Anda di halaman 1dari 22

Analisis pendidikan Islam menurut athiyah Al abrosy, M.

Athoumi ashaibany, Syed M.nauqil Al athos

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


Ilmu Pendidikan Islam

Dosen Pengampu :
Dr. H. Masykur H. Mansyur, Drs, MM.

DISUSUN OLEH :

Dede Desiyani Lestari NIM. 2110632030013

Udin Samsudin NIM. 2110632030016

Muhammad Mahfud NIM. 2110632030015

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN............................................................. 4
A. Landasan Teori ……….............................................................4
B. Rumusan Masalah.................................................................... 5
C.Tujuan dan manfaat…………....................................................5

BAB II ISI..................................................................................... 6
A. Anasisi Pendidikan Islam ……………………………………………….................. 5
B. Syed Muhammad Naquib al-Attas …………………………………………….......... 5
C. Muhammad Athiyah al-Abrasyi.............................................................8
D. M. Athoumi ashaibany …………………………………………………………………..15

BAB III PENUTUP...................................................................... 21


A. Kesimpulan……...................................................................... 21
B. Saran …................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA................................................................. 22

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT serta segala rahmat,
berkah, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
‘Analisis pendidikan Islam menurut athiyah Al abrosy, M. Athoumi ashaibany, Syed
M.nauqil Al athos’’ Makalah ini disusun guna memberikan informasi tambahan mengenai
perspektif Islam dan juga untuk memenuhi tugas mata kuliah Agama Islam. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang sumbernya berupa artikel dan tulisan
telah penulis jadikan referensi guna penyusunan makalah ini, semoga dapat terus berkarya
guna menghasilkan tulisan-tulisan yang mengacu terwujudnya generasi masa depan yang
lebih baik. Penulis berharap, semoga informasi yang ada dalam makalah ini dapat berguna
bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya. Penulis menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari sempurna, banyak kekurangan dan kesalahan. Penulis menerima
kritik dan saran yang membantu guna penyempurnaan makalah ini.

Karawang. November 2022

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dalam konteks struktur keagamaan masyarakat Indonesia, pendidikan Islam


memiliki peran pentingdalam pembentukan watak dan karakter bangsa. Pendidikan Islam
memiliki fungsi mengaktualisasikan nilai-nilai keIslaman ditengah perubahan kehidupan
masyarakat yang sarat dengan pergeseran dan benturan nilai saat ini. Secara faktual
pelaksanaan pendidikan agama Islam yang berlangsung pada berbagai jenjang pendidikan,
masih kurang berhasil dalam menggarap sikap dan perilaku keberagamaan subyek
didik serta membangun moral dan etika bangsa. Pendidikan Islam memiliki peran strategis
dalam pengem-bangan kualitas sumber daya manusia Indonesia, baik dalam penguasaan
ilmu pengetahuan dan teknologi maupun dalam hal karakter, sikap dan penghayatan serta
pengamalan ajaran agama. Pendidikan, khususnya pendidikan Islam harus mampu meng
emban misi pembentukan karakter sehingga lulusan lembaga pendidikan dapat
berpartisipasi dalam mengisi pembangunan tanpa meninggalkan karakter mulia.
Dewasa ini, peran pendidikan Islam semakin diperlukan dalam mengaktualisasikan
nilai-nilai keIslaman seiring dengan perubahansosial kehidupan masyarakat yang sarat
dengan pergeseran nilai. Karenanya, pendidikan yang berdimensi nilai, sangat penting
bagi masyarakat yang berubah.3Kematangan beragama yang dilandasi nilai-nilai Islam,
menjadikan masyarakat mampu memperjelas dan menentukansikap terhadap substansi nilai
dan norma baru yang muncul dalam proses perubahan. Kajian mengenai pendidikan nilai
Islam dapat dikatakan belum banyak mendapat perhatian dari para akademisi, para
akademisi lebih banyak membahas tentang pendidikan Islam.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana Anasisi Pendidikan Islam?


2. Bagaimana analisis pendidikan Islam menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas?
3. Bagaimana analisis pendidikan Islam menurut Muhammad Athiyah al-Abrasyi?
4. Bagaimana analisis pendidikan Islam menurut M. Athoumi ashaibany?

C. TUJUAN DAN MANFAAT


1. Untuk mengetahui Anasisi Pendidikan Islam.
2. Untuk mengetahui pendidikan Islam menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas.
3. Untuk mengetahui pendidikan Islam menurut Muhammad Athiyah al-Abrasyi.
4. Untuk mengetahui pendidikan Islam menurut M. Athoumi ashaibany.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Anasisi Pendidikan Islam

Pendidikan secara sederhana diartikan sebagai upaya memanusiakan manusia.


Menurut Notonagoro pendidikan dibedakan menjadi pengertian teoritis dan filosofis.
Secara teoritis pendidikan diartikan tuntunan dalam arti luas kepada manusia dalam
keadaan tumbuh agar siap bagi dan untuk hidup wajar sebagai manusia. Singkatnya
dengan pendidikan diharapkan manusia menjadi manusia seutuhnya dengan nilai-nilai
pendidikan dan moral yang ada. Pada perkembangannya pendidikan sering mengalami
pengkerdilan makna, di mana pendidikan diartikan hanya sebatas transfer of knowladge, hal
ini disebabkan proses pendidikan yang terjadi terkadang belum sampai ke wilayah
transfer of value. Hal ini menyebabkan pendidikan nilai-nilai Islam yang harus ada
seperti kejujuran, tanggung jawab, disiplin, kerja keras, adil dan sebagainya seringkali
mengalami dekandensi dan dikesampingkan. Perlu kita pahami bahwa pendidikan bukan
hanya pengajaran. Tidak berhenti pada masalah kognitif saja. Namun lebih dari itu,
yaitu kompetensi afektifyang bersentuhan langsung dengan perliku nyata individu.

Menurut UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 3


disebutkan bahwa,Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab.Apabila dicermati, maka tujuan pendidikan nasional sejalan
dengan tujuan pendidikan agama Islam, serta nilai-nilai yang terkandung juga, sama
dengan nilai-nilai Islam.

5
B. Syed Muhammad Naquib al-Attas lahir di Bogor, yang saat ini merupakan provinsi
Jawa Barat pada tanggal 5 September 1931 M. Ia adalah adik kandung dari Prof. Dr. Syed
Husen al-Attas, pakar sosiologi dan ilmuwan di Universitas Malaya, KualaLumpur,
Malaysia.Nama lengkap Naquib adalah Syed Muhammad Naquib bin Abdullah bin Muhsin
al-Attas. Nama ayahnya adalah Syed Ali bin Abdullah al-Attas, dan ibunya adalah Syarifah
Raquan al-Aydarus, seseorang yang merupakan keturunan kerabat raja-raja Sunda Sukapura
Jawa Barat. Syed Ali bin Abdullah al-Attas berasal dari Arab yang silsilahnya merupakan
cucu Nabi Muhammad SAW

Riwayat pendidikan Naquib dimulai sejak ia berusia lima tahun ketika itu ia berada di
Johor Baru, tinggal bersama dan di bawah didikan saudara ayahnya Encik Ahmad kemudian
dengan ibu Azizah hingga perang dunia kedua meletus. Pada tahun 1939 M sampai dengan
1941 M ia belajar di Ngee Neng English Premary School di Johor Baru. Pada zaman Jepang,
ia kembali ke Jawa Barat selama empat tahun. Ia belajar agama dan bahasa Arab di Madrasah
alUrwatul Wutsqa di Sukabumi Jawa Barat pada tahun 1942 M sampai dengan 1945 M. Pada
tahun 1946 M, ia kembali ke Johor Baru dan tinggal bersama saudara ayahnya Tengku Abdul
Aziz (Menteri Besar Johor kala itu), kemudian dengan datuk Onn yang kemudian menjadi
menteri Besar Johor (ia merupakan ketua umum UMNO pertama). Kemudian pada tahun
1946 M, Naquib melanjutkan pelajaran di Bukit Zahrah School dan seterusnya di English
College Johor Baru selama tiga tahun. Setelah itu ia memasuki dunia militer atau tentara.

Kepakaran Naquib dalam berbagai ilmu, seperti filsafat, sejarah dan sastra sudah
diakui di kalangan Internasional. Pada tahun 1970 M ia dilantik oleh para filosof Amerika
sebagai International Member of the America Philosophical Association. Ia juga pernah
diundang mengisi ceramah di Temple University, Philadelpia, Amerika Serikat dengan topik
Islam in Southeast Asia: Rationality Versus Iconography (1971) dan di Institut
Vostokovedunia, Moskow, Rusia dengan topik The Role Islam in History dan Culture of the
Malays (1971). Ia juga menjadi pimpinan panel bagian Islam di Asia Tenggara dalam XXIX
Conggres International Des Orientalistis, Paris (1973). Ia juga rajin menghadiri kongres
seminar internasional sebagai ahli panel mengenai Islam, filsafat dan kebudayaan (al-
tamaddun) baik yang diadakan UNESCO.

Pemikiran Syed Muhammmad Naquib al-Attas tentang Pendidikan Islam

1. Definisi Pendidikan Islam

Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, pendidikan khas Islam merupakan pengenalan
dan pengakuan, yang secara berangsur-angsur ditanamkan di dalam diri manusia, mengenai
tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu ke dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa
sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan akan kedudukan Tuhan yang tepat
dalam tatanan wujud dan kepribadian.

Ringkasnya pendidikan adalah suatu proses penanaman pengenalan dan pengakuan ke


dalam diri manusia dalam rangka membimbing manusia kepada pengenalan dan pengakuan

6
akan kedudukan Tuhan. Artinya di sini Syed Muhammad Naquib al-Attas memaknai konsep
pendidikan secara substantif mengarahkan manusia untuk mengakui akan Tuhannya. Dengan
demikian pendidikan yang baik adalah pendidikan yang seharusnya menjadikan manusia
kembali kepada Tuhannya dalam segala aktivitas kehidupannya.

Konsep kunci dalam pendidikan, menurut al-Attas adalah WD¶GLE. Kata WD¶GLE
yang berakar dari kata adab berarti pembinaan yang khas berlaku pada manusia. Adab ialah
disiplin tubuh, jiwa dan ruh, disiplin yang menegaskan pengenalan dan pengakuan tempat
yang tepat dalam hubungannya dengan kemampuan dan potensi jasmaniah, intelektual dan
rohaniah; pengenalan dan pengakuan akan kenyataan bahwa ilmu dan wujud ditata secara
hierarkis sesuai dengan berbagai tingkat (maratib) dan derajatnya (darajat) 7Tujuan
pendidikan Islam bukanlah membina dan mengembangkan warga negara yang sempurna
sebagaimana ditekankan oleh pemikir-pemikir Barat, seperti Plato, melainkan lebih penting
dari itu, adalah membina manusia yang sempurna, dan pada tujuan inilah pendidikan itu
seharusnya diarahkan. Namun Syed Muhammad Naquib al-Attas juga mengatakan bahwa
Islam pun bisa menerima ide pembentukan warga negara yang baik sebagai tujuan
pendidikan (yang dimaksud warga negara adalah warga negara kerajaan Tuhan), yang
memungkinkannya menjadi manusia yang baik. Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas
perhatian penuh terhadap individu merupakan sesuatu yang sangat penting sebab tujuan
tertinggi dan perhatian terakhir etika dalam perspektif Islam adalah individu itu sendiri.
Karena posisinya sebagai agen moral, menurut Islam, manusialah yang kelak akan diberi
pahala atau azab pada hari perhitungan.

Pendapat Syed Muhammad Naquib al-Attas bahwa struktur ilmu pengetahuan dan
kurikulum pendidikan Islam seharusnya menggambarkan manusia dan hakikatnya yang harus
diimplementasikan pertama-tama pada tingkat universitas. Karena universitas menurut Syed
Muhammad Naquib alAttas merupakan cerminan sistematisasi yang paling tinggi, maka
formulasi kandungannya harus didahulukan. Struktur dan kurikulum ini secara bertahap
kemudian diaplikasikan pada tingkat pendidikan rendah

Terdapat beberapa aspek dari kurikulum yang diusulkan Syed Muhammad Naquib al-Attas
yang perlu dijelaskan lebih lanjut, yaitu peranan bahasa, metode tauhid untuk menganalisis
ide dan instrumen didaktik lainnya seperti metafora, perumpamaan dan cerita. Berikut uraian
metode pendidikan Islam:

a. Metode Tauhid : Salah satu karakteristik pendidikan dan epistemologi Islam yang
dijelaskan secara tajam dan dipraktikkan oleh Syed Muhammad Naquib alAttas adalah apa
yang dinamakannya sebagai metode tauhid dalam ilmu pengetahuan. Metode tauhid ialah
metode dengan fitrah mengacu pada metodologi pendidikan Islam yang dinyatakan dalam
menggunakan sistem multi approach, di antaranya adalah pendidikan religius bahwa manusia
diciptakan memiliki dasar (fitrah) atau bakat agama. Ungkapan metode tauhid yang menjadi
karakteristik dan epistemologi Islam al-Attas, secara sederhana dapat digambarkan bahwa

7
manusia menerima pengetahuan dan kearifan spiritual dari Allah SWT melalui pengertian
langsung atau pengindraan spiritual, yaitu pengalaman yang hampir secara serentak
mengungkapkan suatu kenyataan dan kebenaran sesuatu kepada pandangan spiritualnya
(kasf). Ia bersatu padu dengan adab mencerminkan kearifan dan sehubungan dengan
masyarakat yang beradab adalah perkembangan tata tertib yang adil di dalamnya.

b. Metode Metafora dan Cerita. : Ciri-ciri metode pendidikan Syed Muhammad Naquib al-
Attas yang menonjol ialah penggunaan metafora dan cerita sebagai contoh dan
perumpamaan. Salah satu metafora yang paling sering diulang-ulang oleh Syed Muhammad
Naquib al-Attas ialah metafora papan penunjuk jalan (sign post) untuk melambangkan sifat
teologis alam dunia ini, yang sering dilupakan orang, khususnya para ilmuwan. Dunia ini
bagaikan penunjuk jalan yang memberi petunjuk kepada musafir, arah yang harus diikuti
serta jarak yang diperlukan untuk berjalan menuju tempat yang akan dituju. Jika papan itu
jelas (muhkam), dengan kata-kata tertulis yang dapat dibaca menunjukkan tempat dan jarak,
sang musafir akan membaca tanda-tanda itu dan menempuhnya tanpa masalah apa-apa.
Namun bayangkan, kata al-Attas dalam pelbagai kesempatan, jika dari marmer yang dibentuk
dengan indah, tangan yang menunjuk itu diukir dalam bentuk yang sempurna lagi
menakjubkan, nama-nama tempat dan jarak masing-masing terbuat dari serpihan emas murni
yang dirancang menjadi huruf-huruf yang dirangkai dengan batubatu permata, sudah tentu,
sang musafir akan berhenti di situ untuk mencermati, mengagumi dan menyelidiki pelbagai
aspeknya, tidak hanya komponen dan desain materialnya, tetapi juga asal-usul masing-
masing serta kemungkinan-kemungkinan nilai ekonominya.

1. Hakikat pendidikan Islam sebenarnya terfokus kepada suatu proses pendidikan, bimbingan
dan arahan yang berusaha mengembangkan potensi diri manusia dengan tujuan terbentuknya
kepribadian yang dilandasi nilai-nilai etis Islam. Kemudian landasan utama pendidikan Islam
adalah bersumber dari al-Qur`an, Sunnah Rasulullah SAW dan konsep ijtihad.

2. Syed Muhammad Naquib al-Attas mendefinisikan pendidikan Islam identic dengan makna
substantif dari kata WD¶GLE, karena di dalam WD¶GLE bermakna adanya suatu
pengajaran, pengetahuan, pengasuhan, dan pendidikan. Tetapi dalam maksud yang lain ia
memberikan makna tersendiri bagi ciri khas dari pendidikan Islam ialah angsur ditanamkan
wujud adalah sesuatu yang secara bertahap ditanamkan ke dalam diri manusia. Ringkasnya
pendidikan adalah suatu proses penanaman ke dalam diri manusia. Adapun konsep kunci
dalam pendidikan, menurut al-Attas adalah WD¶Gib. Kemudian Syed Muhammad Naquib al-
Attas merumuskan suatu tujuan pendidikan Islam secara subtantif ialah pendidikan Islam
bertujuan untuk membentuk dan menghasilkan manusia-manusia yang baik. Selanjutnya
kurikulum pendidikan Islam menurut pendapat Syed Muhammad Naquib alAttas seharusnya
menggambarkan manusia dan hakikatnya yang harus diimplementasikan pertama-tama pada
tingkat universitas. Karena universitas menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas merupakan
cerminan sistematisasi yang paling tinggi, maka formulasi kandungannya harus didahulukan.
Struktur dan kurikulum ini secara bertahap kemudian diaplikasikan pada tingkat pendidikan

8
rendah. Secara alami, kurikulum tersebut diambil dari hakikat manusia yang bersifat ganda
(dual nature). Mengenai metode pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib al-Attas
memberikan dua model metode yakni metode tauhid dan metode metafora serta cerita

C. Muhammad Athiyah al-Abrasyi merupakan sarjana yang sudah bergabung dalam dunia
Pendidikan di Mesir, beliau juga seorang guru besar guru besar di Darul Ulum Kairo
University (Al-Abrasyi, 1970). Beliau lahir tahun 1897 dan meninggal 17 Juli 1981. Menurut
Abu Zahrah bahwa “Ia telah menghabiskan hampir seluruh umurnya untuk menuntut ilmu,
semenjak mempelajari tentang keIslaman pada tingkat Madrasah, sampai ke Dar al-Ulum di
mesir, dan kemudian dilanjutkan ke Inggris untuk mendalami ilmu jiwa dan pendidikan”.
Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa sosok Muhammad Athiyah al-Abrasyi
merupakan ilmuwan muslim yang mumpuni. Pemikiran-pemikirannya banyak dijadikan
dasar dalam pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam pendidikan akhlak dan
moral

Pendidikan secara umum pada dasarnya merupakan kebutuhan yang primer manusia yang
mengarah kepada terbentuknya kepribadian yang utama. Secara individu ataupun dalam
masyarakat, pendidikan Islam merupakan menjadi landasan yang relevan dan mampu
menampakan diri sebagai kekuatan kultur Islam yang proposional, sesuai dengan naturnya,
dan sesuai dengan al-Qur’an yang memerlukan sikap ilmiah(Al-Abrasyi, 1970).

Sangat familiar sekali bahwa yang digunakan untuk istilah Pendidikan islam adalah
tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib. Jika Pendidikan Islam menurut ‘Athiyah al-Abrasyi dalam kitab
at-Tarbiyah al-islamiyah Wafalasifatuha adalah: Sesungguhnya pendidikan Islam itu meliputi
prinsip-prinsip (demokrasi), yaitu kebebasan, persamaan, dan kesempatan yang sama dalam
pembelajaranya, dan untuk memperolehnya tidak ada perbedaan antara si kaya dan simiskin,
sesungguhnya mencari ilmu bagi mereka merupakan suatu kewajiban dalam bentuk inmateri,
bukan untuk tujuan materi (kehendak), dan menerima ilmu itu dengan sepenuhnya hati dan
akal mereka, dan mereka banyak melaksanakan perjalanan panjang dan sulit dalam rangka
memecahkan masalah-masalah agama.(‘Athiyah alAbrasyi, 1975) Sudah jelas bahwa konsep
pendidikan yang digagas oleh ‘Athiyah al-Abrasyi merupakan pendidikan yang
mengutamakan Hak Asasi Manusia. Pendidikan tersebut memiliki prinsip kebebasan,
persamaan, dan kesempatan yang sama dalam pembelajaran. Untuk memperolehnya tidak
membedakan status seseorang yang menjadi dasar dalam kehidupan umat manusia. Mencari
ilmu dipandang suatu kebaikan bagi setiap individu yang tercipta dari dalam hati bukan
melalui nafsu belaka. Pernyataan yang disampaikan oleh ‘Athiyah tersebut menunjukan
bahwa pendidikan merupakan sesuatu yang dibutuhkan dalam suatu masyarakat secara
menyeluruh. Pendidikan menurut ‘Athiyah memang ideal untuk diterapkan di dalam dunia
pendidikan secara umum. Hal itu dapat dilihat dari dimensi kependidikan, baik bentuk
orientasi, sikap, maupun volume yang selalu dipengaruhi oleh pengaruh internal maupun
eksternal dari diri manusia

Beberapa dasar pendidikan pemikiran ‘Athiyah Al-Abrasyi pada dasarnya membawa


konsep yang menyatakan bahwa proses pembelajaran merupakan upaya mengarahkan peserta

9
didik sebagai manusia yang belum dewasa. Dalam Islam peserta didik adalah manusia yang
memiliki fitrah yang membutuhkan pengajaran, pelatihan, dan bimbingan dari pendidik.
Tujuannya adalah untuk mengantarkan kepada pematangan diri. Fitrah yang dimiliki jika
ditangani dengan baik akan membawa peserta didik akan menjadi seorang yang bertauhid
kepada Allah dengan potensi keilmuan yang dimilikinya (Rasyidin, 2012).

‘Athiyah Al-Abrasyi menyebutkan bahwa ada beberapa dasardasar pokok pendidikan Islam
diantaranya yaitu:

Pertama, Tidak ada pembatasan umur untuk mulai belajar. Hal ini berarti kesempatan dalam
memperoleh pendidikan dapat berlangsung dimana saja, kapan saja, dan tidak ada
pembatasan usia terhadap peserta didik yang ingin mendapatkan ilmu. Pendidikan pada
dasarnya harus menyesuaikan dengan keadaan dan psikologi seorang anak yang beragam. Hal
tersebut dikarenakan setiap individu memiliki kemampuan dan karakter yang berbeda-beda,
sehingga pendidikan harus selalu dinamis. Terlebih pada pendidikan dasar, sifatnya bukan
hanya konseptual tetapi juga teknis

Kedua, Tidak ada batasan lamanya anak belajar di sekolah. Hal tersebut ‘Athiyah tegaskan
dengan mengatakan “ tidak ada batasan usia lamanya anak dalam belajar disekolah-sekolah,
maka anak-anak itu dikirim ketempat-tempat belajar untuk belajar membaca dan menulis,
kemudian dilanjutkan dengan hafalan surat-surat pendek dari al-Qur’an”. Sekolah merupakan
rumah kedua bagi peserta didik untuk tumbuh dan mengembangkan potensi, sehingga bisa
menjadi manusia yang bermanfaat bagi masyarakat, negara dan agama. Sistem pembelajaran
yang menjadi pokok pemikiran ‘Athiyah yang terdapat di Indonesia adalah sistem full day
school. Sistem tersebut melaksanakan pembelajaran sehari penuh dengan mengemas seluruh
program pembelajaran dan kegiatan peserta didik dalam sebuah sistem pendidikan yang
bernuansa islam(Arifin, 2012).

Ketiga, berbedanya cara yang digunakan dalam memberikan pelajaran. Maksudnya, bahwa
metode yang digunakan harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi peserta didik dalam
proses pembelajaran. Dalam pembelajaran, jika metode yang digunakan monoton maka
peserta didik akan cepat bosan dan jenuh. Agar hal itu tidak terjadi, seorang guru harus
memiliki metode yang bervariasi dalam menyampaikan materi. Pada dasarnya variasi dalam
pembelajaran adalah perubahan dalam proses kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan
motivasi belajar peserta didik, serta mengurasi kejenuhan dan kebosanan peserta didik.

Keempat, Dua ilmu jangan dicampuradukan. Artinya seorang pendidik tidak diperkenankan
dalam mengajarkan dua ilmu sekaligus. Pada dasarnya setiap individu ataupun seorang
pendidik yang telah melalui berbagai proses pendidikan yang ditempuh akan memiliki satu
keahlian. Hal itu mempengaruhi pandangan pendidik ketika mengajar pada satu pembelajaran
bisa terfokus pada siapa dan apa yang diajarkan.

Kelima, Menggunakan contoh-contoh yang dapat dicapai dengan panca indera untuk
mendekatkan pengertian pada anak-anak. Pada praktek pendidikan saat ini, seorang pendidik

10
harus pandai memanfaatkan media pembelajaran yang mendukung dalam perkembangan
anak melalui panca indera agar anak dengan mudah memahami apa yang ingin disampaikan
oleh pendidik tersebut.

Keenam, Memperhatikan pembawaan anak dalam beberapa mata pelajaran sehingga mereka
dengan mudah dapat mengerti. Dalam hal ini peran seorang pendidik adalah melihat potensi
masing-masing peserta didik. Potensi tersebut dikembangkan dan diasah sebaik mungkin
sehingga menjadikan peserta didik memiliki keahlian dibidangnya.

Ketujuh, Memulai dengan pelajaran bahasa arab kemudian pelajaran al-Qur’an. Pada keadaan
ideal dalam mendidik anak dalam Islam pada dasarnya mengutamakan pengajaran bahasa
arab. Ketika seorang anak tidak asing dengan bahasa arab, maka untuk mempelajari al-
Qur’an akan lebih mudah. Ada satu pepatah mengatakan “belajar diwaktu kecil bagai
mengukir diatas batu dan belajar diwaktu besar bagai mengukir di dalam air”. Pepatah
tersebut memiliki arti untuk memperkenalkan peserta didik pada al-Qur’an, peserta didik
harus dikenalkan sejak dini tentang bahasa arab agar lebih mengenal dan membekas dalam
diri, sehingga waktu besar tidak asing dengan pembelajaran Al Qur’an.

Kedelapan, Pengertian terhadap pembawaan insting anak-anak dalam pemilihan pekerjaan.


‘Athiyah berkata “sungguh para sarjana-sarjana pendidikan Islam khususnya Ibnu Sina
menganjurkan untuk memperhatikan kecenderungan dan kesiapan (potensi dan tabiat) peserta
didik ketika menunjukan bidang pekerjaan yang akan dipilih untuk masa depan hidupnya”.
Kekhasan potensi diri dari setiap peserta didik berpengaruh besar terhadap pembentukan
pemahaman diri dan konsep diri, hal ini juga berpengar uh terhadap cita-cita dan prestasi
yang hendak diraih didalam kehidupannya kelak. Salah satu peran agar potensi siswa
berkembang.

Kesembilan, Permainan dan hiburan, dalam kitab At-Tarbiyah AlIslamiyah wa Falsafatuha


‘Athiyah menyebutkan bahwa “sesungguhnya anak-anak itu membutuhkan kesempatan untuk
bermain dan beristirahat setelah selesai pelajaran. Pendidikan yang baik adalah pada saat titik
jenuh dalam pembelajaran, seorang pendidik memberi kesempatan kepada peserta didik
melakukan aktivitas permainan dan hiburan. Karena dengan permainan dan hiburan dapat
mengeluarkan ekspresi jiwa maupun potensi-potensi yang terpendam dalam diri peserta
didik, serta mendapatkan kepuasan dan kesehatan maksimal.

Kesepuluh, Mendidik perasaan. Pemikiran adalah hasil dari perasaan dan perasaan adalah
induk dari pemikiran. Dalam keadaan ideal, pendidikan perasaan yang ada di sekolah pada
dasarnya untuk menumbuhkan rasa kagum terhadap keagungan dan kebesaran Allah dari
pembelajaran yang didapat dari para pendidik yang mengajarkan berbagai disiplin ilmu.

Kedudukan Guru Guru merupakan motor dari suatu pendidikan yang ada dalam suatu
instansi. Guru mengemban tugas mulia, yaitu mendidik dan membina para peserta didik
untuk menjadi anak-anak yang pandai, bermoral tinggi, dan berakhlak mulia (Sujarwo, 2010).
Sehingga tugas seorang guru tidak hanya mentrasfer ilmu untuk menjadikan anak didiknya

11
hafal dan mengerti materi pelajaran yang diberikan Menurut ‘Athiyah al-Abrasyi guru
merupakan bapak “Spiritual” atau pemberi semangat bagi murid. Segala ilmu, bimbingan dan
pelurusan akhlak sebenarnya bersumber dari guru untuk para murid-muridnya. Artinya timbal
balik yang diberikan dari masyarakat kepada para guru akan memberikan hal baik pula yang
diberikan guru kepada muridnya dengan cara benar-benar melaksanakan tugasnya secara baik
(‘Athiyah Al-Abrasyi, 1996). Guru dan murid sesungguhnya dua teman dalam kebaikan,
tidak ada lebih baik dari keduanya. Seorang guru memanfaatkan waktu dengan penuh
perhatian dan melaksanakan tugas dengan penuh keagungan. Guru memiliki kedudukan yang
sangat tinggi, kemerdekaan atau kebebasan yang mutlak dalam mengajar, memilih materi dan
waktu mengajar serta jumlah materi yang akan disampaikan dalam pengajaran (‘Athiyah Al-
Abrasyi, 1996). Dari pernyataan tersebut dapat kita artikan bahwa seorang guru tidak terpaku
dengan hanya menyampaikan materi secara tekstual. Guru benar-benar harus memiliki
keahlian dalam memberikan suatu materi. Secara tidak langsung guru harus memiliki ilmu
yang memadai sehingga guru bisa mengintegrasikan berbagai ilmu dan sistem nilai dengan ke
agungan Allah dan ke Esa-an Allah Swt. Melalui hal tersebut guru dapat menunjukan ibroh
(pelajaran berharga), sehingga dapat menghasilkan peserta didik yang bukan hanya pandai,
namun juga yang benar-benar mengenal Tuhannya dan memilik akhlak yang mulia (Sujarwo,
2010).

Menurut Athiyah Al-Abrasyi sifat-sifat yang harus dimiliki guru dalam mendidik moral
peserta didik adalah (‘Athiyah Al-Abrasyi, 1996); 1) memiliki sifat zuhud dan mengajar
karena mencari ridha Allah; 2) suci dan bersih; 3) memiliki rasa ikhlas dalam melaksanakan
tugas; 4) bersikap murah hati; 5) tegas dan terhormat; 6) memiliki sikap kebapakan atau
keibuan sebelum menjadi guru; 7) memahami karakteristik murid; 8) menguasai materi
pelajaran Konsep Peserta Didik Pendidikan pada dasarnya pencarian kognitif, afektif, dan
psikomotorik yang tidak disadari oleh semua orang peserta didik untuk didapatkan. Belajar
untuk mengembangkan dirinya melalui Pendidikan tersebut. Suatu hal yang harus disadari
sebagai pendidik, menempatkan oranglain sebagi orang yang paling agung dalam menjunjung
kehendaknya mencari ilmu pengetahuan. Pendidikan Islam dipandang ada kewajiban dan ada
hak pada peserta didik, termasuk para peserta didik yang diajarkan akhlak mulia harus
menjadi pedomannya.

Adapun etika yang menjadi pedoman peserta didik antara lain yaitu (Sujarwo, 2010):
Pertama, peserta didik ingin menambah keilmuannya dengan kutamaan mencari dan
mendekatkan dirinya kepada Allah Swt, bukan bermaksud untuk menampakkan diri ingin
dilihat orang lain, berbangga dan gagah terhadap ilmunya. Berdasarkan pernyataan tersebut
terdapat ungkapan peserta didik mengisi jiwanya dengan fadhilah, dan mendekatkan diri
kepada Allah menunjukan bahwa seorang peserta didik harus ikhlas dalam mencari ilmu
hanya untuk mendapatkan ridho dari Allah. Ketika di dalam diri peserta didik tertanam nilai
keikhlasan dalam menuntut ilmu, peserta didik akan dengan mudah menerima ilmu-ilmu
yang diajarkan oleh pendidik sehingga prestasi akan mudah didapatkan.

Kedua, bersedia mencari ilmu walaupun harus meningggalkan tanah kelahiran dan keluarga
yang dicintainya dengan tidak adanya suatu keraguan didalam hati demi mendapatkan guru

12
agar meningkatkan kualitas keilmuan. Guna mencari tempat terbaik sesuai dengan potensi
anak agar berkembang dengan baik, maka orang tua harus jeli dalam memilih tempat
pendidikan walaupun jauh dari tempat tinggal. Bahkan bisa jadi jika hal itu bisa memisahkan
antara orang tua dan anak, misalnya anak memiliki potensi dalam hal agama maka orang tua
yang baik adalah orang tua yang mau merelakan anak untuk menuntut ilmu ke pondok
pesantren dengan harapan potensi anak bisa berkembang dengan baik.

Keempat, hendaklah istiqomah terhadap salah seorang guru sebelum kita benar-benar
menguasai apa yang diajarkannya. Dalam hal ini tidak bisa seorang peserta didik dengan
mudah ingin menggantikan guru yang mengajarkannya karena pada dasarnya dalam sistem
pendidikan terutama pendidikan dasar guru ditiap-tiap tingkatan dan bidang telah disesuaikan
dengan keahliannya masingmasing.

Kelima, hendaklah seorang guru dihormati dan dimuliakan serta mengagungkannya karena
Allah, dan berusaha menyenangkan hati guru dengan cara yang baik, karena guru merupakan
sumber ilmuyang akan mentrasfer ilmu kepada peserta didik. Guru memiliki tugas yang tidak
ringan. Guru bukan hanya sebagai tenaga pengajar tetapi juga sekaligus sebagai pendidik.
Dengan kedudukan sebagai pendidik, guru berkewajiban untuk mewujudkan tujuan
pendidikan islam termasuk pendidikan moral. Sehingga kedudukan seorang guru atau
pendidik sangatlah istimewa (Langgulung, 1991).

Keenam, ketika peserta didik bertanya, maka berilah pertanyaan yang sesuai kapasitas
seorang guru sehingga menghidari guru menjadi kerepotan dengan pertanyaan yang tidak
sesuai dengan kapasitasnya. Peserta didik juga harus memiliki sopan santun saat berjalan
dihadapat guru, jangan duduk ditempat duduknya, dan jangan memulai bicara kecuali setelah
mendapatkan izin darinya.

Ketujuh, jangan membukakan rahasia kepada guru, jangan menipu guru, jangan minta guru
membukakan rahasia, dan diterima pernyataan maaf dari guru bila saat seorang guru
melakukan sebuah kesalahan dalam berbicara atau menyampaikan segala sesuatu

Kedelapan, bersungguh-sungguh dan tekun belajar, bertanggung jawab siang malam untuk
memperoleh pengetahuan dengan terlebih dahulu mencari ilmu yang lebih penting. Dalam
meraih sebuah kesuksesan, jika tidak dibarengi dengan kesungguhan hati dan fokus maka
akan menemui kegagalan.

Kesembilan, didalam diri seorang peserta didik harus memiliki rasa saling mencintai dan
persaudaraan sehingga dalam pergaulan antar peserta didik seperti suatu keluarga yang hidup
rukun dan saling menghargai. Pendidikan pada saat ini mengedepankan pendidikan karakter
yang saling menghargai, yaitu dengan menerima segala sesuatu perbedaan didalam
kehidupan dengan memperlakukan orang lain secara beradab, baik, dan sopan (Samani,
2011).

13
Kesepuluh, peserta didik harus terlebih dahulu memberi salam kepada gurunya, mengurangi
percakapan di hadapan guru, jangan mengatakan kepada guru bahwa orang lain mengatakan
hal yang berbeda dari yang beliau katakan, dan jangan pula bertanya kepada guru siapa teman
duduknya.

Kesebelas, hendaknya peserta didik tekun belajar, mengulangi pelajarannya diwaktu senja,
dan menjelang subuh. Waktu antara isya dan makan sahur itu adalah waktu yang penuh
berkat hal mengajarkan peserta didik agar menjadi pribadi disiplin. Dalam pendidikan moral,
sikap disiplin tidak secara otomatis tidak ada pada diri seseorang sejak dilahirkan, melainkan
dibentuk oleh lingkungannya melalui pola asuh dan perlakuan orang tua, pendidik, dan orang
disekitarnya (P Daeng Sari, 1996).

Keduabelas, peserta didik harus memiliki motivasi didalam dirinya untuk selalu belajar
hingga akhir hayat, menghargai setiap cabang ilmu, dan memiliki pikiran bahwa setiap ilmu
memiliki faedahnya (‘Athiyah Al-Abrasyi, 1996)

Metode Pendidikan Moral ‘Athiyah Al-Abrasyi menawarkan pemikirannya tentang metode


dalam pendidikan moral yang dapat di aplikasikan di dunia pendidikan di Indonesia.
Beberapa metode atau cara yang ditawarkan yaitu:

1. Pendidikan Secara Langsung

Kurikulum yang digunakan oleh pendidikan di Indonesia pada saat sekarang ini tidak terlepas
dari metode pendidikan secara langsung. Dalam proses pendidikan secara langsung peserta
didik mengembangkan pengetahuan, kemampuan berfikir dan keterampilan psikmotorik
melalui interaksi langsung dengan sumber pembelajaran (Pembelajaran Langsung Dan Tidak
Langsung, n.d.). Dalam pendidikan moral, pendidikan secara langsung yang ditawarkan oleh

‘Athiyah Al-Abrasyi dapat dilakukan dengan cara mempergunakan petunjuk, tuntunan,


nasehat, menyebutkan manfaat, dan bahayabahayanya sesuatu dimana peserta didik
dijelaskan tentang hal yang bermanfaat maupun yang tidak bermanfaat, mendorong agar
memiliki kesadarn untuk beramal baik, memiliki budi pekerti yang tinggi, dan menghindari
hal-hal yang tercela (Al-Abrasyi, 1970).

Adapun media yang digunakan dalam pembelajaran langsung yang ditawarkan oleh Athiyah
adalah sajak-sajak, syair-syair, ceritacerita yang terdapat pada buku buku Islam dalam bidang
sastera, sejarah penuh dengan kata-kata khitmat, wasiat-wasiat, petunjukpetunjuk berguna
sehingga ritme yang didengarkan oleh seseorang akan menggugah dan memiliki kesan yang
ditimbulkan dalam jiwa (Al-Abrasyi, 1970). Jika kita relevansikan dalam dunia pendidikan
sekarang, ini pendidik atau seorang guru harus memiliki kemamampuan dalam memberikan
metode kreatif dan inovatif seperti menggunakan kemampuan dalam bermain musik dengan
mengiringi peserta didik dengan nyanyian seperti sholawatan, nyanyian islami, dan nyanyian
yang didalamnya memiliki nilai-nilai moral, contohnya lagu Melly Guslow dengan judul Ibu.
Dalam lagu itu membawa pesan bahwa seorang anak harus tau perjuangan seorang ibu dalam

14
mendidik, mengasuh, dan membesarkan kita dari dalam kandungan hingga menjadi orang
yang sukses dibidangnya.

2. Pendidikan Akhlak Secara Tidak Langsung Pendidikan secara tidak langsung pada
umumnya berpusat pada peserta didik dimana peran seorang guru bergeser dari ceramah
menjadi fasilitator yang dapat mengelola lingkungan belajar dan menjadikan peserta didik
selalu terlibat dalam setiap pembelajaran yang dilakukan (Hamruni, 2008). Dalam pendidikan
moral, pendidikan secara tidak langsung yang ditawarkan oleh Athiyah Al Abrasyi adalah
memberikan sugesti kepada anak dengan cara mendektekan sajak-sajak yang mengandung
hikmat yang berisi tentang nasehat-nasehat dan berita-berita berharga yang teraplikasikan
dalam kegiatan-kegiatan pembelajaran. Adapun pendidikan tidak langsung yang ditawarkan
oleh ‘Athiyah sejalan dengan metode pendidikan dalam pemikiran Al-Ghazali.

3. Pendidikan Keteladanan

Dalam pendidikan keteladan ‘Athiyah menawarkan agar setiap pendidik berhias dengan
akhlak yang baik, mulia, dan menghindari setiap yang tercela. Dalam hal ini, peserta didik
dapat mengambil manfaat dari kecenderungan dalam mengikuti, meniru ucapan, perbuatan,
gerak gerik orang yang berhubungan erat dengan mereka (Al-Abrasyi, 1970). Adapun
pendidik yang menjadi teladan bagi peserta didik harus memiliki kreteria yaitu, memiliki
kezuhudan, tidak mengutamakan materi, dan mengajar karena mencari keridhoan Allah
semata, seorang guru harus bersih secara jasmani dan rohani sehingga terhindari dari dosa
kecil maupun dosa besar, ikhlas dan pekerjaan, memiliki sifat pemaaf, memiliki sifat menjadi
orang tua bagi peserta didik, memahami tabi’at atau dalam bahasa modern mengetahui
psikologis seorang peserta didik, dan yang terpenting adalah menguasai mata pelajaran yang
diajari termasuk dalam pendidikan moral (Al-Abrasyi, 1970).

Tujuan dalam mengarungi pendidikan Islam adalah Pendidikan moral, akhlak dan Pendidikan
rohani. Para pendidik tidak hanya menyanpaikan ilmu pengetahuan semata, namun harus
mengutamakan moral dan akhlaknya. Para pendidik menjadi tauladan bagi peserta didik
dalam Pendidikan Islam Konsep Materi Pendidikan Moral

Adapun materi pendidikan moral menurut ‘Athiyah Al-Abrasyi lebih menekankan pada
pembiasaan terhadap aktifitas anaksejak waktu masih kecil. Misalnya membiasakan tidur
tidak larut malam, membiasakan untuk anak selalu bergerak, membiasakan anak supaya
jangan meludah ditempat-tempat umum, membiasakan untuk tidak membuang ingus atau
berdiri membelakangi dimana ada orang lain, membiasakan untuk tidak ongkang kaki,
menasehati agar anak tidak berbuat dusta dan tidak melakukan sumpah baik benar maupun
salah, dan membiasakan untuk mentaati ibu bapak dan gurunya. Selain dengan cara
pembiasaan, pendidik juga dapat memberikan wasiat berupa materi tentang: (1) peninggalan
yang terbaik adalah sopan santun (2) Teman yang sangat sejati adalah budi pekerti yang baik
(3) pemimpin yang baik adalah ketika menyepakati suatu hal secara Bersama dan konsisten
(4) dagang yang untung adalah ijtihad (5) yang sangat bermanfaat adalah akal (6) kebodohan

15
merupakan bencana terbesar (7) pengagungan terhadap dirinya sendiri adalah teman yang
tidak baik (Al Abrasyi, 1970).

D. M. Athoumi ashaibany tujuan pendidikan berkaitan dengan cita-cita dan harapan agen
pendidikan. Al-Syaibani, O.M.T., (1979: 399), seorang pemikir pendidikan Islam
kontamporer merumuskan tujuan pendidikan itu sebagai “perubahan yang diingini yang
diusahakan oleh proses pendidikan atau usaha pendidikan untuk mencapainya, baik pada
tingkah laku individu dan pada kehidupan pribadinya, atau pada kehidupan masyarakat dan
pada alam sekitar tentang individu itu hidup, atau pada proses pendidikan sendiri dan proses
pengajaran sebagai suatu aktifitas asasi dan sebagai proporsi di antara profesi-profesi asasi
dalam masyarakat.” Oleh karena itu, tujuan pendidikan bersifat ”normatif” karena ada arah
yang ingin dituju sesuai dengan idealideal penggagas dan praktisi pendidikan tentang
kualifikasi ideal ”manusia” yang diinginkan dan diharapkan. “Memanusiawikan” manusia
seringkali ditegaskan sebagai tujuan universal pendidikan, di mana “manusia” adalah
manusia ideal yang diharapkan dan seharusnya demikian. “Manusiawi” merupakan suatu
penegasan atas proses mengeksistensi “manusia potensial” menjadi “manusia aktual,” yang
tanpa ini manusia dianggap sebagai “kurang”, atau “tidak sempurna” sebagai manusia. Dalam
Islam, ciri eksistensial ini diperlukan dalam melaksanakan fungsinya sebagai ”khalifah” di
muka bumi dan status sebagai ”hamba” Allah dalam melaksanakan fungsinya.

TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM

1. Memfungsikan manusia sebagai Khalifah fil ardh Tujuan pendidikan dalam Islam
berkaitan dengan fungsi manusia di dunia sebagai khalifah ini, yaitu mandataris Allah di
muka bumi. Khalîfah merupakan thelos, juga merupakan causa-finalis, penciptaan manusia di
muka bumi. “Inni jâ’ilun fi l-ardhi khalîfah, Aku hendak men”jadi”kan khalifah di muka
bumi.” Khalifah adalah makhluk yang melaksanakan tugas-tugas kehidupan di muka bumi
secara optimal sesuai dengan kapasitasnya, dalam koridor ketentuan/aturan yang telah
ditetapkan oleh Allah, baik dalam motivasi, bentuk tindakan maupun efek yang ditimbulkan
(epistemologis, ontologis, maupun eksiologis). Khalifah hakekatnya adalah mandataris Tuhan
yang melakulan fungsi ketuhanan di muka bumi yang fisikal. Sebagai mandataris, manusia
diberi kebebasan dalam membuat dan melaksanakan kebijaksanaan, serta diberi pedoman
yang berfungsi sebagai kendali dalam membuat kebijaksanaannya. Dalam hal ini pendidikan
bertujuan “membina individu-individu agar menjadi manusia yang mampu berfungsi sebagai
khalifah di muka bumi.” Khalifah dituntut memiliki (1) keterampilan mengelola alam dan
kehidupan, dan (2) kemampuan hidup selaras dengan aturan-aturan Allah, baik dalam
berfikir, bersikap maupun berperilaku

2. Membentuk Insan Shaleh

Tujuan Pendidikan Menurut Muhammad Quthub (M. Quthb: 14). tujuan pendidikan dalam
Islam adalah membentuk insan shaleh, yaitu “Manusia yang menjadikan petunjuk Allah
sebagai cara dan gaya hidup, gaya berfikir dan gaya bersikap.” Manusia shaleh adalah
manusia yang memenuhi syarat-syarat yang diperlukan bagi seseorang yang mengemban
fungsi kekhalifahan di muka bumi” Shaleh yaitu “manusia yang melakukan segala yang

16
bermanfaat untuk kemanusiaan (kepentingan bersama umat manusia) dan selaras (tidak
bertentangan) dengan aturan-aturan Allah untuk keidupan dunia, dengan niat semata karena
Allah.” Oleh karena itu, tujuan pendidikan menurut Islam adalah terbinanya setiap individu
relijius (terikat penuh pada nilai-nilai ketuhanan) dalam pola fikir, sikap hidup, dan perilaku,
serta memanfaatkan segala kemampuannya untuk kehidupan manusia dengan motif untuk
memperoleh ridha Allah. Shalih, menurut Mohammad Qutub (Minhâj, h. 14), tidak hanya
berarti baik, tapi lebih diartikan sebagai "manusia paripurna," yaitu (1) Manusia seutuhnya
sebagai warga dunia, bukan manusia sebagai warga dari suatu daerah tertentu di muka bumi
ini saja; (2) manusia yang bertakwa yang menghamba kepada Allah dan mengikuti
petunjuknya. (3) Manusia yang menjadikan hanya petunjuk Allah sebagai cara dan gaya
hidup, cara dan gaya berfikir dan cara dan gaya bersikap. (4) Manusia yang memenuhi syarat-
syarat yang diperlukan bagi seorang yang mengemban fungsi kekhalifahan di bumi ini.
Dengan pendidikan, manusia dikembalikan oleh Islam kepada khaliknya, sehingga ia
mengetahui bahwa hanya Ia lah yang memiliki daya dan kekuatan. Dengan dikembalikannya
manusia kepada Al-Khalik, manusia akan mampu mengikuti petunjuknya dan berlaku sesuai
dengan konsep hidup yang diajarkannya. Ia akan merasa, dengan kekuatan yang didukung
oleh kekuatan dari Allah, punya kekuatan dalam menentang kekuatan-kekuatan yang ada di
bumi sehingga mereka menjadi satu kekuatan aktif, dinamis dan “agresif”. Dengan kembali
kepada sang Khalik, ia akan merasa bahwa dalam kemanusiaannya ia akan hidup bersama
yang lain. Semuanya muncul karena kehendak Allah dan semuanya tercipta dari jenis yang
sama sehingga timbul kehendak untuk bekerja damai dan saling mencinta

ciri-ciri “insân shâleh” itu digambarkan sbb:

a. Diri yang bertuhan dan bertakwa, yang selalu menjalin hubungan dengan Allah

baik dalam pola fikir, pola sikap dan pola perilaku.

b. Diri yang memandang dunia sebagai kesatuan utuh yang saling menopang

c. Diri yang bebas dan bertanggung jawab

d. Diri yang seimbang

e. Diri yang berkembang dan meningkat dalam satu poros ilahiyah yang tetap.

f. Diri yang positif

g. Diri yang realistik (tetapi ideal, pen.).

h. Diri yang keseluruhan aktivitasnya hanya berorientasi pada Allah swt.

3. Membina Manusia yang Berakhlakul-karimah.

Suatu pandangan melihat bahwa tujuan pendidikan Islami secara esensial adalah menjadikan
manusia sebagai insan yang berakhlakul-karimah. Hal ini didasarkan pada ajaran Islam yang
disampaikan oleh Nabi saw. bahwa beliau diutus pertama-tama dan utama adalah
membangun akhlak mulia, “Innamâ bu’itstu li utammima makârima l-akhlâq.” Sesungguhnya

17
aku diutus semata-mata untuk menyempurnakan akhlak-akhlak yang mulia.” Oleh karena itu,
yang pertama-tama harus dibinakan kepada umat manusia, menurut pandangan ini adalah
akhlakul karimah, bahkan seluruh ilmu pengetahuan diajarkan dalam rangka membina
kesempurnaan akhlak itu sendiri. Dalam hadis ini secara implisit terkandung makna bahwa
umat manusia telah memiliki kesadaran akan nilai kebaikan (etis), tetapi perlu disempurnakan
melalui pengajaran yang akan diberikannya berdasarkan pada bimbingan Tuhan. Di sini
pendidikan dan pengajaran ilmu-ilmu pengetahuan adalah alat bantu bagi anak didik dalam
mengenali forma-forma nilai akhlaki pada tataran praksis, yaitu melalui pengenalan terhadap
eksemplar-eksemplar (percontohan wujud terpersepsi) yang manifest dalam kehidupan nyata

4. Membentuk Manusia Muttaqin.

Sebagai ahli pendidikan berpendirian bahwa Pendidikan Islam harus bertujuan melatih
manusia agar memiliki kesanggupan untuk mengikatkan diri dengan normanorma spiritual,
dan melepaskan diri dari norma-norma yang didorong oleh hawa nafsu. Berdasarkan pada
firman-firman Allas swt seperti “La’allakum tattaqûn (Semogalah kalian bertakwa)” dan
“ittaqu l-lâha haqqa tuqâtih wa lâ tamutunna illâ wa antum muslimûn (Bertakwalah kepada
Allah sebenar-benarnya takwa dan janganlah kalian mati kecuali kaliann dalam keadaan
Islam).” Taqwa adalah “Imtitsâlu l-awâmir wa jtinâbu ‘ani n-nawâhî”, yaitu melaksanakan
segala perintah dan menjauhkan diri dari segala larangan. Artinya komitmen pada norma-
norma dan nilai-nilai ketuhanan. Norma bersifat normatif (ketentuan), imperatif
(mengharuskan), assertif (dari luar dilesakkan ke dalam), dst. Seorang pemikir kontemporer,
Ionescu (al-Mukhtar: 52, 58) menyatakan teleologis pendidikan berkaitan dengan pertanyaan:
bagaimana seharusnya kita hidup di dunia ini. Dari apa kita mesti membebaskan diri agar
hidup lebih baik dan bermartabat? Adakah kita harus membebaskan diri dari naluri rendah
dan hawa nafsu, ataukan dari segala bentuk larangan –undang-undang, kekuasaan politik atau
agama

5. .Membina Pribadi-pribadi yang Beriman, Berilmu dan Beramal shaleh.

Beriman, berilmu, dan beramal shaleh merupakan suatu triangle kepribadian yang menjadi
ciri kepribadian Islami yang ideal, mengintegrasikan kesempurnaan jiwa dalam konteks
kepentingan orang lain (masyarakat), berbasis pada pengetahuan yang benar. “Al-ladzîna
âmanû wa ‘amilû sh-shâlihâti.” Yaitu orang-orang yang beriman dan beralam shaleh.
Beriman dan beramal shaleh tidaklah sempurna apabila tidak diiringi oleh pengetahuan yang
benar. Firman Allah swt, “Hal yastawi l-ladzîna ya’lamûna wa l-ladzîna lâ ya’lamûn, Apakah
sama orang-orang yang berilmu dengan yang tidak berilmu?.” Orang beriman percaya bahwa
Tuhan selalu mengawasi dan mengetahui rahasia terdalam dirinya, karena ia percaya bahwa
Allah mengutus dua malaikat untuk mencatatkan segala bentuk perbuatannya. Orang beriman
percaya hari akhirat sebagai realitas yang tak perlu diragukan dan ia harus bersiap-siap
menyongsongnya].

6. Membina Manusia yang Bahagia Dunia dan Akhirat.

Diri yang bahagia dunia dan akhirat merupakan misi pendidikan Islam pada tataran
kejiwaan, di mana setelah mendapatkan pendidikan Islami, seseorang mampu menjadi diri

18
yang memiliki ketrampilan mengubah segala hal yang dialami sebagai sumber kebahagiaan.
“Wa imma ya`tiyannakum minni hudan fan tabi’a hudaya fa lâ kahufunn ‘alaihim wa lâ hum
yahzanûn.” (Dan seandainya nati datang petunjuk dariKu, maka barangsiapa yang mengikuti
petunjuk-Ku maka ia tidak akan merasa khawatir dan tidak akan merasa sedih). Sabda nabi
saw.: “Sungguh beruntung bagi setiap mukmin. Apabila ia mendapat nikmat, kemudian ia
bersyukur. Maka itu adalah kebaikan baginya. Apabila ia mendapatkan musibah ia bersabar,
apabila musibah itu karena dosa dan kesalahannya, maka itu akan menjadi penebus bagi
kesalahannya (dan ia terbebas dari balasan di akhirat), dan apabila bukan karena kesalahan
dan dosa yang diperbuatnya, maka itu adalah ujian baginya dan ia akan mendapatkan pahala
darinya.”

7. Mengembangkan fitrah kemanusiaan secara baik dan benar

“Fa aqim wajhaka li d-dîni hanîfa, fithrata l-lahi l-latî fathara n-nâsa ‘alihâ.” Hadapkanlah
arah hidupmu pada agama ini secara lurus, agama yang selaras dengan fitrah (bawaan) yang
dijadikan dasar penciptaan manusia. Dengan pendekatan ini, pendidikan bertujuan
mengembangkan fitrah kemanusiaan agar selaras dengan ajaran agama Islam. Hal ini karena
hanya dengan cara demikianlah fithrah kemanusiaani akan berkembang ke arah yang baik,
yang selaras dengan tujuan penciptaannya, sehingga konstruktif dalam menjalankan
fungsinya sebagai “khalifah di muka bumi”. Ada lima kecerdasan yang harus dikembangkan
melalui pendidikan Islam:

- Kecerdasan Intelektual (IQ), target didiknya adalah akal, didik melalui olah fikir agar
mampu mengungkap rahasia dan mencipta. Ujung hasil perenungannya adalah ucapan:
“rabbanâ mâ khalaqta hâdzâ bâthilâ.” Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini
dengan sia-sia tanpa tujuan.

- Kecerdasan Emosi (EQ), target didiknya adalah rasa (hati), dididik melalui olah rasa agar
mampu mengapresiasi secara positif objek yang dialaminya, yaitu kekaguman pada
penciptaan alam semesta, sehingga ia mengatakan: “subhânaka, fa qinâ ‘adzâba n-nâr.”Maha
suci Engkau, maka bebaskanlah kami dari api neraka).

- Kecerdasan Spiritual (SQ), target didiknya adalah ruh, melalui olah batin agar mampu
menyadari dan menangkap kehadiran Tuhan, sebagaimana sabda Nabi saw. “An ta’buda l-
lâha ka annaka tarâhu, wa in lam takun tarâhu fa innahû yarâka.” (Kamu beribadah kepada
Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, dan seandainya kamu tidak melihatnya, maka
sesungguhnya Ia melihatmu).- Kecerdasan Aktual/Physical (AQ/P), target didiknya adalah
organ tubuh, dididik melalui pembiasaan berbuat/bertindak agar mampu melakukan dan
berbuat sesuai dengan keharusan. Sabda nabi saw.: “Murû aulâdakum bi sh-shalâti”
(Biasakanlah dengan memerintah anak-anakmu untuk shalat.”

-Kecerdasan Self-Control (SCQ), target didiknya adalah hawa nafsu, dididik melalui kontrol
perilaku agar mampu mengendalikan kehendak. Firman Allah swt.: “Fa ammâ man khâfa
maqâma rabbihî wa naha n-nafsa ‘ani l-hawâ fa inna l-jannata hiya l-ma`wâ” (Barangsiapa
yang takut dengan kedudukan Tuhannya dan mencegah dirinya dari dorongan hawa nafsu
maka surga lah tempatnya bernaung).

19
8. Membina Insan Kamil Konsep insan kamil

seringkali menjadi rumusan pendidikan di kalangan pengikut tasawwuf atau tarekat, yang
untuk tujuan itulah ajaran tasawwuf dan tarekat itu diselenggarakan. Model pendidikan yang
bertujuan membina insan kamil ini lebih menekankan pada upaya penyucian jiwa (tazkiyyatu
n-nafs) yang merupakan salah satu tugas kerasulan. Target didik dalam model pendidikan
Islam ini adalah hati, yang disebut qalbu, sebagai inti dari kemanusiaan, bersandar pada hadis
Nabi saw.: “Alâ inna fi l-jasadi mudhghatan, fa idzâ shaluhat shaluha l-jasadu kulluh wa idzâ
fasadat fasada l-jasadu kulluh. Alâ wa hiya l-qalbu, Sesungguhnya di dalam tubuh itu ada
segumpal daging. Apabila ia itu baik maka baiklah seluruh tubuh dan apabila rusak maka
rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah ia itu adalah qalbu (hati).” Pendidikan model ini dalam
proses pendidikannya lebih menkankan pada metode riyadhoh dan memperbanyak amal
ibadah dan penerapan ajaran akhlak, serta penjauhan diri dari hal-hal duniawiah. “Akhir yang
ingin dicapai melalui pendidikan dan pembinaan rohani itu adalah kesempurnaan insani yang
bermuara pada pendekatan diri kepada Allah dan kesempurnaan insani yang bermuara pada
kebahagiaan dunia dan akhirat” (Sulaiman, 2000: 36)..

9. Menjadikan Mu’min Sejati: Pribadi yang Mu`min, muslim, muhsin

Kepribadian Islami adalah kepribadian yang memanifestsikan nilai-nilai mukmin, muslim


dan muhsin dalam pola fikir, pola sikap dan pola tindaknya. Mukmin memiliki kepercayaan
yang benar tentang konsep keberadaan dan kehidupan sebagai ideologi yang membimbing
arah pilihan tindakan. (Eksistensi Tuhan, tatanan-semesta dan hakekat hidup manusia). Basis
kepercayaannya adalah Tuhan, malaikat, rasul, kitab, hari akhirat, dan qadha dan qadar.
Muslim, berkomitmen pada nilai-nilai praktis (submission ti the will of God, aslama) yang
menunjukkan pada jalan yang baik dan benar. Basis tindakannya dalah shalat, zakat, shaum
dan hajji, beserta implementasi dalam kehidupan yang luas; mengikatkan diri dengan Tuhan,
melepaskan ikatan dari duniawi, mengontrol hawa nafsu, dan siap berkorban demi
kemanusiaan. Muhsin, mengembangkan motivasi tindakan berbasis pada balasan dari Tuhan.
Tidak menghitung dan mempertimbangkan balasan dari manusia karena yakin dilihat Tuhan,
“I’malû fa sayara l-lâhu ‘amalakum.” Berbuatlah karena Allah akan meilihat perbuatanmu

10. Membangun Ummah Islami.

Secara kolektif pendidikan Islam ditujukan dalam rangka membentuk ummah, yaitu
masyarakat yang daya kohesivitasnya dibangun oleh kesatuan keyakinan, persamaan standar
nilai-nilai moral, dan tradisi saling memperbaiki “Kuntum khairu ummatin ukhrijat li n-nâsi
ta`murûna bi l-ma’rûf wa tanhauna ‘ani lmunkar.” dan “Wa tawâshau bi l-haqqi wa tawâshau
bi sh-shabri.” Individu melalui pendidikan dibina dengan nilai-nilai ummah bersama,
sehingga memiliki persepsi yang sama tentang nilai suatu perbuatan. Dengan demikian,
komunitas memiliki rujukan dan standar ukuran yang sama tentang kebaikan dan kebenaran
yang berlaku bagi setiap anggota masyarakat. Perilaku yang menyimpang adalah perilaku
yang tidak selaras dengan nilai-nilai Islam, dan pelanggaran moral adalah tindakan yang
berlawanan dengan ketentuan Islam. Dari keseluruhan tujuan-tujuan tersebut dapat
dirumuskan konsep manusia Ideal menurut Islam, sebagaimana yang digambarkan oleh para
pemikir dan praktisi pendidikan Islam, bercirikan hal-hal sebagai berikut:.
20
a. Mampu memainkan peran dan fungsi sebagai khalifah fi l-ardh

b. Shaleh

c. Berakhlakul-karimah.

d. Muttaqin (bertakwa)

e. Bahagia Dunia dan Akhirat

f. Mengaktualkan fitrah-fitrah kemanusiaan secara baik dan terarah

g. Berkembang menuju Insan Kamil.

h. Berkepribadian Islami. i. Beriman, Berilmu dan Beramal shaleh. j. Menjadi pilar Ummah
Islami

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Pendidikan Islam memiliki peran strategis dalam pengem-bangan kualitas sumber daya
manusia Indonesia, baik dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi maupun dalam
hal karakter, sikap dan penghayatan serta pengamalan ajaran agama. Pendidikan,
khususnya pendidikan Islam harus mampu meng emban misi pembentukan karakter
sehingga lulusan lembaga pendidikan dapat berpartisipasi dalam mengisi pembangunan
tanpa meninggalkan karakter mulia. Dewasa ini, peran pendidikan Islam semakin
diperlukan dalam mengaktualisasikan nilai-nilai keIslaman seiring dengan
perubahansosial kehidupan masyarakat yang sarat dengan pergeseran nilai. Karenanya,
pendidikan yang berdimensi nilai, sangat penting bagi masyarakat yang
berubah.3Kematangan beragama yang dilandasi nilai-nilai Islam, menjadikan masyarakat
mampu memperjelas dan menentukansikap terhadap substansi nilai dan norma baru yang
muncul dalam proses perubahan, pendidikan khas Islam merupakan pengenalan dan
pengakuan, yang secara berangsur-angsur ditanamkan di dalam diri manusia, mengenai
tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu ke dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa
sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan akan kedudukan Tuhan yang tepat
dalam tatanan wujud dan kepribadian.

B. SARAN

21
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan
dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahan karena terbatasnya
pengetahuan dan kekurangan rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul
makalah yang kami susun tersebut. Kami selaku penulis banyak berharap para pembaca sudi
memberika kritik dan saran yang tentunya membangun kepada kami, demi mencapainya
kesempurnaan dalam makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI, Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum, Jakarta :
Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2001

Hamdan Mansoer, dkk, Materi Instruksional Pendidikan Agama Islam, Jakarta : Direktorat
Perguruan Tinggi Agama Islam, 2000

Munib, Achmad. 2010.Pengantar Ilmu Pendikan. Semarang: Unnes Press.

Tirtarahardja, Umar. 1994. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Depddikbud.

Roesminingsih, dan Lamijan Hadi Susarno. 2019. Teori dan Praktek Pendidikan. Surabaya :
Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Surabaya

22

Anda mungkin juga menyukai