Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH KELOMPOK 5

Teori Ilmu-Ilmu Syariah

DOSEN PENGAMPU :
Dr. Ahmad Ubaydi Hasbillah, MA.
DISUSUN OLEH :
MUH. REZA FAHLEVI. S
M. IKHSAN
FAHMI HANIEF
RAIHAN MUBAROK

INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QUR’AN JAKARTA


2020-2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadiran Allah SWT yang maha Esa karena berkat pertolonganNya
makalah ini dapat disusun yang bertujuan untuk memenuhi tugas Living Qur’an dan Sunnah.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Dosen pengampu yang telah memberikan
kesempatan untuk menyusun makalah ini kepada kami.
Dan kami ucapkan terima kasih kepada para sahabat yang telah membantu dalam tahapan
penyusunan makalah ini hingga selesai pada waktunya.
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat terhadap kami khususnya dan kepada teman-
teman sekalian umumnya.

Jakarta, 22 Maret 2020

PENULIS
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... ii


DAFTAR ISI ............................................................................................................................. 3
BAB I ......................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG ...................................................................................................... 1
B. RUMUSAN MASALAH .................................................................................................. 1
C. TUJUAN ........................................................................................................................... 1
D. MANFAAT ....................................................................................................................... 1
BAB II ....................................................................................................................................... 2
PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 2
A. Teori Sunnah Dan Af’al Nabi .......................................................................................... 2
B. Teori ‘Urf Sebagai Sumber Tasyri .................................................................................... 4
C. Teoris sabab Iradh Hadits
..............................................................................................................5
D. Living Quran-Hadits in every day-
life.............................................................................................6
E. Living
Hadits...................................................................................................................................7
BAB III .................................................................................................................................... 15
PENUTUP ............................................................................................................................... 15
A. Kesimpulan ..................................................................................................................... 15
B. Saran ................................................................................................................................ 15
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 16
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Hadis adalah sumber kedua setelah al-Qur’an yang dipegangi dan ajarannya diamalkan
oleh umat Islam. Ia menjadi standar utama umat Islam dalam usaha meneladani dan
mempraktikkan petunjuk Rasulullah Saw. Dalam banyak hal, apa yang dilakukan oleh
Muhammad Saw digugu dan ditiru secara literal tekstual, meski banyak pula umat Islam yang
berusaha melakukan kontekstualisasi atas suatu hadis. Perdebatan kaum literalis versus
kontekstualis memang perdebatan yang tidak akan menemukan ujung hilirnya, ia akan ada di
sepanjang sejarah manusia, dalam masalah apapun, bukan hanya agama.
Indonesia adalah negara yang kaya dengan keragaman. Keragaman budaya, bahasa, suku,
agama, menandaskan betapa kayanya negara ini. Dalam masalah agama yang memiliki peranan
dominan dalam konstruksi masyarakat Indonesia, terdapat banyak keragaman praktik
keberagamaan yang berkembang di masyarakat. Praktik ini terejawantah dalam sebuah institusi
yang bernama tradisi, ritual, dan lain sebagainya. Tak jarang pula, sebuah praktik itu diilhami
oleh praktik nabi Muhammad pada zaman Islam awal.
Agama di Indonesia merupakan satu diantara tiga hal yang menjadi bunyah takwīn al-
‘aqli al-Indonisiyyin (struktur nalar pembentuk orang Indonesia) di samping modernitas dan
budaya nenek moyang. Ajaran Islam menjadi GPS (Global Positioning System) bagi umat Islam
dalam bertindak melakukan kegiatan sehari-hari mereka. Modernitas menjadi satu hal yang tidak
bisa ditolak, dan bukan lawan agama, namun keduanya dalam banyak kesempatan saling
menunggangi. Jilbab misalnya yang menjadi dasar bagi perempuan untuk menutup aurat adalah
perintah agama. Pakaian penutup kepala ini digunakan oleh perempuan Indonesia. Pada awalnya
hanya kerudung yang diselempangkan di leher dan pundak, kemudian berubah menjadi jilbab
yang menutup kepala, leher dan bagian dada perempuan, hingga menjadi hijab yang memiliki
nuansa gaya, menjadi muslimah yang syar’i namun tidak kehilangan kemoderenannya.
Kapitalisme yang merupakan anak modernisme tidak pernah kehilangan relevansinya— mulai
dari fundamentalis hingga kontekstualis—bahkan di dalam kolam renang sekalipun, jilbab syar’i
dikenakan, terlepas dari kontroversi yang melingkupinya, dibuat oleh kapitalisme.
Sementara itu, budaya nenek moyang merupakan tradisi yang tidak lekang oleh zaman
dan perubahan. Di banyak tempat seantero negeri ini, budaya nenek moyang ini bereksistensi,
mulai dari tradisi nyekar di kuburan, upacara kematian, ataupun tradisi sungkem mudik saat
lebaran, dan lain sebagainya.
Pada titik relasi antara agama, modernitas, dan budaya nenek moyang inilah akulturasi
dan sinkretisasi itu muncul dalam berbagai bentuknya. Dialektika agama dan budaya nenek
moyang menciptakan sebuah ajaran agama sebagaimana diajarkan oleh Walisongo. Dalam
konteks seperti ini pula kajian yang akan dilakukan oleh artikel ini menemukan signifikansinya.
Living hadis, sebuah frasa yang sebenarnya muncul belum terlalu lama, menjadi isu yang
menarik dalam konteks dialektika agama, modernitas, dan warisan budaya nenek moyang ini.
Kajian living Hadis menjadi satu hal yang menarik dalam melihat fenomena dan praktik
sosio-kultural yang kemunculannya diilhami oleh hadis-hadis yang ada pada masa lalu dan
menjadi satu praktik pada masa kini. Praktik mewarisi tradisi nenek moyang dan menerima
modernitas adalah dua hal dimana persinggungan dengan praktik yang berlangsung pada masa
Rasulullah terjadi, dan itu dilakukan melalui pengetahuan tentang hadis-hadisnya.

B. RUMUSAN MASALAH

a) Teori Sunnah dan Af’al Nabi


b) Teori ‘Urf sebagai sumber Tasyri’
c) Teoris Sabab Iradh Hadits
d) Living Qur’an-Hadits in every day-life
e) Living Hadits
C. TUJUAN
Adapun tujuan dari penyusunan berikut adalah untuk mengetahui bagaimana pemahaman mereka
dalam mengamalkan sunnah-sunnah nabi dan mengetahui berbagai Teori ilmu-ilmu syariah dari
kajian Living Qur’an Hadits.
D. MANFAAT

Mahasiswa dapat mengerti apa yang dimaksud dengan judul pembahasan, dan mengerti apa
yang dipaparkan oleh pemakalah sehingga mahasiswa dapat melanjutkan penelitian terkait
materi ini.

BAB II
Pembahasan

A.Pengertian Sunnah dan Af’al Nabi


As-Sunnah menurut istilah ialah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam bentuk qaul (ucapan), fi’il (perbuatan), taqrir (penetapan), sifat tubuh serta akhlak
yang dimaksudkan dengannya sebagai tasyri’ (pensyari’atan) bagi ummat Islam.
Adapun hadits menurut bahasa ialah sesuatu yang baru. Secara istilah sama dengan As-Sunnah
menurut Jumhur Ulama. Ada ulama yang menerangkan makna asal secara bahasa bahwa: Sunnah
itu untuk perbuatan dan taqrir, adapun hadits untuk ucapan. Akan tetapi ulama sudah banyak
melupakan makna asal bahasa dan memakai istilah yang sudah lazim digunakan, yaitu bahwa
As-Sunnah muradif (sinonim) dengan hadits. As-Sunnah menurut istilah ulama ushul fiqih ialah
segala sesuatu yang bersumber dari Nabi j selain dari Al-Qur-an, baik perbuatan, perkataan,
taqrir (penetapan) yang baik untuk menjadi dalil bagi hukum syar’i.
Ulama ushul fiqih membahas dari segala yang disyari’atkan kepada manusia sebagai undang-
undang kehidupan dan meletakkan kaidah-kaidah bagi perundang-undangan tersebut. As-
Sunnah menurut istilah ahli fiqih (fuqaha’) ialah segala sesuatu yang sudah tetap dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hukumnya tidak wajib, yakni hukumnya sunnah.
1. As-Sunnah menurut ulama Salaf adalah petunjuk yang dilaksanakan oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya, baik tentang ilmu, i’tiqaad
(keyakinan), perkataan maupun perbuatannya. Contoh-contoh dari definisi Sunnah yang
dibawakan oleh ahli hadits antara lain: Hadits qauli (Sunnah dalam bentuk ucapan) ialah
segala ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ada hubungannya dengan tasyri’,
sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
‫م ْن ُح ْس ِن إِ ْسالَِم الْ َمْرِء تَْرُكهُ َما الَ يَ ْعنِْي ِه‬.
ِ

“Di antara kebaikan Islam seseorang ialah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat
baginya.”

2. Hadits fi’li (Sunnah yang berupa perbuatan) ialah segala perbuatan Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam yang diberitakan oleh para Shahabatnya tentang wudhu’, shalat, haji,
dan selainnya. Contoh:
ِ ‫اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َكا َن ُُيَلِِّ ُل‬
ُ‫ِلْيَ تَه‬ َ َّ‫َن النَّبِي‬
َّ ‫صلَّى‬ َّ ‫ أ‬:‫ َع ْن عُثْ َما َن بْ ِن َعفَّا َن‬.

“Dari ‘Utsman bin ‘Affan bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (apabila
berwudhu’), beliau menyela-nyela jenggotnya.”

3. Hadits taqriri ialah segala perbuatan Shahabat yang diketahui oleh Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan beliau membiarkannya (sebagai tanda setuju) dan tidak
mengingkarinya. Contoh:
‫ ََي بِالَ ُل! َح ِِّدث ِِْن ِِب َْر َجى َع َم ٍل َع ِملْتَهُ ِِف اْ ِإل ْسالَِم‬:‫الصْب ِح‬
ُّ ِ‫صالَة‬ ِ ٍ ِ ِ َّ ‫َِّب صلَّى‬
َ ‫اَّللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم لبِالَل عنْ َد‬ َ ُّ ِ‫ال الن‬ َ َ‫ق‬
ِ
ِِّ‫ت َع َمالً أ َْر َجى عِنْد ْي أ‬ ِ َ َ‫ ق‬،‫اْلَن َِّة‬ ِ
‫َِن ََلْ أَتَطَ َّهْر طُ ُه ْوراً ِِف‬ ُ ْ‫ َما َعمل‬:‫ال‬ ْ ‫ي ِِف‬ َّ ‫ْي يَ َد‬
ََْ‫ك ب‬ َ ‫ف نَ ْعلَْي‬ َّ ‫ت َد‬ ُ ‫فَإِِِِّن ََس ْع‬
‫ُصلِِّ َي‬ ِ
َ ‫ك الطُّ ُه ْوِر َما ُكت‬
َ ‫ب ِِل أَ ْن أ‬ َ ِ‫ت بِ َذل‬
ُ ‫صلَّْي‬
ِ ٍ ‫س‬.
َ َّ‫اعة م ْن لَْي ٍل أَْو ََنَا ٍر إِال‬َ َ

“Nabi Shalkallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Bilal setelah selesai shalat Shubuh,
‘Wahai Bilal, kabarkanlah kepadaku sebaik-baik amalan yang telah engkau kerjakan
dalam Islam, karena aku telah mendengar suara terompahmu di dekatku di Surga?’ Ia
menjawab, ‘Sebaik-baik amal yang aku kerjakan ialah, bahwa setiap kali aku berwudhu’
siang atau malam mesti dengan wudhu’ itu aku shalat (sunnah) beberapa raka’at yang
dapat aku laksanakan. Atau kisah dua Shahabat yang melakukan safar, keduanya tidak
menemukan air (untuk wudhu’) sedangkan waktu shalat sudah tiba, lalu keduanya
bertayammum dan mengerjakan shalat, kemudian setelah selesai shalat mereka
menemukan air sedang waktu shalat masih ada, maka salah seorang dari keduanya
mengulangi wudhu’ dan shalatnya, kemudian keduanya mendatangi Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan kejadian itu. Lalu beliau bersabda kepada
Shahabat yang tidak mengulangi shalatnya, “Engkau telah berbuat sesuai dengan
Sunnah.” Dan kepada yang lain (Shahabat yang mengulangi shalatnya), beliau bersabda,
“Engkau mendapatkan dua ganjaran.” Baca Juga Khatimah Di antara makna Sunnah
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebagaimana yang difahami oleh para Shahabat
dan Salafush Shalih Ridhwanullaah ‘alaihim ajma’iin adalah sebagai sumber kedua
setelah Al-Qur-anul Karim Sering kita menyebut Kitabullaah dan Sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maksudnya adalah Sunnah sebagai sumber nilai tasyri’. Al-
Qur-an menyifatkan As-Sunnah dengan makna hikmah.

Af’al Nabi
Rasulllah tidak melakukan perbuatan kecuali mengikuti apa yang diwahyukan kepada beliau. Hal
itu ditegaskan di dalam al-Quran. Allah SWT berfirman:

‫ِل ِمن َّرِِّب‬


ََّ ِ‫وح ٰى إ‬
َ ُ‫قُ ْل إََِّّنَا أَتَّبِ ُع َما ي‬

Katakanlah, “Sungguh aku hanya mengikut apa yang diwahyukan dari Tuhanku kepada diriku.”
(QS al-A’raf [7]: 203).

Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepada diriku (QS al-An’am [6]: 50; Yunus
[10]: 15).

ََّ ِ‫وح ٰى إ‬
‫ِل‬ َ ُ‫إ ْن أَتَّبِ ُع إَِّال َما ي‬

Dengan demikian, perbuatan Rasulullah. merupakan bagian dari wahyu yang diekspresikan atau
diungkapkan melalui perbuatan beliau. Jadi perbuatan (af’âl) Rasulullah. merupakan bagian dari
as-Sunnah, artinya merupakan dalil syariah.

mengikuti as-Sunnah, termasuk perbuatan beliau, adalah wajib. Mengikuti (ittibâ’) atau
meneladani (at-ta’assi) perbuatan Rasulullah itu harus persis seperti perbuatan beliau (bi mitsli
fi’lihi), sesuai niat dan maksud perbuatan beliau (‘alâ wajhihi) dan dilakukan karena perbuatan
beliau (li ajli fi’lihi). Namun, kewajiban mengikuti dan meneladani perbuatan Rasul saw. itu
bukan berarti wajib melakukan apapun yang beliau lakukan, tetapi maknanya adalah wajib ittiba’
sesuai dengan perbuatan beliau. Jika perbuatan beliau wajib maka melakukan perbuatan itu
adalah wajib. Jika perbuatan beliau sunnah maka melakukan perbuatan itu adalah sunnah. Jika
perbuatan beliau mubah maka melakukan perbuatan itu adalah mubah.

Untuk bisa ittibâ’ dan ta’assi terhadap perbuatan Rasulullah. maka harus diketahui status
perbuatan beliau itu. Dengan mengetahui status perbuatan Rasulullah itu maka pelaksanaan atas
perbuatan beliau (qiyâmu bi fi’li ar-Rasûl) bisa ditunaikan dengan benar.

Dalam hal ini, perbuatan Rasulullah. ada tiga jenis : (1) perbuatan jibiliyyah; (2) perbuatan yang
menjadi kekhususan beliau; (3) perbuatan yang tidak termasuk keduanya, yakni menjadi tasyrî’
umum bagi kita.

Pertama: Perbuatan Jibiliyyah. Perbuatan jibiliyyah adalah perbuatan Rasul saw. yang beliau
lakukan sebagaimana manusia biasa. Perbuatan itu merupakan karakter alamiah manusia, baik
Rasul maupun selain beliau, seperti berdiri, duduk, makan, minum, berjalan, tidur dan
sebagainya. Perbuatan seperti ini menurut jumhur hukumnya mubah, baik bagi Rasul maupun
bagi umatnya; kecuali jika ada dalil yang menjelaskan kesunnahannya, seperti makan dengan
tangan kanan, sehingga menjadi tasyrî’ bagi kita dan hukumnya sunnah.

Kedua: Perbuatan yang ditetapkan oleh nas sebagai bagian dari kekhususan Rasul saw. (min
khawwâsh ar-Rasûl). Perbuatan ini bukan perbuatan jibiliyyah, namun khusus bagi Rasul saw.
saja. Selain beliau justru tidak boleh melakukannya. Misal, puasa wishâl (puasa terus hingga
malam), menikahi wanita lebih dari empat orang, kewajiban shalat tahajud pada malam hari,
kewajiban shalat witir, kewajiban shalat dhuha, kewajiban berkurban dan sebagainya. Perbuatan
itu hanya khusus bagi Rasul saw. dan tidak disyariatkan untuk kita sebagai perkara wajib. Jika
perbuatan seperti itu disyariatkan untuk kita maka hal itu kita lakukan sesuai yang disyariatkan
untuk kita itu. Misalnya, shalat tahajud, shalat witir atau shalat dhuha kita lakukan sebagai shalat
sunnah, bukan seperti Rasul saw. yang melakukan semua itu sebagai wajib.

Ketiga: Perbuatan Rasul selain kedua jenis di atas menjadi tasyrî’ secara umum yang berlaku
bagi kita. Terkait perbuatan Rasul saw. jenis ini, kita dituntut untuk mengikuti dan
meneladaninya. Untuk itu harus diketahui status perbuatan itu bagi kita apakah wajib, sunnah
atau mubah. Ketetuannya adalah sebagai berikut:

Perbuatan Rasul saw. yang bukan jibiliyyah dan bukan kekhususan ini ada dua kategori. Pertama,
yang merupakan penjelasan (bayân) atas seruan sebelumnya. Perbuatan ini tanpa diperselisihkan
menjadi dalil yang harus kita ikuti. Status hukum perbuatan ini mengikuti status seruan yang
dijelaskan (al-mubayyan). Jika yang dijelaskan wajib maka hukum perbuatan itu wajib. Jika
yang dijelaskan sunnah maka sunnah melakukannya. Jika yang dijelaskan mubah maka mubah
pula melakukannya.

Status perbuatan itu sebagai penjelasan (bayân) kadang dinyatakan dengan perkataan secara jelas
(sharîh al-maqâlah).

B.Pengertian ‘Urf sebagai sumber tasyri’

Secara bahasa, kata ‘urf berasal dari akar kata ‫ عرف‬- ‫ يعرف‬yang berarti mengetahui,kemudian
dipakai dalam arti sesuatu yang diketahui, dikenal, dianggap baik, dan diterima oleh akal sehat.
Juga berarti apa yang diketahui dan dikenal atau kebiasaan.

Kata ‘urf dalam bahasa Indonesia sering disinonimkan dengan adat kebiasaan,namun para ulama
membahas kedua kata ini dengan panjang lebar, ringkasnya ‘urf adalah sesuatu yang diterima
oleh tabiat dan akal sehat manusia.

Para ulama‟ sepakat bahwa „urf shahih dapat dijadikan dasar hujjah selama tidak bertentangan
dengan Syara‟. Ulama‟ Malikiyyah terkenal dengan pernyataan mereka bahwa amal ulama‟
Madinah dapat dijadikan hujjah, demikian pula ulama Hanafiyah menyatakan bahwa pendapat
ulama Kufah dapat dijadikan dasar hujjah. Imam Syafi’i terkenal dengan qaul qadim dan qaul
jadidnya. Ada suatu kejadian tetapi beliau menetapkan hukum yang berbeda pada waktu beliau
masih berada di Makkah (qaul qadim) dengan setelah beliau berada di Mesir (qaul jadid). Hal ini
menunjukkan bahwa ketiga madzhab itu berhujjah dengan ‘urf. Tentu saja ‘urf fasid tidak mereka
jadikan sebagai dasar hujjah. Adapun kehujjahan ‘urf sebagai dalil syara’ didasarkan atas
argumen-argumen berikut ini:

a. Firman Allah pada surah al-A’raf ayat 199


ِ ِ ْ ‫ف واَ ْع ِرض ع ِن‬
ِ ِ
‫ْي‬
َْ ‫اْلَاهل‬ َ ْ َ ‫ُخذ الْ َع ْف َو َوأ ُْم ْر ِِبلْعُْر‬
Artinya: “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta
berpalinglah dari pada orang-orang bodoh”.
Melalui ayat di atas Allah memerintahkan kaum muslimin untuk mengerjakan yang ma‟ruf.
Sedangkan yang disebut sebagai ma‟ruf itu sendiri ialah, yang dinilai oleh kaum muslimin
sebagai kebaikan, dikerjakan berulang-ulang, dan tidak bertentangan dengan watak manusia
yang benar, yang dibimbing oleh prinsip-prinsip umum ajaran Islam.

b. Ucapan sahabat Rasulullah SAW; Abdullah bin Mas‟ud:

‫ َوَما َرآهُ الْ ُم ْسلِ ُم ْو َن َسيِِّئاً؛ فَ ُه َو عِْن َد هللاِ َسيِِّ ٌئ‬،‫َما َرآهُ الْ ُم ْسلِ ُم ْو َن َح َسناً؛ فَ ُه َو عِْن َد هللاِ َح َس ٌن‬

Artinya: “Sesuatu yang dinilai baik oleh kaum muslimin adalah baik di sisi Allah, dan sesuatu
yang mereka nilai buruk maka ia buruk di sisi Allah.
Ungkapan Abdullah bin Mas‟ud di atas, baik dari segi redaksi maupun maksudnya, menunjukkan
bahwa kebiasaan-kebiasaan baik yang berlaku di dalam masyarakat muslim yang sejalan dengan
tuntunan umum syari’at Islam adalah juga merupakan sesuatu yang baik di sisi Allah. Sebaliknya,
hal-hal yang bertentangan dengan kebiasaan-kebiasaan yang dinilai baik oleh masyarakat, akan
melahirkan kesulitan dan kesempitan dalam kehidupan sehari-hari. Padahal dalam pada itu, Allah
berfirman pada surat al-Maidah ayat 6:

‫اَّللُ لِيَ ْج َع َل َعلَْي ُك ْم ِِّم ْن َح َرٍج َّولٰكِ ْن يُِّريْ ُد لِيُطَ ِِّهَرُك ْم َولِيُتِ َّم نِ ْع َمتَهُ َعلَْي ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُك ُرْو َن‬
ِّٰ ‫َما يُِريْ ُد‬

Artinya : Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tapi hendak menyucikan kamu dan me-
nyempurnakan nikmat-Nya untukmu agar kamu sekalian bersyukur." ( Q.S.Al-Maidah:6 )

Adat yang benar, wajib diperhatikan dalam pembentukan hukum Syara’ dan putusan perkara.
Seorang mujtahid harus memperhatikan hal ini dalam pembentukan hukumnya dan bagi hakim
juga harus memperhatikan hal itu dalam setiap putusannya. Karena apa yang sudah diketahui dan
dibiasakan oleh manusia adalah menjadi kebutuhan mereka, disepakati dan ada
kemaslahatannya. Adapun adat yang rusak, maka tidak boleh diperhatikan, karena
memperhatikan adat yang rusak berarti menentang dalil Syara‟ atau membatalkan hukum Syara‟.
Hukum yang didasarkan pada adat akan berubah seiring perubahan waktu dan tempat, karena
masalah baru bisa berubah sebab perubahan masalah asal. Oleh karena itu, dalam hal perbedaan
pendapat ini para „ulama fikih berkata: “Perbedaan itu adalah pada waktu dan masa, bukan pada
dalil dan alasan.

Syarat-Syarat Penggunaan ‘Urf sebagai Sumber Penemuan Hukum Islam


‘Urf dapat dijadikan sumber penemuan hukum Islam harus memenuhi persyaratan-persyaratan
tertentu. Apabila dilihat dari nas-nas yang dijadikan sandaran bolehnya menggunakan ‘urf
sebagai metode penemuan hukum Islam, maka dapat dinyatakan bahwa ‘urf tersebut harus
merupakan ‘urf yang mengandung kemaslahatan dan ‘urf yang dipandang baik. Untuk itu, para
ahli metodologi hukum Islam (ahli ushul) mensyaratkan beberapa syarat sebagai berikut :
a. 'Urf itu (baik yang bersifat umum atau khusus atapun yang bersifat perbuatan atau ucapan)
berlaku secara umum, artinya 'Urf itu berlaku dalam mayoritas kasus yang terjadi di tengah-
tengah masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas masyarakat.
b. 'Urf itu telah memasyarakat ketika persoalan yang akan ditetapkan hukumnya itu muncul.
Artinya. 'Urf yang akan dijadikan sandaran hukum itu lebih dahulu ada sebelum kasus yang akan
ditetapkan hukumnya. Dalam kaitanya dengan hal ini terdapat kaidah ushuliyyah yang berbunyi
: ‘Urf yang datang kemudian tidak dapat dijadikan sandaran hukum terhadap kasus yang telah
lama”.
c. 'Urf itu tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas dalam suatu transaksi.
Artinya, dalam suatu transaksi apabila kedua belah pihak telah menentukan secara jelas hal-hal
yang harus dilakukan, maka ‘Urf itu tidak berlaku lagi. Atau dengan kata lain tidak terdapat
persyaratan yang mengakibatkan ‘urf atau adat kebiasaan itu tidak dapat diterapkan sesuai
dengan ketentuan-ketentuannya. Karena „urf itu secara implisit berkedudukan sebagai syarat.
d. 'Urf itu tidak bertentangan dengan nash-nash qath’i dalam syara’. Jadi ‘urf dapat dijadikan
sebagai sumber penetapan hukum bila tidak ada nash qath‟i yang secara khusus melarang
melakukan perbuatan yang telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat. Contohnya, kebiasaan
masyarakat dalam menyelenggarakan pesta atau hajatan yang disertai mabuk-mabukan untuk
lebih memeriahkan suasana. ‘Urf yang demikian itu tidak dapat diterima, karena bertentangan
dengan al-Qur’an Surat al-Maidah ayat 90 :
ِ ِ َ‫اْلَمر والْمي ِسر و ْاالَنْصاب و ْاالَْزَالم ِرجس ِمن عم ِل الشَّيطٰ ِن ف‬ ِ ِ
ُ ‫اجتَنبُ ْوهُ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفل‬
‫ح ْو َن‬ ْ ْ َ َ ْ ِّ ٌ ْ ُ َ ُ َ َ ُ ْ َ َ ُ ْ ْ ‫ٰيُاَيُّ َها الَّذيْ َن اٰ َمنُ ْوُا اََّّنَا‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan.
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”.
Apabila dengan mengamalkan ‘urf tidak berakibat batalnya nash, bahkan dibenarkan oleh nash
syar‟i atau dapat dikompromikan antara keduanya, maka ‘urf tersebut dapat dipergunakan.
Dengan persyaratan tersebut di atas para ulama memperbolehkan penggunaan ‘Urf sebagai
sumber Hukum Islam. Tentunya persyaratan tersebut muncul bukan tanpa alasan, tetapi
persoalan teologis, dan sosio-historis-antropologis, menjadi pertimbangan utama. Namun
demikian, jika terjadi pertentangan antara ‘Urf dengan nas al-Qur’an sulit rasanya untuk
menentukan siapa ulama yang paling berwenang dalam menentukan keabsahan ‘Urf sebagai
sumber hukum. Apalagi jika teks-teks nash hanya dipahami oleh sekelompok umat tanpa
melibatkan aspek pemaknaan lainnya, maka hal itu membuka terjadinya otoritarianisme di
kalangan umat Islam. Tetapi, keyakinan bahwa al-Qur‟an, yang bersifat abadi itu, sebagai
sumber Hukum Islam akan terlihat jika terjadi proses akomodasi bukan transformasi.

C.Pengertian Asbabul wurud dan Asbabul iradh Hadis dan Fungsinya


Asbāb al-wurūd tersusun dari dua kata asbab dan al-wurud. Kata asbab merupakan bentuk plural
dari kata sabab. Menurut Al-Ashfihani (592 H.), sabab berarti tali yang digunakan menaiki pohon
kurma. Hal ini seperti dalam QS. Shad:10. Pengertian ini kemudian berkembang menunjuk
semua hal yang dapat membantu mengantarkan seseorang kepada tujuannya (kullu ma
yutawasshalu bihi ila shai’in).
Al-wurud berarti mendatangi sumber air. Hal ini seperti yang digunakan dalam QS Al Qasas: 23,
wa lamma warada ma’a madyan (ketika Musa sampai di sebuah sumber air daerah Madyan).
Kata ini kemudian digunakan untuk pengertian lain yang punya unsur datang-mendatangi.[3]
Ulumul Hadis mengenal beberapa pengertian asbāb al-wurūd. Di antaranya, pengertian yang
dibuat oleh Yahya Ismail Ahmad, editor kitab al-Luma’ fi Asbab al-Hadith,

‫ما ورد اِلديث أَيم وقوعه‬


“Peristiwa yang terjadi saat suatu Hadis muncul.”

Definisi ini dibuat dengan merujuk kepada pengertian asbabun nuzul.

Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah memberikan pengertian:

‫ا المر الذي صدر اِلديث من الرسول بشأنه وقد يذكر ِف اِلديث وقد يغفل‬
“Persoalan yang direspon oleh sabda Rasul. Terkadang disebut dalam Hadis, terkadang tidak.”

Tariq Asad Halimi mengartikan,


‫معرفة ما جرى الحديث في بيان حكمه أيام وقوعه‬
“Informasi mengenai peristiwa yang sedang dijelaskan oleh hadis ketika peristiwa itu terjadi.”
Pengertian lain yang diberikan beliau,

‫اِلال اليت جرى فيها اِلديث من جهة املشرع ِف سياق ما توافرت الدواعي اىل بيانه ِف حمل وقوعه‬
“Keadaan yang menjadikan Hadis muncul dari Nabi dalam suatu konteks yang menuntut beliau
untuk menjelaskannya saat peristiwa itu terjadi.”
Dari keempat pengertian di atas, para sarjana sepakat bahwa asbāb al-wurūd berbentuk peristiwa
atau kejadian yang mendorong lahirnya respon khusus dari Nabi saw. Respon Nabi dapat berupa
keputusan hukum, bimbingan, anjuran, perintah maupun lainnya. Unsur pokok yang harus ada
dalam asbāb al-wurūd adalah peristiwa dan sabda Nabi saw.
Kedua rukun pokok asbāb al-wurūd ini ternyata menyisakan sebuah masalah. Yaitu ketika
peristiwa dan sabda Nabi saw. dihubungkan hanya saja bukan ketika beliau masih hidup. Apakah
kasus semacam itu dapat disebut asbāb al-wurūd ? Seperti ketika sabda Nabi dikutip oleh seorang
sahabat untuk merespon sebuah kejadian. Kemudian sahabat tersebut mengutip sabda Nabi.
Perawi dari generasi setelah sahabat kemudian memasukkan kejadian dan sabda Nabi dalam satu
paket. Tanpa pemisah seperti dapat ditemui dalam banyak matan hadis.
Berdasarkan pengertian di atas, kejadian yang terpisah dari masa Nabi tidak dapat disebut asbāb
al-wurūd. Namun menurut Ibn Hamzah al-Dimashqi, bila yang menghubungkan hadis dengan
peristiwa adalah seorang sahabat, maka ia dapat disebut asbāb al-wurūd. Sebagaimana banyak
ditemukan dalam matan-matan hadis. Menurut Ibn Hamzah, untuk membedakan antara asbāb al-
wurūd yang merupakan objek respon Nabi dengan asbāb al-wurūd yang menjadi objek respon
sahabat, digunakan istilah sabab irad al-hadith. Sabab irad al-hadith menjadi konsepsi original
Ibn Hamzah al-Dimashqi setelah mendapati fakta bahwa sebagian matan hadis bukan hanya
terdiri dari sabda Nabi dan kejadian pada masa beliau masih hidup. Melainkan juga memuat
kejadian-kejadian pasca-wafatnya Nabi yang turut diabadikan dalam narasi matan hadis.
Ibn Hamzah membedakan antara kejadian yang melibatkan sahabat dengan selain sahabat dalam
arti menganggap kejadian sahabat sebagai bagian dari asbāb al-wurūd, sedangkan yang lain
tidak. Bukan hanya karena kejadian sahabat diabadikan dalam matan hadis, tapi juga karena
pengutipan hadis oleh sahabat dilandasi oleh pengetahuan sahabat terhadap kejadian pada masa
Nabi. Ketika seorang sahabat mengutip hadis untuk menjelaskan atau merespon suatu kejadian,
tentunya dia menilai kejadian yang diresponnya sangat identik dengan kejadian pada masa Nabi
saw. Pengetahuan lebih itulah yang membuat pengutipan hadis oleh sahabat dibedakan dengan
pengutipan selain sahabat.

Diantara fungsi asbabul wurud :


• Takhsisul ‘am ( menghususkan perkara yang umum )
• Taydidul mutlak ( pembatasan kata yang masih umum )
• Tafsilul mujmal ( merinci sesuatu yang masih global )
• Membatasi hadis yang menjadi nasikh dan menjelaskan nasikh mansukh
• Menjelaskan ‘illat suat hukum
• Menjelaskan hal yang musykil ( sulit difahami )

D. Living Quran Hadist in Every Day Life

Fenomena living Qur'an dan living Hadis di dalam kehidupan masyarakat sebenarnya bukanlah
hal yang sama sekali baru. Dalam lintasan sejarah, praktik memperlakukan al-Qur'an dalam
kehidupan praktis sebenarnya telah terjadi pada masa Nabi Muhhamad hidup. Salah satu riwayat
menyebutkan bahwa Nabi pernah mengobati penyakit seseorang dengan melakukan ruqyah
menggunakan surat al-Fatihah dan al-Ma'uzatain. Secara semantis, surat al-Fatihah tidak
berkaitan dengan penyakit atau pengobatan, tetapi ternyata ayat itu digunakan untuk praktik
pengobatan. Merujuk pada Manna' al-Qathan (1973:21), ia mengelompokkan aktifitas membaca
al-Qur'an menjadi tiga kategori. Pertama, membaca al-Qur'an sebagai ibadah. Kedua, membaca
al-Qur'an untuk mendapatkan petunjuk. Ketiga, membaca al-Qur'an sebagai alat justifikasi.
Dalam konteks ini, kajian tentang living Qur'an (termasuk living Hadis) tampaknya bagian dari
kategori ketiga.
Embrio kajian living Qur’an tampaknya dapat dilacak dari slogan "Qur’an in everyday
life" (menjadikan al-Qur'an sebagai bagian dari kehidupan). Living Qur'an merujuk pada makna
dan fungsi al-Qur’an yang riil dipahami dan dialami oleh masyarakat. Fenomena ini sudah ada
cikal bakalnya semenjak awal dalam sejarah Islam. Hanya saja, pada saat itu perangkat ilmu
sosial yang mampu menjelaskan dimensi sosial-kultural dalam interaksi manusia dengan al-
Qur'an tampaknya belum digunakan secara utuh. Pada masa awal Islam, dimensi sosial-kultural
yang membayangi kehadiran al-Qur’an belum mendapatkan tempat yang memadai sebagai
objek kajian (Syamsuddin, 2007:6).

Istilah living Qur’an sebenarnya mencoba mengungkap fenomena yang bersinggungan/


terkait dengan al-Qur’an yang hidup di masyarakat. Nasr Hamid Abu Zayd menyebutnya The
Qur’an as a living phenomenon, al-Qur’an itu seperti musik yang dimainkan oleh para pemain
musik, sedangkan teks tertulisnya (mushaf) itu seperti note musik (ia diam) (Zayd, 2004:13).

Kajian-kajian tentang fenomena-fenomena sosial dan budaya yang bersinggungan dengan


al-Qur’an terhitung dikatakan jarang. Hal ini bisa saja disebabkan oleh faktor lain, misalnya
adanya anggapan bahwa fenomena yang terjadi di masyarakat tersebut bukanlah termasuk dalam
ruang lingkup kajian al-Qur’an atau tafsir, melainkan sosiologi atau antropologi. Bisa juga
anggapan bahwa fenomena tertentu, misalnya penggunaan tulisan al-Qur’an dijadikan jimat atau
obat, pembacaan surah-surah tertentu dalam kondisi tertentu dianggap sebagai bid’ah (Gade,
2010:183).

Varian Interaksi Muslim dengan Al Qur’an

Diantara varian interaksi Muslim dengan al-Qur’an adalah:

1. Membaca surat Yusuf dan Maryam menjadi sebab anak lahir tampan dan cantik

Sebagian besar masyarakat di Indonesia mempercayai bahwa kehidupan manusia selalu


diiringi dengan masa-masa kritis, yaitu suatu masa yang penuh dengan ancaman dan bahaya
(Koentjaraningrat, 1985:67). Masa-masa itu adalah peralihan dari tingkat kehidupan yang satu
ke tingkat kehidupan lainnya, mulai dari gerak-gerik isyarat kecil tak teratur yang melingkungi
kelahiran, sampai kepada pesta dan hiburan besar yang diatur rapi pada khitanan dan
perkawinan dan akhirnya upacara-upcara kematian yang hening dan mencekam perasaan.
Upacara-upacara itu menekankan kesinambungan dan identitas yang mendasari semua segi
kehidupan dan transisi serta fase-fase khusus yang dilewatinya (Geertz, 1983:48).

Di antara upacara-upacara yang melingkari hidup seseorang tersebut adalah rentetan


upacara kelahiran, yakni pembacaan surat Yusuf dan Maryam dalam upacara tingkeban. Di
sekitar acara kelahiran terkumpul empat slametan utama dan beberapa slametan kecil. Acara-
acaraa tersebut di antaranya: tingkeban (diselenggarakan hanya apabila anak yang dikandung
adalah anak pertama), babaran atau barokahan

(diselenggarakan pada waktu kelahiran bayi itu sendiri), pasaran (lima hari sesudah kelahiran)
dan pitonan (tujuh bulan setelah kelahiran). Slametan-slametan lainnya bisa diadakan bisa juga
tidak, yakni telonan (pada bulan ketiga masa kehamilan), selapanan (bulan pertama sesudah
kelahiran), taunan (diadakan setaun sesudahnya). Beberapa orang mengadakan slametan setiap
bulan sesudah kelahiran selama satu atau dua tahun secara tak teratur hingga anak itu dewasa,
tetapi praktek ini sangat beraneka ragam dan slametan demikain bisaya kecil dan tidak penting
(Geertz, 1983:48).

Adapun upacara Tingkeban atau Mitomi adalah adalah upacara selametan yang diselenggarakan
pada bulan ketujuh masa kehamilan dan hanya dilakukan apabila anak yang dikandung adalah
anak pertama bagi si ibu, si ayah atau keduanya (Geertz, 1983:48). Istilah "Tingkeban" diambil
dari nama seorang wanita Kediri, Niken Satingkeb. Dalam cerita rakyat dikisahkan bahwa Niken
Satingkeb diperintahkan untuk mengadakan upacara selamatan pada saat hamil. Upacaranya
dalam bentuk menyediakan sesajen guna dikirim kepada para Dewa sembari meminta Dewa agar
menjadikan anaknya kelak tampan seperti Arjuna (kalau laki-laki) atau cantik seperti Dewi Ratih
(kalau perempuan). Upacara ini akhirnya terus hidup dan menjadi tradisi sampai pada masa
Raden Ja'far Sodiq, atau lebih dikenal dengan Sunan Kudus. Oleh Sunan Kudus, tradisi yang
mengandung ajaran Hindu-Budha itu tidak ditentang sepenuhnya, tetapi lebih diarahkan agar
menjadi lebih Islami. Acara selamatan terus dilakukan, tetapi niatnya untuk bersedekah kepada
penduduk setempat dan boleh dibawa pulang, bukan untuk para Dewa. Adapun terkait
permohonan agar anaknya tampan dan cantik, maka Sunan Kudus mengarahkan mereka agar
mengajukan doa kepada Allah dengan harapan anaknya lahir berwajah tampan seperti Nabi
Yusuf atau cantik seperti Siti Maryam. Oleh karenanya, perempuan hamil dan suaminya
ditekankan untuk membaca surat Yusuf dan Maryam (Sektioningsih, 2009:29).

Tradisi tingkeban tidak hanya ada di daerah Jawa dan Sunda saja, tetapi juga di Sumatera.
Dalam upacara ini pun diadakan pengajian berupa pembacaan ayat-ayat al-Qur'an surat Yusuf
dan surat Maryam. Berbeda dengan daerah Jawa, Tingkeban di daerah Sunda berasal dari kata
tingkeb artinya tutup, maksudnya si ibu yang sedang mengandung tujuh bulan tidak boleh
bercampur dengan suaminya sampai empat puluh hari sesudah persalinan, dan jangan bekerja
terlalu berat karena bayi yang dikandung sudah besar, hal ini untuk menghindari dari sesuatu
yang tidak diinginkan.
harapan anaknya lahir berwajah tampan seperti Nabi Yusuf atau cantik seperti Siti Maryam. Oleh
karenanya, perempuan hamil dan suaminya ditekankan untuk membaca surat Yusuf dan Maryam
(Sektioningsih, 2009:29).

Tradisi tingkeban tidak hanya ada di daerah Jawa dan Sunda saja, tetapi juga di Sumatera. Dalam
upacara ini pun diadakan pengajian berupa pembacaan ayat-ayat al-Qur'an surat Yusuf dan surat Maryam.
Berbeda dengan daerah Jawa, Tingkeban di daerah Sunda berasal dari kata tingkeb artinya tutup,
maksudnya si ibu yang sedang mengandung tujuh bulan tidak boleh bercampur dengan suaminya sampai
empat puluh hari sesudah persalinan, dan jangan bekerja terlalu berat karena bayi yang dikandung sudah
besar, hal ini untuk menghindari dari sesuatu yang tidak diinginkan.

Mengenai alasan mengapa hanya Surat Yusuf dan Maryam saja yang menjadi bacaan ketika
hamil, sebagian besar masyarakat berpendapat bahwa dengan membaca surat-surat tersebut, anaknya
yang lahir nanti bisa setampan Nabi Yusuf dan secantik Siti Maryam. Secara tekstual memang tidak
ditemukan ayat atau Hadis yang menganjurkan aktifitas seperti itu. Namun demikian, jika dirujuk
kepada pemahaman yang bersifat kontemplatif, maka dapat ditemukan teks yang dapat menjadi
inspirasi pelaksanaan tradisi tersebut, di antaranya adalah surat al-A'raf berikut ini:

‫يﺬﻟاﱠ ﻮﻫ ﻼﲪَ ﺖَﻠﲪَ ﺎﻫﺎﺸﱠﻐـﺗ ﺎ ﱠﻤﻠـﻓ ﺎﻬـﻴََﻟِإ‬


ِ ‫ﺲﻔـﻧ ﻦ ِﻣ ﻢَﻜﻘَﻠﺧ‬ٍ ‫ﺎﻬـﻨ ِﻣ ﻞﻌﺟو ةٍﺪﺣاِو‬
‫ﺮﱠﻤََﻓ ﺎﻔﻴ ِﻔﺧ ﻦﻳ ِﺮﻛﺎِﺸﻟاﱠ ﻦ ِﻣ ﱠﻦﻧﻮﻜَﻨﻟ َﻦﻜَﺴَﻴِﻟ ﺎﻬﺟوز ﺎﻤَﻬـﺑﱠرَ َﷲا اﻮﻋد ﺖَﻠﻘـﺛَأ ﺎ ﱠﻤﻠـﻓ ِﻪ َِﺑ ت‬
‫ﺎﳊﺎ َِﺻ ﺎﻨـﺘَﻴـﺗَآ ﻦ َِﺌﻟ‬

"Dia-lah yang menciptakan kamu dari jiwa yang satu (Adam) dan daripadanya Dia
menciptakan pasngannya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah
dicampurinya, (istrinya) mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa
Seiring itu, terdapat pula sebuah Hadis riwayat Hamad bin Salamah, dari Tsabit, dari
Anas, sebagaimana berikut :
ٌ َ َ ‫ﻴﻞ َو َﻣ ْﻦ َﻣ َﻌ َﻚ َﻗ‬ َ ‫ﺖ َﻗ‬
َ ‫ﺎل ﺟﱪ ُُْﻳﻞ ﻗ‬ َ َْ ْ َ َ َ ْ َْ َ ْ َ َ ‫ﱠ‬ ‫ﰒُﱠ َﻋﺮ َُ َج ﰊُ إﱃ َُ ﱠ‬
‫ﺎل ﳏُُ ﱠﻤﺪ َﺻ ﱠﻠﻰ‬ ‫ﺎﺳُﺘـﻔﺘ َﺢ ﺟﱪُُﻳﻞ ﻓﻘﻴﻞ ﻣﻦ أﻧ‬ ‫اﻟﺴﻤ َُﺎء اﻟﺜﺎﻟﺜﺔ ﻓ‬
َ َ
‫اﷲُ َﻋﻠﻴ ُْﻪ َو َﺳﻠﱠﻢ َُ إذا ﻫ َﻮ‬. ‫ﻒ َﺻﻠﱠﻰ‬ َ ‫ﺚ إ َﻟﻴ ْ ﻪ َﻓـﻔﺘ َﺢ َﻟ َﻨﺎ َﻓﺈ َذا َأ َﻧﺎ ﺑﻴ ﻮﺳ‬َ َْ َ َ ْ َ َ
‫ﺎل ﻗﺪ ﺑﻌ‬
َْ َ
‫ﻴﻞ َوﻗﺪ ﺑﻌﺚ إﻟﻴُﻪ ﻗ‬
َ
‫اﷲُ َﻋﻠﻴ ُْﻪ َو َﺳﻠﱠﻢ َُ ﻗ‬
ُ ُ
ْ َ ْ َْ
‫ﻄ َُ ﺷ ْﻄﺮ َُ اﳊُُﺴ ُْﻦ‬
ِ ‫ﻗﺪ أﻋ‬

Penggalan kalimat "idza huwa qad u'thiya Syathr al-Husni" (Ternyata dia [Yusuf ] diberi
separuh ketampanan) merupakan salah satu landasan mengapa Nabi Yusuf diyakini sebagai
seorang pria tampan. Oleh karenanya, berhubung nama Nabi Yusuf dijadikan salah satu surat
dalam al-Qur'an, maka untuk mendapatkan keberkatan dari ketampanan Yusuf tersebutlah
masyarakat, khususnya ibu hamil, mempertahankan tradisi membaca surat tersebut

2. Ayat -ayat al- Qur’an sebagai sebagai semboyan hidup

Di antara masyarakat Muslim ada yang menjadikan ayat al-Qur’an sebagai semboyan
hidup, sehingga ayat tersebut menjadi semacam “penggerak ” dan motivasi yang
bersangkutan dalam menjalani kehidupan, sebab manusia hidup tidak lepas dari kesusahan,
musibah , kegagalan dan lainnya. Adapun ayat yang sering menjadi semboyan misalnya
surat Insyirah ayat 5-6.

"Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah


kesulitan itu ada kemudahan."

Salah satu organisasi keagamaan di Indonesia juga melakukan hal tersebut. NU misalnya,
menjadikan ayat 103 surat Ali Imran sebagai motto mereka

‫هللاِ َﲨ ُِ ًيعا َوالَ ت َفَّرقُوا‬


َّ ِ
‫صم ُُوا ِﲝ َُب ُْل‬
ِ َ‫و ْاعت‬
َ
"Berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai berai".

Organisasi lain, Muhammadiyah mengambil ayat 104 dari surat Ali Imran sebagai semboyannya
yaitu sebagai brerikut :
ِ ِ ُ‫اْلُﲑ ُِوَﻳْمرُو َن ِِبلْمُعر‬
‫حو َن‬ َ ِ‫وف َو َُيْن َه ْو َن َع ِنالْ ُمْن َك ِرَو ُُأولَئ‬
ُ ‫ك ُهم ُُالْ ُم ْفل‬ ُ َْ
ِ ‫ولتكن ِمنكم ُأمةيدع‬
‫وَنىل‬
ُ ُ َ َ ْ َ ْ َ َ ُ ْ َ ٌ َّ ُ ُْ ُ ْ ْ ُ َْ َ

"Hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma' ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-
orang yang beruntung”.

Sebagian lembaga pesantren di Indonesia menekankan kepada santrinya untuk selalu


memperhatikan ayat 21 dari surat Yasin, sebagaimana berikut

َ َ َ ُ َ ‫ﱠ‬
‫اﺗﺒﻌﻮا َﻣ ْﻦ ﻻ َﻳﺴ ُْﺄُﻟﻜﻢ ُْ أ ْﺟﺮُا َوﻫﻢ ُْ ﻣ ْﻬﺘﺪون‬
"Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang
yang mendapat petunjuk".

Ada juga kebiasaan dilingkungan tertentu untuk menutup forum pertemuan dengan membaca
surat Al Asr sebagai berikut :

‫اصو ُْا ِِب ِْل َُ ﱢﻖ‬ ِ ِ َّ ‫) إِال َّال ِذين آمنُوا وع ِملُوا‬٢( ‫) إِ َّن اإلنْسُا َن لَِفي خسُ ٍر‬١( ‫والْعص ِر‬
َ َُ ‫الصاِل َُات َو َُت و‬ ََ َ َ ْ ُ َ َْ َ
ِ
)٣( ُ‫لص ْﱪ‬ ِ
َّ ‫اص ْوا ِب‬
َ ‫َو َُت َو‬
"Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, Kecuali orang-
orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya
mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”
E. Living Hadist

Hadis adalah sumber kedua setelah al-Qur’an yang dipegangi dan ajarannya diamalkan
oleh umat Islam. Ia menjadi standar utama umat Islam dalam usaha meneladani dan
mempraktikkan petunjuk Rasulullah Saw. Dalam banyak hal, apa yang dilakukan oleh
Muhammad Saw digugu dan ditiru secara literal tekstual, meski banyak pula umat Islam yang
berusaha melakukan kontekstualisasi atas suatu hadis. Perdebatan kaum literalis versus
kontekstualis memang perdebatan yang tidak akan menemukan ujung hilirnya, ia akan ada di
sepanjang sejarah manusia, dalam masalah apapun, bukan hanya agama.

Indonesia adalah negara yang kaya dengan keragaman. Keragaman budaya, bahasa,
suku, agama, menandaskan betapa kayanya negara ini. Dalam masalah agama yang memiliki
peranan dominan dalam konstruksi masyarakat Indonesia, terdapat banyak keragaman praktik
keberagamaan yang berkembang di masyarakat. Praktik ini terejawantah dalam sebuah institusi
yang bernama tradisi, ritual, dan lain sebagainya. Tak jarang pula, sebuah praktik itu diilhami
oleh praktik nabi Muhammad pada zaman Islam awal.

Pada titik relasi antara agama, modernitas, dan budaya nenek moyang inilah akulturasi
dan sinkretisasi itu muncul dalam berbagai bentuknya. Dialektika agama dan budaya nenek
moyang menciptakan sebuah ajaran agama sebagaimana diajarkan oleh Walisongo. Dalam
konteks seperti ini pula kajian yang akan dilakukan oleh artikel ini menemukan
signifikansinya. Living hadis, sebuah frasa yang sebenarnya muncul belum terlalu lama,
menjadi isu yang menarik dalam konteks dialektika agama, modernitas, dan warisan budaya
nenek moyang ini.

Kajian living Hadis menjadi satu hal yang menarik dalam melihat fenomena dan
praktik sosio-kultural yang kemunculannya diilhami oleh hadis-hadis yang ada pada masa lalu
dan menjadi satu praktik pada masa kini. Praktik mewarisi tradisi nenek moyang dan menerima
modernitas adalah dua hal dimana persinggungan dengan praktik yang berlangsung pada masa
Rasulullah terjadi, dan itu dilakukan melalui pengetahuan tentang hadis-hadisnya.

Di Indonesia, frasa living hadis -ataupun saudara kandungnya, living al-Qur’an- pada dasarnya
adalah frasa yang dipopulerkan oleh para dosen Tafsir Hadis (sekarang menjadi Prodi Ilmu al-
Qur’an dan Tafsir & Prodi Ilmu Hadis) . Akan tetapi jika dilihat ke belakang, istilah living
hadis sebenarnya telah dipopulerkan oleh Barbara Metcalf melalui artikelnya, “Living Hadith
in Tablighi Jamaah”1. Jika ditelusuri lebih jauh, terma ini sebenarnya merupakan kelanjutan
dari istilah living sunnah, dan lebih jauh lagi adalah praktik sahabat dan tabiin dengan tradisi
Madinah yang digagas oleh Imam Malik.4 Jadi pada dasarnya ini bukanlah barang baru. Hanya
saja, sisi kebaruannya adalah pada frasa kata yang digunakan.
Secara lebih detail dan terperinci, kemunculan terma living hadis ini saya petakan
menjadi empat bagian. Pertama, sebagaimana yang telah disebutkan, living hadis hanyalah

18
satu terminologi yang muncul di era sekarang ini. Secara kesejarahan sebenarnya ia telah eksis,
misalnya tradisi Madinah, ia menjadi living sunnah,5 lalu ketika sunnah diverbalisasi maka
menjadi living hadis. Tentu saja asumsi ini bersamaan dengan anggapan bahwa cakupan hadis
disini lebih luas daripada sunnah yang secara literal bermakna habitual practice.6 Pemahaman
ini adalah satu bentuk konsekuensi dari perjumpaan teks normatif (hadis) dengan realitas ruang
waktu dan lokal. Jauhnya jarak waktu antara lahirnya teks hadis ataupun al-Qur’an
menyebabkan ajaran yang ada pada keduanya terserap dalam berbagai literatur-literatur bacaan
umat Islam, ambil contoh adalah kitab kuning. Kedua, Pada awalnya, kajian hadis bertumpu
pada teks, baik sanad maupun matan. Di kemudian hari, kajian living hadis bertitik tolak dari
praktik (konteks), fokus kepada praktik di masyarakat yang diilhami oleh teks hadis. Sampai
pada titik ini, kajian hadis tidak dapat terwakili, baik dalam ma’ānil ḥadīṡ ataupun fahmil ḥadīṡ.
Dari sini dapatlah ditarik kesimpulan jika terdapat pertanyaan apa perbedaan ma’ānil ḥadīṡ,
fahmil ḥadīṡ dengan living hadis? Titik perbedaannya adalah pada teks dan praktik. Jika
ma’ānil ḥadīṡ/fahmil ḥadīṡ lebih bertumpu pada teks, living hadis adalah praktik yang terjadi
di masyarakat, jika pada kajian

ma’ānil ḥadīṡ ataupun fahmil ḥadīṡ, kajian lebih bertumpu pada matan dan sanad, maka living
hadis fokus pada bagaimana pemahaman masyarakat terhadap matan dan sanad itu. Sehingga
jelaslah perbedaannya, yakni perbedaan titik tolak. Yusuf Qardawi,7Khatib al-Baghdadi,8
Shalahuddin al-Adlabi,9 Syuhudi Ismail,10 Nurun Najwah,11 adalah sekian dari tokoh-tokoh
yang berkonsentrasi pada kajian-kajian ilmu ma’ānil ḥadīṡ. Secara keseluruhan, mereka
memberikan konsep-konsep pemahaman mengenai kaidah-kaidah matan hadis. Namun, kajian
yang bertolak dari praktik memang tidak ada porsinya dalam buku para pendekar ma’ānil ḥadīṡ
tersebut. Tak heran jika di UIN Sunan Kalijaga kemudian terdapat matakuliah Hadis dan Sosial
Budaya/Living Hadis untuk mengakomodir praktik di masyarakat yang berdasar pada teks
hadis.

Ketiga, dalam kajian-kajian matan dan sanad hadis, sebuah teks hadis harus memiliki
standar kualitas hadis, seperti ṡaḥiḥ, hasan, daīf, maudu’. Berbeda dalam kajian living hadis,
sebuah praktik yang bersandar dari hadis tidak lagi mempermasalahkan apakah ia berasal dari
hadis sahih, hasan, daīf, yang penting ia hadis dan bukan hadis maudu’. Sehingga kaidah
kesahihan sanad dan matan tidak menjadi titik tekan di dalam kajian living hadis.12 Mengapa?

1. Karena ia sudah menjadi praktik yang hidup di masyarakat. Bahkan pada saat-saat
dan situasi tertentu menjadi menarik untuk mengetahui bagaimana teks-teks hadis
dalam praktik shalat yang dilakukan jamaah Nahdlatul Ulama (NU) –misalnya-
berbeda dengan teks hadis yang dipraktikkan

dalam bacaan jamaah Muhammadiyah.13 Dengan demikian, kajian tarjih atas hadis yang
tampak mukhtalif tidak bisa digunakan dalam ilmu living hadis (jika boleh dikatakan sebagai
salah satu cabang disiplin ilmu);

2. Karena ia sudah menjadi praktik yang hidup di masyarakat, maka sepanjang tidak
menyalahi norma-norma, maka ia akan dinilai satu bentuk keragaman praktik yang
diakui di masyarakat. Praktik-praktik umat Islam di masyarakat pada dasarnya
banyak dipengaruhi oleh agama, namun, kadang masyarakat atau individu tidak lagi
menyadari bahwa itu berasal dari teks, baik al-Qur’an maupun hadis. Hal ini dapat
19
dipahami mengingat bahwa masyarakat belajar melalui buku-buku seperti fikih,
muamalah, akhlak, dan kitab lainnya, sementara di kitab atau buku tersebut tidak
disebutkan lagi kalau hukum atau praktik itu berasal dari
hadis.

Keempat, membuka ranah baru dalam kajian hadis. Kajian-kajian hadis banyak
mengalami kebekuan, terlebih lagi pada awal tahun 2000an kajian sanad hadis sudah sampai
pada titik jenuh, sementara kajian matan hadis masih juga bergantung pada kajian sanad hadis.
Akhirnya pada tahun 2007 muncullah buku Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis
yang dibesut oleh Sahiron Syamsuddin, dkk, di Prodi Tafsir Hadis, Fakultas Ushuluddin, UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Dari sini saya berpendapat bahwa fokus kajian living hadis adalah pada satu bentuk
kajian atas fenomena praktik, tradisi, ritual, atau perilaku yang hidup di masyarakat yang
memiliki landasannya di hadis nabi. Misalnya adalah tradisi aqiqah yang berangkat dari
pemahaman hadis nabi bahwa:

Artinya:

“Seorang bayi tergadai dengan aqiqahnya, maka alirkan darah (sembelihan aqiqah)
untuknya dan singkirkan kotoran (cukurlah rambutnya) darinya.”14
Dari sini kemudian muncul berbagai bentuk perayaan aqiqah di masyarakat. Misalnya
dengan membaca maulid diba’ dan menyembelih kambing. Namun ada pula yang
melaksanakan aqiqah dengan menyembelih ayam, di sebagian daerah di Yogyakarta. Kenapa
ayam? Hal ini juga karena resepsi masyarakat atas hadis nabi yang disesuaikan dengan kelas
ekonomi mereka sendiri, bahkan dalam porsi tertentu dapat dikatakan sesuai dengan kadar
kesadaran keislaman mereka. Misalnya kelompok abangan yang mempraktikkan aqiqah
dengan kultur Jawa, akan terlihat lebih kental dengan sinkretisme Hindu-Islam. Dalam bahasa
Bourdieu ini adalah structuring structure, kebiasaan masyarakat itu kemudian melahirkan
struktur baru hasil dari pergulatan pemikiran teks dengan realitas (konteks) tempat individu
hidup dan berinteraksi.15 Dengan kata lain, di satu sisi budaya slametan yang eksis di Jawa
kemudian ajaran Islam mengenai aqiqah di sisi lain, ditambah lagi dengan kemampuan
ekonomi melahirkan satu bentuk struktur perayaan kelahiran si anak dalam bentuk
menyembelih ayam yang kemudian dibagikan ke tetangga. Dalam kitab al-‘Umm misalnya
terdapat keterangan “tustaḥabbu al-‘aqiqah walau bi ‘usfūr” (disunnah/dianjurkan aqiqah
walaupun dengan seekor burung kecil).16 Meskipun khabar dari Muhammad bin Ibrahim bin
al-Haris at-Taimy ini tidak untuk diamalkan, namun, setidaknya dasar ini menjadi landasan
normatif bahwa perdebatan mengenai hewan aqiqah sudah ada sejak masa awal Islam.

Hal yang sama juga yang dilakukan oleh para takmir masjid yang memiliki motivasi agar
menjadi orang yang “qalbuhu mu’allaqun bil masājid”17 atau orang yang ingin meramaikan
masjid. Contoh praktiknya dapat ditemukan di masjid Jogokaryan, Yogyakarta. Masjid yang
telah menjadi model tata kelola masjid di Indonesia ini memiliki berbagai bentuk interpretasi
kreatif atas teks-teks keagamaan dan dalam hal tata kelola rumah Allah ini. Misalnya dalam

20
bentuk infak/ shodaqoh yang variatif; ada infak/shodaqoh beras, infak/shodaqoh uang dan
sebagainya; dimana setiap bentuk infak/shodaqoh disediakan tempatnya sendiri-sendiri.

living hadis adalah sebuah model kajian bahkan salah satu cabang disiplin dalam ilmu
hadis. Oleh karena itu, sah-sah saja seorang peneliti yang melakukan penelitian mengenai
living hadis tidak menyebut living hadis dalam judul penelitiannya. Misal, “Tradisi Puasa
Senin Kamis di Kampung Pekaten.”23 Namun perlu dipastikan bahwa praktik itu berasal dari
teks hadis; merupakan satu bentuk imitasi, modifikasi, ataupun akulturasi praktik/tradisi/ritual/
perilaku antara teks masa lalu dengan realitas masa kini. Eksistensi teks ini dalam masyarakat
tidaklah selalu disadari, masyarakat mungkin hanya tahu kalau ada dalilnya, atau teks itu sudah
bodily hexis yang sudah melekat kelet pada dirinya. Contoh sederhana, masalah makan dan
minum berdiri.24

(penerimaan, tanggapan, respon) atas teks hadis yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok
yang terwujud dalam praktik/ritual/tradisi/ perilaku masyarakat. Karena ia merupakan satu
bentuk resepsi, maka perlu kerangka teori dalam melihat perilaku masyarakat.

Seperti halnya ilmu ma’ānil ḥadīṡ, living hadis tentu memerlukan perangkat-perangkat
metodologis dalam kajiannya. Karena yang diteliti adalah praktik yang berkembang di
masyarakat, maka penggunaan teori-teori sosialogi dan antropologi dalam living hadis tidak
dapat dielakkan. Mengapa ilmu-ilmu sosiologi dan antropologi? Karena living hadis sebagai
sebuah praktik tentu lahir dari dialektika individu dan masyarakat yang menjadi fokus kajian
dalam disiplin sosiologi dan antropologi.

Di sini saya hendak mengemukakan beberapa pendekatan yang dapat dipakai dalam
kajian living hadis. Pendekatan ini tidak baku, namun bisa dijalankan dalam penelitian living
hadis, dan tentu saja banyak teori-teori sosiologi dan antropologi yang dipakai untuk disiplin
living hadis.

1. Fenomenologi

Padaawalnya, feneomenologi merupakan salah satu disiplin dalam tradisi filsafat. Edmund
Husserl (1859-1938) merupakan tokoh dan penggagas teori ini. Berasal dari bahasa Yunani
(phenomenon) yang bermakna sesuatu yang tampak, sesuatu yang terlihat, fenomenologi
adalah ilmu pengetahuan mengenai apa yang tampak. Studi fenomenologimerupakan studi
tentang makna. Dalam hal ini penelitimendeskripsikan pemaknaan umum dari sejumlah
individu terhadap berbagai pengalaman hidup mereka mengenai sebuah konsep atau sebuah
fenomena. Dengan demikian fokus fenomenolog adalah mendeskripsikan apa yang sama pada
semua partisipan ketika mereka mengalami sebuah fenomena (misalnya, dukacita dialami
secara universal).25 Menurut Cresswell, tujuan utama dari fenomenologi adalah untuk
mereduksi pengalaman-pengalaman individu pada sebuah fenomena menjadi sebuah deskripsi
tentang esensi atau intisari universal. Untuk tujuan ini, para peneliti kualitatif mengidentifikasi
sebuah fenomena, misalnya fenomena joged shalawat Mataram, bunuh diri, tradisi Grebeg
21
Mulud, tradisi apeman Ya Qawiyu di Klaten, hafidz al-Qur’an, dan sebagainya. Sang peneliti
mengumpulkan data dari individu-individu yang telah mengalami fenomena tersebut, dan
mengembangkan sebuah deskripsi gabungan tentang esensi dari pengalaman tersebut bagi
semua individu tersebut. Deskripsi ini mencakup mengenai “apa” yang mereka alami dan
“bagaimana” mereka mengalaminya.

Salah satu contoh yang menarik penggunaan fenomenologi dalam living hadis adalah
tulisan Alfatih Suryadilaga, “Mafhūm al-salawāt ‘inda majmū‘at Joged Shalawat Mataram:
Dirāsah fi al-hadīs al-hayy”26 Tulisan ini mencoba menelaah makna tradisi joged spiritual
yang berasal dari Kasultanan Mataram. Dengan menggunakan fenomenologi sebagai
pendekatannya penelitian Alfatih Suryadilaga ini berkesimpulan bahwa pertama, JSM
merupakan fenomena tradisi sosial-budaya-keagamaan. JSM tergolong tarian spiritual atau
bisa juga disebut sebagai gerakan seni spiritual. Kedua, JSM adalah sebuah fenomena living
hadis. Setidaknya terdapat beberapa hadis-hadis Nabi yang dijadikan prinsip dasar dalam JSM:
(1) hadis-hadis tentang perintah bersalawat kepada Nabi Saw.; (2) hadis-hadis tentang perintah
meneladani akhlak Nabi. Ketiga, JSM merupakan fenomena “Syiar Budaya Agama”. Keempat,
JSM gerakan sosial keagamaan yang ingin menyampaikan nilai-nilai pendidikan karakter
(akhlak) melalui seni Islami.

Penggunaan fenomenologi sebagai satu metode telah banyak dilakukan dari berbagai
tugas akhir mahasiswa. Pada umumnya salah satu pertanyaan penelitian yang diajukan adalah
mengenai apa makna dan esensi dari suatu praktik yang sedang diteliti.

2. Studi Naratif
Creswell dengan mengutip Czarniawska menjelaskan bahwa

riset naratif adalah satu tipe desain kualitatif yang spesifik, yang narasinya dipahami sebagai
teks yang dituturkan atau dituliskan dengan menceritakan tentang peristiwa/aksi atau rangkaian
peristiwa

15 Bourdieu, Pierre, The Logic of Practice, (Stanford: Standford University Press, 1992),
hlm. 52.

16 Muhammad bin ‘Idris As-Syafi’I, al-Umm, (Pakistan: daar al-Wafa, 2001), vol. III.,
hlm. 589

17 Al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra li al-Baihaqi, juz 10 (Makkah: Maktabah Daar al-


Baz, tt), hlm 2833.

22
yang terhubung secara kronologis.27 Dari definisi ini dapat kita petik bahwa yang dinamakan
riset naratif adalah narasi (deskripsi, paparan) yang diomongkan, dituturkan, diceritakan, atau
dituliskan secara berurutan/kronologis. Narasi ini berisi mengenai peristiwa yang terjadi atau
rangkaian peristiwa yang saling berhubungan. Pada dasarnya riset ini memiliki banyak bentuk,
menggunakan beragam praktek analitis, dan berakar pada beragam disiplin sosial dan
humaniora.28

Riset naratif dimulai dengan pengalaman-pengalaman yang diekspresikan dalam


cerita-cerita dari individu-individu. Adapun riset naratif ini dapat mencakup, pertama, narasi
mengenai pengalaman orang lain (biografi); kedua, pengalaman yang ditulis sendiri oleh
subjek penelitian (autobiografi); ketiga, rekaman sejarah yang utuh tentang kehidupan
seseorang (sejarah kehidupan); keempat, sejarah kehidupan yang diperoleh dari hasil ingatan
peneliti (sejarah tutur).

Penelitian naratif termasuk jenis penelitian yang jarang disentuh atau jarang digunakan
dalam tugas akhir atau laporan penelitian. Sejauh ini saya belum menemukan penelitian living
hadis yang menggunakan metode ini. Padahal penelitian ini menarik untuk dilakukan, misalnya
meneliti tokoh hadis dengan melihat biografi intelektualnya baik berupa memoar ataupun life
story, misal life story seorang aktivis jaulah Jamaah Tabligh. Kajian naratif juga menarik untuk
dilakukan di luar kajian living hadis, contohnya, penelitian mengenai life story seorang Imam
Bukhari yang bisa saja dibuat menjadi sebuah narasi perjalanan hidupnya, bagaimana
perjalanan Bukhara, Samarqand, Baghdad, Damaskus, Bashrah, Kufah, Makkah, Madina;
bagaimana misalnya ia bolak-balik Makkah hingga belasan kali dengan menggunakan unta,
bagaimana sang ibu berdoa untuk kesembuhan kebutaan Bukhari di saat masih kecil, dst.
Tentu, menurut saya, karya seperti ini lebih disukai penerbit novel, memoar, dll.

3. Etnografi
Metode etnografi adalah penelitian mengenai kebudayaan suatu komunitas, masyarakat.
Sebuah etnografi berfokus pada sebuah kelompok yang memiliki kebudayaan yang sama.
Boleh jadi, kelompok kebudayaan ini mungkin kecil, tetapi biasanya besar, melibatkan banyak
orang yang berinteraksi sepanjang waktu.29 Maka, etnografi adalah sebuah desain kualitatif
di mana sang peneliti mendeskripsikan dan menafsirkan pola-pola yang sama dari nilai-nilai,
perilaku, keyakinan, dan bahasa dari sebuah kelompok berkebudayaan-sama. Sebagai sebuah
proses dan sekaligus sebuah hasil riset, etnografi adalah sebuah cara untuk mempelajari sebuah
kelompok berkebudayaan-sama sekaligus produk akhir tertulis dari riset tersebut. Sebagai
sebuah proses, etnografi melibatkan pengamatan-pengamatan yang luas terhadap kelompok
tersebut, paling sering melalui pengamatan partisipan (participant observation), di mana sang
peneliti tenggelam (immersed) dalam kehidupan sehari-hari dari masyarakat tersebut dan
mengamati dan mewawancarai para partisipan dalam kelompok tersebut. Para etnografer
mempelajari makna dari perilaku, bahasa, dan interaksi di kalangan para anggota dari
kelompok berkebudayaan-sama tersebut.30

23
Laporan penelitian Saifuddin Zuhri Qudsy, “Kisah Dua Keluarga: Sebuah Kajian
Etnografis (Memotret Kebudayaan Islami Berdasar Pada Teks Al-Qur’an dan Hadis Pada Dua
Keluarga Di Yogyakarta) adalah salah satu contohnya.”31 Pada penelitian ini saya meneliti
Keluarga Fatur dan Saleh sebagai potret dua keluarga yang secara sosial dikonstruksi dan
mengkonstruksi perilakunya sehari-hari berdasarkan al-Qur’an dan Hadis. Artinya, al-Qur’an
dan hadis menjadi bagian dari proses dialektika yang berkelanjutan dengan pembentukan
kehidupan mereka, baik di level individu maupun sosial. Persis di titik inilah, al-Qur’an dan
Hadis, yang mereka terapkan secara sadar maupun tak sadar, berjalin kelindan dengan
bagaimana mereka berperilaku.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Kajian living hadis merupakan satu kajian yang masih sangat terbuka terhadap bentuk
penelitian dalam bidang hadis. Di samping itu, memang masih belum ada kesepakatan dalam
model metode dan analisisnya. Oleh karena itu, tulisan ini mencoba untuk memancing dan
memantik diskursus kajian living hadis di Indonesia. Sejauh ini kajian living hadis yang
dilakukan baru pada level kajian tradisi dan ritual, saya kira kajian ini masih lebih luas lagi
apalagi dengan meminjam ilmuilmu sosial lain. Sebagai penutup, saya ingin menekankan
beberapa hal sebagai kesimpulan. Pertama, living hadis merupakan satu bentuk kajian atas
praktik, tradisi, ritual, atau perilaku yang hidup di masyarakat yang memiliki landasannya di
hadis nabi. Kedua, dalam melakukan penelitian dengan model living hadis selayaknya perlu
dipastikan ditemukannya teks hadis terlebih dahulu, yang berasal dari informan. Karena jika
teks hadisnya tidak ditemukan, maka penelitiannya akan terjatuh dalam kajian-kajian yang
dilakukan dalam bidang studi sosiologi agama ataupun antropologi agama. Ketiga, kajian
living hadis masih membutuhkan metode dan pendekatan. Beberapa metode dan pendekatan
yang ditawarkan adalah fenomenologi, sebagaimana para antropolog melihat suatu tradisi
atau ritual di masyarakat; naratif studies; etnografi, dan di level analisisnya adalah salah
satunya dengan menggunakan sosiologi pengetahuan. [Wallahu a’lam]

B. SARAN

Penulis berpesan jika terdapat beberapa hal yang salah dalam penulisan ataupun materi,
diharapkan untuk memberikan beberapa saran kepada penulis, agar kedepannya bisa menjadi
lebih baik lagi dalam menulis, dan juga penulis berpesan kepada mahasiswa Indonesia
khususnya mahasiswa Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur‟an Jakarta, kita tekunkan
budaya menulis, membaca, dan memahami, supaya kita menjadi orang-orang yang berguna
bagi bangsa dan agama di masa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

24
Barbara D. Metcalf, “Living hadith in the Tablighi Jamaat” The Journal of Asian Studies , Vol. 52, No. 3 (Aug., 1993). Melalui artikel
ini Barbara mengeksplorasi gerakan Jamaah Tabligh (JT) dan mendeskripsikan mereka sebagai orang-orang yang hidup dengan

hadis. Mereka berdakwah dengan bekal buku semisal kitab “faḍail a’māl,” dan “ḥikayah al- aḥabah”. Di dalamnya Metcalf
mengeksplorasi bagaimana hadis dipergunakan oleh pengikut JT sebagai satu mekanisme kritik budaya atas realitas.

Yusuf Qardawi, Kaifa Nata’aamal ma’a as-Sunnah Nabawiyah, (Washington: al-Ma’had al-‘Alamy lil fikr al-Islamy, 1989).

Khatib al-Bagdadi, Kitab al-Kifayah fi ‘ilm ar-Riwayah, (Mesir: Matba’ah as-Sa’adah, 1972)

Shalahuddin al-Adlabi, Manhaj an-Naqd al-Matan (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1983)

Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992),

Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984).

Nurun Najwah, Ilmu Ma’anil Hadis, metode Pemahaman Hadis Nabi: Teori dan

Aplikasi, (Yogyakarta: Cahaya Pustaka, 2008). Nurun Najwah, “Rekonstruksi Pemahaman

Hadis-hadis Perempuan” Disertasi (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2004).

Kendatipun demikian, pada setiap penelitian mereka, saya selalu meminta kepada para mahasiswa agar melakukan takhrīj
dengan menggunakan software, misalnya, dengan software jawami’ kalim, yang kemudian hasil takhrīj itu diletakkan di
footnote hadis yang dibahas. Contohnya adalah bacaan iftitah di dalam shalat.
Al-Baihaqi, As-Sunan as-Ṣagir li al-Baihaqi, Juz 2, (Beirut: al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), hlm. 473, hadis nomor 847.

25

Anda mungkin juga menyukai