Anda di halaman 1dari 7

Mahmoed Joenoes, Bapak Pendidikan Islam

Indonesia

Ilustrasi Mahmoed Joenoes. tirto.id/Gery

Oleh: Iswara N Raditya - 16 Januari 2018


Dibaca Normal 3 menit
Dimasukkannya mata pelajaran Agama Islam dalam kurikulum pendidikan nasional adalah
upaya Mahmoed Joenoes.
tirto.id - Pada 1931, Mahmoed Joenoes pulang dengan mengantongi ijazah magister dari
Universitas Al-Azhar, Mesir. Ia kemudian membesarkan sekolah-madrasah bernama Madras
School di tanah kelahirannya, Sumatera Barat, kendati akhirnya ditutup paksa pemerintah
kolonial dua tahun berselang.

Mahmoed tak patah arang. Ia lantas memimpin sekolah untuk mendidik calon guru, Normal
Islam School (NIS) atau Kulliyyatul Muallimin Al-Islamiyyaah, di Padang. Di sekolah ini,
Mahmoed memasukkan mata pelajaran agama Islam ke dalam kurikulum. Ia adalah orang
Indonesia pertama yang melakukannya sepanjang sejarah pendidikan nasional.

Kelak, pada 1950 atau setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda, Mahmoed mengusulkan hal
serupa kepada pemerintah Indonesia, yakni agar mata pelajaran agama Islam dimasukkan ke
kurikulum pendidikan nasional. Usul Mahmoed ternyata mendapat respons positif dan diterima.

Baca juga: Relasi Sempurna Sarmidi Mangunsarkoro & Ki Hadjar Dewantara

Itulah peran besar Mahmoed Joenoes, selain banyak gebrakan lainnya demi memajukan
pendidikan nasional. Wafat di Jakarta pada 16 Januari 1982 atau genap 36 tahun lalu, seharusnya
nama Mahmoed Joenoes bisa disejajarkan dengan Ki Hadjar Dewantara dan para begawan
pendidikan lain.

Cemerlang Sejak Belia


Mahmoed Joenoes (ejaan baru: Mahmud Yunus), seperti diungkap Herry Mohammad dalam
Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20 (2006), lahir di Sungayang, kini termasuk
wilayah Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, pada 10 Februari 1899 (hlm. 85). Bakat
jeniusnya sudah tampak sedari dini. Buktinya, saat baru berusia 14 tahun, ia sudah dipercaya
menjadi guru bantu di Madras School.

Madras School dipimpin ulama besar yang terkenal inovatif, Muhammad Thaib Umar. Menurut
Yulizal Yunus dan kawan-kawan dalam Beberapa Ulama di Sumatera Barat (2008), guru
Mahmoed Joenoes ini adalah pelopor penggunaan bahasa Indonesia dalam khotbah salat Jumat
dan khotbah salat hari raya yang sebelumnya selalu memakai bahasa Arab (hlm. 164).

Mahmoed dipercaya menggantikannya untuk memimpin Madras School saat Thaib Umar jatuh
sakit pada 1917. Kala itu, umurnya baru 18 tahun. Mahmoed juga selalu mewakili gurunya
dalam acara-acara penting, termasuk Rapat Besar Ulama Minangkabau pada 1919 yang
melahirkan Persatuan Guru Agama Islam (PGAI).

Baca juga: Pendidikan Tanpa Sekolah ala Agus Salim

Semangat muda Mahmoed memang tengah bergelora. Ia merintis perkumpulan pelajar Islam
Sumatera Thawalib cabang Sungayang. Seperti dituturkan Gouzali Saydam dalam 55 Tokoh
Indonesia Asal Minangkabau di Pentas Nasional (2009), Mahmoed eksis pula lewat tulisan
dengan menerbitkan majalah al-Baysir sejak Februari 1920 (hlm. 161). Kelak, ia juga terlibat
dalam penerbitan media-media lainnya termasuk al-Munir, al-Manar, dan al-Bayan.

Mahmoed bertekad melanjutkan studi ke Al-Azhar, Mesir. Dalam buku Riwayat Hidup Prof. Dr.
H. Mahmud Yunus (1982) dikisahkan, niat tersebut sempat nyaris gagal karena terkendala
masalah visa. Beruntung, pada Maret 1923, Mahmoed bisa berangkat meski harus melalui
Penang, Malaysia (hlm. 21).

Maestro Pengajaran Islam


Mahmoed Joenoes menunaikan ibadah haji sebelum sampai Kairo. Selepas itu, pada usia 24, ia
menjadi mahasiswa Al-Azhar. Dalam Schools and Politics: The Kaum Muda Movement in West
Sumatra 1927-1933 (2009), Taufik Abdullah menyebut, hanya butuh setahun bagi Mahmoed
untuk mendapatkan ijazah Syahadah Alimiyah yang setara dengan magister (hlm. 28). Ia adalah
salah satu orang Indonesia pertama yang lulus dari Al-Azhar.

Setelah lulus, Mahmoed tetap di Mesir, meneruskan studi di Darul Ulum (kini menjadi bagian
dari Universitas Kairo) untuk memperdalam ilmu kependidikannya. Ia baru pulang ke tanah air
pada Oktober 1930.

Tiba di kampung halaman pada awal 1931, Mahmoed kembali ke Madras School untuk
mengembangkan sekolah yang membesarkan namanya itu. Di sana, seperti dijelaskan Rosnani
Hashim dalam Reclaiming the Conversation: Islamic Intellectual Tradition in the Malay
Archipelago (2010), Mahmoed menerapkan konsep yang lebih modern, termasuk mengenalkan
pembagian jenjang untuk madrasah, yakni Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah (hlm. 181).

Sayangnya, Madras School harus tutup pada 1933 karena kebijakan Ordonansi Sekolah Liar
(Wildeschoolen Ordonantie) yang mewajibkan tiap sekolah memiliki izin resmi dari pemerintah
kolonial. Sementara di Jawa, Ki Hadjar Dewantara dengan Taman Siswa-nya menentang
kebijakan tersebut.

Baca juga: Gaya Radikal Ki Hadjar Dewantara

Mahmoed Joenoes lantas memimpin Normal Islam School (NIS) atau Kulliyyatul Muallimin Al-
Islamiyyaah, sekolah pendidikan guru yang dibentuk PGAI pada 1931. Di sekolah yang
bertempat di Padang inilah Mahmoed memasukkan mata pelajaran Pendidikan Agama Islam
dalam kurikulumnya. Itu untuk pertama kalinya diberlakukan di Hindia Belanda.

Ismail Suardi Wekke & Mat Busri dalam Kepemimpinan Transformatif Pendidikan Islam (2016)
menuliskan, NIS terbilang sekolah modern saat itu, dari kurikulumnya maupun didaktik dan
metodiknya, di samping pula bangunannya (hlm. 72). Bahkan, NIS satu-satunya sekolah yang
memiliki laboratorium fisika dan kimia di Sumatera Barat. Peran Mahmoed dengan seabrek ilmu
barunya dari Mesir berperan besar dalam hal ini.

Tahun 1938, Mahmoed Joenoes undur diri dari NIS. Empat tahun kemudian, ia kembali
memimpin sekolah itu hingga setelah Indonesia merdeka. Dari NIS, Mahmoed bersama-sama
orang-orang PGAI lainnya turut mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI) di Padang dan ditunjuk
sebagai ketuanya sejak 1 November 1940.

Saat itu, seperti dikutip dari buku Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (2016) karya Sofyan
Rofi, Mahmoed Joenoes menyatakan bahwa STI adalah perguruan tinggi pertama di Sumatera
Barat, bahkan di Indonesia (hlm. 89). Namun, eksistensi STI hanya sebentar karena ditutup
paksa oleh pemerintah pendudukan Jepang.

Dedikasi Besar Tanpa Ketenaran


Kiprah Mahmoed Joenoes masih berlanjut di zaman Jepang kendati STI tidak beroperasi lagi. Ia
kemudian turut membidani berdirinya Majelis Islam Tinggi (MIT) Minangkabau.

Dalam Perkembangan Pendidikan Islam di Nusantara (2004), Fauzan Asy mencatat bahwa pada
1943, Mahmoed, sebagai perwakilan MIT, mengusulkan kepada pemerintah pendudukan Jepang
agar mata pelajaran agama Islam dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan (hlm. 179).
Ternyata, upayanya membuahkan hasil.

Baca juga: Cara Membela Tanah Air Ala Gatot Mangkoepradja

Mahmoed juga mendukung kebijakan pemerintah Jepang membentuk paramiliter untuk


mempertahankan diri jika Sekutu datang. Ia ingin agar para pemuda mendapatkan pelatihan
militer yang pastinya berguna. Dan memang, para pemuda ini nantinya berperan penting dalam
perang mempertahankan kemerdekaan selama masa Revolusi (1945-1949).

Setelah Indonesia merdeka, mata pelajaran agama Islam mulai diterapkan di seluruh Sumatera
Barat sejak 1 April 1946 berkat andil Mahmoed. Ia juga ditunjuk oleh Jawatan Pengajaran
Sumatera Barat untuk menyusun kurikulum sekaligus menulis buku-buku panduan untuk
pegangan guru.

Upaya Mahmoed Joenoes meningkat setahun berselang. Deliar Noer dalam Administrasi Islam
di Indonesia (1983) menuliskan bahwa mulai Maret 1947, atas upaya Mahmoed, kurikulum
pendidikan di seluruh wilayah Sumatera resmi menyertakan mata pelajaran agama Islam (hlm.
56).

Ketika Bukittinggi sempat menjadi ibukota negara seiring berdirinya Pemerintahan Darurat
Republik Indonesia (PDRI) pada 1948, Mahmoed pun turut mengambil peran. Ia memprakarsai
dibukanya sekolah-sekolah darurat serta mengusulkan didirikannya Madrasah Tsanawiyah di
seluruh wilayah Sumatera.

Baca juga: Jalan Perlawanan Mantan Pentolan PDRI

Perjuangan Mahmoed Joenoes mencapai puncaknya setelah Departemen Pendidikan dan


Pengajaran RI menetapkan bahwa mata pelajaran agama Islam menjadi bagian resmi dari
kurikulum pendidikan nasional. Kebijakan ini mulai diajarkan di setiap jenjang sekolah negeri
maupun swasta pada 20 Januari 1951 (Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia,
1979: 358).

Masih banyak sumbangsih Mahmoed Joenoes untuk pendidikan nasional, termasuk turut
membidani berdirinya Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta. STI kemudian menjadi Universitas
Islam Indonesia (UII) seiring kepindahan ibukota RI ke Yogyakarta pada 1946.

Ia juga ditunjuk sebagai rektor pertama Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) yang didirikan
Departemen Agama pada 1 Juni 1957. Nantinya, atas usulan Mahmoed, ADIA dilebur dengan
Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN).
Saat ini, banyak IAIN tersebut berubah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Mahmoed
sendiri sempat menjabat Rektor IAIN Imam Bonjol di Padang.

Baca juga: Gubernur Sumatera Pertama dan Satu-satunya

Mahmoed kerap pula mewakili Departemen Agama mengikuti kunjungan kerja atau perhelatan
Islam internasional di berbagai negara. Sepanjang hidupnya, Mahmoed telah menulis lebih dari
75 judul buku yang masih dijadikan rujukan untuk pengajaran sekolah Islam sampai saat ini.
Sudah sepantasnya Mahmoed Joenoes dikenang sebagai Bapak Pendidikan Islam Indonesia.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan menarik lainnya Iswara N Raditya
(tirto.id - Pendidikan)

Reporter: Iswara N Raditya


Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia Ahsan
Sumbangsih Mahmoed Joenoes sebenarnya tidak kalah dengan Ki Hadjar Dewantara.
Populer
Di Balik Terpilihnya Riza Patria Menjadi Cawagub DKI 1
Menjegal PKS Menduduki Kursi Wakil Gubernur DKI Jakarta 2
Berbelit Izin Formula E, Ada Dendam Politik ke Anies Baswedan? 3
Mengapa Parasite Layak Memborong Oscar di Academy Awards ke-92? 4
Gagal Dipuji, Jerat Pidana & Sanksi Etik Kini Hantui Andre Rosiade 5
Jimat Peserta Tes CPNS: dari Garam, Kemenyan, hingga Aksara Arab 6
Sejarah Konferensi Yalta & Betapa Licinnya Stalin Pecundangi Sekutu 7
Anies Joker & Risma Ibu Kodok: Beda Polisi Tangani Laporan Keduanya 8
Dugaan Perkosaan Kadinkes Papua: IDI & Mendagri Didesak Menindak 9

Infografik Instagram

Anda mungkin juga menyukai