Abstrak
44
JISA: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama
Prodi Sosiologi Agama Fakultas Ilmu Sosial UIN SU Medan
Vol.1, No.1 , Juni Tahun 2018
Pendahuluan
1
MC. Ricklefs, Sejarah Modern Indonesia, terj. Dharmono Hardjowidjono, Gajah Mada
University Press, cet. IV, Yogyakarta, 1994, hlm. 236
45
JISA: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama
Prodi Sosiologi Agama Fakultas Ilmu Sosial UIN SU Medan
Vol.1, No.1 , Juni Tahun 2018
46
JISA: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama
Prodi Sosiologi Agama Fakultas Ilmu Sosial UIN SU Medan
Vol.1, No.1 , Juni Tahun 2018
Kristen. Gubernur jendral Van den Capellen pada tahun 1819 M, mengambil
inisiatif merencanakan berdirinya sekolah dasar bagi penduduk pribumi agar
dapat membantu pemerintah Belanda sebagai tujuan didirikannya sekolah
dasar pada zaman itu. Pendidikan agama Islam yang ada di pondok pesantren,
masjid, musholla dan lain sebagainya dianggap tidak membantu pemerintah
Belanda. Para santri pondok masih di anggap buta huruf atau latin.
Pertannyaannya, mengapa pemerintah Belanda menganggap bahwa
madrasah, pesantren dianggap tidak berguna? Hal ini disebabkan Pendidikan
agama Islam yang ada di pondok pesantren, masjid, musholla dianggap tidak
bisa membantu pemerintah Belanda. Politik pemerintah Belanda terhadap
rakyat Indonesia yang mayoritas Islam didasari oleh rasa ketakutan, rasa
panggilan agamanya, dan rasa kolonialismenya.
Pada tahun 1882 M pemerintah Belanda membentuk suatu badan
khusus yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam
yang di sebut Priesterraden. Dimana orang yang memberikan pengajaran
{pengajian} harus meminta izin terlebih dahulu. Hal ini dikarenakan
pemerintah Belanda merasa ketakutan terhadap kemungkinan kebangkitan
penduduk pribumi. Walaupun ketatnya Belanda mengatur sistem pendidikan
tersebut tetapi dapat diketahui bahwa sebelum tahun 1900 pendidikan Islam
yang berlangsung saat itu merupakan pendidikan perorangan yang
diselenggarakan di dalam rumah tangga, surau, ataupun mesjid. Adapun
materi yang diajarkan hanya berkisar pada pelajaran praktis, yaitu tentang
aqidah, dan masalah-masalah yang berhubungan dengan ibadah. Dengan kata
lain pelajaran yang diberikan saat itu belum sistematis.
Selain di rumah, pendidikan terselenggara juga di surau, yang sudah
memiliki tingkatan yaitu: pelajaran al-Qur’an dan pengkajian kitab. Jika murid
telah menyelesaikan pelajaran al-Qur’an maka iapun akan melanjutkan kepada
pengkajian Kitab. Pada pengkajian ini diajarkan ilmu sharaf, nahu, tafsir dan
47
JISA: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama
Prodi Sosiologi Agama Fakultas Ilmu Sosial UIN SU Medan
Vol.1, No.1 , Juni Tahun 2018
ilmu-ilmu lain. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa pendidikan islam saat
itu belum sistematis, diberikan secara perorangan, dan materi yang diberikan
sangat sedikit, hanya berupa materi agama semata. Sedangkan pada lembaga
tempat pendidikannyapun belum terstruktur dengan jelas.
b. Fase II (Masa Peralihan 1900 – 1909)
Pada periode ini telah banyak dijumpai lembaga pendidikan Islam
seperti Surau Parabek di Sumatera dan Pesantren Tebu Ireng di pulau Jawa.
Perkembangan pendidikan Islam sudah banyak mengalami kemajuan karena
tokoh-tokoh Islam saat itu sudah berkenalan dengan ide pembaharuan dari
Mesir. Adapun pelajaran agama Islam yang diberikan sudah beragam dan
sudah membahas berbagai bidang ilmu keislaman, dan buku-buku yang
digunakan sudah dicetak dan sudah beragam pula.
Kemajuan ini merupakan suatu hal yang luar biasa, karena justru di saat
inilah pemerintah kolonial Belanda mengawasi pendidikan Islam secara ketat,
ditambah lagi mereka sedang gencar-gencarnya mempropagandakan
pendidikan yang mereka kelola yakni pendidikan antara golongan.
c. Fase III (setelah tahun 1909)
Isu Nasionalisme sedang menyebar di kalangan pendidik Islam. Pada
saat itu telah timbul kesadaran untuk memperbaiki sistem pendidikan langgar
dan pesantren, karena dianggap sudah tidak sesuai dengan iklim dan pangsa
pasar pendidikan yang ada. Maka dirasakan kebutuhan untuk memberikan
pelajaran agama di Madrasah ataupun di sekolah secara teratur. Berdirilah
Madrasah Adabiyah (1909) di Padang, Madrasah Diniyah (1915) di Padang
Panjang, dan disusul oleh madrasah lainnya hampir diseluruh wilayah
Indonesia. Maka perubahan sistem pendidikan pun terjadi, dari sistem sorogan
menjadi klasikal, dari pengajaran agama semata bertambah menjadi pelajaran
umum dan juga agama.
48
JISA: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama
Prodi Sosiologi Agama Fakultas Ilmu Sosial UIN SU Medan
Vol.1, No.1 , Juni Tahun 2018
49
JISA: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama
Prodi Sosiologi Agama Fakultas Ilmu Sosial UIN SU Medan
Vol.1, No.1 , Juni Tahun 2018
3
Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam di
Indonesia, cet. 3, Bandung: Mizan, 1996, hlm. 239
4
Jumlah ulama saat itu + 50.000 orang yang merupakan sepersembilan belas dari seluruh
jumlah penduduk, dengan demikian tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa ulama memiliki
peranan yang penting dalam pembangunan militer. Kapasitas pasukan santrinya telah mensuplai
kepentingan politik , perdagangan dan agama. Serta akibat lain dari peranan yang didudukinya,
menjadikan al-qur’an dan sunnah sebagai sumber norma untuk memerintah seluruh kegiatan
rakyat. Van Gorcum, Politik Etis dan Revolusi Kemerdekaan, terj. Amir Sutarga, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta, 1987, hlm. 239
5
Suryanegara, op.cit, hlm. 238, Pada masa penjajahan Belanda para ulama yang
independen adalah benteng kukuh yang menolak kolonialisme. Itulah maka Snouck Hurgronje
mengatakan, bahwa para ulama lebih berat bobotnya dalam kehidupan politik daripada seorang
wali. Karena itulah Belanda mencap para ulama sebagai si pembuat rusuh (trouble makers), karena
mereka menolak mentah-mentah berkooperasi dengan Belanda. Lihat Nouruzzaman Shiddiqi,
Jeram-Jeram Peradaban Muslim, Yogyakarta : Pustaka Pelajar , 1996, hlm. 39. Persaingan ini
juga bersumber dari perlawanan politis Belanda, yang melihat bahwa peperangan yang terjadi
selalu mendapat dukungan penuh dari pesantren, perang-perang besar dalam sejarah seperti
Diponegoro, Paderi, Banjar, sampai perlawanan yang bersifat lokal yang terjadi dimana-mana,
50
JISA: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama
Prodi Sosiologi Agama Fakultas Ilmu Sosial UIN SU Medan
Vol.1, No.1 , Juni Tahun 2018
hampir dapat dipastikan tokoh-tokoh pesantren yaitu para ulama dan alumninya memegang
peranan utama. Menyaksikan hal itu Belanda di akhir abad 19 mencurigai eksistensi pesantren, dan
mulai mengawasi dan turut campur tangan terhadap pendidikan pesantren. Lihat: Amir Hamzah,
Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam, Jakarta: Mulia Offset, 1989, hlm. 47
6
Lahirnya ordonansi ini sebenarnya merupakan usaha untuk menghalang-halangi guru
agama, karena mereka disinyalir terlibat dalam peristiwa pemberontakan di Cilegon tahun 1888,
maka KF.Holler menyarankan agar pendidikan agama Islam diawasi, hingga terjadi perburuan
terhadap guru agama, ia juga menyarankan agar bupati melaporkan daftar guru di daerahnya setiap
tahun. Kemudian adanya saran Snouck Hurgronje di tahun 1904 yang menyarankan pengawasan
terhadap guru agama, yaitu harus ada izin khusus dari bupati, daftar tentang guru dan murid, serta
pengawasan oleh bupati diurus panitia tertentu
7
Aqib, op.cit., hlm. 52
51
JISA: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama
Prodi Sosiologi Agama Fakultas Ilmu Sosial UIN SU Medan
Vol.1, No.1 , Juni Tahun 2018
8
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1994,
hlm. 175
9
Lahirnya ordonansi yang kedua ini dilatarbelakangi oleh ordonansi pertama yang
dianggap kurang efisien dan meyakinkan, di samping situasi politik waktu itu dinilai sudah tidak
lagi memerlukan pemburuan guru agama. Aqib, op.cit. hlm. 54
52
JISA: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama
Prodi Sosiologi Agama Fakultas Ilmu Sosial UIN SU Medan
Vol.1, No.1 , Juni Tahun 2018
10
Loc.cit
11
Munculnya kebijakan ini karena menjamurnya sekolah swasta pribumi yang muridnya
orang Indonesia asli, mengingat besarnya keinginan pribumi untuk mengecap pendidikan yang
semakin meningkat, sementara pihak Belanda sendiri tidak bisa memenuhi kebutuhan akan hal
tersebut. Sekolah swasta pribumi ini akhirnya dicap sebagai sekolah liar, karena pengelola dan
53
JISA: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama
Prodi Sosiologi Agama Fakultas Ilmu Sosial UIN SU Medan
Vol.1, No.1 , Juni Tahun 2018
kurikulum sekolah ini dinilai tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan pemerintah, sehingga
ijazahnya tidak diakui oleh kantor-kantor resmi.
12
Hasbullah, op.cit, hlm. 52
54
JISA: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama
Prodi Sosiologi Agama Fakultas Ilmu Sosial UIN SU Medan
Vol.1, No.1 , Juni Tahun 2018
bahwa ordonansi ini melanggar dasar-dasar Islam dan dasar-dasar umum, dan
juga mengurangi kebebasan bangsa Indonesia untuk mengatur dan
membangun pendidikannya sendiri. Ordonansi dicap sebagai usaha
membunuh sekolah-sekolah islam dan menghambat para alumninya untuk
membantu terlaksananya pendidikan karena ijazah mereka tidak diakui. Pada
dasarnya ordonansi tersebut menguntungkan pihak Kristen, dan karena fakta
membuktikan bahwa kebijakan ini membawa angin segar bagi majunya
pendidikan Kristen di Indonesia.
Ketika mendapat tantangan yang sangat keras baik dari pihak
nasionalis maupun Islam, ordonansi tidak berlangsung lama, hanya berumur
setahun yaitu pada bulan oktober 1933 Ordonansi ini tidak diberlakukan lagi.
Dengan demikian sekolah pribumi yang selama ini dianggap sekolah liar
berganti nama menjadi sekolah swasta tak bersubsidi.13 Sehingga jumlah
sekolah Islam semakin meningkat begitu pula mutunya.
Pada dasarnya kebijakan pemerintah Hindia Belanda terhadap
pendidikan Islam bersifat menekan, semua itu karena kekhawatiran akan
timbulnya militansi kaum muslimin terpelajar. Bagi Pemerintah penjajah bahwa
pendidikan di Hindia Belanda tidak hanya bersifat paedagogis, tapi juga
bersifat psikologis politis.14 Pandangan ini di satu pihak menimbulkan
kesadaran bahwa pendidikan dianggap begitu vital dalam upaya
mempengaruhi budaya masyarakat. Maka mereka berupaya menciptakan
kelas masyarakat terdidik yang berbudaya barat melalui pendidikan ala
Belanda, sehingga akan lebih akomodatif terhadap kepentingan penjajah.
Tetapi, di pihak lain pandangan di atas juga mendorong pengawasan yang
berlebihan terhadap perkembangan lembaga pendidikan Islam seperti
madrasah. Walaupun pengorganisasian madrasah menerima pengaruh dari
sistem sekolah Belanda, tetapi muatan keagamaan di lembaga pada akhirnya
13
Aqib, op.cit., hlm. 63
14
Ibid., hlm. 49
55
JISA: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama
Prodi Sosiologi Agama Fakultas Ilmu Sosial UIN SU Medan
Vol.1, No.1 , Juni Tahun 2018
akan menambah semangat yang kritis bagi umat islam terhadap sistem
kebudayaan yang dibawa oleh kaum penjajah.
Demikianlah kebijakan-kebijakan ini akhirnya sangat mempengaruhi
perkembangan pendidikan Islam, juga menghapus peran penting ummat Islam
di Indonesia, karena dalam beberapa kasus guru-guru agama sering
dipersalahkan dalam setiap gerakan – gerakan melawan kristenisasi, dengan
alasan ketertiban dan keamanan. Guru-guru agama tersingkir dari dunia
pendidikan, sehingga peran diambil alih oleh misionaris kristen.15
Namun sebenarnya kebijakan kolonial Belanda terhadap pendidikan Islam bila
dianalisas lebih jauh lagi sudah dimulai sebelum adanya Ordonansi Guru I
tahun 1905, hal ini tentu berkaitan dengan kebijakan Belanda terhadap Islam
dan pendidikan secara umum, jadi walaupun kebijakan tersebut tidak berlabel
kebijakan terhadap pendidikan Islam, namun akhirnya mempunyai pengaruh
yang cukup besar terhadap pendidikan Islam saat itu. Hal itu dapat ditelususi
sebagai berikut:
1. Kebijakan pemerintah yang netral agama pada tahun 1855, namun
nyatanya sangat berbeda antara teori dan praktek, hingga tahun-tahun
terakhir pemerintahannya, kebijakan tersebut lebih cendrung sebagai
campur tangan daripada netral, meskipun campur tangan tersebut
berbeda dalam jenis kualitas maupun kuantitasnya.
Pemerintah sangat menganakemaskan gereja, dan hal ini sangat jelas
terlihat dari sumbangan yang sangat besar dari pemerintah untuk kepentingan
gereja, meskipun secara resmi tahun 1935 administrasi gereja dipisah dari
administrasi negara, namun hingga akhir pemerintah melakukan perbedaan
bantuan untuk Islam dan Kristen yang sangat mencolok, sehingga gerak
langkah agama Islam termasuk bidang pendidikan ditanggung sepenuhnya
15
Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangan, logos, Jakarta, 1999, hlm. 115
56
JISA: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama
Prodi Sosiologi Agama Fakultas Ilmu Sosial UIN SU Medan
Vol.1, No.1 , Juni Tahun 2018
16
Menteri kolonialisme menolak memberikan subsisi kepada sekolah-sekolah Islam
karena mereka tidak mau mengorbankan kas untuk hal yang tidak menguntungkan merka, karena
pendidikan Islam tidak menopang pengaruh dan kewibawaan mereka. Maka yang berkembang
kemudian adalah sekolah desa yang memakai sistem sekolah gubernemen., saat itu usul untuk
menggabungkan pendidikan Islam ditolak. Maka semenjak itu sekolah islam mengambil jalan
sendiri, selain berpegang pada tradisi tetapi juga menerima perubahan dalam tradisi tersebut.
Demikianlah sejak awal abad ini pendidikan Islam mulai mengembangkan model pendidikan
sendiri yang berbeda dan terpisah dari pendidikan Belanda, yang sekarang ini kelihatannya
cendrung ke sistem pendidikan umum. Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah Sekolah,
Pendidikan Islam dalam kurun Modern, LP3ES, Jakarta, 1986, hlm. 21
17
Pada mulanya zending (panggilan atau misi gereja kristiani) ini adalah gerakan ruhani
yang memiliki basis dan bimbingan di Jerman Barat. Sejak pertengahan abad ke-19 zending ini
telah banyak mengirimkan penginjil yang umumnya terdiri dari orang Jerman, yang dalam
tugasnya dimotivasi oleh semangat menyiarkan agama dan kesediaan berkorban dari satuwilayah
agama kristen yang paling hidup yaitu, daearah Rhein, minahasa, Kepulauan sangir, salatiga, yang
penduduknya secara besar-besaran telah dikristenkan. Zending yang hakiki bersifat universal dan
bersifat universal dan bersifat supranasional , karena merupakan pengejawantahan dari alam dan
panggilan dari gereja Kristen yang harus dilaksanakan oleh Yesus Kristus dan agamanya dalam
kata dan perbuatan kepada semua bangsa sampai ke ujung dunia, Van Gorcum, op.cit., hlm. 330
57
JISA: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama
Prodi Sosiologi Agama Fakultas Ilmu Sosial UIN SU Medan
Vol.1, No.1 , Juni Tahun 2018
18
Hamid Algadri, Politik Belanda Terhadap Islam dan Keturunan Arab di Indonesia, Haji
Masagung , Jakarta, 1983, hlm. 93, peraturan ini juga didasarkan atas nasehat Snouck Hurgronje
agar pemerintah Belanda diharapkan dapat membendung masuknya Pan-islamisme yang sedang
berkembang di Timur Tengah, dengan jalan menghalangi masuknya buku-buku dan brosur dari
luar ke wilayah Indonesia, mengawasi kontak langsung dan tak langsung tokoh islam Indonesia
dengan tokoh luar, serta membatasi dan mengawasi orang yang pergi ke Mekkah dan kalau bisa
menghalanginya sama sekali. Karena dikhawatirkan pengalamannya dari luar akan mempengaruhi
kelanggengan kekuasaan kolonial, Hasbullah, op.cit., hlm. 54
19
Hasbullah, op.cit., hlm. 52
58
JISA: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama
Prodi Sosiologi Agama Fakultas Ilmu Sosial UIN SU Medan
Vol.1, No.1 , Juni Tahun 2018
20
Ibid., hlm. 136
21
Maksum., op.cit., hlm. 99
59
JISA: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama
Prodi Sosiologi Agama Fakultas Ilmu Sosial UIN SU Medan
Vol.1, No.1 , Juni Tahun 2018
Penutup
Sebelum penjajah menginjakkan kakinya di Indonesia, lembaga
pendidikan Islam telah menunjukkan eksisitensinya dalam bentuk yang
beragam seperti pesantren di Jawa, surau, di Sumbar, dan rangkang di aceh.
Dan ketika kolonial Belanda menguasai Indonesia maka secara otomatis, ia
mengatur kebijakan di berbagai sektor termasuk pendidikan Islam, yang pada
dasarnya berupa ketentuan pengawasan, karena tidak dibenarkan pengajaran
tanpa pengawasan.
Kebijakan kolonial Belanda terhadap pendidikan Islam memang sangat berat
sebelah dibanding kebijakan terhadap pendidikan Kristen yang dikelola oleh
zending. Bahkan Belanda mengalirkan sejumlah dana besar dan mengangkat
sistem sekolah tersebut yang hampir sama buruk sistemnya dengan
pendidikan Islan saat itu sebagai sekolah pemerintah.
Kebijakan yang timpang tersebut tidak bisa terlepas dari faktor-faktor
motivasi kolonialis yaitu untuk menebarkan westernisasi dan kristenisasi di
bumi Indonesia ini, sehingga segala kebijakan yang dibuat haruslah memberi
keuntungan bagi pihak Belanda. Ketika umat islam tidak mau bekerja sama
22
A. Malik Fadjar, Madrasah dan Tantangan Modernitas, Mizan: Bandung, 1998, hlm.
24
60
JISA: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama
Prodi Sosiologi Agama Fakultas Ilmu Sosial UIN SU Medan
Vol.1, No.1 , Juni Tahun 2018
61
JISA: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama
Prodi Sosiologi Agama Fakultas Ilmu Sosial UIN SU Medan
Vol.1, No.1 , Juni Tahun 2018
DAFTAR PUSTAKA
62