Oleh,
Abdul Asis
Dosen Pengampu:
PASCASARJAN
AIAIN PALOPO
2022
i
KATA PENGANTAR
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman Sampul
Kata Pengantar ................................................................................................... ii
Daftar Isi ........................................................................................................... iii
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam teori sistem sosial, politik dan pendidikan berada pada satu sistem
yang saling berhubungan. Apalagi dari kiprahnya, para pendidik selalu memelihara
politik karena proses pendidikan yang memberikan sumber nilai dan memberikan
kontribusi terhadap politik. Pendidikan memberikan kontribusi signifikan terhadap
politik, terutama stabilitas dantransformasi sistem politik .1 Hanya saja keadaan politik
dan pendidikan tidak selalu demikian, justru pendidikan dijadikan alat/media
berpolitik bagi penguasa atau pemiliki kewenangan. Pendidikan menjadikan alas an
melaksanakan suatu kebijakan politik sesuai selera penguasa.
1. John Thomas Thomson, Policy Making in American Education, (New Jersey: Englewood Cliff, 1976),hal.1.
1
Sejarah membuktikan adanya dikotomi yang jelas antara pendidikan konsep
penjajah dengan pendidikan konsep pribumi yang notabene sebagaian besar
beragama Islam. Hingga masa kemerdekaan, penguasa Indonesia masih menganut
gaya-gaya kebijakan Belanda terhadap pendidikan Islam.
Kata Politik berasal dari kata politic (Inggris) yang menunjukkan sifat pribadi
atau perbuatan. Kata asal tersebut berarti acting or judging wisely, well judged, prudent.2
Secara etimologi, Politic berasal dari kata Prancis abad pertengahan Politique, yang
diambil dari kata Latin Politicus, atau dari kata Greek Politikos (Marriam-Webster’s
Unabridged Dictionary). Dijelaskan bahwa political science adalah ilmu sosial yang
berkenaan dengan deskripsi kekuasaan dan analisis politik, khususnya institusi
pemerintahan yang memproses dan membuat penggunaan fakta dan metode dari ilmu
sosial. Politic kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan tiga arti, yaitu
segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan, siasat, dan sebagainya) mengenai
pemerintahan sesuatu negara atau terhadap negara lain, tipu muslihat atau
kelicikan, dan juga digunakan sebagai nama sebuah disiplin pengetahuan, yaitu ilmu
politik.3 Menurut Deliar Noer, politik adalah segala aktivitas atau sikap yang
berhubungan dengan kekuasaan dan yang bermaksud untuk mempengaruhi,
dengan jalan mengubah atau mempertahankan suatu macam bentuk susunan
masyarakat.4 Secara sederhana politik kekuasaan adalah menentukan siapa
memperoleh apa, di mana, dan kapan. Politik sebagai jenis khusus usaha seseorang
dalam memperjuangan kekuasaan politik.5
2. A.S Hornbory A.P. Cowic, (ed) Oxford Advanced Leaner’s Distionary of Current English,
(London: Oxford Universitry Press, 1974), hal. 645
3. W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1983), hal. 763.
4. Deliar Noer, Pengantar ke Pemikiran Politik, (Jakarta: Rajawali, 1983), hal. 6.
5. Anthony James Catanese, The Politics of Planning and Development, (London: SagePublications,
2
Beverly Hill, 1884, 1984), hal. 57.
Umat Islam sebagai umat yang mayoritas dalam negeri ini tentunya
mempunyai tanggungjawab moral untuk menata dan membangun negeri ini.
3
Hal ini menyebabkan terpecahnya pendidikan yang ada di Indonesia. Di satu
pihak adanya pendidikan dengan sistem pesantren dengan orientasi agama saja.
Di pihak yang lain adanya pendidikan dengan sistem barat dengan orientasi
sekuler yang tidak mempedulikan agama. Pecahnya sistem pendidikan di
Indonesia tentu tidak menguntungkan bagi perkembangan masyarakat Indonesia.
Di satu sisi diperlukan pemahaman untuk mengetahui perkembangan dunia luar
dengan metode dan teknologi yang dikembangkan oleh barat. Di sisi lain juga
dibutuhkan pemahaman keagamaan sebagaimana telah ditanamkan sebelum
VOC datang ke Indonesia. Untuk memadukan dua sistem ini kemudian muncul
madrasah-madrasah yang berkelas, memakai bangku dan meja yang dipelopori
oleh para pembaharuan di Indonesia.8
4
8. Arif Subhan, 2012:45 Lembaga Pendidikan Islam Abad Ke-20 “Pergumulan antara Modernisasi
dan Identitas. Jakarta: Kencana
Sehingga Jepang menyerbu Indonesia, karena tanah air Indonesia
merupakan sumber bahan-bahan mentah yang kaya raya dan tenaga manusia
yang banyak tersebut sangat besar artinya demi kelangsungan perang pasifik,
dan hal ini sesuai pula dengan cita-cita politik ekspansinya. 9
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
5
BAB II
PEMBAHASAN
6
Pendidikan agama Islam yang ada di pondok-pondok pesantren, masjid,
mushalla, dan lainnya dianggap tidak membantu pemerintah Belanda. Bahkan,
para santri pondok masih dianggap buta huruf latin. Dengan demikian para santri
tidak bisa memahami undang-undang yang telah dibuat.
politik yang dijalankan oleh pemerintah Belanda terhadap bangsa
Indonesia yang mayoritas beragama Islam didasari oleh rasa ketakutan, rasa
panggilan agamanya yaitu Kristen dan rasa kolonialismenya .13 Dengan begitu
mereka menerapkan peraturan dan kebijakan sebagai berikut:
a) Pada tahun 1882 M pemerintah Belanda membentuk suatu badan
khusus yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam yang
disebut “Priesterraden.” Atas nasihat dari badan inilah maka pada tahun 1905 M
pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan yang isinya bahwa orang yang
memberikan pengajaran (baca: pengajian) harus minta izin terlebih dahulu.
b) Kemudian pada tahun 1925 M pemerintah Belanda mengeluarkan
peraturan yang lebih ketat lagi terhadap pendidikan Islam, yaitu bahwa tidak
semua orang (kyai) boleh memberikan pengajaran. Peraturan ini diberlakukan
karena adanya gerakan organisasi pendidikan yang sudah tampak tumbuh, seperti
Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Partai Syarikat Islam (PSI), Al-Irsyad, dan
lain-lain.
c) Pada tahun 1932 M keluar pula peraturan yang memberantas dan
menutup madrasah dan sekolah yang tidak diberikan izin untuk memberikan
pengajaran atau memberikan pelajaran yang tidak disukai oleh pemerintah
Belanda yang disebut Ordonansi Sekolah Liar (Wilde School Ordonantie).
13. Samsul Nizar (2008:307-308) Pendidikan Islam “Menelusuri Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai
Indonesia. Jakarta: Kencana
7
Peraturan ini dikeluarkan setelah munculnya gerakan Nasionalisme-
Islamisme pada tahun 1928 M, yaitu berupa Sumpah Pemuda. Jika dicermati
peraturan-peraturan pemerintah Belanda yang demikian ketat dan keras mengenai
pengawasan, tekanan
dan pemberantasan aktivitas madrasah dan pondok pesantren di Indonesia, maka
seolah-olah dalam waktu yang tidak lama pendidikan Islam di Indonesia akan
menjadi lumpuh dan porak poranda. Akan) tetapi, apa yang disaksikan sejarah
adalah kenyataan sebaliknya. Jiwa Islam tetap terpelihara dengan baik. Para ulama
dan kyai bersikap non cooperative dengan Belanda dan mereka pun menyingkir
dari tempat yang dekat dengan Belanda 14
Pada masa kolonial Belanda pendidikan Islam di sebut juga dengan
bumiputera, karena yang memasuki pendidikan Islam seluruhnya orang pribumi
Indonesia. Pendidikan Islam pada masa penjajahan Belanda ada tiga macam,
yaitu:
1) Sistem pendidikan peralihan Hindu Islam;
Sistem ini merupakan sistem pendidikan yang masih menggabungkan antara
sistem pendidikan Hindu dengan Islam. Sistem ini dilaksanakan dengan cara,
guru mendatangi murid-muridnya. yang menjadi murid-muridnya adalah
anak-anak para bangsawan dan kalangan keraton. Sebaliknya, sistem pertapa,
para murid mendatangi guru ke tempat pertapaanya. adapun murid-muridnya
tidak lagi terbatas pada golongan bangsawan dan kalangan keraton, tetapi
juga termasuk rakyat jelata.
2) Sistem pendidikan surau (langgar)
Sistem pendikan di surau tidak mengenal jenjang atau tingkatan kelas, murid
dibedakan sesuai dengan tingkatan keilmuanya, proses belajarnya tidak kaku
sama muridnya (Urang Siak) diberikan kebebasan untuk memilih belajar pada
kelompok mana yang ia kehendaki.
14. Zuhairini dkk.( 2011:148 ) Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
8
Dalam proses pembelajaran murid tidak memakai meja ataupun papan tulis,
yang ada hanya kitab kuning merupakan sumber utamnya dalam
pembelajaran. Metode utama dalam proses pembalajaran di surau dengan
memakai metode ceramah, membaca dan menghafal. Materi pembelajaran
yang diberikan Syeikh kepada urang siak dilaksanakan sambil duduk di lantai
dalam bentuk setengah lingkaran. Syeikh membacakan materi pembelajaran,
sementara murid menyimaknya dengan mencatat beberapa catatan penting di
sisi kitab yang dibahasnya atau dengan menggunakan buku khusus yang telah
disiapkan oleh murid. Sistem seperti ini terkenal dengan istilah halaqoh.
3) Sistem Pendidikan Pesantren
Metode yang digunakan adalah metode sorogan, atau layanan individual yaitu
bentuk belajar mengajar dimana Kiyai hanya menghadapi seorang santri yang
masih dalam tingkatan dasar atau sekelompok kecil santri yang masih dalam
tingkatan dasar. Tata caranya adalah seorang santri menyodorkan sebuah
kitab di hadapan kiyai, kemudian kiyai membacakan beberapa bagian dari
kitab itu, lalu santri mengulangi bacaan sampai santri benar-benar membaca
dengan baik. Bagi santri yang telah menguasai materi lama, maka ia boleh
menguasai meteri baru lagi. Metode wetonan dan bandongan, atau layanan
kolektif ialah metode mengajar dengan sistem ceramah. Dalam metode ini
kyai biasanya membacakan, menerjemahkan, lalu menjelaskan kalimat-
kalimat yang sulit dari suatu kitab dan para santri menyimak bacaan kyai
sambil membuat catatan penjelasan di penggir kitabnya. Metode Musyawarah
Adalah belajar dalam bentuk seminar (diskusi) untuk membahas setiap
masalah yang berhubungan dengan materi pembelajaran-pelajaran santri
ditingkat tinggi.
9
Metode ini menekankan keaktifan pada pihak santri, yaitu santri harus aktif
mempelajari dan mengkaji sendiri buku yang telah ditentukan kiyainya. Kiyai harus
15
menyerahkan dan memberi bimbingan seperlunya. Kurikulum Pesantren Menurut
Karel A Steenbrink (1984:39) semenjak akhir abad ke-19 pengamatan terhadap
kurikulum pesantren sudah dilakukan misalnya oleh LWC Van Den Berg (1886) seorang
pakar pendidikan dari Belanda. Berdasarkan wawancaranya dengan para kiyai, dia
mengkomplikasi kitab kuning meliputi kitab-kitab fikih, baik fikih secara umum maupun
fikih ibadah, tata bahasa Arab, ushuludin, tasawuf dan tafsir. Dari hasil penelitian Van
De Berg tersebut, Karel A. Steenbrink menyimpulkan antara lain kitab-kitab yang dipakai
di pesantren hampir semuanya berasal dari zaman pertengahan dunia Islam.
Pada umumnya pendidikan di pesantren mengutamakan pelajaran fikih. Namun
sekalipun mengutamakan pelajaran fikih mata pelajaran lainya tidak diabaikan sama
sekali. Dalam hal ini mata pelajaran yang berhubungan dengan ilmu alat, pembinaan
iman, dan akhlak sangat diperlukan. Pengajaran bahasa Arab adalah ilmu bantu untuk
pemahaman kitab-kitab agama. Pengajaran bahasa Arab tersebut terdiri dari beberapa
cabang dan tingkatan sebagai dasar bagi santri untuk melakukan pengajian kitab dengan
begitu, santri harus memiliki pengetahuan bahasa Arab terlebih dahulu sebelum pengajian
kitab yang sebenarnya dilaksanakan. Pengajian kitab yang dimaksudkan itu adalah
pengajian fikih dari tingkat dasar sampai tingkat tinggi. Kitab-kitab fikih tersebut ditulis
dalam bahasa Arab. Tetapi setelah melihat perkembangan lebih lanjut, seperti
peningkatan jumlah madrasah dan sekolah-sekolah swasta sebagai institusi pendidikan di
luar sistem persekolahan pemerintah, kalangan pemerintah semakin hati-hati terhadap
sikap netral mereka selama ini. Masalah Islam yang menjadi sumber kekhawatiran
pemerintah tersebut agaknya tidak terbatas adanya institiusi pendidikannya saja. Lebih
jauh dari itu, mereka memandang kemungkinan pendidikan Islam tersebut memengaruhi
sekolah-sekolah swasta lainnya. Adanya latar belakang tersebut pemerintah Belanda
merubah sikapnya dalam menghadapi kemungkinan buruk yang bakal timbul dari
15. Ramayulis, 2011: 253-258. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia
10
peningkatan jumlah madrasah dan sekolah-sekolah agama.Sebagai tindakan
pencagahan,dikeluarkan ordonansi tanggal 28 Maret 1932 Lembaran Negara no 136 dan
260 isinya berupa pembatasan kebebasan mengajar bagi guru-guru sekolah swasta.Sistem
ini tidak memberi keuntungan bagi perkembangan institusi pendidikan Islam. Bahkan
dalam ordonansi yang dikeluarkan tahun 1932, dinyatakan bahwa semua sekolah yang
tidak dibangun pemerintah atau tidak memperoleh subsidi dari pemerintah, diharuskan
minta izin terlebih dahulu, sebelum sekolah itu didirikan. Dengan kebijakan ini
pemerintah kolonial Belanda mendapat reaksi yang luar biasa dari kalangan umat Islam
terlebih di Minangkabau.
Hal ini karena umat Islam Minangkabau melihat adanya “sesuatu” yang akan
merugikan Agama Islam jika kebijakan ini dilaksanakan. Atas reaksi yang sedemikian
besar, akhirnya pemerintahan Belanda melalui Gubernur Jendralnya memberi jawaban
bahwa ordonansi guru di Minangkabau belum ada niat kapan untuk dilaksanakan. Lambat
laun kebijakan ordonansi guru tidak jalan dan akhirnya kebijakan ini di batalkan dan
hilang dari peredaran. Walaupun sebelum keputusan ini di buat sesungguhnya Belanda
telah berusaha membujuk beberapa tokoh Islam Minangkabau untuk mendukung
pelaksanaan ordonansi ini, namum mereka tidak berhasil. 16
16. Ramayulis, 2011: 253-258. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.
11
1. KUA (Kantor Urusan Agama) yang pada zaman Belanda disebut Voor
Islamistische Saken yang dipimpin oleh orang-orang orientalis Belanda, diubah
oleh Jepang menjadi Kantor Sumubi yang dipimpin oleh ulama Islam sendiri yaitu
KH. Hasyim Asy’ari dari Jombang, Jawa Timur.
2. Pondok-pondok pesantren besar sering mendapat kunjunan dan bantuan dari
pembesar Jepang
3. Pemerintah Jepang mengizinkan pembentuka barisan Hisbullah untuk
memberikan latihan dasar kemiliteran bagi pemuda Islam.
4. Pemerintah Jepang juga mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta
yang dipimpin oleh KH. Wahid Hasyim, Kahar Muzakir, dan Mohammad Hatta.
5. Para ulama Islam bekerja sama dengan pemimpin-pemimpin nasionalis diizinkan
membentuk barisan Pembela Tanah Air (PETA).
6. Umat Islam diizinkan meneruskan organisasi persatuan yang disebut Majelis
Islam A’la Indonesia (MIAI) yang bersifat kemasyarakatan.
12
perjuangannya dakwah Islamiyah, amar ma’ruf nahi munkar.
2). .N.S (Indonesische Nederlanshe School) dipelopori oleh Muhammad Syafi’I pada tahun
1899-1969, yang bertujuan mendidik anak agar berpikir rasional, bekerja dengan sungguh-
sungguh, dan membentuk manusia yang berwatak dan menanamkan persatuan.
3). Tujuan Nahdlatul Ulama, sebelum menjadi partai politik, memegang teguh empat
mahzab, di samping mengerjakan apa-apa yang menjadi kemaslahatan umat Islam itu
sendiri.18
Sikap penjajah Jepang terhadap pendidikan Islam ternyata lebih lunak, sehingga ruang gerak
pendidikan lebih bebas ketimbang pada zaman pemerintahan kolonial Belanda. Hal ini
memberikan kesempatan bagi pendidikan Islam untuk berkembang:
1. Pada masa awal pendudukan Jepang, madrasah berkembang dengan cepat terutama dari
segi kuantitas. Hal ini dapat dilihat terutama di daerah Sumatra yang terkenal dengan
madrasahnya, yang diilhami oleh majlis ulama tinggi.
2. Pendidikan agama di sekolah Sekolah negeri diisi dengan pelajaran budi pekerti. Hal ini
memberi kesempatan pada guru agama Islam untuk mengisinya dengan ajaran agama, dan
di dalam pendidikan agama tersebut juga di masukan ajaran tentang jihad melawan
penjajah
3. Perguruan tinggi Islam Pemerintah Jepang mengizinkan berdirinya sekolah tinggi Islam
di Jakarta yang dipimpin oleh KH. Wahid Hasyim, KH. Muzakkar, dan Bung Hatta.
Walaupun Jepang berusaha mendekati umat Islam dengan memberikan kebebasan dalam
beragama dan dalam mengembangkan pendidikan namun para ulama tidak akan tunduk
kepada pemerintahan Jepang, apabila mereka menggangu akidah umat hal ini kita dapat
saksikan bagaimana masa Jepang ini perjuangan KH. Hasyim Asy’ari beserta kalangan
santri menentang kebijakan kufur Jepang yang memerintahkan untuk melakukan seikere
(menghormati kaisar jepang yang dianggap keturunan dewa matahari). 19
13
Akibat sikap tersebut beliau ditangkap dan dipenjarakan oleh Jepang selama 8 bulan.
Ramayulis juga menyimpulkan bahwa, meskipun dunia pendidikan secara umum
terbengkalai, karena murid-muridnya sekolah setiap hari hanya disuruh gerak badan, baris-
berbaris, kerja bakti, bernyanyi dan sebagainya. Yang agak beruntung adalah madrasah-
madrasah yang ada di dalam lingkungan pondok pesantren yang bebas dari pengwasan
langsung pemerintah pendudukan Jepang. Pendidikan dalam pondok pesantren masih dapat
berjalan secara wajar.
Ada satu hal yang melemahkan dari aspek pendidikan yang diterapkan Jepang yakni
penerapan sistem pendidikan militer. Sistem pengajaran dan kurikulum disesuaikan untuk
kepentingan perang. Siswa memiliki kewajiban mengikuti latihan dasar kemiliteran dan
harus mampu menghapal lagu kebangsaan Jepang. Begitu pula dengan para gurunya,
diwajibkan untuk menggunakan bahasa Jepang dan Indonesia sebagai pengantar di sekolah
menggantikan bahasa Belanda. Untuk itu para guru wajib mengikuti kursus bahasa Jepang
yang diadakan oleh pemerintah Jepang.
Dengan demikian sistem pendidikan yang diterapkan Jepang di Indonesia memiliki
kelebihan dan kekurangan dibandingkan dengan sistem pendidikan yang diterapkan Belanda
yakni pendidikan masa penjajahan Belanda bersifat lebih liberal namun terbatas untuk
kalangan tertentu saja, sementara pada masa Jepang konsep diskriminasi tidak ada tetapi
terjadi penurunan kualitas secara drastis baik dari sisi keilmuan maupun mutu murid dan
guru. Kondisi ini tidak terlepas dari target pemerintah Jepang melalui pendidikan, Jepang
bermaksud mencetak kader-kader yang akan mempelopori dan mewujudkan konsep
kemakmuran bersama Asia Timur Raya yang diimpi-impikan Jepang. Satu hal yang menarik
untuk dicermati adalah adanya pemaksaan yang dilakukan oleh pemerintah Jepang agar
masyarakat Indonesia terbiasa melakukan penghormatan kepada Tenno (Kaisar) yang
dipercayai sebagai keturunan dewa matahari (Omiterasi Omikami). Sistem penghormatan
kepada Kaisar dengan cara membungkukkan badan menghadap Tenno, disebut dengan
Seikeirei. Penghormatan Seikerei ini, biasanya diikuti dengan menyanyikan lagu kebangsaan
14
Jepang (kimigayo). Tidak semua rakyat Indonesia dapat menerima kebiasaan ini, khususnya
dari kalangan Agama.
Penerapan Seikerei ini ditentang umat Islam, salah satunya perlawanan yang dilakukan
KH. Zainal Mustafa, seorang pemimpin pondok pesantren Sukamanah Jawa Barat. Peristiwa
ini dikenal dengan peristiwa Singaparna
20. Hasbullah, 1996:116-117. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
21. 21. Zamaksyari Dofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1983), hal. 18.
15
a. Adanya kyai sebagai pengajar.
b. Adanya sebagai pelajar.
c. Adanya mesjid sebagai sarana untuk pelajar.
22
d.
Adanya tempat pemondokan santri.
2. Masjid
Masjid fungsi utamanya adalah sebagai tempat sholat yang lima waktu ditambah dengan
sekali seminggu dilaksanakan sholat Jum’at dan dua kali setahun dilaksanakan sholat Idul Fitri
dan Idul Adha. Selain dari pada masjid ada juga tempat ibadah yang disebut langgar, bentuknya
lebih kecil dari masjid dan digunakan hanya untum sholat lima waktu, bukan untuk tempat sholat
Jum’at. Selain dari fungsi utama masjid dan langgar juga difungsikan juga untuk tempat
pendidikan. Ditempatkan dilakukan pendidikan buat orang dewasa maupun anak-anak.
Pengajian–pengajian yang dilakukan untuk orang dewasa adalah penyampaian-penyampaian
ajaran-ajaran oleh mubaligh (al-ustadz, guru, kiai) kepada para jamaah dalam bidang yang
berkenaan dengan akidah, ibadah dan akhlak.23
3. Meunasah
Secara etimologi meunasah berasal dari perkataan madrasah, tempat belajar atau sekolah.
Bagi masyarakat aceh meunasah tidak hanya semata- mata tempat belajar, bagi mereka meunasah
memiliki multifungsi, meunasah di samping tempat belajar, juga berfungsi sebagai tempat
ibadah (sholat), tempat pertemuan, musyawarah, pusat informasi,tempat tidur dan tempat
menginap bagi musafir.24
4. Surau
Christine Dobbon memberikan pengertian bahwa surau adalah rumah yang didiami
para pemuda setelah akil baligh, terpisah dari rumah keluarganya yang menjadi tempat
25
tinggal wanita dan anak-anak. Perkataan surau menyebar luar di Indonesia dan Malaysia, yang
dalam kehidupan keseharian adalah suatu bangunan kecil yang penggunaan utamanya untuk
shalat berjamaah bagi masyarakat sekitar. Di Sumatera Barat, surau tidak hanya mempunyai
fungsi pendidikan dan ibadah, tetapi
22. Kareel. A. Stenbrink, Pesantren, Madrasah dan Sekolah Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta: LP3ES 1986),
hal. 52.
23. Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuan dan Pembaharuan Islam di Indosia, (Jakarta:Kencana, 2007), hal. 20-21.
24. Ibid., hal. 23.
25. Cristine Dobbin, Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang Sedang Berubah, Terj. Lilian Tedjasudana, (Jakarta: INIS, 1992),
hal. 142.
16
hanya juga mempunya fungsi budaya. Surau diperkiran telah ada sebelum Islam datang ke
Sumatera Barat. Hanya berfungsi sebagai aplikasi dari budaya mereka. Surau dalam sistem
adat budaya masyarakat kepunyaan kaum, suku. Selanjutnya setelah Islam masuk, maka
dilaksanakan proses Islamisasi dalam segala aspek, termasuk lembaga-lembaga budaya.
26
Hal yang serupa juga diberlakukan terhadap pesantren.
27
Surau menurut istilah Melayu, arti kata surau sangat luas penggunaanya di Asia
tenggara. karena banyak digunakan di daerah Minangkabau, Sumatra Selatan,
semenanjung Malaysia, Sumatera Tengah, dan Pattani (Thailand Selatan). Surau tersebut
merupakan kebudayaan perdesaan yang perkembangannya lebih akhir dan dapat
ditemukan di daerah urban. Surau dalam perkembangannya setelah datang Islam,
mengalami perubahaan yang mendasar tanpa perubahan nama seperti surau Hindu-
Budha, yang berada di puncak bukit cepat hilang di bawah pengaruh Islam.
Perkembangan istilah surau setelah masuknya Islam mengacu pada “Masjid
28
kecil” yang biasanya digunakan untuk shalat Jum’at. Perbedaan penggunaan surau dan
mesjid cukup kabur, contohnya di Malaysia khususnya kegiatan surau adalah pusat
ritual keagamaan di pedesaan dan pusat kegiatan keagamaan lainya termasuk pendidikan
keagamaan di Malaysia ada dua istilah surau kecil umumnya tempat pengajian Al- Qur’an
dan pendidikan agama dasar, dan surau besar sama fungsinya di Indonesia seperti
mesjid dan tempat pendidikan agama yang arti sebenarnya.
Fungsi sama dengan langgar di Jawa sama kedudukanya seperti surau di daerah
Minangkabau sama dengan pesantren di daerah Jawa atau pondok di Malaysia. Dengan
demikian surau dalam arti sebenarnya adalah pusat pengajaran Islam Tinggi bagi pelajaran
tingkat lanjutan.
17
29
Surau dalam sejarah Minangkabau di mana sejarah pendidikan Islam di Minangkabau mulai
tahun 1900 M yang mengalami perubahan semenjak pertempuran paderi. Tetapi pada
sebelumnya kita melihat pendidikan Islam sebelum tahun 1900 M.
Menurut pendapat setengah para ahli bahwa agama Islam masuk ke Minangkabau kira
kira tahun 1250 M. Maka tentulah waktu itu mulai sejarah pendidikan agama Islam. Selain itu
menurut para ahli berdirinya sejarah kerajaan Islam berdiri di Minangkabau pada tahun 1500
M atau 1650 M, bahwa sesungguhnya kerajaan Melayu Islamlah yang baru berdiri. Pada
kenyataanya Islam telah masuk ke daerah Minangkabau sebelum tahun 1500 M.
D. Kebijakan Politik Kolonial Belanda Terhadap Pendidikan Islam
1. Asosiasi Pendidikan
Ada tiga fase dalam perkembangan pendidikan di Hindia Belanda pada abad ke-20.
Sampai tahun 1915, pendidikan Barat dianggap sangat penting bagi pribumi; kemudian timbul
suatu reaksi yang menghendaki agar pendidikan bagi pribumi tidak melepaskan mereka dari
kebudayaan aslinya. Selanjutnya timbul fase pengurangan pendidikan Barat yang menggunakan
bahasa Belanda sebagai pengantar, sejalan dengankeinginan mengadakan penghematan dalam
30
bidang pendidikan.
Seiring dengan merosotnya ekonomi, maka pada awal tahun tiga puluhan pemerintah
Belanda bermaksud meninjau kembali Kebijakan pendidikannya untuk membatasinya, atas
dasar pertimbangan sosio- ekonomi. Dalam kongres pendidikan yang diselenggarakan oleh
Budi Utomo pada tanggal 31 Desember 1930 di Solo, gagasan pemerintah untuk meninjau
kembali pendidikan ini ditolak secara aklamasi. Pada penglihatan mereka, peninjauan ini berlatar
belakang faktor ekonomis dan politis. Dikatakan ekonomis karena pendidikan Barat memberikan
kemungkinan bagi pribumi untuk menyaingi Eropa; dan dikatakan politis karena umumnya
masyarakat Eropa mendukung pendidikan Barat bagi pribumi, bila pendidikan tersebut
menolong kepentingan mereka.
29. Tadjab, Perbandingan Pendidikan, (Surabaya: Karya Abditama, 1994), hal. 77.
30. Perkembangan pendidikan pada abad ke-20: 1900-1915: Percaya akan arti nilai pendidikan Barat bagi pribumi.
Walaupun ada sekolah desa yang didirikan oleh Van Heutz, pendidikan Barat sangat menarik perhatian. 1915-1927:
Timbul reaksi yang menghendaki pendidikan yang lebih cocok bagi pribumi, agar mereka tidak terlepas dari kebudayaan
aslinya; meskipun pada masa Direktur Pendidikan dan Agama Creutzberg masih terdapat optimisme bahwa pendidikan
Barat akan segera tersebar. 1927-1942: Yakni sejak berdirinya panitia Pendidikan Belanda Indonesia oleh G.J. de
Graeff tahun 1927. Panitia ini bekerja sampai tahun 1930, diketuai oleh Dr. B.J.O. Schrieke.
18
Ternyata usaha penghematan tersebut tidak dapat ditunda, berhubung situasi ekonomi
keuangan pemerintah kolonial waktu itu.
Agaknya yang ditolak pihak pribumi adalah gagasan untuk membatasi pendidikannya,
bukan semata-mata difat Baratnya pendidikan tersebut. Hal ini terlihat pada banyaknya sekolah-
sekolah swasta yang mereka dirikan, yang di mata pemerintah kolonial kemudian disebut
sebagai “sekolah liar”. Besarnya minat mereka untuk menyelenggarakan Barat ini bisa
dimaksudkan, sebab aneka jabatan di lingkungan pemerintah kolonial justru menghendaki
pendidikan Barat. Di samping itu, pendidikan Barat juga memungkinkan seseorang untuk
memperluas pergaulannya dengan Belanda sebagai kelas penguasa.
Memang mereka tidak menolak sifat Baratnya pendidikan semata, tapi yang mereka
inginkan adalah tertanamnya jiwa Indonesia pada pendidikan tersebut. Hal ini terlihat jelasa
pada aneka usaha pendidikan Muhammadiyah, berupa pendidikan Barat yang disesuaikan
31
dengan kebutuhan Islam dan Indonesia. Organisasi ini bahkan pada tahun 1937
mendirikan MULO pribumi di Yogyakarta, suatu sekolah menengah pertama dengan sistem
pendidikan sebagai MULO biasa tapi menggunakan bahasa daerah sebagai pengantar. Jiwa
Indonesia ini pula agaknya yang melatarbelakangi sikap keras Taman Siswa 32 dalam menolak
sistem pendidikan resmi dan menolak subsidi pemerintah kolonial. Organisasi ini tidak
menginginkan tujuan pendidikan hanya sekedar menyiapkan calon pegawai pemerintahan
kolonial, sementara itu merenggut mereka dari kecintaan terhadap bahasa dan kebudayaannya
sendiri.
Pada tahun 1914, atas inisiatif Dr. Hazeu sekolah pribumi kelas satu dikembangkan
menjadi HIS tujuh tahun, dengan menggunakan bahasa Belanda sebagi pengantar. Hal ini
kemudian dinilai sebagai kebelanda- belandaan, karena sejak tahun 1848 telah ditetapkan
bahwa bahasa daerah harus menjadi bahasa pengantar bagi sekolah pribumi. Sampai- sampai
pada tahun tiga puluhan timbul keinginan yang disuarakan oleh Van der Plas, agar sistem
pendidikan lebih menekankan kepentingan pribumi. Pada tahun 1934, C.C. Berg juga
32
menganjurkan agar kebudayaan Indonesia memperoleh perlindungan.
31. Sekitar tahun 1939 Muhammadiyah memiliki 1744 sekolah. Sekitar separuh dari padanya merupakan sekolah model
pemerintah, dan separuh lainnya model madrasah. Model pertama pada umumnya dinilai baik oleh
pemerintah kolonial, dan diberi subsidi olehnya. Meskipun model ini sejalan dengan sekolah sekuler pemerintah,
namun tidak terlepas dari jiwa al-Qur’an.
32. Taman Siswa adalah perguruan swasta nasional yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantarapada tanggal 3 Juli 1922 di
Yogyakarta. Perguruan ini menentang sistem pendidikan kolonial, yang dinilainya hanya mengutamakan
mendidik pegawai. Dalam kongres pertamanya bulan Agustus 1930, Taman Siswa telah memiliki 58 cabang di
seluruh Indonesia, yang seluruhnya didukung swadaya masyarakat.
19
Namun betapapun arahpendidikan ini tetap tidak berubah, dan HIS pun tetap menggunakan
bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar, sampai akhir masa penjajahan Belanda.
Sejalan dengan pola pendidikan Snouck Hurgronje yang memimpikan pengubahan
bangsawan tradisional pribumi menjadi elit berpendidikan barat, maka sekolah HIS semula
33
hanya diperuntukkanbagi keluarga bangsawan pribumi. Agaknya pemerintah kolonial sedikit
sekali berbuat bagi pendidikan rakyat biasa, sehingga 93 persen dari 60 juta rakyat Indonesia pada
akhir tahun 1930 masih dalam keadaan buat huruf. Pada waktu itu hanya sekitar 200 orang
Indonesia yang lulus dari sekolah menengah atas per tahun. Pada tahun 1940 hanya 40 persen anak
usia enam sampai delapan tahun yang telah memperoleh pendidikan dasar.
Keengganan pemerintah kolonial Belanda dalam memajukan pendidikan rakyat
Indonesia ini bisa dimaklumi, karena masih mendambakan kelestarian penjajahannya. Pemerintah
kolonial menyadari, bahwa, “pendidikan akan merupakan dinamit bagi sistem pemerintahan
kolonial yang berlaku.” Kebijakannya dalam bidang pendidikan, tidak terlepas dari pola politik
kolonialnya. Alasan penyelenggaraan pendidikan pengajaran, lebih ditekankan pada kepentingan
pemerintah kolonial daripada kepentingan rakyat jajahannya sendiri, sebagaimana terlihat jelas
dalam Kebijakannya yang menyangkut agama mayoritas pribumi, dalam ordonansi guru maupun
dalam ordonansi sekolah liar.
33. Ternyata kemudian mereka yang menyekolahkan anaknya ke HIS hanya 28 persen yang berpenghasilan di atas f.100, - per
bulan.
34. Tapi dalam kenyataannya, penetrasi Belanda keluar Jawa segera diikuti oleh kedatangan para mahasiswa dari Al-Azhar di
Mesir, dan modernisasi Islam menjalar bagaikan api liar.
35. R.A. Kern pernah menyatakan bahwa Islam tidak pernah mengenal usaha ke arah kemajuan, justru beku. Harus
diperingatkan bahwa peraturan agama Islam merupakan rintangan paling besar. Pribumi pada dasarnya mengenal dorongan
kepada kemajuan, walaupun mereka beragama Islam. ”Jadi dalam memerangi Islam, kita harus berusaha membawa
pribumi ke tingkat lebih tinggi”.
20
Agaknya ramalan tersebut belum memperhitungkan faktor kemampuan Islam untuk
mempertahankan diri di negeri ini, juga belum memperhitungkan faktor kesanggupan Islam
menyerap kekuatan dari luar untuk meningkatkan diri. Memang cukup alasan agaknya untuk
merasa optimis. Kondisi obyektif pendidikan Islam pada waktu itu memang sedemikian
36
rupa, sehingga diperkirakan tidak akan mampu menghadapi superioritas Barat, tidak akan
sanggup melawan Pendidikan Kristen yang jauh lebih maju dalam segala bidang, dan tidak akan
bisa berhadapan dengan sikap diskriminatif pemerintah kolonial. Tetapi ternyata kemudian
kondisi agama ini berkembang menjadi berbeda dengan perhitungan dan ramalan tersebut.
Kesadaran bahwa kolonial Belanda merupakan “pemerintahan kafir” yang menjajah
agama dan bangsa mereka, semakin mendalam tertanam di benak para santri. Pesantren yang
merupakan pusat pendidikan Islam pada waktu itu mengambil sikap anti Belanda. Sampai uang yang
diterima seseorang sebagai gaji dari pemerintah Belanda, dinilainya sebagai uang haram. Celana
37
dan dasi pun dianggap haram, karena dinilai sebagai pakaian identitas Belanda. Sikap
konfrontasi kaum santri dengan pemerintah kolonial ini, terlihat pula pada letak pesantren di
Jawa pada waktu itu, yang umumnya tidak terletak di tengah kota atau desa, tapi di pinggiran
atau bahkan di luar keduanya.
36. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam pada sekitar tahun 1850 oleh Brumund dinilai hanya merupakan tempat
lahirnya kepercayaan bodoh dan asusila. Snouck Hurgronje pernah menyatakan bahwa dilihat dari sudut didaktis,
pesantren tidak banyak berarti. Dikatakannya bahwa para santri membuang waktu dengan menelusuri ilmu moral, dan
kadang-kadang mengarah ke intoleransi. Baru dua belas tahun kemudian ia mengakui bahwa pesantren tinggi mampu
mendidik murid ke pengertian lebih luas.
37. Pendapat ini didasarkan pada sabda Nabi Muhammad SAW, bahwa barang siapa menyerupai suatu kaum maka dia
tergolong kaum tersebut. Latar belakang sosial politik ketika itu ikut mewarnai pendapat ini. Golongan santri saat itu dalam
posisi konfrontasi dengan kolonial Belanda, meskipun hanya dalam persamaan identitas dasi dan celana.
21
Di mata umat Islam, pemerintah kolonial sering dituduh sebagai pemerintah Kristen,
sementara pelbagai Kebijakan pemerintah maupun aktivitas zending dan missi sendiri, justru
sering mempersubur tuduhan tersebut. Sekolah-sekolah Kristen - yang umumnya diberi
subsidi oleh pemerintahan kolonial – sering mewajibkan pendidikan agama Kristen bagi
38
murid-murid Islam. Sekolah-sekolah negeri juga sering dimanfaatkan untuk kepentingan
39
propaganda suatu aliran gereja.
Semua ini ikut memperdalam jurang pemisah antara pemerintah kolonial dengan
masyarakat santri. Aksi menimbulkan reaksi. Dengan segala kekurangan dan kelemahannya,
umat Islam berusaha mempertahankan diri, dan kemudia ternyata berhasil.
3. Ordonansi guru
Suatu Kebijakan pemerintah kolonial yang oleh umat Islam dirasakan sangat menekan
adalah Ordonansi Guru. Ordonansi pertama yang dikeluarkan pada tahun 1905 mewajibkan
setiap guru agama Islam untuk meminta dan memperoleh izin terlebih dahulu, sebelum
melaksanakan tugasnya sebagai guru agama. Sedangkan ordonansi kedua yangdikeluarkan
pada tahun 1925, hanya mewajibkan guru agama untuk melaporkan diri. Kedua ordonansi
ini dimaksudkan sebagai media pengontrol bagi pemerintah kolonial untuk mengawasi sepak
terjang para pengajar dan penganjur Islam di negeri ini.
Sesudah terjadinya peristiwa Cilegon tahun 188, K.F. Holle pada tahun 1890
menyarankan agar pendidikan agama Islam diawasi, karena pemberontakan para petani di
Banten itu dinilai sebagai dimotori olehpara haji dan guru agama .
38. Dalam hal ini Snouck Hurgronje sampai memberikan pernyataan bahwa pemerintahtidak boleh memberikan bantuan
kepada sekolah zending yang mewajibkan pendidikan agama Kristen kepada murid-murid Islam. Ia bahkan memperingatkan
bahwa bantuan pendidikan itu dibayar oleh pajak yang datang dari orang Islam sendiri. “Mustahil merekaharus membiayai
usaha untuk menjauhkan anaknya dari agama nenek moyangnya”.
39. Pemerintah kemudian mengatur bahwa pendidikan di negeri ini harus menghormati aliran agama seseorang. Tidak
boleh menggunakan propaganda salah satu dogma, juga tidak boleh bersifat satu aliran gereja saja.
22
Maka di Jawa terjadilah pemburuan terhadap guru agama; dan demi penyeragaman dalam
pengawasannya, maka K.F. Holle menyarankan agar bupati melaporkan daftar guru di
daerahnya setiap tahun. Kemudian pada tahun 1904 Snouck Hurgronje mengusulkan agar
pengawasan tersebut meliputi adanya izin khusus dari bupati, daftar tentang guru dan murid,
serta pengawasan oleh bupati harus dilakukan oleh suatu panitia Pada tahun 1905 lahirlah
suatu peraturan tentang pendidikan agama Islam yang disebut dengan Ordonansi
40
Guru, dan dinyatakan berlaku untuk Jawa madura kecuali Yogya dan Solo.
Bagi suatu sekolah yang memiliki organisasi teratur, tuntutan ordonansi ini
memang tidak menjadi masalah. Tapi bagi guru-guru agama pada umumnya yang tidak
memiliki administrasi yang memadai dalam mengelola pengajiannya, peraturan ini terasa
sangat memberatkan. Apalagi pada waktu itu lembaga pendidikan pesantren belum
memiliki administrasi yang teratur, daftar murid dan guru, atau mata pelajaran. Banyak
di antara guru agama waktu itu yang tidak bisa membaca huruf latin, sedangkan yang bisa
pun sangat jarang yang mempunyai mesin tulis untuk mengisi sekian lembar daftar
laporan.
Dalam praktek, ordonansi guru ini bisa dipergunakan untuk menekan agama Islam,
karena dikaitkan dengan ketertiban keamanan. Misalnya ketika terjadi persaingan ketat
antara Islam – Kristen di Tanah Batak pada awal abad ini. Lulofs selaku penasehat
urusan luar Jawa menetapkan adanya suatu garis perbatasan antara Islam dan Kristen.
Orang Islam tidak dibenarkan tinggal di daerah Kristen lebih dari 24 jam.
40. Staatsblad 1905 no. 550, isinya antara lain: 1) Seorang guru agama Islam baru dibenarkan mengajar bila sudah
memperoleh izin dari bupati, 2) Izin tersebut baru diberikan bilaguru agama tersebut jelas-jelas bisa dinilai
sebagai orang baik, dan pelajaran yang diberikannya tidak bertentangan dengan keamanan ketertiban umum,
3) Guru agama Islam tersebut harus mengisi daftar murid, di samping harus menjelaskan mata pelajaran yang
diajarkan, 4) Bupati atau instansi yang berwewenang boleh memeriksa daftar itu sewaktu-waktu, 5) Guru agama
Islam bisa dihukum kurang maksimum delapan hari atau denda maksimum dua puluh lima rupiah, bila ternyata
mengajar tanpa izin atau lalai mengisi/ mengirimkan daftar tersebut; atau enggan memperlihatkan dafta itu
kepada yang berwewenang, berkeberatan memberi keterangan, atau enggan diperiksa oleh yang berwewenang.
23
Tetapi gagasan ini ditentang oleh Hazeu, selaku Adviseur voor Inlandsche zaken, yang
sangat keras melawan gagasan yang dinilainya sebagai penyalahgunaan Ordonansi guru
untuk mengusir orang Islam. Ditegaskannya, Ordonansi Guru itu dibuat untuk mengawasi
pendidikan Islam, bukan untuk menghambat atau menekannya.
Ordonansi Guru tahun 1905 yang mewajibkan guru-guru agama Islam untuk minta
izin itu, kemudian dinilai kurang efisien, karena laporan tentang guru agama dan
41
aktifitasnya – yang secara periodik disampaikan bupati – ternyata kurang meyakinkan ,
di samping situasi politik waktu itu dinilai sudah tidak lagi memerlukan “pemburuan” guru
agama. Karena itu pada tahun 1925 dikeluarkanlah Ordonansi Guru baru – sebagai
pengganti – yang hanya mewajibkan guru agama untuk memberitahu, bukan meminta
izin. Peraturan ini tidak hanya berlaku untuk Jawa – madura. Sejak 1 Januari 1927
berlaku pula untuk Aceh,Sumatera Timur, Riau, Riau, Palembang, Tapanuli, Manado, dan
Lombok. Kemudian pada tahun tiga puluhan berlaku pula untuk Bengkulu.
Tetapi seperti halnya Ordonansi Guru sebelumnya, ordonansi baru ini pun dalam
praktek bisa dipergunakan untuk menghambat agama Islam, meskipun bukan itu
tujuan yang tercantum dalam ketentuan ordonansi tersebut. Misalnya peristiwa yang
terjadi di Sekayu pada tahun 1926. H. Fachruddin selaku Ketua Muhammadiyah
menyatakan keluhan bahwa sejak diumumkannya ordonansi ini pelbagai rintangan
ditimbulkan untuk menghalangi kemajuan dan penyebaran Islam di Indonesia. Karena
itu ia mengimbau gobee, selaku Adviseur voor Inlandsche zaken, agar turun tangan.
41. Salah satu contoh kurang meyakinkannya laporan tentang daftar guru ini tergambar dalamlaporan Residen Yogya
tentang K.H. Imam Tafsir Krapyak. Dalam laporan tahun 1890, kyai ini dilaporkan dalam nomor urut 21, mengajar
Tafsir. Pesantrennya dikunjungi 20 murid, semuanya dari desa Krapyak. Dalam laporan 1897 kyai yang sama berada
dalam urutan nomor 14 dan masih mempunyai murid dari Krapyak. Dalam laporan residen tahun yang lain
disebutkan bahwa K.H.M. Kasan Tafsir di kalangan polisi selalu dikenal sebagai guru yang masyhur. “Seseorang yang
mengajar 20 murid di desanya sendiri, tidak pantas disebut masyhur”. Mungkin setelah adanya Ordonansi Guru,
statistik agak bisa dipercaya. Meskipun demikian pada tahun 1935 Snouck Hurgronje masih meragukan akuratnya
data guru agama yang dilaporkan pada bupati.
24
Memang banyak reaksi yang dilancarkan oleh pihak pribumi terhadap ordonansi ini.
Kongres Al-Islam tehun 1926 (1-5 Desember) di Bogor menolak cara pengawasan
terhadap pendidikan agama ini. Kewajiban memberitahukan kurikulum, guru dan murid
secara periodik ini dinilainya memberatkan, karena lembaga pendidikan Islam pada
42
umumnya tidak memiliki administrasi dan sarana yang memadai. Begitu pula keharusan
mengisi formulir berbahasa Belanda, dirasakan sebagai beban sangat berat, sebab hampir
semua guru agama tidak mengerti bahasa ini; paling-paling mereka mengerti bahasa
Arab. Organisasi Muhammadiyah dalam kongres XVII tahun 1928 (12-20 Februari)
dengan sangat keras menuntut agar Ordonansi Guru ini ditarik kembali. Tetapi reaksi yang
demikian hebat terjadi di Sumatera Barat, ketika pemerintah kolonial bermaksud
hendak menerapkan Ordonansi Guru ini di daerah tersebut, segera setelah timbulnya
pemberontakan komunis pada tahun 1927. Apalagi di beberapa tempat ternyata untuk
mengajarkan agama, seseorang harus memperoleh izin resmi, bukan hanya cukup
memberitahu. Tidaklah mengherankan kalau di kalangan masyarakat setempat banyak
timbul pendapat bahwa andaikata Ordonansi Guru diterapkan, berarti orang Minang
akan kehilangan kebebasan dalam melaksanakan aktivitas agamanya.
42. Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1982), hal.195.
25
Reaksi terhadap Ordonansi Guru agaknya bukan hanya dilancarkan oleh pihak pribumi,
tapi juga oleh pihak Belanda sendiri. Sebagaimana diuraikan di atas, tujuan ordonansi ini
adalah untuk mengawasi atau mengontrol pendidikan agama Islam; dan untuk itu adanya
daftar guru dan segala aktivitasnya senagat diperlukan. Dalam hal ini Van Der Plas pada
tahun 1934 berpendapat, bahwa untuk mencapai tujuan tersebut daftar guru yang
dipaksakan itu sema sekali tidak ada gunanya. Dia pun melihat akibat sampingan
ordonansi ini dan memandangnya sebagai “rintangan paling besar bagi karya produktif
di Hindia Belanda.” Dia berpendapat bahwa demi penyederhanaan dan efisiensi,
hendaknya pemerintah kolonial menghapuskan ordonansi guru yang dinilainya hanya
43
akan menghabiskan kertas ini.
Menanggapi pelbagai keinginan dihapuskannya ordonansi guru ini, Snouck Hurgronje
dalam suratnya kepada Menteri Jajahan tahun 1935 masih berpendapat perlunya
dipertahankannya ordonansi tersebut, meskipun dengan beberapa usul perubahan.
Namun betapapun situasikondisi telah jauh berubah. Di pihak pemerintahan kolonial
sendiri, situasi ekonomi moneter menuntut diadakannya penghematan dan
penyederhanaan. Di pihak pribumi, kekhawatiran akan timbulnya pemberontakan
seperti terjadi di Cilegon tahun 1888, sudah tidak perlu ada. Bahaya gerakan tarekat
maupun Pan Islam juga tidak perludikhawatirkan lagi, sehingga guru agama Islam tidak
lagi harus diburu. Itulah sebabnya mengapa nasehat arsitek ordonansi guru 1905 ini,
tidak seampuh masa-masa yang lalu. ordonansi guru 1905 kehilangan urgensinya dan
betapapun terpaksa menghilang dari peredaran.
43. http://ahmad-elmagetany.blogspot.co.id/2013/10/politik-dan-kebijakan-pendidikan-islam.html
26
Kebijakan ini membawa akibat sangat majunya pendidikan Kristen di Indonesia.
Sementara itu, keinginan orang-orang Indonesia untuk memperoleh pendidikan Barat
juga semakin berkembang. Ketidakmampuan pemerintah kolonial dalam mengatasi arus
yang justru sejalan dengan apa yang digalakkannya selama ini, mengakibatkan
bermunculannya sekolah swasta pribumi, yang kemudian dikenal sebagai “sekolah liar”.
Tetapi karena pengelola dan kurikulum sekolah ini dinilai tidak memenuhi syarat yang
ditentukan pemerintah, maka ijazah sekolah tersebut tidak diakui di kantor-kantor resmi.
Sekolah liar ini selalu didirikan oleh orang-orang Indonesia dan dimasuki oleh anak-anak
Indonesia.44
Sementara itu menghebatnya propaganda komunis di tengah memburuknya situasi
politik pada awal tahun dua puluhan itu, dinilai pemerintah kolonial sebagai sudah
cukup membahayakan stabilitas kekuasaannya. Kesadaran politik orang-orang
Indonesia di pelbagai partai terus tumbuh, sementara di pihak lain – sejak diangkatnya
Focksebagai Gubernur Jenderal – tindakan pemerintah kolonial semakin keras. Persaingan
antara Islam dan komunis dalam tubuh Sarekat Islam (SI)pun bertambah ketat, sampai
kemudian orang-orang komunis terpaksaharus dikeluarkan dari SI. Gerakan komunis ini
semakin menghebat sejak kembalinya Semaun dari Moskow pada pertengahan 1922,
meskipun terpaksa harus berdiri di luar SI. Corak politik pergerakan Indonesia pada
tahun 1922 pada umumnya menjadi semakin radikal. Konsentrasi Radikal di Volksraad
merupakan manifestasi perkembangan ini. Pada awal tahun 1923, banyak organisasi
pribumi yang cenderung mengambil sikap non-kooperasi dan menolak keras imperialisme.
Dikeluarkannya Ordonansi Pengawasan tersebut sebenarnya tidak terlepas dari keinginan
untuk mengontrol dan mengendalikan perkembangan ini.
Pengawasan melalui Ordonansi 1923 ini hanya bersifat wajib lapor bagi penyelenggara
suatu lembaga pendidikan, sementara kalangan luas pejabat kolonial menghendaki
pengawasan lebih ketat Pada tanggal 17 Oktober 1929, Schrieke Pendidikan
44. Ibid
27
diperintahkan oleh Sekretaris Negara atas saran Dewan Penasehat Hindia, untuk
meninjau kemungkinan ditindaknya sekolah liar. Tetapi Schrieke, yang pada dasarnya
menyetujui pendapat pendahulunya Hardeman – bahwa pemerintah belum perlu
mengambil tindakan terhadap sekolah liar – agaknya berhasil menunda masalah ini
sampai tahun 1932; yakni keluarnya Toezicht-ordonantie particulier Onderwijs tanggal 17
September 1932 yang dinyatakan berlaku mulai 1 Oktober 1932.
Krisis ekonomi tahun tiga puluhan memaksa pemerintah kolonialuntuk menekan
anggaran belanja pendidikan. Sementara itu tuntutan pendidikan sudah semakin
meningkat, sehingga bermunculanlah sekolah-sekolah swasta, meskipun tanpa subsidi
pemerintah. Tetapi, dan ini suatu ironi, justru pemerintah kolonial menyambut inisiatif
masyarakat ini dengan Ordonansi Sekolah Liar. Akibatnya timbullah reaksi hebat dari
kalangan luas masyarakat, baik dari organisasi nasional maupun Islam. Direktur
Pendidikan sendiri agaknya bisa memaklumi hal tersebut, namun hal ini justru
menyebabkan dirinya sedikit tersisih dari lingkungannya.
Taman siswa–yang seluruh sekolahnya terkena ketentuan ordonansi ini–bertekad
untuk mengadakan perlawanan pasif. Tekad tersebut dinyatakan oleh Ki Hadjar
Dewantara dalam kawatnya ke Gubernur Jenderal, juga dalam pembicaraan lisan
dengan Kiewiet de Jounge – selaku kuasa pemerintah – ketika berkunjung ke
rumahnya. Sarekat Islam (SI) yang sejak tahun 1932 telah menjelma menjadi Partai
Syarikat Islam Indonesia (PSII), juga mengumumkan suatu manifesto menentang
ordonansi ini.
Pada tahun tahun 1932 sering terjadi konferensi atau rapat umum yang berakhir
dengan keputusan menolak Ordonansi Sekolah Liar. Konferensi dewan pendidikan
Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) di Sumatera Barat tanggal 26-27 Desember 1932
memutuskan bahwa ordonansi ini melanggar dasar-dasar Islam dan dasar-dasar umum,
di samping mengurangi kebebasan bangsa Indonesia untuk mengatur dan membangun
pendidikannya sendiri. Para ulama besar Minangkabau, yang beranggapan ordonansi ini
28
merupakan percobaan untuk membunuh sekolah-sekolah Islam, menuduh pemerintah
kolonial bertindak menguntungkan Kristen. Mereka memutuskan akan berjuang
hidup atau mati untuk Islam, dan membentuk suatu panitia aksi yang diketuai oleh H.
Rasul. Suatu partai yang dianggap loyal yaitu Budi Utomo, juga menentang keras
ordonansi ini. Partai ini bertekad akan menarikanggota-anggotanya dari aneka lembaga
perwakilan, andaikata pada tanggal 31 Maret 1933 Ordonansi Sekolah Liar belum ditarik
kembali; bahkan akan menutup-menutup sekolahnya serta akan memberikan bantuan
keuangan kepada parakurban perlawananan pasif. Sedangkan Muhammadiyah, pada
mulanya menunjukkan sikap ragu terhadap ordonansi ini, mungkin karena sebagian
sekolahnya memperolahsubsidi dari pemerintah, meskipun hanya sebagian kecil. Namun
dalam konferensi daruratnya di Yogyakarta pada tanggal 18-19 Nopember 1932,
akhirnya organisasi ini pun menolak Ordonansi Sekolah Liar.
Dari sini terlihat bahwa usaha pemerintah kolonial untuk menekan pendidikan swasta,
ternyata memperoleh perlawanan keras dari pihak pribumi, baik dari organisasi nasional
maupun organisasi Islam. Organisasi PSII dan Permi serta Muhammadiyah bahu
membahu dengan Taman Siswa, Budi Utomo, PNI, Partindo, dan Isteri Sedar, untuk
menentangkeras Ordonansi Sekolah Liar. Reaksi ini memaksa pemerintah kolonial untuk
meninjau ordonansi yang berumur setengah tahun itu. Pada pertengahan Februari
1933 ordonansi ini dinyatakan ditarik kembali, dan pada pertengahan Oktober 1933
penarikan ini dipertegas dengan keluarnya peraturan baru.39 Sejak itulah pelbagai sekolah
yang selama ini dinilai sebagai liar, disebut sebagai “sekolah swasta tak bersubsidi”.
Dalam perkembangan selanjutnya jumlah sekolah ini semakin banyak dan mutunya pun
semakin meningkat.
29
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian makalah di atas, dapat dipahami intisari dari pendidikan Islam
masa pendudukan Belanda dan Jepang, bahwa Pendidikan pada Islam masa
aktivitas madrasah dan guru yang mengajar di madrasah. Mereka melakukan itu
karena perasaan takut terhadap Umat Islam yang sudah mulai berkembang.
Sementara pada saat Jepang berkuasa pendidikan Islam sedikit lebih bebas
ketimbang pada zaman pemerintahan kolonial Belanda. Akan tetapi Jepang dengan
misinya, mewajibkan guru untuk belajar bahasa Jepang dalam memberikan pelajaran
hormat kepada Tenno (Kaisar). Inilah yang oleh tokoh Islam tidak diterima akhirnya
mereka ditangkap.
B. Saran
Demikianlah makalah yang dapat penulis susun apabila ada kekurangan
diharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi revisi makalah selanjutnya.
30
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
A.S. Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English , Oxford: Oxford
Abdul Rachman Saleh, Pendidikan Agama dan Pembangunan Watak Bangsa, Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2005. Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa: Visi, Misi
dan Aksi, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006.
Abdul Wahid, Isu-isu Kontemporer Pendidikan Islam, Semarang: Need’s Press, 2008), Cet.
I. Abdurrahman Assegaf, Pendidikan Tanpa Kekerasan: Tipologi Kondisi, Kasus
dan Konsep Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004.
Hamzah Amir, Wirjosukrto.1985. Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam, cet. Iv.
Jember: Muria Offset.
http://our-ed.blogspot.com/2012/05/pendidikan-di-zaman-penjajahan-jepang.html diunduh
hari senin 9 Oktober 2018 pkl 0645.
http://nieez-azza.blogspot.com/2012/05/makalah-pendidikan-islam-pada-masa.html, di
unduh hari senin 9 Oktober 2018 pkl. 06:00.
31
Jalaluddin. 1990. Kapita Selekta Pendidikan. Jakarta: Kalam Mulia
Nizar, Samsul (ed). 2008. Sejarah Pendidikan Islam “Menelusuri Sejarah Pendidikan Era
Rasulullah sampai Indonesia. Jakarta: Kencana
Shaleh, Abdul Rahman. 2004. Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa “Visi, Misi dan Aksi,”
Jakarta: RajaGrafindo Persada
Subhan, Arief. 2012. Lembaga Pendidikan Islam Abad Ke-20 “Pergumulan antara
Modernisasi dan Identitas. Jakarta: Kencana.
Steenbrink, A Karel. 1984. Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19. Jakarta:
Bulan Bintang.
Wahab, Rohidin FZh. 2004. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Bandung: Alfabeta
32