Anda di halaman 1dari 19

JISA: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama

Prodi Sosiologi Agama Fakultas Ilmu Sosial UIN SU Medan


Vol.1, No.1 , Juni Tahun 2018

ANALISIS KEBIJAKAN PEMERINTAH KOLONIAL BELANDA TERHADAP


PENDIDIKAN ISLAM

Solihah Titin Sumanti


Dosen Sejarah Kebudayaan Islam
Fakultas Ilmu Sosial UIN Sumatera Utara
Laila_tien@yahoo.com

Abstrak

Kedatangan Belanda sebagai penjajah ke Nusantara, Indonesia banyak membawa


perubahan dalam segala sistem yang sudah ada, khususnya bagi masyarakat
muslim yang dulu pernah ada dalam kerajaan-kerajaan muslim yang kuat. Pada
saat daerah nusantara sudah dikuasai penjajah kolonial maka banyak kebijakan
yang diterapkannya baik dari segi politik, sosial maupun ekonomi yang agak
berbeda dengan sebelumnya. Kebijakan-kebijakan tersebut pada masanya
berdampak pada kebijakan pendidikan yang diatur kemudian oleh Belanda,
termasuk dari gurunya, materi yang disampaikan sampai, sarana-prasana yang
mendukung proses pembelajaran tersebut dan lain-lain. Bahkan Kebijakan pada
pendirian sekolah agamapun diatur yang semuanya diharapkan tidak
mengganggu pada aturan yang sudah ditetapkan oleh Belanda. Sehingga
penganalisaan terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda
selama mereka menjajah di Indonesia ternyata banyak yang merugikan ummat
Islam. Sebagai contoh banyak tamatan-tamatan dari sekolah agama tidak
diterima, kemudian guru-guru agama yang dimarginalkan bahkan materinya
harus dapat izin dari pemerintahan Belanda, setiap proses pembelajarannya
selalu diamati karena dikhawatirkan terjadinya pemberontakan. Hal ini
menjadikan pendidikan Islam kurang leluasa dan sulit berkembang. Walaupun
demikian usaha untuk terus memperjuangkan dan mempertahankan pendidikan
Islam diwujudkan terus dengan mendirikan beberapa lembaga pendidikan
seperti pesantren maupun madrasah. Materi-materi di Madrasah digandakan
dengan pembelajaran agama dan umum, agar siswanya dapat diterima
dikalangan kepemerintahan Belanda pada waktu itu.

Kata Kunci : Analisis, Kebijakan Pemerintah Kolonial, Pendidikan Islam

44
JISA: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama
Prodi Sosiologi Agama Fakultas Ilmu Sosial UIN SU Medan
Vol.1, No.1 , Juni Tahun 2018

Pendahuluan

Perkembangan pendidikan suatu bangsa sangat terkait dengan


kebijakan pemerintahan yang sedang berkuasa, baik itu kebijakan dalam
bidang politik maupun agama, hampir dapat dipastikan kebijakan politik akan
memiliki dampak terhadap dunia pendidikan. Demikian pula pendidikan Islam
di masa kolonial Belanda sangat terpengaruh oleh kebijakan-kebijakan yang
dikeluarkan oleh pihak kolonial.
Pada dasarnya pendidikan yang diselenggarakan pemerintah Hindia
Belanda untuk kaum pribumi yang notabene muslim pada dasarnya bertujuan
untuk menjadikan warga negara yang mengabdi kepada kepentingan Belanda.
Dengan kata lain pendidikan dimaksudkan untuk mencetak tenaga-tenaga
yang dapat digunakan sebagai alat memperkuat kedudukan penjajah, karena
itu tujuan pendidikan diarahkan untuk kepentingan kolonial, sehingga isi
pendidikan itupun hanya sekedar pengetahuan dan kecakapan yang dapat
membantu mempertahankan kekuasan politik dan ekonomi penjajah.
Pendidikan pada masa itu memunculkan dua ide dalam menentukan
model sekolah pribumi saat itu. Kalau Snouck Hurgronje cendrung kepada
pendidikan gaya Eropa dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar
dengan tujuan untuk menciptakan elit pribumi yang tahu berterima kasih dan
bersedia bekerjasama, untuk memperkecil anggaran belanja pemerintah serta
mengendalikan fanatisme islam, dan agar menjadi keteladanan yang akan
menjiwai masyarakat kalangan bawah. Sedangkan Iden Brur dan Jendral Van
Heutsz mendukung pendidikan yang lebih mendasar dan praktis dengan
bahasa daerah sebagai bahasa pengantar bagi sekolah pribumi tersebut.1
Namun akhirnya ide yang pertamalah yang dijalankan oleh pemerintah
Belanda, karena dianggap menguntungkan kepentingan mereka

1
MC. Ricklefs, Sejarah Modern Indonesia, terj. Dharmono Hardjowidjono, Gajah Mada
University Press, cet. IV, Yogyakarta, 1994, hlm. 236

45
JISA: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama
Prodi Sosiologi Agama Fakultas Ilmu Sosial UIN SU Medan
Vol.1, No.1 , Juni Tahun 2018

Namun bagaimanakah model pendidikan Islam saat itu? Sebenarnya


pendidikan Islam telah memiliki bentuk tersendiri, yaitu berupa pendidikan
yang diselenggarakan di pesantren-pesantren, mesjid ataupun di surau.
Lembaga pendidikan Islam saat itu sangat mandiri dan biaya operasionalnya
ditanggung sepenuhnya oleh rakyat tanpa campur tangan pemerintah
kolonial, sehingga ketika Belanda mengeluarkan kebijakan yang merugikan
terselenggaranya pendidikan islam, tentunya hal itu sangat terganggu dan
menentang kebijakan tersebut.
Oleh karena itu, dalam tulisan ini akan dibahas mengenai keadaan
pendidikan islam di Indonesia masa kolonial Belanda, berikut kebijakan-
kebijakan yang dikeluarkan pemerintah kolonial Belanda yang memiliki
implikasi posistif maupun negatif terhadap pendidikan Islam disertai dengan
faktor-faktor yang mempengaruhi keluarnya kebijakan tersebut.

Pendidikan Islam di Masa Kolonial Belanda


Sebelum membahas tentang kebijakan kolonial Belanda terhadap
pendidikan Islam, maka perlu dibahas terlebih dahulu keadaan pendidikan
islam di zaman pemerintah kolonial Belanda, yang di bagi kepada beberapa
tahapan yaitu:
a. Fase 1 (sebelum tahun 1900)
Pada fase ini pemerintah kolonial banyak menguasai sistem yang sudah
ada di Indonesia termasuk dalam mengatur pendidikan dan kehidupan
beragama, sesuai dengan prinsip-prinsip kolonialisme, westernisasi dan
kristenisasi yang menjadi bagian dari misi mereka. Ketika Van den Boss
menjadi gubernur jenderal di Jakarta pada tahun 1831, keluarlah kebijaksanaan
bahwa sekolah-sekolah gereja dianggap dan diperlukan sebagai sekolah
pemerintah. Departemen yang mengurus pendidikan dan keagamaan
dijadikan satu. Tiap-tiap daerah keresidenan didirikan satu sekolah agama

46
JISA: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama
Prodi Sosiologi Agama Fakultas Ilmu Sosial UIN SU Medan
Vol.1, No.1 , Juni Tahun 2018

Kristen. Gubernur jendral Van den Capellen pada tahun 1819 M, mengambil
inisiatif merencanakan berdirinya sekolah dasar bagi penduduk pribumi agar
dapat membantu pemerintah Belanda sebagai tujuan didirikannya sekolah
dasar pada zaman itu. Pendidikan agama Islam yang ada di pondok pesantren,
masjid, musholla dan lain sebagainya dianggap tidak membantu pemerintah
Belanda. Para santri pondok masih di anggap buta huruf atau latin.
Pertannyaannya, mengapa pemerintah Belanda menganggap bahwa
madrasah, pesantren dianggap tidak berguna? Hal ini disebabkan Pendidikan
agama Islam yang ada di pondok pesantren, masjid, musholla dianggap tidak
bisa membantu pemerintah Belanda. Politik pemerintah Belanda terhadap
rakyat Indonesia yang mayoritas Islam didasari oleh rasa ketakutan, rasa
panggilan agamanya, dan rasa kolonialismenya.
Pada tahun 1882 M pemerintah Belanda membentuk suatu badan
khusus yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam
yang di sebut Priesterraden. Dimana orang yang memberikan pengajaran
{pengajian} harus meminta izin terlebih dahulu. Hal ini dikarenakan
pemerintah Belanda merasa ketakutan terhadap kemungkinan kebangkitan
penduduk pribumi. Walaupun ketatnya Belanda mengatur sistem pendidikan
tersebut tetapi dapat diketahui bahwa sebelum tahun 1900 pendidikan Islam
yang berlangsung saat itu merupakan pendidikan perorangan yang
diselenggarakan di dalam rumah tangga, surau, ataupun mesjid. Adapun
materi yang diajarkan hanya berkisar pada pelajaran praktis, yaitu tentang
aqidah, dan masalah-masalah yang berhubungan dengan ibadah. Dengan kata
lain pelajaran yang diberikan saat itu belum sistematis.
Selain di rumah, pendidikan terselenggara juga di surau, yang sudah
memiliki tingkatan yaitu: pelajaran al-Qur’an dan pengkajian kitab. Jika murid
telah menyelesaikan pelajaran al-Qur’an maka iapun akan melanjutkan kepada
pengkajian Kitab. Pada pengkajian ini diajarkan ilmu sharaf, nahu, tafsir dan

47
JISA: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama
Prodi Sosiologi Agama Fakultas Ilmu Sosial UIN SU Medan
Vol.1, No.1 , Juni Tahun 2018

ilmu-ilmu lain. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa pendidikan islam saat
itu belum sistematis, diberikan secara perorangan, dan materi yang diberikan
sangat sedikit, hanya berupa materi agama semata. Sedangkan pada lembaga
tempat pendidikannyapun belum terstruktur dengan jelas.
b. Fase II (Masa Peralihan 1900 – 1909)
Pada periode ini telah banyak dijumpai lembaga pendidikan Islam
seperti Surau Parabek di Sumatera dan Pesantren Tebu Ireng di pulau Jawa.
Perkembangan pendidikan Islam sudah banyak mengalami kemajuan karena
tokoh-tokoh Islam saat itu sudah berkenalan dengan ide pembaharuan dari
Mesir. Adapun pelajaran agama Islam yang diberikan sudah beragam dan
sudah membahas berbagai bidang ilmu keislaman, dan buku-buku yang
digunakan sudah dicetak dan sudah beragam pula.
Kemajuan ini merupakan suatu hal yang luar biasa, karena justru di saat
inilah pemerintah kolonial Belanda mengawasi pendidikan Islam secara ketat,
ditambah lagi mereka sedang gencar-gencarnya mempropagandakan
pendidikan yang mereka kelola yakni pendidikan antara golongan.
c. Fase III (setelah tahun 1909)
Isu Nasionalisme sedang menyebar di kalangan pendidik Islam. Pada
saat itu telah timbul kesadaran untuk memperbaiki sistem pendidikan langgar
dan pesantren, karena dianggap sudah tidak sesuai dengan iklim dan pangsa
pasar pendidikan yang ada. Maka dirasakan kebutuhan untuk memberikan
pelajaran agama di Madrasah ataupun di sekolah secara teratur. Berdirilah
Madrasah Adabiyah (1909) di Padang, Madrasah Diniyah (1915) di Padang
Panjang, dan disusul oleh madrasah lainnya hampir diseluruh wilayah
Indonesia. Maka perubahan sistem pendidikan pun terjadi, dari sistem sorogan
menjadi klasikal, dari pengajaran agama semata bertambah menjadi pelajaran
umum dan juga agama.

48
JISA: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama
Prodi Sosiologi Agama Fakultas Ilmu Sosial UIN SU Medan
Vol.1, No.1 , Juni Tahun 2018

Pendidikan Madrasah sampai menjelang berakhirnya penjajahan


Belanda sudah mempunyai bentuk jenjang serta kurikulum yang beragam.
Walaupun pihak kolonial berusaha menghalang-halangi perkembangannya
karena dikhawatirkan dapat mencerdaskan bangsa dan mengembangkan
ajaran islam di kalangan remaja, namun mereka hanya bisa mengikuti
perkembangannya semata.2
Bisa disimpulkan bahwa pada masa kolonial Belanda, pendidikan Islam
sudah memiliki bentuk dan ciri khas tersendiri, dan sangat dekat dengan corak
pendidikan tradisional yang memang sudah melembaga di dalam masyarakat,
seperti pesantren, mesjid atau surau, dan madrasah yang dikenal belakangan.
Madrasahlah lembaga yang kemudian menjadi wadah bagi pendidikan agama
dan umum pada masa itu hingga sampai sekarang ini, bahkan masa sekarang
ini pendidikan umumnya lebih banyak dibandingkan pendidikan agamanya
sehingga kecendrungan pada madrasah pendidikannya kurang religiuistik
dibanding sekolah umum yang didirikan atas nama Islam.

Kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda terhadap Pendidikan Islam


Kebijakan kolonial Belanda pada dasarnya banyak mendiskriditkan
umat Islam di Indonesia sehingga tidak heran bila hal itu juga berpengaruh
kepada kebijakan yang mereka keluarkan pada pendidikan Islam itu sendiri,
karena mereka menyadari bahwa diselenggarakannya pendidikan dalam
masyarakat jajahan akan menimbulkan gerakan anti kolonialisme. Sikap
waspada dan antisipasi Belanda kepada umat Islam tentunya dilatarbelakangi
oleh rasa khawatir dan takut melihat peperangan menentang penjajahan yang
selalu melibatkan umat Islam di dalamnya, terlebih-lebih gerakan tersebut
dipromotori oleh tokoh-tokoh Islam yang sangat berpengaruh di masyarakat
seperti kiayi dan ulama. Sehingga kebijakan-kebijakan mereka mengenai ulama
2
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan
Perkembangan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm. 61

49
JISA: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama
Prodi Sosiologi Agama Fakultas Ilmu Sosial UIN SU Medan
Vol.1, No.1 , Juni Tahun 2018

nantinya juga berpengaruh kepada pendidikan Islam, karena ditangan para


kiayi dan ulama inilah pendidikan islam bergantung.
Sebenarnya kedatangan Belanda ke Indonesia pada mulanya
bermotifkan dagang, namun belakangan ditumpangi oleh misi-misi lain,
sehingga setelah mereka berkuasa kebijakan yang mereka buat sangat
menekankan umat islam, terutama kepada para ulama dan pesantren yang
dibinanya, semua ini karena faktor-faktor berikut:
1. Kepentingan Belanda selalu mendapat rintangan dari ulama, terutama
di bidang perdagangan, karena mereka melihat peranan ulama dalam
masyarakat memiliki dwi fungsi sebagai pedlar missionaries (da’i dan
pedagang) terutama pasca perang salib, pihak Belanda masih
menganggap para ulama dan umat islam adalah ancaman .3
2. Ikatan yang cukup kuat antara rakyat dengan ulama, karena mereka
dipandang sebagai kelompok intelektual islam, dan pengaruhnya
semakin dalam bila berhasil membina pesantren.4
3. Fakta yang tidak bisa dipungkiri sebagaimana yang diakui oleh Thomas
Stamford Raffles bahwa ulama-ulama selalu tidak berubah dan selalu
dijumpai dalam setiap pemberontakan.5

3
Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam di
Indonesia, cet. 3, Bandung: Mizan, 1996, hlm. 239
4
Jumlah ulama saat itu + 50.000 orang yang merupakan sepersembilan belas dari seluruh
jumlah penduduk, dengan demikian tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa ulama memiliki
peranan yang penting dalam pembangunan militer. Kapasitas pasukan santrinya telah mensuplai
kepentingan politik , perdagangan dan agama. Serta akibat lain dari peranan yang didudukinya,
menjadikan al-qur’an dan sunnah sebagai sumber norma untuk memerintah seluruh kegiatan
rakyat. Van Gorcum, Politik Etis dan Revolusi Kemerdekaan, terj. Amir Sutarga, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta, 1987, hlm. 239
5
Suryanegara, op.cit, hlm. 238, Pada masa penjajahan Belanda para ulama yang
independen adalah benteng kukuh yang menolak kolonialisme. Itulah maka Snouck Hurgronje
mengatakan, bahwa para ulama lebih berat bobotnya dalam kehidupan politik daripada seorang
wali. Karena itulah Belanda mencap para ulama sebagai si pembuat rusuh (trouble makers), karena
mereka menolak mentah-mentah berkooperasi dengan Belanda. Lihat Nouruzzaman Shiddiqi,
Jeram-Jeram Peradaban Muslim, Yogyakarta : Pustaka Pelajar , 1996, hlm. 39. Persaingan ini
juga bersumber dari perlawanan politis Belanda, yang melihat bahwa peperangan yang terjadi
selalu mendapat dukungan penuh dari pesantren, perang-perang besar dalam sejarah seperti
Diponegoro, Paderi, Banjar, sampai perlawanan yang bersifat lokal yang terjadi dimana-mana,

50
JISA: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama
Prodi Sosiologi Agama Fakultas Ilmu Sosial UIN SU Medan
Vol.1, No.1 , Juni Tahun 2018

Berikut ini akan dikemukakan kebijakan-kebijakan kolonial Belanda


terhadap pendidikan Islam.
1. Ordonansi Guru 16 Yang berlaku sejak 2 Nopember 1905, ordonansi
ini diberlakukan untuk Jawa-Madura, kecuali Yogya dan Solo, isinya
antara lain:
- Seorang guru agama Islam baru dibenarkan mengajar bila sudah
memperoleh izin dari Bupati
- Izin tersebut baru bisa diberikan bila guru agama tersebut mempunyai
kualifikasi yang baik, dan pelajaran yang diberikan tidak bertentangan
dengan keamanan dan ketertiban umum.
- Guru agama harus mengisi daftar murid, dan harus menjelaskan
pelajaran yang ia sampaikan
- Bupati dan instansi yang berwewenang boleh memeriksa daftar itu
sewaktu-waktu melanggar ketentuan yang berlaku.
- Izin mengajar bisa dicabut bila ternyata berkali-kali guru agama
tersebut melanggar peraturan, atau dinilai kurang berkelakuan kurang
baik.7
Tentu saja ordonansi ini sangat menekan dan menghambat jalannya
pendidikan Islam yang saat itu diselenggarakan secara mandiri oleh
masyarakat muslim. Dampaknya terhadap pendidikan Islam adalah sebagai
berikut:

hampir dapat dipastikan tokoh-tokoh pesantren yaitu para ulama dan alumninya memegang
peranan utama. Menyaksikan hal itu Belanda di akhir abad 19 mencurigai eksistensi pesantren, dan
mulai mengawasi dan turut campur tangan terhadap pendidikan pesantren. Lihat: Amir Hamzah,
Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam, Jakarta: Mulia Offset, 1989, hlm. 47
6
Lahirnya ordonansi ini sebenarnya merupakan usaha untuk menghalang-halangi guru
agama, karena mereka disinyalir terlibat dalam peristiwa pemberontakan di Cilegon tahun 1888,
maka KF.Holler menyarankan agar pendidikan agama Islam diawasi, hingga terjadi perburuan
terhadap guru agama, ia juga menyarankan agar bupati melaporkan daftar guru di daerahnya setiap
tahun. Kemudian adanya saran Snouck Hurgronje di tahun 1904 yang menyarankan pengawasan
terhadap guru agama, yaitu harus ada izin khusus dari bupati, daftar tentang guru dan murid, serta
pengawasan oleh bupati diurus panitia tertentu
7
Aqib, op.cit., hlm. 52

51
JISA: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama
Prodi Sosiologi Agama Fakultas Ilmu Sosial UIN SU Medan
Vol.1, No.1 , Juni Tahun 2018

a. Jumlah guru agama menjadi sedikit karena sulitnya mengurus izin


mengajar dari pemerintah.
b. Sulitnya mengisi daftar laporan kepada pejabat berwewenang, karena
hampir seluruh guru hanya memahami huruf arab, sedangkan formulir
yang diberikan berbahasa Belanda dan memakai huruf latin. Yang
paling merasakan kesulitan adalah pesantren karena belum memiliki
administrasi yang baik, dari segi daftar murid, guru dan mata pelajaran,
sehingga sulit mengisi laporan.8 Tentunya hal ini bisa menyebabkan
pemerintah menutup lembaga pendidikan ini.
c. Penyelenggaraan pengajaran menjadi terhambat, karena selain jumlah
guru yang sangat terbatas, pelajaran yang diberikan juga sedikit karena
semuanya itu berada di bawah pengawasan pemerintah.
2. Ordonansi Guru II9 berlaku sejak 1 Juni 1952, kebijakan kali ini
katanya lebih lunak dari yang pertama, isinya antara lain:
- Setiap guru agama harus menunjukkan bukti tanda terima
pemberitahuannya
- Ia harus mengisi daftar murid dan daftar pelajaran yang sewaktu-waktu
bisa diperiksa oleh pejabat berwewenang.
- Pengawasan dirasa perlu untuk memelihara ketertiban umum.
- Bukti kelayakan bisa dicabut, bila guru yang bersangkutan aktif
memperbanyak murid dengan maksud mencari uang.
- Guru agama bisa dihukum maksimum 8 hari kurungan atau denda
maksimum f25, bila mengajar tanpa surat tanda terima laporan, tidak
benar laporannya, atau lalai dalam mengisi daftar.

8
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1994,
hlm. 175
9
Lahirnya ordonansi yang kedua ini dilatarbelakangi oleh ordonansi pertama yang
dianggap kurang efisien dan meyakinkan, di samping situasi politik waktu itu dinilai sudah tidak
lagi memerlukan pemburuan guru agama. Aqib, op.cit. hlm. 54

52
JISA: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama
Prodi Sosiologi Agama Fakultas Ilmu Sosial UIN SU Medan
Vol.1, No.1 , Juni Tahun 2018

- Bisa dihukum maksimum sebulan kurungan atau denda maksimum


f200, bila masih mengajar setelah dicabut haknya.10
Pada ordonansi yang kedua ini guru hanya diwajibkan untuk sekedar
memberitahu bukan minta izin, namun pada prakteknya tetap saja
memberatkan karena daerah pelaksanaannya menjadi lebih luas bukan hanya
di Jawa tetapi juga berlaku pula untuk Aceh, Sumatera Timur, Riau,
Palembang, Tapanuli, Manado, Lombok, dan kemudian di tahun 30-an berlaku
pula di daerah Bengkulu. Dampaknya adalah sebagai berikut :
a. Rintangan tidak saja di bidang pendidikan tetapi juga pada
kemajuan dan penyebaran islam, karena umat islam terhalang
kebebasannya dalam melaksanakan aktivitas agamanya
b. Munculnya reaksi yang dimotori oleh organisasi-organisasi islam
saat itu, terutama di Sumatera Barat dengan mengadakan rapat
besar menolak ordonansi tersebut dan nyatanya usaha tersebut
membawa hasil, dengan tidak diberlakukannya ordonansi di daerah
Minangkabau, namun tetap saja berlaku di daerah lain. Reaksi juga
timbul dari kalangan Belanda sendiri untuk menghapuskan
ordonansi ini, karena dianggap tidak efisien dan hanya
menghambur-hamburkan dana pemerintah semata.
Pada dasarnya kedua ordonansi ini dimaksudkan sebagai media
pengontrol bagi pemerintah kolonial Belanda untuk mengawasi aktifitas para
pengajar agama islam, karena dari merekalah muncul beberapa pergolakan
terhadap kolonialis.
3. Ordonansi Sekolah liar,11 yang diberlakukan pada bulan Oktober
1923, isinya antara lain:

10
Loc.cit
11
Munculnya kebijakan ini karena menjamurnya sekolah swasta pribumi yang muridnya
orang Indonesia asli, mengingat besarnya keinginan pribumi untuk mengecap pendidikan yang
semakin meningkat, sementara pihak Belanda sendiri tidak bisa memenuhi kebutuhan akan hal
tersebut. Sekolah swasta pribumi ini akhirnya dicap sebagai sekolah liar, karena pengelola dan

53
JISA: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama
Prodi Sosiologi Agama Fakultas Ilmu Sosial UIN SU Medan
Vol.1, No.1 , Juni Tahun 2018

- Sekolah yang tidak sepenuhnya dibiayai oleh pemerintah tidak


dibenarkan beraktifitas.
- Hanya lulusan sekolah pemerintah ataupun sekolah swasta yang
bersubsidi saja yang berhak mengajar.
Secara konsep, ordonansi ini tidak berlaku untuk lembaga pendidikan
islam, namun pada prakteknya sekolah-sekolah islamlah yang menanggung
akibatnya, karena pendidikan islam yang notabane dikelola oleh pribumi tanpa
ada campurtangan pemerintah dalam pembiayaannya-terancam ditutup.
Karena pemerintah mempunyai kewenangan memberantas dan menutup
madrasah serta sekolah yang tidak ada izinya atau memberikan pelajaran yang
tidak disukai pemerintah Belanda.12 Pada tahun 1932 M keluar peraturan yang
dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada
izinnya atau memberikan pelajaran yang tidak disukai oleh pemerintah
Belanda yang di sebut dengan Ordonansi Sekolah Liar {Wilde School
Ordonantie}.
Jika dilihat bahwa peraturan-peraturan pemerintah Belanda yang
demikian ketat dan keras mengenai pengawasan, tekanan, dan
pembarantasan aktivitas madrasah dan pondok pesantren di Indonesia, maka
seolah-olah dalam tempo yang tidak lama, pendidikan Islam akan menjadi
lumpuh atau porak-poranda bahkan bisa hilang sama sekali, akan tetapi
masyarakat Islam di Indonesia pada zaman itu laksana air hujan atau air yang
sulit di bendung. Para ulama pada waktu itu menyingkir dari tempat yang
dekat dengan Belanda dan secara diam-diam mempertahankan pendidikan
yang sudah ada sedangkan bagi sehagian yang lain, ada yang menimbulkan
reaksi keras dari masyarakat, dan yang paling terasa diantaranya adalah
kongres PERMI di Sumbar dengan nyata-nyata menentang dan menyatakan

kurikulum sekolah ini dinilai tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan pemerintah, sehingga
ijazahnya tidak diakui oleh kantor-kantor resmi.
12
Hasbullah, op.cit, hlm. 52

54
JISA: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama
Prodi Sosiologi Agama Fakultas Ilmu Sosial UIN SU Medan
Vol.1, No.1 , Juni Tahun 2018

bahwa ordonansi ini melanggar dasar-dasar Islam dan dasar-dasar umum, dan
juga mengurangi kebebasan bangsa Indonesia untuk mengatur dan
membangun pendidikannya sendiri. Ordonansi dicap sebagai usaha
membunuh sekolah-sekolah islam dan menghambat para alumninya untuk
membantu terlaksananya pendidikan karena ijazah mereka tidak diakui. Pada
dasarnya ordonansi tersebut menguntungkan pihak Kristen, dan karena fakta
membuktikan bahwa kebijakan ini membawa angin segar bagi majunya
pendidikan Kristen di Indonesia.
Ketika mendapat tantangan yang sangat keras baik dari pihak
nasionalis maupun Islam, ordonansi tidak berlangsung lama, hanya berumur
setahun yaitu pada bulan oktober 1933 Ordonansi ini tidak diberlakukan lagi.
Dengan demikian sekolah pribumi yang selama ini dianggap sekolah liar
berganti nama menjadi sekolah swasta tak bersubsidi.13 Sehingga jumlah
sekolah Islam semakin meningkat begitu pula mutunya.
Pada dasarnya kebijakan pemerintah Hindia Belanda terhadap
pendidikan Islam bersifat menekan, semua itu karena kekhawatiran akan
timbulnya militansi kaum muslimin terpelajar. Bagi Pemerintah penjajah bahwa
pendidikan di Hindia Belanda tidak hanya bersifat paedagogis, tapi juga
bersifat psikologis politis.14 Pandangan ini di satu pihak menimbulkan
kesadaran bahwa pendidikan dianggap begitu vital dalam upaya
mempengaruhi budaya masyarakat. Maka mereka berupaya menciptakan
kelas masyarakat terdidik yang berbudaya barat melalui pendidikan ala
Belanda, sehingga akan lebih akomodatif terhadap kepentingan penjajah.
Tetapi, di pihak lain pandangan di atas juga mendorong pengawasan yang
berlebihan terhadap perkembangan lembaga pendidikan Islam seperti
madrasah. Walaupun pengorganisasian madrasah menerima pengaruh dari
sistem sekolah Belanda, tetapi muatan keagamaan di lembaga pada akhirnya
13
Aqib, op.cit., hlm. 63
14
Ibid., hlm. 49

55
JISA: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama
Prodi Sosiologi Agama Fakultas Ilmu Sosial UIN SU Medan
Vol.1, No.1 , Juni Tahun 2018

akan menambah semangat yang kritis bagi umat islam terhadap sistem
kebudayaan yang dibawa oleh kaum penjajah.
Demikianlah kebijakan-kebijakan ini akhirnya sangat mempengaruhi
perkembangan pendidikan Islam, juga menghapus peran penting ummat Islam
di Indonesia, karena dalam beberapa kasus guru-guru agama sering
dipersalahkan dalam setiap gerakan – gerakan melawan kristenisasi, dengan
alasan ketertiban dan keamanan. Guru-guru agama tersingkir dari dunia
pendidikan, sehingga peran diambil alih oleh misionaris kristen.15
Namun sebenarnya kebijakan kolonial Belanda terhadap pendidikan Islam bila
dianalisas lebih jauh lagi sudah dimulai sebelum adanya Ordonansi Guru I
tahun 1905, hal ini tentu berkaitan dengan kebijakan Belanda terhadap Islam
dan pendidikan secara umum, jadi walaupun kebijakan tersebut tidak berlabel
kebijakan terhadap pendidikan Islam, namun akhirnya mempunyai pengaruh
yang cukup besar terhadap pendidikan Islam saat itu. Hal itu dapat ditelususi
sebagai berikut:
1. Kebijakan pemerintah yang netral agama pada tahun 1855, namun
nyatanya sangat berbeda antara teori dan praktek, hingga tahun-tahun
terakhir pemerintahannya, kebijakan tersebut lebih cendrung sebagai
campur tangan daripada netral, meskipun campur tangan tersebut
berbeda dalam jenis kualitas maupun kuantitasnya.
Pemerintah sangat menganakemaskan gereja, dan hal ini sangat jelas
terlihat dari sumbangan yang sangat besar dari pemerintah untuk kepentingan
gereja, meskipun secara resmi tahun 1935 administrasi gereja dipisah dari
administrasi negara, namun hingga akhir pemerintah melakukan perbedaan
bantuan untuk Islam dan Kristen yang sangat mencolok, sehingga gerak
langkah agama Islam termasuk bidang pendidikan ditanggung sepenuhnya

15
Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangan, logos, Jakarta, 1999, hlm. 115

56
JISA: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama
Prodi Sosiologi Agama Fakultas Ilmu Sosial UIN SU Medan
Vol.1, No.1 , Juni Tahun 2018

oleh masyarakat muslim sendiri.16 Hal ini menyebabkan kondisi pendidikan


islam secara umum tertinggal jauh dari pendidikan yang diselenggarakan oleh
Zending.17
2. Pengawasan terhadap ibadah haji yang lebih ketat pada tahun 1859,
pemerintah bermaksud memperkecil keluar masuknya orang yang
berhaji yaitu dengan mempersukar mereka beribadah haji, karena dari
merekalah biasanya ide-ide pembaharuan itu diperkenalkan ke
masyarakat luas, maka seorang yang akan naik haji harus diuji dahulu
pengetahuannya, adapula peraturan haji-peninngen atau uang haji.
Orang yang sudah siap berangkat dan berkumpul dalam jumlah ratusan
dipelabuhan digeledah dan diperiksa berupa uang yang akan dibawa,
dengan alasan agar tidak tidak terlantar di tanah suci. Juga ada
keharusan membeli tiket pulang pergi, juga untuk calon haji yang
bermaksud untuk bermukim di sana. Adapula peraturan sertifikat haji,
mereka yang bersertifikatlah yang pantas memakai baju haji dengan
alasan mencegah adanya haji palsu. Dengan begitu jumlah orang yang
memakai surban dan peci dikurangi karena mereka mengasumsikan
orang-orang dengan aksesoris seperti ini akan menambah pengaruh

16
Menteri kolonialisme menolak memberikan subsisi kepada sekolah-sekolah Islam
karena mereka tidak mau mengorbankan kas untuk hal yang tidak menguntungkan merka, karena
pendidikan Islam tidak menopang pengaruh dan kewibawaan mereka. Maka yang berkembang
kemudian adalah sekolah desa yang memakai sistem sekolah gubernemen., saat itu usul untuk
menggabungkan pendidikan Islam ditolak. Maka semenjak itu sekolah islam mengambil jalan
sendiri, selain berpegang pada tradisi tetapi juga menerima perubahan dalam tradisi tersebut.
Demikianlah sejak awal abad ini pendidikan Islam mulai mengembangkan model pendidikan
sendiri yang berbeda dan terpisah dari pendidikan Belanda, yang sekarang ini kelihatannya
cendrung ke sistem pendidikan umum. Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah Sekolah,
Pendidikan Islam dalam kurun Modern, LP3ES, Jakarta, 1986, hlm. 21
17
Pada mulanya zending (panggilan atau misi gereja kristiani) ini adalah gerakan ruhani
yang memiliki basis dan bimbingan di Jerman Barat. Sejak pertengahan abad ke-19 zending ini
telah banyak mengirimkan penginjil yang umumnya terdiri dari orang Jerman, yang dalam
tugasnya dimotivasi oleh semangat menyiarkan agama dan kesediaan berkorban dari satuwilayah
agama kristen yang paling hidup yaitu, daearah Rhein, minahasa, Kepulauan sangir, salatiga, yang
penduduknya secara besar-besaran telah dikristenkan. Zending yang hakiki bersifat universal dan
bersifat universal dan bersifat supranasional , karena merupakan pengejawantahan dari alam dan
panggilan dari gereja Kristen yang harus dilaksanakan oleh Yesus Kristus dan agamanya dalam
kata dan perbuatan kepada semua bangsa sampai ke ujung dunia, Van Gorcum, op.cit., hlm. 330

57
JISA: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama
Prodi Sosiologi Agama Fakultas Ilmu Sosial UIN SU Medan
Vol.1, No.1 , Juni Tahun 2018

mereka terhadap orang Islam.18 Intinya mereka yang hendak haji


dipersulit dengan berbagai cara, sehingga dengan demikian jumlah
ulama yang berlalu lalang dari Timur Tengah bertambah sedikit
Dengan adanya kebijakan yang memberatkan ini maka pendidikan
Islam juga terkena imbasnya, karena baik materi maupun guru agama pada
saat itu sangat tergantung dari adanya jema’ah haji. Buku-buku yang
dipakainyapun kebanyakan kitab-kitab yang dicetak dari Mesir ataupun
Mekkah, sehingga dengan adanya kebijakan ini pendidikan islam sulit untuk
bergerak, sehingga tidak heran bila ide pembaharuan yang diagungkan oleh
Pan Islamisme pun terlambat penyebarannya di negeri ini.
3. Berdirinya lembaga Peradilan Agama pada tahun 1882, pemerintah
membentuk suatu badan khusus yang bertugas untuk mengawasi
pendidikan islam, terutama mengadakan pengawasan terhadap
pesantren. Dari nasihat badan inilah lahir Ordonansi Guru I tahun
1905.19
4. Berdirinya Het Kantoor voor Inlandsche zaken (Kantor Penasehat
Urusan Pribumi) tahun 1922, yang tugasnya antara lain: mengawasi
pengelolaan kas masjid, pembangunan mesjid baru, pemburuan guru
agama. Dilihat dari aktivitas kantor ini jelas bahwa dalam sepak
terjangnya kantor ini sangat menghambat pendidikan Islam, betapa
tidak dengan adanya pengawasan pada kas mesjid dan pembangunan
mesjid berarti sarana pendidikan Islam yang selama ini berlangsung di
mesjid juga kena getahnya. Sebagaimana diketahui bahwa fungsi

18
Hamid Algadri, Politik Belanda Terhadap Islam dan Keturunan Arab di Indonesia, Haji
Masagung , Jakarta, 1983, hlm. 93, peraturan ini juga didasarkan atas nasehat Snouck Hurgronje
agar pemerintah Belanda diharapkan dapat membendung masuknya Pan-islamisme yang sedang
berkembang di Timur Tengah, dengan jalan menghalangi masuknya buku-buku dan brosur dari
luar ke wilayah Indonesia, mengawasi kontak langsung dan tak langsung tokoh islam Indonesia
dengan tokoh luar, serta membatasi dan mengawasi orang yang pergi ke Mekkah dan kalau bisa
menghalanginya sama sekali. Karena dikhawatirkan pengalamannya dari luar akan mempengaruhi
kelanggengan kekuasaan kolonial, Hasbullah, op.cit., hlm. 54
19
Hasbullah, op.cit., hlm. 52

58
JISA: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama
Prodi Sosiologi Agama Fakultas Ilmu Sosial UIN SU Medan
Vol.1, No.1 , Juni Tahun 2018

masjid dalam sejarahnya adalah sebagai tempat atau pusat kegiatan


dalam penyelenggaraan urusan umat, baik itu dalam aspek mu’amalah
mapun ibadah. Secara garis besar fungsi dari mesjid saat itu tidak
hanya sebagai tempat ibadah tetapi juga sebagai tempat pendidikan
serta pembudayaan dan sebagai tempat penyelenggaran urusan
umat.20 Tugas kantor ini juga meliputi pemburuan guru agama dengan
tujuan untuk mengikis habis setiap pengaruh-pengaruh pembaharuan
yang dibawa oleh para ulama tersebut.
Namun usaha atau motivasi apapun yang dijalankan Belanda dalam
menghalangi Islam akhirnya memberi dampak positif juga kepada umat islam,
karena bukankah karena tekanan yang terus menerus selama tiga ratus tahun
lebih mendorong umat untuk bangkit. Tidak bisa dipungkiri bahwa lewat
kolonialisme, pendidikan Islam mengenal sistem pendidikan barat yang saat
itu sudah sangat maju dengan segala fasilitas dan keunggulan. Tentunya hal
tersebut memberi warna baru bagi perkembangan pendidikan Islam di
kemudian hari.
Perlu diingat bahwa justru di periode akhir pemerintahan Belanda,
pendidikan Islam menemui format baru yaitu: lahirnya madrasah sebagai salah
satu lembaga pendidikan islam, sekalipun usaha mendirikan madrasah-
madrasah masih bersifat pribadi atau organisasi dalam pengertian sempit
serta tidak ada pengaturan umum yang mengikat mengenai bentuk
kelembagaan, struktur, manajemen, dan kurikulumnya.21 Namun semuanya
mengarah pada peningkatan peran umat Islam yang cukup signifikan dalam
bidang pendidikan. Menurut A. Malik Fadjar “Perkembangan pendidikan Barat
sebagai buah dari intervensi budaya dan politik pemerintah Hindia Belanda

20
Ibid., hlm. 136
21
Maksum., op.cit., hlm. 99

59
JISA: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama
Prodi Sosiologi Agama Fakultas Ilmu Sosial UIN SU Medan
Vol.1, No.1 , Juni Tahun 2018

dalam paroh pertama abad ke-20 ternyata berpengaruh pula terhadap


pembentukan format madrasah.22
Tentunya keberadaan madrasah juga karena didorong oleh rasa tidak
puas masyarakat muslim melihat kondisi pendidikan saat itu, adapun
pendidikan Islam tradisional dianggap kurang sistematis dan kurang
memberikan kemampuan paragmatis yang memadai, sedangkan bila
mengikuti sekolah-sekolah ala Belanda dikhawatirkan akan memperluas watak
sekelurisme, sehingga harus diimbangi dengan sistem pendidikan Islam yang
memiliki model dan organisasi yang lebih teratur dan terencana.

Penutup
Sebelum penjajah menginjakkan kakinya di Indonesia, lembaga
pendidikan Islam telah menunjukkan eksisitensinya dalam bentuk yang
beragam seperti pesantren di Jawa, surau, di Sumbar, dan rangkang di aceh.
Dan ketika kolonial Belanda menguasai Indonesia maka secara otomatis, ia
mengatur kebijakan di berbagai sektor termasuk pendidikan Islam, yang pada
dasarnya berupa ketentuan pengawasan, karena tidak dibenarkan pengajaran
tanpa pengawasan.
Kebijakan kolonial Belanda terhadap pendidikan Islam memang sangat berat
sebelah dibanding kebijakan terhadap pendidikan Kristen yang dikelola oleh
zending. Bahkan Belanda mengalirkan sejumlah dana besar dan mengangkat
sistem sekolah tersebut yang hampir sama buruk sistemnya dengan
pendidikan Islan saat itu sebagai sekolah pemerintah.
Kebijakan yang timpang tersebut tidak bisa terlepas dari faktor-faktor
motivasi kolonialis yaitu untuk menebarkan westernisasi dan kristenisasi di
bumi Indonesia ini, sehingga segala kebijakan yang dibuat haruslah memberi
keuntungan bagi pihak Belanda. Ketika umat islam tidak mau bekerja sama
22
A. Malik Fadjar, Madrasah dan Tantangan Modernitas, Mizan: Bandung, 1998, hlm.
24

60
JISA: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama
Prodi Sosiologi Agama Fakultas Ilmu Sosial UIN SU Medan
Vol.1, No.1 , Juni Tahun 2018

dan justru menentang misi tersebut, maka Belandapun mengambil tindakan


preventif dan kuratif yang sangat merugikan umat islam pada umumnya dan
pendidikan islam khususnya. Akibatnya perkembangan pendidikan Islam
sangat terhambat, sistemnya dianggap sangat buruk bahkan
keberadaannyapun dinafikan oleh pemerintah kolonial Belanda.
Namun betapapun keras dan diskriminatifnya kebijakan saat itu, pada
akhirnya memberikan inspirasi pada tokoh-tokoh muslim untuk
menggabungkan kedua sistem pendidikan yang ada dalam bentuk madrasah,
sehingga generasi muda muslim terhindar dari pengaruh westernisasi dan
sekularisasi yang sedang gencar-gencarnya disusupkan pihak kolonial Belanda.
Selain dampak posistif di atas, ada dampak lain yang ditimbulkan oleh
kebijakan kolonialis Belanda yaitu sistem dualisme pendidikan yang menjadi
dilema pendidikan islam sampai sekarang ini, karena warisan sistem dualisme
tersebut berdampak pada pengelolaan pendidikan Islam dan berpengaruh
pula pada perkembangan pendidikan Islam Indonesia selanjutnya bahkan
sampai sekarang. Kirannya dengan tidak adanya penjajahan di Indonesia lagi
pendidikan Islam harus mempunyai bentuk dalam perbaikan kualitas tentunya
pada penyelenggaraan pendidikan satu atap, diharapkan pendidikan Islam
tidak memunculkan image dualisme lagi. Indonesia sudah menjadi masyarakat
multikultural, oleh karena itu paradigma berpikirpun untuk pendidikan ini
harus menjadi satu dalam mencapai pendidikan yang seutuhnya di Indonesia.

61
JISA: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama
Prodi Sosiologi Agama Fakultas Ilmu Sosial UIN SU Medan
Vol.1, No.1 , Juni Tahun 2018

DAFTAR PUSTAKA

MC. Ricklefs, Sejarah Modern Indonesia, terj. Dharmono Hardjowidjono,


GajahMadaUniversity Press, cet. Keempat, Yogyakarta, 1994
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Lintasan Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1995
Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam di
Indonesia, cet. 3, Bandung: Mizan, 1996
Van Gorcum, Politik Etis dan Revolusi Kemerdekaan, terj. Amir Sutarga, Yayasan
obor Indonesia, Jakarta, 1987
Nouruzzaman Shiddiqi, Jeram-jeram Peradaban Muslim, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996
Amir Hamzah, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam, Jakarta: Mulia
Offset, 1989
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1994
Maksum, Madrasah, Sejarah dan perkembangan, logos, Jakarta, 1999
Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah sekolah, pendidikan Islam dalam
kurun Modern, LP3ES, Jakarta, 1986
A. Malik Fadjar, Madrasah dan Tantangan Modernitas, Mizan: Bandung, 1998

62

Anda mungkin juga menyukai