PEMBAGIAN HADITS
Nama Anggota :
Hafizatuzzahriah : 190101010253
BANJARMASIN
2019
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT. atas berkat rahmat dan karunia-
Nya sehingga kita masih diberi nikmat kesehatan dan kesempatan hingga kami
dapat menyelesaikan makalah Ulumul Hadits dengan judul “Pembagian Hadist”.
Sholawat serta salam selalu tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yang telah membimbing ummat dari jalan
kegelapan menuju jalan yang terang benderang.
Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan dan masih banyak kekurangannya, hal ini dikarenakan keterbatasan
waktu, pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki penyusun, oleh karena itu
penyusun sangat mengharapkan adanya saran atau kritik yang sifatnya
membangun untuk perbaikan dimasa yang akan datang dan sebagai motivasi bagi
kami untuk lebih baik kedepannya.
Pada kesempatan ini, penyusun mengucapkan terimakasih kepada semua
pihak yang telah membantu menyelesaikan tugas ini terutama kepada dosen
pengampu mata kuliah. Semoga Allah SWT, membalas amal kebaikan beliau.
Jazaakumullahkhairon . Aamiin.
Dengan segala pengharapan dan doa semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi penyusun khususnya dan bagi pembaca umumnya.
Barakallahufiikum,
Wassalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh.
Penyusun
Penyusun
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan ....................................................................................... 32
B. Saran .................................................................................................. 32
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadis atau Al-hadits menurut bahasa artinya al-jadid yang artinya sesuatu
yang baru. Hadis juga sering disebut berita atau sesuatu yang dipercayakan
dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain.
Sedangkan menurut ahli hadis, pengertian hadis ialah segala perkataan
Nabi, perbuatan, dan hal ihwalnya. Yang dimaksud "hal ihwal" ialah segala
yang diriwayatkan dari Nabi SAW yang berkaitan dengan himmah,
karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaannya.
Ada juga yang memberikan pengertian lain yakni, hadis ialah sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir,
maupun sifat beliau. Namun, sebagian muhadditsin berpendapat bahwa
pengertian hadis yang seperti itu merupakan pengertian hadis yang sempit.
Menurut mereka, hadis mempunyai cakupan pengertian yang lebih luas; tidak
terbatas pada apa yang disandarkan kepada Nabi SAW saja, melainkan
termasuk juga yang disandarkan kepada para sahabat, dan tabi'in.
Hadis dari satu segi dapat dibagi menjadi dua, yaitu secara kuantitas dan
kualitas. Yang dimaksud segi kuantitasnya adalah penggolongan hadis ditinjau
dari banyaknya rawi yang meriwayatkan hadis, sedangkan kualitas adalah
penggolongan hadis dari aspek ditolak atau diterimanya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan maka dapat dirumuskan
beberapa masalah sebagai berikut:
1. Apa saja pembagian hadis jika ditinjau dari kuantitas rawi dan
klasifikasinya?
2. Apa saja pembagian hadis jika ditinjau dari kualitas rawi?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk menjelaskan pembagian hadis berdasarkan kuantitas rawi
2. Untuk menjelakana pembagian hadis berdasarkan kualitas rawi
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadis Mutawatir
a. Pengertian Hadis Mutawatir
Mutawatir menurut bahasa berarti mutatabi' , yakni sesuatu yang
datang berikut dengan kita atau yang beriring-iringan antara satu dengan
lainnya tanpa ada jaraknya2. Ada juga yang mengartikan mutawatir,
1
Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2010). hlm. 113
2
Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: Rajagrafindo persada, 2011). Hlm. 95.
2
menurut bahasa, adalah isim fa'il musytaq dari At-tawatur artinya At-
tatabu' (berturut-turut).3
Adapun pengertian hadis mutawatir menurut istilah, terdapat beberapa
formulasi definisi, antara lain sebagai berikut.
"Hadis mutawatir adalah yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang
tidak mungkin bersepakat untuk berdusta dari sejumlah rawi yang semisal
mereka dan seterusnya sampai akhir sanad, dan sanadnya mereka adalah
pancaindra”.4
Ada juga menurut istilah ulama hadis adalah
"Khabar yang didasarkan pada pancaindra yang dikabarkan oleh
sejumlah orang yang mustahil menurut adat mereka bersepakat untuk
mengabarkan berita itu dengan dusta." 5
3
M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2009). Hlm
129.
4
Sohari Sahrani, Ulumul Hadits (Medan: Ghalia Indonesia, 2010) Hlm. 84.
5
M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2009). Hlm.
129-130.
6
Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir, Ulumul Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2000).
Hlm. 66.
3
Jadi hadis mutawatir adalah suatu hadis yang diriwayatkan oleh
sekelompok orang dengan jumlah tertentu yang menurut kebiasaan
mustahil bersepakat berdusta.
4
Misalnya para parawi dalam sanad itu datang dari berbagai
negara yang berbeda, jenis yang berbeda, dan pendapat yang
berbeda pula. Sejumlah perawi yang banyak ini secara logika
mustahil terjadi adanya kesepakatan berbihong secara uruf
(tradisi). Berdasarkan ini, jika periwayatan suatu hadis berjumlah
besar sangat sulit mereka bersepakat bohong dalam suatu
periwayatan. Diantara alasan pengingkaran sunnah dalam
penolakan mutawatir adalah pencapaian jumlah banyak tidak
menjamin dihukumi mutawatir karena dimungkinkan adanya
kesepakatan berbohong. Hal ini karena mereka menganalogikan
dengan realita dunia dan kejujuran yang tidak dapat dipertanggung
jawabkan, apalagi jika ditunggangi masalah politik dan lain-lain.
Demikian halnya belum dikatakan mutawatir karena sekalipun
sudah mencapai jumlah banyak tetapi masih memungkinkan untuk
berkonsensus berbohong.
d. Sandaran berita itu pada pancaindra
Maksud sandaran pancaindra adalah berita itu didengar dengan
telinga atau dilihat dengan mata dan disentuh dengan kulit, tidak
disandarkan pada logika atau akal seperti sifat barunya alam,
berdasarkan kaedah logika; setiap yang baru itu berubah (kullu
haditsin mutaghayyirun).Alam berubah (al- alamu mutaghayyirun).
Jika demikian, Alam itu baru (al- alamu haditsun). Baru artinya
sesuatu yang disiptakan bukan wujud dengan sendirinya.7
7
Abdul Majid khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2013). Hlm. 100.
5
a. Dengan keempat syarat di atas, telah mengahsilkan khabar yang
yakin berasal dari Rasulullah. Sebab, tidak mungkin perawi yang
jumlahnya banyak di setiap thabaqahnya itu, menyampaikan berita
dusta kepada kita.
b. Tujuan membuat persyaratan itu, adalah untuk memperoleh
keyakinan bahwa berita yang disampaikan oleh para perawi itu,
benar-benar memang berasal dari Rasulullah. Sedang dengan
keempat syarat di atas, keyakinan itu telah dapat diperoleh.
c. Tentang perawi harus beragama islam, ternyata Rasulullah sendiri
pernah menerima berita dari seorang Baduwi tentang datangnya
tanggal 1 Ramadhan. Argumen ini, memang memang agak lemah.
Sebab, keadaan orang Baduwi yang waktu itu masih “polos” yang
membawa berita tentang tanggal 1 Ramadhan, tentu berbeda dengan
berita yang dibawa oleh orang sesudah zaman Nabi, tentang apa
yang berasal dari Nabi. Karena itu, untuk Hadis Ahad, syarat
beragama islam ini, diperlukan.
َ َاحد
َ مَ َات َواتَرَتََرَ َوايََت َهَعَلَىَلَفَظََ َو
“Hadis yang mutawatir periwayatannya dalam satu Lafzi”
6
Ada yang mengatakan bahwa mutawatir lafdzi adalah:
8
Munzier suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: PT Rajagrafindo persada, 2011). Hlm 101
9
Ibid Hlm 102
7
“Barangsiapa berbuat dusta terhadap diriku, hendaklah ia menempati
neraka”.
Menurut Abu Bakar Al-Sairi, bahwa hadis ini diriwayatkan secara
marfu’ oleh enam puluh sahabat. Munurut Ibnu Al-Shalah, hadis ini
diriwayatkan oleh enam puluh dua sahabat, termsuk sepuluh sahabat yang
diakui akan masuk surga. Menurut mereka, tidak diketahui hadis lain yang
di dalam perawinya terkumpul sepuluh sahabat yang diakui masuk surga,
kecuali hadis ini. Menurut sebagian yang lain menyatakan, hadis ini
diriwayatkan oleh hamper dua ratus sahabat. Ibrahim Al-Harabi dan Abu
Bakar Al-Bazari mengatakan, hadis ini diriwayatkan oleh empat puluh
sahabat. Abu Al-Qasim ibn Manduh berpendapat bahwa hadis ini
diriwayatkan oleh lebih dari delapan puluh orang. Ada juga yang
menyatakan, diriwayatkan oleh seratus sahabat10. Jadi, hadis mutawatir
lafdzi ialah hadis mutawatir yang diriwayatkan oleh rawi yang banyak dan
mencapai syarat mutawatir dengan redaksi dan makna hadis yang sama
antara riwayat satu dan riwayat yang lain.
2. Mutawatir Ma’nawi
Yang dimaksud dengan hadis mutawatir ma’nawi adalah:
َجمَاعَةَ ََيسَتَحََيلَ َتَ َواط َؤهَمَ َعَلَى َالكَذَبَ َ َوقَ َائعَ َمَخََتلَفَ َةً ََتشََترَكَ َفَى
َ َ َأن ََيَنقَل
َأَمَر
10
Ibid Hlm 103
11
Ibid Hlm 104
8
“Hadis yang dinukilkan oleh sejumlah orang yang menurut ada mustahil
mereka sepakat berdusta atas kejadian yang berbeda-beda, tetapi bertemu
pada titik persamaan”.
Misalnya, seseorang meriwayatkan, bahwa Hatim umpamanya
memberikan seekor unta kepada seorang laki-laki. Sementara yang lain
meriwayatkan, bahwa Hatim memberi dinar kepada seorang laki-laki, dan
demikian seterusnya.
Dari riwayat-riwayat tersebut kita dapat memahami, bahwa Hatim
adalah seorang pemurah. Sifatnya pemurah Hatim ini kita pahami melalui
jalan khabar mutawatir ma’nawi.
Contoh hadis mutawatir ma’nawi, antara lain adalah hadis yang
meriwayatkan bahwa Nabi SAW. Mengangkat tangannya ketika berdo’a:
َقَالََأََبوَمَوسَىَاَلَشَعَرَيََدَعَاالََّنبيَصلىَهللاَعليهَوسلمَث َّمَرفعَيديهَورأيت
)بياضَابطيهَ(رواهَالبخار
“Abu Musa al-Asy’ari berkata: Nabi SAW. Berdoa kemudian dia
mengangkat kedua tangannya dan aku melihat putih-putih kedua
ketiaknya”.
Hadis semacam ini diriwayatkan dari Nabi SAW. Berjumlah
sekitar seratus hadis dengan redaksi yang berbeda-beda, tetapi mempunyai
titik persamaan, yakni keadaan Nabi SAW mengangkat tangan saat
berdoa.12
Dari uraian diatas Hadis mutawatir ma’na yaitu hadis yang
mempunyai tingkat derajat mutaawatir namun susunan redaksinya berbeda
anatara yang diriwayatkan satu rawi dengan rawi yang lain, namun isi
kandungan maknanya sama.
3. Mutawtir Amali
Adapun yang dimaksud dengan hadis mutawatir ‘amali adalah:
12
Ibid Hlm 105
9
ََّ أن َالََّنَب
َي َصلىَهللاَعليه ًَ َ َضرَوَرَةَ َ َوتَ َو َاترََبَينَ َالَمَسَلَمََين
ََّ مَاعَلَمَ َمَنَ َالدََينَ ََبال
ََوسلم َفَعَلَ َه َاَ َوأَمَرََبهَ َأَ َوغَيَرَ َذَلَكَ َ َوهَ َو َالََّذَيَ ََينَطَبَقَ َعَلََيهَ َتَعَرََيفَ َالَجَمَاع
ََّ اََنطََباقًَاَصَحََي
حا
“Sesuatu yang diketahui dengan mudah, bahwa dia termasuk urusan
agama dan dia telah mutawatir antara ummat Islam, bahwa Nabi SAW
mengerjakannya, menyuruhnya, atau selain dari itu. Dan pengertian ini
sesuai dengan ta’rif ijma’.”13
Hadis mutawatir ‘amali ini banyak jumlahnya, seperti hadis yang
menerangkan waktu shalat, raka’at shalat, shalat jenazah, shalat ‘id, tata
cara shalat, pelaksanaan haji, kadar zakat harta, dan lain-lain.
d. Nilai Hadis Mutawatir
Hadis mutawatir mempunyai nilai ‘ilmu dharuri (yufid ila’ilmi al-
dharuri), yakni keharusan untuk menerima dan mengamalkannya sesuai
dengan yang diberikan oleh hadis mutawatir tersebut, hingga membawa
kepada keyakinan yang qath’i (pasti).
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa suatu hadis dianggap mutawatir
oleh sebagian golongan lain dan kadang telah membawa keyakinan bagi
suatu golongan tetapi tidak bagi golongan lain. Barang siapa yang telah
menyakini akan kemutawatiran suatu hadis, wajib baginya mempercayai
kebenarannya dan mengamalkan sesuai dengan tuntutannya. Sedang bagi
orang yang belum mengetahuai dan menyakini kemutawatirannya, wajib
baginya mempercayai dan mengamalkan suatu hadis mutawatir yang
disepakati oleh para ulama sebagaimna kewajiban mereka mengikuti
ketentuan-ketentuan hukum yang disepakati oleh ahli ilmu.14
13
Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2010). Hlm 36
14
Munzier suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: PT Rajagrafindo persada, 2011) Hlm 106.
10
B. Hadis Ahad
a. Pengertian Hadis Ahad
Hadis ahad menurut bahasa hadis artinya satu-satu. Pengertian hadis
ahad, menurut bahasa terasa belum jelas. Menurut para ulama ahli hadis
batasan hadis ahad sebagai berikut:
َالحديث َاْلحدهوالحديث َالَّذى َلم َيبلغ َرواته َمبلغ َالحديث َالمتواتر ََسواء
ََالراوى َواحدًا َاواثنين َاوثَلثةً َاواربعةً َاوخمسةً َالى َغير َذلك َمن
َّ َكان
َاْلعدادَالَّتىَْلتشعربا َّنَالحديثَدخلَفىَخبرالمتواتر
Artinya:
“Hadis ahad adalah hadis yang para rawinya tidak mencapai jumlah rawi
hadis mutawatir, baik rawinya itu satu, dua, tiga empat, atau seterusnya.
Tetapi jumlahnya tidak memberi pengertian bahwa hadis dengan jumlah
rawi tersebut masuk dalam kelompok hadis mutawatir”.15
15
Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir, Ulumul Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2000).
Hlm 92.
11
Masyhur menurut bahasa berati yang sudah tersebar atau yang sudah
populer. Mustafid menurut bahasa juga berarti yang telah tersebar atau
tersiar. Jadi, menurut istilah ilmu hadis, hadis masyhur dan hadis mustafid
itu sama-sama berarti hadis yang sudah tersebar atau tersiar.
Dalam pengertian istilah hadis ilmu hadis, keduanya diberi batasan
yang sama, sebagai berikut:
Artinya:
“Hadis masyhur (hadis mustafid) adalah hadis yang diriwayatkan oleh
tiga rawi atau lebih, dan belum mencapai derajat mutawatir”16
Contoh hadis masyhur (hadis mustafid):
َالمَسَلَمَ َمَنَ َسَلَمَ َالَمَسَلَمَ َونَ َمَنَ َلَسَ َان َه:قال َرسول َهللا َصلى َهللا َعليه َوسلم
.ََوَيدَه
Artinya:
“ Rasulullah SAW bersabda, “Seseorang muslim adalah kaum muslimin
yang tidak terganggu oleh lidah dan tangannya.” (HR. Bukhari Muslim,
dan Tirmizi).
Hadis tersebut tingkatan pertama (tingkatan sahabat Nabi) sampai ke
tingkat imam-imam yang membukukan hadis (dalam hal ini adalah
Bukhari, Muslim, dan Tirmizi) diriwayatkan oleh tidak kurang dari tiga
rawi dalam setiap tingkatan.
Sebagian ulama, membedakan hadis mustafid dari hadis masyhur,
yaitu hadis mustafid adalah hadis yang diriwayatkan oleh empat orang
rawi atau lebih dan belum mencapai derajat mutawatir, sedangkan hadis
masyhur adalah hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi.
16
Ibid Hlm 93
12
2) Hadis Aziz
Hadis aziz menurut bahasa berarti hadis yang mulia atau hadis yang
kuat atau hadis yang jarang, karena memang hadis aziz itu jarang adanya.
Para ulama memberikan batasan sebagai berikut:
َسابقون َيوم
َّ نحن َاْلخرون َفىَالدَّنياَال:قال َرسول َهللا َصلىَهللاَعليهَوسلم
َ َالقيامة
Artinya:
“ Rasulullah SAW. Bersabda, “Kita adalah orang-orang yang paling
akhir (di dunia) dan yang paling terdahulu di hari kiamat.” (HR.
Hudzaifah dan Abu Hurairah)
Hudzaifah dan Abu Hurairah yang dicantumkan sebagai rawi hadis
tersebut adalah dua sahabat Nabi. Walaupun pada tingkatan selanjutnya
hadis ini diriwayatkan oleh lebih dan dua orang, namun hadis ini tetap saja
17
Ibid Hlm 95
13
dipandang sebagai hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, dank
arena itu termasuk hadis aziz.
3) Hadis Garib
Hadis Garib menurut bahasa berarti hadis yang terpisah atau
menyendiri dari yang lain. Para ulama memberikan batasan sebgai berikut:
18
Ibid Hlm 96
14
demikian, hadis itu dipandang sebagai hadis yang diriwayatkan oleh satu
orang dan termasuk hadis garib.
c. Kedudukan Hadis Ahad
Bila hadis mutawatir dapat dipastikan sepenuhnya berasal dari
Rasulullah SAW. maka tidak demikian halnya hadis ahad. Hadis ahad
tidak pasti berasal dari Rasulullah SAW, tetapi diduga (zanni) berasal dari
beliau. Dengan ungkapan lain bahwa hadis ahad mungkin benar berasal
dari beliau.
Karena hadis ahad itu tidak pasti (gairu qar’I atau gairu maqtu) tetapi
diduga (zanni) berasal dari Rasulullah SAW, maka kedudukan hadis ahad,
sebagai sumber atau sumber ajaran islam, berada di bawah kedudukan
hadis mutawatir. Ini berarti bahwa suatu hadis, yang termasuk kelompok
hadis ahad bertentangan isinya dengan hadis mutawatir, maka hadis
tersebut ditolak, dan dipandang sebgai hadis yang tidak berasal dari
Rasulullah SAW.
Bila diperinci lebih lanjut, kedudukan hadis ahad itu berbeda-beda,
sejalan dengan perbedaan taraf dugaan atau taraf kemungkinannya berasal
dari Rasulullah SAW. Sebagian hadis-hadis tersebut lebih tinggi
kedudukannya dari sebgaian hadi yang lain, kendati semuanya sama-sama
termasuk hadis ahad. Hadis ahad itu ada yang dinilai sahih, ada yang
dinilai hasan, dan ada pula yang dinilai daif. Kedudukan hadis dahih lebih
tinggi daripada hasan, dan kedudukan hadis hasan lebih tinggi daripada
hadis daif.
15
b. Dari segi pengetahuan yang dihasilkan, hadis mutawatir menghasilkan
ilmu qat’I (pasti) atau ilmu daruri (mendesak untuk diyakini) bahwa
hadis itu sungguh-sungguh dari Rasulullah sehingga dapat dipastikan
kebenarannya, sedangkan hadis ahad menghasilkan ilmu zanni (besifat
dugaan) bahwa hadis itu berasal dari Rasulullah SAW. sehingga
kebenarannya masih berupa dugaan pula.
c. Dari segi kedudukan, hadis mutawatir sebgai sumber ajaran agama
islam memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada hadis ahad.
Sedangkan kedudukan hadis ahad sebgai sumber ajaran islam berada di
bawah kedudukan hadis mutawatir.
d. Dari segi kebenaran keterangan matan, dapat ditegaskan bahwa
keterangan matan hadis mutawatir mustahil bertentangan dengan
keterangan ayat dalam Al-Quran, sedangkan keterangan matan hadis
ahad mungkin saja (tidak mustahil) bertentangan dengan keterangan
ayat Al-Quran. Bila dijumpai hadis-hadis dalam kelompok hadis ahad
yang keterangan matan hadisnya bertentangan dengan keterangan ayat
Al-Quran, maka hadis-hadis tersebut tidak berasal dari Rasulullah
SAW. mustahil Rasulullah mengajarkan ajaran yang bertentangan
dengan ajaran yang terkandung dalam Al-Quran.
16
Jika dua buah hadis memiliki keadaan matan jumlah rawi (sanad) yang
sama, maka hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang kuat ingatannya, lebih
tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah
ingatannya, dan hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang jujur lebih tinggi
tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh rawi pendusta.19
واختارَموسىَقومهَسبعينَرجَلَلميقاتنا
Artinya:
“Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohon tobat
kepada kami) pada waktu yang telah kami tentukan.” (QS. Al-Araf: 155)
Pendapat lain membatasi jumlah mereka empat puluh orang, bahkan ada
yang membatasi cukup dengan empat orang dengan pertimbangan bahwa saksi
zina itu ada empat orang.
َ Kata-kata َسند
ََّ عنَمثلهمَالىَانتهاءال
(dari sejumlah rawi yang semisal mereka dan seterusnya sampai akhir sanad)
mengecualikan hadis ahad yagn pada sebagian tingkatannya terkadang
diriwayatkan oleh sejumlah rawi mutawatir.
Contoh hadis:
َا َّنماَاْلعمالَََبالنََيات
Artinya:
“sesungguhnya amal-amal itu tergantung niatnya.”
Awal hadis tersebut adalah ahad, namun pada perrtengahan sanadnya menjadi
mutawatir. Maka hadis yang demikian bukan termasuk hadis mutawatir.
19
Ibid Hlm 76
17
rasional murni, seperti pernyataan bahwa satu itu separuhny dua. Hal ini
dikarenakan bahwa yang menjadi pertimbangan adalah akal bukan berita.
Bila dua hadis memiliki rawi yang sama keadaan dan jumlahnya, maka
hadis yang matannya seiring atau tidak bertentangan dengan ayat-ayat Al-
Quran, lebih tinggi tingkatannya dari hadis yang matannya buruk atau
bertentangan dengan ayat-ayat Al-Quran. Tingkatan (martabat) hadis ialah
taraf kepastian atau taraf dugaan tentang benar atau palsunya hadis itu berasal
dari Rasulullah.20
Hadis yang tinggi tingkatannya berarti hadis yang tinggi taraf kepastiannya
atau tinggi taraf dugaan tentang benarnya hadis itu berasal dari Rasulullah
SAW. Hadis yang rendah tingkatannya berarti hadis yang rendah taraf
kepastiannya atau taraf dugaan tentang benarnya ia berasal dari Rasulullah
SAW. Tinggi rendahnya tingkatan suatu hadis menentukan tinggi rendahnya
kedudukan hadis sebagai sumber hukum atau sumber ajaran Islam.
Para ulama membagi hadis ahad dalam tiga tingkatan, yaitu hadis sahih,
hadis hasan, dan hadis daif. Pada umumnya para ulama tidak mengemukakan,
jumlah rawi, keadaan rawi, dan keadaan matan dalam menentukan pembagian
hadis-hadis tersebut menjadi hadis sahih, hasan, dan daif.
Maqbul Mardud
Mutawatir Ahad
20
Ibid Hlm 77
Lidzatih Lighayrihi
i
18
Dalam skema di atas dapt dipahami, bahwa hadis dilihat dari segi
kualitasnya terbagi menjadi dua macam yaitu hadis maqbul dan hadis mardud,
hadis maqbul terbagi menjdi dua mutawtir dan ahad yang shahih dan hasan
baik lidzatihi maupun lighayrihi sedang hadis mardus ada satu yaitu hadis
dha’if. Masing-masing pembagian di atas akan dibahas secara terperinci, yaitu
sebgai berikut:
1. Hadis Maqbul
َوهوماَتر َّجحَصدقَالمخبرعنه
“Adalah hadis yang unggul pembenaran pemberitannya”21
Keunggulan pembenaran berita itu mungkin pada proses awal adanya dua
dugaan antara benar dan salah. Kemudian, karena adanya bukti-bukti atau
alasan-alasan lain yang memperkuat atau mendukung pada salah satu dua
dugaan tersebut, maka ia menjadi unggul. Dalam hal ini hadis maqbul adalah
hadis yang mendapat dukungan bukti-bukti dan membuat unggul itu adalah
dugaan pembenaran.
2. Hadis Mardhud
Mardud dalam bahasa lawan dari maqbul yakni = ditolak atau tidak
diterima. Penolakan hadis ini dikarenakan tidak memenuhi beberapa kriteria
persyaratan yang ditetapkan para ulama, baik yang menyangkut sanad seperti
setiap perawi harus bertemu langsung dengan gurunya (ittishal as-sanad)
maupun yang menyangkut matan seperti isi matan tidak bertentangan dengan
Al-Quran dan lain-lain. Dalam istilah hadis mardud adalah:
َوهوماَلمَير َّجخَصدقَالمخبرعنه
21
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2013). Hlm 148.
19
“Hadis yang tidak unggul pembenaran pemberitanya”22
Hadis mardud tidak mempunyai pendukung yang membuat keunggulan
pembenaran berita dalam hadis tersebut. Hadis mardud tidak dapat dijadikan
hujah dan tidak wajib diamalkan, sedangkan hadis maqbul wajib dijadikan
hujah dan wajib diamalkan. Masing-masing terbagi lagi menjadi beberapa
bagian yang akan dijelaskan pada paparan berikut. Secara umum hadis mardud
adalah hadis dha’if (lemah) dengan segala macamnya.
Kembali kepada pembagian hadis maqbul sebagaimana di atas, hadis
maqbul terbagi menjadi dua macam yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad
yang shahih dan hasan sedangkan hadis mardud adalah hadis dha’if.
a. Hadis Shahih
1. Pengertian
َهَ َومَااَتَّصل َسنده َبنقل َالعدل َالضَّابط َضبطا َكامَلعن َمثلة َوخَل َمن َالشذوذ
23
والعلَّ َة
“Hadis yang musttashil (bersambung) sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil
dan dhabith (kuat daya ingatan) sempurna dari sesamanya, selamat dari
kejanggalan (syadzdz), dan cacat (‘illat).”
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa hadis shahih mempunyai 5
kriteria, yaitu:
1. Persambungan sanad
Artinya setiap perawi dalam sanad bertemu dan menerima periwayatan dari
perawi sebelumnya baik secara langsung atau secara hukum dari awal sanad
22
Ibid Hlm 149
23
Ibid Hlm 150
20
sampai akhirannya. Pertemuan atau persambungan sanad dalam periwayatan
ada dua macam lambang yang digunakan oleh para periwayat:
a. Pertemuan langsung (mubasyarah), seseorang bertatap muka langsung
dengan syaikh yang menyampaikan atau melihat apa yang dilakukan
periwayatan dalam bentuk pertemuan langsung seperti di atas pada
umumnya menggunkan lambing ungkapan:
24
Ibid Hlm 151
21
keterangan seorang perawi ini dijakikan saksi kuat yang memperjelas
keberadaan sanad.25
2. Keadilan para perawi (‘adalah ar-ruwah)
Pengertian adil dalam bahasa adalah seimbang atau meletakkan sesuatu
pada tempatnya, lawan dari zalim. Dalam istilah periwayatan orang yang adil
adalah:
َمنَاستقامَدينهَوحسنَخلقهَوسلمَمنَالفسقَوخوارمَالمروءة
“Adil adalah orang yang konsisten (istiqamah) dalam beragama, baik
akhlaknya, tidak fasik dan tidak melakukan cacat muruah.”26
Istiqamah dalam beragam adalah artinya orang tersebut konsisten dalam
beragama, menjalankan segala perintah dan menjauhkan segala dosa yang
menyebabkan kefasikan. Fasik artinya tidak patuh beragama (al-khuruj’an at-
tha’ah), mempermudah dosa besar atau melanggengkan dosa kecil secara
kontinu sedang menjaga muru’ah artinya menjaga kehormatan sebagai seorang
perawi, menjalankan segala adab dan akhlak yang terpuji dan menjauhi sifat-
sifat yang tercela menurut umum dan tradisi. Misalnya tidak membuka kepala
dan tidak melepas alas kaki ketika bepergian, tidak mengenakan baju lengan
pendek, tidak makan dipinggir jalan, dan lain sebagainya.
Dalam menilai keadilan seseorang tidak harus meneliti ke lapangan
langsung, dengan cara bertemu langsung. Hal ini sangat sulit dilakukan karena
mereka para perawi hadis hidup pada awal dalam perkembangan Islam.
Kecuali bagi mereka yang hidup bersamanya atau yang hidup sezaman. Oleh
karena itu, dalam menilai keadilan seseorang periwayat cukup dilakukan
dengan salah satu teknik berikut:
1) Keterangan seorang atau beberapa ulama yang ahli ta’dil bahwa seseorang
itu bersifat adil, sebagaimana yang disebutkan dalam kitab-kitab al-jarh
wa at-ta’dil.
2) Keterangan seseorang bahwa ia bersifat adil, seperti Imam empat Hanafia,
Maliki, Asy-Syafi’I, dan Hambali.27
25
Ibid Hlm 151
26
Ibid Hlm 151
22
3. Para perawi bersifat dhabith (dhabth ar-ruwah)
Bersifat dhabith artinya, para perawi itu memiliki daya ingat hapalan yang
kuat dan sempurna. Hal tersebut diperlukan dalam rangka menjaga otentisitas
hadis, mengingat tidak seluruh hadis tercatat pada masa awal perkembangan
Islam. Orang yang disebut dhabith harus mendengar secara utuh, memahami isi
apa yang didengar, tersimpan baik dalam ingatannya, kemudian mampu
menyampaikan kepada orang lain atau meriwayatkannya sebagaimana
28
mestinya.
Yang dicakup oleh pengertian dhabith dalam periwayatannya di sini ada
dua kategori, yaitu Dhabit dalam dada (adh-dhabth fi ash-shudur), atinya
memiliki daya ingat dan hapal yang kuat sejak ia menerima hadis dari seorang
syaikh atau seorang gurunya sampai dengan pada saat menyampaikannya
kepada orang lain. Sedangkan Dhabith dalam tulisan (adh-dhabth fi ash-
shutur), artinya tulisan hadisnya sejak mendengar darigurunya terpelihara dari
perubahan, pergantian, dan kekurangan. Singkatnya tidak terjadi kesalahan-
kesalahan tulis kemudian diubah dan diganti, karean hal demikian akan
mengundang keraguan atas ke-dhabith-an seseorang.29
Adapun sifat-sifat kedhabithan perawi, menurut para ulama, dapat
diketahui melalui :
1) Kesaksian para ulama;
2) Berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat dari orang lain yang
telah dikenal kedhabithannya.30
4. Tidak terjadi kejanggalan (syadzdz)
Syadz dalam bahasa berarti ganjil, terasing, atau menyalahi aturan.
Maksud syadzdz di sini adalah bertentangannya hadis periwayatan orang
tsiqqah (terpecaya yakni adil dan dhabith) dengan hadis lain yang lebih kuat
atau lebih tsiqqah. Dengan demikian, hadis shahih tidak boleh ada terjadi
27
Ibid Hlm 151
28
Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: PT Rajagrafindo persada, 2011). hlm 132
29
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2013). hlm 152
30
Op.cit., hlm 133
23
syadzdz atau hadis tersebut matan-matannya harus tidak bertentangan dengan
hadis lain yang lebih kuat31.
5. Tidak terjadi ‘illat
Dalam bahasa ‘Illah berarti penyakit, sebab, alasan, atau udzur. Sedang arti
‘illah di sini adalah suatu sebab tersembunyi yang membuat cacat keabsahan
suatu hadis pada lahirnya selamat dari cacat tersebut32.Dengan pengertian ini,
sehingga yang disebut hadis ber’illat adalah hadis-hadis yang ada cacat atau
penyakitnya, atau dapat diartikan sebagai penyebab tersembunyi atau samar-
samar yang karenanya dapat merusak keshahihan hadis tersebut. Sedangkan
hadis yang tidak ber’illat adalah hadis-hadis yang di dalamnya tidak terdapat
kesamaran atau keragu-raguan.
Contoh hadis shahih:
َح َّمدَبنَجبيرَبن
َ حدَّثناَعبدهللاَبنَيوسفَقالَأخبرناَمالكَعنَابنَشهابَعنَم
َم َقرأ َفي َالمغرب َبالطور(رواه.مطعم َعن َأبيه َقال َسمعت َرسول َهللا َص
(البخاري
31
ibid, hlm 133
32
Abdul Majid Khon, Ulmul Hadis (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2013). hlm 153
24
Hal itu terjadi karena beberapa hal, misalnya perawinya sudah diketahui adil
tapi dari sisi ke-dhabith-annya, ia dinilai kurang. Hadis ini menjadi shahih karena
ada hadis lain yang sama atau sepadan (redaksinya) diriwayatkan melalui jalur
lain yang setingkat atau malah lebih shahih.
Jadi perbedaan antara kedua bagian hadis ini terletak pada segi ke-dhabith-an
perawinya. Pada shahih li dzatihi ingatan perawinya sempurna, sedang pada
hadis shahih li ghairihi, ingatan perawinya kurang sempurna (qalil al-dhabth).
25
c. Menurut Yahya ibn Ma’in, adalah; Sulaiman AL-A’masy ibn Ibrahim –
Ibrahim bin Yazid Al-Nakha’iy – Al-Qamah ibn Qais – Abdullah Ibn
Mas’ud
d. Menurut Abu bakr ibn Abi Syaibah, adalah; Al-Zuhry – Ali ibn Husain –
Husein ibn Ali - Ali ibn Abi Thalib.
e. Menurut Imam l-Bukhari, adalah; Imam Malik ibn Anas, dari Nafi’
mawla Ibn Umar, Ibn Umar.
2. Ahsanul al-asanid, yakni rangkaian sanad yang tingkatannya di bawah tingkat
pertama di atas, seperti hadis yang diriwayatkan oleh Hamid bin Salmah dari
Sabit dari Anas;
3. Adh’ufl al-asanid, yakni rangkaian sanad hadis yang tingkatannya kedua,
seperti hadis riwayat Suhail bin Abi Shalih dari bapaknya dari Abu Hurairah.
33
33
Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: PT Rajagrafindo persada, 2011). hlm. 137
26
b. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari saja.
c. Diriwayatkan oleh Muslim saja.
d. Hadis yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Al-Bukhari
dan Muslim.
e. Hadis yang diriwayatkan oleh orang lain memenuhi persyaratan Al-
Bukhari saja.
f. Hadis yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Muslim saja.
g. Hadis yang dinilai shahih menurut ulama hadis selain Al-Bukhari dan
Muslim dan tidak mengikuti persyaratan keduanya, seperti Ibnu
Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan lain-lain.34
4. Kitab-Kitab Shahih
Ibnu Al-Shalah mengatakan bahwa kitab hadis yang paling shahih setelah
Al-Quran adalah Shahih Bukhari dan Muslim. Ibnu Al-Shalah mengomentari
bahwa kometar terhadap Al-Muwaththa’ tersebut diucapkan sebelum Shahihain
disusun. Kemudian, setelah Shahihain disusun, para ulama menganggap bahwa
kualitas Al-Muwaththa’ masih tetap di bawah Shahihain. Karena Imam Malik
tidak hanya memuat hadis shahih, tapi juga memasukkan hadis Mursal,
Munqathi’, dan – Syaikh ‘Ala Al-Din menambahkan – Mauquf, memasukkan
permasalahan-permasalahan fiqh dan lain-lainnya. 35
Berikut adalah kitab-kitab hadis shahih :
a. Shahih Al-Bukhari (w. 250 H), pertama kali penghimpun khusus hadis
shahih. Didalamnya terdapat 7.275 hadis termasuk yang terulang-ulang, atau
4.000 hadis tanpa terulang-ulang.
b. Sahih Muslim (w. 261 H), didalamnya terdapat 12.000 hadis termasuk yang
terulang-ulang atau sekitar 4.000 hadis tanpa terulang-ulang. Secara umum
hadis Al-Bukhari lebih shahih daripada Shahih Muslim, karena persyaratan
Shahih Al-Bukhari lebih ketat muttashil dan tsiqqahnya sanad di samping
terdapat kajian fikih yang tidak terdapat dalam Shahih Muslim.
c. Shahih Ibn Khuzaymah (w. 311 H)
34
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2013). hlm. 157-158
35
Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: PT Rajagrafindo persada, 2011) hlm. 138
27
d. Shahih Ibn Hibban (w. 354 H)
e. Mustadrak Al-Hakim (w. 405 H)
f. Shahih Ibn As-Sakan.
g. Shahih Al-Albani.
b. Hadis Hasan
1. pengertian
Menurut bahasa, Hasan berati bagus atau baik. Hasan berasal dari kata al-
husnu bermakna al-jamal = keindahan. Sedangkan menurut istilah, para ulama
berbeda pendapat dalam menafsirkan hadis hasan ini. Perbedaan pendapat ini
terjadi karena diantara mereka ada yang menggolongkan hadis hasan sebagai
hadis dha’if, yang dapat dijadikan hujjah.36
Ibnu Taimiyah menguraikan batasan hadis hasan yang diberikan Al-
Tirmidzi sekaligus merangkum polemik tentang peristilahan yang sering dipakai
Al-Tirmidzi. Hadis hasan menurut Al-Tirmidzi adalah (dalam redaksi Ibn
Taymiyah):37
Contoh Hadis hasan :
َحدَّثناَقتيبةَحدَّثناَجعفرَبنَسليمانَالضبعيَعنَأبيَعمرانَالجونيَعنَأبيَبكر
ََقال َرسول َهللا:َ َسمعت َأبيَبحضرة َالعدو َيقول:َ بن َأبيَموسيَالشعري َقال
“َالحديث..…ََإ َّنَأبوابَالج َّنةَتحتَظَللَالسيوف:َصَم
28
b) Perawinya ‘adil;
c) Perawinya dhabit, tetapi kualitas ke-dhabithannya di bawah ke-dhabitannya
para perawi hadis shahih;
d) Tidak terdapat kejanggalan atau syadz;
e) Tidak ber’illat
3. Macam-macam Hadis Hasan :
a. Hasan Lidzatih
Hadis hasan lidzatih adalah hadis hasan dengan sendirinya, karena telah
memenuhi segala kriteria dan persyaratan yang ditentukan. Hadis ini merupakan
hadis yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil, memenuhi
syarat hadis yang ditentukan meskipun daya ingat perawinya kurang.
b. Hadis lighayrih
Hadis hasan adalah hadis dha'if jika diriwayatkan melalui jalan (sanad) lain
yang sama atau lebih kuat. Atau lebih jelasnya hadis hasan liaghayrihi
merupakan hadis yang dilihat dari sanadnya itu dha’if namun dikuatkan dari jalur
lainnya, tetapi tidak mengandung syadzdz dan ‘illah.
4. Kehujjahan Hadis Hasan
Hadis hasan dapat dijadikan hujjah walaupun kualitasnya di bawah hadis
shahih. Semua Fuqaha, sebagian Muhadditsin dan Ushuliyyin mengamalkannya
kecuali sedikit dari kalangan orang yang sangat ketat dalam mempersyaratkan
penerimaan hadis (musyahiddin).
c. Hadis Dha’if
1. Pengertian
Kata dha’if menurut bahasa, berarti lemah, lawan kata dari kuat. Maka
sebutan hadis dha’if, secara bahasa berarti hadis yang lemah atau hadis yang
tidak kuat. Secara singkatnya hadis dha’if merupakan hadis yang didalamnya
tidak terdapat syarat-syarat hadis Shahih maupun hadis hasan. Jika satu syarat
saja hilang, atau tidak terpenuhi maka hadis tersebut dinyatakan sebagai hadis
dha’if.
Contoh hadis dha’if :
29
َماأخرجه َالترميذي َمن َطريق َ“حكيم َالثرم”عن َأبيَتميمة َالهجيميَعن َأبي
ََ”َمنَأتيَحائضاًَأوَامرأةًَفيَدبرهاَأوَكاهناَفقد:َهريرةَعنَال َّنبيَصَمَقال
“َكفرَبماَأنزلَعلىَمحمد
Apa yang diriwayatkan oleh tirmidzi dari jalur hakim al-atsrami “dari abi
tamimah al-Hujaimi dari abi hurairah dari nabi saw ia berkata : barang siapa
yang menggauli wanita haid atau seorang perempuan pada duburnya atau
seperti ini maka sungguh ia telah mengingkari dari apa yang telah diturunkan
kepada nabi Muhammad saw”
Berkata Imam Tirmidzi setelah mengeluarkan (takhrij) hadits ini: “kami
tidak mengetahui hadits ini kecuali hadits dari jalur hakim al-atsrami, kemudian
hadits ini didhoifkan oleh Muhammad dari segi sanad karena didalam sanadnya
terdapat hakim al-atsrami sebab didhaifkan pula oleh para ulama hadits”
30
i. Penganut bid’ah
j. Tidak baik hafalannya. Hadisnya disebut hadis syadz dan mukhtalith.
2) Sanadnya Tidak Tersambung
a. Gugur pada sanad pertama
b. Gugur pada sanad terakhir
c. Gugur dua orang rawi atau lebih secara berurutan.
d. Jika rawinya yang diugurkan tidak berturut-turut disebut hadis
munqathi’.
b) Matan Hadis
1) Hadis mauquf
2) Hadis Muqthu’
c) Kitab-Kitab Hadis Da’if
1) Al-Marasil, karya Abu Dawud.
2) Al-‘Ilal, karya Ad-Daruquthni
3) Kitab-kitab yang banyak mengemukakan para perawi yang dha’if adalah
seperti Adh-Dhu’afa karya Ibnu Hibban, Mizan Al-I’tidal karya Adz-
Dzahabi.
31
Bab III
Penutup
A. Kesimpulan
Berdasarkan materi di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Pembagian hadis bila ditinjau dari kuantitas atau jumlah perawinya itu
terbagi menjadi dua, yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad. Untuk hadis
mutawatir dibagi lagi menjadi tiga macam, yaitu mutawatir lafzhi,
mutawatir ma'nawi, mutawatir amali. Hadis ahad juga terbagi menjadi tiga
macam, yaitu hadis masyhur, hadis aziz, dan hadis Gharib.
2. Jika ditinjau dari segi kualitas (diterima atau ditolaknya) , hadis itu ada dua
macam, yaitu hadis maqbul dan hadis mardhud. Kedua hadis tersebut
dirincikan lagi menjadi hadis shahih, hadis hasan, dan hadis dha'if. Hadis
shahih termasuk ke dalam hadis maqbul karena memenuhi syarat-syarat
diterimanya suatu hadis dan diyakini kedhabit-an perawinya. Sedangkan
hadis hasan, ada sebagian yang masuk ke dalam hadis maqbul, namun ada
juga yang sebagian yang termasuk ke dalam hadis mardhud. Hadis dha'if
termasuk ke dalam hadis mardhud karena hadis ini dinilai tidak memenuhi
syarat-syarat diterimanya suatu hadis.
B. Saran
Di dalam mempelajari studi hadis hendaknya benar-benar mengetahui dan
mengerti pengertian dan pembagian hadis tersebut baik dari segi kuantitas
maupun kualitasnya agar kita tidak keliru dalam menyampaikan hadis nanti.
32
Mengetahui pembagian hadis ini juga sangat penting, agar kita dapat
membedakan keshahihan suatu hadis.
Daftar Pustaka
33