Anda di halaman 1dari 63

MAKALAH SEJARAH SOSIAL PENDIDIKAN DI DUNIA ISLAM

“Pendidikan Agama Islam Di Masa Pendudukan Jepang (Perspektif Sejarah


Sosial)”

DISUSUN OLEH:
Rizka Sahni Inayah
NIM. 2011540015

DOSEN PENGAMPU:
Dr. H. Hery Noer Aly, MA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PASCASARJANA


FAKULTAS TARBIYAH DAN TADRIS
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BENGKULU
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Puji dan syukur penulis hanturkan kehadirat Allah SWT. yang telah
melimpahkan rahmat, taufiq, hidayah dan inayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah mata kuliah Sejarah Sosial Pendidikan Di Dunia Islam
dengan materi yang berjudul “Pendekatan dan Sejarah Sosial dalam Studi
Pendidikan, serta Fenomena Pendidikan Di Dunia Islam” ini dengan sebaik
mungkin, meskipun dalam prosesnya banyak sekali halangan dan hambatan.
Namun demikian, penulis sadari dengan sepenuh hati bahwa ini adalah benar-
benar pertolongan Allah Swt.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi
Muhammad Saw. sebagai teladan dalam dunia pendidikan yang patut dicontoh.
Penyusunan makalah merupakan kajian singkat tentang berbagai pendekatan
dalam studi pendidikan, sejarah sosial dalam pendidikan di dunia Islam, serta
fenomena menarik pendidikan di dunia Islam. Penulis menyadari bahwa makalah
ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan dan doa. Oleh karena itu, dengan
segala kerendahan hati kami banyak mengucapkan terima kasih yang sedalam-
dalamnya.
Penulis menyadari sekali, didalam penyusunan makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan serta sangat banyak kekurangan-kekurangannya, untuk itu
besar harapan kami agar teman-teman dapat memberikan kritik dan saran yang
membangun supaya kami dapat menyempurnakan makalah kami di lain waktu.
Semoga makalah ini dapat memberi motivasi bagi yang membaca.
Waalaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh

Bengkulu, Januari 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN COVER
KATA PENGANTAR..................................................................................ii
DAFTAR ISI................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................1
A. Latar Belakang Masalah...................................................................1
B. Identifikasi Masalah.........................................................................3
C. Batasan Masalah...............................................................................4
D. Rumusan Masalah.............................................................................4
E. Tujuan Masalah................................................................................4
F. Metodologi Penelitian.......................................................................5
BAB II LANDASAN TEORI.......................................................................6
A. Pendidikan Islam dan Pendidikan Agama Islam..............................6
1. Pendidikan Islam.......................................................................6
2. Pendidikan Agama Islam...........................................................9
B. Pengaruh Kekuasaan terhadap Pendidikan.....................................10
C. Pendidikan Konservasi Budaya......................................................14
D. Polemik Kebudayaan......................................................................16
BAB III SETTING SOSIAL MASA PENDUDUKAN JEPANG...........18
A. Sistem Pendidikan Masa Pendudukan Jepang................................18
B. Karakteristik Pendidikan Masa Pendudukan Jepang......................21
C. Perbedaan Sistem Pendidikan Jepang dengan Belanda..................23
D. Komponen-komponen Sistem Pendidikan Masa Pendudukan
Jepang.............................................................................................26
E. Kebijakan dan Propaganda Masa Pendudukan Jepang...................29
BAB IV PEMBAHASAN...........................................................................34
A. Pengaruh Pendudukan Jepang terhadap Pendidikan Agama Islam
dari Sisi Tujuan...............................................................................34
B. Pengaruh Pendudukan Jepang terhadap Pendidikan Agama Islam
dari Aspek Kebijakan Politik..........................................................35

iii
C. Pengaruh Pendudukan Jepang terhadap Pendidikan Agama Islam
dari Aspek Ekonomi-Sosial............................................................41
D. Pengaruh Pendudukan Jepang terhadap Pendidikan Agama Islam
dari Aspek Kurikulum....................................................................43
E. Pengaruh Pendudukan Jepang terhadap Pendidikan Agama Islam
dari Aspek Pelaksanaan Pendidikan...............................................48
BAB V PENUTUP......................................................................................52
F. Kesimpulan.....................................................................................52
G. Saran...............................................................................................55
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................56

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pendidikan di Indonesia pada masa kolonial Belanda bermula dari
prinsip pendidikan di daerah jajahan agar pendidikan diarahkan untuk
membentuk golongan elite sosial. Dasar pendidikannya berorientasi barat dan
terdapat diskriminasi sosial berdasarkan strata dan status sosial. Kesempatan
bagai anak-anak Indonesia untuk menganyam pendidikan hanya
diperuntukkan bagi golongan bangsawan, tokoh-tokoh terkemuka dan
pengawal kolonial Belanda. Rakyat jelata atau kaum nonfeodal menyadari
bahwa melalui pendidikan akan dapat memperbaiki status sosialnya, sehingga
timbullah perguruan swasta yang berorientasi barat. Kebutuhan masyarakat
Indonesia akan pentingnya pendidikan dapat terpenuhi oleh pemerintah
kolonial Belanda dengan membentuk sekolah-sekolah berdasarkan strata dan
status sosial masyarakat.1
Sejak Politik Etis dijalankan pada awal abad ke-20 untuk
mensejahterakan rakyat Indonesia, tampak hasilnya pada bidang pendidikan
yang lebih maju daripada pengaruh Belanda pada abad sebelumnya. Terbukti
dengan berdirinya sekolah-sekolah yang terbuka bagi anak-anak Indonesia.
Pada akhirnya Politik Etis (Politik Balas Budi) mengalami kemunduran
akibat hilangnya kepercayaan terhadap Politik Etis yang sesungguhnya
dilaksanakan oleh segelintir masyarakat, dan hanya bertahan selama dua
dekade. Kesejahteraan yang diharapkan rakyat Indonesia belum terbukti,
sistem pendidikan yang berkualitas hanya terbatas pada masyarakat yang
berstatus sosial tinggi, sedangkan bagi masyarakat lapisan bawah masih tetap
rendah tanpa ada peningkatan.2
Indonesia memiliki sumber daya alam dan sumber daya manusia yang
sangat melimpah, sehingga membuat bangsa asing tertarik untuk
1
Ary. H. Gunawan, Kebijakan-Kebijakan Pendidikan di Indonesia, (Jakarta: Rineka
Cipta, 1995), h. 21.
2
S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h. 18-19.

1
menguasainya seperti yang dilakukan oleh bangsa kuat dari Asia dengan
kekuatan militernya yang superior yaitu bangsa Jepang. Jepang menyerang
wilayah Indonesia dengan kekuatan militernya yang sangat kuat dan berhasil
mengalahkan pasukan tentara Belanda yang pada saat itu menguasai
Indonesia. Pasukan militer Jepang dengan pengalaman perangnya yang
berhasil mengalahkan negara besar Eropa, akhirnya dapat mengalahkan
tentara Belanda. Kekalahan tersebut membuat tentara Belanda menyerah
tanpa syarat kepada militer Jepang pada tanggal 8 Maret 1942 dengan
menandatangani kapitulasi di Kalijati yang dilakukan oleh kedua belah pihak,
pihak belanda di wakili oleh Letnan Jenderal Ter Poorten sedangkan pihak
Jepang diwakili oleh Letnan Jenderal Hitoshi Imamura. 3 Kemenangan militer
Jepang akhirnya dapat menduduki dan menjalankan pemerintahan di
Indonesia menggantikan pemerintahan kolonial Belanda. Dominasi bangsa
barat berakhir dan Indonesia telah memasuki periode baru yaitu periode
pendudukan Jepang yang jauh berbeda dari sebelumnya.
Setelah berhasil menduduki Indonesia kemudian Jepang melancarkan
propagandanya untuk menarik simpati rakyat dengan cara mendoktrin
ideologi baru yang dikenal dengan semboyan “Kemakmuran Bersama Asia
Timur Raya”. Terjadi beberapa perubahan besar yang penting sekali artinya
bagi perkembangan pendidikan di Indonesia. Usaha yang dilakukan Jepang
adalah membebaskan para pemimpin-pemimpin Indonesia yang ditawan dan
membuka kembali sekolah-sekolah yang pernah ditutup. Sistem diskriminasi
dan dualisme pengajaran dalam bidang pendidikan dihapuskan, dan sekolah
yang berdasarkan penggolongan garis keturunan maupun status sosial juga
ditiadakan. Bangsa Jepang melakukan reformasi pada bidang pendidikan,
dengan meniadakan dualisme pengajaran. Sekolah-sekolah rendah dibuka
bagi semua lapisan masyarakat tanpa memandang status sosial dengan
mengintegrasikan jenis-jenis pendidikan yang beragam pada saat
pemerintahan Belanda.

3
M. D. Poesponegoro, dan Notosusanto, N. Sejarah Nasional Indonesia VI-Zaman
Jepang dan Zaman Republik Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), h. 14.

2
Jepang membentuk Pembela Tanah Air (PETA) satu lembaga yang
terdiri dari orang-orang Indonesia. Dalam organisasi ini, orang Indonesia
dididik dan dilatih memegang senjata, didirikan Kantor Urusan Agama
(Shumubu), dibentuk Majelis Syuro Muslimin Indonesian (MASYUMI), dan
Hizbullah. Walaupun akhirnya Jepang harus mempertimbangkan mana dari
umat Islam yang dapat memenuhi kepentingan mereka di Indonesia. Tidak
dapat dipungkiri bahwa keberadaan Jepang di Indonesia membawa perubahan
yang lebih luas bagi rakyat Indonesia, khususnya dalam pendidikan, yang
pada masa kolonial Belanda bersifat diskriminatif, kini terbuka bagi jalur-
jalur sekolah, dan pendidikan menurut penggolongan keturunan, bangsa,
strata ataupun status sosial dihapuskan.4
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk
mengkaji dan menganalisis tentang pendidikan agama Islam di masa
pendudukan Jepang, yang memfokuskan pada pengaruh aspek kebijakan
politik dan aspek sosial ekonomi pendudukan Jepang terhadap pendidikan
agama Islam dilihat dari sisi tujuan, kurikulum, dan pelaksanaan pendidikan
B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang di atas masalah yang muncul dalam penelitian ini
dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
1. Pendidikan masa penjajahan Belanda yang bersifat diskriminatif.
2. Pendidikan masa penjajahan Belanda diperuntukkan bagi strata atau
status sosial tinggi.
3. Pendidikan untuk jalan kepentingan politik masa penjajahan Belanda.
4. Peluang pendidikan untuk semua kalangan tanpa memandang strata pada
masa pendudukan Jepang.
5. Pendidikan untuk mencapai tujuan politik jepang.
6. Pembentukan organisasi untuk orang Indonesia masa pendudukan Jepang.

4
Ary. H. Gunawan, Kebijakan-Kebijakan Pendidikan di Indonesia, h. 21.

3
C. Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas penulis membatasi masalah
pada pengaruh pendudukan Jepang terhadap pendidikan agama Islam di
Indonesia yang dibatasi pada aspek tujuan, kebijakan politik, kurikulum dan
pelaksanaan pendidikan.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis
mengidentifikasikan masalah yang berkaitan dengan judul yang akan di bahas
dalam tulisan ini, yaitu: Bagaimana pengaruh aspek kebijakan politik dan
aspek sosial ekonomi pendudukan Jepang terhadap pendidikan agama Islam
dilihat dari sisi tujuan, kurikulum, dan pelaksanaan pendidikan?
E. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan
makalah ini adalah: Untuk mengkritisi tentang pengaruh aspek kebijakan
politik dan aspek sosial ekonomi pendudukan Jepang terhadap pendidikan
agama Islam dilihat dari sisi tujuan, kurikulum, dan pelaksanaan pendidikan
F. Metodologi Penulisan
Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan perspektif
sejarah sosial atau history, yang bertujuan untuk mencapai penulisan sejarah,
yaitu penyelidikan atau suatu masalah dengan mengaplikasikan jalan
pemecahannya dari perspektif historis. Abdurrahman mengutip dari
Gottchalk, mensistematisasikan langkah-langkah dalam meneliti sejarah,
diantaranya sebagai berikut:5 1) pengumpulan objek yang berasal dari suatu
zaman ke pengumpulan bahan-bahan tertulis dan lisan yang relevan; 2)
menyingkirkan bahan-bahan (atau bagian-bagian daripadanya yang tidak
otentik); 3) menyimpulkan kesaksian yang dapat dipercaya berdasarkan
bahan-bahan yang otentik; dan 4) penyusunan kesaksian yang dapat dipercaya
itu menjadi suatu kisah atau penyajian yang berarti.

5
Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999), h. 43-44.

4
Secara ringkas setiap langkah ini berturut-turut diistilahkan dengan:
heuristik, kritik, intepretasi, dan historiografi.6 Penelitian kualitatif dengan
pendekatan sejarah sosial pada penelitian ini bertujuan untuk menganalisis,
mengkritikan, mendeskripsikan dan mengetahui pendidikan agama Islam di
masa pendudukan Jepang, yang fokus membahas mengenai pengaruh aspek
kebijakan politik dan aspek sosial ekonomi pendudukan Jepang terhadap
pendidikan agama Islam dilihat dari sisi tujuan, kurikulum, dan pelaksanaan
pendidikan. Secara garis besar, sumber bacaan yang ada di perpustakaan
dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu sumber acuan umum dan
sumber acuan khusus. Sumber acuan umum biasanya berisi tentang teori-teori
dan konsep-konsep melalui buku-buku teks, ensklopedia, monograp, dan
sejenisnya. Sumber acuan khusus yaitu berupa jurnal, bulletin penelitian,
tesis, dan lain-lain. Pada penelitian ini, kedua sumber tersebut digunakan
untuk menganalisis permasalahan terkait fokus penelitian yaitu pendidikan
agama Islam di masa pendudukan Jepang.

6
Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, h. 44.

5
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Pendidikan Islam dan Pendidikan Agama Islam


1. Pendidikan Islam
Pengajaran pertama dalam Islam adalah pada ketika Jibril datang
menemui Nabi Muhammad Saw. yang sedang berada di gua Hira. Dalam
pengajarannya Jibril meminta kepada Nabi Saw. untuk membaca dan
mengikuti apa yang dibacakan kepadanya. Surat al-Alaq ayat 1 sampai 5
merupakan bukti bahwa kemunculan Islam ditandai dengan pengajaran
dan pendidikan sebagai pondasi utama setelah iman, islam dan ihsan.
Yaitu terdapat pada makna ayat Al-Quran:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan.
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan
Tuhanmulah Yang Paling Pemurah. Yang mengajar (manusia)
dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia yang
tidak diketahuinya.”

Dari ayat Al-Quran di atas paling tidak mengisyaratkan ada empat


pokok bahasan, yaitu; pertama, manusia sebagai subyek dalam membaca,
memperhatikan, merenung, meneliti dengan asas niat yang baik yang
ditandai dengan menyebut nama Tuhan; kedua, objek yang dibaca,
diperhatikan, dan direnungkan, yaitu materi dan proses penciptaan
hingga menjadi manusia sempurna; ketiga, media dalam melakukan
aktivitas membaca dan lain-lain; dan keempat, motivasi dan potensi yang
dimiliki oleh manusia (rasa ingin tahu). Pemahaman ayat di atas semakna
jika dikaitkan dengan faktor-faktor yang berkaitan dengan proses
pendidikan dalam arti mikro, yaitu: pendidik, anak didik, dan alat-alat
pendidikan, baik yang bersifat materiil maupun nonmateriil.7
Ada tiga term dalam bahasa Arab yang menjadi padanan
pendidikan Islam yaitu ta’lim, ta’dib, dan tarbiyah.8 Pendidikan disebut

7
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), h. 8.
8
Muhammad Sholeh Hoddin, Dinamika Politik Pendidikan Islam Di Indonesia;
Studi Kebijakan Pendidikan Islam Pada Masa Pra-Kemerdekaan Hingga Reformasi, Jurnal Ilmiah

6
dengan ta’lim yang berasal dari kata ‘allama berkonotasi pembelajaran
yaitu semacam proses transfer ilmu pengetahuan. Dalam kaitan
pendidikan, ta’lim dipahami sebagai proses bimbingan yang ditekankan
pada aspek peningkatan kognisi peserta didik. Istilah ta’lim dalam hal ini
memberikan tendensi pada proses interaksi edukatif dalam rangka
peraihan tujuan-tujuan yang telah ditentukan. Istilah yang kedua yaitu
ta’dib yang berasal dari kata addaba memiliki konotasi sebuah proses
pembinaan yang lebih menekankan pada perbaikan mental manusia yang
erat hubungannya dengan masalah moral dan lebih berorientasi pada
pengembangan dan peningkatan martabat manusia.
Sedangkan tarbiyah yang berasal dari kata robbaa, pada
hakikatnya merujuk kepada Allah selaku Murabby (pendidik) sekalian
alam. Kata Rabb (Tuhan) dan Murabby (pendidik) berasal dari akar kata
seperti termuat dalam Q.S. Al-Isra’: 24. Istilah ini dapat dipahami
sebagai sebuah proses pendidikan yang dilakukan dengan sadar dan
terprogram, teratur, sistematis, penuh petimbangan, dan terarah pada
tujuan. Pendidikan atau dalam bahasa Arab tarbiyah yang berarti
mendidik. Sasaran pendidikan tidak hanya terfokus kepada
perkembangan jasmani peserta didik, namun rohani juga menjadi
perhatian dalam kegiatan pendidikan. Para ahli pendidikan banyak
memberikan definisi tentang makna pendidikan yang semuanya
mengarah kepada perbaikan diri peserta didik. Pendidikan adalah
kegiatan yang bersifat sosial kemasyarakatan. Keadaannya selalu
berbeda-beda sesuai dengan perbedaan corak, sifat dan kebudayaan yang
berkembang di masyarakat tersebut.9 Sistem dan tujuan pendidikan bagi
suatu masyarakat dan negara tidak dapat diimpor atau diekspor dari atau
ke suatu negara atau masyarakat. Pendidikan harus timbul dalam
masyarakat itu sendiri. Ia adalah pakaian yang harus diukur dan dijahit
sesuai dengan bentuk dan ukuran pemakainya berdasarkan identitas,

Iqra’, Vol. 14, No. 1, (IAIN Manado: Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, 2020), h. 19.
9
Ali Khalil Abu al-Ainain, Dilihat dari Sholehudin, Dinamika Baru Wacana Islam
Di Indonesia, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), h. 271.

7
pandangan hidup serta nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat atau
negara tersebut.10
Al-Nahlawi memberikan pengertian pendidikan Islam adalah
sebagai pengaturan pribadi dan masyarakat sehingga dapat memeluk
Islam secara logis dan sesuai secara keseluruhan baik dalam kehidupan
individu maupun masyarakat (kolektif).11 Hal yang senada juga
disampaikan Muhammad Fadhil al-Jamaly; mendefinisikan pendidikan
Islam sebagai upaya mengembangkan, mendorong serta mengajak
peserta didik hidup lebih dinamis dengan berdasarkan nilai-nilai yang
tinggi dan kehidupan yang mulia. Dengan proses tersebut, diharapkan
akan terbentuk pribadi peserta didik yang lebih sempurna, baik yang
berkaitan dengan potensi akal, perasaan, maupun perbuatannya.12
Ahmad D. Marimba mendefinisikan bahwa pendidikan Islam
adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap
perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya
kepribadiannya yang utama (insan kamil). Sementara itu, Zuhairini
mengelompokkan definisi pendidikan menjadi dua kelompok, yaitu
pendidikan dalam arti luas dan pendidikan dalam arti sempit. Pendidikan
dalam arti luas adalah seluruh proses hidup dan kehidupan manusia,
segala pengalaman sepanjang hidupnya merupakan dan memberikan
pengaruh pendidikan baginya. Sedangkan pendidikan dalam arti sempit
adalah suatu kegiatan memberikan dasar-dasar dan pandangan hidup
kepada generasi yang sedang tumbuh yang pada prakteknya identik
dengan pendidikan formal di sekolah dan dalam situasi dan kondisi serta
lingkungan belajar yang serba terkontrol. Ahmad Tafsir mengatakan
bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan yang diberikan oleh

10
M. Quraish Shihab, Dilihat dari Sholehudin, Dinamika Baru Wacana Islam Di
Indonesia, h. 268.
11
Abdurrahman al-Nahlawi, Dilihat dari Moch. Tolchah, Dinamika Pendidikan Islam
Pasca Orde Baru, (Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara, 2015), h. 37.
12
Muhammad Fadhil al-Jamaly, Dilihat dari Moch. Tolchah, Dinamika Pendidikan
Islam Pasca Orde Baru, h. 39.

8
seseorang kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai
dengan ajaran Islam.13
Sedangkan yang dimaksud dengan pendidikan Islam adalah
proses pewarisan dan pengembangan budaya manusia yang bersumber
dan berpedomankan ajaran Islam sebagaimana termaktub dalam al-
Qur’an dan terjabar dalam sunnah Rasul. Dari beberapa definisi di atas
dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah usaha sadar yang
dilakukan oleh pendidik untuk melakukan transformasi pengetahuan
(aspek kognitif), membentuk perilaku yang baik pada peserta didik
(aspek afektif) serta dapat mengimplementasikan dalam kehidupannya
(aspek psikomotorik) yang berakhir pada terbentuknya individu yang
sempurna (insan kamil).
2. Pendidikan Agama Islam
Pendidikan agama Islam adalah Pendidikan Islam. Al-Syaibani
mengartikannya sebagai usaha pendidikan untuk mencapainya, baik pada
tingkah laku individu dan pada kehidupan pribadinya atau pada
kehidupan masyarakat dan pada kehidupan alam sekitar pada proses
kependidikan.14 Muhaimin berpendapat bahwa pendidikan agama Islam
bermakna upaya mendidikkan agama Islam atau ajaran Islam dan nilai-
nilainya agar menjadi pandangan dan sikap hidup seseorang. Dari
aktivitas mendidikkan agama Islam itu bertujuan untuk membantu
seseorang atau sekelompok anak didik dalam menanamkan dan
menumbuh kembangkan ajaran Islam dan nilai-nilainya untuk dijadikan
sebagai pandangan hidupnya.
Dari definisi pendidikan agama Islam dan beberapa definisi
pendidikan Islam di atas, terdapat kemiripan makna yaitu keduanya
sama-sama mengandung arti pertama, adanya usaha dan proses
penanaman sesuatu (pendidikan) secara continue; kedua, adanya

13
Ahmad Tafsir, Dilihat dari Dedi Mulyasana, Khazanah Pemikiran Pendidikan
Islam: Dari Wacana Lokal Hingga Tatanan Global, (Bandung: Cendekia Press, 2020), h. 252.
14
Syahidin, Aplikasi Metode Pendidikan Qurani dalam Pembelajaran Agama di
Sekolah, (Tasikmalaya: Ponpes Suryalaya Tasikmalaya, 2005), h. 20.

9
hubungan timbal balik antara orang pertama (orang dewasa, guru,
pendidik) kepada orang kedua, yaitu peserta dan anak didik; dan ketiga
adalah akhlakul karimah sebagai tujuan akhir. Namun tidak kalah
pentingnya dari aspek epistemologi bahwa pembinaan dan
pengoptimalan potensi; penanaman nilai-nilai Islam dalam jiwa, rasa, dan
pikir; serta keserasian dan keseimbangan.15
B. Pengaruh Kekuasaan terhadap Pendidikan
Kekuasaan adalah pemerintah dengan birokrasi ataupun kekuasaan
kaum konglomerat, atau kekuasaan yang dipegang oleh seseorang atau
kekuasaan lainnya. Jika berbicara tentang masalah kekuasaan sangat menarik
terutama dalam masyarakat modern, karena hampir seluruh aspek kehidupan
manusia dipengaruhi oleh kekuasaan. Dalam kehidupan sehari-hari kita diatur
oleh berbagai jenis kekuasaan, seperti kekuasaan militer, kekuasaan ekonomi,
kekuasaan politik, dan bermacam-macam kekuasaan lainnya. Diantara
kekuasaan itu kekuasaan politiklah yang paling menonjol dalam kehidupan
masyarakat modern. Seorang sosiolog, Gianfranco Poggi, membedakan
kekuasaan sosial kedalam tiga jenis yaitu: 1) kekuasaan politik, 2) kekuasaan
ekonomi dan, 3) kekuasaan normatif atau idiologis.16
Dalam pandangan filsafat antropologi, menurut Herbert Rosinski,
kekuasaan merupakan suatu fenomena yang berhubungan dengan esensi
manusia, yaitu bahwa keberadaan manusia merupakan suatu makhluk yang
spesifik meskipun dia dilengkapi dengan kemampuan-kemampuan biologis,
tetapi kehidupan manusia tidak seluruhnya diprogram oleh keberadaan
biologisnya itu, sehingga manusia memiliki kemampuan untuk bertindak
(action). Melalui action manusia menunjukkan potensi-potensi yang ada
dalam dirinya yaitu potensi atau kapasitas untuk mengetahui, berbuat,
berbicara, bermain, dan sebagainya. Dengan pengertian yang luas, kekuasaan

15
Abdul Rahman, Pendidikan Agama Islam dan Pendidikan Islam-Tinjauan
Epistemologi dan Isi Materi, Jurnal Eksis, Vol. 8, No. 1, (Samarinda: Politeknik Negeri, 2012), h.
2055.
16
Musdiani, Kekuasaan dan Pendidikan, Vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2010, (Banda
Aceh: STKIP Bina Bangsa Getsempena), h. 57.

10
(power) merupakan kemampuan manusia untuk berbuat sesuatu yang lain dari
yang lain.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajar agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan merupakan salah satu
hak azasi manusia, dimana pemerintah merupakan satu-satunya lembaga yang
dapat menyelenggarakan pendidikan. Kekuasaan pemerintah dalam
penentuan proses dan isi pendidikan tetap diperlukan, namun batas-batas
kekuasaan pemerintah dalam manajemen pendidikan nasional haruslah tidak
bertentangan dengan hak azasi manusia.17
Menurut H.A.R. Tilaar, jenis kekuasaan dalam pendidikan menjadi
dua pola: pertama, kekuasaan transmitif yaitu jenis kekuasaan yang pola
hubungan didalamnya terjadi proses transmisi yang diinginkan oleh subjek
yang terkena kekuasaan itu sendiri dan berorientasi legitimatif. Implikasinya
adalah yang terjadi dalam proses pelaksanaan kekuasaan (pendidikan) yaitu
pola hubungan satu arah antara pendidik dan peserta didik; kedua, kekuasaan
transformatif yaitu jenis kekuasaan yang pola hubungan didalamnya adalah
dalam proses terjadinya kekuasaan (pendidikan) dengan memposisikan
pendidik sebagai subjek dan peserta didik sebagai subjek yang lain. Pola
hubungan yang di bangun tidak ada bentuk subordinasi antara subjek dengan
subjek lain dan berorientasi advokatif. Implikasinya adalah pendidik bukan
hanya sekedar menjadi robot, karena disini terjadi pula proses pemberian
kekuasaan dan kebebasan dari pendidik kepada peserta didik untuk
mengembangkan segala potensinya serta menjadikan peserta didik sebagai
manusia seutuhnya (humanisasi). Dari kedua jenis kekuasaan yang terjadi
dalam pendidikan tersebut, Tilaar membagi empat masalah yang berkenaan

17
Musdiani, Kekuasaan dan Pendidikan, h. 58.

11
dengan pelaksanaan pendidikan berdasarkan kekuasaan, yaitu: proses
domestifikasi, indoktrinasi, demokrasi, dan integrasi sosial.18
Menurut Antonio Gramsci, kekuasaan memiliki hubungan dengan
pendidikan. Menurutnya kekuasaan (politik) adalah justru sebagai sebuah
proses edukatif. Dengan kata lain Gramsci memberikan muatan edukatif
dalam aktifitas politiknya. Politik tidak hanya dipersepsi sebagai seni
memperebutkan kekuasaan, tapi didalamnya ada muatan dan nilai edukatif.
Gramsci menjelaskan bahwa kekuasaan (hegemoni) adalah kondisi sosial
dalam semua aspek kenyataan sosial yang didominasi atau disokong oleh
kelas tertentu. Dengan demikian dalam pandangan Gramsci kekuasaan adalah
hubungan edukasional (educational relationship), yang membentuk civil
society yang didalamnya terletak dasar dari kekuasaan. Disinilah terletak
peran lembaga-lembaga sosial ideologis, seperti hukum, pendidikan, media
massa, agama dan lain-lain.19
Menurut Martono, dalam peran institusi pendidikan ada subjek aktif
yang turut memengaruhi praktik pendidikan di masyarakat. Sebagaimana
dikutip dari Foucault menyebut subjek tersebut dengan istilah kekuasaan,
Bourdien menyebutnya dengan istilah kekuasaan simbolik dan dominasi.
Kekuasaan merupakan unsur dalam pendidikan yang eksistensinya dapat
bersifat nyata maupun tidak nyata, dapat disadari maupun tidak disadari.
Kekuasaan mewujudkan tujuannya dengan berbagai cara. Bourdieu menyebut
kekuasaan bergerak melalui simbol-simbol sosial yang kemudian ia
menyebutnya sebagai kekuasaan simbolik. Kekuasaan ini menggerakkan dan
menjiwai proses pendidikan secara halus. Sulit bagi individu mengenali
mekanisme kerja kekuasaan yang sebenarnya ada di sekitar mereka. Bahkan,
melalui kekuasaan simbolik, setiap individu hampir tidak menyadari bahwa
dirinya sedang menjadi objek kekuasaan.20
18
H.A.R. Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan; Pengantar untuk
Memahami Kebijakan Pendidikan dan Kebijakan Pendidikan sebagai Kebijakan Publik,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 112.
19
Roger Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci, Terj. Kamdani dan Iman
Baehaqi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 33.
20
Nanang Martono, Dominasi Kekuasaan Dalam Pendidikan: Tesis Bourdieu dan
Foucault tentang Pendidikan, Jurnal Interaksi, Vol. 8, No. 1, (Purwokerto: Universitas Jenderal

12
Menurut Bourdieu, sekolah merupakan tempat yang strategis bagi
kelas dominan untuk melakukan kekerasan simbolik ini. Mereka
melakukannya dengan berbagai cara: melalui gaya hidup yang
disosialisasikan di sekolah dan melalui materi pelajaran di sekolah yang lebih
banyak menghadirkan habitus kelas dominan daripada habitus kelas bawah.
Kelas dominan menggunakan sekolah sebagai tempat melanggengkan
kekuasaan dan mempertahankan posisinya. Pendapat Foucault, ia tidak
eksplisit menyebutkan siapa pihak yang berkuasa dan siapa yang dikuasai.
Pada intinya Foucault menyatakan bahwa siapa pun dapat memiliki
kekuasaan karena kekuasaan bersifat “dapat dipindahkan”. Dalam
pendidikan, kekuasaan bekerja menggunakan wacana yang muncul dalam
wujud nyata melalui berbagai regulasi negara, misalnya: wacana kurikulum,
penilaian.
Kekuasaan juga dapat muncul dalam mekanisme pengawasan
terhadap individu di sekolah secara langsung maupun tersembunyi.
Standarisasi dalam pendidikan juga merupakan wujud kekuasaan yang
mampu membedakan setiap individu dalam beberapa kategori. Standarisasi
ini dikolaborasikan dengan sistem penilaian, sehingga sekolah mampu
membedakan siswa dalam kategori pintar-bodoh, jenius-idiot dan
pengategorian lainnya. Foucault juga menganalisis perubahan perlakuan
terhadap manka seksualitas dalam pendidikan.21 Ketika sebelumnya
seksualitas dianggap sebagai bentuk ketabuan, namun akhirnya kekuasaan
membuka wacana seksualitas ini di ruang publik, termasuk dalam pendidikan.
Wacana seksualitas masuk dalam pendidikan dalam berbagai bentuk:
pendidikan seks, kesehatan reproduksi, serta wacana pemisahan ruang antara
laki-laki dan perempuan di sekolah dalam fasilitas pendidikan.
Beragam pendapat para ahli mengenai pengaruh kekuasaan terhadap
pendidikan bahwa kekuasaan sangat mempengaruhi pendidikan terutama
dalam pelaksaan pendidikan, karena kekuasaan merupakan kendali dari

Soedirman, 2014), h. 4.
21
Nanang Martono, Dominasi Kekuasaan Dalam Pendidikan: Tesis Bourdieu dan
Foucault tentang Pendidikan, h. 5-7.

13
proses pendidikan yang terjadi. Penulis memahami bahwa pengaruh
kekuasaan terhadap pendidikan tidak hanya sebatas kendali, tetapi kekuasaan
mempunyai peran pengarah, pengatur, pengontrol, dan penyelesai segala
pertikaian dan problema yang terjadi dalam pendidikan. Walaupun secara
tidak langsung masuk dalam pelaksanaan pendidikan, tetapi kekuasaan
memainkan peran penting dari pendidikan yang terjadi sebagai kendali atas
segalanya.
C. Pendidikan Konservasi Budaya
Secara umum, konservasi, mempunyai arti pelestarian yaitu
melestarikan/mengawetkan daya dukung, mutu, fungsi, dan kemampuan
lingkungan secara seimbang. konservasi merupakan upaya mengelola
perubahan menuju pelestarian nilai dan warisan budaya yang lebih baik dan
berkesinambungan. Dengan kata lain bahwa dalam konsep konservasi
terdapat alur memperbaharui kembali (renew), memanfaatkan kembali
(reuse), mengurangi (reduce), mendaur ulang kembali (recycle), dan
menguangkan kembali (refund). 22
Pendidikan konservasi dalam kajian ini tidak akan lepas dari konteks
tujuan pelestarian, penyelamatan, pemberdayaan serta pendayagunaan.
Makna tersebut secara normatif mengantarkan kepada peserta didik agar
memiliki pemahaman pengetahuan dalam memberdayakan dan menghormati
kekhasan untuk eksistensi dan mereposisikannya pada perkembangan
dinamika globalisasi sekarang ini. Keterlibatan pendidikan konservasi untuk
eksistensi resposisi tersebut karena terdapat konsep pencerahan pengetahuan
sehingga muncul kesadaran betapa pentingnya mempertahankan kekhasan
yang dimiliki oleh manusia. 23
Pendidikan merupakan salah satu sarana bentuk pemeliharaan
pemahaman pengetahuan dalam mempengaruhi perubahan perilakunya

22
Maman Rachman, Konservasi Nilai dan Warisan Budaya, Indonesian Journal of
Conservation (IJC), Vol. 1, No. 1, (Semarang: Universitas Negeri Semarang, Fakultas Ilmu Sosial,
2012), h. 32.
23
Khoirul Huda dan Yoga Ardian Feriandi, Pendidikan Konservasi Perspektif
Warisan Budaya untuk Membangun History for Life, Arista Journal, Vol. 6, No. 2, (Universitas
PGRI Madiun: Sosial Politik Humaniora, 2018), h. 333.

14
sebagai akibat dari adanya dorongan dari ketercerahan kognitifnya.
Keterkaitan dengan pendidikan konservasi ialah bagaimana ketercerahan
wawasan berpikir tersebut memberikan dampak dalam pengubahan perilaku
dalam menempatkan kembali (mereposisi) subjek yang selama ini belum
difungsikan dengan baik yang hakikatnya memiliki nilai dan makna untuk
pengembangan keilmuan masa depan. Pendidikan konservasi dalam
penerapannya mempunyai arti penting dalam mendorong generasi muda
untuk menyelamatkan keberagaman nilai-nilai kekhasan dalam kehidupan
masyarakat. Pada dasarnya menurut Setiono pengertian pendidikan
konservasi adalah pendidikan yang mengharapkan adanya perubahan tingkah
laku, sikap dan cara berpikir terutama yang berkaitan dengan pengelolaam
sumber daya alam dan ekosistemnya.24
Pendidikan konservasi sebaiknya diberikan sedini mungkin kepada
anak-anak, agar lebih tertanam di dalam hati sanubari mereka, sehingga
mereka kelak pada saat dewasa akan semakin bijak dalam berinteraksi dengan
lingkungan alam. Pendidikan konservasi merupakan salah satu bentuk usaha
menjaga dan melindungi nilai-nilai luhur, keanekaragaman hayati, dan
peningggalan bangunan bersejarah yang ada. Pendidikan konservasi itu
sendiri bertujuan untuk memperkenalkan alam kepada masyarakat dan
meningkatkan kesadaran akan nilai penting sumber daya alam yang beraneka
dalam sebuah ekosistem kehidupan. Pendidikan konservasi merupakan salah
satu pembelajaran secara eksperiental. Program ini memfokuskan pada
beberapa hal antara lain: (a) untuk mendukung kepedulian dan perhatian
terhadap ekonomi, sosial dan keterkaitannya terhadap lingkungan ekologis
baik di perkotaan maupun di pedesaan, (b) untuk menyediakan setiap orang
dengan kesempatan mendapatkan pengetahuan, nilai, perilaku, komitmen,
kemampuan yang diperlukan dalam menjaga dan meningkatkan kualitas
lingkungan hidup, dan (c) untuk menciptakan pola sikap hidup yang positif

24
Khoirul Huda dan Yoga Ardian Feriandi, Pendidikan Konservasi Perspektif
Warisan Budaya untuk Membangun History for Life, h. 334.

15
baik lingkup individu, kelompok, dan masyarakat secara keseluruhan
terhadap lingkungan alamnya.25
D. Polemik Kebudayaan
Polemik kebudayaan merupakan pergulatan pemikiran terbesar dalam
sejarah kebangsaan Indonesia yang memiliki cita-cita untuk Indonesia
membuat Indonesia setara dengan negara yang telah maju bebas dari
penjajahan. Tokoh-tokoh polemik kebudayaan yang bercita-cita untuk
merealisasikan keinginan agar menjadi nyata diantaranya; Sultan Takdir
Alisjahbana, Sanusi Pane, Dr. Purbatjaraka, Dr. Sutomo, Tjindarbumi,
Adinegoro, M. Amir, Ki Hadjar Dewantara, dan Achdiat K. Mihardja. 26
Polemik kebudayaan muncul ke permukaan ranah kebudayaan Indonesia
dilatarbelakangi oleh munculnya cita-cita ke-Indonesiaan, yakni keinginan
dari sebagian besar kalangan nasional bahwa di kemudian hari bangsa
Indonesia adalah sebuah bangsa yang mampu bersaing dengan bangsa-bangsa
maju lainnya di dunia. Cita-cita tersebut diwakili oleh didirikannya
Organisasi Budi Utomo dan Perguruan Taman Siswa, serta terjadinya
peristiwa Sumpah Pemuda. Ketiga peristiwa itu mewakili lahirnya cita-cita
tentang suatu bangsa merdeka di kalangan masyarakat pribumi Indonesia.27
Dalam polemik kebudayaan, selain membicarakan mengenai
permasalahan kebudayaan dan kebangsaan, juga menyajikan perdebatan
mengenai masalah pendidikan. Dalam peristiwa tersebut, pendidikan
merupakan alat untuk mempelajari kebudayaan yang akan dijadikan sebagai
haluan melangkah ke depan bagi bangsa Indonesia. Menurut Daod Joesoef,
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia tahun 1978-1983, pendidikan
sebagai bagian dari kebudayaan karena pendidikan adalah upaya memberikan
pengetahuan dasar sebagai bekal hidup.28 Dalam dunia pendidikan inilah

25
Maman Rachman, Konservasi Nilai dan Warisan Budaya, Ih. 34-35.
26
Perpustakaan Universitas Indonesia
27
Flavianus Setyawan Anggoro, Wacana Kebudayaan Indonesia Pada Masa
Pergerakan Kemerdekaan: Polemik Kebudayaan (1935-1939), (Skripsi), (Yogyakarta: Universitas
Sanata Dharma, Jurusan Sejarah Fakultas Sastra, 2011), h. 106.
28
Daoed Joesoef, Aspek-aspek Kebudayaan Yang Harus Dikuasai Guru, Majalah
Kebudayaan, No. 1 Tahun 1982.

16
nilai-nilai penting dari suatu kebudayaan akan ditanamkan dalam masyarakat,
agar masyarakat mampu mengembangkan sebuah bangsa.

17
BAB III
SETTING SOSIAL MASA PENDUDUKAN JEPANG

A. Sistem Pendidikan Masa Pendudukan Jepang


Awal terjadinya penjajahan Jepang di Indonesia dimulai pada saat
Jepang melakukan penaklukan Asia Tenggara sejak tahun 1941. Mulanya,
sebuah faksi perlawanan yang ada di Aceh mendapatkan bantuan dari
pasukan Jepang untuk menghadapi Belanda. Faksi ini, seiring dengan
perjuangan rakyat Aceh yang sekian lama melawan penjajahan, telah menjadi
jalan masuk Jepang untuk melancarkan rencana revolusi mengusir
pemerintahan Belanda. Dari sini dapat dikatakan bahwa hubungan Jepang-
Islam sesungguhnya telah dibangun jauh sebelum Jepang menjajah Indonesia
melalui bantuan militer.29
Satu tahun setelahnya, pihak Jepang mengarahkan pasukannya ke
Jawa. Pada 1 Maret 1942, pasukan Jepang mencapai pantai Banten dan
bergerak dengan cepat ke Batavia yang dinyatakan oleh Belanda sebagai kota
terbuka. Batavia diduduki pada 5 Maret 1942. Kolonial Belanda menyerah
tanpa syarat kepada militer Jepang pada tanggal 8 Maret 1942 dengan
menandatangani kapitulasi di Kalijati oleh kedua belah pihak. Kekalahan
kolonial Belanda atas militer Jepang tersebut menandai berakhirnya masa
kejayaan dan pemerintahan kolonial Belanda atas bangsa Indonesia, maka
pada 9 Maret 1942 Indonesia memasuki periode baru dalam sistem
pemerintahan di bawah kekuasaan pendudukan Jepang.30 Terjadi banyak
perubahan besar, mulai dari sistem pemerintahan sampai pada sistem
pendidikan dan juga perubahan-perubahan dibidang lainnya. Perubahan
tersebut membawa pengaruh besar terhadap sikap dan perilaku bangsa
Indonesia maupun bagi bangsa Jepang. Salah satu perubahan besar yang

29
M. Syarif, Politik Pendidikan Jepang dan Pengaruhnya terhadap Pendidikan
Islam Di Indonesia, (Mojokerto: Universitas Islam Majapahit, Fakultas Agama Islam) Dipublish
pada 11 September 2019, Diakses pada 10 November 2020, h. 249.
30
Abdul Qadir Djaleani, Sejarah Gerakan Politik Umat Islam Indonesia, (Jakarta:
Bee Media, 2016), h. 515-516

18
terjadi ialah ditiadakannya dualisme pengajaran di sekolah-sekolah yang
pernah diterapkan pada masa kolonial Belanda.
Pendidikan sangat berperan penting dalam membentuk karakter
bangsa Indonesia untuk menanamkan jiwa pemberani, serta semangat
berjuang dalam membangun semangat nasionalisme. Jepang menyadari
pentingnya pendidikan untuk mempengaruhi mentalitas dan pola pikir
masyarakat Indonesia, bangsa Jepang melancarkan propagandanya untuk
menarik simpati rakyat dengan semboyan “Kemakmuran Bersama Asia
Timur Raya” atau yang terkenal dengan sebutan Hakko Ichiu yang menjadi
landasan idiil pendidikan pada masa pendudukan Jepang.31 Landasan tersebut
mengajak masyarakat Indonesia untuk bersatu menyusun dan mengarahkan
kembali perekonomian Indonesia dalam rangka menopang upaya kepentingan
militer Jepang untuk memenangkan perang.
Kebijaksanaan bangsa Jepang adalah untuk menghilangkan pengaruh-
pengaruh barat yang telah lama mempengaruhi sifat dan perilaku masyarakat
Indonesia, serta memobilisasi masyarakat untuk dijadikan sebagai prajurit
yang dipersiapkan dalam memenangkan perang Asia Timur Raya. Usaha
yang dilakukan untuk menghilangkan pengaruh Belanda yaitu dengan
melarang penggunaan bahasa Belanda dan bahasa Inggris dalam pengajaran
di sekolah maupun dalam beinteraksi sehari-hari. Bahasa Jepang yang
sebelumnya tidak pernah dikenal oleh masyarakat, menjadi bahasa yang
diajarkan di sekolah bahkan menjadi mata pelajaran wajib dan syarat ujian
bagi para guru.32 Usaha mengindoktrinasi masyarakat Indonesia melalui
landasan idiil Hakko Ichiu untuk kepentingan peperangan telah membawa
perubahan besar pada struktur pemerintahan dalam segala aspek yang terkait
dengan kondisi sosial, budaya, dan pendidikan. Perubahan tersebut
mempengaruhi sistem pendidikan di Indonesia yang tampak mengalami
kemerosotan akibat pengintegrasian sekolah-sekolah yang beragam pada saat
31
R. Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-Dasar
Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2006), h. 268-269.
32
M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta: Serambi Ilmu
Semesta, 2005), h. 409-410.

19
pemerintahan Belanda, sehingga terjadi pengurangan kualitas dan kuantitas
pada sekolah-sekolah maupun jumlah peserta didik yang mengenyam
pendidikan.
Pada akhir 1942, seiring dengan pemikiran tentang peran penting
Islam dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia, Jepang membentuk
kantor urusan agama yang bernama Shumubu. Kantor ini sekaligus
menggantikan kantor serupa yang telah ada pada era belanda, “Kantoor Voor
Inlandsche Zaken”. Shumubu, pada era penjajahan Jepang berfungsi sebagai
penasehat umum dalam masalah agama yang antara lain bertugas mengangkat
pegawai agama dan mengawasi buku-buku agama. Dan terkait dengan
Masyumi diatas, setiap kiyai dan ulama secara pribadi dapat menjadi anggota
Masyumi dengan persetujuan Shumubu.33
Berbeda dengan pemerintah kolonial Belanda, Shumubu sebagai
kantor urusan agama yang dibentuk oleh pemerintah kolonial juga,
merupakan kantor pertama yang anggota-anggotanya diisi oleh orang-orang
pribumi dan diketuai oleh orang pribumi. Pertama kali, sebagai pimpinannya,
Jepang mengangkat K.H Hasyim Asy’ari, seorang ulama berpengaruh di
tanah Jawa. Pada masa Jepang, kantor ini telah mempunyai cabang hampir
diseluruh kota keresidenan (kabupaten di masa sekarang), dan berpusat di
Jakarta.34 Di tangan para ulama ini, Shumubu memiliki peran yang fungsional
bagi perkembangan pendidikan Islam. Pada 1944, Kepala kantor Shumubu di
Keresidenan Banyumas mengusulkan supaya diberikan pendidikan agama di
seluruh sekolah desa yang ada di keresidenannya. Usul ini disetujui oleh
kantor Shumubu pusat di Jakarta. Tetapi gaji para guru agama tersebut diberi
oleh Pemerintah Daerah setempat. Persetujuan yang sama juga diberikan pada
keresidenan lain seperti Kediri dan Pekalongan. Dalam hal ini, dapat

33
M. Syarif, Politik Pendidikan Jepang dan Pengaruhnya terhadap Pendidikan
Islam Di Indonesia, h. 250.
34
Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah; Pendidikan Islam dalam
Kurun Modern, (Jakarta, LP3ES, 1994), h. 85-86.

20
dikatakan bahwa garis kebijakan pendidikan agama telah mendapatkan benih
kebijakan yang positif dan dukungan justru sejak era pemerintahan Jepang.35
Dari sana kita bisa membandingkan, jika pada masa kolonial Belanda,
sekolah umum tidak diperkenankan memasukkan pelajaran agama Islam
sebagai mata pelajaran dengan alasan pengajaran di sekolah umum itu
bersifat netral. Pelajaran agama hanya boleh diberikan di luar jam belajar
sekolah. Kondisi ini berlanjut hingga akhir pemerintahan Belanda. Kondisi
ini berbeda pada era pemerintahan Jepang dengan diperbolehkannya
pendidikan agama di sekolah umum sebagai efek dari ditiadakannya
diskriminasi menurut golongan penduduk, keturunan, dan agama sehingga
semua lapisan masyarakat mendapat kesempatan yang sama dalam bidang
pendidikan.36 Meskipun guru agama tidak digaji oleh pemerintah Jepang
melainkan oleh pemerintah daerah. Dalam hal ini, Shumubu memiliki peran
penting yang membangun jembatan penghubung untuk menyalurkan aspirasi
umat Islam dan mempersuasi kebijakan pemerintah Jepang agar dikabulkan.
B. Karakteristik Pendidikan Masa Pendudukan Jepang
Sistem pendidikan di Indonesia pada masa pendudukan Jepang
meliputi berbagai aspek kehidupan di masyarakat. Pemerintahan Jepang
berdasarkan pada sistem pemerintahan militer karena berlangsung pada
situasi Perang Dunia II, sehingga pendudukan Jepang di Indonesia tidak
berlangsung lama hanya sekitar tiga setengah tahun. Sistem pemerintahan
yang singkat tersebut tidak banyak hal yang diperbuat oleh pemerintah
pendudukan Jepang dalam mengatur sistem pemerintahan termasuk
karakteristik pendidikan, karena Jepang hanya fokus pada tujuan utama untuk
memenangkan peperangan. Landasan idiil pendidikan di Indonesia pada masa
pendudukan Jepang adalah Hakko Ichiu yang mengemukakan bahwa Jepang
merupakan saudara tua yang datang ke Indonesia untuk mencapai
Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Oleh karena itu, pelajar-pelajar
Indonesia setiap pagi harus mengucapkan sumpah setia kepada kaisar Jepang
35
Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah; Pendidikan Islam dalam
Kurun Modern, h. 87.
36
Ary. H. Gunawan, Kebijakan-Kebijakan Pendidikan di Indonesia, h. 30.

21
Tenno Heika dan membentuk Indonesia baru yang disebut Dai Toa atau
sumpah setia.37 Hal tersebut merupakan kampanye propaganda Jepang yang
dimulai untuk meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa bangsa Jepang
merupakan saudara seperjuangan dalam perang untuk membentuk tatanan
baru di Asia.
Untuk merealisasikan tujuan dari propaganda tersebut pihak Jepang
mempekerjakan masyarakat Indonesia ke dalam sistem pemerintahan
meskipun bukan sebagai pemegang jabatan seperti para seniman, tokoh-tokoh
sastra yang dikenal anti Belanda, dan khususnya menjadi guru-guru di
sekolah. Mayoritas pejabat-pejabat baru adalah para mantan guru sehingga
mengakibatkan merosotnya standar pendidikan secara drastis. Usaha pertama
bangsa Jepang adalah membentuk gerakan rakyat yaitu “Gerakan Tiga A” di
Jawa yang artinya bahwa Jepang (Nippon) sebagai Pemimpin Asia, Pelindung
Asia, dan Cahaya Asia.38 Tidak hanya itu, pemerintah juga membentuk
Keibodan (polisi pembantu), Heiho (tentara pembantu), Fujinkai
(sukarelawan wanita), dan Pusat Tenaga Rakyat (Putera) yang kemudian
dilebur menjadi Jawa Hokokai (himpunan kebaktian rakyat). Selain itu
bahasa Jepang dan bahasa Indonesia lebih dikembangkan dengan men-
Jepangkan nama-nama jawatan atau institusi dan menghilangkan nama-nama
dalam bahasa Belanda. Pihak Jepang juga membutuhkan sumber-sumber
alam untuk kepentingan perang, sehingga dilakukan eksploitasi terhadap
tenaga kerja yang dipaksa menjadi romusha, serta dijadikan sebagai
kinrohosyi (kerja bakti).39 Berbagai usaha dilakukan oleh bangsa Jepang
untuk mencapai tujuannya meskipun dilakukan dengan cara yang melanggar
hak asasi manusia seperti romusha (kerja paksa), termasuk dengan
memberikan pelatihan militer kepada anak-anak yang diterapkan dalam
pengajaran di sekolah.

37
Ary. H. Gunawan, Kebijakan-Kebijakan Pendidikan di Indonesia, h. 24.
38
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, Edisi I, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2006), h. 236.
39
R. Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan Sebuah Studi Awal.., h. 268.

22
Sistem pendidikan dan persekolahan yang disederhanakan pada zaman
pendudukan Jepang membuat kesempatan belajar lebih terbuka bagi semua
golongan masyarakat Indonesia. Mulai dari golongan atas (bangsawan,
aristokrat, tokoh terkemuka) sampai golongan bawah (rakyat biasa/jelata)
mendapat kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan di ruang
kelas yang sama tanpa adanya perbedaan golongan ras maupun status sosial.
Sistem pendidikan yang dualistis serta adanya diskriminasi antara golongan
atas dengan golongan bawah pada masa pendudukan Jepang telah dihapuskan
karena sistem persekolahan disesuaikan dengan pendidikan yang ada di
negara Jepang.40 Jepang memasukkan berbagai unsur dalam sistem
pendidikan di Indonesia termasuk mengembangkan kembali penggunaan
bahasa Indonesia, kebijakan lain adalah kewajiban mempelajari bahasa
Jepang yang menjadi bahasa asing dan baru dikenal oleh masyarakat
Indonesia, sehingga masyarakat mengalami kesulitan untuk mempelajarinya.
Hanya ada sebagian kecil lembaga yang mempelajari bahasa Jepang
diantaranya perguruan Ksatrian Institut di Bandung. Maka dari itu pemerintah
membuka sekolah-sekolah Jepang (Nippongo Gakko) yang khusus
memberikan bahasa Jepang secara kilat kepada masyarakat Indonesia.
C. Perbedaan Sistem Pendidikan Jepang dengan Belanda
Kebijakan pendidikan pada masa penjajahan Jepang memiliki
perbedaan dengan kebijakan pendidikan yang diterapkan masa kolonial
Belanda. Pada era penjajahan Belanda tidak semua orang bisa sekolah, hanya
golongan atas, anak pejabat atau priyai yang bisa masuk sekolah. Sedangkan
rakyat jelata tidak diijinkan sekolah. Karena pada waktu itu orientasi Belanda
menjajah Indonesia untuk menguras sumber daya alam Indonesia. Berbeda
dengan dengan Belanda, era penjajahan Jepang, semua orang bisa menempuh
pendidikan baik anak pejabat ataupun rakyat biasa. Kebijakan pendidikan ini
tentu beralasan. Pada waktu itu Jepang sedang menghadapi peperangan

40
Ary. H. Gunawan, Kebijakan-Kebijakan Pendidikan di Indonesia, h. 28.

23
melawan sekutu. Oleh sebab itu, kebijakan pendidikan yang diterapkan
jepang adalah untuk membantu mereka menghadapi sekutu.41
Perbedaan kebijakan pada dua penjajah ini memberikan dampak yang
positif dan negatif. Namun dampak negatifnya lebih banyak. Dampak positif
dari penyeragaman sekolah yang diterapkan pemerintah Jepang adalah semua
orang bisa sekolah. Bahasa Indonesia dapat dikenal oleh semua rakyat.
Dampak negatifnya adalah materi yang diberikan hanya berupa doktrin-
doktrin Nippon sebagai upaya untuk mendapat dukungan bangsa Indonesia
menghadapi sekutu.
Kurikulum serta materi Pendidikan Islam di saat masuknya Islam ke
Indonesia sangat dipengaruhi oleh situasi sosial dan politik saat itu, hingga
mengakibatkan sistem kurikulum dan materi pendidikan pun bervariasi sesuai
dengan konteks zamannya. Berikut ini adalah bagan mengenai sistem
kurikulum dan materi pendidikan Islam yang berkembang dari zaman
penjajahan Belanda hingga kolonialisme Jepang:42
Kurikulum Materi
Pendidikan

Belanda Salafiyah (Pesantren) Mengkaji kitab-


kitab klasik
Sekolah Islam Mempelajari
Zaman ilmu agama dan
Kolonialisme umum
Belanda dan Sekolah Dasar (SD) 6
Jepang Tahun
Sekolah Menengah
Pertama (SMP) 3 Tahun
Jepang Sekolah Menengah Tinggi
(SMA/SMK) 3 Tahun
Pesantren
STAI (Jakarta)
Sekolah Guru 2 Tahun

41
Miftahul Rohman, Kebijakan Pendidikan Islam Masa Penjajahan Jepang, Al-
Hikmah, Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol. 2, No. 1, (Lampung Tengah: STIT Bustanul
‘Ulum, 2018), h. 31.
42
Muhammad Sabarudin, Pola Kebijakan Pendidikan Islam Masa Awal dan Sebelum
Kemerdekaan, Jurnal Tarbiya, Vol. 1, No. 1, (Bandung: UIN Sunan Gunung Jati, 2015), h. 165.

24
Tujuan pendidikan Islam dari masa awal perkembangannya hingga
pengaruh kebijakan kolonialisme penjajah sangat di warnai dengan berbagai
latar belakang yang berbeda sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat
pada setiap zamannya. Kolonialisme penjajah yang dikaitkan dengan tujuan
pendidikan Islam dijelaskan dalam bagan berikut:43
Tujuan Pendidikan
1. Membentuk mental keagamaan.
2. Menjauhkan pendidikan dari kebijakan
Belanda
Belanda 3. Menciptakan para kader bangsa yang anti
penjajah
Zaman 4. Mencerdaskan bangsa
Kolonialisme 5. Membangun kurikulum pendidikan yang
Belanda dan berbasis agama dan umum
Jepang 1. Melawan penjajah jepang
2. Mewujudkan masyarakat Islam yang
sebenarnya dan azaz perjuangan dakwah
Jepang Islamiyyah dan amar ma’ruf nahi Munkar
3. Mendidik anak untuk berpikir rasional,
mendidik anak agar bekerja sungguh-
sungguh, membentuk manusia yang
berwatak dan menanam persatuan.
4. Memajukan Pendidikan Islam

Pada masa penjajahan kolonial Belanda, kebijakan pemerintah pada


waktu itu tidak memperbolehkan pendidikan agama diajarkan di sekolah-
sekolah. Oleh karena itu pendidikan Islam dilaksanakan oleh masyarakat,
baik perorangan maupun lembaga atau organisasi kemasyaratan keagamaan
dengan pengawasan sangat ketat. Hal ini berbeda dengan masa penjajahan
Jepang memberikan kelenturan dengan mengizinkan mengajarkan agama
pada sekolah-sekolah umum walau gurunya tidak diberikan gaji oleh
pemerintah.44

43
Muhammad Sabarudin, Pola Kebijakan Pendidikan Islam Masa Awal dan Sebelum
Kemerdekaan, h. 166.
44
Hasruddin Dute, Kebijakan Pemerintah terhadap Pendidikan Agama Di Sekolah
Umum Pra Kemerdekaan (Masa Kolonial Belanda dan Masa Kolonial Jepang) Pasca
Kemerdekaan (Orde Lama dan Orde Baru), Jurnal Kependidikan dan Keagamaan, Vol. 3, No. 1,
(Jayapura: FAI UNIYAP, 2019), h. 329.

25
D. Komponen-komponen Sistem Pendidikan Masa Pendudukan Jepang
Kehadiran militer Jepang membawa perubahan besar terhadap sistem
pendidikan di Indonesia, dengan tujuan yang tidak jauh berbeda dengan
pendidikan pada masa kolonial Belanda yaitu untuk membentuk tenaga kerja
kasar dengan memanfaatkan sumber daya alam dan sumber daya manusia
untuk kepentingan penjajah. Sistem pendidikan pada masa pendudukan
Jepang nampak lebih merosot jika dibandingkan dengan masa penjajahan
Belanda. Hal tersebut disebabkan oleh tujuan bangsa Jepang yang hanya
mendidik anak-anak Indonesia secara militer, agar dapat membantu Jepang
menghadapi perang Pasifik. Kemunduran tersebut terlihat pada merosotnya
jumlah sekolah, jumah peserta didik, dan guru disekolah-sekolah yang
disebabkan oleh pengintegrasian pada sekolah-sekolah yang bermacam-
macam jenisnya. Selain itu nama-nama sekolah yang menggunakan bahasa
Belanda diganti dengan bahasa Jepang, seperti Sekolah Rakyat (Kokumin
Gakko), Sekolah Menengah Pertama (Shoto Chu Gakko), Sekolah Menengah
Tinggi (Koto Chu Gakko), dan sekolah-sekolah lainnya yang ada di
Indonesia.45
Sistem pendidikan pada masa pendudukan Jepang mengalami
kemerosotan akibat dari tujuan utama untuk membentuk prajurit-prajurit yang
siap membantu dalam menghadapi perang, sehingga anak-anak Indonesia
dididik dengan disiplin militer yang tidak pernah diajarkan pada masa
kolonial Belanda. Faktor lain disebabkan oleh pengintegrasian pada sekolah-
sekolah yang jenisnya beragam, terutama pada sekolah dasar atau sekolah
rakyat dengan lama belajar 6 (enam) tahun yang tetap digunakan hingga
sekarang.
Pemerintahan pendudukan Jepang selain mengakibatkan kemunduran
pada sistem pendidikan di Indonesia, juga membawa dampak yang
menguntungkan dalam bidang pendidikan maupun bidang lainnya. Hal-hal
yang menguntungkan seperti berkembangnya bahasa Indonesia yang semakin

45
M. D. Poesponegoro, dan N. Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI- Zaman
Jepang dan Zaman Republik Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), h. 91.

26
luas diseluruh pulau, buku-buku asing diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia, seni bela diri dan latihan perang yang dimasukkan dalam
kurikulum di sekolah sangat berguna untuk menghadapi perang kemerdekaan,
diskriminasi berdasarkan golongan rasial ditiadakan sehingga masyarakat
memperoleh kesempatan yang sama dalam bidang pendidikan, dan hal-hal
yang menguntungkan lainnya.46 Sistem pendidikan di Indonesia pada masa
pendudukan Jepang memberikan pelajaran yang dapat membangkitkan
perasaan rindu terhadap kebudayaan dan semangat yang bergejolak untuk
mewujudkan kemerdekaan Indonesia yang sudah diambang mata, disamping
dari tujuan Jepang untuk membentuk prajurit-prajurit yang disiapkan untuk
peperangan.
Komponen-komponen sistem pendidikan di Indonesia pada masa
pendudukan Jepang meliputi input, process, environmental, dan output akan
dijelaskan sebagai berikut.
a. Input
Proses pendidikan membutuhkan suatu komponen-komponen
agar tercapai tujuan yang diharapakan, salah satu komponen tersebut
yaitu input. Input dalam sistem pendidikan terbagi menjadi tiga aspek
yaitu: (1) dasar pendidikan, (2) tujuan pendidikan, dan (3) peserta didik.
b. Process
Process atau proses pendidikan merupakan kegiatan mobilisasi
segenap komponen pendidikan oleh pendidik yang mengarah kepada
pencapaian tujuan pendidikan. Untuk mencapai tujuan pendidikan harus
dilakukan melalui proses pendidikan yang terbagi menjadi 5 aspek, yaitu:
(1) pendidik dan non-pendidik, (2) kurikulum, (3) prasarana dan sarana,
(4) administrasi, dan (5) anggaran.
c. Environmental
Sistem pendidikan pada masa pendudukan Jepang dipengaruhi
oleh berbagai macam faktor lingkungan. Lingkungan sekolah yang

46
Depdikbud, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Timur, (Surabaya: Proyek Penelitian
dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1981), h. 104.

27
menyatu dengan alam adalah tempat utama bagi anak-anak yang dididik
secara militer dan didoktrin dengan budaya-budaya Jepang. Pihak Jepang
juga memanfaatkan lingkungan masyarakat sekitar untuk berkuasa
dengan memobilisasi para pemuda dan membentuk barisan prajurit-
prajurit semi militer. Selain itu pemerintah Jepang memanfaatkan
lingkungan keagamaan yang berada di bawah naungan Islam, seperti
Muhammadiyah dan NU untuk memobilisasi masyarakat dan para
peserta didik yang menempuh pendidikan Islam. Pada akhir tahun 1942,
pihak Jepang juga harus meninggalkan larangan pemakaian bahasa Arab,
tetapi dengan syarat bahasa Jepang dan kurikulum non-agama juga
diajarkan di sekolah-sekolah Islam.47 Pemerintah Jepang sangat
memperhatikan segala aspek lingkungan yang ada disekitar peserta didik,
dengan tujuan untuk melancarkan aksi propagandanya meskipun
mendapat tantangan dari penduduk setempat.
d. Output
Output pada sistem pendidikan merupakan hasil dari proses yang
terjadi dalam sistem pendidikan di Indonesia pada masa pendudukan
Jepang. Pada sistem pendidikan output dibagi menjadi dua, yaitu lulusan
(tamatan) dan putus sekolah.
Lulusan (tamatan) pendidikan adalah hasil dari proses pendidikan
agar sesuai dengan tujuan pendidikan tersebut. Lulusan diharapkan dapat
memberikan nilai-nilai kehidupan bagi dirinya, lingkungan, dan
bangsanya. Lulusan sekolah- sekolah pada masa pendudukan Jepang
tidak terlepas dari tujuan utama untuk membentuk tenaga kerja secara
sukarela yang disebut dengan romusha dan membentuk prajurit-prajurit
semimiliter dan militer yang dipersiapkan untuk membantu Jepang
menghadapi perang Pasifik melawan Sekutu.48 Terlihat jelas bahwa
pemerintah pendudukan Jepang mendidik dan mengindoktrinasi anak-
anak Indonesia agar lulusannya dapat berguna bagi kepentingan Jepang.

47
M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, h. 416.
48
Ary. H. Gunawan, Kebijakan-Kebijakan Pendidikan di Indonesia, h. 25.

28
Bangsa Jepang menduduki Indonesia dalam kurun waktu yang
cukup singkat yaitu tiga setengah tahun, dengan waktu yang singkat
tersebut tidak banyak menciptakan lulusan (tamatan) pendidikan yang
menjadi tenaga kerja di lembaga pemerintahan. Pemerintah pendudukan
Jepang memanfaatkan sekolah-sekolah sebagai alat yang efektif untuk
melancarkan propagandanya, maka sekolah-sekolah yang sebelumnya
dibekukan telah dibuka kembali termasuk mengizinkan kegiatan sekolah-
sekolah pertikelir (swasta) seperti Taman Siswa dan Muhammadiyah.
Masalah putus sekolah pada masa pendudukan Jepang
diakibatkan oleh mutu pendidikan dan pengajaran yang semakin
memburuk, sehingga kebanyakan orang tua merasa enggan untuk
menyekolahkan anak-anaknya sampai tamat meskipun sebenarnya
mereka mampu dalam kondisi ekonomi. Banyak siswa putus sekolah
disebabkan oleh pemerintah yang lebih mengarahkan pengajaran untuk
menjadi seorang prajurit, sehingga jumlah peserta didik pada masa
pendudukan Jepang merosot drastis. Faktor lain yang menyebabkan para
peserta didik tidak dapat menamatkan sekolahnya (putus sekolah) adalah
minimnya perekonomian orang tua untuk membiayai anak-anaknya, hal
itu terutama disebabkan karena pengerahan tenaga rakyat yang dipaksa
mengumpulkan hasil panen kepada militer Jepang. Ada banyak faktor
selain dari keterbatasan orang tua untuk membiayai pendidikan anak-
anaknya. Kebijakan pemerintah pendudukan Jepang untuk
mempekerjakan anak laki-laki sebagai pekerja paksa (romusha) dan kerja
bakti (kinrohosyi) yang mengakibatkan para pemuda Indonesia
merelakan sekolahnya hanya untuk kepentingan militer Jepang.
E. Kebijakan-kebijakan dan Propaganda Masa Pendudukan Jepang
Pasca terusirnya Belanda dari bumi Indonesia oleh Jepang pada tahun
1942, sebagai penguasa baru bangsa ini, Jepang mengeluarkan beberapa
kebijakan terkait pendidikan yang memiliki implikasi luas terutama bagi
sistem pendidikan di era kemerdekaan. Hal-hal tersebut antara lain: (1)
dijadikannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar

29
pendidikan menggantikan Bahasa Belanda; dan (2) adanya integrasi sistem
pendidikan dengan dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan kelas
sosial di era penjajahan Belanda.49
Jepang juga mengambil beberapa kebijakan terhadap pendidikan
Islam yang pada awalnya seakan-akan berpihak terhadap umat Islam, namun
sebenarnya mempunyai kepentingan agar umat Islam berpihak kepada Jepang
dalam perang Dunia II. Di antara kebijakan yang dikeluarkan adalah: (1)
memberikan bantuan dana bagi sekolah dan madrasah; (2) mengangkat
kalangan kyai, seperti, KH. Hasyim Asy’ari untuk menduduki di Kantor
Urusan Agama. Di antara tugas kantor ini adalah mengorganisir pertemuan
dan pembinaan guru-guru agama. Dengan alasan pertemuan dan pembinaan
inilah pendidikan Islam pesantren dan madrasah tetap dapat dipantau dan
dikontrol; (3) diizinkanya pendirian Perguruan Tinggi Islam di Jakarta dan
beberapa kebijakan lainnya.50 Walaupun demikian, adanya kebijakan yang
sedikit memberikan ruang gerak terhadap pendidikan Islam, menjadi angin
segar bagi perkembangan dan perluasan pendidikan Islam di awal
kemerdekaan Bangsa ini.
Prioritas pada kebijakan Jepang di Indonesia ini adalah untuk
menghapus pengaruh barat dan untuk mobilisasi rakyat demi kemenangan
perang. Usaha untuk mengsukseskan kebijakan tersebut juga dilakukan
Jepang dengan serius. Segala perhatian dicurahkan untuk melancarkan
kebijakan yang dikeluarkan. Kemudian untuk bisa mendukung kebijakan
tersebut, Jepang memberikan propagandanya. Kebijakan-kebijakan yang
dikeluarkan oleh Jepang tentunya disesuaikan dengan situasi dan keadaan
pada saat itu. Dengan satu tujuan yakni untuk memenangkan Jepang dalam
perang Pasifik atau perang Asia Timur Raya.
Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, propaganda merupakan
hal yang tidak bisa terlepas dari masa itu dan propaganda dijadikan sebagai
49
Rizka Khoiriyah, Revitalisasi Pendidikan Islam Dalam Perspektif Kiai Hasyim
Asy’ari, Jurnal Islam Nusantara, Vol. 1, No. 2, (Situbondo: Pondok Pesantren Nurul Abror, 2017),
h. 163.
50
Muhammad Sholeh Hoddin, Dinamika Politik Pendidikan Islam Di Indonesia;
Studi Kebijakan Pendidikan Islam Pada Masa Pra-Kemerdekaan Hingga Reformasi, h. 23.

30
upaya untuk menarik kerja sama dengan rakyat dan juga sebagai upaya
Jepang untuk meredam perlawanan rakyat. Propaganda dijadikan sebagai
instrumen penting dalam upaya perang Jepang dan hampir di semua wilayah
yang diduduki oleh Jepang. Untuk dapat menguasai Indonesia, Jepang
memiliki dua asas penting yakni bagaimana menarik hati rakyat (minshin
ha’aku) dan bagaimana mengindoktrinasi dan menjinakkan mereka (senbu
kosaku). Kedua asas ini perlu dilaksanakan untuk dapat memobilisasi seluruh
rakyat untuk kepentingan perang Jepang. Mereka beranggapan bahwa perlu
memobilisasi seluruh rakyat Indonesia menuju kesesuaian dengan ideologi
Jepang tentang Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. 51 Di
dasari pada keyakinan bahwa rakyat Indonesia harus dibawa kedalam pola
tingkah laku dan berpikir bangsa Jepang, propaganda ditujukan untuk
mengindoktrinasi rakyat agar dapat dipercaya untuk ikut serta memperkuat
pasukan balatentara Jepang. Jauh sebelum Jepang melakukan invasi nya,
propaganda mereka telah lebih dahulu lakukan. Pada tahun 1933, Jepang
telah mengundang pemimpin redaksi surat kabar Bintang Timur, bersama
dengan wartawan lainnya, untuk mengunjungi Jepang, undangan ini
dimaksudkan untuk menanamkan rasa hutang budi, sehingga para wartawan
Indonesia itu bersedia menyiarkan tulisan-tulisan yang mendukung Jepang.52
Tahun pertama pendudukan pemerintah Jepang kemudian mendirikan
sebuah Departemen Propaganda (Sendenbu) pada bulan Agustus 1942
sebagai upaya Pemerintah Jepang untuk menipponkan umat Islam. Sebelum
adanya Sendenbu di Indonesia, Jepang sudah memiliki Sendenhan (Barisan
Propaganda) yang telah bekerja jauh sebelum Jepang menduduki Indonesia.
Propaganda Jepang yang dijalankan oleh banda-badan luar departemen
sendenbu untuk melancarkan kebijakan pendudukannya adalah melalui cara
sebagai berikut:53
51
Aiko Kurasawa, Kuasa Jepang di Jawa (Perubahan Sosial di Perdesaan 1942-
1945), (Depok: Komunitas Bambu, 2015), h. 247.
52
Soebagijo, Sumanang Sebuah Biografi, (Jakarta: Gunung Agung, 1980), Lihat
Titin Apriani Putri, Propaganda Jepang Dalam Melancarkan Kebijakan Pendudukan Di
Indonesia Tahun 1942-1945, h. 18.
53
Titin Apriani Putri, Propaganda Jepang Dalam Melancarkan Kebijakan
Pendudukan Di Indonesia Tahun 1942-1945, (Skripsi), (Bandar Lampung: Universitas Lampung,

31
1. Propaganda melalui media cetak
Propaganda melalui media cetak yang diterbitkan pada masa
pendudukan Jepang seperti melalui surat kabar seperti Asia Raya, Sinar
Baroe dan majalah Djawa Baroe dari tahun pertama pendudukan hingga
memasuki masa akhir pendudukan. Pemilihan media cetak sebagai
strategi mengingat bahwa media cetak sangat merakyat pada saat itu.
Hingga akhir masa kekuasaan Jepang tren penggunaan media cetak
masih cukup bisa dirasakan peranannya dalam strategi propaganda
Jepang.
2. Propaganda melalui media audiovisual
Propaganda melalui media audiovisual seperti melalui radio,
lagu-lagu maupun film-film. Penyampaian propaganda di desa dirasakan
sangat efektif dengan mempergunakan media audiovisual, hal ini
dikarenakan masyarakat perdesaan sangat haus akan hiburan. Tren media
audiovisual sangat terasa pada tahun 1943 ketika pengerahan tenaga
rakyat besar besaran dan penghematan.
3. Menggunakan tokoh nasional sebagai propagandis
Peranan tokoh nasional sebagai propagandis merupakan hal yang
tak terlepas dari suksesnya propaganda Jepang di Indonesia. Sosok-sosok
yang menjadi propagandis adalah Soekarno, R.M. Gondhojoewono, R.
Soekarjo Wirjopranoto dan lainnya.
Propaganda yang dilakukan oleh Jepang di Indonesia merupakan
langkah taktis untuk perang dan dalam mempersiapkan propagandanya
Jepang sangatlah sungguh-sungguh terlihat dari adanya departemen tersendiri
yang mengurusi masalah ini, dan merupakan ciri khas dari pendudukan
Jepang di Indonesia. Di dalam propaganda Jepang, terdapat tokoh-tokoh
Islam seperti kiai, ulama, dan guru agama sekolah yang diberi latihan,
sehingga dengan mudah mempropagandakan Nippon sebagai bagian dari
kesatuan bangsa. Segala pengaruh budaya untuk mengindoktrinasi umat Islam
selalu dipropagandakan diberbagai tempat yang strategis. Jepang melihat

2018), h. 103-104.

32
masyarakat pribumi fanatik terhadap agamanya. Kesensitifan masalah
keagamaan dipandang hal yang menguntungkan bagi Jepang, sebab lebih
muda mengindoktrinasi massa. Keadaan yang terdesak ini Jepang juga
membutuhkan banyak tenaga, sehingga perhatiannya tertuju sampai pada
muslim pedesaan.54 Demikian itu, Jepang menaruh perhatian terhadap Islam
dan para tokoh yang berpengaruh dan dekat dengan masyarakat sebagai
perantara untuk mobilisasi massa agar sampai pada tingkat paling bawah di
pemerintahan.

54
Fitri Nur Fadhilah, Nipponisasi terhadap Umat Islam Pada Masa Pendudukan
Jepang Di Yogyakarta (1942-1945), (Skripsi), (Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga, 2016), h. 80.

33
BAB IV
PEMBAHASAN

1. Pengaruh Aspek Kebijakan Politik dan Aspek Sosial Ekonomi


Pendudukan Jepang terhadap Pendidikan Agama Islam
Kebijakan politik pemerintahan Jepang terhadap Indonesia sebenarnya
sama dengan kolonial Belanda, namun strategi yang dimainkan oleh
pemerintahan Jepang agar mendapatkan simpati masyarakat maka
pemerintahan Jepang memperbolehkan pendidikan agama diajarkan di
sekolah umum, dengan ketentuan bahwa guru yang mengajar pelajaran agama
tidak mendapatkan fasilitas dari pemerintah. Jepang tidak begitu ketat
terhadap pendidikan agama khususnya pendidikan Islam di Indonesia, Jepang
memberikan toleransi yang cukup banyak terhadap pendidikan Islam di
Indonesia, kesetaraan pendidikan penduduk pribumi, sama dengan penduduk
atau anak-anak penguasa, bahkan Jepang banyak mengajarkan ilmu-ilmu bela
diri kepada pemuda-pemuda Indonesia. Pada masa penjajahan Jepang di
Indonesia banyak berdiri lembaga-lembaga pendidikan dan pengajaran serta
pendirian tempat-tempat ibadah lembaga-lembaga pendidikan dapat
dikembangkan dan anak-anak dibolehkan untuk belajar agama dan mengaji.
Untuk mendekati umat Islam di Indonesia, upaya yang dilakukan oleh
pemerintahan Jepang antara lain:55
1) Kantor urusan agama yang pada zaman Belanda disebut: Kantoor Voor
Islamistische Saken yang dipimpin oleh orang-orang orientalis Belanda,
diubah oleh Jepang menjadi Kantor Shumubu di ibu kota. Awalnya badan
ini diketuai oleh orang Jepang sendiri bernama Horie (1942), kemudian
digantikan oleh Husein Djajaningrat, dan selanjutnya dipimpin oleh ulama
Islam sendiri yaitu KH. Hasyim Asy’ari (1944) dari Jombang dan di buka
cabang-cabangnya di seluruh daerah-daerah Indonesia dengan nama
Shumuka. Di antara tugas kantor ini adalah mengorganisir pertemuan dan

55
Hasruddin Dute, Kebijakan Pemerintah terhadap Pendidikan Agama Di Sekolah
Umum Pra Kemerdekaan.., h. 318.

34
pembinaan guru-guru agama. Dengan alasan pertemuan dan pembinaan
inilah pendidikan Islam pesantren dan madrasah tetap dapat dipantau dan
dikontrol.56
2) Pondok pesantren yang memiliki santri yang banyak sering dikunjungi
oleh pemerintahan Jepang dan mendapatkan bantuan.
3) Pada sekolah-sekolah umum diajarkan materi pelajaran budi pekerti yang
isi dari budi pekerti cenderung ke pelajaran agama.
4) Pemerintahan Jepang membolehkan pembentukan barisan Hisbullah yang
dikomandoi oleh KH. Zainul Arifin. Barisan Hisbullah ini sebagai wadah
untuk pemberian latihan dasar kemiliteran bagi pemuda Islam.
5) Mengizinkan pendirian Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang dipimpin
oleh K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakir, dan Bung Hatta.
6) Diberikan izin membentuk barisan Pembela Tanah Air (Peta).
7) Diizinkan meneruskan organisasi persatuan yang disebut: Majelis Islam
A’la Indonesia (MIAI) yang bersifat kemasyarakatan, yang akhirnya
berganti dengan Masyumi.
Maksud dari beberapa kebijakan pemerintahan Jepang ini adalah
supaya kekuatan umat Islam dan nasionalis dapat dibina untuk kepentingan
Jepang. Oleh karena tujuan lainnya adalah menjadikan masyarakat sebagai
basis tentara cadangan maka pendidikan di sekolah-sekolah pemerintah
secara umum terbengkalai. Karena murid-murid sekolah tiap hari hanya
disuruh gerak badan, bernyanyi, baris berbaris, kerja bakti (romusha), dan
lain sebagainya. Tentu hal ini tidak menjadikan Indonesia menjadi baik. Apa
yang dirasakan masyarakat yang bersekolah di sekolah umum negeri, tidak
demikian yang terjadi di sekolah swasta, kalau boleh dikatakan agak
beruntung pendidikan Islam yang diselenggarakan di masyarakat seperti
madrasah dan pesantren yang bebas dari pengawasan langsung pemerintahan
Jepang. Pendidikan Islam dalam lingkup pondok pesantren masih dapat
berjalan dengan agak wajar.57
56
Muhammad Sholeh Hoddin, Dinamika Politik Pendidikan Islam Di Indonesia;
Studi Kebijakan Pendidikan Islam Pada Masa Pra-Kemerdekaan Hingga Reformasi, h. 23.
57
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), h. 152.

35
Saat pertama kali datang ke Indonesia, Jepang berusaha untuk meraih
simpati umat Islam lewat berbagai pendekatan politik. Keputusan Jepang
untuk membubarkan MIAI yang kerap berseberangan dengan Jepang disatu
sisi merugikan umat Islam, tetapi disisi lain menguntungkan karena hadirnya
Masyumi sebagai penggantinya memiliki kedekatan dengan pemerintah
Jepang. Kedekatan mana sangat efektif digunakan oleh umat Islam dalam
memuluskan rencana pembangunan kehidupan Islam yang bisa lebih mudah
disetujui oleh pemerintah Jepang. Salah satunya adalah gagasan pendirian
Sekolah Tinggi Islam sebagaimana disampaikan dimuka. Sekolah tinggi
pertama ini memiliki pengaruh jangka panjang dalam dinamika pendidikan
tinggi Islam di Indonesia untuk melahirkan para sarjana muslim yang
menguasai pengetahuan keagamaan dengan standard akademis, selain
menjadi cikal bakal bagi lahirnya perguruan Tinggi Islam yang akan lahir
kelak kemudian hari pada era kemerdekaan.58
Melalui Masyumi pula sebuah proses pendidikan berbeda lahir dalam
tubuh umat Islam yaitu pada saat terbentuknya laskar Hizbullah. Di titik ini,
pendidikan para santri mengalami perubahan yang bahkan belum pernah
dikenal sebelumnya, yaitu pendidikan militer secara spesifik. Di era Belanda,
membentuk paramiliter yang terdiri dari pemuda-pemuda muslim sangat jauh
dari kemungkinan direstui mengingat kebijakan Belanda yang selalu menekan
pendidikan Islam seiring dengan ketakutan laten mereka bahwa dari rahim
pendidikan Islam pemberontakan terhadap pemerintah kolonial seringkali
lahir dan mengobarkan semangat perjuangan rakyat untuk mengusir mereka
dari Indonesia. Lembaga yang paling tertuding dalam hal ini jelas pesantren.
Tetapi Jepang tak meneruskan politik kebencian itu, alih-alih, mereka malah
memberikan ruang yang lega bagi umat Islam untuk mengikutsertakan para
santri dalam pelatihan militer terlembaga yang semula dimaksudkan agar
hasilnya kelak bisa membantu Jepang sendiri dalam peperangan, yang

58
M. Syarif, Politik Pendidikan Jepang dan Pengaruhnya terhadap Pendidikan
Islam Di Indonesia, h. 261.

36
kemudian ternyata pada perjalanan selanjutnya justru sangat fungsional untuk
mempertahankan tanah airnya.59
Kendatipun di era Belanda para kyai bersama dengan santri telah
biasa menggelorakan perlawanan kepada pemerintah Belanda, namun
perlawanan tersebut dilakukan tidak dengan prinsip-prinsip militer yang
terarah, melainkan melalui perlawanan dengan strategi yang acak berbekal
arahan dan kepemimpinan dari para kyai dan dilakukan semata demi
semangat jihad fi sabilillah. Saat Hizbullah terbentuk, pengetahuan berjuang
para santri dibangun secara lebih sistematis karena mendapat bimbingan
langsung dari pemerintahan Jepang dengan berkeinginan memiliki milisi
(pasukan liar) dari kalangan rakyat yang akan mendukungnya dalam
peperangan. Melalui kebijakan ini, kelas santri mendapatkan ruang peranan
baru dalam keikutsertaannya dalam pergerakan nasional, yaitu santri yang
terlatih untuk berperang dengan penggunaan senjata modern dan strategi
perang yang lebih sistematis, kendatipun dalam hal ini tak setingkat dengan
militer sesungguhnya. Di titik inilah kehadiran Jepang di Indonesia telah
menanamkan jiwa pemberani pada bangsa Indonesia, utamanya umat Islam,
lewat berbagai pelatihan fisik yang dirutinkan setiap hari sebagai bagian
aktivitas pendidikan, dan yang dimaksudkan sebagai latihan kesiapan
bertempur. Lebih-lebih saat didirikannya beberapa organisasi perjuangan
rakyat yang memberikan pendidikan militer strategis semacam Hizbullah
diatas.
Kebijakan pelarangan memakai bahasa Belanda serta kewajiban
memakai bahasa Indonesia dan Jepang di sekolah, juga memberikan dampak
positif bagi perkembangan pendidikan Islam di Indonesia, mengingat
kewajiban ini juga diharuskan di dalam lembaga pendidikan Islam modern
semacam madrasah. Pemakaian bahasa Indonesia menjadi lebih
memasyarakat tatkala guru-guru yang mengajar di sekolah dan madrasah

59
M. Syarif, Politik Pendidikan Jepang dan Pengaruhnya terhadap Pendidikan
Islam Di Indonesia, h. 61

37
setiap harinya diwajibkan untuk memakai bahasa itu.60 Akibat pelaksanaan
kebijakan ini, penduduk yang tinggal di daerah pedesaan rata-rata muslim
yang sebelumnya tidak mengenal bahasa Indonesia menjadi lebih mengenal
bahasa negerinya sendiri. Efek lain dari kebijakan bahasa ini adalah lahirnya
semangat nasionalisme yang lebih dalam dan merata. Masyarakat desa dan
masyarakat kecil kota yang sejak awal tidak mendapatkan pendidikan sekolah
ala Belanda, memiliki peluang untuk meningkatkan diri dalam kemampuan
penggunaan bahasa Indonesia. Mereka bersemangat mempelajari bahasa
Indonesia, yang harus mereka pahami sejak dari sekolah rendah sampai
sekolah menengah.61 Dalam hal ini, kebijakan Jepang malah menjadi elemen
pemersatu, utamanya dalam aspek pendidikan bangsa.
Berbeda dengan pemerintah kolonial Belanda yang justru melahirkan
situasi konflik dalam kebijakan pendidikannya dengan menekan lembaga
pendidikan Islam semisal pesantren, Jepang malah merangkul elemen utama
pendidikan Islam ini kedalam kebijakan pemerintahannya untuk bahu
membahu mencapai apa yang disebut Jepang sebagai tujuan kemakmuran
bersama. Ini terbukti dengan intensifnya pemerintah Jepang berkunjung ke
pesantren-pesantren besar, meskipun secara politis, kunjungan itu bisa juga
ditafsirkan sebagai usaha Jepang dalam mengawasi pesantren dan melakukan
kontrol kendatipun secara lebih lunak dan persuasif. Ini diupayakan agar tidak
lahir sentiment agama persis seperti disematkan terhadap Belanda yang
dituding kafir karena menekan Islam, dan patut untuk diperangi sebagai
perlawanan suci jihad fi sabilillah. Dalam hal ini, menekan pesantren sebagai
lembaga pendidikan yang mengajarkan nilai-nilai Islam, dipersepsikan sama
dengan menekan Islam itu sendiri sebagai sebuah agama.
Di sisi lain, politik penyeragaman pendidikan juga melahirkan
pengaruh yang tak kecil artinya bagi pendidikan Islam di Indonesia.
Sementara lembaga-lembaga pendidikan warisan Belanda ditutup oleh Jepang

60
M. Syarif, Politik Pendidikan Jepang dan Pengaruhnya terhadap Pendidikan
Islam Di Indonesia, h. 262.
61
Agus Salim, Indonesia Belajarlah! Membangun Pendidikan Indonesia,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007), h. 213.

38
untuk diganti dengan pendidikan umum yang seragam, tetapi lembaga
pendidikan Islam semacam pesantren dan madrasah dikecualikan dengan
kebijakan yang tidak mengusik keberadaannya. Jepang memandang bahwa
pesantren dan madrasah adalah lembaga pendidikan asli yang bukan
merupakan warisan penjajah. Lebih-lebih bila mengingat bahwa Jepang ingin
menarik simpati umat Islam Indonesia agar mendukung mereka dalam
perjuangan memenangkan perang Asia Timur Raya.62
Jika harus dibandingkan, pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam
jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat,
eksistensinya pada masa kolonial Belanda sdnantiasa mengalami tekanan,
tidak dapat tumbuh tegak apalagi berdiri sejajar dengan sekolah-sekolah
umum Belanda, bahkan eksistensinya direndahkan dengan sekian banyak
ordonansi yang memasung geraklangkahnya pada aktivitas sosial lebih luas.
Pesantren selalu mendapat pengawasan ketat seiring kecurigaan Belanda
bahwa lembaga ini kerap menjadi rahim lahirnya pemberontakan. Aktivitas
pesantren pada masa Belanda dipasung dalam ruang praktek-praktek ibadah,
dakwah, sosial, dan pendidikan. Hal ini berbeda dengan eksistensinya di era
pemerintahan Jepang di mana pihak pesantren dapat ikut serta berperan aktif
dalam politik dan pergerakan nasional. Di masa inilah pesantren bersama para
santrinya bisa menunjukkan peranannya secara lebih maksimal dalam upaya-
upaya menuju kemerdekaan.
Masih terdapat aspek negatif dari kebijakan Jepang. Kedatangan
Jepang jelas bertujuan imperialis untuk menguras kekayaan Indonesia. Jepang
menindas penduduk pribumi dengan sistem kerja paksa (romusha). Sebagian
dari tujuan pendidikan pada zaman penjajahan jepang ialah untuk memenuhi
tanaga cuma-cuma (romusha) dan memproduksi prajurit-prajurit untuk
membantu peperangan bagi kepentingan Jepang. Oleh karena itu pelajar-
pelajar diharuskan mengikuti latihan fisik, latihan kemilitran dan

62
M. Syarif, Politik Pendidikan Jepang dan Pengaruhnya terhadap Pendidikan
Islam Di Indonesia, h. 263.

39
indoktrinasi.63 Dan setiap saat, selalu ada kemungkinan ancaman hukuman
mati bagi yang menentang kebijakan Jepang, di mana di era Belanda hanya
menerapkan hukuman penjara dan pembuangan.
Kebijakan pemerintah Jepang yang terlalu berlebihan dalam
memerintahkan penghormatan terhadap kaisar Jepang juga bukan merupakan
kebijakan populis yang disukai oleh umat Islam. Bagaimanapun, cara
menghormat dengan membungkukkan badan kepada istana kaisar seperti
yang dipraktekkan dalam sikap Sei Kerei dinilai melukai keyakinan teologis
umat Islam yang hanya memperkenankan sikap serupa ditujukan kepada
Tuhan dalam sholat. Selain itu, kebijakan Jepang agar supaya guru-guru
mengajarkan dan menanamkan budaya Jepang dalam aktivitas pendidikannya
sebagai kewajiban rutin juga dinilai sebagai upaya untuk mengasingkan anak
didik dari akar budayanya sendiri, budaya Indonesia. Dua kebijakan tersebut
telah menimbulkan sikap resisten dan penolakan kalangan Islam untuk
melaksanakannya sesuai dengan perintah Jepang.64
Kebijakan pemerintahan Jepang dalam melakukan sistem pengaturan
di bidang ekonomi, Jepang membuat kebijakan-kebijakan yang pada intinya
terpusat pada tujuan pengumpulan bahan mentah untuk industri perang. Ada
dua tahap perencanaan untuk mewujudkan tujuan tersebut, yaitu tahap
penguasaan dan tahap menyusun kembali struktur. Pada tahap penguasaan,
Jepang mengambil alih pabrik-pabrik gula milik Belanda untuk dikelola oleh
pihak swasta Jepang, misalnya, Meiji Seilyo Kaisya dan Okinawa Sello
Kaisya. Dalam tahap restrukturisasi (menyusun kembali struktur), Jepang
membuat kebijakan-kebijakan di antaranya sebagai berikut. 1) Sistem autarki
(rakyat dan pemerintah memenuhi kebutuhan sendiri untuk menunjang
kepentingan perang Jepang); 2) Sistem tonarigumi (organisasi rukun tetangga
yang terdiri atas 10-20 KK untuk mengumpulkan setoran kepada Jepang); 3)
Memonopoli hasil perkebunan oleh Jepang berdasarkan UU No. 22 Tahun
63
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pendidikan Indonesia dari Jaman ke
Jaman, (Jakarta: Balai Pustaka, 1973), Lihat M. Syarif, Politik Pendidikan Jepang dan
Pengaruhnya terhadap Pendidikan Islam Di Indonesia, h. 264.
64
M. Syarif, Politik Pendidikan Jepang dan Pengaruhnya terhadap Pendidikan
Islam Di Indonesia, h. 264.

40
1942 yang dikeluarkan oleh Gunseikan; 4) Adanya pengerahan tenaga untuk
kebutuhan perang.65
Dalam bidang sosial diberlakukannya Romusha, karena melihat dari
praktek-praktek eksploitasi ekonomi masa pendudukan Jepang, yang telah
banyak menghancurkan sumber daya alam, sehingga menimbulkannya krisis
ekonomi. Pergerakan sosial yang dilakukan pemerintah Jepang dalam bentuk
Kinrohosi atau kerja bakti yang lebih mengarah pada kerja paksa hanya untuk
kepentingan perang. Kemudian semakin luasnya daerah pendudukan Jepang,
memerlukan tenaga kerja yang banyak untuk membangun sarana pertahanan
berupa kubu-kubu, lapangan udara, jalan raya dan gudang bawah tanah.
Tenaga yang mengerjakan itu semua diperoleh dari desa-desa di Jawa yang
padat penduduknya, sehingga kegiatan ini menggunakan sistem kerja paksa
istilah terkenalnya Romusha. Pada awalnya mereka melakukan dengan
sukarela, lambat laun terdesak oleh perang pasifik sehingga pengerahan
tenaga diserahkan kepada Romukyokai yang ada disetiap desa. Banyak tenaga
Romusha yang tidak kembali dalam tugas sebab meninggal akibat kondisi
kerja yang sangat berat dan tidak diimbangi oleh gizi serta kesehatan yang
mencukupi.66
Melihat kondisi sosial yang memprihatinkan tersebut ternyata telah
memicu rasa semangat nasionalisme para pejuang PETA untuk mencoba
melakukan pemberontakan. Karena tidak tahan menyaksikan Penyiksaan
terhadap para Romusha. Praktik eksploitasi pergerakan sosial lainnya adalah
bentuk penipuan terhadap para gadis Indonesia untuk dijadikan wanita
penghibur (jugun lanfu) dan disekap dalam tempat tertutup. Awalnya para
gadis dibujuk dengan iming-imingan pekerjaan seperti perawat, pelayan toko,
dan disekolahkan. Tetapi pada akhirnya hanya dijadikan pemuas nafsu oleh
prajurit-prajurit Jepang ditempat tertentu seperti Solo, Semarang dan

65
Zulkarnain, Jalan Meneguhkan Negara: Sejarah Tata Negara Indonesia,
(Yogyakarta: Pujangga Press, 2012), h. 87.
66
Isnaeni F. Hendri dan Apid, Romusha Sejarah Yang Terlupakan (1942-1945),
(Yogyakarta: Ombak, 2008), h. 39.

41
Jakarta.67 Perubahan sosial dalam masyarakat Indonesia yang terjadi pada
masa pemerintahan Jepang adalah diterapkannya sistem birokrasi Jepang
dalam pemerintahan di Indonesia sehingga terjadi perubahan dalam
institusi/lembaga sosial di berbagai daerah.
Jadi ada perbedaan perlakuan pemerintah terhadap pendidikan agama
yang diajarkan di sekolah umum. Pada masa pemerintahan Belanda,
pendidikan agama dilarang diajarkan di sekolah umum atau netral agama,
sedangkan pada masa pemerintahan Jepang, pendidikan agama diajarkan di
sekolah umum di semua tingkatan hanya dengan ketentuan bahwa pemerintah
tidak menanggung biaya yang harus dikeluarkan akibat dari pelaksanaan
pendidikan agama tersebut.

1. Pengaruh Pendudukan Jepang terhadap Pendidikan Agama Islam


dari Sisi Tujuan
Keterlibatan Jepang dalam Perang Dunia II dilandasi oleh ambisi
membangun suatu wilayah kekuasaan di Asia Pasifik. Penghancuran dan
pengenyahan terhadap semua penghalang cita-citanya menjadi tugas yang
harus dilakukan, termasuk mengusir kolonial Barat yang berada di
kawasan Asia Tenggara karena Jepang berkeinginan menguasai Asia
Tenggara. Ketika Jepang mulai membangun industri di negaranya, negara
Indonesia menjadi salah satu incaran dari pendudukan Jepang. Tujuan
utama pendudukan Jepang atas Indonesia adalah:68
a. Menjadikan Indonesia sebagai daerah penghasil dan penyuplai bahan
mentah dan bahan bakar bagi kepentingan industri Jepang.
b. Menjadikan Indonesia sebagai tempat pemasaran hasil industri Jepang.
Indonesia dijadikan tempat pemasaran hasil industri Jepang karena
jumlah penduduk Indonesia sangat banyak.

67
Muhammad Rijal Fadli dan Dyah Kumalasari, Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Pada Masa Pendudukan Jepang, Jurnal Sejarah, Budaya dan Pengajarannya, Vol. 13, No. 2,
(Indonesia, Universitas Negeri Yogyakarta, 2019), h. 202.
68
Ratna Sukmayani, Dkk, Ilmu Pengetahuan Sosial 3 Untuk SMP/MTs Kelas IX,
(Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional, 2008), h. 26.

42
c. Menjadikan Indonesia sebagai tempat untuk mendapatkan tenaga buruh
yang banyak dengan upah yang relatif murah.
Ambisi Jepang yang begitu besar untuk mendapatkan Indonesia
mengharuskan Jepang menciptakan berbagai strategi untuk menarik
simpati rakyat dan pemimpin Indonesia. Propaganda Jepang yang cukup
menarik simpati rakyat Indonesia adalah sebagai berikut:69
a. Jepang adalah “saudara tua” bagi bangsa-bangsa di Asia dan berjanji
membebaskan Asia dari penindasan bangsa Barat.
b. Jepang memperkenalkan semboyan “Gerakan Tiga A”: Nippon
Pemimpin Asia, Nippon Pelindung Asia, Nippon Cahaya Asia.
c. Jepang menjanjikan kemudahan bagi bangsa Indonesia, seperti janji
menunaikan ibadah haji, menjual barang dengan harga murah.
Selain itu, pada awal kedatangannya, Jepang menunjukkan sikap
yang menarik simpati bangsa Indonesia. Jepang memperkenankan
pengibaran bendera merah putih bersama bendera Jepang. Rakyat
Indonesia boleh menyanyikan lagu “Indonesia Raya” bersama lagu
kebangsaan Jepang “Kimigayo”.
2. Pengaruh Pendudukan Jepang terhadap Pendidikan Agama Islam
dari Sisi Kurikulum
Pada masa Jepang, perkembangan pendidikan mempunyai arti
tersendiri bagi bangsa Indonesia yaitu terjadinya keruntuhan sistem
pemerintahan kolonial Belanda. Tujuan utamanya pendidikan pada masa
pendudukan Jepang adalah untuk memenangkan perang. Pada masa ini
muncullah sekolah rakyat yang disebut Kokumin Gako selama 6 tahun
lamanya, selanjutnya pelajaran berbau Belanda dihilangkan dan Bahasa
Indonesia digunakan sebagai bahasa pengantar. 70 Kurikulum pendidikan

69
Anwar Kurnia dan Suryana, Sejarah SMP Kelas VIII, (Java: Yudhistira, 2007), h.
63.
70
Fitri Wahyuni, Kurikulum Dari Masa Ke Masa (Telaah Atas Pentahapan
Kurikulum Pendidikan Di Indonesia), Jurnal Al-Adabiya, Vol. 10, No. 2, (Ponorogo: INSURI
Ponorogo, 2015), h. 231-232.

43
pada masa pemerintahan Jepang berkuasa di Indonesia terjadi beberapa
perubahan yang penting, yaitu:71
a. Terhapusnya Kurikulum Dualisme Pengajaran.
Berbaga jenis lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh
Pemerintah kolonial Belanda dihapuskan di masa Jepang. Oleh karena
itu, riwayat susunan pengajaran yang dualistik telah berakhir. Dualisme
yang dimaksudkan adalah pengajaran barat dan pengajaran bumi putra.
Hanya satu jenjang sekolah yang diadakan untuk seluruh lapisan
masyarakat ialah sekolah rakyat (SR) yang saat itu lebih popular dengan
sebutan kokumun gakkoo. Adapun Sekolah Desa masih tetap ada dan
namanya diganti menjadi Sekolah Pertama.72 Berkenaan dengan itulah,
maka jenjang pendidikan pendidikan dan pengajaran di masa Jepang
berdasarkan tingkatannya adalah, Sekolah Rakyat enam tahun
(termasuk Sekolah Pertama), Sekolah Menengah tiga tahun, dan
Sekolah Menengah Tinggi tiga tahun (SMU pada zaman Jepang).
b. Kurikulum Pengajaran Bahasa Indonesia
Kurikulum pendidikan di setiap jenjang pendidikan adalah
dimasukkannya pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar
materi, yang sebelumnya mengalami penekanan. Pada masa Jepang
atau era Nippon ini, cukup penggunaan bahasa Indonesia menjadi
signifikan. Dalam pada itu, maka pelajaran Bahasa Indonesia tetap
menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah, dan menjadi bahasa
Indonesia menjadi bahasa resmi dan bahasa pengantar di sekolah-
sekolah. Hanya saja kemudian, ada konpensasi lain yaitu bahasa Jepang
ditetapkan sebagai mata pelajaran dan adat istiadat Jepang yang harus
dipelajari, dan dimasukkan dalam kurikulum pendidikan.

71
Aisyah Abbas, Pendidikan Di Indonesia Pada Masa Jepang, Jurnal Pendidikan
dan Studi Islam (Ash-Shahabah), Vol. 4, No. 1, (Makassar: UIN Alauddin, 2018) h. 67.
72
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja-Grafindo
Persada, 2001), h. 22.

44
Berkenaan dengan itulah, diketahui bahwa Jepang lebih toleran
dalam persoalan kurikulum.73 Hal ini pula yang kemudian menjadi
kurikulum pendidikan di masa Jepang lebih plural ketimbang di masa
penjajahan Belanda. Dengan kata lain bahwa sikap penjajahan Jepang
ternyata lebih lunak, sehingga gerakan pendidikan lebih bebas
berkembang dibanding masa penjajahan Belanda.
c. Bantuan Dana untuk Pembenahan Kurikulum Pendidikan
Untuk memperoleh dukungan dari umat Islam pemerintah
Jepang mengeluarkan mengeluarkan kebijakan yang menawarkan
bantuan dana bagi sekolah dan madrasah, sehingga sekolah maupun
madrasah dengan bebas menyelenggarakan pendidikan sesuai target
kurikulum seperti buku-buku pelajaran, dana yang diberikan
diperuntukkan untuk pengadaan buku-buku dan literatur sebagai sarana
utama dalam pembenahan kurikulum pendidikan. 74 Berbeda dengan
pemerintah Hindia Belanda, pemerintah Jepang membiarkan kembali
dibukanya madrasah-madrasah yang pernah ditutup pada masa
sebelumnya, dan ini dilakukan bersinergi dengan pemberian dana
pendidikan yang diberikan. Namun dalam kenyataannya, pengawasan
pemerintah Jepang sendiri tidak dapat menjangkau madrasah dan
pesantren yang sebagian berlokasi di desa-desa terpencil sehingga
bantuan yang diberikan terbatas pada sekolah-sekolah atau madrasah
tertentu.
Dengan dibukanya kembali sekolah dan madrasah-madrasah,
maka lembaga pendidikan pada itu, memiliki kesempatan untuk
memasukan unsur-unsur Islam dalam kurikulumnya. Sekolah dan
madrasah dapat melakukan tugasnya secara efektif, sehingga
diharapkan kualitas pendidikan dapat meningkat. Itulah seababnya,
pembaruan kurikulum di lembaga pendidikan termasuk di pondok

73
Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Grafindo Persada,
2004), h. 89.
74
K. Enung, Rukiati dan Hikmawati Fenti, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia,
(Bandung : CV. Pustaka Setia, 2006), h. 51-52.

45
pesantren pada masa Jepang mulai dilakukan sejak tahun 1940-an. Hal
ini dapat ditandai dengan diajarkannya beberapa mata pelajaran umum
mulai tahun itu, seperti bahasa Indonesia, matematika, dan geografi.
Kemudian pada akhir tahun 1942 mulai pula diajarkan bahasa Jepang.
Metode pendidikan yang diimplementasikan, yakni metode
pengajaran pada lembaga pendidikan yang diberlakukan pada zaman
Jepang, terdiri atas dua, yakni metode klasikal dan metode pengajian.
Metode klasikal, diselenggarakan di sekolah-sekolah melalui kegiatan
program kurikuler dan kegiatan program esktrakurikuler, yang berfokus
pada pengembangan kemampuan belajar lebih lanjut bagi peserta didik.
Sedangkan metode pengajian diselenggarakan di pondok-pondok
pesantren yang menerapkan metode bandungan dan Sorogan,75 dimana
seorang ulama mengajar santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis
dalam bahasa Arab oleh ulama-ulama besar sejak abad pertengahan sedang
santrinya tinggal dalam pondok atau asrama. Pondok pesantren di masa
Jepang, tetap mempertahankan bentuk manajemen pendidikannya yang
asli (tradisional).
Metode klasikal dalam pendidikan di masa Jepang dilaksanakan
pada pagi hari di sekolah sesuai jam dan waktu yang ditentukan dan
mengarah pada program yang menekankan pencapaian tujuan secara
sistematis dan terjadwal. Sedangkan metode pengajian kitab dilaksanakan
oleh kiai atau badal kiai secara jama’i dalam kelompok besar santri tanpa
hirarki, yang arah pengajiannya lebih menekankan pada pencapaian
membaca dan memahami teks kitab yang menjadi sumber tambahan dari
sistem klasikal.76 Metode pengajaran yang digunakan dalam pendidikan
pada masa Jepang, umumnya mengikuti pola metodologi pengajaran
pendidikan seperti metode kisah, metode teladan, metode nasehat, metode
pembiasaan, dan selainnya. Penerapan metode kegiatan belajar mengajar
75
Hasbullah, Lihat Aisyah Abbas, Pendidikan Di Indonesia Pada Masa Jepang, h.
68
76
Departemen Agama RI, Pedoman Penyelenggaraan Pesantren Muadalah (Jakarta:
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam-Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pesantren, 2009), Dilihat
dari Aisyah Abbas, Pendidikan Di Indonesia Pada Masa Jepang, h. 69.

46
berdasarkan strategi yang digunakan pada masa pendudukan Jepang di
Indonesia, murid-murid atau peserta didik seringkali diharuskan
melakukan kinrohooshi (kerjabakti), seperti membersihkan bengkel-
bengkel, asrama, kantor-kantor, dan kegiatan-kegiatan lain yang
mendukung kebutuhan militer jepang di medan perang.
Peserta didik diharuskan membuat rabuk kompos atau secara
bersama-sama membasmi hama tikus di sawah. Sebagian waktu belajar
juga dihabiskan untuk bercocok tanaman jarak dan tanaman-tanaman lain
baik di lingkungan sekolah maupun di pingir-pinggir jalan, sebagai cara
untuk menghasilkan bahan penting yang dibutuhkan bagi kelangsungan
peperangan.77 Dalam pada itu, ditemukan pula adanya latihan-latihan
jasmani yang bersifat militerisme juga dilakukan agar berjalan lancar
maka dibentuklah barisan-barisan tiap sekolah, Seinentai yaitu barisan
murid Sekolah Rakyat dan Gakuto-tai yaitu barisan murid-murid Sekolah
lanjutan.78
Guna menanamkan semangat keJepangan, maka setiap hari setiap
murid harus mengucapkan sumpah pelajar, menghadap ke matahari terbit
dan nyanyian serta mengikuti pelajaran bahasa Jepang. Agar siswa
terpacu, maka kadang-kadang diadakan perlombaan bahasa dan nyanyian-
nyanyian Jepang. Hal ini juga berlaku bagi guru, pegawai dan orang yang
sudah dewasa. Berdasarkan situasi ini, maka di satu sisi pelaksanaan
pendidikan hampir separuh waktu belajar siswa dihabiskan untuk
melakukan kinrohooshi (kerjabakti). Meskipun demikian, pendidikan
Islam tetap berjalan seperti yang disebutkan, meski ditemukan rintangan
dan tantangan yang dihadapi karena adanya materi kurikulum yang
bernuangsa Jepang dimasukkan dalam setiap lembaga pendidikan.

77
K. Enung, Rukiati dan Hikmawati Fenti, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, h.
54.
78
K. Enung, Rukiati dan Hikmawati Fenti, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, h.
56.

47
3. Pengaruh Pendudukan Jepang terhadap Pendidikan Agama Islam
dari Sisi Pelaksanaan Pendidikan
Jepang mulai menguasai Indonesia pada tahun 1942, termasuk
menguasai sistem pendidikan Islam. Ketika pasukan Jepang mulai
berkuasa di Indonesia, bangsa Jepang memaksakan untuk melakukan
tradisinya, yaitu menyanyikan lagu Kimigayo yang merupakan lagu
kebangsaan Jepang, demikian pula diharuskan untuk melaksanakan
Seikeirei, suatu cara memberi hormat dengan membungkukkan badan ke
arah Kaesar Jepang, Tenno Neika yang dipercayai oleh masyarakat Jepang
sebagai keturunan Dewa Matahari. Tradisi seperti ini jelas bertentangan
dengan budaya bangsa Indonesia, yang berimbas pada sisi negatif terhadap
eksistensi pendidikan di Indonesia.
Para ulama dan tokoh pendidikan, seperti Hasyim Asy'ari
menentang kebijakan Jepang tersebut. Sebagai akibat perlawanan yang
dilakukannya ini, Hasyim Asy'ari mendapat tekanan dari pemerintah
Jepang, bahkan ia pernah ditahan selama enam bulan, karena dituduh
menentang pendudukan Jepang di Indonesia. Dalam hubungannya dengan
penahanan K.H. Hasyim Asy’ari ini, Saifuddin Zuhri telah menyatakan
sebagai berikut: “KH. Hasyim Asy’ari, pemimpin pesantren Tebuireng dan
Rais Akbar Nahdlatul Ulama ditangkap Jepang. Ia dimasukkan ke dalam
penjara di Jombang, lalu dipindahkan ke penjara Mojekerto, dan akhirnya
di penjara Bubutan, Surabaya. Beberapa kiai dan santri meminta
dipenjarakan bersama-sama Kiai Haji Hasyim Asy’ari sebagai tanda setia
kawan, sebagai tanda khidmah kepada guru dan pemimpin mereka yang
telah berusia sekitar 70 tahun itu.” Demikianlah gambaran perlawanan
budaya terhadap kaum penjajah, Jepang yang dilakukan oleh K.H. Hasyim
Asy’ari dalam rangka perjuangan untuk merebut kemerdekaan, ia
mengalami resiko yang berat, sebab pesantrennya dibakar oleh Belanda
pada tahun 1913 dan dipenjarakan selama 6 bulan pada tahun 1942 di
masa penjajahan Jepang.

48
Sejak awal pemerintahan Jepang, semua organisasi Islam di
Indonesia yang tergabung dalam MIAI dibekukan, sehingga organisasi
Islam yang menyelengarakan pendidikan, mengalami kesulitan dalam
memajukan pendidikan, ini ditandai dengan mundurnya kegiatan
pembelajaran di pesantren, madrasah dan pengajian. 79 Pendidikan pun
semakin menjadi terbengkalai dan terabaikan. Namun demikian Madrasah
di lingkungan pesantren beruntung, karena terbebas dari pengawasan
langsung pemerintah Jepang, sehingga pendidikan dalam pondok
pesantren masih berjalan dengan agak wajar. Hal ini dapat terjadi karena
letak pesantren yang terpisah dan terpencil. Di awal kedatangannya,
kelihatan memang bahwa Jepang seakan-akan mendukung sistem
pendidikan, hal ini terlihat bahwa:80
a. Pondok pesantren yang besar-besar sebagai institusi pendidikan Islam
sering mendapat kunjungan dan bantuan dari pembesar Jepang.
b. Sekolah negeri dalam berbagai tingkatannya diberi pelajaran budi
pekerti yang isinya identik dengan ajaran agama.
c. Pemerintah Jepang mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di
Jakarta yang dipimpin oleh KH.Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dan
Bung Hatta.
Indikator seperti yang disebutkan di atas, merupakan alasan bahwa
Jepang menaruh perhatian yang besar terhadap pendidikan di Indonesia,
namun setelah pecahnya Perang Dunia II dan kedudukan Jepang terancam
oleh Sekutu, keadaan itu berubah secara drastis, tekanan terhadap
pendidikan menjadi terancam, dan penduduk pribumi ditekan dengan cara
Jepang menjalankan kekerasan untuk pembiayaan perang Asia Timur
Raya-nya. Jepang memberlakukan kerja paksa (Romusha) juga
membentuk pertahanan rakyat semesta, seperti Haiho, PETA dan Keiboda,
sehingga perhatian terhadap dunia pendidikan semakin menurun.

79
Aisyah Abbas, Pendidikan Di Indonesia Pada Masa Jepang, h. 66.
80
Asmah Hasan Fahmi, Dilihat dari Suwito, Perkembangan Pendidikan Islam Di
Nusantara Studi Perkembangan Sejarah dari Abad 13 hingga Abad 20 M, (Universitas Michigan:
Angkasa, 2004), h. 174.

49
Kehidupan rakyat semakin tertindas dan menderita, karenanya lahirlah
pemberontakan-pemberontakan, ini berakibat banyaknya kiai sebagai
tokoh pendidikan yang di tangkap. Dalam pada itu, umat Islam
memanfaatkan kesempatan ini untuk bangkit memberontak melawan
Jepang dalam upaya mereka memajukan pendidikan di Indonesia.81
Sekolah, madrasah dan pesantren yang telah ada, bahkan dengan
berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta menjadikan pendidikan zaman
Jepang mempunyai kesempatan yang banyak untuk memajukan
pendidikan sendiri, sehingga tanpa disadari oleh Jepang bahwa umat Islam
sudah cukup mempunyai potensi untuk maju dalam bidang pendidikan
ataupun perlawanan kepada penjajah. Sistem pendidikan pada masa
pendudukan Jepang itu kemudian dapat diikhtisarkan sebagai berikut:82
a. Pendidikan Dasar (Kokumin Gakko/Sekolah Rakyat), lama studi 6
tahun. Termasuk SR adalah Sekolah Pertama yang merupakan konversi
nama dari Sekolah dasar 3 atau 5 tahun bagi pribumi di masa Hindia
Belanda.
b. Pendidikan Lanjutan, terdiri dari Shoto Chu Gakko (Sekolah Menengah
Pertama) dengan lama studi 3 tahun dan Koto Chu Gakko (Sekolah
Menengah Tinggi) juga dengan lama studi 3 tahun.
c. Pendidikan Kejuruan, mencakup sekolah lanjutan bersifat vokasional
antara lain di bidang pertukangan, pelayaran, pendidikan, teknik, dan
pertanian.
d. Pendidikan Tinggi.
Sistem pelaksanaan pendidikan seperti yang disebutkan di atas,
berimplikasi pada berkembangnya berbagai jenis dan jenjang pendidikan
pada akhir zaman penjajahan Jepang, yang sebenarnya terdapat tanda-
tanda kemajuan pendidikan, terutama dari segi pendirian lembaga
pendidikan seperti madrasah dan pondok pesantren di daerah terpencil,
pelosok desa. Dalam pada itu, tenaga pengajar yang dapat menunjang
81
Aisyah Abbas, Pendidikan Di Indonesia Pada Masa Jepang, h. 66.
82
Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Grafindo
Persada, 2004), h. 87.

50
kegiatan pendidikan di masa Jepang, adalah tersebarnya ulama-ulama. Di
sisi lain, pemerintah Jepang menyediakan kursus sekolah dan latihan bagi
calon-calon guru. Adapun sekolah yang dimaksud bagi calon tenaga
pengajar yaitu:83
a. Sekolah Guru (SG) lama belajar 2 tahun yang dinamakan Sjootoo Sihan
Gakkoo.
b. Sekolah Guru Menengah (SGM) lamanya 4 tahun yang dinamakan
Cutoo Sihan Gakkoo.
c. Sekolah Guru Tinggi (SGT) lamanya 6 tahun yang dinamakan kootoo
Sihan Gakkoo.
Pengadaan sekolah-sekolah seperti itu semakin penting, manakala
bersinggungan dengan usaha penanaman ideology Hakko Ichiu
(kemakmuran bersama) melalui sekolah-sekolah dimulai dengan
mengadakan latihan guru-guru. Guru-guru dibebani tugas sebagai
penyebar ideologi baru. Latihan itu dipusatkan di Jakarta. Tiap-tiap
kabupaten mengirimkan wakilnya untuk mendapat gemblengan dari
pimpinan Jepang. Sekembalinya ke daerahnya masing-masing, guru itu
diwajibkan untuk meneruskan ideologi baru itu kepada teman-temannya.

B. Analisis Pengaruh Pendudukan Jepang terhadap Pendidikan Agama


Islam

83
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Lihat dari Aisyah
Abbas, Pendidikan Di Indonesia Pada Masa Jepang, h. 67.

51
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Pengaruh pendudukan Jepang terhadap pendidikan agama Islam dari sisi
tujuan, terdapat beberapa tujuan utama pendudukan Jepang atas
Indonesia, yaitu: (1) menjadikan Indonesia sebagai daerah penghasil dan
penyuplai bahan mentah dan bahan bakar bagi kepentingan industri
Jepang; (2) menjadikan Indonesia sebagai tempat pemasaran hasil
industri Jepang; dan (3) menjadikan Indonesia sebagai tempat untuk
mendapatkan tenaga buruh yang banyak dengan upah yang relatif murah.
Ambisi Jepang yang begitu besar untuk mendapatkan Indonesia
mengharuskan Jepang menciptakan berbagai strategi untuk menarik
simpati rakyat dan pemimpin Indonesia. Propaganda Jepang yang cukup
menarik simpati rakyat Indonesia adalah sebagai berikut: (1) Jepang
adalah “saudara tua” bagi bangsa-bangsa di Asia dan berjanji
membebaskan Asia dari penindasan bangsa Barat; (2) Jepang
memperkenalkan semboyan “Gerakan Tiga A”: Nippon Pemimpin Asia,
Nippon Pelindung Asia, Nippon Cahaya Asia; (3) Jepang
memperkenankan pengibaran bendera merah putih bersama bendera
Jepang. Rakyat Indonesia boleh menyanyikan lagu “Indonesia Raya”
bersama lagu kebangsaan Jepang “Kimigayo”.
2. Pengaruh pendudukan Jepang terhadap pendidikan agama Islam dari
aspek kebijakan politik sebenarnya sama dengan kolonial Belanda,
namun strategi yang dimainkan oleh pemerintahan Jepang agar
mendapatkan simpati masyarakat maka pemerintahan Jepang
memperbolehkan pendidikan agama diajarkan di sekolah umum, dengan
ketentuan bahwa guru yang mengajar pelajaran agama tidak
mendapatkan fasilitas dari pemerintah. Jepang tidak begitu ketat terhadap
pendidikan agama khususnya pendidikan Islam di Indonesia, Jepang
memberikan toleransi yang cukup banyak terhadap pendidikan Islam di

52
Indonesia, kesetaraan pendidikan penduduk pribumi, sama dengan
penduduk atau anak-anak penguasa, bahkan Jepang banyak mengajarkan
ilmu-ilmu bela diri kepada pemuda-pemuda Indonesia. Untuk mendekati
umat Islam di Indonesia, upaya yang dilakukan oleh pemerintahan
Jepang antara lain: (1) Kantor urusan agama yang pada zaman Belanda
disebut: Kantoor Voor Islamistische Saken yang dipimpin oleh orang-
orang orientalis Belanda, diubah oleh Jepang menjadi Kantor Shumubu di
ibu kota; (2) Pondok pesantren yang memiliki santri yang banyak sering
dikunjungi oleh pemerintahan Jepang dan mendapatkan bantuan; (3)
Pada sekolah-sekolah umum diajarkan materi pelajaran budi pekerti yang
isi dari budi pekerti cenderung ke pelajaran agama; (4) Pemerintahan
Jepang membolehkan pembentukan barisan Hisbullah yang dikomandoi
oleh KH. Zainul Arifin, sebagai wadah untuk pemberian latihan dasar
kemiliteran bagi pemuda Islam; (5) Mengizinkan pendirian Sekolah
Tinggi Islam di Jakarta yang dipimpin oleh K.H. Wahid Hasyim, Kahar
Muzakir, dan Bung Hatta; (6) Diberikan izin membentuk barisan
Pembela Tanah Air (Peta); dan (7) Diizinkan meneruskan organisasi
persatuan yang disebut: Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang
bersifat kemasyarakatan, yang akhirnya berganti dengan Masyumi.
3. Pengaruh pendudukan Jepang terhadap pendidikan agama Islam dari
aspek ekonomi, Jepang membuat kebijakan pemerintahan dalam
melakukan sistem pengaturan di bidang ekonomi, yang pada intinya
terpusat pada tujuan pengumpulan bahan mentah untuk industri perang.
Dalam bidang sosial diberlakukannya Romusha, karena melihat dari
praktek-praktek eksploitasi ekonomi masa pendudukan Jepang, yang
telah banyak menghancurkan sumber daya alam, sehingga
menimbulkannya krisis ekonomi. Pergerakan sosial yang dilakukan
pemerintah Jepang dalam bentuk Kinrohosi atau kerja bakti yang lebih
mengarah pada kerja paksa hanya untuk kepentingan perang. Karena
tidak tahan menyaksikan Penyiksaan terhadap para Romusha. Praktik
eksploitasi pergerakan sosial lainnya adalah bentuk penipuan terhadap

53
para gadis Indonesia untuk dijadikan wanita penghibur (jugun lanfu) dan
disekap dalam tempat tertutup.
d. Pengaruh pendudukan Jepang terhadap pendidikan agama Islam dari
aspek kurikulum, mempunyai tujuan untuk memenangkan perang.
Pada masa ini muncullah sekolah rakyat yang disebut Kokumin Gako
selama 6 tahun lamanya, selanjutnya pelajaran berbau Belanda
dihilangkan dan Bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa
pengantar.84 Kurikulum pendidikan pada masa pemerintahan Jepang
berkuasa di Indonesia terjadi beberapa perubahan yang penting, yaitu:
pertama, terhapusnya kurikulum dualisme pengajaran; kedua,
kurikulum pengajaran bahasa Indonesia, yang dijadikan sebagai bahasa
pengantar materi, yang sebelumnya mengalami penekanan; dan
ketiga, bantuan dana untuk pembenahan kurikulum pendidikan bagi
sekolah dan madrasah, sehingga sekolah maupun madrasah dengan
bebas menyelenggarakan pendidikan sesuai target kurikulum seperti
buku-buku pelajaran, dana yang diberikan diperuntukkan untuk
pengadaan buku-buku dan literatur sebagai sarana utama dalam
pembenahan kurikulum pendidikan.
e. Pengaruh pendudukan Jepang terhadap pendidikan agama Islam dari
aspek pelaksanaan pendidikan, sistem pendidikan pada masa
pendudukan Jepang itu kemudian dapat diikhtisarkan sebagai berikut:
(1) Pendidikan Dasar (Kokumin Gakko/Sekolah Rakyat), lama studi 6
tahun; (2) Pendidikan Lanjutan. Terdiri dari Shoto Chu Gakko
(Sekolah Menengah Pertama) dengan lama studi 3 tahun dan Koto Chu
Gakko (Sekolah Menengah Tinggi) juga dengan lama studi 3 tahun;
dan (3) Pendidikan Kejuruan; dan (4) Pendidikan Tinggi. Di sisi lain,
pemerintah Jepang menyediakan kursus sekolah dan latihan bagi
calon-calon guru. Adapun sekolah yang dimaksud bagi calon tenaga
pengajar yaitu: Sekolah Guru (SG) lama belajar 2 tahun yang
84
Fitri Wahyuni, Kurikulum Dari Masa Ke Masa (Telaah Atas Pentahapan
Kurikulum Pendidikan Di Indonesia), Jurnal Al-Adabiya, Vol. 10, No. 2, (Ponorogo: INSURI
Ponorogo, 2015), h. 231-232.

54
dinamakan Sjootoo Sihan Gakkoo; Sekolah Guru Menengah (SGM)
lamanya 4 tahun yang dinamakan Cutoo Sihan Gakkoo; dan Sekolah
Guru Tinggi (SGT) lamanya 6 tahun yang dinamakan kootoo Sihan
Gakkoo.
B. Saran
Pembahasan tentang pendidikan agama Islam di masa pendudukan
Jepang dalam makalah ini, sangatlah jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu
jika ada kesalahan dan kekurangan, penulis memohon untuk dibenarkan,
karena penulis sangat butuh saran dan masukan yang membangun guna
membantu perbaikan kedepan serta demi kemajuan dan keluasan ilmu
pengetahuan terutama pengetahuan agama Islam.

55
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Aisyah. 2018. Pendidikan Di Indonesia Pada Masa Jepang. Jurnal


Pendidikan dan Studi Islam (Ash-Shahabah). Vol. 4, No. 1. Makassar:
UIN Alauddin.

Al-Rasyidin dan H. Samsul Nizar. 1995. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta:


Ciputat Press.

Anggoro, Flavianus Setyawan. 2011. Wacana Kebudayaan Indonesia Pada Masa


Pergerakan Kemerdekaan: Polemik Kebudayaan (1935-1939).
(Skripsi). Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, Jurusan Sejarah
Fakultas Sastra.

Arifin, Muzayyin. 2003. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Bungin, Burhan. 2017. Metodologi Penelitian Kuantitatif: Komunikasi, Ekonomi,


dan Kebijakan Publik Serta Ilmu-Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta:
Kencana.

Departemen Agama RI. 2009. Pedoman Penyelenggaraan Pesantren Muadalah.


Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam-Direktorat Pendidikan
Diniyah dan Pesantren.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1973. Pendidikan Indonesia dari


Jaman ke Jaman. Jakarta: Balai Pustaka.

Depdikbud. 1981. Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Timur. Surabaya: Proyek


Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah.

Djaleani, Abdul Qadir. 2016. Sejarah Gerakan Politik Umat Islam Indonesia.
Jakarta: Bee Media.

Dute, Hasruddin. 2019. Kebijakan Pemerintah terhadap Pendidikan Agama Di


Sekolah Umum Pra Kemerdekaan (Masa Kolonial Belanda dan Masa
Kolonial Jepang) Pasca Kemerdekaan (Orde Lama dan Orde Baru).
Jurnal Kependidikan dan Keagamaan. Vol. 3, No. 1. Jayapura: FAI
UNIYAP.

Enung, K. Rukiati dan Hikmawati Fenti. 2006. Sejarah Pendidikan Islam di


Indonesia. Bandung : CV. Pustaka Setia.

56
Fadhilah, Fitri Nur. 2016. Nipponisasi terhadap Umat Islam Pada Masa
Pendudukan Jepang Di Yogyakarta (1942-1945). (Skripsi).
Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

Fahmi, Asmah Hasan. 1999. Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta:
Bulan Bintang.

Gunawan, Ary. H. 1995. Kebijakan-Kebijakan Pendidikan di Indonesia. Jakarta:


Rineka Cipta.

Hasbullah. 1999. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Hasbullah. 2001. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja-


Grafindo Persada.

Hoddin, Muhammad Sholeh. 2020. Dinamika Politik Pendidikan Islam Di


Indonesia; Studi Kebijakan Pendidikan Islam Pada Masa Pra-
Kemerdekaan Hingga Reformasi. Jurnal Ilmiah Iqra’, Vol. 14, No. 1.
IAIN Manado: Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan.

Huda, Khoirul dan Yoga Ardian Feriandi. 2018. Pendidikan Konservasi


Perspektif Warisan Budaya untuk Membangun History for Life. Arista
Journal. Vol. 6, No. 2. Universitas PGRI Madiun: Sosial Politik
Humaniora.

Joesoef, Daoed. 1982. Aspek-aspek Kebudayaan Yang Harus Dikuasai Guru.


Majalah Kebudayaan, No. 1.

Khoiriyah, Rizka. 2017. Revitalisasi Pendidikan Islam Dalam Perspektif Kiai


Hasyim Asy’ari. Jurnal Islam Nusantara. Vol. 1, No. 2. Situbondo:
Pondok Pesantren Nurul Abror.

Kurasawa, Aiko. 2015. Kuasa Jepang di Jawa (Perubahan Sosial di Perdesaan


1942-1945). Depok: Komunitas Bambu.

Kurnia, Anwar dan Suryana. 2007. Sejarah SMP Kelas VIII. Java: Yudhistira.

Martono, Nanang. 2014. Dominasi Kekuasaan Dalam Pendidikan: Tesis


Bourdieu dan Foucault tentang Pendidikan. Jurnal Interaksi, Vol. 8,
No. 1. Purwokerto: Universitas Jenderal Soedirman.
Mudyahardjo, R. 2006. Pengantar Pendidikan Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-
Dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

57
Mulyasana, Dedi. 2020. Khazanah Pemikiran Pendidikan Islam: Dari Wacana
Lokal Hingga Tatanan Global. Bandung: Cendekia Press.

Musdiani. 2010. Kekuasaan dan Pendidikan. Vol. 1, No. 1.Banda Aceh: STKIP
Bina Bangsa Getsempena.

Nasution, S. 1995. Sejarah Pendidikan Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.

Noer, Deliar. 1982. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta:


LP3ES.

Poesponegoro, M. D. dan Notosusanto, N. 2008. Sejarah Nasional Indonesia VI-


Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Putri, Titin Apriani. 2018. Propaganda Jepang Dalam Melancarkan Kebijakan


Pendudukan Di Indonesia Tahun 1942-1945. (Skripsi). Bandar
Lampung: Universitas Lampung.

Rahman, Abdul. 2012. Pendidikan Agama Islam dan Pendidikan Islam-Tinjauan


Epistemologi dan Isi Materi. Jurnal Eksis, Vol. 8, No. 1. Samarinda:
Politeknik Negeri.

Rachman, Maman. 2012. Konservasi Nilai dan Warisan Budaya. Indonesian


Journal of Conservation (IJC), Vol. 1, No. 1. Semarang: Universitas
Negeri Semarang, Fakultas Ilmu Sosial.

Ricklefs, M. C. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi


Ilmu Semesta.

Rohman, Miftahul. 2018. Kebijakan Pendidikan Islam Masa Penjajahan Jepang.


Al-Hikmah, Jurnal Pendidikan Agama Islam. Vol. 2. No. 1. Lampung
Tengah: STIT Bustanul ‘Ulum.

Sabarudin, Muhammad. 2015. Pola Kebijakan Pendidikan Islam Masa Awal dan
Sebelum Kemerdekaan. Jurnal Tarbiya, Vol. 1, No. 1. Bandung: UIN
Sunan Gunung Jati.

Salim, Agus. 2007. Indonesia Belajarlah! Membangun Pendidikan Indonesia.


Yogyakarta: Tiara Wacana.

Shihab, M. Quraish. 1992. Membumikan al-Quran Fungsi dan Peran Wahyu


dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung : Mizan.

Sholehudin. 2006. Dinamika Baru Wacana Islam Di Indonesia. Jakarta: UIN


Jakarta Press.

58
Simanjuntak, Bungaran Antonius dan Soedjito Sosrodihardjo. 2014. Metode
Penelitian Sosial (Edisi Revisi). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.

Simon, Roger. 2004. Gagasan-gagasan Politik Gramsci. Terj. Kamdani dan Iman
Baehaqi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Soebagijo. 1980. Sumanang Sebuah Biografi. Jakarta: Gunung Agung.

Steenbrink, Karel A. 1994. Pesantren, Madrasah, Sekolah; Pendidikan Islam


dalam Kurun Modern. Jakarta: LP3ES.

Sukmayani, Ratna, Dkk. 2008. Ilmu Pengetahuan Sosial 3 Untuk SMP/MTs Kelas
IX. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.

Suwendi. 2004. Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: PT Grafindo


Persada.

Syahidin. 2005. Aplikasi Metode Pendidikan Qurani dalam Pembelajaran Agama


di Sekolah. Tasikmalaya: Ponpes Suryalaya Tasikmalaya.

Syarif, M. 2019. Politik Pendidikan Jepang dan Pengaruhnya terhadap


Pendidikan Islam Di Indonesia. Mojokerto: Universitas Islam
Majapahit, Fakultas Agama Islam. Dipublish pada 11 September
2019. Diakses pada 10 November 2020.

Tolchah, Moch. 2015. Dinamika Pendidikan Islam Pasca Orde Baru. Yogyakarta:
LkiS Pelangi Aksara.

Tilaar, H.A.R. dan Riant Nugroho. 2009. Kebijakan Pendidikan; Pengantar untuk
Memahami Kebijakan Pendidikan dan Kebijakan Pendidikan sebagai
Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Wahyuni, Fitri. 2015. Kurikulum Dari Masa Ke Masa (Telaah Atas Pentahapan
Kurikulum Pendidikan Di Indonesia). Jurnal Al-Adabiya. Vol. 10, No.
2. Ponorogo: INSURI Ponorogo.

Yatim, Badri. 2006. Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada.

Zuhairini. 1997. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

59

Anda mungkin juga menyukai