Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

SEBAB PERSELISIHAN ULAMA DALAM


MENDEFINISIKAN HADIS DAN SUNNAH SERTA
PERKEMBANGAN LAFAZ HADIS DAN SUNNAH

Disusun Oleh:

1. Astina Riswan ( 21131003)


2. Satriyani Fauzi (21131010)
3. Fahria Soamole (21131077)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU PENDIDIKAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

TERNATE 2022

i
KATA PENGANTAR

”Assalamualaikum Warrahmatullahi wabarakatuh”

Segala puji bagi Allah SWT yang naungan rahmat-Nya lebih luas dibanding
dunia dan seisinya. Berkat limpahan rahmat-Nya, kami bisa menyelesaikan
makalah yang berjudul “Sebab Perselisihan Ulama Dalam Mendefinisikan
Hadis dan Sunnah Serta Perkembangan Lafaz Hadis dan Sunnah”. Selawat
serta salam semoga senantiasa tercurahlimpahkan kepada Nabi akhir zaman
Muhammad SAW, keluarga, sahabat serta seluruh umatnya.
Kami ucapkan terima kasih kepada ibu Dra. Nurain Kamaluddin, M. Pd. yang
telah membimbing kami dalam mata kuliah Ulumul Hadis sehingga kami mampu
mengerjakan makalah ini dengan baik.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekeliruan dan kekurangan dalam
makalah ini,maka besar kiranya harapan kami untuk mendapat kritik dan saran yang
membangun demi kesempurnaan makalah ini. Dan kami berharap bahwa makalah
ini dapat menambah wawasan serta,dapat memberikan manfaat bagi semua
pihak,dan juga bagi diri kami sendiri.

Ternate, 16 Maret 2022

Kelompok I

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................... ii


DAFTAR ISI ................................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
A. Latar Belakang .................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................. 2
C. Tujuan Penulisan ............................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................... 3
A. Konsep Hadis dan Sunnah ................................................................................ 3
B. Perkembangan Lafaz Hadis dan Sunnah ......................................................... 7
BAB III PENUTUP ..................................................................................................... 12
A. Kesimpulan ...................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 13

iii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam sebagai agama yang sempurna ajarannya diperuntukan bagi seluruh
manusia muka bumi. Sebagai agama, Islam mempunyai sumber ajaran. Sumber
ajaran Islam adalah asal atau tempat ajaran Islam itu diambil sebagai sumber
mengidentifikasi makna bahwa ajaran Islam berasal dari suatu yang dapat digali
dan dipergunakan untuk kepentingan operasionalisasi ajaran Islam dan
pengembangannya sesuai dengan kebutuhan dan tantangan yang dihadapi oleh
umat Islam. Setiap perilaku dan Tindakan umat baik secara individu maupun
kelompok harus dilakukan berdasarkan sumber tersebut. Oleh karena itu, sumber
ajaran Islam berfungsi pula sebagai dasar pokok ajaran Islam. Sebagai dasar, maka
sumber itu menjadi landasan semua perilaku dan Tindakan umat sekaligus sebagai
1
referensi tempat orientasi dan konsulitasi dan tolak ukurnya.
Hadis Nabi saw diyakini oleh masyarakat umat islam sebagai bentuk ajaran
yang paling nyata dan merupakan realisasi dari ajaran islam yang terkandung dalam
Al-Qur’an al-karim. Dalam hubungan antar keduanya, hadis berfungsi sebagai
penjelas Al-Qur’an. Interpretasi terhadap petunjuk Allah swt ini diwujudkan dalam
bentuk nyata dalam kehidupan Nabi, sabda, perilaku, dan sikapnya terhadap segala
sesuatu, terkadang menjadi hukum tersendiri yang tidak di temukan dalam Al-
Qur’an. Otoritas Nabi sebagai pembawa risalah untuk memberikan petunjuk
kehidupan yang benar kepada umatnya, hal ini dibenarkan Allah swt, bahkan taat
kepada ajaran Nabi menjadi ciri utama ketaqwaan seseorang, sebaliknya yang
menentang kenabian Nabi Muhammad atau menentang ajaran yang di bawahnya
menjadi ukuran kualitas keagamaan seseorang.
Keberadaan hadis dan sunnah, meskipun para ulama hadis tidak
mempersoalkan perbedaan antara hadis dan sunnah. Sunnah identik dengan hadis,
konsep lebih awal pada mulanya tidak mengidentikkan keduanya, disini kita akan
mencoba melihat bagaimana perbedaan antara keduanya. Secara harfiyah, Sunnah

1
Tim Penyusun Studi Islam. Pengantar Studi Islam. Surabaya : Sunan Ampel Press. 2006. Hlm 12

1
berarti jalan, perilaku, praktek, dan cara bertindak. Akan tetapi bukan hanya
perilaku atau praktek, melainkan di dalamnya terkandung juga unsur pengulangan
dan tidak boleh disimpangi, sehingga bersifat normatif. Adat istiadat yang di warisi
oleh nenek moyang yang harus di teladani oleh masyarakat pewarisnya juga di sebut
sunnah karena di dalamnya terkandung unsur normatif.
Namun demikian, sunnah juga tidak hanya merujuk kepada sesuatu dari masa
lampau yang merupakan teladan bagi masa kini, tetapi juga mencakup suatu yang
baru yang di perkenalkan untuk di ikuti. Sedangkan Hadis adalah sebuah
pernyataan historis dan bukan merupakan deskripsi menyeluruh mengenai bagian
tertentu dari masa silam. Hadis yang menceritakan bahwa Nabi saw pernah
memutuskan perkata berdasarkan satu saksi dan sumpah adalah sebuah pernyataan
mengenai satu peristiwa, yaitu peristiwa pemutusan perkara dengan satu saksi dan
satu sumpah, jadi tampak bahwa setiap hadis adalah satu pernyataan di sekitar Nabi
saw. Hadis maupun sunnah, baik secara struktural maupun fungsional disepakati
oleh mayoritas kaum muslimin sebagai sumber ajaran islam, karena dengan adanya
hadis maka ajaran islam menjadi lebih jelas, rinci, dan spesifik.
B. Rumusan Masalah
1. Konsep Hadis dan Sunnah ?
2. Perkembangan lafaz Hadis dan Sunnah ?
C. Tujuan Penulisan
1. Memahami konsep Hadis dan Sunnah.
2. Memaparkan perkembangan Hadis dan Sunnah.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Hadis dan Sunnah
Untuk mendefinisikan hadis dan sunnah terdapat perbedaan pendapat di
antara beberapa ulama. Perbedaan itu disebabkan adanya perbedaan dalam disiplin
keilmuan sesuai dengan latar belakang keilmuan yang dimiliki. Dalam hal ini ahli
hadis(muhaddisun), ahli ushul fiqih (Usuliyyun), dan ulama fiqh (Fuqaha) juga
mengemukakan pendapatnya.
Para ulama hadis (Muhaddisun) mensinonimkan pengertian hadis dengan
sunnah. Sunnah dalam pengertian mereka adalah segala riwayat yang berasal dari
Rasulullah baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan (taqrir), sifat fisik dan
tingkah laku, beliau baik sebelum diangkat menjadi rasul maupun sesudahnya 2.
Para ulama ahli ushul fiqh (Usuliyyun) juga mensinonimkan pengertian hadis
dan sunnah. Menurut ahli ushul fiqh, sunnah adalah segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi SAW selain al-Qur‟an, berupa perkataan, perbuatan
maupun ketetapan (taqrir) beliau, yang dapat dijadikan sebagai dalil hukum
syari‟ah3.
Sedangkan para ulama fiqh (fuqaha) tidak mendefinisikan hadis secara
khusus namun memberikan definisi sunnah. Para fuqaha‟ mendefinisikan sunnah
sebagai segala perbuatan yang ditetapkan oleh Rasulullah, namun pelaksanaannya
tidak sampai kepada tingkat wajib. Bahwa sunnah sebagai segala sesuatu yang
pelaksanaannya dapat ditinggalkan namun dipandang lebih baik dan lebih utama
(afdhal) untuk diamalkan. 4
Istilah Sunnah dan hadis beberapa ulama’ ada yang membedakannnya,
Perbedaan antara sunnah dan hadis menurut beberapa ulama’ sebagaimana
dikemukakan oleh M. Syuhudi Ismail adalah sebagai berikut 5:

2
Umi Sumbulah. Kajian Kritis Ilmu Hadis. (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), hlm.6
3
Ibid. Hlm.7
4
Ibid. Hlm. 8
5
M. Syuhudi Ismail (Pengantar), Op. cit., h.14-15, lihat, ibid., h.7.

3
a. Menurut Sulaiman al-Nadwi
1) Hadis adalah segala peristiwa yang dinisbatkan kepada Nabi, walaupun
hanya satu kali dikerjakan dan walaupun diriwayatkan oleh seorang
periwayat saja.
2) Sunnah adalah nama bagi sesuatu yang kita terima dengan jalan mutawatir
dari Nabi.
b. Menurut Menurut Dr. Abdul kadir Hasan
1) Hadis adalah sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi berupa pengetahuan
teoritis
2) Sunnah adalah sesuatu tradisi yang selalu dikerjakan Nabi, jadi bersifat
praktis.
c. Menurut Dr. Taufiq Sidqi
1) Hadis adalah pembicaraan yang diriwayatkan oleh seorang atau dua orang,
kemudian hanya mereka yang mengetahuinya (tidak menjadi pegangan atau
amalan umum)
2) Sunnah adalah suatu jalan yang dipraktekkan Nabi secara terus menerus dan
diikuti oleh para sahabat beliau.
Kata hadis dalam bahasa Indonesia yang baku adalah sabda dan perbuatan
Nabi Muhammad saw. yang diriwayatkan oleh sahabat-sahabatnya untuk
menjelaskan dan menentukan hukum Islam6.
Kata hadis berasal dan bahasa Arab yaitu al- hadis, bentuk mufrad dan al-a
hadis, al-hidats, al-Hudatsa, al-hudatsan, al¬hidtsan.Menurut etimologi kata al-
hadits mempunyai banyak pengertian, yaitu jalan atau tuntunan, setiap apa yang
dikatakan, al-jadid berarti baru sebagai lawan dari al-qadim yang berarti terdahulu
atau lama, contoh al-alamu hadiitsun yang berarti alam baru. Alam yang dimaksud
adalah sesuatu selain Allah, baru berarti diciftakan setelah tidak ada. al-khabar wal
kalam yang berarti berita, pembicaraan dan perkataan, maka dalam periwayatan
hadis ungkapan pemberitaan yang diungkapkan oleh para periwayat hadis sering
menggunakan kata hatdasanah yang berarti memberitahukan kepada kami, dengan

6
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua (Cet.III,
Jakarta ; Balai Pustaka, 1994),h .333.

4
demikian hadis di sini diartikan sama dengan khabar. al-muhadatsah (percakapan),
al-karib (yang dekat), al-hikayah (cerita).
Pengertian hadis secara terminologi, para ulama memberi¬kan pengertian
yang berbeda, para ulama hadis pada umumnya memberikan definisi bahwa hadis-
hadis disamakan pengertiannya dengan al-sunnah, yaitu segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi saw. berupa perkataan, perbuatan, taqrir atau sifat.
Sedangkan Sunnah berasal dari kata sana yang secara etemologi berarti cara
yang biasa dilakukan. Dalam al-Qur’an kata sunnah dipakai dalam arti kebiasaan
atau berlaku, jalan yang diikuti. Secara terminologi sunnah dapat diartikan hal-hal
yang datang dari Rasulullah Saw, baik itu ucapan, perbuatan atau pengakuan
(Taqrir).7
Dari pengertian hadis dan sunnah di atas dapat dipahami bahwa maksud dari
pengertian sunnah dan hadis adalah sama, para ulama ahli sunnah baik ulama ahli
fiqh, ulama ushul fiqh dan ahli hadis sepakat bahwa sunnah atau hadis itu berlaku
dan merujuk untuk Nabi Muhammmad. Karena hanya Nabi Muhammadlah yang
dinyatakan ma’sum, oleh karena itu hanya Nabi saja yang menjadi sumber suri
teladan. Ulama Ushul Fiqh memandang Nabi Muhammad sebagai pembuat
undang-undang di samping Allah swt. hal ini berdasarkan firman Allah Q.S. al-
Hasyar/59: 7 :

Terjemahannya:
“….Apa yang diberikan oleh Rasul kepadamu, maka hendaklah kamu
menerimanya; dan apa yang telah dilarang bagimu, maka hendaklah kamu
meninggalkannya…”
Oleh sebab itu mereka memberikan definisi mengenai Sunnah (hadis) Nabi
adalah perkataan-perkataan, perbuatan dan taqir Rasul Allah saw sebagai petunjuk
dan perundang-undangan.
Ulama’ Fiqh mendefinisikan sunnah (hadis) adalah setiap ketetapan nabi saw.
Yang tidak termasuk fardu dan wajib.

7
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2009), h . 86, lafal sunnah yang
artinya secara bahasa yaitu jalan, sebagaimana dalam al-Qur’an , Q.S : al-Ahzab, 62.

5
Dengan kata lain dapat dipahami yang tidak termasuk fardu atau wajib yaitu
sunnat. Oleh karena itu ulama’ Fiqh menempatkan sunnah itu sebagai salah satu
hukum syara’ yang lima yang mungkin berlaku pada satu perbuatan, oleh karena
itu perbuatan itu dikatakan hukumnya sunnah. Dengan demikian pengertian sunnah
dalam definisi ini adalah “hukum” bukan” sumber hukum”.
Adanya perbedaan pengertian dari para ulama mengenai pengertian sunnah
(hadis) ini, karena terdapat perbedaan pandangan para ulama’ dan tujuan masing-
masing ahli di berbagai bidang ilmu tersebut di atas. Ulama Ushul yang
mengartikan hadis sebagai segala sesuatu yang merupakan sumber dalil syara’, baik
dari al-Qur’an maupun. Sunnah (hadis) Nabi dan ijtihad para sahabat. Contohnya
membukukan al-Qur’an, rnengajak orang untuk membaca al-Qur’an dengan satu
sistem bacaan, pelembagaan hadis. Anggapan demikian ini karena para ulama
tersebut beranggapan bahwa ijtihad sahabat dapat dijadikan sumber syara’
berdasarkan pada hadis Nabi berikut ini:
“Abd Allah bin Ahmad bin Basyir bin Zakwan al¬-Dimasyqy menceritakan
kepada kami, al-Walid bin Muslim menceritakan kepada kami, `Abd Allah bin al¬
‘Ula yakni Ibn Zabr menceritakan kepada kami, Yahya bin Mutha’ berkata: al-
Urbat bin Sariah telah mendengar dan berkata pada suatu hari Rasul Allah berdiri
berkhutbah di tengah-tengah kami kemudian beliau memberikan nasehat kepada
kami yang sangat berkesan. Nasehat yang membuat hati kami bergetar dan
membuat air mata bercucuran. Beliau ditanya “Ya, Rasul Allah, engkau menasehati
kami dengan nasehat perpisahan maka berilah kami amanat”, beliau bersabda:
hendaklah kamu bertaqwa kepada Allah swt. meskipun yang memerintah kamu
adalah budak dari Habasyah. Kamu sekalian akan melihat pertentangan yang sengit
sesudahku, kalau keadaan sudah demikian, maka hendaklah kamu berpegang teguh
kepada sunnahku dan sunnah khulafah al-Rasyidin, yang mendapat petunjuk,
peganglah erat-erat dan berhati-hatilah terhadap perkara yang Baru sesungguhnya
setiap bid’ ah adalah sesat.”
Nabi Muhammad adalah manusia yang menjadi uswatun hasanah dalam
segala peri kehidupan, oleh sebab itu wajar saja para ulama hadis membahas pribadi
dan prilaku Nabi sebagai tokoh penuntun yang telah digelari Allah seorang yang

6
patut dijadikan teladan dan tuntunan atau uswatn wa qudwatun. Mereka mencatat
segala aspek terjang, kebiasaan, peristiwa ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan
yang bertalian dengan Nabi saw. baik berupa penetapan syara’ maupun tidak.
Tegasnya Nabi saw. adalah contoh teladan dalam semua segi kehidupan duniawi
dan kehidupan ukhrawi. Firnan Allah dalam Q.S. al-Ahzab/33 : 21 :

Terjemahannya :
“Sesungguhnya telah ada pada din Rasul Allah itu sun teladan yang baik
bagimu, yaitu bagi orang yang mengharapkan rahmat Allah dan kedatangan hari
kiamat dan dia banyak menyebut menyebut Allah”
Sebahagian ulama ada juga yang Memandang bahwa sunnah (hadis) itu
termasuk juga apa yang berasal dari sahabat dan tabiin, dibuktikan dengan adanya
istilah hadis marfu’ yaitu hadis yang disandarkan kepada Nabi, hadis mauquf yaitu
hadis yang disandarkan hanya sampai kepada sahabat Nabi, hadis maqtu’ yaitu
hadis yang hanya disandarkan sampai tabiin.
Namun demikian tidak semua apa yang disandarkan kepada Nabi itu diterima
atau maqbul, hal ini bukanlah kepalsuan Nabi, tetapi karena adanya kekeliruan pada
orang yang memahami dan melaksanakannya.
B. Perkembangan Lafaz Hadis dan Sunnah
Sesuai dengan perkembangan hadis, ilmu hadis selalu mengiringinya sejak
masa Rasulullah S.A.W, sekalipun belum dinyatakan sebagai ilmu secara eksplisit.
Ilmu hadis muncul bersamaan dengan mulainya periwayatan hadis yang disertai
dengan tingginya perhatian dan selektivitas sahabat dalam menerima riwayat yang
sampai kepada mereka. Dengan cara yang sangat sederhana, ilmu hadis
berkembang sedemikian rupa seiring dengan berkembangnya masalah yang
dihadapi. Pada masa Nabi SAW masih hidup di tengah-tengah sahabat, hadis tidak
ada persoalan karena jika menghadapi suatu masalah atau skeptis dalam suatu
masalah mereka langsung bertemu dengan beliau untuk mengecek kebenarannya
atau menemui sahabat lain yang dapat dipercaya untuk mengonfirmasinya. Setelah
itu, barulah mereka menerima dan mengamalkan hadis tersebut.

7
Sekalipun pada masa Nabi tidak dinyatakan adanya ilmu hadis, tetapi para
peneliti hadis memperhatikan adanya dasar-dasar dalam Alquran dan hadis
Rasulullah S.A.W. Misalnya firman Allah S.W.T dalam Q.S. Al-Hujurat/49: 6.

”Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa
suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu
musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan
kamu menyesal atas perbuatanmu itu”.

Demikian juga dalam Q.S. Al-Baqarah/2: 282.

”Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di


antara. Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka
seorang lagi mengingatkannya.”

Ayat-ayat di atas berarti perintah memeriksa, meneliti, dan mengkaji berita


yang datang dibawa seorang fasik yang tidak adil. Tidak semua berita yang dibawa
seseorang dapat diterima sebelum diperiksa siapa pembawanya dan apa isi berita
tersebut. Jika pembawanya orang yang jujur, adil, dan dapat dipercaya maka
diterima. Akan tetapi sebaliknya, jika pembawa berita itu orang fasik, tidak objektif,
pembohong dan lainlain, maka tidak diterima karena akan menimpakan musibah
terhadap orang lain yang menyebabkan penyesalan dan merugikan. Setelah
Rasulullah SAW wafat, para sahabat sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadis
karena konsentrasi mereka kepada Alquran yang baru dikodifikasi pada masa Abu
Bakar tahap awal, khalifah Abu Bakar tidak mau menerima suatu hadis yang
disampaikan oleh seseorang, kecuali orang tersebut mampu mendatangkan saksi
untuk memastikan kebenaran riwayat yang disampaikannya. Dan masa Utsman
tahap kedua, masa ini terkenal dengan masa taqlîl ar-riwayâh (pembatasan
periwayatan), para sahabat tidak meriwayatkan hadis kecuali disertai dengan saksi
dan bersumpah bahwa hadis yang ia riwayatkan benar-benar dari Rasulullah SAW.
Para sahabat merupakan rujukan yang utama bagi dasar ilmu riwayah hadis. Yakni,
karena hadis pada masa Rasulullah SAW merupakan suatu ilmu yang didengar dan

8
didapatkan langsung dari beliau, maka setelah beliau wafat hadis di sampaikan oleh
para sahabat kepada generasi berikutnya dengan penuh semangat dan perhatian
sesuai dengan daya hafal mereka masing-masing. Para sahabat juga telah
meletakkan pedoman periwayatan hadis untuk memastikan keabsahan suatu hadis.
Mereka juga berbicara tentang para rijal-nya, hal ini mereka tempuh supaya dapat
diketahui hadis makbul untuk diamalkan dan hadis yang mardud untuk
ditinggalkan. Dan dari sini muncullah mushthalah al-hadits.Pada masa awal Islam
belum diperlukan sanad dalam periwayatan hadis karena orangnya masih jujur-
jujur dan saling mempercayai satu dengan yang lain. Akan tetapi, setelah terjadinya
konflik fisik (fitnah) antar elite politik, yaitu antara pendukung Ali dan Mu’awiyah
dan umat berpecah menjadi beberapa sekte; Syi’ah, Khawarij, dan Jumhur
Muslimin. Setelah itu mulailah terjadi pemalsuan hadis (hadis mawdhû’) dari
masingmasing sekte dalam rangka mencari dukungan politik dari masa yang lebih
luas. Melihat kondisi seperti hal di atas para ulama bangkit membendung hadis dari
pemalsuan dengan berbagai cara, di antaranya rihlah checking kebenaran hadis dan
mempersyaratkan kepada siapa saja yang mengaku mendapat hadis harus disertai
dengan sanad. Sebagaimana ungkapan ulama hadis ketika dihadapan suatu
periwayatan:
Sebutkan kepada kami para pembawa beritamu.
Ibnu Al-Mubarak berkata:
Isnad/sanad bagian dari agama, jikalau tidak ada isnad sungguh
sembarang orang akan berkata apa yang dikehendaki.

Keharusan sanad dalam penyertaan periwayatan hadis tidak diterima,


tuntutan yang sangat kuat ketika Ibnu Asy-Syihab Az-Zuhri menghimpun hadis dari
para ulama di atas lembaran kodifikasi. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa
periwayatan hadis tidak di terima, kecuali disertai sanad. Pada periode Tabi’in,
penelitian dan kritik matan semakin berkembang seiring dengan berkembangnya
masalah-masalah matan yang para Tabi’in hadapi. Demikian juga dikalangan
ulama-ulama hadis selanjutnya. Perkembangan ilmu hadis semakin pesat ketika ahli
hadis membicarakan tentang daya ingat para pembawa dan perawi hadis kuat atau
tidak (dhâbit), bagaimana metode penerimaan dan penyampaiaan (thammul wa

9
adâ), hadis yang kontra bersifat menghapus (nâsikh dan mansûkh) atau kompromi,
kalimat hadis yang sulit dipahami (gharîb al-hadîts), dan lain-lain. Akan tetapi,
aktivitas seperti itu dalam perkembangannya baru berjalan secara lisan (syafawî)
dari mulut ke mulut dan tidak tertulis.

Ketika pada pertengahan abad kedua Hijriyah sampai abad ketiga Hijriyah,
ilmu hadis mulai di tulis dan dikodifikasi dalam bentuk yang sederhana, belum
terpisah dari ilmu-ilmu lain, belum berdiri sendiri, masih campur dengan ilmu-ilmu
lain atau berbagai buku atau berdiri secara terpisah. Tetapi pada dasarnya, penulisan
hadis baru dimulai pada abad kedua Hijriyah. Imam Syafi’i adalah ulama pertama
yang mewariskan teori-teori ilmu hadisnya secara tertulis sebagaimana terdapat
dalam karyanya. Misalnya ilmu hadis bercampur dengan ilmu ushul fiqih, seperti
dalam kitab Ar-Risâlah yang ditulis oleh Asy-Syafi’i, atau campur dengan fiqih
seperti kitab Al-Umm. Dan solusi hadis-hadis yang kontra dengan diberi nama
Ikhtilâf Al-Hadîts karya Asy-Syafi’I (w. 204 H). Hanya saja, teori ilmu hadisnya
tidak terhimpun dalam pembahasan kitab Ar-Risâlah dan kitab Al-Umm.
Sesuai dengan pesatnya perkembangan kodifikasi hadis yang disebut pada
masa kejayaan atau keemasan hadis, yaitu pada abad ketiga Hijriyah,
perkembangan penulisan ilmu hadis juga pesat, karena perkembangan keduannya
secara beriringan. Namun, penulisan ilmu hadis masih terpisah-pisah, belum
menyatu dan menjadi ilmu yang berdiri sendiri, ia masih dalam bentuk bab-bab
saja. Mushthafa As-Siba’I mengatakan orang pertama kali menulis ilmu hadis
adalah Ali bin Al-Madani, syaikhnya Al-Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi. Dr.
Ahmad Umar Hasyim juga menyatakan bahwa orang pertama yang menulis ilmu
hadis adalah Ali bin Al-Madani dan permasalahannya sebagaimana yang ditulis
oleh Al-Bukhari dan Muslim. Di antara kitab-kitab ilmu hadis pada abad ini adalah
kitab Mukhtalif Al-Hadîts, yaitu Ikhtilâf Al-Hadîts karya Ali bin Al-Madani, dan
ta’wîl Mukhtalif Al-Hadîts karya Ibnu Qutaibah (w. 276 H). Kedua kitab tersebut
ditulis untuk menjawab tantangan dari serangan kelompok teolog yang sedang
berkembang pada masa itu, terutama dari golongan Mu’tazilah dan ahli bid’ah.

10
Di antara ulama ada yang menulis ilmu hadis pada mukadimah bukunya
seperti Imam Muslim dalam kitab Shahîh-nya dan At-Tirmidzi pada akhir kitab
Jâmi’-nya. Di antara mereka Al-Bukhari menulis tiga Târîkh, yaitu At-Târîkh Al-
Kabîr, At-Târîkh Al- Awsâth dan At-Târîkh Ash-Shaghîr, Muslim menulis Thabaqât
At-Tâbi’in dan Al-‘Ilal, At- Tirmidzi menulis Al-Asmâ’ wa Al-Kunâ dan KitâbAt-
Tawârikh, dan Muhammad bin Sa’ad menulis Ath-Thabaqât Al-Kubrâ. Dan di
antara mereka ada yang menulis secara khusus tentang periwayat yang lemah
seperti Ad-Dhu’afâ’ ditulis oleh Al-Bukhari dan Ad-Dhu’afâ’ ditulis oleh An-
Nasa’i, dan lain-lain.
Banyak sekali kitab-kitab ilmu hadis yang ditulis oleh para ulama abad ke-3
Hijriyah ini, namun buku-buku tersebut belum berdiri sendiri sebagai ilmu hadis, ia
hanya terdiri dari bab-bab saja. Perkembangan ilmu hadis mencapai puncak
kematangan dan berdiri sendiri pada abad ke-4 H yang merupakan penggabungan
dan penyempurnaan berbagai ilmu yang berkembang pada abad-abad sebelumnya
secara terpisah dan berserakan. Al-Qadhi Abu Muhammad Al-Hasan bin
Abdurrahman bin Khalad Ar-Ramahurmuzi (w. 360 H) adalah orang yang pertama
kali memunculkan ilmu hadis yang berdiri sendiri dalam karyanya Al-Muhaddits
Al-Fâshil bain Ar-Râwî wa Al-Wâî. Akan tetapi, tentunya tidak mencakup
keseluruhan permasalahan ilmu, kemudian diikuti oleh Al-Hakim Abu Abdullah
An-Naisaburi (w. 405 H) yang menulis Ma’rifah “ulûm Al-Hadîts tetapi kurang
sistematik, Al-Khathib Abu Bakar Al-Baghdadi (w. 364 H) yang menulis Al-Jâmi
li Adâb Asy-Syaikh wa As-Sâmi’ dan kemudian diikuti oleh penulis-penulis lain.

11
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Para ulama hadis (Muhaddisun) mensinonimkan pengertian hadis dengan sunnah.
Sunnah dalam pengertian mereka adalah segala riwayat yang berasal dari
Rasulullah baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan (taqrir), sifat fisik dan
tingkah laku, beliau baik sebelum diangkat menjadi rasul maupun sesudahnya.
2. Para ulama ahli ushul fiqh (Usuliyyun) juga mensinonimkan pengertian hadis dan
sunnah. Menurut ahli ushul fiqh, sunnah adalah segala sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi SAW selain al-Qur‟an, berupa perkataan, perbuatan maupun
ketetapan (taqrir) beliau, yang dapat dijadikan sebagai dalil hukum syari‟ah.
3. Sedangkan para ulama fiqh (fuqaha) tidak mendefinisikan hadis secara khusus
namun memberikan definisi sunnah. Para fuqaha‟ mendefinisikan sunnah sebagai
segala perbuatan yang ditetapkan oleh Rasulullah, namun pelaksanaannya tidak
sampai kepada tingkat wajib. Bahwa sunnah sebagai segala sesuatu yang
pelaksanaannya dapat ditinggalkan namun dipandang lebih baik dan lebih utama
(afdhal) untuk diamalkan.
4.
No Masa Karakteristik

1 Masa Nabi Muhammad SAW Telah ada dasar-dasar ilmu hadis.

2 Masa Sahabat Timbul secara lisan, secara eksplisit.


3 Masa Tabi’in Telah timbul secara tertulis, tetapi
belum terpisah dari ilmu lain.
4 Masa Tabi’Tabi’in Ilmu hadis telah timbul secara terpisah
dari ilmu-ilmu lain, tetapi belum
menyatu.
5 Masa setelah Tabi’Tabi’in Berdiri sendiri sebagai ilmu hadis
(abad ke-4 H)

12
DAFTAR PUSTAKA
Tim Penyusun Studi Islam. Pengantar Studi Islam. Surabaya : Sunan Ampel Press.
2006.
Umi Sumbulah. Kajian Kritis Ilmu Hadis. (Malang: UIN-Maliki Press, 2010),
M. Syuhudi Ismail (Pengantar), Op. cit., h.14-15, lihat, ibid.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi
Kedua (Cet.III, Jakarta ; Balai Pustaka, 1994).
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2009), h . 86,
lafal sunnah yang artinya secara bahasa yaitu jalan, sebagaimana dalam al-
Qur’an , Q.S : al-Ahzab, 62.
Malita Lailia Rahman. Fazlur Rahman : Pemikiran Tentang Hadis dan Sunnah.
Suryani. Konsep Hadis dan Sunnah dalam Prespektif Fazlur Rahman.
Leni Andariati. Hadis dan Sejarah Perkembangannya. ( Yogyakarta: UIN-
Kalijaga, 2020).

13

Anda mungkin juga menyukai