Anda di halaman 1dari 21

TAFSIR TEMATIK QS ALI IMRAN : 104 DAN QS AR-RUM : 30

TENTANG FILSAFAT PENDIDIKAN

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Tafsir Dosen Pengampu : Muhammad Rizal Zaenulloh, M.Pd

Disusun Oleh :
Ajeng Roro Kusuma 22245701

Dini Fauziah Agustini 22245704


Nanda Rembulan 22245727

Neng Isma Ariyanti 22245707

Pitriyani 22245736
Yanti Fatmawati 22245728

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-ITTIHAD
CIANJUR
2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Puji syukur tak lupa kami panjatkan atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan Rahmat, hidayah serta karunia-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Filsafat Pendidikan” dengan tepat
waktu.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Tafsir. Selain itu,
makalah ini disusun untuk menambah wawasan tentang Filsafat Pendidikan bagi
para pembaca dan juga bagi penulis.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dosen Pengampu mata kuliah
Tafsir. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang
membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh sebab
itu, saran dan kritik yang bersifat membangun penulis harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.
Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Cianjur, 06 November 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah...............................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................2
C. Tujuan Masalah............................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
A. Filsafat Pendidikan.....................................................................................3
B. Asas Bermanfaat dan Keunggulan Filsafat Pendidikan..........................5
a. Asas Empirisme........................................................................................6
b. Asas Nativisme..........................................................................................7
c. Asas Konvergensi......................................................................................8
C. Tafsir Tematik QS Ali-Imran : 104............................................................10
D. Tafsir Tematik QS Ar-Rum : 30................................................................12
BAB III PENUTUP..............................................................................................15
A. Kesimpulan.................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................
................................................................................................................................16

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masalah pendidikan merupakan masalah yang berhubungan langsung


dengan kehidupan manusia. Pendidikan sendiri memiliki makna yaitu usaha
manusia dewasa yang sadar akan kemanusiaannya, dalam membimbing, melatih,
mengajar dan menanamkan nilai- nilai serta dasar pandangan hidup kepada
generasi selanjutnya, agar menjadi manusia yang bertanggung jawab akan
tugasnya sesuai dengan sifat dan hakikat kemanusiaanya. Lebih luas masalah
pendidikan adalah masalah yang menyangkut seluruh aspek hidup dan kehidupan
manusia. Bahkan pendidikan bisa juga akan menghadapi persoalan yang tidak
mungkin dijawab dengan menggunakan analisa ilmiah semata-mata, tetapi
memerlukan analisa dan pemikiran yang mendalam, yaitu analisa filsafat.
Filsafat sendiri dimulai dari rasa ingin tahu dan dari rasa ragu-ragu.
Karakteristik berfikir filsafat adalah sifat menyeluruh, sehingga seorang ilmuwan
tidak puas hanya mengenal ilmu dari segi pandang ilmu itu sendiri, tapi ingin
melihat hakikat ilmu dalam konsentrasi pengetahuan yang lainnya. Ajaran filsafat
menjangkau masa depan umat manusia dalam bentuk-bentuk ideologi.
Pembangunan dan pendidikan yang dilakukan oleh suatu bangsa pun bersumber
pada inti sari ajaran filsafat. Oleh karena itu filsafat telah menguasai kehidupan
umat manusia, menjadi norma negara, menjadi filsafat hidup suatu bangsa.
Makalah ini menekankan pada bagaimana konsep dan penjelasan rinci
mengenai filsafat pendidikan, sebuah pemikiran untuk mengembangkan model-
model pembelajaran yang dibutuhkan. Makalah ini diharapkan dapat memberikan
modal pengetahuan bagi para pembaca khususnya yang memiliki tugas langsung
dalam dunia pendidikan, agar mampu memahami bagaimana pendidikan dalam
paradigma kefilsafatan dan menerapkannya dalam pembelajaran.

1
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat di rumuskan masalah yang akan


dipelajari dalam penyusunan makalah ini, yaitu :
1. Apa makna filsafat pendidikan?
2. Apa saja asas bermanfaat dan keunggulan filsafat pendidikan?
3. Apa tafsir tematik surah Ali Imran ayat 104 dan Ar-Rum ayat 30?

C. Tujuan Masalah

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari makalah ini, yaitu :
1. Untuk mengetahui makna filsafat pendidikan.
2. Menjabarkan beberapa asas filsafat pendidikan.
3. Menguraikan tafsir tematik surah Ali Imran ayat 104 dan juga surah Ar-
Rum ayat 30.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Filsafat Pendidikan

Bila kita membicarakan filsafat maka pandangan kita akan tertuju jauh ke
masa lampau di zaman Yunani Kuno. Pada masa itu semua ilmu dinamakan
filsafat. Dari Yunani lah kata “filrafat” ini berasal, yaitu dari kata “philor” dan
“rophia”. “Philor” artinya cinta yang sangat mendalam dan “rophia” artinya
kebijakan atau kearifan. Istilah filsafat sering dipergunakan secara populer dalam
kehidupan sehari-hari, baik secara sadar maupun tidak sadar. Dalam
penggunaan populer, filsafat dapat diartikan sebagai suatu pendirian hidup (individu)
dan dapat juga disebut sebagai pandangan masyarakat.

Di Jerman dibedakan antara filsafat dengan pandangan hidup


(Weltanschauung). Filsafat diartikan sebagai suatu pandangan kritis yang sangat
mendalam sampai ke akar- akarnya. Pernyataan ini sejalan dengan pendapat
Suseno (1995:20) bahwa filsafat sebagai ilmu kritis. Dalam pengertian lain,
filsafat diartikan sebagai interpretasi atau evaluasi terhadap apa yang penting atau
apa yang berarti dalam kehidupan. Di pihak lain ada yang beranggapan bahwa
filsafat sebagai cara berpikir yang kompleks, suatu pandangan yang tidak
memiliki kegunaan praktis. Ada pula yang beranggapan bahwa para filsuf
bertanggung jawab terhadap cita-cita dan kultur masyarakat tertentu, contohnya
Karl Marx dan Friedrich Engels yang telah menciptakan komunisme, John Dewey
yang menjadi peletak dasar kehidupan pragmatis di Amerika.

Gazalba (1974:7) mengatakan bahwa filsafat adalah hasil kegiatan


berpikir yang radikal, sistematis, universal. Kata “radikal” berasal dari
bahasa Latin “radix” yang artinya akar. Filsafat bersifat radikal, artinya
permasalahan yang dikaji, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dan jawaban
yang diberikan bersifat mendalam sampai ke akar-akarnya yang bagi orang
awam mungkin dianggap hal biasa yang tidak perlu dibahas lagi, tetapi filsafat
ingin mencari kejelasan makna dan hakikatnya. Misal: Siapakah manusia itu?

3
Apakah hakikat alam semesta ini? Apakah hakikat keadilan?
Filsafat bersifat sistematis artinya pernyataan-pernyataan atau kajian-
kajiannya menunjukkan adanya hubungan satu sama lain, saling berkait dan
bersifat koheren (runtut). Di dalam tradisi filsafat ada paham-paham atau aliran
besar yang menjadi titik tolak dan inti pandangan terhadap berbagai pertanyaan
filsafat. Misal : aliran empirisme berpandangan bahwa hakikat pengetahuan
adalah pengalaman. Tanpa pengalaman, maka tidak akan ada pengetahuan.
Pengalaman diperoleh karena ada indera manusia yang menangkap objek-objek di
sekelilingnya (sensasi indera) yang kemudian menjadi persepsi dan diolah oleh
akal sehingga menjadi pengetahuan.
Filsafat bersifat universal, artinya pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-
jawaban filsafat bersifat umum dan mengenai semua orang. Misalnya: Keadilan
adalah keadaan seimbang antara hak dan kewajiban. Setiap orang selalu
berusaha untuk mendapatkan keadilan. Walaupun ada perbedaan pandangan
sebagai jawaban dari pertanyaan filsafat, tetapi jawaban yang diberikan berlaku
umum, tidak terbatas ruang dan waktu. Dengan kata lain, filsafat mencoba
mengajukan suatu konsep tentang alam semesta (termasuk manusia di dalamnya)
secara sistematis.
Filsafat sering juga dapat diartikan sebagai “berpikir reflektif dan kritis”
(reflective and critical thinking). Namun, Randall dan Buchler (via Sadulloh,
(2007:17) memberikan kritik terhadap pengertian tersebut, dengan
mengemukakan bahwa definisi tersebut tidak memuaskan, karena beberapa
alasan, yaitu: 1) tidak menunjukkan karakteristik yang berbeda antara berpikir
filsafati dengan fungsi-fungsi kebudayaan dan sejarah, 2) para ilmuwan juga
berpikir reflektif dan kritis, padahal antara sains dan filsafat berbeda, 3) ahli
hukum, ahli ekonomi juga ibu rumah tangga sewaktu-waktu berpikir reflektif
dan kritis, padahal mereka bukan filsuf atau ilmuwan.

Dalam Alquran dan budaya Arab terdapat istilah “hikmat” yang berarti arif
atau bijak. Filsafat itu sendiri bukan hikmat, melainkan cinta yang sangat
mendalam terhadap hikmat. Dengan pengertian tersebut, maka yang dinamakan

4
filsuf adalah orang yang mencintai dan mencari hikmat dan berusaha
mendapatkannya. Al-Syaibani (1979:26) mengatakan bahwa hikmat
mengandung kematangan pandangan dan pikiran yang jauh, pemahaman
dan pengamatan yang tidak dapat dicapai oleh pengetahuan saja. Dengan
hikmat filsuf akan mengetahui pelaksanaan pengetahuan dan dapat
melaksanakannya.

Seorang filsuf akan memperhatikan semua aspek pengalaman manusia.


Pandangannya yang luas memungkinkan ia melihat segala sesuatu secara
menyeluruh, memperhitungkan tujuan yang seharusnya. Ia akan melampaui batas-
batas yang sempit dari perhatian yang khusus dan kepentingan individual. Titus
(1984: 3) mengemukakan pengertian filsafat dalam arti sempit maupun dalam arti
luas.
Dalam arti sempit filsafat diartikan sebagai ilmu yang berkaitan dengan
metodologi atau analisis bahasa secara logis dan analisis makna-makna. Filsafat
diartikan sebagai “rcience of rcience” yang bertugas memberi analisis secara
kritis terhadap asumsi-asumsi dankonsep-konsep ilmu, mengadakan
sistematisasi atau pengorganisasian pengetahuan. Dalam pengertian yang lebih
luas, filsafat mencoba mengintegrasikan pengetahuan manusia yang berbeda-
beda dan menjadikan suatu pandangan yang komprehensif tentang alam semesta,
hidup dan makna hidup.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa berfilsafat merupakan
kegiatan berpikir yang khas, yaitu radikal, sistematis dan universal untuk
mencari kearifan, kebenaran yang sesungguhnya dari segala sesuatu.
Berfilsafat berarti berpikir merangkum tentang pokok-pokok atau dasar-dasar
dari hal yang ditelitinya.

B. Asas Bermanfaat dan Keunggulan Filsafat Pendidikan

Asas-asas filsafat pendidikan ialah suatu dasar atau pokok yang menjadi
acuan kajian filsafat pendidikan. Adapun asas-asas filsafat pendidikan ialah asas
empirisme, asas nativisme dan asas konvergensi. Tentang berbagai aliran atau

5
gerakan pendidikan itu akan memberikan pengetahuan dan wawasan historis
kepada tenaga kependidikan. Hal itu sangat penting agar para pendidik dapat
memahami dan pada gilirannya kelak dapat memberikan kontribusi terhadap
dinamika pendidikan itu.
Dan tidak kalah pentingnya adalah bahwa dengan pengetahuan dan
wawasan historis tersebut, setiap tenaga kependidikan diharapkan memiliki bekal
yang memadai dalam meninjau berbagai masalah yang dihadapi, serta
pertimbangan yang tepat dalam menetapkan kebijakan dan tindakan sehari-hari.
a. Asas Empirisme

Secara harfiah, arti empirisme dari kata Yunani “emperia” yang berarti
pengalaman. Aliran empirisme bertolak dari Lockean Tradition yang
mementingkan stimulasi eksternal dalam perkembangan manusia, dan
menyatakan bahwa perkembangan manusia, dan menyatakan bahwa perkembangan
anak tergantung kepada lingkungan, sedangkan pembawaan tidak dipentingkan.
Pengalaman yang diperoleh anak dalam kehidupan sehari- hari perintisnya adalah
John Locke ( 1632-1704), dia mengagumi metode Descrates, tetapi ia tidak
menyetujui isi ajarannya.
Menurut Locke, rasio mula-mula harus dianggap “ar a white paper” dan
seluruh isinya dari pengalaman. Ada dua pengalaman : lahiriah ( renration ) dan
batiniyah (reflexion). Kedua sumber pengalaman ini menghasilkan ide-ide
tunggal ( rimple idear ). Jiwa manusiawi bersifat pasif sama sekali dalam
menerima ide- ide tersebut.

Jika hal empirisme di bawa ke ranah pendidikan maka empirisme


mempunyai pengertian yang lebih spesifik. Bahwasanya hasil pendidikan
dan perkembangan itu bergantung pada pengalaman-pengalaman yang
diperoleh anak didik selama hidupnya. Pengalaman itu diperolehnya di luar
dirinya berdasarkan perangsang yang tersedia baginya. John Locke berpendapat
bahwa anak yang di dunia ini sebagai kertas kosong atau sebagai meja berlapis
lilin (Tabula Rasa) yang belum ada tulisan di atasnya. Hal ini berarti, baik dan
buruknya anak tergantung pada baik dan buruknya pendidikan yang diterimanya.

6
Menurut J.J. Rausseau (1712-1778) bahwa manusia pada dasarnya baik sejak ia
dilahirkan. Jadi kalau ada manusia yang jahat bukan karena benihnya,
tetapi dikembangkan setelah ia lahir, yakni setelah ia hidup di masyarakat dan
setelah terpengaruh oleh lingkungan serta kebudayaan. Menurut Mensius ( 372-
289 SM), yang menyatakan bahwa manusia pada dasarnya baik, sehingga cinta
pada dasarnya lebih pengertian yang dangkal. Menurut H. Sun Tzu (289-230 SM)
bahwa manusia pada dasarnya adalah jahat, akan tetapi untunglah manusia juga
cerdas dan dengan kecerdasannya ia dapat mengolah kebaikan yang ada pada
dirinya. Ia menjadi manusia yang baik karena ia bergaul dengan masyarakat. Jadi
manusia itu menjadi baik bukan karena benihnya, tetapi karena hidup dan
bergaul dengan masyarakat.
b. Asas Nativisme

Asas nativisme bertolak dengan teori empirisme yang dianut oleh


Schopenhauer (seorang filosuf bangsa Jerman, 1788-1860) yang berpendapat
bahwa bayi lahir dengan pembawaan yang baik dan pembawaan yang buruk.
Dalam hubungannya dengan pendidikan dan perkembangan manusia, ia
berpendapat bahwa hasil akhir pendidikan dan perkembangan itu ditentukan oleh
pembawaan yang sudah diperolehnya sejak lahir. Asas Nativisme berpendapat
bahwa pendidikan tidak dapat menghasilkan tujuan yang diharapkan berhubungan
dengan perkembangan anak didik. Aliran pendidikan yang menganut paham
nativisme ini disebut aliran pesimisme.
Dengan kata lain, Nativisme merupakan aliran pesimisme (murung) dalam
pendidikan. Berhasil tidaknya perkembangan anak tergantung pada tinggi
rendahnya dan jenis pembawaan yang dimiliki oleh anak didik. Lingkungan tidak
berarti apa-apa dalam perkembangan manusia, apa yang dikerjakan, apa yang
diucapkan, dan apa yang dipikirkan merupakan kecakapan yang dibawa sejak lahir,
tetapi nativisme tidak menjelaskan bagaimana seorang lahir dengan membawa
potensi, apakah potensi itu mempunyai hubungan sangat erat dengan kondisi orang
tua atau tidak, selama ini tidak pernah ada penjelasan. Apabila orang tuanya
mempunyai IQ tinggi atau mempunyai IQ rendah akan dapat berpengaruh kepada

7
anaknya. Dalam beberapa penelitian menyimpulkan bahwa anak sangat dipengaruhi
oleh keadaan orang tua, baik keadaan fisik, psikis, maupun sosial-ekonominya.
c. Asas Konvergensi

Aliran konvergensi dipelopori oleh William Stern (seorang ahli


pendidikan bangsa Jerman, 1871-1939), ia berpendapat bahwa seorang anak
dilahirkan di dunia sudah disertai pembawaan baik maupun buruk. Proses
perkembangan anak, baik faktor pembawaan maupun faktor lingkungan sama-
sama mempunyai peranan sangat penting. Bakat yang dibawa pada waktu lahir
tidak akan berkembang dengan baik tanpa dukungan lingkungan sesuai untuk
perkembangan anak itu.

Apabila pengaruh lingkungan sama besar dan kuatnya dengan pembawaan


siswa, maka hasil pendidikan didapat siswa itu pun akan seimbang dan baik, dalam
arti tidak satu faktor pun yang dikorbankan secara sia-sia. Seterusnya, apabila
pengaruh lingkungan lebih besar dan lebih kuat dari pembawaan, hasil pendidikan
siswa hanya akan sesuai dengan kehendak lingkungan, dan pembawaan (watak dan
bakat) siswa tersebut akan terkorbankan. Sebaliknya, jika pembawaan siswa lebih
besar dan kuat pengaruhnya daripada lingkungan, hasil pendidikan tersebut
hanya sesuai dengan bakat dan kemampuannya tanpa bisa berkembang lebih jauh,
karena ketidakmampuan lingkungan. Oleh karena itu, terlalu kecilnya pengaruh
lingkungan pendidikan, misalnya mutu guru dan fasilitas yang rendah akan
merugikan para siswa yang membawa potensi dan bakat yang baik. Oleh karena
itu William Stern disebut teori Konvergensi artinya memuat ke suatu titik.

Jadi menurut teori konvergensi ini adalah sebagai berikut:

1. Pendidikan mungkin diberikan.


2. Yang membatasi hasil pendidikan adalah pembawaan dan lingkungan
itu sendiri.
Pendidikan diartikan sebagai penolong atau pertolongan yang
diberikan kepada lingkungan anak didik untuk mengembangkan
pembawaan yang baik dan mencegah berkembangnya pembawaan

8
yang buruk. Sebagai contoh, benarkah jika kita mengatakan „si Mizan
adalah merupakan hasil dari pembawaan dan lingkungannya si
Mizan? Ketika jawabannya „benar‟, maka seolah-olah si Mizan itu
„hanya' merupakan hasil dari proses alam yaitu pembawaan dan
lingkungan belaka. Jika pembawaannya begini dan lingkungannya
begitu, maka manusia akan demikian pula. Jika demikian halnya,
maka apa bedanya dengan proses mencari hasil dari „angka-
angka' dalam pengetahuan matematika? Kalau memang proses
perkembangan manusia sama halnya dengan rumus-rumus
pengetahuan matematika, maka dapat dipastikan bahwa tugas guru
(ahli pendidik) akan lebih mudah yaitu tinggal mencari jalan untuk
mengetahui pembawaan seseorang (kalau saja pembawaan itu dapat
diketahui dengan pasti), dan kemudian mengusahakan suatu
lingkungan atau pendidikan yang cocok (relevan) dengan pembawaan
tersebut.
Sekali lagi proses perkembangan binatang dengan manusia tidaklah
dapat disamakan.

Sebab perkembangan binatang adalah merupakan hasil dari pembawaan


dan lingkungannya, binatang hanya „terserah' pada pembawaan keturunan dan
pengaruh lingkungannya. Dimana perkembangan pada binatang seluruhnya
ditentukan oleh kodrat dan hukum-hukum alam. Sementara manusia tidak hanya
dari pembawaan dan lingkungannya, melainkan manusia lebih memiliki
pengalaman „empirik' yang dapat mempengaruhi perkembangannya.

Dengan berpijak pada uraian di atas, maka nyatalah bagi kita bahwa jika
ditanya tentang „perkembangan manusia itu bergantung pada pembawaan ataukah
kepada lingkungan? atau manakah yang lebih dasar atau lebih kuat mempengaruhi
perkembangan manusia itu? Maka kita dapat mengatakan bahwa itu bukanlah
bentuk pertanyaan yang perlu dicari jawabannya, sebab hal itu adalah merupakan
suatu pertanyaan yang tidak ada jawabannya. Begitu juga W. Stern tidak
menerangkan seberapa besar perbandingan pengaruh kedua faktor tersebut dan

9
hingga dewasa ini dominasi pengaruh kedua faktor itu belumlah dapat ditetapkan.

Sesuai dengan corak dan karakteristik sosiologi, diantara tiga asas filsafat
pendidikan dan teori perkembangan sosial di atas yang sangat mendukung adalah
teori empirisme. Di Amerika telah diselidiki seorang anak bernama Anna yang
hidup terpencil di daerah Attic, Pensyilvanea di rumah seorang petani sejak umur
6 bulan sehingga umur 5 tahun. Setelah dipindah ke rumah biasa, Anna mulai
belajar bahasa, mulai tertarik dengan anak lain dan turut bermain dengan anak-
anak normal lainnya. Perubahan tingkah laku Anna karena berhubunga dengan
lingkungannya dan pengalaman Anna sebelum dipindah ke rumah yang normal
juga dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat.
C. Tafsir Tematik QS Ali-Imran : 104

   g             


         
   

   

Artinya : “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang
munkar merekalah orang-orang yang beruntung”. (QS Ali-Imran : 104)

Melalui Ayat tersebut di atas Allah memerintahkan kepada umat Islam


agar di antara mereka ada sekelompok orang yang bergerak dalam bidang dakwah
yang selalu memberi peringatan apabila tampak gejala-gejala perpecahan dan
pelanggaran terhadap ajaran agama, dengan jalan mengajak dan menyuruh
manusia untuk melakukan kebaikan, menyuruh kepada ma'ruf dan mencegah dari
yang mungkar.
Cara yang ditempuh dengan cara menyadarkan manusia bahwa perbuatan-
perbuatan yang baik itu akan mendatangkan keuntungan dan kebahagiaan baik
untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain, baik di dunia maupun di akhirat.
Begitu juga sebaliknya, bahwa kemungkaran dan kejahatan itu akan selalu
10
menimbulkan kerugian dan marabahaya, baik bagi pelakunya maupun orang lain.

11
Tujuan dakwah tidak akan tercapai hanya dengan anjuran melakukan
perbuatan baik saja tanpa dibarengi dengan sifat-sifat keutamaan dan
menghilangkan sifat-sifat buruk dan jahat agar tujuan dakwah dapat tercapai
dengan baik.
Maka umat Islam harus mengetahui persyaratan dan taktik perjuangan untuk
mencapainya. Kemenangan tidak akan tercapai tanpa kekuatan, kekuatan tidak
akan terwujud melainkan dengan persatuan.
Persatuan dan kesatuan tidak dapat diraih kecuali diimbangi dengan sifat-
sifat yang utama. Sifat yang utama ini pun tidak akan terpelihara tanpa terjaganya
agama. Akhirnya, agama tidak mungkin terpelihara tanpa adanya dakwah.
Dari sinilah dapat dimengerti apabila Allah mewajibkan kepada umat Islam
untuk melakukan dan menggiatkan dakwah agar agama yang mereka anut dapat
berkembang dengan baik dan sempurna, sehingga misi agama “memberikan
rahmat bagi seluruh alam” dapat tercapai. Tanpa adanya dakwah, agama tidak
mungkin dapat berkembang. Dalam rangka berdakwah, diperlukan syarat-syarat
sebagai berikut :
 Harus memahami kandungan Al-Qur'an dan Sunnah serta sejarah
dakwah Rasulullah Saw
 Harus memahami keadaan orang-orang yang menjadi objek dakwah.
 Harus memahami bahasa serta dialek orang-orang yang menjadi objek
dakwah.
 Harus memahami agama dan mazhab mazhab yang berkembang dalam
masyarakat.
Dengan dorongan agama dan keimanan yang kuat, tercapailah bermacam-
macam kebajikan yang akan membawa kepada persatuan dan kesatuan, dan akan
terwujud kekuatan yang besar untuk mencapai kemenangan dalam setiap
perjuangan.
Ayat tersebut di atas ditunjukkan kepada umat Islam agar memperhatikan
kepentingan dakwah yaitu melaksanakan Amar ma'ruf nahi munkar di masyarakat
secara berkesinambungan.
Amar ma'ruf nahi munkar artinya mengajak untuk saling menyuruh orang

12
lain mengerjakan kebajikan baik perintah wajib maupun sunnah yang akan
membawa mereka kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Nahi munkar mempunyai arti mencegah perbuatan yang dilarang oleh Allah
baik Perbuatan yang diharamkan maupun makruh, yang dapat menjerumuskan
manusia ke dalam neraka.
D. Tafsir Tematik QS Ar-Rum : 30

Ayat ini menjelaskan soal fitrah penciptaan manusia sebagai


makhluk yang beragama. Allah swt berfirman :

                     g 


        



          


    

Artinya : “Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah;


(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS Ar-Rum : 30)

Pada hakekatnya, setiap manusia lahir ke dunia ini dengan membawa fitrah
berupa keyakinannya kepada agama (Islam). Demikian ditegaskan oleh para
ulama tafsir, ketika menjelaskan tentang maksud ayat di atas. Seiring berjalannya
waktu, maka fitrah yang sudah Allah tetapkan tersebut, akan tetap atau berubah
tergantung pada kondisi lingkungan di mana manusia itu berada.

Nabi Muhammad Saw menegaskan, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan


suci (fitrah) beragama Islam, maka tergantung kedua orang tuanyalah yang akan
menjadikannya seorang yahudi, nasrani atau majusi.”

13
Dari keterangan hadis di atas jelaslah bahwa setiap manusia dilahirkan
dalam kondisi beragama (Islam). Agama itu fitrah yang sudah ada sejak manusia
lahir, bahkan ketika mereka masih berada di alam rahim. Demikian ditegaskan

14
dalam ayat yang lain.

Begitu melekatnya fitrah berupa agama ini di dalam diri manusia, maka
meski seseorang larut dalam pelukan nafsu duniawi, yang seringkali
melenakannya dari ajaran agama, atau bahkan melupakannya pada tuhan, pada
saat tertentu akan muncul kerinduan dalam dirinya untuk kembali kepada agama,
kembali kepada tuhannya.

Jika seseorang menuruti kata hatinya untuk kembali kepada Tuhannya,


kepada ajaran agamanya, maka sangat mungkin pintu hidayah akan terbuka lebar
baginya. Namun sebaliknya, jika ia lebih memperturutkan hawa nafsunya, tidak
mengindahkan kata hatinya, maka dia akan semakin terjerumus pada kesesatan
dan gelimang dosa.

Az-Zamakhsyari dalam kitab tafsirnya al-Kasysyaf menjelaskan ayat di atas


dengan mengutip sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang
menyatakan, “setiap hamba-Ku Aku ciptakan dalam keadaan lurus (berpegang
teguh pada ajaran agama), kemudian setan telah melencengkannya dari agamanya,
serta menyuruhnya untuk menyekutukan-Ku dengan yang lainnya.”

Dari keterangan hadis qudsi di atas jelaslah bahwa pada hakekatnya kita
diciptakan oleh Allah dalam kondisi berpegang teguh pada agama, berada pada
fitrah Allah. Tetapi, tipu daya setanlah yang kemudian memalingkan kita dari
ajaran agama kita.

Setan telah memperdaya kita untuk mengingkari Allah, dengan menjadikan


selain Allah sebagai tuhan. Ada di antara umat manusia yang kemudian kembali
kepada fitrah agamanya. Ada pula yang tetap berada pada kesesatan dan
kekufuran.

Satu hal yang harus kita sadari bersama adalah bahwa selama hayat masih
dikandung badan, selalu ada kesempatan untuk kembali kepada agama, kembali
kepada Tuhan. Tuhan sangat senang jika ada hamba-Nya yang telah lama

15
berkelana, mengembara mengarungi kehidupan ini, serta jauh dari-Nya, kemudian
dia kembali ke jalan-Nya.

Seperti halnya orang tua yang telah lama ditinggal anaknya pergi merantau
kemudian kembali pulang ke pangkuannya. Bahkan, kasih sayang Tuhan kepada
hamba-hamba-Nya jauh melebihi kasih sayang orang tua kepada anak-anaknya.

Alangkah sayangnya, jika kesempatan hidup di dunia ini yang hanya sekali,
tidak dimanfaatkan untuk menjalani fitrah kemanusiaan, yaitu memeluk erat
agama, medekatkan diri kepada Tuhan, menjadi hamba-hamba-Nya yang dikasihi
dan dicintai-Nya. Betapa malangnya diri ini, jika hidup di dunia ini yang hanya
sementara, diisi dengan amal yang sia-sia, yang hanya akan membawa kita pada
penyesalan tiada tara di akhirat kelak.

Dengan tetap pada fitrah itu, maka kita semua berharap semoga kelak,
ketika Tuhan mengambil kita untuk kembali kepada-Nya, Tuhan akan memanggil
dengan panggilan mesra:

“Wahai jiwa-jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang
ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku,
dan masuklah ke dalam surga-Ku.” Wallahu A’lam

16
BAB III

PENUTU

A. Kesimpulan

Berdasarkan makalah diatas, dapat kami simpulkan bahwa :

1. Dari Yunani lah kata “filrafat” ini berasal, yaitu dari kata “philor” dan
“rophia”. “Philor” artinya cinta yang sangat mendalam dan “rophia”
artinya kebijakan atau kearifan. Istilah filsafat sering dipergunakan secara
populer dalam kehidupan sehari- hari, baik secara sadar maupun tidak
sadar. Berfilsafat merupakan kegiatan berpikir yang khas, yaitu radikal,
sistematis dan universal untuk mencari kearifan, kebenaran yang
sesungguhnya dari segala sesuatu. Berfilsafat berarti berpikir merangkum
tentang pokok-pokok atau dasar-dasar dari hal yang ditelitinya.

2. Adapun asas-asas filsafat pendidikan ialah asas empirisme, asas nativisme


dan asas konvergensi.

3. Dalam surah Ali Imran ayat 104 Melalui Allah memerintahkan kepada
umat Islam agar di antara mereka ada sekelompok orang yang bergerak
dalam bidang dakwah yang selalu memberi peringatan apabila tampak
gejala-gejala perpecahan dan pelanggaran terhadap ajaran agama, dengan
jalan mengajak dan menyuruh manusia untuk melakukan kebaikan,
menyuruh kepada ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar.

4. Dalam surah Ar-Rum Allah menjelaskan bahwa setiap manusia dilahirkan


dalam kondisi beragama (Islam). Agama itu fitrah yang sudah ada sejak
manusia lahir, bahkan ketika mereka masih berada di alam rahim. Tetapi,
tipu daya setanlah yang kemudian memalingkan kita dari ajaran agama
kita.

17
DAFTAR PUSTAKA

Abusyuja. (n.d.). Tafsir Al-Qur’an Surat Ali-Imran ayat 104. Abu Syuja.
Retrieved

March 13, 2022, from http://abusyuja.com/2021/03/tafsir-al-quran-surat-ali-


imran- ayat-104.html

FILSAFAT PENDIDIKAN (1st ed., Vol. 136 hlm 14 x 21). (2019). Nizamania
Learning Center.

M.Hum, D. R. (2015, April 13). Mengenal Filsafat Pendidikan. MENGENAL


FILSAFAT PENDIDIKAN. Retrieved March 13, 2022,
from http://staffnew.uny.ac.id/upload/131763780/pendidikan/bpk-
mengenal-filsafat- pendidikan.pdf

18

Anda mungkin juga menyukai