Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER

PEMETAAN PPIK DI INDONESIA DALAM PAHAM LIBERALIS DAN


FUNDAMENTALIS

Disusun Oleh Kelompok 3:

Fitri paiko(22531057)

Fitria hasanah (22531059)

Dosen Pengampu:

M Imam Putra

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) CURUP

2023/2024
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr wb

Alhamdulillah, Segala puji kepada ALLAH swt. Karena atas limpahan rahmat dan
pengentahuan nya lah kami dapat meneyelesaikan makalah kami tepat pada waktunya.
Sholawat dan salam senantiasa kita curahlan kepada junjungan kita nabi Muhammad SAW.
Sang pembawa risalah kebenaran, dan para pengikut-pengikut ajaran yang telah menuntun
umat manusia menuju jalan kebahagiaan hidup didunia dan akhirat.

Tidak lupa ucapan terima kasih kepada dosen mata kuliah pemikiran pendidikan islam
kontemporer, m imam putra. Atas materi makalah “Pemetaan PPIK di Indonesia dalam
Paham Liberalis dan Fundamentalis “ ini karena dengan materi ini kami lebih dalam
mengetahui serta dapat menambah wawasan pengetahuan Pemikiran Pendidikan Islam
Kontemporer

Mudah-mudahan makalah sederhana kami ini yang telah berhasil kami susun bisa
dengan mudah di pahami oleh siapa pun yang membacanya. Meskipun makalah yang kami
buat masih banyak kekurangan dam kesalahan dalam kata atau pun kalimat, sebelimnya kami
meminta maaf. Serta tidak lupa kami berharap adanya kritik dan saran dari teman-teman yang
membangung sehingga ke depanya kami bisa lebih baik lagi.

Demikianlah kami ucapkan terima kasih.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

i
Daftar Isi

Daftar Isi................................................. .................................................................i


Kata pengantar.........................................................................................................ii
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang.....................................................................................................1
B. Rumusan Masalah................................................................................................1
C. Tujuan..................................................................................................................1
Bab II Pembahasan
A. Pemikiran Pendidikan Islam.................................................................................2
B. Pemetaan PPIK di Indonesia dalam Paham Liberalis dan Fundamentalis.........4
Bab III Penutup
A. Simpulan................................................................................................................13
Daftar pustaka

ii
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk allah swt.yang sempurna sesuai dengan tugas
fungsi dan tujuan penciptaannya sebagai khalifah filard dan terbaik bila di bandingkan
dengan makhluklainnya. Kelebihan manusia bukan hanya sekedar berbeda susunan fisik,
tapi juga lebih jauh adalah kelebihan aspek psikisnya dengan totalitas potensinya
masing-masing yang sangat mendudukung bagi proses aktualitas diri pada posisinya
sebagai makhluk mulia. Integritas kedua unsur tersebut abersifat aktif dan dinamis sesuai
dengan perkembangan dan tuntunan zaman di mana manusia berada.dengan potensinya
material dan spiritual tersebut,menjadikan manusia sebagai makhluk ciptaan allah
swt.yang terbaik.secara sistematis pada proposisinya pengetahuan yang di miliki peserta
didik maka,pendidikan harus mampu mengarahkan peserta didik pada pengembangan
diri secara totaliras.islam dengan ajaran yang universal tidak menghendaki adanya sistem
pendidikan yang dikotomik parsial dalam menempatkan peserta didik baik teoritis
maupun praktis peserta didik manawarkan sistem pensisikan yang integral dan
mengempatkan sesuai dengan tuntutan yang di gariskan oleh allah swt. Dalam penjelasan
tersebut di atas penulis akan mengkolaborasikan kajian secara mendalam tentang
Pemikiran pendidika Islam di Indonesia. Batasan masalah secara umum yaitu:
Bagaimana konsep pemikiran pendidikan islam di Indonesia

B. Rumusan Masalah
1 Apa yang dimaksud dengan Pemikiran Pendidikan Islam?
2 Bagaimana Pemetaan PPIK di Indonesia dalam Paham Liberalis dan Fundamentalis?
C. Tujuan
1 Untuk mengetahui yang dimaksud dengan Pemikiran Pendidikan Islam
2 Untuk Mengetahui Pemetaan PPIK di Indonesia dalam Paham Liberalis dan
Fundamentalis

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pemikiran Pendidikan Islam


1 Pengertian
Secara etimologi, pendidikan berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata
pais yang artinya seseorang dan again yang artinya membimbing. 1 Maka jika
diterjemahkan berarti bimbingan yang diberikan kepada seseorang. Sedangkan secara
umum pendidikan merupakan suatu proses bimbingan secara sadar oleh pendidik
terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik agar mencapai tujuan yang
diinginkan. Oleh sebab itu pendidikan dianggap sebagai salah satu aspek yang
memiliki peranan penting dalam membentuk kepribadian yang utama2.
UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menyebutkan
bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan proses
pembelajaran agar peserta didik dapat secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasa, akhlak
mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, dan negara3.
Meskipun definisi pendidikan sangat beragam, namun pada dasarnya memiliki
esensi yang sama yaitu bahwa pendidikan merupakan suatu proses yang memiliki
tujuan, sasaran, dan target tertentu. Sebagai sebuah proses, pendidikan tidak hanya
terbatas pada bimbingan secara sadar yang dilakukan oleh pendidik. Banyak hal lain
yang mampu mempengaruhi proses seseorang dalam mencapai kesempurnaan diri
diantaranya adalah lingkungan alam, budaya, dan pengalaman hidup.
Berkaitan dengan hal ini, Ahmad Tafsir menyatakan bahwa kehidupan adalah
sebuah proses pendidikan mencakup seluruh kegiatan manusia baik yang disengaja
maupun tidak, akibat dari pengaruh lingkungan maupun proses pendidikan yang
dilakukan oleh diri sendiri. Dengan kata lain bahwa pendidikan adalah pengembangan
pribadi dalam segala aspek.
Secara harfiah pengertian pendidikan adalah membimbing, memperbaiki,
memimpin, dan memelihara. Sedangkan esensi dari pendidikan adalah adanya proses

1
Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hal. 69
2
Zuhairini, Metode Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Malang: UIN Press, 2004) hal.1
3
Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Bandung: Citra
Umbara, 2003), hal. 3
2
3

transfer ilmu pengetahuan dan ketrampilan dari satu generasi ke generasi lainnya agar
mereka mampu bertahan hidup.
Sedangkan secara definitif, pengertian pendidikan agama Islam menurut
beberapa tokoh adalah sebagai berikut:
a Tayar Yusuf mengartikan pendidikan agama Islam adalah usaha sadar yang
dilakukan oleh generasi tua untuk mengalihkan pengetahuan, ketrampilan, dan
pengalaman kepada generasi muda agar menjadi manusia yang bertakwa
kepada Allah SWT4.
b Yusuf Qardhawi memaknai pendidikan Islam sebagai pendidikan manusia
seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan
ketrampilannya5.
c Athiyah al-Abrasyi yang dikutip oleh As’aril Muhajir (2011:80),
mendefinisikan tarbiyah dalam konteks pendidikan Islam sebagai upaya
mempersiapkan manusia untuk hidup dengan bahagia, cinta tanah air, tegap
jasmaninya, sempurna akhlaknya, sistematis pola pikirnya, halus perasaannya,
professional dalam bekerja, bersikap toleran, kompeten dalam berkomunikasi,
serta terampil dalam berkarya.
d H.M Arifin mengartikan pendidikan Islam sebagai proses mengarahkan dan
membimbing anak didik menuju pendewasaan diri yang beriman, berilmu
pengetahuan, dan saling mempegaruhi perkembangan kehidupannya untuk
mencapai titik maksimal kemampuannya6.
e Muhaimin yang mengutip GBPP PAI menyatakan bahwa pendidikan agama
Islam adalah usaha sadar untuk mempersiapkan peserta didik dalam meyakini,
memahami, mengamalkan ajaran Islam melalui kegiatan, bimbingan,
pengajaran, dan latihan dengan memperhatikan tuntunan untuk menghormati
agama lain dalam kehidupan antar umat beragama agar mampu mewujudkan
persatuan nasional.
Berdasarkan rumusan dari beberapa tokoh diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa pengertian pendidikan Islam adalah proses bimbingan kepada peserta didik
untuk membentuk kepribadian yang berakhlak mulia serta mengembangkan potensi
4
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, (Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 130
5
Sutrisno dan Muhyidin Albarobis, Pendidikan Islam Berbasis Problem Sosial, (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2012), hal. 21
6
H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pedekatan
Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hal. 10
4

diri sesuai dengan petunjuk ajaran Islam. Seperti yang telah dilakukan oleh Nabi
Muhammad SAW dalam menyebarkan agama Islam dengan memberi ajaran, contoh
dalam kehidupan sehari-hari, melatih ketrampilan, memberi motivasi, dan
menciptakan lingkungan sosial yang mendukung pembentukan pribadi muslim.
Sedikitnya terdapat tiga istilah dalam Islam yang digunakan untuk memaknai
pendidikan yaitu “al- tarbiyah”, “al-ta’lim”, dan “al-ta’dib”. Istilah tarbiyah berasal
dari kata “rabba-yurabbi-tarbiyyatan” yang artinya pendidikan. Secara istilah al-
tarbiyah berarti mengasuh, mendidik, memelihara, dan membesarkan7.
Sedangkan menurut Abuddin Nata altarbiyah merupakan proses bimbingan
terhadap potensi manusia baik fisik, intelektual, sosial, etika, dan spiritual yang
dimiliki peserta didik melalui cara memimpin, mengasuh, dan mendidik, sehingga
dapat tumbuh dan terbina dengan maksimal agar dapat menjadi bekal dalam
menghadapi permasalahan dimasa depan8.
Filsafat pendidikan Islam pada hakikatnya adalah konsep berpikir tentang
kependidikan yang bersumber atau berlandaskan atas ajaranajaran agama Islam.
Filsafat pendidikan Islam adalah pembahasan tentang hakikat kemampuan Muslim
untuk dapat dibina, dikembangkan, dan dibimbing, sehingga menjadi manusia yang
seluruh pribadinya dijiwai oleh ajaran Islam. Karena begitu kompleksnya persoalan
pendidikan dan begitu rumitnya memaknai filsafat, sehingga perlu sebuah
penyederhanaan. Adanya tipologi dalam semua aspek pemikiran berimplikasi pada
“penyederhanaan” terhadap berbagai persoalan yang kompleks. Sebuah wacana yang
seharusnya berkembang dan meluas akan dipahami secara sederhana setelah
dilakukan tipologi. Hal itu tentunya tidak terkecuali terhadap tipologi wacana filsafat
pendidikan Islam di Indonesia.
B. Pemetaan Pemikiran Pendidikan Islam Kontemporer Di Indonesia Dalam
Paham Liberalis Dan Fundamentalis
1 .Paham Liberalis (Islam Liberal)
Pendidikan liberal dibangun dari berbagai pandangan dan paradigma, baik
pandangan ideologis politis maupun saintis paradigmatik metodologis. Selain faktor
politis, banyaknya pandangan dan sumber etika yang mempengaruhi itulah barangkali
yang dapat menjelaskan mengapa dalam liberalisme terdapat ambivalensi, ambiguitas,
dan watak yang saling kontradiktif.
7
Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 10-11
8
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group: 2010), hal. 8
5

Paradigma liberal, baik dalam pengertian politik ideologis maupun dalam


pendidikan, dalam sisi-sisi tertentu mempunyai watak sebagaimana dimiliki
paradigma konservatif, yakni ciri-ciri anti perubahan, mendukung kemapanan (status
quo), serta reproduksi sosial. Paham liberal memang tidak secara langsung menentang
perubahan, namun beberapa teori dan pendekatan yang mereka pakai dalam analisis
sosial, misalnya structural fungsionalism, meyebabkan paham ini lebih dekat dan
lebih menyukai status quo. Paradigma liberal, meskipun setuju dengan perubahan,
tetapi perubahan yang terjadi dengan sendirinya, tanpa diusahakan dan tanpa
pengarahan (laissez faire), netral dan lamban tanpa ada kepastian karena akan berjalan
sesuai dengan terjadinya evolusi.
Dalam setiap unsurnya, pendidikan liberal tentu saja dipengaruhi oleh etik
liberal secara keseluruhan, dengan demikian apa yang berpengaruh dan membentuk
pandangan liberalisme juga ikut berpengaruh dan membentuk paradigma pendidikan
liberal. Ada beberapa asumsi yang mendukung konsep manusia "rasional liberal"
seperti: pertama bahwa semua manusia memiliki Pertama, bahwa setiap orang
memiliki tingkat kecerdasan yang sama dan mampu memahami baik aturan sosial
maupun tatanan alam., kedua dan mampu memahami baik aturan sosial maupun
tatanan alam. Yang ketiga adalah "individualisme", yang mengacu pada gagasan
bahwa manusia tidak bersifat pribadi dan teratomisasi. Yang ketiga adalah
"individualisme", yang mengacu pada gagasan bahwa manusia tidak bersifat pribadi
dan teratomisasi. Menetapkan individu secara atomistik sehingga hubungan sosial
dipandang hanya kebetulan, dan masyarakat dipandang tidak stabil sebagai akibat dari
kecenderungan anggota yang tidak menentu. Pengaruh liberal dapat dilihat dalam
pendidikan, yang menempatkan nilai tinggi pada prestasi melalui kompetisi siswa.
Untuk menjamin terselenggaranya pendidikan ini, fungsi menyeleksi siswa terpandai
sangatlah penting.. Pengaruh pendidikan liberal juga dapat dilihat dalam berbagai
training management, kewiraswastaan, dan trainingtraining yang lain.
Pendidikan liberal sangat menekankan kompetisi. Padahal kompetisi yangs
sehat harus dimulai dengan kondisi yang berimbang, yang tidak sesuai dengan
kenyataan bahwa masyarakat (murid khususnya) tidak mempunyai kemampuan yang
sama (baik ekonomi, politis, kemampuan personal maupun lainnya) untuk bersaing.
Kompetisi tidak berimbang ini akan membawa persoalan yang berkaitan dengan
masalah keadilan. Pendidikan liberal juga membawa suatu misi ideologis tertentu.
Dalam pendidikan liberal, misi ideologis yang dibawa tidak lain adalah liberalisme-
67

kapitalisme itu sendiri. untuk tujuan misi tersebut, pendidikan liberal mengusung
wacana-wacana tertentu, yang saat ini telah mendominsi diskursus keilmuan dan
pemikiran berbagai kalangan. Wacana dominant dalam pendidikan liberal pada
dasarnya dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok, pertama bersifat wacana murni
dan kedua, bersifat semi ilmiah (pseudo ilmiah).
Wacana dalam perkembangan pemikiran yang mendominasi dengan kategori
pertama yang sekarang mendominasi berbagai diskursus dan pemikiran berbagai
kalangan tidak lain adalah modernisme dengan proyek modernisasinya, globalisme
dengan globalisasinya, pasar bebas dan lain sebagainya. Kategori yang kedua, wacana
dominant dalam pendidikan liberal, lebih bersifat paradigmatik dan metodologis,
misalnya positivisme, objektivisme, fungsionalisme, serta naturalisme, dan netralitas
ilmu (ilmu bebas nilai).
Positivisme, objektivisme merupakan mainstream dalam pendekatan dan
paradigma sains modern. Awalnya pendekatan ini hanya dipakai dalam tradisi ilmu-
ilmu pasti (sains), namun belakangan diadopsi dan dipakai sebagai pendekatan dalam
ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Ironisnya, hegemoni positivisme ini kemudian
mendapatkan legitimasi, setelah para ilmuan menetapkannya sebagai atandar ilmiah.
Ilmu-ilmu sosial akan dianggap ilmu hanya jika ia memakai dua pendekatan tersebut.
Fenomena tentang pendidikan liberal sangat mendukung dalam memajukan
pendidikan yang telah dilakukan dengan berbagai metode maupun pendekatan,
semuanya itu untuk perubahan bagi dunia pendidikan saat ini dan menjawab
tantangan zaman. Perubahan atau reformasi pendidikan sangat perlu untuk dilakukan,
karena akan membuka wawasan baru.
Menurut Tilaar9 reformasi berarti perubahan melalui pertimbangan kebutuhan
masa depan, menekankan kembali pada bentuk asal, berbuat lebih baik dengan
perbaikan penyimpangan dan praktik yang salah, atau pengenalan praktik yang lebih
baik., Sebuah perubahan yang komprehensif dari masyarakat politik, ekonomi,
hukum, sosial,, dan tentu saja bisa diterapkan dalam bidang pendidikan. Salah satu
reformasi pendidikan adalah liberalisasi pendidikan karena menghadirkan atau
mempromosikan ide-ide yang memodernisasi dan mentransformasikan sistem
pendidikan.
Liberalisme pendidikan memiliki tiga corak utama, yaitu:

9
H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, (Bandung, PT. Remaja
Rosdakarya, 1999), hal 16
8

a Liberalisme metodis, yaitu bersifat non ideologis dan teknik baru dan lebih
baik untuk memajukan tujuan pendidikan saat ini. Penganut kaum liberalisme
metodis, berpandangan bahwa praktik pendidikan harus berubah sesuai dengan
zaman, yang mencakup wawasan psikologis baru dan hakikat belajar manusia.
b Liberalisme direktif (liberalisme terstruktur pada dasarnya kaum liberal
direktif menginginkan pembaharuan mendasar untuk mempertahankan model
terkini tentang bagaimana sekolah-sekolah sebagaimana ada sekarang. Mereka
menganggap bahwa wajib belajar adalah perlu. Kemudian juga diperlukan.
Pemilihan beberapa persyaratan mendasar dan penentuan awal materi
pelajaran membutuhkan pengetahuan.
c Liberalisme non-direktif (libealisasi pasar bebas). Kaum liberalisme
nondirektif sepakat dengan pandangan bahwa tujuan dan metode pendidikan
pada dasarnya dialihkan secara radikal dari orientasi orotiratian tradisional ke
arah sasaran pendidikan yang mengajar siswa untuk memecahkan masalah-
masalah sendiri secara efektif
2 Implikasi Pendidikan Liberal Terhadap Pendidikan Islam
Implikasi pendidikan liberal dapat dilihat dalam keseluruhan proses, sistem
dan unsur-unsur serta instrumen pendidikan. Sistem dan proses pendidikan meliputi
misalnya, bagaimana proses pembelajaran berlangsung, bagaimana pola interaksi
yang dibangun antar guru-murid maupun antar murid, serta bagaimana anggota
belajar diperlakukan dan metode pembelajaran yang diterapkan. Dengan asumsi di
atas, bentuk dan mode penindasan dalam pendidikan liberal juga dapat ditemukan
melalui analisa terhadap kurikulum pendidikan.
Pendidikan yang telah berjalan di tingkat dasar dan menengah, tentu saja
masih banyak kelemahan, tetapi tetap memberikan manfaat, walaupun sedikit, apalagi
diketahui selama bertahun-tahun pilihan ideologinya sebetulnya jelas yakni Pancasila,
namun substansinya tidak jelas, Pancasila versi yang sedang berkuasa, bukan
Pancasila dalam versi sebagaimana para founding fathers inginkan.
Oleh karenanya pendidikan selama bertahun-tahun tidak mampu menciptakan
manusia-manusia yang bisa menghargai dan menghormati keragaman agama, etnis,
kultur dan jenis kelamin bahkan kemampuan intelektual dan emosional.
Pendidikan saat ini cenderung bersifat doktriner (penyuluhan, tidak
memberikan alternatif cara pandang siswa/peserta didik, kurang mendorong daya
kreatif peserta didik dan menciptakan tumpulnya daya analisis peserta didik) karena
lebih ditekankan dimensi kognisinya ketimbang afeksi dan psikomotoriknya.
Sangat jelas implikasi pendidikan liberal bagi dunia pendidikan akan
merubabah komponen pendidikan, sehingga pendidikan tidak hanya dianggap sebagai
perubahan tingkah laku saja tetapi memahami pendidikan sebagai keharusan bagi
setiap orang. Saat ini masih ada sebagian orang di Indonesia tidak merdeka untuk
menikmati manisnya pendidikan, hal inilah yang harus dirubah demi kemajuan SDM
dan berkualitas.
Tradisi liberal masih mendominasi konsep pendidikan hingga saat ini.
Globalisasi ekonomi liberal kapitalisme akan mencakup pendidikan liberal. Dalam
konteks lokal, sistem developmentalisme telah memasukkan paradigma pendidikan
liberal, yang didukung oleh anggapan bahwa akar “underdevelopment'” adalah
kurangnya partisipasi rakyat dalam sistem kapitalisme. Agar peserta didik dapat
bersaing dalam sistem kapitalis yang saat ini merajalela di negara tercinta ini,
pendidikan harus membantu peserta dalam mengintegrasikan sistem
developmentalisme.
Paradigma pendidikan liberal sangat menekankan pada pemberian
keterampilan yang dibutuhkan siswa untuk bersaing dalam sistem sosial yang berlaku
pada masyarakat. Pendidikan liberal tidak melihat bahwa masalah sosial muncul
karena system sosial masyarakat, tetapi lebih karena ketidaksiapan manusia dalam
menghadapi sistem. Oleh karena itu, ini akan mengarah pada pendidikan yang
memberi siswa sebanyak mungkin keterampilan dan pengetahuan yang berguna
kepada anak didik . pengetahuan bersifat doktrinal dan menilai sesuatu hanya dengan
melihat tingkat kecerdasan yang dimiliki siswa. Perkembangan konsep ideologi
pendidikan inilah yang sekarang sedang berkembang di dalam masyarakat global.
3 Aliran Fundamentalis (Islam Fundamentalis)
Secara etimologis, fundamentalisme, berasal dari kata fundamen yang berarti
dasar. Pada istilah fundamentalisme sering pula diganti dengan istilah “revivalisme,
militancy, reasurtion, resurgence, activism dan reconstruction” 10. Sedangkan secara
terminologis, fundamentalisme adalah aliran pemikiran keagamaan yang cenderung
menafsirkan teks-teks keagamaan secara rigid dan literalis. Istilah fundamentalisme
kemudian digunakan oleh para Orientalis, pakar ilmu sosial dan kemanusiaan Barat

10
Hrair Dekmejian, Islam in Revolution: Fundamentalism in the Arab World (Syracuse: Syracuse
University Press, 1985), hal. 4
9
10

untuk kecenderungan pemikiran yang hampir sama dengan apa yang dijumpai dalam
agama Kristen, di dalam masyarakat yang memeluk agama lain, termasuk agama
Muslim .
Menurut Mahmud Amin al-Alim, pemikiran fundamentalisme telah
kehilangan relevansinya, karena zaman selalu beruibah dan problematika semakin
kompleks. Perlu reinterpretasi terhadap teks-teks keagamaan dengan mengedepankan
ijtihad, membongkar teks-teks yang kaku, dan mengutamakan maslahah serta
maqashid al-syari’ah.
Berbeda dengan al-Alim, Baasam Tibi membidik aspek lain dari
fundamentalisme. Menurutnya, fundamentalisme merupakan gejala ideologi yang
muncul sebagai respon atas problem-problem globalisasi, fragmentasi, dan benturan
peradaban. Namun dalam perkembangan selanjutnya agitasi fundamentalisme
mengakibatkan kekacauan, bukan hanya di dunia Islam, melainkan di seluruh dunia11.
Sehingga bisa dimaklumi jika pemaknaan fundamentalisme dalam realita telah
mengalami distorsi (pemutarbalikan) makna, cenderung menjadi istilah yang bias
(berat sebelah), bersifat merendahkan dan sering digunakan dengan konotasi makna
yang cenderung negatif. Istilah ini menimbulkan suatu kesan tertentu, misalnya:
ekstremisme, fanatisme, atau bahkan terorisme dalam mewujudkan dan
mempertahankan keyakinan keagamaan.
Kelompok beragama yang disebut kaum fundamentalis sering dikonotasikan
sebagai tidak rasional, tidak moderat dan cenderung melakukan tidakan kekerasan.
Istilah fundamentalisme lebih terkesan kelompok separatis agama, yang kemudian
dilengkapi dengan atribut-atibut negatif. Diantaranya bahwa pandangan mereka yang
radikal, militan, berpikiran sempit dan cenderung memakai cara-cara kekerasan.
Kemudian pandangan tersebut dikembangkan oleh para pemikir fundamentalis
dan diasah, sehingga tampil sebagai ideologi yang memberi pengikutnya suatu manual
tindakan. Pada akhirnya, mereka melawan arus dan berusaha mensakralkan kembali
dunia yang dari hari ke hari semakin skeptis 12. Pada titik ini, tidak ayal lagi berbagai
gerakan fundamentalisme semakin memperkuat persepsi mereka untuk menjustifikasi
segala bentuk kekerasan.
4 Faktor Penyebab dan Karakteristik Fundamentalisme Islam
11
Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik dan Kekacauan Dunia Baru, terj.
Imron Rosyidi dkk. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), hal. 8
12
Kasdi, Abdurrahman. “Fundamentalisme Islam Timur Tengah: Akar Teologi Kritik Wacana dan
Politisasi Agama.” (Jurnal Tashwirul Afkar Vol 12, No 2 2018):, Hal 19-20
Para pengamat memiliki pandangan yang berbeda secara terperinci mengenai
factor-faktor penyebab munculnya fundamentalisme dan berbagai karakteristik
fundamentalisme, walaupun dalam garis besarnya mereka mempunyai beberapa
kesamaan. Dalam perspektif Hamid dan Hilal Dessouki faktor-faktor utama penyebab
munculnya fundamentalisme adalah faktor budaya, sejarah, sosial dan politik. faktor
budaya: kekagalan kaum tradisionalis memberikan respon terhadap sekuralisasi, dan
kegagalan kaum intelektualmodern merumuskan sintesis Islam dan modernitas.
Dessouki menegaskan kegagalan kaum intelektual merumuskan peranan
Islam di tengah dunia modern, telah mendorong munculnya fundamentalisme sebagai
gerakan alternatif. Sikap agresif elit politik Barat, kemunduran ideologi sekuler, krisis
berkepanjangan di Palestina, istabilisasi politik dunia Arab, pemurnian agama oleh
Muhammad Abdul Wahab, dan tokoh-tokoh modernis, seperti al-Afgani dan Abduh,
juga memberikan pengaruh baik positif dan negatif terhadap kehadiran
fundamentalisme13.
Menurut Nurcholis Madjid, hadirnya fudamentalisme karena faktor
kegagalan agama-agama yang terorganisir memberikan respon terhadap tantangan
modern. Akibatnya, orang mencari alternatif baru dalam beragama berupa sikap
penegasan diri yang lebih keras dan biasanya dipimpin oleh tokoh yang dikultuskan
oleh pengikutnya. Selain itu ikut pula faktor sosial dan politik, seperti kesenjangan
antara yang kaya dan miskin, rasa tidak berdaya terhadap tekanan dan penindasan14.
Secara lebih terperinci, setidaknya ada beberapa karakter yang menjadi
platform gerakan kaum fundamentalisme, antara lain: Pertama, mereka cenderung
melakukan interpretasi literal terhadap teks-teks suci agama. Orang-orang
fundamentalis menolak pemahaman kontekstual atas teks agama, karena pemahaman
seperti ini dianggap akan mereduksi kesucian agama. Kedua, menolak pluralisme dan
relativisme. Bagi kaum fundamentalis, pluralisme merupakan distorsi pemahaman
terhadap ajaran agama. Ketiga, memonopoli kebenaran atas tafsir agama. Kaum
fundamentalis biasanya cenderung menganggap dirinya sebagai pemegang otoritas
penafsir agama yang paling absah dan paling benar, sehingga cenderung mengaggap
sesat kelompok yang tidak sealiran dengan mereka. Keempat, gerakan
fundamentalisme mempunyai korelasi dengan fanatisme, ekslusifisme, intoleran,

13
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam (Jakarta: Paramadina,
1999), hal. 28
14
Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan (Jakarta: Paramadina, 2003), hal. 126-133.
1112

radikalisme dan militanisme. Kaum fundamentalisme selalu mengambil bentuk


perlawanan terhadap ancaman yang dipandang membahayakan eksistensi agama.
Istilah Islam fundamentalis dapat dimaknai Islam yang dalam pemahaman
dan prakteknya bertumpu pada ha-hal yang bersifat asasi atau mendasar. Pemahaman
secara kebahasaan yang demikian ini mengandung pengertian, bahwa yang
dimaksutkan Islam fundamentalis adalah gerakan atau paham yang bertumpu pada
ajaran mendasar dalam Islam, teutama terkait dengan rukun Islam dan Iman. Apabila
ditinjau dari segi kebahasaan ini, maka semua aliran atau paham yang menjadikan
rukun Iman dan Islam sebagai ajaran utama, maka mereka termasuk pada kelompok
ini. Bahkan tiga aliran besar di dunia, seperti Sunni, Syi’ah dan Ahmadiyah juga
menjadikan ajaran tersebut sebagai dasar pijakan dalam beragama. Disamping itu
dalam konteks Indonesia, dua paham keagamaan terbesar, seperti NU dan
Muhammadiyah pun juga termasuk dalam pengertian kebahasaan ini. Namun,
persoalannya tidak semudah itu untuk memasukkan beberapa kelompok paham
keagamaan dalam Islam fundamentalis, karena harus dilihat ciri-ciri dan ajaran pokok
dalam gerakannya.
Sebenarnya istilah ini muncul dikalangan masyarakat Kristen yang
berkembang di Barat, yang dalam hal pemahaman agamanya lebih bersifat mendasar,
sempit dan dogmatis. Di Barat, kelompok ini muncul sebagai reaksi terhadap teori
evolusi manusia yang dikemukakan oleh Charles Darwin. Dikalangan dunia Islam,
istilah fundamentalis lebih ditujukan kepada kelompok Islam garis keras. Pengertian
kaum fundamentalis, dari segi istilah bahkan akhirnya memiliki muatan psiokologis
dan sosiologis, dan berbeda dengan pengertian fundamentalis secara kebahasaan. Pada
masyarakat Muslim, istilah ini, ada kaitannya dengan masalah pertentangan politik,
sosial, politik dan kebudayaan. Istilah fundamentalisme ini pada akhirnya
menimbulkan citra tertentu, yaitu ekstrimisme, fanatisme, atau bahkan terorisme dalam
mewujudkan atau mempertahankan keyakinan agamanya, bahkan mereka ini
cenderung melakukan tindakan kekerasan15.

15
Rusli Malli, ” Konsep Pemikiran Pendidikan Islam Kontemporer Di Indonesia”, (Makassar: Jurnal
Tarbawi ,Vol 1, No 2, 2016), hal. 163
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Dari uraian diatas dapat kita simpulkan : Pemikiran pendidikan Islam adalah
serangkaian proses kerja akal dan kalbu secara bersungguh- sungguh dalam melihat
berbagai persoalan yang ada dalam pendidikan Islam, Sejarah pemikiran Islam dimulai
pada masa Nabi Muhammad dan merupakan masa pembinaan dan Corak pemikiran
islam di Indonesia semakin berkembang sesuai dengan kondisi zaman yang semakin
mangantar manusia untuk berpikir lebih dinamis. Aliran Fundamentalis (Islam
Fundamentalis) fundamentalisme adalah aliran pemikiran keagamaan yang cenderung
menafsirkan teks-teks keagamaan secara rigid dan literalis. Istilah fundamentalisme
kemudian digunakan oleh para Orientalis, pakar ilmu sosial dan kemanusiaan Barat
untuk kecenderungan pemikiran yang hampir sama dengan apa yang dijumpai dalam
agama Kristen, di dalam masyarakat yang memeluk agama lain, termasuk agama
Muslim .

13
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi,
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 130
Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 10-11
Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991),
hal. 69
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group:
2010), hal. 8
Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik dan Kekacauan
Dunia Baru, terj. Imron Rosyidi dkk. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), hal. 8
H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia,
(Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1999), hal 16
H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis
Berdasarkan Pedekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hal. 10
Hrair Dekmejian, Islam in Revolution: Fundamentalism in the Arab World
(Syracuse: Syracuse University Press, 1985), hal. 4
Kasdi, Abdurrahman. “Fundamentalisme Islam Timur Tengah: Akar Teologi
Kritik Wacana dan Politisasi Agama.” (Jurnal Tashwirul Afkar Vol 12, No 2 2018):, Hal 19-
20
Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan (Jakarta: Paramadina, 2003), hal.
126-133.
Rusli Malli, ” Konsep Pemikiran Pendidikan Islam Kontemporer Di Indonesia”,
(Makassar: Jurnal Tarbawi ,Vol 1, No 2, 2016), hal. 163
Sutrisno dan Muhyidin Albarobis, Pendidikan Islam Berbasis Problem Sosial,
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hal. 21
Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 Tentang Sistem Pendidikan Nasional,
(Bandung: Citra Umbara, 2003), hal. 3
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam
(Jakarta: Paramadina, 1999), hal. 28
Zuhairini, Metode Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Malang: UIN Press,
2004) hal.1

Anda mungkin juga menyukai