Anda di halaman 1dari 20

Konsep kehendak Allah (masyiyatullah) dan kehendak manusia (masyiyatul

‘ibad) dalam proses pendidikan Islam


Muhammad Ridwan Fauzi¹, Andewi Suhartini², dan Adang Hambali³
Universitas Islam Sunan Gunung Djati Bandung¹,²,³
Email : mridwanfauzi17@gmail.com

ABSTRAK
Tujuan penelitian ini berfokus pada Konsep kehendak Allah (masyiyatullah) kehendak manusia
(masyiyatul ‘ibad) dalam proses pendidikan Islam dan ayat yang dipandang dapat mewakili
penelitian ini terdapat dalam al-Qur’an surah at-Takwir: 28-29. Manfaat penelitian ini adalah
untuk mengetahui Konsep kehendak Allah (masyiyatullah) kehendak manusia (masyiyatul ‘ibad)
dalam proses pendidikan Islam. Penelitian memakai Metode Kulaitatif dengan pendekatan
Library Research. Penelitian menunjukan, Masyiatullah yaitu kehendak Allah SWT yang bebas
atas alam raya dan penghuninya. Dia pelaksana yang dapat memaksakan kehendak-Nya. Dia
Maha Mengetahui hati manusia apakah mengarah kepada-Nya atau tidak. Kedua Masyiatul
ibad yaitu kehendak hamba dimana Allah telah menganugrahkan manusia dengan
kemampuannya untuk mengetahui yang haq dan yang batil. Seluruh Potensi manusia telah
dianugrahkan menjadi Abdillah, wakil tuhan, Kahalifatullah dan Dasar Ideal Pendidikan islam
berasal dari Al-Qur’an dan Hadist dan dikembangkan dalam pemahaman para ulama seperti
Ijtihad. Konsep Masyiatullah dalam Proses Pendidikan, 1) Nilai-nilai pedagogis yang terdapat
dalam pembahasan al- masyiatullah adalah: a) Al-Masyiah (masyiatullah) merupakan cikal
bakal munculnya pendidikan (niatnya pendidikan). b) Al-Masyiah merupakan warisan sosial
(Masyiatulibad). 2). berhubungan dengan direction kehendak dan keinginan manusia agar tidak
bertentangan dengan kehendak Pencipta, dan Pendidikan harus mempu mengantarkan
manusia sesuai dengan kehendak Allah 3). Teori KASB 4). fitrah dan al-bid’ah. Proses
Pendidikan menurut Ramayulis a. (1. Belajar, 2. Mengajar, dan 3. Pembelajaran) b.
pembelajaran harus dilandasi dengan prinsip-prinsip Al-Qur’an dan Hadits.

Kata Kunci. Konsep, Masyiatullah dan Masyaitul ‘Ibad, Pendidikan Agama Islam

ABSTRACT
The purpose of this study focuses on the concept of Allah's will (masyiyatullah) of human will
(masyiyatul 'ibad) in the process of Islamic education and the verses that are seen as
representative of this research are found in the Al-Qur'an surah at-Takwir: 28-29. The benefit of
this research is to know the concept of Allah's will (masyiyatullah) of human will (masyiyatul
'ibad) in the process of Islamic education. This research uses a qualitative method with a library
research approach. Research shows, Masyiatullah is the free will of Allah SWT for the universe
and its inhabitants. He is the executor who can impose His will. He knows the human heart
whether it leads to Him or not. The second is Masyiatul Ibad, namely the will of the servant
where Allah has bestowed upon humans the ability to know what is right and what is wrong. All
human potential has been awarded to become ‘Abdillah, God's representative, Khalifatullah and
the Ideal Basis of Islamic Education comes from the Al-Qur'an and Hadith and is developed in
the understanding of scholars such as Ijtihad. The concept of Masyiatullah in the Education
Process, 1) The pedagogical values contained in the discussion of al-masyiatullah are: a) Al-
Masyiah (masyiatullah) is the forerunner to the emergence of education (the intention of
education). b) Al-Masyiah is a social legacy (Masyiatulibad). 2). related to the direction of human
will and desire so that it does not conflict with the will of the Creator, and education must be able
to deliver humans according to God's will 3). KASB theory 4). fitrah and al-bid'ah. Educational
Process according to Ramayulis a. (1. Study, 2. Teaching, and 3. Learning) b. learning must be
based on the principles of the Qur'an and Hadith.

Keywords. Concept, Masyiatullah and Masyiatul 'Ibad, Islamic Religious Education

1
A. PENDAHULUAN
Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang berkesadaran dan
bertujuan, Allah telah menyusun landasan pendidikan yang jelas bagi seluruh
manusia melalui syariat Islam. Konsep pendidikan dalam Islam adalah,
Pertama Pendidikan merupakan kegiatan yang harus memiliki tujuan, sasaran
dan target yang jelas. Al-ghazali termasuk ke dalam kelompok sufistik yang
banyak menaruh perhatian yang besar terhadap pendidikan, karena
pendidikanlah yang banyak menentukan corak kehidupan suatu bangsa dan
pemikirannya. (Azhari 2021).
Masalah-masalah teologi pendidikan yang menjadi perhatian ontologi
adalah bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan diperlukan pendirian
mengenai pandangan manusia, masyarakat dan dunia. Pertanyaan-pertanyaan
ontologis ini berkisar pada, apa saja potensi-potensi dasar yang dimiliki
manusia? Serta bagaimana mengembangkan potensi-potensi itu. (Syafe’i 2013)
Yang menjadi masalah esensial bagi manusia adalah bagaimana
manusia harus berusaha, bertindak sesuai dengan kehendaknya, adapun
berhasil tidaknya usaha, tindakan tersebut, di sini berlaku kehendak Allah SWT,
tetapi dalam usaha itu manusia diberi Allah kebebasan. Jadi kebebasan itu
pemberian dari Allah juga. Bila kehendak Allah dengan kehendak manusia
sebagai pemberian Allah tersebut diharmoniskan atau dengan kata lain, bila
kehendak manusia itu ditundukkan atau diatur dengan kehendak Allah, maka
akan berjalan kehidupan manusia ini dengan selamat.(Suriyati 2020).
Kejadian-kejadian yang berlangsung selama ini tentu di luar kendali
manusia, umat Islam meyakini bahwa hal itu berada dibawah kendali dan
kekuasaan Allah, maka pengetahuan Allah lah yang akan menjadi dasar akan
terjadinya kejadian-kejadian di alam semesta ini, para alim ulama menyebut
kalimat ini dengan kata sunnatullah yang terkadang para awwam menyebut
dengan kata-kata hukum alam. (Putra and Mutawakkil 2020)
Sunnatullah atau Ketentuan Allah akan alam semesta terdapat
kesesuaian dengan pengetahuan dan isi yang juga dapat dikatakan sebagai
takdir, Sunnatullah ini merujuk kepada qudrat (kekuasaan) Allah.
Sesungguhnya, segala entitas yang diciptakan tentu tak lain karena Allah Swt.
Allah dapat berbuat apapun yang dikehendaki. Adapun pendapat lain yang

2
menyatakan, bahwa qada’ berarti kehendak manusia dan qadar adalah
ketetapan Allah atau juga sebaliknya. Namun, keduanya tidak masalah karena
keduanya berarti takdir baik dan buruk yang harus kita imani sebagai seorang
muslim. Maka tentu iman kepada ketentuan dan kepastian Allah, mempunyai
arti bahwa dengan meyakini semua yang terjadi di alam semesta dengan
kategori sudah, sedang, ataupun yang akan terjadi maka semuanya itu telah
Allah catat di lauhudl mahfudz dan telah ditulis pada zaman sebelum terjadi
apa-apa. Maka umat mukmin wajib mengimani kedua takdir ini.(Harsa 2008)
"Ramai orang menyangka bahwa qada' dan qadar bermakna Allah SWT
memaksa hamba mengikut apa yang telah ditetapkan. Hakikatnya bukan
begitu. Qada' dan qadar ialah pemberitahuan bahwa Allah SWT mengetahui
segala usaha hamba dan ianya terjadi bertepatan dengan ilmu-Nya.(Syed
Abdul Rahman 2006)
Fokus penelitian ini adalah tentang Masyiatullah (kehendak Allah) dan
Masyiatul ‘Ibad (kehendak Manusia) dalam Proses Pendidikan Islam dan ayat
yang dipandang dapat mewakili penelitian ini terdapat dalam al-Qur’an surah
at-Takwir: 28-29. Manfaat penelitian ini adalah untuk mengetahui Konsep
kehendak Allah (masyiyatullah) kehendak manusia (masyiyatul ‘ibad) dalam
proses pendidikan Islam.

B. METODOLOGI PENELITIAN
Artikel Penelitian ini memakai pendekatan kualitatif, yang bersifat
kualitatif studi pustaka. Tahapan penelitian dilaksanakan dengan menghimpun
sumber kepustakaan, baik primer maupun sekunder, dengan
mengklasifikasikan data-data berdasarkan formula penelitian (Darmalaksana
2020). Menurut Mestika Zed, penelitian kepustakaan adalah penelitian yang
dilakukan di perpustakaan dimana objek penelitian biasanya digali lewat
bergam informasi kepustakaan (buku, ensiklopedi, jurnal ilmiah, koran, majalah
dan dokumen). (Zed 2004)
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah teknik dokumentasi. Dokumentasi adalah teknik mencari data
mengenai hal- hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat

3
kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, legger, agenda dan sebagainya.
(Arikunto 2006)
Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data-data, menelaah,
mengakaji serta mendalami tentang konsep masyiatullah dan masyiatul ‘ibad
dalam proses Pendidikan islam. Adapun analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah analisis deskriptif yaitu menganalisis data dengan cara
mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul
sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku
untuk umum atau generalisasi.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Kehendak Allah (masyiyatullah)
Kalimat al-Masyiah bila dipandang dari struktur katanya adalah masdar

dari kata kerja (fi’il) ‫ شاء يشاء شيئا مشيئة‬, dikatakan ‫( كل شيئ يشيئة‬sesuatu
itu dengan masyiah), dan masyiah mempunyai makna iradah yang berarti
berkehendak atau menghendaki sesuatu.

Terdapat dua kalimat yang sering dipakai yaitu: 1) kalimat ‫ما شاء هللا‬
mengandung makna betapa besar kehendak Allah yang menunjukkan

kekaguman, 2) kalimat ‫ ان شاء هللا‬dipakai ketika mengatakan kesiapan berjanji,


yang mengandung makna jika Allah berkehendak. (Ismail, Zahrudin, and
Suhartini 2020)
Secara terminologis, masyiah ialah mengimani bahwa Allah telah
menghendaki segala apa yang ada di langit dan di bumi, tiada sesuatupun yang
terjadi tanpa kehendak-Nya. Apa yang dikehendaki Allah itulah yang terjadi dan
apa yang tidak dikehendaki Allah tidak akan terjadi(Al-Atsari 2006) Pendapat ini
banyak diyakini oleh penganut ahlussunnah wal jama’ah. Sementara pendapat
lain mengatakan bahwa masyiatullah berarti kehendak Allah. Pada dasarnya
antara masyiah dan istilah idzn (izin) adalah sama. Bedanya, izin Allah hanya
mengandung satu sisi yaitu efektif ketika Ia ada. Adapun kehendak Allah
(masyiatullah) itu mengandung dua sisi, yaitu negatif dan positif.
4
Pendapat lainnya mengatakan, masyiah disebut sebagai sifat azali (tidak
berawal) Allah tanpa diketahui bagaimana caranya. Semua perbuatan manusia
itu terjadi dengan kehendak-Nya. Imam Syafi'i mengatakan bahwa kehendak itu
adalah iradah Allah, sebagaimana firman-Nya.

ِ ُّ ‫اَّلل ر‬ ِ
﴾٢٩ ﴿ ‫ني‬
َ ‫ب الْ َعالَم‬َ ُ‫َوَما تَ َشاءُو َن إاَّل أَ ْن يَ َشاءَ ا‬
Artinya : (yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan
yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali
apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam (at-Takwir: 29).
Tafsir kementrian Agama RI dalam Ayat ini, Allah mengatakan bahwa
manusia tidak mempunyai kehendak sendiri untuk berbuat sesuatu yang
dikehendakinya bilamana tidak sesuai dengan kehendak Allah.
Ayat ini menjelaskan bahwa kehendak itu milik Allah dan tidak dimiliki
oleh mahluk-Nya. Kehendak mahluk tidak pernah ada kecuali dikehendaki-Nya.
Karena itulah Rasulullah bersabda, “Janganlah kalian mengatakan, apa yang
dikehendaki Allah dan dikehendaki si fulan. Tetapi katakanlah, “apa yang
dikehendaki Allah, lalu dikehendaki si fulan” (HR. Abu Dawud, Ahmad dalam
Musnadnya).(Al-Atsari 2006)
Seperti halnya Imam Syafi’i, kaum ahlussunnah juga meyakini bahwa
konsep mengenai masyiah sama dengan iradah. Sifat Iradah dan masyiah itu
mutlak milik Allah yang Maha Berkehendak dan Maha melakukan apa yang
dikehendaki-Nya, (Adnan 2020) sebagaimana telah ditegaskan-Nya dalam al-
Qur’an surah al-Buruj, ayat 16:

ُ ‫ال لِ َما يُِر‬


‫يد‬ ٌ ‫فَعا‬
Artinya : Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya

Ahlussunnah wal Jama’ah mengimani dan menetapkan bahwa Allah


SWT memiliki sifat Iradah dan masyiah sesuai dengan ketinggian-Nya dan
kemuliaan-Nya. Sifat iradah dan masyiah yang disebutkan dalam al-Qur’an dan
as-Sunnah ada dua macam, (Al-Atsari 2006) yaitu Iradah Qadariyah (kauniyah)
dan Iradah Syar’iyyah.

5
Maka, masyiatullah yaitu kehendak Allah SWT yang bebas atas alam
raya dan penghuninya. Dia pelaksana yang dapat memaksakan kehendak-Nya.
Dia Maha Mengetahui hati manusia apakah mengarah kepada-Nya atau tidak.
(Syafe’i 2013).
Interpretasi dari hal diatas adalah "Masyiah" adalah kata benda dari kata
kerja Arab yang artinya adalah "kehendak" atau "menghendaki". Ahlussunnah
wal Jama'ah meyakini bahwa Allah memiliki sifat "iradah" dan "masyiah" yang
mutlak dan sesuai dengan kemuliaan-Nya. Kehendak Allah adalah yang bebas
dan pelaksana yang dapat memaksakan kehendak-Nya. Tidak ada yang terjadi
tanpa kehendak-Nya dan sifat ini memiliki dua sisi, positif dan negatif.
Dalam kesimpulannya, masyiatullah adalah kehendak Allah yang bebas
atas alam raya dan penghuninya, yang dapat memaksakan kehendak-Nya dan
Maha Mengetahui hati manusia apakah mengarah kepada-Nya atau tidak.
2. Kehendak manusia (masyiyatul ‘ibad)
Masyiatul ibad yaitu kehendak hamba dimana Allah telah
menganugrahkan manusia dengan kemampuannya untuk mengetahui yang
haq dan yang batil. Pengetahuan itu ditanamkan Allah pada diri manusia
berupa potensi untuk mengenal-Nya serta mengenai pengutusan para rasul,
penurunan al-qur’an dan lain-lain.(Syafe’i 2013)
Penelitian (OTHMAN, ISMAIL, and BAKAR 2014) meskipun kehendak
adalah subjektif, sarjana Islam dan Barat tetap memberi penumpuan bagi
memahami aktiviti-aktiviti hati ini. Diskusi mengenai niat adalah paling banyak
diberi penumpuan. Menurut Darraz (1998: 42), istilah niat adalah merupakan
satu gerakan kehendak yang cenderung ke arah sesuatu sama ada
mencapainya atau menjauhinya. Niat dianggap pemula penting bagi tindakan
yang dikehendaki berdasarkan tafsiran akal yang memahami sesuatu (Chopra
2005: 170, Blackburn 1996: 196). Menurut Darraz, niat sangat memerlukan
kepada tiga perkara iaitu memahami apa yang sedang dilakukan, menghendaki
untuk melakukannya dan menghendaki bertepatan dengan tugasan dan
kewajipan (Darraz 1998: 424). Kesemua ini menunjukkan niat sangat berkaitan
dengan tindakan, ilmu dan kudrat yang juga merupakan syarat-syarat penting
bagi mencapai pahala dan mendapat pujian. Hal ini turut disebut oleh al-
Ghazaliy (t.t.: 4/285) yang mengatakan pelengkap niat adalah ilmu dan amal.

6
Malah segala amalan tidak sempurna melainkan dengan gandingan ilmu,
kehendak dan kudrat (al-‘Ajam 2000: 841, 842).

Hal yang telah diyakini di dalam hati dengan sebenar benarnya, lalu
dilaksanakan dengan sebenar-benarnya, dengan mengamalkannya dan
diucapkan dengan sebenar benarnya Itulah arti dari pada iman yang
sebenarnya. Pada rukun iman keenam, yang telah dianut oleh Ahlussunnah
Wal Jamaah ini ialah Iman kepada ketentuan dan keputusan Allah. Dari segi
bahasa, qada’ artinya memutuskan. Qada’ ialah pengetahuan Allah terhadap
kejadian yang sudah terjadi, sedang terjadi dan akan terjadi (keputusan Allah).
Dari segi bahasa, qadar berarti ketentuan. Qadar ialah ketentuan yang Allah
berlakukan sesuai dengan pengetahuan atau kehendak Allah (kapasitas dari
keputusan Allah). Seperti contoh ini; santri akan menikah, maka akan
mempunyai anak dan akan menjadi ulama, semua itulah qada’ (keputusan).
Sedangkan, jika santri tersebut sudah menikah, maka itulah qadar (ketentuan).
(Putra and Mutawakkil 2020)
Banyak kesalahpahaman yang terjadi, bahwa sesuatu yang terjadi
kepada manusia adalah kehendak Allah, kejelekan dan kemaksiatan manusia,
dinisbatkan secara serta merta kepada Allah. Memang, bahwa sesuatu yang
terjadi kepada manusia adalah kehendak Allah itu dibenarkan, namun setiap
manusia juga mempunyai kehendak sendiri. Jika, manusia tersebut mempunyai
kehendak maka kehendak itulah yang nantinya dipertanggung jawabkan
kepada Allah. Dengan begitu, maka manusia akan memahami dan mengetahui
bahwa apa yang mereka lakukan muncul dari setiap yang mereka perbuat, hal
yang biasa disebut sebagai hukum kausalitas (Muhyiddin dan Badi’ati, 2019).
Karena itu, menjadi tanggung jawab manusia itu sendiri yang akan
dipertanyakan tanggung jawabnya oleh Allah. (Putra and Mutawakkil 2020)
Pemahaman ilmu dan bagaimana mendapatkannya penting untuk
dibahas karena ada kaitannya dengan konsep Rezeki dan juga konsep Qadha
dan Qadar yang masuk keranah keyakinan sebagai seorang muslim. Ilmu
bermanfaat merupakan bagian dari rezeki yang berikan oleh Allah swt untuk
keperluan mereka. (Rachman, Nuwadjah, and Suhartini n.d.)

7
Allah SWT telah memerintahkan kita untuk memperhatikan dan
merenungkan Al- Qur’an dengan menggunakan akal semisal dalam ayat berikut
ini:

‫أَفَ ََل يَتَ َدباُرو َن ٱلْ ُقْرءَا َن‬


“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an?” (QS.
Muhammad: 24)
Dalam Tafsir An-Nafahat Al-Makkiyah / Syaikh Muhammad bin Shalih
asy-Syawi, Surat Muhammad ayat 24: Allah memerintahkan untuk
mentadabburi ayat Al Qur’an dan memahaminya dan melarang dari ingkar
kepada ayat Al Qur’an, Allah berkata : Apakah mereka tidak mentadabburi Al
Qur’an, dan menjadikan akalnya serta pikiran-pikirannya berpikir atasnya ?!
Akan tetapi hati-hati mereka terkunci, sehingga mereka tidak paham dan
berpikir.
Dalam tafsir Al-Wajiz, Syaikh Wahbah Az-Zuhaili menyatakan bahwa
Allah memerintahkan untuk mentadabburi dan memahami Al-Qur’an. Allah swt
juga melarang mengingkar ayatnya (Al-Zuhaily, 2001).
Kesimpulannya Masyiatul ‘ibad adalah kehendak manusia untuk
mengetahui kebenaran dan mengenal Allah, dan pengetahuan itu telah
ditanamkan oleh Allah pada diri manusia. Niat dianggap penting bagi tindakan
yang dikehendaki berdasarkan tafsiran akal yang memahami sesuatu, dan niat
sangat berkaitan dengan tindakan, ilmu, dan kudrat yang merupakan syarat
penting untuk mencapai pahala dan mendapat pujian.
3. Aliran Pemahaman tentang Kehendak (Masyiah)
Qada adalah pengetahuan Allah terhadap kejadian yang sudah, sedang,
dan akan terjadi, sementara qadar adalah ketentuan yang Allah berlakukan
sesuai dengan pengetahuan atau kehendak-Nya. Manusia harus memahami
bahwa setiap tindakan yang dilakukan merupakan kehendak manusia sendiri
dan dipertanggung jawabkan kepada Allah. Ilmu bermanfaat adalah bagian dari
rezeki yang diberikan oleh Allah, dan sebagai muslim kita diminta untuk
memperhatikan dan merenungkan Al-Qur'an dengan menggunakan akal.
Beberapa pendapat tentang kehendak dalam beberapa paham,
Pertama, aliran Qadariyah dan Mu’tazilah. Mereka berpendapat bahwa

8
manusialah yang berkehendak dan mewujudkan segala perbuatannya. Istilah
Qadariyah, berasal dari kata qadr yang artinya ketetapan, hukum, ketentuan,
ukuran dan kekuatan; juga mengandung pengertian “apa yang dikehendaki
Allah atas semua hamba -Nya dan ketergantungan kehendak kepada sesuatu
pada waktunya”. Namun, istilah qadr juga berarti “ketergantungan perbuatan
hamba pada kekuatannya sendiri”. (Haq 2007)
Kedua, aliran Jabariyah dan Asy-Ariyah, berpendapat bahwa Tuhan-lah
yang berkemampuan dalam berbuat dan menciptakan sesuatu, termasuk
perbuatan manusia itu sendiri. Ketiga, aliran Maturidiyyah, berpendapat bahwa
perbuatan manusia diciptakan Allah. Namun aliran Maturidiyyah membagi
perbuatan manusia pada dua bentuk, yaitu: perbuatan Tuhan dan perbuatan
yang diciptakan manusia sendiri. Perbuatan Tuhan adalah dalam bentuk
penciptaan daya-daya dalam diri manusia, sedangkan perbuatan manusia
adalah pemakaian daya-daya yang diciptakan Tuhan. (Haq 2007)
Namun, pandangan kebebasan kehendak ini mendapat tentangan Imam
al-Ash’ariy (874-936), baginya manusia tidak mempunyai pilihan mutlak
terhadap perbuatannya. Semua yang dilakukan manusia berdasarkan
ketentuan Allah. Menurut al-Ash’ariy, Allah mencipta perbuatan manusia
(Abbas 2002). Ini berdasarkan teori al-Kasb yang menyatakan bahwa walaupun
manusia mempunyai kehendak, tetapi pada hakikatnya ia merupakan ciptaan
Allah dan perbuatan-Nya, yang sebenarnya peranan kehendak manusia
hanyalah majaziy. Allah memiliki kehendak mutlak dalam arti bahwa segala
sesuatu yang terjadi adalah bergantung sepenuhnya dengan kehendak Allah
dan semuanya terjadi kerana kehendak-Nya. Kehendak yang ada pada diri
manusia pada hakikatnya adalah kehendak Allah. (Abbas 2002)
Namun, para pengikut al-Ash’ariy seperti al-Baqilaniy (950-1013) dan al-
Ghazaliy (1059-1111) mempunyai pendapat yang tersendiri. Menurut al-
Baqilaniy, ada perbuatan manusia yang terjadi dengan kehendaknya dan ada
perbuatan yang manusia terpaksa melakukannya. Malah, manusia mempunyai
kebebasan dalam menentukan perbuatan yang diingininya (Abbas 2002).
Dalam hal ini, al-Baqilaniy lebih mendekati pendapat Muktazilah kerana
menyokong kebebasan kehendak manusia. Manakala Imam al- Ghazaliy pula
tidak mengingkari ikhtiar manusia dan membedakan antara perbuatan yang

9
bersifat ‘ikhtiyariy (berdasarkan pilihan dan ikhtiar) dengan perbuatan yang
sifatnya tabii dan ‘idhtirariy (terpaksa). Perbuatan ‘ikhtiyariy sentiasa
mempunyai prinsip (mabda’), sarana (wasat) dan objektif akhir (kamal) yang
tiada pada tabii dan ‘idhtirariy. Namun, pilihan manusia memerlukan sokongan
dari Allah (Nukman Abbas 2002: 162; al-Ghazaliy 1975: 196).
Hal yang telah diyakini di dalam hati dengan sebenar benarnya, lalu
dilaksanakan dengan sebenar-benarnya, dengan mengamalkannya dan
diucapkan dengan sebenarbenarnya Itulah arti dari pada iman yang
sebenarnya. Pada rukun iman keenam, yang telah dianut oleh Ahlussunnah
Wal Jamaah ini ialah Iman kepada ketentuan dan keputusan Allah. Dari segi
bahasa, qada’ artinya memutuskan. Qada’ ialah pengetahuan Allah terhadap
kejadian yang sudah terjadi, sedang terjadi dan akan terjadi (keputusan Allah).
Dari segi bahasa, qadar berarti ketentuan. Qadar ialah ketentuan yang Allah
berlakukan sesuai dengan pengetahuan atau kehendak Allah (kapasitas dari
keputusan Allah). Seperti contoh ini; santri akan menikah, maka akan
mempunyai anak dan akan menjadi ulama, semua itulah qada’ (keputusan).
Sedangkan, jika santri tersebut sudah menikah, maka itulah qadar (ketentuan).
(Putra and Mutawakkil 2020)
Dalam pembahasan takdir, kita sering mendengar istilah qada’ dan
qadar. Dua istilah yang serupa tapi tak sama. Mempunyai makna yang sama
jika disebut salah satunya, namun memiliki makna yang berbeda tatkala
disebutkan bersamaan. Jika disebutkan qada’ saja maka mencakup makna
qadar, demikian pula sebaliknya. Namun jika disebutkan bersamaan, maka
qada’ maknanya adalah sesuatu yang telah ditetapkan Allah pada makhluk-
Nya, baik berupa penciptaan, peniadaan, maupun perubahan terhadap
sesuatu. Sedangkan qadar maknanya adalah sesuatu yang telah ditentukan
Allah sejak zaman azali, dengan demikian qadar ada lebih dulu kemudian
disusul dengan qada’. (Wildan and Ahmad 2019)
Pengertian Qada’ dan Qadar, menurut bahasa Qada’ memiliki beberapa
pengertian yaitu: hukum, ketetapan, kehendak, pemberitahuan, penciptaan.
Menurut istilah Islam, yang dimaksud dengan qada’ adalah ketetapan Allah
sejak zaman Azali sesuai dengan iradah-Nya tentang segala sesuatu yang
berkenan dengan makhluk. Sedangkan Qadar, arti qadar menurut bahasa

10
adalah: kepastian, peraturan, ukuran. Adapun menurut Islam qadar perwujudan
atau kenyataan ketetapan Allah terhadap semua makhluk dalam kadar dan
berbentuk tertentu sesuai dengan ridah- Nya. (Wildan and Ahmad 2019).

ِ ‫يك ِِف ٱلْم ْل‬ ِ ‫ض وََل ي ت‬


ٌ ‫اخ ْذ َولَ ًدا َوََلْ يَ ُكن لاهُۥ َش ِر‬ ِ ِ
‫ك‬ ُ ُ ‫ٱلاذى لَهُۥ ُم ْل‬
َ ْ َ ِ ‫ك ٱل اس ََٰم ََٰوت َو ْٱْل َْر‬
‫َو َخلَ َق ُك ال َش ْى ٍء فَ َق اد َرهُۥ تَ ْق ِد ًيرا‬
Artinya: Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak
mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan(Nya), dan
dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya
dengan serapi-rapinya. (QS .Al- Furqan ayat 2).
Ayat ini adalah salah satu ayat dalam Al-Qur'an yang mengungkapkan
keagungan dan kebesaran Allah SWT. Ayat ini menyatakan bahwa segala
sesuatu di langit dan di bumi adalah milik Allah semata, Dia adalah satu-
satunya penguasa yang tidak memiliki anak dan tidak memiliki sekutu dalam
kekuasaannya. Allah SWT adalah pencipta segala sesuatu, termasuk segala
makhluk hidup dan materi di bumi dan di langit. Dia juga menetapkan ukuran
dan batas-batas untuk segala sesuatu dengan sangat rapi dan detail.
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah SWT adalah satu-satunya sumber
kekuasaan dan keberadaan, dan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini
adalah milik-Nya. Ini juga menunjukkan bahwa Allah SWT adalah pencipta yang
bijaksana dan memiliki kekuasaan penuh atas segala sesuatu. Oleh karena itu,
sebagai makhluk-Nya, kita harus selalu mengakui kebesaran dan kekuasaan
Allah SWT dan senantiasa berusaha mematuhi perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya.
Penelitian ini menekankan pembahasan mengenai logika pemahaman
manusia terhadap karunia Allah yang diberikan kepada manusia. Secara
spesifik yang dimaksudkan istilah karunia Allah dalam konteks tulisan ini,
berupa karunia memberikan potensi kehendak manusia (free will). Dalam
mendiskusikan kehendak manusia akan ditemukan istilah kehendak bebas.
Kehendak bebas manusia merupakan isu filsafat yang sudah berlangsung dua
ribu tahun. Karenanya, setiap filsuf terkemuka pernah menyinggung isu

11
kehendak bebas manusia. Kehendak bebas manusia sangat erat dengan
tanggung jawab manusia sebagai wakil Allah untuk bebas mengatur tanggung
jawab kekhalifahan sesuai dengan prinsip sumber kebenaran universal.
Karenanya, pilihan yang menjadi kehendak bebas manusia berada pada
konteks yang rasional (rational agents) dalam langkah dan Tindakan (course of
action). (Achmad 2015)
Dengan kata lain, sesuai kehendak, manusia bebas menentukan sikap
dan perilakunya. Misalnya, berupa kehendak bebas yang tidak terikat dengan
prinsip kebenaran yang bersumber dari Allah atau kehendak bebas memilih
berpegang pada prinsip kebenaran yang bersumber dari Allah. Dari perspektif
teologis, kerangka kehendak manusia dapat dipahami dari setiap kehendak
yang didasarkan daya dorong diri sendiri atau kehendak yang didasarkan pada
daya dorong aturan yang bersumber dari kehendak Allah yang sudah dijelaskan
melalui teks kewahyuan. Jadi, kehendak bebas manusia merupakan hak
otonom dan martabat manusia yang selaras dengan cinta dan persahabatan.
(Achmad 2015)
Meskipun Allah memberikan aturan kepada manusia, namun manusia
telah diberikan kesempatan untuk memilih kehendak yang didasarkan pada
daya dorong manusia: apakah memilih daya dorong dari nafs atau daya dorong
dari prinsip kebenaran Allah Jalla Jalaluhu. Dalam ilmu tasawuf, daya dorong
kehendak manusia bisa bersumber dari angan-angan kosong dan kebutuhan
biologis. Selain itu, daya dorong kehendak manusia bisa bersumber dari
pengaruh eksternal yang memberikan pengaruh secara lembut, baik pengaruh
kehendak biologis dan pengaruh kehendak ‘iblis’. Iblis merupakan simbol
potensi buruk yang melekat pada daya dorong kehendak manusia dan symbol
potensi buruk yang terbentuk dari kondisi lingkungan pembentuknya. Dalam
teks kewahyuan Al Qur’an, Iblis merupakan sosok yang menjadi makhluk Allah
Jalla Jalaluhu yang diciptakan dari Api yang telah mendapatkan kutukan dari
Allah Jalla Jalaluhu sekaligus mendapatkan kebebasan untuk mempengaruhi
kehendak manusia. Dengan demikian, Iblis bisa mendorong kehendak manusia
berbuat tidak baik, berpikiran ilusi, berbuat anarkis dan sadis. (Achmad 2015)
Jadi, kehendak manusia dapat dipahami dari dua kehendak: pertama,
kehendak terikat. Kedua, kehendak bebas. Kehendak terikat dapat

12
dikategorikan terikat dengan faktor negatif dan faktor positif. Faktor negatif
berupa prinsip kejahatan yang mendorong pada sikap dan perilaku buruk dan
memilih kehendak yang merugikan kemanusiaan, keadilan, dan persamaan.
Sedangkan, faktor positif berupa prinsip prinsip kebenaran yang mendorong
pada pemenuhan hati untuk berjumpa dengan Allah dan bersikap sesuai
dengan darma kehidupan yang baik. Adapun kehendak bebas yang menjadi
poin kedua kehendak manusia merupakan bentuk kehendak yang bebas
bersikap dan berperilaku sesuai dengan pilihannya sendiri (Achmad 2015).
Penelitian ini menyoroti pentingnya pemahaman manusia terhadap
karunia Allah yang diberikan kepada manusia, khususnya dalam bentuk potensi
kehendak bebas manusia. Konsep kehendak bebas manusia merupakan topik
filsafat yang telah dibahas oleh banyak filsuf selama dua ribu tahun. Oleh
karena itu, setiap individu bebas untuk menentukan pilihan dan perilaku
mereka, baik itu pilihan yang didasarkan pada prinsip kebenaran yang
bersumber dari Allah atau kehendak bebas yang tidak terikat dengan prinsip
kebenaran tersebut. Meskipun Allah memberikan aturan kepada manusia,
manusia tetap diberikan kesempatan untuk memilih kehendak yang sesuai
dengan dorongan internal mereka, apakah itu berasal dari nafsu atau prinsip
kebenaran Allah. Selain itu, kehendak manusia juga dapat dipengaruhi oleh
faktor-faktor eksternal seperti pengaruh kehendak biologis atau pengaruh
kehendak iblis yang dapat mendorong manusia untuk berperilaku buruk dan
merugikan kemanusiaan.
Dalam perspektif teologis, kehendak manusia dapat dipahami dari dua
jenis, yaitu kehendak terikat dan kehendak bebas. Kehendak terikat dapat
dibagi lagi menjadi faktor negatif dan positif. Faktor negatif adalah prinsip
kejahatan yang mendorong manusia untuk berperilaku buruk dan merugikan
kemanusiaan, sedangkan faktor positif adalah prinsip kebenaran yang
mendorong manusia untuk berperilaku sesuai dengan darma kehidupan yang
baik dan mendekatkan diri pada Allah. Sementara itu, kehendak bebas adalah
bentuk kehendak yang memberikan kebebasan bagi manusia untuk memilih
dan bertindak sesuai dengan pilihan mereka sendiri.
Dalam teks kewahyuan Al Qur’an, Iblis dianggap sebagai sosok yang
menjadi makhluk Allah yang diciptakan dari Api dan memiliki kemampuan untuk

13
mempengaruhi kehendak manusia. Oleh karena itu, manusia harus berhati-hati
dalam memilih kehendak mereka dan selalu mengikuti prinsip kebenaran yang
bersumber dari Allah. Konsep kehendak manusia dan karunia Allah ini sangat
penting dalam pendidikan Islam karena menunjukkan bahwa manusia memiliki
tanggung jawab untuk memilih dan bertindak secara rasional dan moral dalam
menjalani hidup mereka.

4. Konsep Masyiah dalam Proses Pendidikan Islam


Pembahasan masyiatullah ini meliputi dua dimensi masyiah. Pertama
masyiatullah yaitu kehendak Allah SWT yang bebas atas alam raya dan
penghuninya. Dia pelaksana yang dapat memaksakan kehendak-Nya. Dia
Maha Mengetahui hati manusia apakah mengarah kepada-Nya atau tidak.
Kedua Masyiatul ibad yaitu kehendak hamba dimana Allah telah
menganugrahkan manusia dengan kemampuannya untuk mengetahui yang
haq dan yang batil.
Perspektif agama meniscayakan manusia dengan keseluruhan potensi
yang telah dianugerahkan, menjadi makhluk yang berkesempatan bertugas
sebagai ‘wakil Tuhan’ dalam rangka memelihara dan membimbing seluruh
semesta guna mencapai tujuan penciptaannya yaitu sebagai khalifatullah4 yang
pada dasarnya merupakan tanggung jawabnya dalam rangka pengabdiannya
sebagai Abdullah5. Tujuan pendidikan Islamsama dengan penciptaan manusia,
yakni menjadi manusia pengabdi Allah‘abdullah’ sekaligus delegasi Tuhan
pengatur alam semesta ‘khalifatullah’. Apa yang menjadi benang merah dalam
menemukan titik temu masyiatullah ‘kehendak Allah’ dan masyiatul ‘ibad
‘keinginan yang dikehendaki manusia’ hanyalah dapat tercapai melalui
Pendidikan.(Mahrus 2011)
Dasar ideal pendidikan agama Islam ialah memberikan arah kepada
tujuan yang akan dicapai dan sekaligus sebagai landasan untuk berdirinya
sesuatu. Dasar Pendidikan Islam adalah identik ajaran Islam itu sendiri.
Keduanya berasal dari sumber yang sama yaitu Al-Qur’an dan Hadits.
“Kemudian dasar tadi dapat dikembangkan dalam pemahaman para ulama
dalam bentuk Al-Qur’an, sunah (hadits), perkataan, perbuatan, dan sikap para
sahabat, dan ijtihad.” (Fitriani, Eq, and Suhartini 2021)

14
Tentunya di dalam kewajiban manusia untuk mengurusi alam yang ada,
terdapat aturan Qurani yang diberikan Allah swt untuk manusia laksanakan
sebagai sistem kehidupannya. Akan tetapi, manusia bisa memilih untuk
mengikutinya atau tidak karena mereka memiliki potensi kehendak bebas yang
ada dalam dirinya. Secara alaminya, akal, ciptaan Allah swt ini, menuntut
manusia untuk mengikuti Syariat (Amin 2018)
Di dalam Islam, amal dilakukan setelah ilmu bahkan tidak sah amal jika
tanpa ilmu (Lubis 2016). Umat Islam dituntut untuk belajar dan mendapatkan
pengetahuan. Kemunduran umat ini salah satunya karena keberadaan ilmu
pengetahuan tidak lagi dimiliki mereka karena bangsa yang mundur pasti
bangsa yang meremehkan ilmu (Sudjatnika 2017). Walaupun sebagian dari
umat Islam ada yang memahami bahwa ilmu hanya rizki dari Allah SWT saja
dan tidak perlu berusaha keras untuk mendapatkannya sehingga
menyepelekan proses belajar sungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Untuk
mengetahui hakekat belajar atau menuntut ilmu di dalam Islam, oleh karena itu,
penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui bagaimana sesungguhnya
manusia mendapatkan pengetahun secara teologis dan dilihat dari sisi
kehendak manusia.
Pengetahuan itu ditanamkan Allah pada diri manusia berupa potensi
untuk mengenal-Nya serta mengenai pengutusan para rasul, penurunan al-
qur’an dan lain-lain. Ayat yang dipandang mewakili untuk mendasari
masyiatullah dan Masyiatul ibad adalah Al-Quran surat At-Takwir: 28-29.
Nilai-nilai pedagogis yang terdapat dalam pembahasan al- masyiatullah
adalah: a) Al-Masyiah (masyiatullah) merupakan cikal bakal munculnya
pendidikan (niatnya pendidikan). b) Al-Masyiah merupakan warisan sosial
(Masyiatulibad). Al-masyiah merupakan warisan sosial artinya masyiatulibad
(bukan masyiatullah) adalah harus melalui proses pewarisan dalam hal ini
melalui proses yang dilakukan pendidik kepada peserta didik. Dari warisan
tersebut, maka dapat diartikan bahwa Pendidikan Islami secara teologis Al-
masyiah adalah ruh (core) nya pendidikan Islami yang memiliki daya dorong
dalam mencapai tujuannya. Masyiatullah harus menjadi cermin bagi
masyiatulibad.(Syafe’i 2013).

15
Konsep Masyiatullah dalam Proses pendidikan 1). berhubungan dengan
direction kehendak dan keinginan manusia agar tidak bertentangan dengan
kehendak Pencipta, dan 2). Pendidikan harus mempu mengantarkan manusia
sesuai dengan kehendak Allah. (Rudi Ahmad Suryadi 2014)
Menururut Paham Asy’ariyyah jika dikaitkan dengan pandangannya
mengenai pendidikan Islam maka manusia sesuai dengan teori kasbnya bahwa
manusia dapat berkehendak untuk melaksanakan proses pendidikan Islam,
adapun mengenai berhasil atau tidaknya proses tersebut maka Tuhanlah yang
berkuasa menentukannya, sebab manusia hanya dapat berkehendak akan
tetapi Tuhanlah yang menciptakan kehendak yang ada pada diri manusia
tersebut. Pandangan ini dalam pendidikan Islam dikenal dengan aliran antara
al-fitrah dengan al-bi’ah. (AT. 2013) Masing-masing mempunyai peran aktif
dalam memberikan pengaruh terhadap proses pendidikan.
Tokoh Muslim, Imam al-Ghazali memiliki pandangan yang memadukan
antara fitrah dan al-bi’ah sebagaimana yang dianut oleh paham Asy’ariyah. Dia
berpendapat bahwa anak itu laksana mutiara yang sangat berharga, murni dan
bersih. Apabila anak menerima ajaran dan kebiasaan yang baik, maka anak itu
menjadi baik. Sebaliknya jika anak itu dibiasakan dengan melakukan perbuatan
buruk dan dibiasakan kepada hal-hal yang jahat, maka anak itu berakhlak
buruk. (AT. 2013) Paham Asy’ariyah memadukan fitrah yang diberikan Allah
kepada manusia sejak dilahirkan ke dunia dengan faktor lingkungan pendidikan
yang ditempatinya tumbuh dan berkembang.
Ramayulis dalam artikel (Febriani, Rehani, and Zalnur 2022)
memberikan makna yang sama antara proses Pendidikan dan proses
pembelajaran dalam pendidikan Islam. Dalam memberikan makna proses
pembelajaran ada tiga kata yang terkadung dalam sebuah proses pembelajaran
tersebut. Pertama, belajar yaitu suatu proses perubahan terhadap tingkah laku
individu yang di peroleh dari pengelaman tertentu; Kedua, mengajar yaitu
upaya pemindahan pengetahuan. Dalam pendidikan Islam pengetahuan yang
dipindahkan bersumber dari sumber ilahi dan seumber manusiawi; Ketiga,
pembelajaran berangkat dari teori yang dirumuskan oleh Oemar Hamalik, akan
pembelajaran dapat diartikan sebagai upaya mengorganisasi lingkungan
untuk menciptakan kondisi belajar bagi peserta didik, upaya mepersiapkan

16
peserta didik menjadi warga masyarakat yang baik dan proses membantu
peserta didik menghadap ke kehidupan masyarakat sehari-hari.
Menurut Ramayulis pada (Febriani, Rehani, and Zalnur 2022) proses
pembelajaran merupakan suatu system yang melibatkan berbagai komponen,
setiap komponen akan memberikan kontribusi terhadap keberhasilan proses
belajar mengajar (PMB) yang dicerminkan oleh lulusan. Ramayulis mengatakan
(Febriani, Rehani, and Zalnur 2022) bahwa proses pembelajaran dalam
pendidikan Islam itu sama dengan pendidikan pada umumnya, namun yang
membedakan adalah dalam pendidikan Islam proses maupun hasil belajar
selalu inhern dengan keislaman, keislaman melandasi aktivitas belajar,
menafsir perubahan yang terjadi serta menjiwai aktivitas berikutnya.
Dapat dipahami bahwa proses pembelajaran yang diinginkan
adalah keseluruhan proses pembelajaran harus dilandasi dengan prinsip-
prinsip Al-Qur’an dan Hadits, serta terbuka untuk unsur-unsur luas secara
adaftif yang dilihat dari presepsi keislaman. Dalam proses pendidikan
Islam, perubahan yang di kehendaki Islam adalah perubahan yang
menjembatani individu dengan masyarakat dan dengan khalik, tujuan
akhir berupa pembentukan orientasi hidup secara menyeluruh sesuai
dengan kehendak Tuhan, yaitu mengabdi kepada Allah SWT dan kosisten
dengan kekhalifahanya.

D. KESIMPULAN
Dari uraian makalah di atas, penulis menarik beberapa kesimpulan
sebagai berikut : Masyiatullah yaitu kehendak Allah SWT yang bebas atas alam
raya dan penghuninya. Dia pelaksana yang dapat memaksakan kehendak-Nya.
Dia Maha Mengetahui hati manusia apakah mengarah kepada-Nya atau tidak.
Kedua Masyiatul ibad yaitu kehendak hamba dimana Allah telah
menganugrahkan manusia dengan kemampuannya untuk mengetahui yang
haq dan yang batil.

Seluruh Potensi manusia telah dianugrahkan menjadi Abdillah, wakil


tuhan, Kahalifatullah dan Dasar Ideal Pendidikan islam berasal dari Al-Qur’an
dan Hadist dan dikembangkan dalam pemahaman para ulama seperti Ijtihad.
Konsep Masyiatullah dalam Proses Pendidikan, 1) Nilai-nilai pedagogis yang
17
terdapat dalam pembahasan al- masyiatullah adalah: a) Al-Masyiah
(masyiatullah) merupakan cikal bakal munculnya pendidikan (niatnya
pendidikan). b) Al-Masyiah merupakan warisan sosial (Masyiatulibad). 2).
berhubungan dengan direction kehendak dan keinginan manusia agar tidak
bertentangan dengan kehendak Pencipta, dan Pendidikan harus mempu
mengantarkan manusia sesuai dengan kehendak Allah 3). Teori KASB 4). fitrah
dan al-bid’ah.

Proses Pendidikan menurut Ramayulis a. (1. Belajar, 2. Mengajar, dan 3.


Pembelajaran) b. pembelajaran harus dilandasi dengan prinsip-prinsip Al-
Qur’an dan Hadits.

18
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Nukman. 2002. Al-Asy’ari: Misteri Perbuatan Manusia Dan Takdir


Tuhan. Penerbit Erlangga.
Achmad, Ubaidillah. 2015. “Teori Kehendak Manusia Perspektif Psikosufistik Al-
Ghazali.” KONSELING RELIGI: Jurnal Bimbingan Konseling Islam 6(2):
253–76.
Adnan, Suriadi. 2020. “Masyiah Dalam Al- Qur ’ an Ditinjau Dari Perspektif
Teologi Pendidikan.” Tarbawy : Jurnal Pendidikan Islam 7(2).
Al-Atsari, A A Hamid. 2006. Intisari Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah. Niaga
Swadaya.
Amin, Muhammad. 2018. “Kedudukan Akal Dalam Islam.” Tarbawi 3(1): 79–92.
Arikunto, Suharsimi. 2006. “Prosedur Penelitian, Rineka Cipta.”
AT., H.M. Arsyad. 2013. “PENDIDIKAN ISLAM PERSPEKTIF TEOLOGI.” Al
Hikmah : Journal for Religious Studies XIV: 213–23.
Azhari, Devi Syukri . Mustapa. 2021. “KONSEP PENDIDIKAN ISLAM
MENURUT IMAM AL-GHAZALI.” Jurnal JRPP 4: 271–78.
Darmalaksana, Wahyudin. 2020. “Metode Penelitian Kualitatif Studi Pustaka
Dan Studi Lapangan.” Library, Pre-print Digital, UIN Sunan Gunung Djati
Bandung, 2020: 1–6.
Febriani, Rehani, and Muhammad Zalnur. 2022. “PROSES PENDIDIKAN
ISLAM DALAM PERSPEKTIF RAMAYULIS.” Edu Global: Jurnal
Pendidikan Islam 3(2): 24–35.
Fitriani, Dewi, Nurwadjah Ahmad Eq, and Andewi Suhartini. 2021. “Teologi
Pendidikan : Konsep Pendidikan Dalam Prespektif Islam.” MANAZHIM :
Jurnal Manajemen dan Ilmu Pendidikan 3: 201–13.
Haq, Hamka. 2007. “Al-Syathibi, Aspek Teologis Konsep Mashlahah Dalam
Kitab Al-Muwafaqat.” Jakarta: Erlangga.
Harsa, Triyana. 2008. Taqdir Manusia Dalam Pandangan Hamka: Kajian
Pemikiran Tafsir Al-Azhar. Kerjasama Yayasan Pena, Divisi Penerbitan
dan Ar-Raniry Press, Darussalam.
Ismail, Shalahudin, Ma’mun Zahrudin, and Andewi Suhartini. 2020. “KONSEP
MASYIATULLAH DALAM PROSES PENDIDIKAN ISLAM.” TA’ALLUM :

19
Jurnal Pendidikan Islam 08: 39–50.
Lubis, Zulfahmi. 2016. “Kewajiban Belajar.” Ihya al-’Arabiyah 6.
Mahrus, Serli. 2011. “PROFESIONALISME PENDIDIK DALAM ALQURAN
HADIS.” Academia.edu 9: 1–31.
OTHMAN, MUHAMMAD ATIULLAH, INDRIATY ISMAIL, and IBRAHIM ABU
BAKAR. 2014. “Kehendak Manusia : Justifikasi Dan Pengkategorian
Berdasarkan Tanggungjawab ( Human Will : Justification and
Categorization Based on Responsibility ).” Islaamiyyat 36(1): 57–62.
Putra, J. Nabiel Aha, and Moch Ali Mutawakkil. 2020. “Qada ’ Dan Qadar
Perspektif Al - Qur ’ an Hadits Dan Implikasinya Tehadap Pendidikan
Agama Islam.” J-PAI: Jurnal Pendidikan Agama Islam 7(1): 61–71.
http://ejournal.uin-
malang.ac.id/index.php/jpai/article/view/11232%0Ahttps://ejournal.uin-
malang.ac.id/index.php/jpai/article/viewFile/11232/8566.
Rachman, Taofik Andi, Ahmad Nuwadjah, and Andewi Suhartini. “BELAJAR
SEBAGAI KEHENDAK MANUSIA (MASYIATUL I’BAD) DALAM
MENDAPATKAN ILMU PENGETAHUAN.” Jurnal Pendidikan Islam -
UHAMKA: 130–44.
Rudi Ahmad Suryadi. 2014. “Mengusung Pendidikan Islam Perspektif Teologis,
Jurnal Pendidikan Agama Islam.” Jurnal Ta’lim 12(2): 113–25.
Sudjatnika, Tenny. 2017. “NILAI-NILAI KARAKTER YANG MEMBANGUN
PERADABAN MANUSIA.” Jurnal al-Tsaqafa 14.
Suriyati, Suriyati. 2020. “Implikasi Takdir Dalam Kehidupan Manusia.” Jurnal Al-
Mubarak: Jurnal Kajian Al-Qur’an dan Tafsir 3(1): 36–51.
Syafe’i, Imam. 2013. “Teologi Pendidikan.” Jurnal Pengembangan Masyarakat
6(2): 1–16.
Syed Abdul Rahman, Syed Mohammad Hilmi. 2006. “Permasalahan Sekitar
Qada’ Dan Qadar.” Permasalahan Sekitar Qada’ Dan Qadar 7: 63–92.
Wildan, and Tafsil saifuddin Ahmad. 2019. “Paham-Paham Aliran Ilmu Kalam
Dan Relevansinya Dengan Qada’ Dan Qadar.” An-Nahdlah 5(2): 51–63.
Zed, Mestika. 2004. “Metode Penelitian Kepustakaan, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2008.” Cet. II.

20

Anda mungkin juga menyukai