Anda di halaman 1dari 15

PENATAAN PENDIDIKAN ISLAM

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah


Seminar dan masalah-masalah aktual pendidikan islam

Dosen : Dr. Iskandar Mirza, M.Ag

Disusun Oleh :
Solihin, S.Pd.I NIM. 2103090180 1315
Yani Sumarni, S.Pd.I 2103090180 1297

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


UNIVERSITAS ISLAM NUSANTARA
2019
Pendahuluan

Berbicara seputar pendidikan Islam, berarti membuka suatu persoalan yang


mempunyai ranah demikian luas. Pembicaraannya bisa mengambil ranah filosofis, institusi
serta perkembangannya dalam konteks sosio-historis, politis, dan kultural. Ini semua
mencerminkan bahwa pendidikan Islam merupakan topik klasik, tapi sekaligus aktual untuk
terus diperbincangkan. Apalagi, pendidikan sebagai aktivitas pengajaran yang berlangsung di
mana pun dan kapan pun serta mempunyai kedudukan yang sangat sentral dalam kehidupan
manusia. yang secara langsung maupun tidak langsung berbicara tentang pendidikan. Wahyu
yang diturunkan pertama pada Nabi Saw. adalah surat al-'Alaq ayat 1-5, penuh muatan
pendidikan yang sangat mendasar. Dalam surat ini tampak jelas, tegas, dan lugas perintah
membawa (iqra') dari Allah kepada Nabi. Membaca secara harfiah maupun maknawiyah
merupakan aktivitas pendidikan yang sangat penting. Sementara itu, dalam diri Nabi sendiri
memberikan keteladanan yang demikian agung dalam pendidikan. Nabi SAW dikenal sebagai
manusia yang tak pernah henti melakukan perenungan terhadap situasi kemanusiaan yang
dijumpainya. Dalam diri Nabi juga terkandung nilai-nilai luhur dalam akhlak. Penting juga
dikemukakan bahwa Nabi merupakan contoh manusia yang mengalami proses pendidikan
dalam pengertian yang seluas-luasnya yaitu belajar di sekolah tanpa dinding (school without
wall).1
Pendidikan Islam menjadi satu dalam sistem pendidikan nasional, tetapi predikat
keterbelakangan dan kemunduran tetap melekat padanya, bahkan pendidikan Islam sering
“dinobatkan” hanya untuk kepentingan orang-orang yang tidak mampu atau miskin,
memproduk orang yang eksklusif, fanatik, dan bahkan pada tingkah yang sangat menyedihkan
yaitu “terorisme-pun” dianggap berasal dari lembaga pendidikan Islam, karena pada
kenyataannya beberapa lembaga pendidikan Islam “dianggap” sebagai tempat berasalnya
kelompok tersebut. Walaupun “anggapan” ini keliru dan dapat ditolak, sebab tidak ada
lembaga-lembaga pendidikan Islam manapun yang bertujuan untuk memproduk atau
mencetak kelompok-kelompok orang seperti itu. Tetapi realitas di masyakarat banyak
perilaku kekerasan yang mengatasnamakan Islam. Apakah ada sesuatu yang salah dalam
sistem, proses, dan orientasi pendidikan Islam???
Hal ini, merupakan suatu kenyataan yang selama ini dihadapi oleh lembaga
pendidikan Islam di Indonesia. Olah karena itu, muncul tuntutan masyarakat sebagai
pengguna pendidikan Islam agar ada upaya penataan dan modernisasi sistem dan proses
pendidikan Islam, agar menjadi pendidikan yang bermutu, relevan, dan mampu menjawab

1
Republika, Rabu, 17 Maret 2004
perubahan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia. Dengan demikian, penataan
model, sistem dan proses pendidikan Islam di Indonesia merupakan suatu yang tidak
terelakkan, untuk menjawab permintaan dari arus globalisasi yang tidak dapat dibendung lagi.
Strategi pengembangan pendidikan Islam hendaknya dipilih dari kegiatan pendidikan yang
paling mendesak, berposisi sentral yang akan menjadi modal dasar untuk usaha penataan dan
pengembangan selanjutnya.

A. Pendidikan Islam
Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan yaitu tuntunan di dalam hidup tumbuh dan
berkembangnya anak-anak segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak tersebut agar
mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan
kebahagiaan setinggi-tingginya.
Dalam Ensiklopedi Indonesia dinyatakan bahwa pendidikan adalah proses membimbing
manusia dari kebodohan menuju ke kecerahan pengetahuan. Lebih lanjut dikatakan bahwa
proses tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu dresure atau paksaan, latihan
utnuk membentuk kebiasaan dan pendidikan untuk membentuk kata hati.
Dalam sistem pendidikan nasional dijelaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar yang
dilakukan oleh manusia dewasa untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan,
pengajaran dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang.
Marimba, seorang pakar filsafat pendidikan merumuskan bahwa pendidikan adalah
bimbingan atau tuntutan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan
rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian utama.
Muhammad Naquib Al-Attas yang menjadikan kata ta’dib sebagai pijakannya
menjelaskan bahwa pendidikan itu merupakan pengenalan dan pengakuan yang ditanamkan
secara berangsur-angsur ke dalam diri manusia (peserta didik) tentang keberadaan segala
sesuatu sehingga dapat membimbingnya ke arah pengenalan dan pengakunya adanya Tuhan.
Berkaitan dengan itu seorang pakar pendidikan Barat, Rupert C. Lodge mengemukakan
bahwa pendidikan dapat dilihat dari pengertian luas dan pengertian sempit. Dalam arti yang
luas, ia mengatakan bahwa pendidikan itu menyangkut seluruh pengalaman peserta didik,
baik pengalamannya dengan pendidik, orang tua, teman sepermainan maupun yang
diperolehnya dari alam lingkungan selain manusia, seperti hewan (dalam arti sempit,
pendidikan hanya sekadar pengajaran di sekolah).
Selanjutnya berikut ini pendapat beberapa tokoh Muslim tentang pengertian pendidikan
Islam :

 Menurut Ahmad D. Marimba, pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani, rohani


berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian utama
menurut ukuran-ukuran Islam. Dengan pengertian lain sering kali beliau mengatakan
kepribadian utama tersebut dengan istilah kepribadian muslim, yakni kepribadian yang
memiliki nilai-nilai agama Islam, memilih dan memutuskan serta berbuat berdasarkan
nilai-nilai Islam dan bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam.
 Menurut Abdur Rahman An-Nahlawi, pendidikan Islam adalah pengaturan pribadi dan
masyarakat sehingga dapat memeluk Islam secara logis dan sesuai secara keseluruhan
baik dalam kehidupan individu maupun kolektif.
 Menurut Burlian Shomad, pendidikan Islam ialah pendidikan yang bertujuan
membentuk individu menjadi makhluk yang bercorak diri, berderajat tinggi menurut
ukuran Allah dan sisi pendidikannya untuk mewujudkan tujuan itu adalah ajaran
Allah.
 Menurut Musthafa Al-Ghulayani, pendidikan islam ialah menanamkan akhlak yang
mulia di dalam jiwa anak pada masa pertumbuhannya dan menyiraminya dengan air
petunjuk dan nasihat, sehingga akhlak itu menjadi salah satu kemampuan (meresap
dalam) jiwanya kemudian buahnya berwujud keutamaan kebaikan, dan cinta bekerja
untuk kemanfaatan tanah air.
Dari beberapa definisi yang dikemukakan para ahli di atas jelaslah pengertian pendidikan
itu dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu pendidikan dalam arti luas dan
pendidikan dalam arti sempit.
Pengertian pendidikan dalam arti sempit adalah usaha sadar (usaha yang direncanakan
waktu, tempat dan biaya, diprogram, diorganisasikan, diukur dan dievaluasi) yang dilakukan
oleh manusia dewasa (pendidik profesional) untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan
bimbingan, pengajaran, atau latihan bagi peserta didik menjadi dewasa untuk berperan dimasa
yang akan datang.
Pendidikan dalam arti luas adalah segala proses interaksi yang terjadi antara seseorang
dengan lingkungan sekitarnya. Berupa bimbingan, arahan dan latihan untuk menumbuhkan
dan mengembangkan segala potensi dalam diri manusia baik secara mental, moral dan fisik
untuk menghasilkan manusia dewasa dan bertanggung jawab sebagai makhluk yang berbudi
luhur.
Sedangkan pendidikan Islam adalah suatu proses bimbingan pembelajaran dan tuntunan
serta pelatihan terhadap manusia (peserta didik) yang memungkinkan seseorang (peserta
didik) dapat mengarahkan kehidupannya berlandaskan ajaran Islam yang mencakup semua
aspek kehidupan yang dibutuhkan agar dapat melaksanakan peran, tugas dan fungsi sebagai
hamba yang taat, tunduk dan patuh serta berserah diri kepada Allah serta sebagai khalifah
(pemimpin dan wakil tuhan) di bumi untuk mengolah memelihara dan melestarikan bumi.
Pendidikan Islam mengandung arti yang luas, karena tidak hanya menyangkut pendidikan
dalam arti pengetahuan, namun juga pendidikan dalam arti kepribadian. Pendidikan dalam arti
pengetahuan tidak akan ada artinya kalau tidak melibatkan pendidikan kepribadian, karena
pendidikan agama tidak cukup diukur pada ranah kognetif semata, namun juga melibatkan
ranah apektif dan psikomotorik. Pendidikan Agama Islam justru diharapkan mampu merasuk
ke dalam penghayatan, sehingga sikap dan tingkah laku sipenganut agama akan sejalan
dengan pengetahuan keagamaan yang dimilikinya.
Zarkowi Soejoeti dalam makalahnya tentang "Model-model Perguruan Tinggi Islam"
sebagaimana yang dikutip oleh A. Malik Fadjar mengemukakan bahwa pendidikan Islam
paling tidak mempunyai tiga pengertian.
Pertama, lembaga pendidikan Islam itu pendirian dan penyelenggaraannya didorong
oleh hasrat mengejawantahkan nilai-nilai Islam yang tercermin dalam nama lembaga
pendidikan itu dan kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan. Dalam pengertian ini, Islam
dilihat sebagai sumber nilai yang harus diwujudkan dalam kehidupan lembaga pendidikan
yang bersangkutan.
Kedua, lembaga pendidikan yang memberikan perhatian dan menyelenggarakan kajian
tentang Islam yang tercermin dalam program kajian sebagai ilmu dan diperlakukan sebagai
ilmu-ilmu lain yang menjadi program kajian lembaga pendidikan Islam yang bersangkutan.
Ketiga, mengandung dua pengertian di atas dalam arti lembaga tersebut
memperlakukan Islam sebagai sumber nilai bagi sikap dan tingkah laku yang harus tercermin
dalam penyelenggaraannya maupun sebagai bidang kajian yang tercermin dalam program
kajiannya.2
Konsep pendidikan Islam sebagaimana dikemukakan oleh Zarkowi Soejoeti tersebut,
walaupun belum cukup memadai secara falsafi untuk disebut sebagai pendidikan Islam, tetapi
dapat dijadikan sebagai pengantar dalam memahami pendidikan Islam secara lebih mendasar.3

2
A. Malik, Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Fajar Dunia, 1999), h. 31.

3
A. Malik, Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Fajar Dunia, 1999), h. 31.
Pendidikan Islam sangat berperan untuk senantiasa diaktualisasikan sehingga bisa
menjadi petunjuk sesuai dengan fungsinya antara lain sebagai faktor pembimbing, pembina,
pengimbang, penyaring dan pemberi arah dalam hidup menuju masyarakat yang di dalamnya
tecipta persemakmuran intelektual di dalam bingkai agama. Tidak ada obat yang dapat
menyembuhkan kecuali syari’at Islam itu sendiri yang di dalamnya sarat dengan petunjuk ke
arah kebaikan.4Pendidikan Islam merupakan pangkal ketaatan dan kebenaran, merupakan
sarana untuk menciptakan manusia menjadi mukmin yang sempurna serta menjadikan
manusia sebagai hamba Allah yang shaleh dalam seluruh segi kehidupannya.5Pendidikan
Islam yang tujuan akhirnya mengarahkan agar anak didik menjadi manusia yang bertakwa
kepada Allah.

B. Penataan Pendidikan Islam

Mutu pendidikan merupakan hal yang harus diperhatikan dan diupayakan untuk
dicapai. Sebab pendidikan akan menjadi sia-sia bila mutu proses dan lulusannya rendah, tidak
terbangun jiwa kemandirian dan kreatifitasnya. Lebih parah dan menyedihkan lagi jika out put
pendidikannya menambah beban masyarakat, keluarga, dan negaranya. 6Saat sekarang ini, ada
keinginan dari masyarakat dan berbagai lembaga pendidikan Islam untuk menjadikan
pendidikan Islam sebagai salah satu pendidikan alternatif. Tetapi pemikiran ini memerlukan
paradigma baru untuk meningkatkan kualitan pendidikannya. Pertanyaannya, pendidikan
Islam yang mutu dan unggul yang bagaimana? Apakah kita harus memperbaiki secara radikal
terhadap kelemahan-kelemahan pendidikan Islam yang telah diproyeksikan oleh A. Mukti
Ali, bahwa kelemahan pendidikan Islam dewasa ini, disebabkan oleh faktor penguasaan
sistem dan metode, bahasa sebagai alat untuk memperkaya persepsi, dan ketajaman
interpretasi (insight), kelemahan kelembagaan (organisasi), kelemahan ilmu dan teknologi.
Apabila hal ini menjadi fokus, maka pendidikan Islam harus didesak untuk melakukan
inovasi, tidak hanya terkait dengan kurikulum dan perangkat manajemen, tetapi juga strategi
dan taktik operasional dan metodologinya. Strategi dan taktik itu, bahkan sampai menuntut
perombakan model-model sampai dengan institusi-institusinya hingga lebih efektif dan

4
Ali Mahfuz, Hidayat al-Musyidin, (Kairo: Al-Matba’at al-Usmaniyyah al-Misiyyah,
1958), Cet. VI. h. 69-70.
5
Abu Khalil Abu al-Ainain, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Qur'an al-Karim,
(T.t: Dar al-Fikr al-Arabi, 1980), h. 154.
6
Ahmad Baharuddin, Pendidikan Alternatif Qaryah Thayyibah, (Yogyakarta:
efesien dalam arti pedagogis, sosiologis dan kultural dalam menunjukkan perannya,7 untuk
mewujudkan pendidikan Islam yang bermutu dan unggul.
Peran pendidikan Islam mestinya bukan hanya “dipahami dalam konteks mikro
(kepentingan anak didik yang dilayani melalui proses interaksi pendidikan), melainkan juga
dalam konteks makro, yaitu kepentingan masyarakat yang dalam hal ini termasuk masyarakat
bangsa, negara dan bahkan juga kemanusiaan pada umumnya” , sehingga pendidikan Islam
integratif antara proses belajar di sekolah dengan belajar di masyarakat (learning society).
Brubacher dalam bukunya, Modern Philosophies of Education [1978], menyatakan hubungan
pendidikan dengan masyarakat mencakup hubungan pendidikan dengan perubahan sosial,
tatanan ekonomi, politik dan negara, karena pendidikan itu terjadi di masyarakat, dengan
sumber daya masyarakat, dan untuk masyarakat, maka pendidikan dituntut untukmampu
memperhitungkan dan melakukan antisipasi terhadap perkembangan sosial, ekonomi, politik
dan kenegaraan secara simultan. Sedangkan, secara mikro pendidikan senantiasa
memperhitungkan individualitas atau karakteristik perbedaan antara individu peserta didik
dalam kerangka interaksi proses belajar.
Kerangka acuan pemikiran dalam penataan dan pengembangan sistem pendidikan
Islam, harus mampu mengakomodasikan berbagai pandangan secara selektif sehingga
terdapat keterpaduan dalam konsep, yaitu :
Pertama, pendidikan harus membangun prinsip kesetaraan antara sektor pendidikan
dengan sektor-sektor lain. Pendidikan harus senantiasa bersama-sama dengan sistem lain
untuk mewujudkan cita-cita masyarakat Indonesia yang berkualitas dan kritis. Oleh karena
itu, pendidikan bukan merupakan sesuatu yang eksklusif dan terpisah dari masyarakat dan
sistem sosialnya, tetapi pendidikan sebagai suatu sistem terbuka dan senantiasa berinteraksi
dengan masyarakat dan lingkungannya.
Kedua, pendidikan merupakan wahana pemberdayaan masyarakat dengan
mengutamakan penciptaan dan pemeliharaan sumber yang berpengaruh, seperti keluarga,
sekolah, media massa, dan dunia usaha.
Ketiga, prinsip pemberdayaan masyarakat dengan segenap institusi sosial yang ada di
dalamnya, terutama institusi yang dilekatkan dengan fungsi mendidik generasi penerus
bangsa. Seperti pesantren, keluarga, dan berbagai wadah organisasi pemuda, diberdayakan
untuk dapat mengembangkan fungsi pendidikan dengan baik serta menjadi bagian yang
terpadu dari pendidikan.

7
H.M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan, (Jakarta: Bina Aksara, 1991), h. 3.
Keempat, prinsip kemandirian dalam pendidikan dan prinsip pemerataan menurut
warga negara secara individual maupun kolektif untuk memiliki kemampuan bersaing dan
sekaligus kemampuan bekerja sama.
Kelima, dalam kondisi masyarakat pluralistik diperlukan prinsip toleransi dan
konsensus. Untuk itu, pendidikan sebagai wahana pemberdayaan masyarakat dengan
mengutamakan penciptaan dan pemeliharaan sumber-sumber tersebut secara dinamik.
Keenam, prinsip perencanaan pendidikan. Pendidikan selalu dituntut untuk cepat
tanggap atas perubahan yang terjadi dan melakukan upaya yang tepat secara normatif sesuai
dengan cita-cita masyarakat Indonesia baru. Pendidikan selalu bersifat progresif tidak resisten
terhadap perubahan, sehingga mampu mengendalikan dan mengantisipasi arah perubahan.
Ketujuh, prinsip rekonstruksionis, bahwa kondisi masyarakat selalu menghendaki
perubahan mendasar. Maka pendidikan harus mampu menghasilkan produk-produk yang
dibutuhkan oleh perubahan tersebut. Paham rekonstruksionis mengkritik pandangan
pragmatis sebagai suatu pandangan yang cocok untuk kondisi yang relatif stabil. Pendekatan
pemecahan masalah bersifat lebih berorientasi masa kini, sedangkan pendekatan
rekonstruksionis lebih berorientasi masa depan dengan tetap berpijak pada kondisi sekarang.
Kedelapan, prinsip pendidikan berorientasi pada peserta didik. Dalam memberikan
pelayanan pendidikan, sifat-sifat peserta didik yang umum maupun yang spesifik harus
menjadi pertimbangan. Layanan pendidikan untuk kelompok usia anak berbeda dengan
remaja dan dewasa, termasuk perbedaan pelayanan bagi kelompok anak-anak berkelainan
fisik dan mental termasuk pendekatan pendidikan bagi anak-anak di daerah terpencil tidak
dapat disamakan dengan anak-anak di perkotaan.
Kesembilan, prinsip pendidikan multicultural, bahwa sistem pendidikan harus
memahami bahwa masyarakat yang dilayaninya bersifat plural, sehingga pluralisme harus
menjadi acuan dalam mengembangkan pendidikan dan pendidikan dapat mendayagunakan
perbedaan tersebut sebagai sumber dinamika yang bersifat posetif dan konstruktif.
Kesepuluh, pendidikan dengan prinsip global, artinya pendidikan harus berperan dan
harus menyiapkan peserta didik dalam konstelasi masyarakat global.8
Paradigma lama pendidikan Islam yang telah terbangun sejak abad pertengahan
(periode Islam), dengan mengkaji dan mempelajari teks-teks keagamaan dengan metode
hafalan, bersifat mekanis, mengutamakan pengkayaan materi, sudah harus ditinggalkan untuk
menuju paradigma baru pendidikan. Faisal Ismail, menyatakan bahwa pendidikan dan
pengajaran dalam Islam bukanlah sekedar kegiatan untuk mewariskan harta kebudayaan dari

8
Fasli Jalal, Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah, (Yogyakarta:
Aditia, 2001), h. 16-17.
generasi terdahulu kepada generasi penggantinya yang hanya memungkinkan bersifat reseptif,
pasif, menerima begitu saja. Akan tetapi pendidikan Islam harus berusaha mengembangkan
dan melatih peserta didik untuk lebih bersifat direktif, mendorong agar selalu berupaya maju,
kreatif dan berjiwa membangun.9
Paradigma baru pendidikan Islam harus diorientasikan kepada pembangunan,
pembaruan, pengembangan kreativitas, intelektualisme, keterampilan, kecakapan, penalaran,
inovatif, mandiri, disiplin dan taat hukum, terbuka dalam masyarakat plural, dan mampu
menghadapi serta menyelesaikan persoalan pada era globalisasi dengan dilandasi keanggunan
moral dan akhlak dalam usaha membangun manusia dan masyarakat yang berkualitas bagi
kehidupan dalam masyarakat madani Indonesia.
Langkah awal yang diperhatikan untuk melakukan penataan pendidikan Islam, harus
menganalisis dari aspek kekuatan, kelemahan, kesempatan, dan ancaman.
Pertama, pendidikan Islam (pesantren, madrasah, sekolah yang bercirikan Islam, dan
perguruan tinggi) lebih besar > 80 % dikelola oleh swasta. Dalam pengelolaannya lebih
percaya dan hormat pada ulama, percaya bahwa guru mengajarkan sesuatu yang benar,
panggilan agama, ibadah, ikhlas, murah, merakyat. Hal ini merupakan kekuatan (strengt)
dalam pengelolaan pendidikan Islam.
Kedua, kelemahan (weakness), bahwa pendidikan Islam posisinya lemah, tidak
profesional hampir disemua sektor dan komponennya, stress, terombang-ambing antara jati
dirinya, apakah ikut model sekolah umum atau antara ikut Diknas dan Depag. Belum ada
sistem yang mantap dalam pengembangan model pendidikan agama dan pendidikan
keagamaan.
Ketiga, kesempatan (opportunities), bahwa dalam UU No.20 Th. 2003 memberi
kesempatan atau momentum pengembangan pendidikan agama dan keagamaan. Pendidikan
Islam diakui sama dengan pendidikan yang lain.
Keempat, ancaman (treat), bahwa banyak lembaga pendidikan lain yang lebih tangguh
dan berkualitas, Ilmu dan teknologi yang berkembang sangat pesat berlum terkejar oleh
pendidikan Islam, pendidikan Islam kehilangan jati dirinya, pendidikan Islam selalu menjadi
warga kelas dua,

9
Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam Studi Kritis dan Refleksi Historis,
(Yogyakarta: Tiara Ilahi Press, 1998), h. 97-98.
Dalam perspektif pendidikan, mungkin akan bertanya mampukah kita menciptakan dan
mengembangkan sistem pendidikan Islam yang menghasilkan lulusan-lusan yang ”mampu
memilih” tanpa kehilangan peluang dan jati dirinya.10
Memang sampai sekarang, perlakuan pemerintah dan masyarakat terhadap pendidikan
Islam masih tetap sama, diskriminatif. Sikap inilah yang menyebabkan pendidikan Islam
sampai detik ini terpinggirkan. Terpinggirnya pendidikan Islam dari persaingan sesungguhnya
dikarenakan dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal.

Faktor internal:
Pertama, meliputi manajemen pendidikan Islam yang pada umumnya belum mampu
menyelenggarakan pembelajaran dan pengelolaan pendidikan yang efektif dan berkualitas.
Hal ini tercermin dari kalah bersaing dengan sekolah-sekolah yang berada di bawah
pembinaan Departemen Pendidikan Nasional [Diknas] yang umumnya dikelola secara
modern.
Kedua, faktor kompensasi profesional guru yang masih sangat rendah. Para guru yang
merupakan unsur terpenting dalam kegiatan belajar-mengajar, umumnya lemah dalam
penguasaan materi bidang studi, terutama menyangkut bidang studi umum, keterampilan
mengajar, manajemen keles, dan motivasi mengajar. Hal ini terjadi karena sistem pendidikan
Islam kurang kondusif bagi pengembangan kompetensi profesional guru.
Ketiga, adalah faktor kepemimpinan, artinya tidak sedikit kepala-kepala madrasah yang
tidak memiliki visi, dan misi untuk mau ke mana pendidikan akan dibawa dan dikembangkan.
Kepala madrasah seharusnya merupakan simbol keunggulan dalam kepemimpinan, moral,
intelektual dan profesional dalam lingkungan lembaga pendidikan formal, ternyata sulit
ditemukan di lapangan pendidikan Islam. Pimpinan pendidikan Islam bukan hanya sering
kurang memiliki kemampuan dalam membangun komunikasi internal dengan para guru,
melainkan juga lemah dalam komunikasi dengan masyarakat, orang tua, dan pengguna
pendidikan untuk kepentingan penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas. Biasanya
pendekatan yang digunakan adalah pendekatan birokratis daripada pendekatan kolegial
profesional. Mengelola pendidikan bukan berdasar pertimbangan profesional, melainkan
pendekatan like and dislike, dengan tidak memiliki visi dan misi yang jelas.11
Faktor eksternal :

10
Mastuhu, Pemberdayakan Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos,

11
Mahfudh Djunaidi, 2005
Pertama, adanya perlakuan diskriminatif pemerintah terhadap pendidikan Islam.
Pemerintah selama ini cenderung menganggap dan memperlakukan pendidikan Islam sebagai
anak tiri, khususnya soal dana dan persoalan lain. Katakan saja, alokasi dana yang diberikan
pemerintah sangat jauh perbedaannya dengan pendidikan yang berada di lingkungan Diknas
(Mahfudh Djunaidi, 2005). Maka, terlepas itu semua, apakah itu urusan Depag atau
Depdiknas, mestinya alokasi anggaran negara pada pendidikan Islam tidak terjadi
kesenjangan, toh pendidikan Islam juga bermisi untuk mencerdaskan bangsa, sebagaimana
juga misi yang diemban oleh pendidikan umum.
Kedua, dapat dikatakan bahwa paradigma birokrasi tentang pendidikan Islam selama ini
lebih didominasi oleh pendekatan sektoral dan bukan pendekatan fungsional. Pendidikan
Islam tidak dianggap bagian dari sektor pendidikan, lantaran urusannya tidak di bawah
Depdiknas. Beberapa indikator yang menunjukkan kesenjangan ini yaitu mulai dari tingkat
ketersediaan tenaga guru, status guru, kondisi ruang belajar, tingkat pembiayaan (unit cost)
siswa, hingga tidak adanya standarisasi mutu pendidikan Islam, karena urusan pendidikan
Islam tidak berada di bawah Depdiknas12, dan lebih tragis lagi adalah sikap diskriminatif
terhadap prodak atau lulusan pendidikan Islam.
Ketiga, adalah adanya diskriminasi masyarakat terhadap pendidikan Islam. Secara jujur
harus diakui, bahwa masyarakat selama ini cenderung acuh terhadap proses pendidikan di
madrasah atau sekolah-sekolah Islam. Rata-rata memandang pendidikan Islam adalah
pendidikan nomor dua dan biasanya bila menyekolahkan anaknya di lembaga pendidikan
Islam merupakan alternatif terakhir setelah tidak dapat diterima di lembaga pendidikan di
lingkungan Diknas 13.
Untuk menuju pendidikan yang bermutu dan unggul, pendidikan Islam hendaknya
berupaya maksimal untuk membenahi dan melakukan penataan kembali terhadap masalah
internalnya. Manajemen pendidikan yang bersifat klasik harus ditinggalkan dan berfokus ke
manajemen berbasis mutu. Manajemen memiliki visi, missi, goals dan strategi yang akan
diterapkan dalam mencapai tujuan. Namun visi, misi dan goals pun jangan hanya akan
menjadi tumpukan berkas perencanaan yang tidak dapat diwujudkan secara nyata apabila kita
tidak memiliki rencana strategi yang baik dan tepat.14
Inovasi atau penataan fungsi pendidikan Islam harus dilakukan, terutama pada sistem
pendidikan persekolahan harus diupayakan secara terus menerus, berkesinambungan,
berkelanjutan, sehingga usahanya dapat menjangkau pada perluasan dan pengembangan

12
Abdul Aziz, Kompas, 2005
13
M Dahriman, 2005
14
M. Dahriman, 2005
sistem pendidikan Islam luar sekolah. Harus dilakukan inovasi kelembagaan dan tenaga
kependidikan. Tenaga kependidikan harus ditingkatkan etos kerja dan profesionalismenya.
Perbaikan pada aspek materi (kurikulum), pendekatan, dan metodologi yang masih
berorientasi pada sistem tradisional, perbaikan pada aspek manajemen pendidikan itu sendiri.
Tetapi usaha melakukan inovasi tidak hanya sekedar tanbal sulam, tetapi harus secara
mendasar dan menyeluruh, mulai dari fungsi, tujuan, metode, strategi, materi (kurikulum),
lembaga pendidikan, dan pengelolaannya. Dengan kata lain, penataan pendidikan Islam
haruslah bersifat komprehensif dan menyeluruh, baik pada tingkat konsep maupun
penyelenggaraan; tidak lagi adhoc dan incremental seperti sering terjadi di masa silam.15
Penataan fungsi pendidikan Islam, tentu dengan memperhatikan dunia kerja, sebab dunia
kerja mempunyai andil dan rentang waktu yang cukup besar dalam jangka kehidupan pribadi
dan kolektif. Perlu menyusun langkah-langkah strategi sebagai upaya untuk kembali
membangkitkan dan menempatkan pendidikan Islam pada peran yang semestinya dengan
berusaha menata ulang paradigma pendidikan Islam sehingga pendidikan Islam kembali
bersifat aktif-progresif.
Langkah-langkah strategi tersebut diantaranya, yaitu;
Pertama, Dikembangkan dan dijabarkan atas konsep dasar kebutuhanan manusia.
Perlu menempatkan kembali seluruh aktivitas pendidikan di bawah “kerangka dasar kerja
spritual”. Seluruh aktivitas intelektual dan proses pendidikan senantiasa dilandasi oleh nilai-
nilai agama, di mana tujuan akhir dari seluruh aktivitas pendidikan sebagai upaya
menegakkan ajaran agama dengan memanusiakan manusia dalam konteks kehidupannya.
Kedua, perlu ada perimbangan (balancing) antara disiplin atau kajian-kajian agama
dengan pengembangan intelektualitas dalam program kurikulum pendidikan. Sistem
pendidikan Islam harus menganut integrated curriculum, artinya perpaduan, koordinasi,
harmonis, dankebulatan materi-materi pendidikan dengan ajaran Islam, dan bukan separated
subject curriculum maunpun correlated curriculum.16 Maka dengan konsep integrated
curriculum, proses pendidikan akan memberikan penyeimbangan antara kajian-kajian agama
dengan kajian lain (non-agama) dalam pendidikan Islam yang merupakan suatu keharusan,
apabila menginginkan pendidikan Islam kembali survive di tengah perubahan masyarakat.
Ketiga, perlu dikembangkan pendidikan yang berwawasan kebebasan, sehingga insan
akademik dapat melakukan pengembangan keilmuan secara maksimal. Kenapa demikian,
karena selama masa kemunduran Islam, telah tercipta stigma dengan dikondisikan banyak
sekat dan wilayah terlarang bagi perdebatan, perbedaan pandapat dan pandangan yang

15
Azyumardi Azra, 2002 :17
16
S. Nasution, 1990 : 162
mengakibatkan sempitnya wilayah pengembangan intelektual rasional. Kesempatan
berijtihad yang selama ini di anggap tertutup juga menjadi malapetaka bagi perkembangan
pemikiran “rasional intelektual” dan ikut terkubur. Kita tidak mempunyai ruang bebas untuk
mengekspresikan pemikiran, pandangan, dan gagasan. Apabila muncul pemikiran baru yang
berbeda dengan mainstream, sering kali dianggap sebagai pengkaburan, penyesetan dan
penyimpangan dari agama dan kadang kala, kritik terhadapan pandangan dan pemikiran
keagamaanpun dianggap sebagai kritik terhadap otoritas Tuhan, nabi dan lain-lain. Agama
kemudian dijadikan sebagai otoritas baru untuk memasung dan mengkerdilkan (membonsai)
pemikiran-pemikiran inovatif yang muncul. Maka, dengan upaya menghilkangkan atau
minimal membuka kembali sekat dan wilayah-wilayah yang selama ini terlarang bagi
perdebatan dan kajian, akan menjadikan wilayah pengembangan intelektual semakin luas
yang tentu membuka peluang lebar bagi pengembangan keilmuan di dunia pendidikan Islam
pada khususnya dan Islam pada umumnya.
Keempat, mulai melakukan strategi pendidikan yang membumi pada kebutuhan nyata
masyarakat yang akan menghartar peserta didik pada kebutuhan akhirat. Mengembangkan
pendidikan Islam berwawasan kebudya dan masyarakat, pendidikan yang berwawasan
kebebasan dan demokrasi, pendidikan yang menyenangkan dan mencerdaskan. Diperlukan
pendidikan yang menghidupkan kembali tradisi intelektual yang bebas, dialogis, inovatif,
dan kreatif. Agama dan kebebasan berpikir merupakan dua mata uang logam yang tidak
dapat dipisahkan. Kebebasan berpikir mutlak diperlukan untuk melahirkan intelektual-
intelektual yang memiliki pandangan keagamaan yang baru, segar, dan jernih. Kita berharap
desain pendidikan Islam pada era informasi, era globalisasi, menjadi era berhembusnya
kebebasan berpikir, sehingga mendorong lahirnya pemikir-pemikir keagamaan yang
memiliki kemampuan bersaing, kritis, transformatif, inovatif, dan konstruktif dalam
menghadapi tantang perubahan.
PENUTUP

A. Kesimpulan

Untuk saat ini seharusnya lembaga Pendidikan Islam memerlukan adanya perencanaan
strategis, dengan menyusun visi, misi, tujuan, sasaran, metode, program dan kegiatan. Hal ini
dimaksudkan sebagai perencanaan jangka panjang untuk menjawab tantangan eksternal yang
semakin dinamis dan kompleks. Proses seperti ini perlu melibatkan sejumlah orang yang tak
kalah pentingnya dalam ikut mensukseskan Pendidikan Islam. Upaya mengikutsertakan
masyarakat dalam meningkatkan mutu pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan,
dukungan, tenaga, sarana dan prasarana serta pengawasan pendidikan, inilah yang dimaksud
penulis dengan istilah memberdayakan masyarakat. Sehingga keberhasilan pendidikan bukan
saja menjadi tugas dan tanggungjawab institusi pendidikan saja tetapi yang lebih penting
adalah bagaimana masyarakat dapat memberikan respon positif terhadap perkembangan
pendidikan yang ada saat ini, karena out-put pendidikan pada akhirnya akan bermuara pada
satu titik yaitu masyarakat.

B. Saran

Mengikutsertakan masyarakat dalam meningkatkan mutu pendidikan dengan berharap


mereka dapat menyumbang pemikiran, dukungan, tenaga, sarana dan prasarana serta
pengawasan adalah bagian dari memberdayakan masyarakat dalam ikut mensukseskan
Pendidikan Islam.
DAFTAR PUSTAKA

Abu Khalil, Abu Al-Ainain,, 1980, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Qur'an al-
Karim, T.t: Dar al-Fikr al-Arabi.
Ahmad Baharuddin, 2007, Pendidikan Alternatif Qaryah Thayyibah, LKiS,
Yogyakarta.
Abdul Aziz, [Direktur Madrasah dan Pendidikan Agama pada Sekolah Umum
Departemen Agama], Perlu Peraturan Pemerintah tentang Desentralisasi Madrasah,
Kompas, Jakarta, From: http://www. kompas.com/kompas-cetak/0211/26/DIKBUD/808.htm,
accses, sabtu, 16 April 2005, jam 15.30
Azyumardi Azra, 2002, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Rekonstruksi dan
Demokratisasi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
A. Malik Fadjar, 1999, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Fajar Dunia.
Ciput MSA M Dahriman, dan Mahfudh Djunaidi, Berlaku Adil terhadap Madrasah, From:
http://www. suaramerdeka. com/ harian/0211/12/kha1.htm, accses, Sabtu, 16 april 2005, jam
15.30
Faisal Ismail, 1998, Paradigma Kebudayaan Islam Studi Kritis dan Refleksi Historis,
Yogyakarta: Tiara Ilahi Press.
Fasli Jalal, 2001, Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah,
Yogyakarta: Aditia.
H. M. Arifin, 1991, Kapita Selekta Pendidikan, Jakarta Bina Aksara
Mastuhu, 1999, Pemberdayakan Sistem Pendidikan Islam, Jakarta: Logos.
Mastuhu, 2003, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad
21, Islam dan Kebebasan Berpikir, Form:http://www, polarhome.
com/pipermail/karawang/2003-January/000318.html. akses, 14/10/2003
Nasution, S.,1990, Penerbit Jemmars, Bandung.
Republika, Rabu, 17 Maret 2004
Syekh Ali Mahfuz, 1958, Hidayat al-Musyidin, Kairo: al-Matba’at al-Usmaniyyah al-
Misiyyah, Cet. VI..

Anda mungkin juga menyukai