah hadis
menentukan keadaan rawi dan keadaan matan yang sama, maka hadis yang
diriwayatkan oleh dua orang rawi lebih tinggi tingkatannnya daripada hadis
yang diriwayatkan oleh satu orang rawi, dan hadis yang diriwayatkan oleh tiga
orang rawi lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh
dua orang rawi.

16
Jika dua buah hadis memiliki keadaan matan jumlah rawi (sanad) yang
sama, maka hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang kuat ingatannya, lebih
tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah
ingatannya, dan hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang jujur lebih tinggi
tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh rawi pendusta.19

‫واختارَموسىَقومهَسبعينَرجَلَلميقاتنا‬
Artinya:
“Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohon tobat
kepada kami) pada waktu yang telah kami tentukan.” (QS. Al-Araf: 155)
Pendapat lain membatasi jumlah mereka empat puluh orang, bahkan ada
yang membatasi cukup dengan empat orang dengan pertimbangan bahwa saksi
zina itu ada empat orang.

َ Kata-kata َ‫سند‬
ََّ ‫عنَمثلهمَالىَانتهاءال‬
(dari sejumlah rawi yang semisal mereka dan seterusnya sampai akhir sanad)
mengecualikan hadis ahad yagn pada sebagian tingkatannya terkadang
diriwayatkan oleh sejumlah rawi mutawatir.
Contoh hadis:

َ‫ا َّنماَاْلعمالَََبالنََيات‬
Artinya:
“sesungguhnya amal-amal itu tergantung niatnya.”
Awal hadis tersebut adalah ahad, namun pada perrtengahan sanadnya menjadi
mutawatir. Maka hadis yang demikian bukan termasuk hadis mutawatir.

َKata- kata َ‫ََوكانَمستندهمَالحس‬


(dan sandaran mereka adalah pancaindra) seperti sikap ada perkataan beliau
yang dapat dilihat atau didengar sabdanya. Misalnya para sahabat menyatakan,
“kami melihat Nabi SAW. berbuat begini”. Dengan demikian mengecualikan
masalah-masalah keyakinan yang disandarkan pada akal, seperti pernyataan
tentang keesan firman Allah dan mengecualikan pernyataan-pernyataan

19
Ibid Hlm 76

17
rasional murni, seperti pernyataan bahwa satu itu separuhny dua. Hal ini
dikarenakan bahwa yang menjadi pertimbangan adalah akal bukan berita.
Bila dua hadis memiliki rawi yang sama keadaan dan jumlahnya, maka
hadis yang matannya seiring atau tidak bertentangan dengan ayat-ayat Al-
Quran, lebih tinggi tingkatannya dari hadis yang matannya buruk atau
bertentangan dengan ayat-ayat Al-Quran. Tingkatan (martabat) hadis ialah
taraf kepastian atau taraf dugaan tentang benar atau palsunya hadis itu berasal
dari Rasulullah.20
Hadis yang tinggi tingkatannya berarti hadis yang tinggi taraf kepastiannya
atau tinggi taraf dugaan tentang benarnya hadis itu berasal dari Rasulullah
SAW. Hadis yang rendah tingkatannya berarti hadis yang rendah taraf
kepastiannya atau taraf dugaan tentang benarnya ia berasal dari Rasulullah
SAW. Tinggi rendahnya tingkatan suatu hadis menentukan tinggi rendahnya
kedudukan hadis sebagai sumber hukum atau sumber ajaran Islam.
Para ulama membagi hadis ahad dalam tiga tingkatan, yaitu hadis sahih,
hadis hasan, dan hadis daif. Pada umumnya para ulama tidak mengemukakan,
jumlah rawi, keadaan rawi, dan keadaan matan dalam menentukan pembagian
hadis-hadis tersebut menjadi hadis sahih, hasan, dan daif.

HADIS DITINJAU DARI


KUALITAS

Maqbul Mardud

Mutawatir Ahad

Shahih Hasan Dha’if

20
Ibid Hlm 77
Lidzatih Lighayrihi
i
18
Dalam skema di atas dapt dipahami, bahwa hadis dilihat dari segi
kualitasnya terbagi menjadi dua macam yaitu hadis maqbul dan hadis mardud,
hadis maqbul terbagi menjdi dua mutawtir dan ahad yang shahih dan hasan
baik lidzatihi maupun lighayrihi sedang hadis mardus ada satu yaitu hadis
dha’if. Masing-masing pembagian di atas akan dibahas secara terperinci, yaitu
sebgai berikut:
1. Hadis Maqbul

Dalam bahasa kata maqbulَ )‫ َ(مقبول‬artinya diterima. Hadis itu dapat


diterima sebagai hujah dakam Islam, karena sudah memenuhi beberapa
kriteria persyaratan baik yang menyangkut sanad ataupun matan. Adapun
menurut istilah hasi maqbul adalah:

َ‫وهوماَتر َّجحَصدقَالمخبرعنه‬
“Adalah hadis yang unggul pembenaran pemberitannya”21
Keunggulan pembenaran berita itu mungkin pada proses awal adanya dua
dugaan antara benar dan salah. Kemudian, karena adanya bukti-bukti atau
alasan-alasan lain yang memperkuat atau mendukung pada salah satu dua
dugaan tersebut, maka ia menjadi unggul. Dalam hal ini hadis maqbul adalah
hadis yang mendapat dukungan bukti-bukti dan membuat unggul itu adalah
dugaan pembenaran.
2. Hadis Mardhud
Mardud dalam bahasa lawan dari maqbul yakni = ditolak atau tidak
diterima. Penolakan hadis ini dikarenakan tidak memenuhi beberapa kriteria
persyaratan yang ditetapkan para ulama, baik yang menyangkut sanad seperti
setiap perawi harus bertemu langsung dengan gurunya (ittishal as-sanad)
maupun yang menyangkut matan seperti isi matan tidak bertentangan dengan
Al-Quran dan lain-lain. Dalam istilah hadis mardud adalah:

َ‫وهوماَلمَير َّجخَصدقَالمخبرعنه‬

21
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2013). Hlm 148.

19
“Hadis yang tidak unggul pembenaran pemberitanya”22
Hadis mardud tidak mempunyai pendukung yang membuat keunggulan
pembenaran berita dalam hadis tersebut. Hadis mardud tidak dapat dijadikan
hujah dan tidak wajib diamalkan, sedangkan hadis maqbul wajib dijadikan
hujah dan wajib diamalkan. Masing-masing terbagi lagi menjadi beberapa
bagian yang akan dijelaskan pada paparan berikut. Secara umum hadis mardud
adalah hadis dha’if (lemah) dengan segala macamnya.
Kembali kepada pembagian hadis maqbul sebagaimana di atas, hadis
maqbul terbagi menjadi dua macam yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad
yang shahih dan hasan sedangkan hadis mardud adalah hadis dha’if.
a. Hadis Shahih
1. Pengertian

Kata shahih )َ‫صحيح‬


َّ ‫ (ال‬dalam bahasa diartikan orang sehat antonym dari
ََّ ‫ =َ(ال‬orang yang sakit, jadi yang dimaksudkan hadis shahih
kata as-saqim)َ‫سقََيم‬
adalah hadis yang sehat dan benar tidak terdapat penyakit dan cacat. Dalam
istilah hadis shahih adalah:

َ‫هَ َومَااَتَّصل َسنده َبنقل َالعدل َالضَّابط َضبطا َكامَلعن َمثلة َوخَل َمن َالشذوذ‬
23
‫والعلَّ َة‬
“Hadis yang musttashil (bersambung) sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil
dan dhabith (kuat daya ingatan) sempurna dari sesamanya, selamat dari
kejanggalan (syadzdz), dan cacat (‘illat).”
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa hadis shahih mempunyai 5
kriteria, yaitu:
1. Persambungan sanad
Artinya setiap perawi dalam sanad bertemu dan menerima periwayatan dari
perawi sebelumnya baik secara langsung atau secara hukum dari awal sanad

22
Ibid Hlm 149
23
Ibid Hlm 150

20
sampai akhirannya. Pertemuan atau persambungan sanad dalam periwayatan
ada dua macam lambang yang digunakan oleh para periwayat:
a. Pertemuan langsung (mubasyarah), seseorang bertatap muka langsung
dengan syaikh yang menyampaikan atau melihat apa yang dilakukan
periwayatan dalam bentuk pertemuan langsung seperti di atas pada
umumnya menggunkan lambing ungkapan:

‫=َسمعت‬ aku mendengar

‫أخبرنا‬/‫حدَّثنا‬/‫أخبرني‬/‫=َحدَّثني‬ memberitakan kepadaku/kami

َ‫ =َ رأيتَفَلن‬aku melihat si fulan, dan lain-lain.


Jika dalam periwayatan sanad hadis menggunakan kalimat tersebut atau
sesamanya maka berarti sanad-nya muttashil (bersambung).
b. Pertemuan secara hukum, seseorang meriwayatkan hadis dari seseorang
yang hidup semasanya dalam ungkapan kata yang mungkin mendengar
atau mengkin melihat. Misalnya:

َ‫فَعَلَ َفََلَن‬/َ‫عَنَ َفََلَن‬/َ‫ =َقال َفَلَن‬si Fulan berkata:…./dari si Fulan/si Fulan


melakukan begini
Persambungan sanad dalam ungkapan kata ini masih secara hukum, maka
perlu penelitian lebih lanjut, sehingga dapat diketahui benar apakah ia
bertemu dengan syaikhnya atau tidak.24
Untuk mengetahui persambunga/pertemuan (ittishal) atau tidaknya suatu
sanad dapat diketahui dan diperiksa dengan melalui dua teknik:
a. Mengetahui orang diterima periwatannya telah wafat sebelum atau sesudah
perwai berusia dewasa. Untuk mengetahui hal ini harus dibaca terlebih
dahulu biografi para perawi hadis dalam buku-buku Rijal Al-Hadits atau
Tawarikh Ar-Ruwah, terutama dari segi kelahiran dan kewafatannya.
b. Keterangan seorang perawi atau Imam hadis bahwa seorang perawi
beriemu atau tidak bertemu, mendengar atau tidak mendengar, melihat
dengan orang yang menyampaikan periwayatan atau tidak melihat

24
Ibid Hlm 151

21
keterangan seorang perawi ini dijakikan saksi kuat yang memperjelas
keberadaan sanad.25
2. Keadilan para perawi (‘adalah ar-ruwah)
Pengertian adil dalam bahasa adalah seimbang atau meletakkan sesuatu
pada tempatnya, lawan dari zalim. Dalam istilah periwayatan orang yang adil
adalah:

َ‫منَاستقامَدينهَوحسنَخلقهَوسلمَمنَالفسقَوخوارمَالمروءة‬
“Adil adalah orang yang konsisten (istiqamah) dalam beragama, baik
akhlaknya, tidak fasik dan tidak melakukan cacat muruah.”26
Istiqamah dalam beragam adalah artinya orang tersebut konsisten dalam
beragama, menjalankan segala perintah dan menjauhkan segala dosa yang
menyebabkan kefasikan. Fasik artinya tidak patuh beragama (al-khuruj’an at-
tha’ah), mempermudah dosa besar atau melanggengkan dosa kecil secara
kontinu sedang menjaga muru’ah artinya menjaga kehormatan sebagai seorang
perawi, menjalankan segala adab dan akhlak yang terpuji dan menjauhi sifat-
sifat yang tercela menurut umum dan tradisi. Misalnya tidak membuka kepala
dan tidak melepas alas kaki ketika bepergian, tidak mengenakan baju lengan
pendek, tidak makan dipinggir jalan, dan lain sebagainya.
Dalam menilai keadilan seseorang tidak harus meneliti ke lapangan
langsung, dengan cara bertemu langsung. Hal ini sangat sulit dilakukan karena
mereka para perawi hadis hidup pada awal dalam perkembangan Islam.
Kecuali bagi mereka yang hidup bersamanya atau yang hidup sezaman. Oleh
karena itu, dalam menilai keadilan seseorang periwayat cukup dilakukan
dengan salah satu teknik berikut:
1) Keterangan seorang atau beberapa ulama yang ahli ta’dil bahwa seseorang
itu bersifat adil, sebagaimana yang disebutkan dalam kitab-kitab al-jarh
wa at-ta’dil.
2) Keterangan seseorang bahwa ia bersifat adil, seperti Imam empat Hanafia,
Maliki, Asy-Syafi’I, dan Hambali.27

25
Ibid Hlm 151
26
Ibid Hlm 151

22
3. Para perawi bersifat dhabith (dhabth ar-ruwah)
Bersifat dhabith artinya, para perawi itu memiliki daya ingat hapalan yang
kuat dan sempurna. Hal tersebut diperlukan dalam rangka menjaga otentisitas
hadis, mengingat tidak seluruh hadis tercatat pada masa awal perkembangan
Islam. Orang yang disebut dhabith harus mendengar secara utuh, memahami isi
apa yang didengar, tersimpan baik dalam ingatannya, kemudian mampu
menyampaikan kepada orang lain atau meriwayatkannya sebagaimana
28
mestinya.
Yang dicakup oleh pengertian dhabith dalam periwayatannya di sini ada
dua kategori, yaitu Dhabit dalam dada (adh-dhabth fi ash-shudur), atinya
memiliki daya ingat dan hapal yang kuat sejak ia menerima hadis dari seorang
syaikh atau seorang gurunya sampai dengan pada saat menyampaikannya
kepada orang lain. Sedangkan Dhabith dalam tulisan (adh-dhabth fi ash-
shutur), artinya tulisan hadisnya sejak mendengar darigurunya terpelihara dari
perubahan, pergantian, dan kekurangan. Singkatnya tidak terjadi kesalahan-
kesalahan tulis kemudian diubah dan diganti, karean hal demikian akan
mengundang keraguan atas ke-dhabith-an seseorang.29
Adapun sifat-sifat kedhabithan perawi, menurut para ulama, dapat
diketahui melalui :
1) Kesaksian para ulama;
2) Berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat dari orang lain yang
telah dikenal kedhabithannya.30
4. Tidak terjadi kejanggalan (syadzdz)
Syadz dalam bahasa berarti ganjil, terasing, atau menyalahi aturan.
Maksud syadzdz di sini adalah bertentangannya hadis periwayatan orang
tsiqqah (terpecaya yakni adil dan dhabith) dengan hadis lain yang lebih kuat
atau lebih tsiqqah. Dengan demikian, hadis shahih tidak boleh ada terjadi

27
Ibid Hlm 151
28
Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: PT Rajagrafindo persada, 2011). hlm 132
29
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2013). hlm 152
30
Op.cit., hlm 133

23
syadzdz atau hadis tersebut matan-matannya harus tidak bertentangan dengan
hadis lain yang lebih kuat31.
5. Tidak terjadi ‘illat
Dalam bahasa ‘Illah berarti penyakit, sebab, alasan, atau udzur. Sedang arti
‘illah di sini adalah suatu sebab tersembunyi yang membuat cacat keabsahan
suatu hadis pada lahirnya selamat dari cacat tersebut32.Dengan pengertian ini,
sehingga yang disebut hadis ber’illat adalah hadis-hadis yang ada cacat atau
penyakitnya, atau dapat diartikan sebagai penyebab tersembunyi atau samar-
samar yang karenanya dapat merusak keshahihan hadis tersebut. Sedangkan
hadis yang tidak ber’illat adalah hadis-hadis yang di dalamnya tidak terdapat
kesamaran atau keragu-raguan.
Contoh hadis shahih:

َ‫ح َّمدَبنَجبيرَبن‬
َ ‫حدَّثناَعبدهللاَبنَيوسفَقالَأخبرناَمالكَعنَابنَشهابَعنَم‬
َ‫م َقرأ َفي َالمغرب َبالطور(رواه‬.‫مطعم َعن َأبيه َقال َسمعت َرسول َهللا َص‬
(‫البخاري‬

“Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin yusuf ia berkata: telah


mengkhabarkan kepada kami malik dari ibnu syihab dari Muhammad bin
jubair bin math’ami dari ayahnya ia berkata: aku pernah mendengar
rasulullah saw membaca dalam shalat maghrib surat at-thur” (HR. Bukhari)
2. Macam-macam Hadis Shahih
Para ulama hadis membagi hadis shahih ini dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a. Shahih li dzatihi , yaitu hadis yang memenuhi syarat-syarat atau sifat-
sifat hadis maqbul secara sempurna, yaitu syarat-syarat lima yang
disebutkan di atas.
b. Shahih li ghairihi , yaitu hadis yang tidak memenuhi secara sempurna
syarat-syarat tertinggi dari sifat sebuah hadis maqbul (a’la sifat al-qubul).

31
ibid, hlm 133
32
Abdul Majid Khon, Ulmul Hadis (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2013). hlm 153

24
Hal itu terjadi karena beberapa hal, misalnya perawinya sudah diketahui adil
tapi dari sisi ke-dhabith-annya, ia dinilai kurang. Hadis ini menjadi shahih karena
ada hadis lain yang sama atau sepadan (redaksinya) diriwayatkan melalui jalur
lain yang setingkat atau malah lebih shahih.
Jadi perbedaan antara kedua bagian hadis ini terletak pada segi ke-dhabith-an
perawinya. Pada shahih li dzatihi ingatan perawinya sempurna, sedang pada
hadis shahih li ghairihi, ingatan perawinya kurang sempurna (qalil al-dhabth).

3. Kehujjahan Hadis Sahih


Para ulama ahli hadis dan sebagian ulama ahli ushul serta ahli fiqh sepakat
menjadikan hadis shahih sebagai hujjah yang wajib beramal dengannya.
Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang berkaitan dengan penetapan halal
atau haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang berhubungan dengan akidah
(keyakinan).
Sebagian besar ulama menetapkan dengan dali-dalil qath’i, yaitu al-Quran
dengan hadis mutawatir untuk menetapkan hal-hal yang berkaitan dengan akidah
dan tidak dengan hadis ahad. Sebagian ulama lainnya dan Ibnu Hazm Al-Dhahiri
menetapkan bahwa hadis shahih memfaedahkan Ilmu Qath’i dan wajib diyakini.
Dengan demikian, hadis shahih dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu
aqidah.
Berdasarkan martabat seperti ini, para muhadditsin membagi tingkatan
sanad menjadi tiga, yaitu:
1. Ashah al-asanid, yakni rangkaian sanad yang paling tinggi derajatnya. Para
ulama hadis berbeda pendapat dalam menentukan peringkat pertama ini :
Al-Suyuthi menguraikannya sebagai berikut :
a. Menurut Ahmad ibn Hanbal dan Ishaq ibn Rahuwaih, adalah; jalur sanad
Ibn Syihab AL-Zuhry - dari Salim ibn Abdullah ibn Umar-dari Ibn Umar.
b. Menurut Ibn Al-Madiny, Al-Fallas dan Sulaiman ibn Harb, adalah;
Muhamad ibn Sirin-‘Abidah Al-Salmany – Ali ibn Abi Thalib.

25
c. Menurut Yahya ibn Ma’in, adalah; Sulaiman AL-A’masy ibn Ibrahim –
Ibrahim bin Yazid Al-Nakha’iy – Al-Qamah ibn Qais – Abdullah Ibn
Mas’ud
d. Menurut Abu bakr ibn Abi Syaibah, adalah; Al-Zuhry – Ali ibn Husain –
Husein ibn Ali - Ali ibn Abi Thalib.
e. Menurut Imam l-Bukhari, adalah; Imam Malik ibn Anas, dari Nafi’
mawla Ibn Umar, Ibn Umar.
2. Ahsanul al-asanid, yakni rangkaian sanad yang tingkatannya di bawah tingkat
pertama di atas, seperti hadis yang diriwayatkan oleh Hamid bin Salmah dari
Sabit dari Anas;
3. Adh’ufl al-asanid, yakni rangkaian sanad hadis yang tingkatannya kedua,
seperti hadis riwayat Suhail bin Abi Shalih dari bapaknya dari Abu Hurairah.
33

4. Tingkatan Hadis Shahih


Dari segi sanadnya yang dipandang paling shahih, tingkatannya sebagai
berikut:
a. Periwayatan sanad yang paling shahih adalah dari Imam Malik bin Anas
dari Nafi’ mawla (mawla=budak yang telah dimerdekakan) dari Ibnu
Umar.
b. Periwayatan sanad yang berada di bawah tingkat sanad pertama seperti
Hammad bin Salamah dari Tsabit dari Anas.
c. Seperti periwayatan Suhail bin Abu Shalih dari ayahnya dari Abu
Hurairah.
Dari segi persyaratan shahih yang terpenuhi dapat dibagi menjadi 7
tingkatan, dari tingkatan yang tertinggi sampai dengan tingkat yang terendah
yaitu sebagai berikut:
a. Muttafaq alayh, yakni disepakati keshahihannya oleh Al-Bukhari dan
Muslim, atau akhrajahu/rawahu Al-Bukhari wa Muslim (diriwayatkan
oleh Al-Bukhari dan Muslim) atau akhrajahu/rawahu Asy-Syaykhan
(diriwayatkan oleh dua orang guru).

33
Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: PT Rajagrafindo persada, 2011). hlm. 137

26
b. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari saja.
c. Diriwayatkan oleh Muslim saja.
d. Hadis yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Al-Bukhari
dan Muslim.
e. Hadis yang diriwayatkan oleh orang lain memenuhi persyaratan Al-
Bukhari saja.
f. Hadis yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Muslim saja.
g. Hadis yang dinilai shahih menurut ulama hadis selain Al-Bukhari dan
Muslim dan tidak mengikuti persyaratan keduanya, seperti Ibnu
Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan lain-lain.34
4. Kitab-Kitab Shahih
Ibnu Al-Shalah mengatakan bahwa kitab hadis yang paling shahih setelah
Al-Quran adalah Shahih Bukhari dan Muslim. Ibnu Al-Shalah mengomentari
bahwa kometar terhadap Al-Muwaththa’ tersebut diucapkan sebelum Shahihain
disusun. Kemudian, setelah Shahihain disusun, para ulama menganggap bahwa
kualitas Al-Muwaththa’ masih tetap di bawah Shahihain. Karena Imam Malik
tidak hanya memuat hadis shahih, tapi juga memasukkan hadis Mursal,
Munqathi’, dan – Syaikh ‘Ala Al-Din menambahkan – Mauquf, memasukkan
permasalahan-permasalahan fiqh dan lain-lainnya. 35
Berikut adalah kitab-kitab hadis shahih :
a. Shahih Al-Bukhari (w. 250 H), pertama kali penghimpun khusus hadis
shahih. Didalamnya terdapat 7.275 hadis termasuk yang terulang-ulang, atau
4.000 hadis tanpa terulang-ulang.
b. Sahih Muslim (w. 261 H), didalamnya terdapat 12.000 hadis termasuk yang
terulang-ulang atau sekitar 4.000 hadis tanpa terulang-ulang. Secara umum
hadis Al-Bukhari lebih shahih daripada Shahih Muslim, karena persyaratan
Shahih Al-Bukhari lebih ketat muttashil dan tsiqqahnya sanad di samping
terdapat kajian fikih yang tidak terdapat dalam Shahih Muslim.
c. Shahih Ibn Khuzaymah (w. 311 H)

34
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2013). hlm. 157-158
35
Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: PT Rajagrafindo persada, 2011) hlm. 138

27
d. Shahih Ibn Hibban (w. 354 H)
e. Mustadrak Al-Hakim (w. 405 H)
f. Shahih Ibn As-Sakan.
g. Shahih Al-Albani.

b. Hadis Hasan
1. pengertian
Menurut bahasa, Hasan berati bagus atau baik. Hasan berasal dari kata al-
husnu bermakna al-jamal = keindahan. Sedangkan menurut istilah, para ulama
berbeda pendapat dalam menafsirkan hadis hasan ini. Perbedaan pendapat ini
terjadi karena diantara mereka ada yang menggolongkan hadis hasan sebagai
hadis dha’if, yang dapat dijadikan hujjah.36
Ibnu Taimiyah menguraikan batasan hadis hasan yang diberikan Al-
Tirmidzi sekaligus merangkum polemik tentang peristilahan yang sering dipakai
Al-Tirmidzi. Hadis hasan menurut Al-Tirmidzi adalah (dalam redaksi Ibn
Taymiyah):37
Contoh Hadis hasan :

َ‫حدَّثناَقتيبةَحدَّثناَجعفرَبنَسليمانَالضبعيَعنَأبيَعمرانَالجونيَعنَأبيَبكر‬
َ‫َقال َرسول َهللا‬:َ ‫َسمعت َأبيَبحضرة َالعدو َيقول‬:َ ‫بن َأبيَموسيَالشعري َقال‬
“‫َالحديث‬..…َ‫َإ َّنَأبوابَالج َّنةَتحتَظَللَالسيوف‬:َ‫صَم‬

“Telah menceritakan kepada kamu qutaibah, telah menceritakan kepada kamu


ja’far bin sulaiman, dari abu imron al-jauni dari abu bakar bin abi musa al-
Asy’ari ia berkata: aku mendengar ayahku berkata ketika musuh datang :
Rasulullah Saw bersabda : sesungguhnya pintu-pintu syurga dibawah bayangan
pedang…” (HR. At-Tirmidzi).
2. Syarat-Syarat Hadis Hasan
a) Sanadnya bersambung
36
Muahammad Ahmad dan Mudzakir, Ulumul Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2000).
hlm. 78
37
Munzier Suparata, Ilmu Hadis (Jakarta: PT Rajagrafindo persada, 2011) hlm. 141-142

28
b) Perawinya ‘adil;
c) Perawinya dhabit, tetapi kualitas ke-dhabithannya di bawah ke-dhabitannya
para perawi hadis shahih;
d) Tidak terdapat kejanggalan atau syadz;
e) Tidak ber’illat
3. Macam-macam Hadis Hasan :
a. Hasan Lidzatih
Hadis hasan lidzatih adalah hadis hasan dengan sendirinya, karena telah
memenuhi segala kriteria dan persyaratan yang ditentukan. Hadis ini merupakan
hadis yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil, memenuhi
syarat hadis yang ditentukan meskipun daya ingat perawinya kurang.
b. Hadis lighayrih
Hadis hasan adalah hadis dha'if jika diriwayatkan melalui jalan (sanad) lain
yang sama atau lebih kuat. Atau lebih jelasnya hadis hasan liaghayrihi
merupakan hadis yang dilihat dari sanadnya itu dha’if namun dikuatkan dari jalur
lainnya, tetapi tidak mengandung syadzdz dan ‘illah.
4. Kehujjahan Hadis Hasan
Hadis hasan dapat dijadikan hujjah walaupun kualitasnya di bawah hadis
shahih. Semua Fuqaha, sebagian Muhadditsin dan Ushuliyyin mengamalkannya
kecuali sedikit dari kalangan orang yang sangat ketat dalam mempersyaratkan
penerimaan hadis (musyahiddin).
c. Hadis Dha’if
1. Pengertian
Kata dha’if menurut bahasa, berarti lemah, lawan kata dari kuat. Maka
sebutan hadis dha’if, secara bahasa berarti hadis yang lemah atau hadis yang
tidak kuat. Secara singkatnya hadis dha’if merupakan hadis yang didalamnya
tidak terdapat syarat-syarat hadis Shahih maupun hadis hasan. Jika satu syarat
saja hilang, atau tidak terpenuhi maka hadis tersebut dinyatakan sebagai hadis
dha’if.
Contoh hadis dha’if :

29
َ‫ماأخرجه َالترميذي َمن َطريق َ“حكيم َالثرم”عن َأبيَتميمة َالهجيميَعن َأبي‬
َ‫َ”َمنَأتيَحائضاًَأوَامرأةًَفيَدبرهاَأوَكاهناَفقد‬:َ‫هريرةَعنَال َّنبيَصَمَقال‬
“َ‫كفرَبماَأنزلَعلىَمحمد‬
Apa yang diriwayatkan oleh tirmidzi dari jalur hakim al-atsrami “dari abi
tamimah al-Hujaimi dari abi hurairah dari nabi saw ia berkata : barang siapa
yang menggauli wanita haid atau seorang perempuan pada duburnya atau
seperti ini maka sungguh ia telah mengingkari dari apa yang telah diturunkan
kepada nabi Muhammad saw”
Berkata Imam Tirmidzi setelah mengeluarkan (takhrij) hadits ini: “kami
tidak mengetahui hadits ini kecuali hadits dari jalur hakim al-atsrami, kemudian
hadits ini didhoifkan oleh Muhammad dari segi sanad karena didalam sanadnya
terdapat hakim al-atsrami sebab didhaifkan pula oleh para ulama hadits”

2. Sebab-sebab Hadis Dha’if


a) Sanad Hadis
Dari sisi ini, dirincikan menjadi dua bagian :
1) Ada kecacatan pada perawinya baik meliputi keadilannya maupun
kedhabitannya, yangg diuraikan dalam 10 macam :
a. Dusta. Hadis yang rawinya dusta disebut maudhu’
b. Tertuduh dusta. Hadis yang rawinya tertuduh dusta disebut matruk
c. Fasiq
d. Banyak salah
e. Lengah dalam menghafal, hadisnya disebut munkar
f. Banyak wahamnya. Hadisnya disebut nu’allal
g. Menyalahi riwayat yang lebih tsiqqah atau dipercaya. Hadisnya disebut
mudraj bila karena ada penambahan suatu sisipan; disebut maqlub bila
diputarbalikkan; disebut mudtharib bila rawinya yang tertukar-tukar;
disebut muharraf bila yang tertukar adalah huruf –syakal dan disebut
mushahhaf bila perubahan itu meliputi titik kata.
h. Tidak diketahui identitasnya. Hadisnya disebut mubham

30
i. Penganut bid’ah
j. Tidak baik hafalannya. Hadisnya disebut hadis syadz dan mukhtalith.
2) Sanadnya Tidak Tersambung
a. Gugur pada sanad pertama
b. Gugur pada sanad terakhir
c. Gugur dua orang rawi atau lebih secara berurutan.
d. Jika rawinya yang diugurkan tidak berturut-turut disebut hadis
munqathi’.

b) Matan Hadis
1) Hadis mauquf
2) Hadis Muqthu’
c) Kitab-Kitab Hadis Da’if
1) Al-Marasil, karya Abu Dawud.
2) Al-‘Ilal, karya Ad-Daruquthni
3) Kitab-kitab yang banyak mengemukakan para perawi yang dha’if adalah
seperti Adh-Dhu’afa karya Ibnu Hibban, Mizan Al-I’tidal karya Adz-
Dzahabi.

31
Bab III
Penutup
A. Kesimpulan
Berdasarkan materi di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Pembagian hadis bila ditinjau dari kuantitas atau jumlah perawinya itu
terbagi menjadi dua, yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad. Untuk hadis
mutawatir dibagi lagi menjadi tiga macam, yaitu mutawatir lafzhi,
mutawatir ma'nawi, mutawatir amali. Hadis ahad juga terbagi menjadi tiga
macam, yaitu hadis masyhur, hadis aziz, dan hadis Gharib.
2. Jika ditinjau dari segi kualitas (diterima atau ditolaknya) , hadis itu ada dua
macam, yaitu hadis maqbul dan hadis mardhud. Kedua hadis tersebut
dirincikan lagi menjadi hadis shahih, hadis hasan, dan hadis dha'if. Hadis
shahih termasuk ke dalam hadis maqbul karena memenuhi syarat-syarat
diterimanya suatu hadis dan diyakini kedhabit-an perawinya. Sedangkan
hadis hasan, ada sebagian yang masuk ke dalam hadis maqbul, namun ada
juga yang sebagian yang termasuk ke dalam hadis mardhud. Hadis dha'if
termasuk ke dalam hadis mardhud karena hadis ini dinilai tidak memenuhi
syarat-syarat diterimanya suatu hadis.
B. Saran
Di dalam mempelajari studi hadis hendaknya benar-benar mengetahui dan
mengerti pengertian dan pembagian hadis tersebut baik dari segi kuantitas
maupun kualitasnya agar kita tidak keliru dalam menyampaikan hadis nanti.

32
Mengetahui pembagian hadis ini juga sangat penting, agar kita dapat
membedakan keshahihan suatu hadis.

Daftar Pustaka

Ahmad, Muhammad Mudzakir. 1998. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka


Setia.
Asy, Maftuh Ahnan. 2003. Kumpulan Hadis Terpilih Shohih Bukhori.
Surabaya: Terbit Terang.
Al-Qaththan, Manna. 2010. Pengantar studi ilmu hadits. Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar.
Ahmad, Muhammad dan M. Mudzakir. 2000. Ulumul Hadis. Bandung:
Pustaka Setia.
Ismali, M. Syuhudi. 2010. Pengantar Ilmu Hadits. Bandung: CV Pustaka
Setia.
Khon, Abdul Majid. 2013. Ulumul Hadis. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Mudasir. 2010. Ilmu Hadis. Bandung: Pustaka Setia.
Suparta Munzier. 2011. Ilmu Hadis. Jakarta: PT Rajagrafindo persada.
Solahudin, M. Agus dan Agus Suyadi. 2009. Ulumul Hadis. Bandung:
Pustaka Setia.
Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Medan: Ghalia Indonesia.

33

Anda mungkin juga menyukai