Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

“ILMU ILMU YANG ADA HUBUNGAN


DENGAN ILMU FIQIH”

DOSEN PENGAMPU : Lelah Nurjamilah, S.Ag. M.Pd.I


MATA KULIAH : PENGANTAR ILMU FIQIH

DISUSUN OLEH :

Aditiya Rafsanjani NPM :

INSTITUT AGAMA ISLAM CIPASUNG


FAKULTAS TARBIYAH | PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah tentang “Ilmu Ilmu yang Ada
Hubungan dengan Ilmu Fiqih” ini dapat diselesaikan dengan baik. Tidak lupa
shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada Rasulullah Muhammad
SAW, beserta keluarganya, sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya.
Makalah ini penulis buat untuk melengkapi tugas Individu dalam memenuhi
syarat UTS dan UAS untuk mata kuliah Pengantar Ilmu Fiqih dengan Dosen
Pengampu Ibu Lelah Nurjamilah,S,Ag. M.Pd.I. Penulis mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Dan
penulis juga menyadari bahwa pentingnya akan sumber bacaan dan referensi
internet yang telah membantu dalam memberikan informasi yang menjadi bahan
pembuatan makalah ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan arahan serta bimbingannya selama ini sehingga penyusunan makalah
dapat dibuat dengan sebaik-baiknya. Penulis menyadari masih banyak kekurangan
dalam penulisan makalah ini sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun demi penyempurnaan makalah ini.
Penulis mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan
kekurangan, karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT. dan kekurangan pasti
milik kita sebagai manusia. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semuanya. Aamiin..

Tasikmalaya, 12 September 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......... ................................................................................... i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 2
C. Tujuan Makalah ........................................................................................... 2
D. Manfaat Makalah ......................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
ILMU ILMU YANG ADA HUBUNGAN DENGAN ILMU FIQIH
A. Ushul Fiqih ................................................................................................... 3
1. Pengertian Ushul Fiqih........................................................................... 3
2. Kedudukan Ushul Fiqih ......................................................................... 5
3. Lingkup Bahasan dan Method Ushul Fiqih ........................................... 6
4. Tujuan dan Kegunaan Ushul Fiqih ........................................................ 9

B. Qawaidul Fiqhiyah ..................................................................................... 10


1. Pengertian Qawaidul Fiqhiyah ............................................................. 10
2. Kedudukan Qawaidul Fiqhiyah ............................................................ 11
3. Lingkup Bahasan Qawaidul Fiqhiyah .................................................. 15
4. Kegunaan Qawaidul Fiqhiyah .............................................................. 17
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................ 18
B. Saran ........................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Ilmu Fiqih adalah salah satu disiplin ilmu yang sangat penting
kedudukannya dalam kehidupan umat islam. Fiqih termasuk ilmu yang
muncul pada masa awal berkembangnya agama islam. Secara esensial
(mendasar), fiqih sudah ada pada masa Nabi Muhammad SAW, walaupun
belum menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri. Karena Semua persoalan
keagamaan yang muncul waktu itu, langsung ditanyakan kepada Nabi
Muhammad SAW. Maka seketika itu solusi permasalahan bisa terobati,
dengan bersumber pada Al-Qur’an dan sunnah. Sepeninggal Nabi
Muhammad SAW. Ilmu fiqih ini mulai berkembang, seiring dengan
timbulnya permasalahan-permasalahan yang muncul dari zaman kezaman.

Ilmu Ushul Fiqih merupakan cabang ilmu dalam Islam yang memiliki
kedudukan sangat penting. Dalam diskursus hukum Islam, ushul fiqih
merupakan konsep logis yang menjadi rumusan hukum. Dalam sejarah
yurisprudensinya, ushul fiqih memiliki perjalanan panjang hingga
mengalami kodifikasi dan tersusun dengan sistematis.

Qawaidul Fiqhiyah (Kaidah-Kaidah Fiqh) adalah suatu kebutuhan bagi


kita semua khususnya mahasiswa fakultas tarbiyah. Banyak dari kita yang
kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu
Qawaidul Fiqhiyah. Maka dari itu, penulis mencoba untuk menerangkan
tentang kaidah-kaidah fiqih, mulai dari pengertian, kedudukan, lingkup
bahasan, juga kegunaan Qawaidul Fiqhiyah.

Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqih kita akan mengetahui benang


merah yang menguasai fiqih, karena kaidah fiqih itu menjadi titik temu dari
masalah-masalah fiqih, dan lebih arif di dalam menerapkan fiqih dalam waktu
dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan.
Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial,

1
ekonomi, politik, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap problem-
problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.

Tulisan ini bertujuan untuk mengklasifikasi secara periodik tentang


ilmu Ushul Fiqih dan Qawaidul Fiqhiyyah yang ada hubungannya dengan
ilmu fiqih, namun akan didahului oleh ilmu Ushul Fiqh kemudian dilanjutkan
dengan pembahasan tentang Qawaidul Fiqhiyyah.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang akan
dibahas didalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Mengerti dan memahami pengertian Ushul Fiqih dan Qawaidul Fiqhiyyah!
2. Kedudukan ilmu Ushul Fiqih dan Qawaidul Fiqhiyyah?
3. Lingkup bahasan dan methode ilmu Ushul Fiqih dan Qawaidul Fiqhiyyah?
4. Tujuan dan kegunaan dari Ilmu Ushul Fiqih dan Qawaidul Fiqhiyyah?

C. Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui apa pengertian Ushul Fiqih dan Qawaidul Fiqhiyyah!
2. Untuk mengetahui Kedudukan ilmu Ushul Fiqih dan Qawaidul Fiqhiyyah!
3. Untuk Mengetahui dan memahami Lingkup bahasan dan methode ilmu
Ushul Fiqih dan Qawaidul Fiqhiyyah!
4. Untuk memahami Tujuan dan kegunaan dari Ilmu Ushul Fiqih dan
Qawaidul Fiqhiyyah!

D. Manfaat Makalah
1. Agar mengetahui apa pengertian Ushul Fiqih dan Qawaidul Fiqhiyyah!
2. Agar mengetahui Kedudukan ilmu Ushul Fiqih dan Qawaidul Fiqhiyyah!
3. Agar Mengetahui dan memahami Lingkup bahasan dan methode ilmu
Ushul Fiqih dan Qawaidul Fiqhiyyah!
4. Agar memahami Tujuan dan kegunaan dari Ilmu Ushul Fiqih dan
Qawaidul Fiqhiyyah!

2
BAB II
PEMBAHASAN

ILMU ILMU YANG ADA HUBUNGAN DENGAN ILMU FIQIH

A. USHUL FIQIH
1. Pengertian Ushul Fiqih
Ushul Fiqih tersusun dari dua kata, yaitu kata ushul dan kata fiqih.
Ushul (‫ )أصول‬adalah jama’ dari ashl (‫)أصل‬, yang berarti sesuatu yang menjadi
pondasi bagi yang lainnya. Dan pengertian Fiqih, secara etimologi artinya
pengetahuan atau pemahaman. Dan secara terminology, Fiqih artinya adalah
pemahaman terhadap hukum-hukum syar’i (hukum-hukum yang ditetapkan
oleh syari’at). Fiqih sifatnya amaliyah misalnya sholat, zakat, dan
sebagainya. Ushul Fiqih adalah metodologi untuk mengembangkan Syariat
Islam menjadi Yurisprudensi Islam aplikatif (Fiqih) tersebut.
Fiqih, sebagai sebuah ilmu yang diderivasi dari al-Qur’an dan Sunnah,
memerlukan kerangka teoretik atau metodologi berpikir yang dikenal dengan
Ushūl Fiqih.Ushūl Fiqih secara terminologi adalah “Pengetahuan tentang dalil-
dalil Fiqih secara umum, cara mempergunakannya serta pengetahuan tentang
orang yang menggunakan atau mengambil kesimpulan dari dalil-dalil
tersebut.” Dengan kata lain, Ushūl Fiqih merupakan kaidah-kaidah yang
digunakan sebagai alat untuk merumuskan hukum-hukum syari‟at dari dalil-
dalilnya. Oleh karena itu perlu dikenali perbedaan antara Fiqih
dan Ushūl Fiqih. Jika Fiqih membahas hukum yang bersifat praktis dari dalil-
dalil yang terperinci (Al-Qur‟an dan al-Sunnah), maka Ushūl Fiqih adalah
kaidah untuk menderivasi hukum dari dalil yang bersifat umum. Dengan kata
lain Fiqih adalah produk hukum praktis, sedang Ushūl Fiqih merupakan
perangkat teoritik atau metodologi dalam menderivasi atau memproduk
hukum.

3
Imam Abu Ishak As-Syirazi dalam Al-Luma’ menyebutkan:

Artinya, “Ushul fiqih ialah dalil-dalil penyusun fiqih, dan metode untuk
sampai pada dalil tersebut secara global,”
(Lihat As-Syirazi dalam Al-Luma’ fî Ushûlil Fiqh, Jakarta, Darul Kutub Al-
Islamiyyah, 2010 M, halaman 6).
Maksudnya adalah bahwa ushul fiqih merupakan seperangkat dalil-dalil atau
kaidah-kaidah penyusunan hukum fiqih serta metode-metode yang mesti
ditempuh agar kita bisa memanfaatkan sumber-sumber hukum Islam untuk bisa
memformulasikan sebuah hukum khususnya terkait sebuah persoalan kekinian.

Kita juga bisa menengok pemaparan Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-
Mustashfa:
‫علَى ْاﻷَحْ ك َِام مِ ْن‬ َ ‫ع ْن أَدِلﱠ ِة َه ِذ ِه ْاﻷ َ ْحك َِام َو‬
َ ‫ع ْن َم ْع ِرفَ ِة ُو ُجو ِه دَ َﻻ َلتِ َها‬ َ ٌ‫ارة‬ ُ ُ ‫أَ ﱠن أ‬
َ َ‫صو َل ْال ِف ْق ِه ِعب‬
‫صي ُل‬ ُ ‫ْث ْال ُج ْملَةُ َﻻ مِ ْن َحي‬
ِ ‫ْث الت ﱠ ْف‬ ُ ‫َحي‬
Artinya, “Ushul fiqih ialah istilah untuk (seperangkat) dalil-dalil dari hukum-
hukum syariat sekaligus pengetahuan tentang metode penunjukan dalilnya
atas hukum-hukum syariat secara global, bukan terperinci,”
(Lihat Imam Al-Ghazali, Al-Mustashfa, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah,
2002 M, halaman 5).

Dari keterangan di atas, kita dapat memahami perbedaan obyek kajian antara
fiqih dan ushul fiqih. Wilayah pembahasan dalam fiqih ialah hukum tentang
sebuah persoalan. Misalkan saja, ada sebuah persoalan, maka melalui fiqih
kita akan membahas hukum persoalan tersebut apakah wajib, sunah, haram,
dan lain sebagainya.

4
2. Kedudukan Ushul Fiqih
Semua ulama sepakat bahwa ushul fiqih menduduki posisi yang
sangat penting dalam ilmu-ilmu syariah. Imam Asy-Syatibi (w.790 H),
dalam Al-Muwafaqat, mengatakan, mempelajari ilmu ushul fiqh
merupakan sesuatu yang dharusi (sangat penting dan mutlak diperlukan),
karena melalui ilmu inilah dapat diketahui kandungan dan maksud setiap
dalil syara' (Al-quran dan hadits) sekaligus bagaimana menerapkannya.
Menurut Al-Amidy dalam kitab Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam, Siapa yang
tidak menguasai ilmu ushul fiqh, maka diragukan ilmunya, karena
tidak ada cara untuk mengetahui hukum Allah kecuali dengan ilmu
ushul fiqih Senada dengan itu, Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa
ilmuushul fiqh merupakan satu di antara tiga ilmu yang harus dikuasai
setiapulama mujtahid, dua lainya adalah hadits dan bahasa Arab. Prof.
Salam Madkur (Mesir), mengutip pendapat Al-Razy yang mengatakan
bahwa ilmu ushul fiqh adalah ilmu yang paling penting yang mesti
dimiliki setiap ulama mujtahid.
Ia begitu penting dalam menderivasi hukum. Oleh karena itu, fungsi
dan perannya mirip logika dalam filsafat. Jika logika dapat menghindarkan
seseorang dari melakukankesalahan (fallacies) dalam berargumentasi,maka
Ushūl Fiqih mencegah seorang faqih (ahli Fiqih) melakukan kesalahan
dalam menderivasi hukum.Sehingga tidak berlebihan jika para ulama
menetapkan ilmu Ushūl Fiqih sebagai salah satu prasyarat terpenting yang
harus dikuasai oleh seorang mujtahid (orang yang melakukan proses
ijtihad).
Peran Ushūl Fiqih dalam penetapan hukum-hukum Fiqih tidak
terlepas dari ketokohan Imam Syāfi’i, peletak dasar-dasar ilmu ini.
Kemiripan Ushūl Fiqih dengan logika dapat dibaca dari statemen Fakhr al-
Dīn al–Rāzi yang menyamakan Syāfi‟i dengan Aristoteles.Ada pula yang
menyamakannya dengan Descartes. Kalau Descartes meletakkan dasar
epistemologi pemikiran Barat, Syāfi’i meletakkan fondasi pemikiran Islam.

5
Jasa besar Syāfi’i sebenarnya terletak pada keberhasilannya
mentransfomasikan Ushūl Fiqih menjadi sebuah disiplin ilmu.

3. Lingkup Bahasan dan Metode


 Ruang lingkup dalam pembahasan ushul fiqh, yaitu sebagai berikut:
1. Sumber hukum Islam atau dalil-dalil yang digunakan dalam menggali
hukum syara’, baik yang disepakati maupun yang diperselisihkan.
2. Mencari jalan keluar dari dalil-dalil yang secara lahiriyah dianggap
bertentangan.
3. Pembahasan ijtihad, syarat-syarat dan sifat-sifat orang yang
melakukannya (mujtahid), baik yang menyangkut syarat-syarat umum
maupun syarat-syarat khusus keilmuan yang harus dimiliki mujtahid.
4. Pembahasan tentang hukum syara’, yang meliputi syarat-syarat dan
macam-macamnya.
5. Pembahasan tentang kaidah-kaidah yang digunakan dengan cara
menggunakannya dalam mengistinbathkan hukum dari dalil-dalil, baik
melalui kaidah bahasa maupun melalui pemahaman terhadap tujuan
yang akan dicapai oleh suatu nash (ayat atau hadist).

 Metode Ushul Fiqiyyah


Ketika belajar ushul fiqih, sering kali kita menemukan perbedaan
istinbath hukum yang dikeluarkan oleh para imam mazhab, terutama
kalangan jumhur dan Hanafiyyah. Memang kita jarang menemukannya di
kitab-kitab ushul yang digunakan bagi pemula sekali, seperti As-Sulam, dan
lain-lain setingkatnya. Namun dalam kitab ushul fiqih tingkat menengah
kita akan banyak menemukan banyak perbedaan pendapat, sekaligus alasan
perbedaan tersebut.

Suatu perbedaan tentunya bertemu di satu sebab. Dalam ushul fiqih,


disebutkan dua metode yang digunakan ulama ushul dalam menyimpulkan
suatu kaidah. Pertama, metode mutakallimin. Kedua, metode Hanafiyyah.

6
Sebagaimana dikutip dari Kitab Muhadharah fi Ushul Fiqh (Lihat
Tsuroya Muhammad Abdul Fattah, [Mesir, Jami’ah Al-Azhar: 1996],
halaman 13-15), dinamakan metode Mutakallimin sebab kebanyakan
pengarang kitab ushul dalam metode seperti ini adalah ahli kalam, terkadang
metode ini disebut juga sebagai metode As-Syafi’iyyah. Sebab Imam As-
Syafi’i orang yang pertama kali menulis kitabnya menggunakan metode ini.
Begitupun metode Hanafiyyah, disebut demikian sebab ulama-ulama
mazhab Hanafi pencetus metode ini.

1. Metode Mutakallim
Metode ini menetapkan kaidah ushul sesuai dalil yang
menunjukan pada ketetapan kaidah itu. Selama dalil itu dapat
menguatkan kaidah ini, maka ulama dalam metode ini menguatkan
kaidah dengan dalil itu. Jika tidak ada dalil yang dapat menguatkannya,
maka otomatis dihilangkan. Dalam artian, tak ada dalil jika tak ada
kaidah, dengan tanpa condong kepada satu mazhab pun, juga tidak
melihat apakah nanti cocok atau tidak dengan masalah furu’iyah dalam
fiqih.
Oleh karena demikian, kaidah ushul mereka menjadi penentu
dan metode untuk manghakimi masalah furu’ yang muncul, bukan
membantu dalam menyelaraskan kaidah dengan masalah furu’, sebab
furu’ mengikuti ushul.
Kitab-kitab ushul fiqih yang menggunakan metode ini di
antaranya, Al-‘Umdah karya Syekh Abdul Jabbar Al-Mu’tazily,
sekaligus disyarahi oleh Abul Hasan Al-Bashri (463 H), Al-Burhan karya
Imam Al-Haramain Al-Juwainy As-Syafi’i (478 H), Al-Mustashfa karya
Imam Al-Ghazali (505 H) yang nantinya diringkas oleh Muhammad bin
Umar Ar-Rozy (606H) dengan nama Al-Mahshul dan diringkas pula oleh
Saifuddin Al-Amidy dengan nama Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam.

7
2. Metode Hanafiyyah
Ulama metode ini menganggap bahwa pendahulu mereka
dalam mazhab Hanafi tidak meninggalkan kaidah bagi mereka seperti
halnya Imam As-Syafi’i. Namun, kendati demikian, mereka menjadikan
masalah-masalah furu’ dalam fiqih yang ditetapkan oleh imam
pendahulu mereka sebagai acuan yang dijadikan kaidah dalam
menentukan permasalahan furu’ yang lain.
Mereka berpegang dengan masalah furu’ yang beragam,
kemudian mengumpulkan yang serupa dengan masalah tersebut, lalu
mengekstrak kaidah dari masalah furu’ yang telah diserupakan.
Tujuannya untuk menguatkan masalah furu’ yang baru dengan
menggunakan masalah furu’ yang telah diistinbathkan oleh pendahulu
mereka.
Apabila terdapat kaidah yang bertentangan, maka mereka
berpindah dari satu kaidah ke kaidah lain yang cocok. Kerja metodologi
ini berbeda dengan metode Mutakallimin. Dalam metode Mutakallimin,
jika tidak ditemukan dalil yang menguatkannya, maka kaidah akan
dihapuskan. Simpelnya, jika metode mutakallimin dari ushul
menghasilkan furu’, maka metode Hanafiyyah dari furu’ menghasilkan
ushul (kaidah).
Kitab-kitab yang menggunakan metode Hanafiyah ini di
antaranya, Al-Ushul karya Abu Bakr bin Ahmad Ali Al-Ma’ruf (370 H),
Taqwimul Adillah karya Abu Zaid Ubaidillah bin ‘Umar Ad-Dabusy
(430 H), Al-Ushul karya As-Sarakhsi (428 H), dan Al-Ushul karya Al-
Bazdawy (482 H).

8
4. Tujuan dan Kegunaan Ilmu Ushul Fiqih
 Tujuan

Menurut Abdul Wahab Khallaf (1942), merumuskan bahwa tujuan mempelajari


ilmu ushul fiqih adalah :

1. Menerapkan kaidah-kaidah, teori, pembahasan dalil-alil secara


terperinci, dalam menghasilkan hukum syariat islam, yang diambil
dari dalil-dalil tersebut.
2. Untuk mencari kebiasaan faham dan pengertian dari agama Islam.
3. Untuk mempeljari hukum-hukum Islam yang berhubungan dengan
kehidupan manusia.
4. Kaum muslimin harus bertafaqquh artinya memperdalam
pengetahuan dalam hukum-hukum agama baik dalam bidang aqaid
dan akhlak maupun dalam bidang ibadah maupun muamalah.

 Kegunaan

Kegunaan mempelajari ilmu fiqih dirumuskan sebagai berikut :

1. Mempelajari fiqih berguna dalam memberi pemahaman tentang


berbagai aturan secara mendalam. Dengan itu kita tahu aturan-aturan
secara rinci mengenai kewajiban dan tangung jawab manusia
terhadap tuhannya, hak dan kewajiban dalam rumah tangga dan
bermasyarakat mengetahui cara bersuci, shalat, zakat, puasa, haji,
nikah, talak, rujuk, warisan dan lain-lain.
2. Mempelajari ilmu fiqih berguna sebagai patokan untuk bersikap
dalam menjalani hidup dan kehidupan dengan mengetahui fiqih kita
tahu perbuatan wajib, sunnah, mubah, makruh, haram, sah, batal.
Dengan memahami ilmu fiqih kita brusaha untuk bersikap dan
bertingkah laku menuju pada ridha allah.

9
B. QAWAIDUL FIQHIYAH
1. Pengertian Qawaidul Fiqhiyah
Qawaidul Fiqhiyyah merupakan kata majemuk yang terdiri dari dua
kata, yaitu kata awaid dan fiqhiyyah, masing–masing memiliki pengertian
tersendiri qawaid merupakan bentuk jamak dari qa’idah yang secara
etimologi diartikan dasar-dasar (fondasi) sesuatu, baik yang bersifat
abstrak, non-materi dan non-inderawi seperti ushuludin (dasar-dasar
agama)
Kaidah yang berartu dasar-dasar yang bersifat materi telah
dijelaskan dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah (2) ayat 127 dan surah An-
Nahl (16) ayat 26 yang artinya :“Dan ingatlah Ketika Ibrahim meninggikan
dasra-dasar baitullah beserta Ismail” Dan yang artinya :Maka Allah
menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya”
Itulah arti qawa’od secara Bahasa, sedangkan arti kata fiqhiyyah
berasah dari kata fiqh secara Bahasa artinya pengetahuan, pemahaman,
mengetahui kebaikan dan keburukan dalam memahaminya, dan memahami
maksud pembicara dan perkataannya. Sedangkan pengertian fiqh menurut
istilah, para ulama ahli fikih mutakhir memberikan arti fiqh secara ekslusif,
yaitu berkisar pada hukum-hukum yanf amaly (praktis) yang diambil dari
dalil-dalil yang tafshily (terperinci).
Menurut Jamaludin al Asnawy (w.722 H). fiqh adalah “ Ilmu tentang
hukum-hukum syara’ yang bersifat amaly (praktis) yang diperoleh dari
dali-dalilnya yang terperinci”
Secara etimologi kata fiqh lebih dekat kepada makna sebagaimana
firman Allah SWT. Dalam surat At-Taubah (9)ayat 122 yang artinya “Dan
tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan
perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak
pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi
peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka
dapat menjaga dirinya”. Juga tertulis dalam hadist nabi yang artinya
“Siapa yang dikehendaki Allah SWT. Mendapatkan kebaikan, akan
diberikannya pemahaman dalam agama”(HR.Muslim dan Muawiyyah)

10
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa qaqa’id fiqhiyyah
menurut etimologi (Bahasa) berarti dasar-dasar atau fondasi ilmu atau
pemahaman.
Pengertian Qawa’id Fiqhiyyah menurut istilah dalam hukum islam
menurut Al-Taflazany (w.791 H) adalah “Bahwasannya qawaid fiqhiyyah
adalah suatu hukum yang bersifat universal (kully) yang dapat
diaplikasikan kepada seluruh juz’anya (bagiannya) agar dapat
diidentifikasi hukum-hukum juz’I (bagian) tersebut darinya”. Definisi yang
dikemukakan oleh Al-Taflazany ini sama dengan definisi yang
dikemukakan oleh ulama lainnya, seperti Al-Jurjany (w.816 H), dan Al-
Kafawy Al Hanafi (w.1094 H).
Adapun menurut Sebagian ulama lainyya, mengidentifikasi qawaid
fiqhiyyah sebagai sesuatu yang bersifat universal (kulliyat), dan adapula
yang mengartikannya sebagai sesuatu yang bersifat mayoritas (aghlabiyyah
atau aktsariyyah).
Dari pendapat pendapat yang dikemukakan di atas, mayoritas ulama
memandang bahwa qawaid fiqhiyyah adalah aturan-aturan yang
menampung perbuatan-perbuatan mukallaf. Qawaid Fiqhiyyah merupakan
aturan-aturan yang berkaitan langsung dengan perbuatan para mukallaf,
artinya bahwa yang menjadi ruang lingkup qawaid fiqhiyyah adalah
perbuatan mukallaf. Dan,dapat dipahamu juga bahwa qawaid fiqhiyyah
adalah aturan -aturan dasar tentang perbuatan-perbuatan mukallaf yang
dapat menampung hukum-hukum syara’.

2. Kedudukan Qawaidul Fiqhiyyah


Kedudukan al-Qawa’id al-Fiqhiyah Kedudukan al-qawa’id al-
fiqhiyah dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu dalil pelengkap dan dalil
mandiri. Yang dimaksud dengan dalil pelengkap adalah bahwa al-qawa’id
al-fiqhiyah digunakan sebagai dalil setelah menggunakan dua dalil pokok,
yaitu al-Qur’an dan Sunnah. Sedangkan yang dimaksud dengan dalil
mandiri adalah bahwa al-qaw’id al-fiqhiyah digunakan sebagai dalil
hukum yang berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok.
a. Al-Qawa’id al-Fiqhiyah Sebagai Dalil Pelengkap
Mengenai al-qawa’id al-fiqhiyah yang digunakan sebagai dalil
pelengkap tidak ada ulama yang memperdebatkannya, artinya ulama

11
“sepakat” tentang kebolehan menjadikan al-qawa’id al-fiqhiyah
sebagai dalil pelengkap.
b. Al-Qawa’id Al-Fiqhiyah Sebagai Dalil Mandiri
Ulama berbeda pendapat tentang kedudukan al-qawa’id al-fiqhiyah
sebagai dalil hukum mandiri. Imam al-Haramain al-Juwaini
berpendapat bahwa al-qawa’id al-fiqhiyah boleh dijadikan dalil
mandiri. Pendapat ini didasarkan pada aspek penyandaran, karena al-
qawa’id al-fiqhiyah adalah cara untuk mempermudah dalam
memahami beberapa ayat al-Qur’an dan Sunnah. Oleh karena itu,
memahami dan menguasai satu al-qawa’id berarti telah memahami dan
menguasai beberapa ayat al-Qur’an dan Hadits yang dicakupnya.
Begitu pula berdalil dengan satu al-qawa’id al-fiqhiyah berarti telah
berdalil dengan beberapa ayat al-Qur’an dan Sunnah yang tercakup
dalam al-qawa’id tersebut.
Al-Hamawi menolak pendapat Imam Haramain al-Juwayni.
Menurut al-Hamawi, berdalil hanya dengan al-qawa’id al-fiqhiyah
tidak dibolehkan. Lebih lanjut al-Hamawi mengatakan bahwa setiap
qa’idah bersifat pada umumnya, aghlabiyat, atau aktsariyat. Oleh
karena itu, setiap al-qawa’id mempunyai pengecualian-pengecualian
(al-mustasnayat). Karena memiki pengecualian yang tidak diketahui
secara pasti pengecualian-pengecualian tersebut, al-qawa’id al-
fiqhiyah tidak dijadikan sebagai dalil yang berdiri sendiri merupakan
jalan keluar yang lebih bijak. Atas dasar pemikiran tersebut, al-
Hamawi menolak menjadikan al-qawa’id al-fiqhiyah sebagai dalil
hukum mandiri, karena bisa saja persoalan yang sedang ditetapkan
atau diputuskan hukumnya termasuk pada kelompok pengecualian.
Pendapat al-Hamawi didasarkan pada sifat al-qawa’id. Al-qawa’id
bersifat aghlabiyat. Oleh karena itu, setiap qa’idah mempunyai al-
mustasnayat. Hal-hal yang dikecualikan belum diketahui secara pasti,
maka tidak menjadikan al-qawa’id al-fiqhiyiyah sebagai dalil hukum

12
yang berdiri sendiri merupakan tindakan kehati-hatian (ihtiyath) agar
terhindar dari kekeliruan.

Perbedaan pendapat diatas terjadi karena perbedaan sudut


pandang, al-Juwayni mendasari pandangannya atas asumsi bahwa al-
qawa’id al-fiqhiyah dibentuk berdasarkan beberapa nash-nash al-
Qur’an dan Sunnah, sedangkan al-Hamawi mendasari pendapatnya
pada sifat al-qawa’id yang aghlabiyat. Tampaknya, sekalipun al-
qawa’id bersifat aghlabiyat, terdapat al-qawa’id al-asasi yang
disepakati kebenarannya oleh semua madzhab fiqih. Kaidah
kelompok ini, sekalipun sifatnya aghlabiyat dan karenanya memiliki
al-mustasnayat, kemungkinan pengecualiannya sangat kecil, karena
al-qawa’id al-asasi mempunyai sandaran yang kuat dalam al-Qur’an
dan Sunnah. Oleh karena itu, apabila ada ulama yang menjadikan al-
qawa’id al-fiqhiyah al-asasiyah sebagai dalil hukum mandiri dalam
istinbath hukum, maka tidak perlu disalahkan.
Berdasarkan penjelasan kegunaan, manfaat dan kedudukan al-
qawa’id al-fiqhiyah diatas, maka dapat diketahui bahwa pada
dasarnya al-qawa’id al-fiqhiyah dapat dijadikan sebagai dalil dalam
penggalian hukum kontemporer apabila al-qawa’id itu didasarkan
kepada al-Qur’an dan al-Hadits, yaitu al-Qur’an dan al-Hadits, seperti
bolehnya membuat kaidah :
1. ,kaidah ini didasarkan pada firman AllahSWT:

(Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awaliyah, (Jakarta, Sa‟adiyah Putra,


t.t.,), h. 29

Artinya, : ... “Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama
suatu kesempitan...” ( Q.S. Al-Hajj : 78 )

2. ,,kaidah ini didasarkan atas Hadits Nabi


Muhammad Saw:

13
Artinya,“Sesungguhnya amal perbuatan itu disertai niat dan setiap
orang mendapat balasan amal sesuai dengan niatnya”.( HR.Bukhari)

Sedangkan alqawa’id yang berdasarkan kesimpulan dari ahli


fiqh ketika meneliti terhadap masalah-masalah umum yang masih
belum jelas, maksudnya masih dipertentangkan keabsahannya untuk
dijadikan sebagai dalil, menurut sebagian ulama madzhab empat, hal
tersebut tidak dapat dijadikan sebagai dalil atau pegangan dalam
mengambil hukum, karena mengeluarkan hukum dengan metode
seperti itu tidak dapat dijamin kebenarannya dan al-qawa’id itu hanya
dijadikan sebagai penguat saja. Sebab (menurut hemat penulis), para
ahli fiqih ketika tidak menemukan dasar yang kuat dari al-Qur’an dan
Hadits mereka tidak akan begitu saja memutuskan hukum hanya
bersandarkan pada al-qawa’id seperti ini. Oleh karenanya, tidak
dibenarkan memutuskan hukum hanya berdasarkan al-qawa’id ini,
dan juga tidak dibenarkan mengeluarkan furu’ dari al-qawa’id itu.
Selain itu, tidak logis menjadikan benang merah dari berbagai
persoalan fiqh. Al-qawa’id ini hanya sebatas sebagai penguat dalam
mengambil keputusan-keputusan baru pada masalah-masalah fiqih.

Diantara ulama yang tidak mengesahkan al-qawa’id yang


diperoleh dari meneliti masalah fiqh yang pelik untuk dijadikan dalil
dalam memutuskan hukum adalah Ibnu Farhun. Akan tetapi, sebagian
ulama mengatakan sah untuk dijadikan sebagai dalil seperti pendapat
al-Qarafi. Beliau mengatakan, hukum yang diputuskan oleh seorang
Qadli dapat dibatalkan apabila bertentangan dengan al-qawa’id yang
selamat dari pertentangan. Dalam hal ini Imam al-Qarafi
menempatkan al-qawa’id sebagai dalil yang kuat yang dapat
menggugurkan hukum yang telah diputuskan oleh seorang Qadli jika
hukum itu bertentangan dengan qa’idah yang didasarkan pada al-

14
Qur’an dan al-Hadits, ijma’ dan qiyas dengan catatan dalil-dalil itu
tidak bertentangan satu sama lainnya.

Pendapat diatas juga dikuatkan oleh Ibnu Arafah dari golongan


madzhab Maliki. Beliau mengatakan, bahwa boleh menisbatkan pendapat
pada madzhab Maliki apabila pendapat itu didasarkan pada al-qawa’id al-
fiqhiyah. Beliau pernah ditanya; apakah boleh menisbatkan suatu pendapat
pada madzhab Maliki bagi orang yang tahu banyak tentang al-qawa’id
madzhab dan pendapat-pendapatnya? Beliau menjawab : boleh, setelah
ada pemahaman mendalam terhadap kaidah madzhab. Sedangkan bagi
orang yang tidak tahu banyak tentang al-qawa’id dan pendapat madzhab,
maka tidak diperbolehkan. Pendapat-pendapat ini membuktikan sahnya
memutuskan hukum yang didasarkan pada al-qawa’id al-fiqhiyah.

3. Lingkup Bahasan Qawaidul Fiqhiyyah


Menurut M. Az-Zuhayliy dalam kitabnya al-Qawa’id al-fiqhiyyah
berdasarkan cakupannya yg luas terhadap cabang dan permasalahan fiqih,
serta berdasarkan disepakati atau diperselisihkannya qawa’id fiqhiyyah
tersebut oleh madzhab-madzhab atau satu madzhab tertentu, terbagi pada
4 bagian, yaitu :

a. Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Asasiyyah al- Kubra,

Yaitu qaidah-qaidah fiqih yangg bersifat dasar dan mencakup berbagai


bab dan permasalahan fiqih. Qaidah-qaidah ini disepakati oleh seluruh
madzhab. Yang termasuk kategori ini adalah :

1. Al-Umuru bi maqashidiha.
2. Al-Yaqinu la Yuzalu bi asy-Syakk.
3. Al-Masyaqqatu Tajlib at- Taysir.
4. Adh-Dhararu Yuzal.
5. Al- ’Adatu Muhakkamah.

15
b. Al-Qawa’id al-Kulliyyah

Yaitu qawa’id yang menyeluruh yang diterima oleh madzhab-madzhab,


tetapi cabang-cabang dan cakupannya lebih sedikit dari pada qawa’id
yang lalu. Seperti kaidah : al-Kharaju bi adh-dhaman/Hak mendapatkan
hasil disebabkan oleh keharusan menanggung kerugian, dan kaidah :
adh-Dharar al- Asyaddu yudfa’ bi adh-Dharar al-Akhaf Bahaya yang
lebih besar dihadapi dengan bahaya yang lebih ringan. Banyak kaidah-
kaidah ini masuk pada kaidah yang 5, atau masuk di bawah kaidah yg
lebih umum.

c. Al-Qawa’id al-Madzhabiyyah (Kaidah Madzhab)

Yaitu kaidah-kaidah yang menyeluruh pada sebagian madzhab, tidak


pada madzhab yang lain. Kaidah ini terbagi pada 2 bagian :

1. Kaidah yang ditetapkan dan disepakati pada satu madzhab.


2. Kaidah yang diperselisihkan pada satu madzhab.

Contoh, kaidah : ar-Rukhash la Tunathu bi al- Ma’ashiy Dispensasi


tidak didapatkan karena maksiat. Kaidah ini masyhur di kalangan
madzhab Syafi’i dan Hanbali, tidak di kalangan mazhab Hanafi, dan
dirinci di kalangan madzhab Maliki.

d. Al-Qawa’id al-Mukhtalaf fiha fi al-Madzhab al-Wahid

Yaitu kaidah yang diperselisihkan dalam satu madzhab. Kaidah-kaidah


itu diaplikasikan dalam satu furu’ (cabang) fiqh tidak pada furu’ yg lain,
dan diperselisihkan dalam furu’ satu madzhab.

Contoh, kaidah : Hal al-’Ibroh bi al-Hal aw bi al-Maal?/Apakah hukum


yang dianggap itu pada waktu sekarang atau waktu nanti? Kaidah ini
diperselisihkan pada madzhab Syafi’i.

16
4. Kegunaan Ilmu Qawaidul Fiqhiyyah
Menurut Hasbi As-Shiddieqy, berpendapat bahwa keunggulan
seorang faqih itu dilihat dari sejauh mana pendalamannya terhadap
kaidah-kaidah fiqih sebab kaidah-kaidah fiqih mengandung rahasia dan
hikmah.
Diantara fungsi dari Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah adalah sebagai berikut :
1. Dapat memahami dan mengetahui asas-asas umum fiqh, Karena
terdapat saling keterkaitan antara keduanya, dan juga mengetahui
benang merah yang mewarnai fiqh.
2. Memudahkan dalam menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang
dihadapi, dengan cara menganalisis masalah tersebut lalu
dikelompokkan pada salah satu kaidah yang ada.
3. Menjadikan arif saat mengimplementasikan fiqh sesuai situasi dan
kondisi untuk keadaan dan adat yang berbeda.
4. Membuka rahasia-rahasia dan hikmah-hikmah yang ada dalam ajaran
hukum islam yang mendekati pada kebenaran, kebaikan, dan
keindahan.

Fadlolan Musyaffa’ dalam bukunya “Islam Agama Mudah” memberikan


penjelasan terkait dengan fungsi dari kaidah fiqih sebagai berikut :
1. Menginventarisir masalah-masalah yang ada untuk dicarikan
legitimasi hukumnya.
2. Menyatukan hukum-hukum atas beragam persoalan yang mempunyai
kesamaan illat.
3. Kaidah fiqih mampu memberikan informasi yang akurat di dalam
mengelaborasi hukum syar’i secara luas. Berbeda dengan kaidah ushul
yang hanya berorientasi kepada penggalian makna dan substansi nash.

17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ushul fiqh mempunyai pengertian sebagai ilmu yang menjelaskan
kepada Mujtahid tentang jalan-jalan yang harus ditempuh dalam mengambil
hukum-hukum dari nash dan dari dalil-dalil lain yang disandarkan kepada
nash itu sendiri seperti Al-Qur’an, Sunah Rasulullah, Ijma’, dan Qiyas
Semua ulama sepakat bahwa ushul fiqih menduduki posisi yang
sangat penting.Imam Asy-Syatibi (w.790 H),dalam Al-Muwafaqat,
mengatakan, mempelajari ilmu ushul fiqh merupakan sesuatu yang dharusi
(sangat penting dan mutlak diperlukan)Ruang lingkup Ushul fiqih yang dibahas
secara global adalah sebagai sumber dan dalil hukum dengan berbagai
permasalahannya, bagaimana memanfaatkan sumber dan dalil hukum tersebut
dan lain-lain.
Perbedaan antara ilmu fiiqh dengan ilmu ushul Fiqih adalah kalau ilmu
fiqih berbicara tentang hukum dari suatu perbuatan, sedangkan ilmu ushul fiqh
berbicara tentang metode dan proses bagaimanamenemukan hukum itu sendiri.
Manfaat ataupun kegunaan Mempelajari fiqih berguna dalam memberi
pemahaman tentang berbagai aturan secara mendalam. Dan juga berguna
sebagai patokan untuk bersikap dalam menjalani hidup dan kehidupan dengan
mngetahui fiqih kita tahu perbuatan wajib, sunnah, mubah, makruh, haram, sah,
batal.

Qawaidul Fiqhiyyah, Kemunculan kaidah-kaidah fikih (al-qawaid al-


fiqhiyyah) bukanlah tanpa sebab, ia muncul atas daya pikir (ijtihad) ulama yang
menelusuri hukum-hukum serta melihat problematika kehidupan di masyarakat
yang terus berkembang. Kaidah fiqih dirumuskan dan muncul lantaran ada
landasan dari nash al-Qur’an maupun as-Sunnah yang berisi konsekuensi
hukum general yang dapat mencakup masalah yang spesifik atau khusus.

18
Diantara fungsi dari Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah adalah sebagai berikut :
1. Dapat memahami dan mengetahui asas-asas umum fiqh, Karena terdapat
saling keterkaitan antara keduanya, dan juga mengetahui benang merah
yang mewarnai fiqh.
2. Memudahkan dalam menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang
dihadapi, dengan cara menganalisis masalah tersebut lalu dikelompokkan
pada salah satu kaidah yang ada.
3. Menjadikan arif saat mengimplementasikan fiqh sesuai situasi dan kondisi
untuk keadaan dan adat yang berbeda.
4. Membuka rahasia-rahasia dan hikmah-hikmah yang ada dalam ajaran
hukum islam yang mendekati pada kebenaran, kebaikan, dan keindahan.

Masalah-masalah kehidupan akan terus bermunculan.Berangkat dari


keniscayaan ini maka hukum juga tidak akan berhenti pada satu titik. Ia akan
terus berkembang, sehingga tidak menutup kemungkinan akan banyak lagi
muncul kaidah fiqih yang nantinya dapat berfungsi sebagai alat bantu dalam
menggali hukum-hukum Islam.

B. Saran
Menurut penulis masih banyak yang perlu dipelajari dalam kaidah-kaidah
qawaidul Fiqhiyyah, pada pembahasan Qawaidul Fiqhiyyah ini supaya
mahasiswa lebih memahami bagaiamana makna, sumber, dan aplikasi yang
terdapat dalam kaidah Qawaidul Fiqhiyyah.

19
DAFTAR PUSTAKA

Sahroji,Muhammad Ibn.2018. “ Pengertian dan Cakupan Kajian Ushul Fiqih”


https://islam.nu.or.id/post/read/86034. Diakses pada tanggal 12 September 2021
Pukul 07.00 WIB.

Ushul,Fiqih. “Pengertian Ushul Fiqih - Ushul Fiqih” https://ushulfiqih.com/pengertian-


ushul-fiqih/. Diakses Pada tanggal 12 September 2021 Pukul 07.15 WIB

Khusnan.Ach. “Urgensi Ushul Fiqih dan Qawaid Fiqhiyah”


https://media.neliti.com/media/publications/332483-urgensi-ushul-fiqh-dan-
qawaid-fiqiyah-da-48f90a76. Diakses pada tanggal 12 September 2021 Pukul 09.25
WIB

Yusuf.Wakid.2017. “pengertian tujuan ruang lingkup perkembangan dan aliran


dalam ushul fiqih”https://wakidyusuf.wordpress.com/2017/02/05/pengertian
tujuan-ruang-lingkup-perkembangan-dan-aliran-dalam-ushul-fiqh/. Diakses pada
tanggal 12 September 2021 pukul 12.45 WIB

Ushul.fiqih.2018. “Ini Dua Arus Besar Metode Ushul Fiqih dalam Islam”.Ini Dua
Arus Besar Metode Ushul Fiqih dalam Islam (nu.or.id). Diakses pada tanggal 12
September 2021 Pukul 11.20 WIB

Sari.Tita.Novita.2015."pengertian-qawaidul-fiqhiyyah”
https://www.slideshare.net/TitaNovitaSari/pengertian-qawaid-fiqhiyyah. Diakses
pada tanggal 12 September 2021 Pukul 14.00 WIB

Badarudin.2012.“kedudukan-qawaidul-fiqhiyyah-dalam-islam”
https://www.iaimnumetrolampung.ac.id/library/index.php?p=show_detail&id=32
696&keywords=. Diakses pada tanggal 12 September 2021 Pukul 13.11 WIB
Basyir.Abdul.2012.“ruang-lingkup-qawaidul-fiqhiyyah”
https://abdulbasyiir.blogspot.com/2012/11/pengertian-ruang-lingkup-qawaid.html.
Diakses pada tanggal 12 September 2021 Pukul 14.22

Muiz.Abdul.2020.“Kegunaan-Qawaidul-Fiqhiyyah”
https://al-afkar.com/index.php/Afkar_Journal. Diakses pada tanggal 12 September
2021 Pukul 16.25 WIB

Anda mungkin juga menyukai