Anda di halaman 1dari 28

Doktrin Aswaja

Berdirinya suatu negara merupakan suatu keharusan dalam suatu


komunitas umat (Islam). Negara tersebut dimaksudkan untuk
mengayomi kehidupan umat, melayani mereka serta menjaga
kemaslahatan bersama (maslahah musytarakah). Keharusan ini bagi
faham Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) hanyalah sebatas kewajiban
fakultatif (fardhu kifayah) saja, sehingga –sebagaimana mengurus
jenazah– jika sebagian orang sudah mengurus berdirinya negara, maka
gugurlah kewajiban lainnya Prinsip Syura (Musyawarah).
Prinsip ini didasarkan pada firman Allah QS asy-Syura 42: 36-39:
Maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu, itu adalah
kenikmatan hidup di dunia, dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan
lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan
mereka, mereka bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi
dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka
marah, mereka memberi maaf.Dan (bagi) orang-orang yang menerima
(mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan
mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka dan mereka
menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan kepada mereka. Dan
(bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan lalim
mereka membela diri.
Menurut ayat di atas, prinsip syura merupakan ajaran yang setara
dengan iman kepada Allah (iman billah), tawakal, menghindari dosa-
dosa besar (ijtinabul kaba'ir), memberi ma'af setelah marah, memenuhi
perintah ilahi, mendirikan shalat, memberikan sedekah, dan lain
sebagainya. Seakanakan musyawarah merupakan suatu bagian integral
dan hakekat Iman dan Islam..
Oleh karena itu, konsep berdirinya negara (imamah) dalam Aswaja
tidaklah termasuk salah satu pilar (rukun) keimanan sebagaiman yang
diyakini oleh Syi'ah. Namun, Aswaja juga tidak membiarkan yang
diakui oleh umat (rakyat). Hal ini berbeda dengan Khawarij yang
membolehkan
komunitas umat Islam tanpa adanya seorang Imam apabila umat itu
sudah bisa mengatur dirinya sendiri.
Aswaja tidak memiliki patokan yang baku tentang negara. Suatu
negara diberi kebebasan menentukan bentuk pemerintahannya, bisa
demokrasi, kerajaan, teokrasi ataupun bentuk yang lainnya. Aswaja
hanya memberikan kriteria (syarat-syarat) yang harus dipenuhi oleh
suatu negara. Sepanjang persyaratan tegaknya negara tersebut terpenuhi,
maka negara tersebut bisa diterima sebagai pemerintahan yang sah
dengan tidak mempedulikan bentuk negara tersebut. Sebaliknya,
meskipun suatu negara memakai bendera Islam, tetapi di dalamnya
terjadi banyak penyimpangan dan penyelewengan serta menginjak-injak
sistem pemerintahan yang berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan,
maka praktik semacam itu tidaklah dibenarkan dalam Aswaja.
Persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu negara tersebut adalah:
1.Prinsip Syura (Musyawarah)
Prinsip ini didasarkan pada firman Allah QS asy-Syura 42: 36-39:
‫ش ْي ٍء َف َم َتا ُع ا ْل َح َيا ِة ال ُّد ْن َيا َو َما عِ ْندَ هَّللا ِ َخ ْي ٌر َوأَ ْب َقى لِ َّلذِينَ آ َم ُن وا َو َع َلى‬
َ ْ‫َف َما أُوتِي ُت ْم مِن‬
‫ض ُبوا ُه ْم‬ ِ ‫ِش َوإِ َذا َم ا َغ‬
َ ‫) َوا َّلذِينَ َي ْج َت ِن ُب ونَ َك َب ائ َِر اإل ْث ِم َوا ْل َف َواح‬36( َ‫َر ِّب ِه ْم َي َت َو َّكلُ ون‬
‫ورى َب ْي َن ُه ْم َو ِم َّما‬
َ ‫ش‬ ُ ‫الصال َة َوأَ ْم ُر ُه ْم‬
َّ ‫اس َت َجا ُبوا ل َِر ِّب ِه ْم َوأَ َقا ُموا‬ ْ َ‫) َوا َّلذِين‬37( َ‫َي ْغفِ ُرون‬
)38( َ‫َر َز ْق َنا ُه ْم ُي ْنفِقُون‬

Maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan


hidup di dunia, dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal
bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka,
mereka bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa
besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah, mereka
memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi)
seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka
menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan kepada mereka. Dan
(bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan lalim
mereka membela diri.
Menurut ayat di atas, syura merupakan ajaran yang setara dengan
iman kepada Allah (iman billah), tawakal, menghindari dosa-dosa besar
(ijtinabul kaba'ir), memberi ma'af setelah marah, memenuhi titah ilahi,
mendirikan shalat, memberikan sedekah, dan lain sebagainya. Seakan-
akan musyawarah merupakan suatu bagian integral dan hakekat Iman
dan Islam.
2. Al-'Adl (Keadilan)
Menegakkan keadilan merupakan suatu keharusan dalam Islam terutama
bagi penguasa (wulat) dan para pemimpin pemerintahan (hukkam)
terhadap rakyat dan umat yang dipimpin. Hal ini didasarkan kepada QS
An-Nisa' 4:58
“Sesungguhnya Allah meyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanyaa dan menyuruh kamu apabila menetapkan
hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat”
3. Al-Hurriyyah (Kebebasan)
Kebebasan dimaksudkan sebagai suatu jaminan bagi rakyat (umat)
agar dapat melakukan hak-hak mereka. Hakhak tersebut dalam syari'at
dikemas dalam al-Ushul alKhams (lima prinsip pokok) yang menjadi
kebutuhan primer (dharuri) bagi setiap insan. Kelima prinsip tersebut
adalah:
a) Hifzhun Nafs, yaitu jaminan atas jiwa (kehidupan) yang dirniliki
warga negara (rakyat).
b) Hifzhud Din, yaitu jaminan kepada warga negara untuk memeluk
agama sesuai dengan keyakinannya.
c) Hifzhul Mal, yaitu jaminan terhadap keselamatan harta benda yang
dirniliki oleh warga negara.
d) Hifzhun Nasl, yaitu jaminan terhadap asal-usul, identitas, garis
keturunan setiap warga negara.
e) Hifzhul 'lrdh, yaitu jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi,
pekerjaan ataupun kedudukan setiap warga negara.
Kelima prinsip di atas beserta uraian derivatifnya dalam era sekarang ini
lebih menyerupai Hak Asasi Manusia (HAM).
4. Al-Musawah (Kesetaraan Derajat)
Semua warga negara haruslah mendapat perlakuan yang sama. Semua
warga negara memiliki kewajiban dan hak yang sama pula. Sistem kasta
atau pemihakan terhadap golongan, ras, jenis kelamin atau pemeluk
agama tetlentu tidaklah dibenarkan.
Dari beberapa syarat tersebut tidaklah terlalu berlebihan jika
dikatakan bahwa sebenarnya sistem pemerintahan yang mendekati
kriteria di atas adalah sistem demokrasi. Demokrasi yang dimaksud
adalah sistem pemerintahan yang bertumpu kepada kedaulatan rakyat.
Jadi kekuasaan negara sepenuhnya berada di tangan rakyat (civil
sociery) sebagai amanat dari Allah.
Harus kita akui, bahwa istilah "demokrasi" tidak pemah dijumpai
dalam bahasa Al-Qur’an maupun wacana hukum Islam klasik. Istilah
tersebut diadopsi dari para negarawan di Eropa. Namun, harus diakui
bahwa nilainilai yang terkandung di dalamnya banyak menyerupai
prinsip-prinsip yang harus ditegakkan dalam berbangsa dan bernegara
menurut Aswaja.
Dalam era globalisasi di mana kondisi percaturan politik dan kehidupan
umat manusia banyak mengalami perubahan yang mendasar, misalnya
kalau dulu dikenal komunitas kabilah, saat ini sudah tidak dikenallagi
bahkan kondisi umat manusia sudah menjadi "perkampungan dunia",
maka demokrasi harus dapat ditegakkan.
Pada masa lalu banyak banyak ditemui ghanimah (harta rampasan
perang) sebagai suatu perekonomian negara. Sedangkan pada saat ini
sistem perekonomian tersebut sudah tidak dikenal lagi. Perekonomian
negara banyak diambil dari pajak dan pungutan lainnya. Begitu pula jika
pada tempo dulu aqidah merupakan sentral kekuatan pemikiran, maka
saat ini aqidah bukanlah merupakan satusatunya sumber pijakan. Umat
sudah banyak berubah kepada pemahaman aqidah yang bersifat plural.
Dengan demikian, pemekaran pemikiran umat Islam haruslah tidak
dianggap sebagai sesuatu hal yang remeh dan enteng, jika umat Islam
tidak ingin tertinggal oleh bangsa-bangsa di muka bumi ini. Tentu hal ini
mengundang konsekuensi yang mendasar bagi umat Islam sebab
pemekaran terse but pasti banyak mengubah wacana pemikiran yang
sudah ada (salaf/klasik) dan umat Islam harus secara dewasa menerima
transformasi tersebut sepanjang tidak bertabrakan dengan hal-hal yang
sudah paten (qath'iy). Sebagai contoh, dalam kehidupan bemegara (baca:
demokrasi), umat Islam harus dapat menerima seorang pemimpin
(presiden) dari kalangan non-muslim atau wanita.
Islam, iman dan ihsan adalah trilogi agama (ad diin) yang membentuk
tiga dimensi keagamaan meliputi syari’ah sebagai realitas hukum,
tharîqah sebagai jembatan menuju haqîqah yang merupakan puncak
kebenaran esensial. Ketiganya adalah sisi tak terpisahkan dari keutuhan
risalah yang dibawa Rasulullah saw. yang menghadirkan kesatuan aspek
eksoterisme (lahir) dan esoterisme (batin).
Tiga dimensi agama ini (islam, iman dan ihsan), masing-masing saling
melengkapi satu sama lain. Keislaman seseorang tidak akan sempurna
tanpa mengintegrasikan keimanan dan keihsanan. Ketiganya harus
berjalan seimbang dalam perilaku dan penghayatan keagamaan umat,
seperti yang ditegaskan dalam firman Allah: Hai orang-orang yang
beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya. (QS.
Albaqarah: 208)
Imam Izzuddin bin Abdissalam mengatakan, ”hakikat Islam adalah
aktifitas badaniah (lahir) dalam menjalankan kewajiban agama, hakikat
iman adalah aktifitas hati dalam kepasrahan, dan hakikat ihsan adalah
aktifitas ruh dalam penyaksian (musyâhadah) kepada Allah”.
Dalam perkembangan selanjutnya, kecenderungan ulama dalam
menekuni dimensi keislaman, melahirkan disiplin ilmu yang disebut
fikih. Kecenderungan ulama dalam menekuni dimensi keimanan,
melahirkan disiplin ilmu tauhid. Dan kecenderungan ulama dalam
dimensi keihsanan, melahirkan disiplin ilmu tasawuf atau akhlak. Paham
Aswaja mengakomodir secara integral tiga dimensi keagamaan tersebut
sebagai doktrin dan ajaran esensialnya. Karena praktek eksoterisme
keagamaan tanpa disertai esoterisme, merupakan kemunafikan. Begitu
juga esoterisme tanpa didukung eksoterisme adalah klenik. Semata-mata
formalitas adalah tiada guna, demikian juga spiritualitas belaka adalah
sia-sia.
Imam Malik mengatakan, “Barang siapa menjalani tasawuf tanpa
fikih, maka dia telah zindiq, barang siapa memegang fikih tanpa
tasawuf, maka dia telah fasiq, dan barang siapa menyatukan keduanya,
maka dia telah menemukan kebenaran”.
1.Doktrin Keimanan
Iman adalah pembenaran (tashdîq) terhadap Allah, Rasul dan segala
risalah yang beliau bawa dari Allah. Dalam doktrin keimanan, yang
selanjutnya termanifestasi ke dalam bidang tauhid (teologi/kalam) ini,
Aswaja berpedoman pada aqidah islamiyah (ushûluddîn) yang
dirumuskan oleh Abu Alhasan Al’asy’ari (260 H /874 M – 324 H /936
M) dan Abu Manshur al Maturidi (wafat 333 H ). Kedua tokoh Aswaja
ini nyaris sepakat dalam masalah aqidah islamiyah, meliputi sifat-sifat
wajib, mustahil dan ja’iz bagi Allah, para rasul dan malaikat-Nya,
kendati keduanya berbeda dalam cara dan proses penalaran. Kedua
tokoh ini hanya berbeda dalam tiga masalah yang tidak berakibat fatal,
yaitu dalam masalah istitsnâ’, takwîn, dan iman dengan taqlid.
Pertama istitsna’, atau mengatakan keimanan dengan insyaallah,
seperti “Saya beriman, insyaallah”. Menurut Maturidiyah hal itu tidak
diperbolehkan, karena istitsnâ demikian mengisyaratkan sebuah
keraguan, dan keimanan batal dengan adanya ragu-ragu. Menurut
Asyâ’irah diperbolehkan, karena maksud istisnâ’ demikian bukan
didasari keraguan atas keimanan itu sendiri, melainkan keraguan tentang
akhir hidupnya dengan iman atau tidak, na’ûdzu billah min dzalik. Atau,
istitsnâ’ demikian maksudnya keraguan dan spekulasi terhadap
kesempurnaan imannya di hadapan Allah.
Kedua, sifat takwîn (mewujudkan). Menurut Asyâ’irah sifat takwîn
tidak berbeda dengan sifat Qudrah. Sedangkan menurut Maturidiyah,
takwîn adalah sifat tersendiri yang berkaitan dengan sifat Qudrah.
Ketiga, tentang imannya orang yang taqlid (ikut-ikutan tanpa
mengetahui dalilnya). Menurut Maturidi, imannya muqallid sah dan
disebut arif serta masuk surga. Sedangkan Menurut Abu Hasan al
‘Asy’ari, keimanan demikian tidak cukup. Sedangkan Asyâ’irah
(pengikut Abu Hasan al Asy’ari) berbeda pendapat tentang imannya
muqallid. Sebagian menyatakan mukmin tapi berdosa karena tidak mau
berusaha mengetahu melalui dalil; sebagian mengatakan mukmin dan
tidak berdosa kecuali jika mampu mengetahui dalil; dan sebagian yang
lain mengatakan tidak dianggap mukmin sama sekali.
Dari tingkatan tauhid ini, selanjutnya ada empat strata keimanan. Ada
iman bittaqlîd, iman biddalîl, iman bil iyyân dan iman bil haqq. Pertama,
iman bittaqlîd adalah keimanan melalui ungkapan orang lain tanpa
mengetahui dalilnya secara langsung. Keimanan seperti ini
keabsahannya masih diperselisihkan. Kedua, iman biddalîl (ilmul yaqîn)
ialah keyakinan terhadap aqâ’id lima puluh dengan dalil dan alasan
filosofinya. Dua strata keimanan ini masih terhalang dalam mengetahui
Allah.

Ketiga, iman bil iyyân (‘ainul yaqîn) ialah keimanan yang senantiasa
hatinya muraqabah kepada Allah. Artinya, dalam kondisi apapun, Allah
tidak hilang dari kesadaran hatinya. Dan keempat, iman bil haqq (haqqul
yaqîn) yaitu keimanan yang telah terlepas dari segala yang hadîts (baru)
dan tenggelam dalam fanâ’ billah. Mempelajari ilmu tauhid, fikih dan
tasawuf, hanya akan menghasilkan iman biddalîl (ilmul yaqîn), dan jika
keimanan ini senantiasa disertai kesadaran hati dan penghayatan
amaliah, maka naik ke strata iman bil iyyân (‘ainul yaqîn) hingga
puncaknya mencapai pada iman bil haqq (haqqul yaqîn).
Doktrin keimanan terhadap Allah, berarti tauhid atau meng-Esakan
Allah dalam af’âl (perbuatan), shifah (sifat) dan dzât. Dengan demikian,
tauhid terbagi menjadi tiga, tauhid fi’li, yaitu fana’ dari seluruh
perbuatan; tauhid washfi, yaitu fana’ dari segala sifat; dan tauhid dzati,
yaitu fana’ dari segala yang maujûd. Fana’ fi’li disebut juga dengan
ilmul yaqîn, fana’ washfi disebut juga dengan ‘ainul yaqîn, dan fana’
dzati juga disebut dengan haqqul yaqîn. Level tauhid demikian ini
merupakan puncak prestasi dari penghayatan firman Allah, “Padahal
Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu,” (QS.
Ashshafat: 96). Sebagian ulama ‘arif billah menyatakan, “Barang siapa
dapat menyaksikan makhluk tidak memiliki perbuatan, maka ia telah
beruntung, barang siapa menyaksikannya tidak hidup, maka itu
diperbolehkan, dan barang siapa menyaksikannya praktis tiada, maka ia
telah wushul”.
Konsep tauhid Aswaja mengenai af’âl (perbuatan) Allah, berada di
tengah antara paham Jabariyah di satu pihak dan Qadariyah dan
Mu’tazilah di pihak lain. Ketika Jabariyah menyatakan paham peniadaan
kebebasan dan kuasa manusia atas segala kehendak dan perbuatannya
secara mutlak, sementara Qadariyah dan Mu’tazilah menyatakan
makhluk memiliki kebebasan dan kuasa mutlak atas kehendak dan
perbuatannya. Maka lahirlah Aswaja sebagai sekte moderat di antara dua
paham ektrim tersebut. Aswaja meyakini bahwa makhluk memiliki
kebebasan kehendak (ikhtiyar) namun tidak memiliki kuasa (qudrah)
perbuatan selain sebatas kasb (upaya). Dalam keyakinan Aswaja, secara
lahir manusia adalah ‘kuasa’ (memiliki qudrah), tetapi secara batin,
manusia adalah majbûr (tidak memiliki qudrah apapun).
Dalam doktrin keimanan Aswaja, keimanan seseorang tidak dianggap
hilang dan menjadi kafir, dengan melakukan kemaksiatan. Seseorang
yang melakukan maksiat ataupun bid’ah, sementara hatinya masih teguh
meyakini dua kalimat syahadat, maka Aswaja tidak akan menvonis
sebagai kafir, melainkan sebagai orang yang sesat (dhalâl) dan durhaka.
Aswaja sangat berhati-hati dan tidak gampang dalam sikap takfîr
(mengkafirkan). Karena memvonis kafir seseorang yang sejatinya
mukmin akan menjadi bumerang bagi diri sendiri. Rasulullah saw.
Bersabda, “Ketika seseorang berkata kepada saudaranya, ‘Wahai
seorang yang kafir’, maka salah satunya benar-benar telah kafir. (HR.
Bukhari)
Keimanan seseorang akan hilang dan menjadi kafir (murtad) apabila
menafikan wujud Allah, mengandung unsur syirik yang tidak dapat
ditakwil, mengingkari kenabian, mengingkari hal-hal yang lumrah
diketahui dalam agama (ma’lûm bi adldlarûri), dan mengingkari hal-hal
mutawâtir atau mujma’ ‘alaih yang telah lumrah diketahui. Tindakan
yang menyebabkan seseorang dikategorikan kafir bisa meliputi ucapan,
perbuatan atau keyakinan, yang mengandung unsur-unsur di atas ketika
telah terbukti (tahaqquq) dan tidak bisa ditakwil.
1. Doktrin Keislaman
Doktrin keislaman, yang selanjutnya termanifestasi ke dalam bidang
fikih yang meliputi hukumhukum legal-formal (ubudiyah, mu’amalah,
munakahah, jinayah, siyasah dan lain-lain), Aswaja berpedoman pada
salah satu dari empat madzhab fikih, yaitu Hanafiyah, Malikiyah,
Syafi’iyah dan Hanabilah.
Ada alasan mendasar mengenai pembatasan Aswaja hanya kepada
empat madzhab ini. Di samping alasan otentisitas madzhab yang
terpercaya melalui konsep-konsep madzhab yang terkodifikasi secara
rapi dan sistematis, metodologi pola pikir dari empat madzhab ini relatif
tawâzun (berimbang) dalam mensinergikan antara dalil aql (rasio-logis)
dan dalil naql (teks-teks keagamaan).
Empat madzhab ini yang dinilai paling moderat dibanding madzhab
Dawud Adhdhahiri yang cenderung tekstualis dan Madzhab Mu’tazilah
yang cenderung rasionalis.
Jalan tengah (tawâsuth) yang ditempuh Aswaja di antara dua kutub
ekstrim, yaitu antara rasioalis dengan tekstualis ini, karena jalan tengah
atau moderat diyakini sebagai jalan paling selamat di antara yang
selamat, jalan terbaik diantara yang baik, sebagaimana yang ditegaskan
Nabi saw. dalam sabdanya: Sebaik-baiknya perkara adalah tengahnya.
Dengan prinsip inilah Aswaja mengakui bahwa empat madzhab yang
memadukan dalil Al Quran, Hadits, Ijma’ dan Qiyas (analogi),
diakuinya mengandung kemungkinan lebih besar berada di jalur
kebenaran dan keselamatan. Hal ini juga dapat berarti bahwa kebenaran
yang diikuti dan diyakini oleh Aswaja hanya bersifat kemungkinan dan
bukan kemutlakan. Dalam arti, mungkin benar dan bukan mutlak benar.
Empat dalil (Al Quran, Hadis, Ijma’ dan Qiyas) ini dirumuskan dari
ayat, ”Hai orangorang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Qur’an) dan Rasul (sunnahnya),” (QS. Annisa’: 59)
Ayat ini secara implisit ditegaskan, bahwa ada empat dalil yang bisa
dijadikan tendensi penggalian (istinbâth) hukum, yaitu Al Quran, Hadis,
Ijma’ dan Qiyas. Perintah taat kepada Allah dan utusanNya, berarti
perintah berpegang pada Al Quran dan Hadis, perintah taat kepada ulil
amri berarti perintah berpegang pada Ijma’ (konsensus) umat
(mujtahidîn), dan perintah mengembalikan perselisihan kepada Allah
dan RasulNya berarti perintah berpegang pada Qiyas sepanjang tidak
ada nash dan ijma’. Sebab, Qiyas hakikatnya mengembalikan sesuatu
yang berbeda pada hukum Allah dan utusanNya.
Disamping itu, Aswaja juga melegalkan taqlid, bahkan
mewajibkannya bagi umat yang tidak memiliki kapasitas dan kualifikasi
keilmuan yang memungkinkan melakukan ijtihad. Taqlid hanya haram
bagi umat yang benar-benar memiliki kapasitas dan piranti ijtihad
sebagaimana yang dikaji dalam kitab Ushul Fikih. Dengan demikian,
Aswaja tidak pernah menyatakan pintu ijtihad tertutup. Pintu ijtihad
selamanya terbuka, hanya saja umat Islam yang agaknya dewasa ini
‘enggan’ memasukinya.
Mewajibkan ijtihad kepada umat yang tidak memiliki kapasitas ijtihad,
sama saja memaksakan susuatu di luar batas kemampuannya. Maka
kepada umat seperti inilah taqlid dipahami sebagai kewajiban oleh
Aswaja berdasarkan firman Allah, “Maka bertanyalah kepada orang
yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,” (QS.
Annahl: 43).
2. Doktrin Keihsanan
Tasawuf adalah sebuah manhaj spiritual yang bisa dilewati bukan
melalui teori-teori ilmiah semata melainkan dengan mengintegrasikan
antara ilmu dan amal, dengan jalan melepaskan (takhallî) baju kenistaan
(akhlaq madzmûmah) dan mengenakan (tahallî) jubah keagungan
(akhlaq mahmûdah), sehingga Allah hadir (tajallî) dalam setiap gerak-
gerik dan perilakunya, dan inilah manifestasi konkret dari ihsan dalam
sabda Rasulullah SAW, “Ihsan adalah engkau menyembah Allah seolah
engkau melihatNya, dan jika engkau tidak melihatNya, sesungguhnya
Dia melihatmu”.
Doktrin keihsanan, yang selanjutnya termanifestasi ke dalam bidang
tasawuf atau akhlak ini, Aswaja berpedoman pada konsep tasawuf
akhlaqi atau amali, yang dirumuskan oleh Imam al Junaid al Baghdadi
dan al Ghazali. Limitasi (pembatasan) hanya kepada kedua tokoh ini,
tidak berarti manafikan tokoh-tokoh tasawuf falsafi dari kelompok
Aswaja, seperti Ibn al Arabi, al Hallaj dan tokoh-tokoh sufi
‘kontroversial’ lainnya.
Dari uraian di atas, dapat dimengerti bahwa kelompok yang masuk
kategori Aswaja meliputi ahli tauhid (kalam), ahli fikih (syariat), ahli
tasawuf (akhlak) dan bahkan ahli hadis (muhadditsîn).
DOKTRIN TEOLOGI AJARAN AHLUSSUNAH WAL JAMAAH
1.Ketuhanan (Tauhid)
Dalam masalah teologi ketuhanan, Ahlussunah wal Jamaah meyakini
bahwa Tuhan memiliki banyak sifat. Sifat-sifat yang wajib diketahui
oleh umat islam adalah sebagai berikut:
a)Wujud. Allah itu ada, Mustahil ia tidak ada.
Allah tidak berpermulaan adaNya. Mustahil bila ada yang
mendahuluinya.
b)Baqa’. Allah kekal selama-lamanya. Mustahil bila Ia sirna.
Mukhalafatu lil hawadisi. Tuhan berbeda dengan makhlukNya. Mustahil
Allah menyerupai makhlukNya.
c)Qiyamuhu bi nafsihi. Allah berdiri sendiri. Mustahil bila Allah
membutuhkan perkara lain.
Allah Maha Esa. Mustahil Allah berbilangan.
Allah Mahakuasa. Mustahil Ia Lemah.
Allah Berkehendak. Mustahil bagi Allah
d)‘Ilmu. Allah bersifat dengan ilmu(berpengetahuan). Mustahil bagiNya
tidak memiliki ilmu.
Allah hidup, Mustahil Ia mati.
e)Sama’. Allah mempunyai sifat mendengar. Mustahil Ia tuli.
Allah memiliki sifat melihat. Mustahil Allah buta.
Allah memiliki sifat berkata. Mustahil Ia bisu.
f)Kaunuhu Qadiran. Allah tetap dalam keadaan berkuasa. Mustahil ia
dalam keadaan lemah.
g)Kaunuhu Muridan. Allah tetap selalu dalam keadaan menghendaki.
Mustahil Ia dalam keadaan tidak menghendaki.
h)Kaunuhu ‘Aaliman. Allah tetap selalu dalam keadaan mengetahui.
Mustahil Ia dalam keadaan tidak mengetahui.
i)Kaunuhu Hayyan. Allah tetap selalu keadaan hidup. Mustahil Ia dalam
keadaan mati.
J)Kaunuhu Sami’an. Allah tetap selalu dalam keadaan mendengar.
Mustahil ia dalam keadaan tuli.
k)Kaunuhu Bashiran. Allah tetap selalu dalam keadaan melihat.
Mustahil Ia dalam keadaan buta.
l)Kaunuhu Mutakaliman. Allah tetap selalu dalam keadaan melihat.
Mustahil Ia bisu.
Sifat-sifat tersebut yang diyakini oleh Ahlussunah Wal Jamaah sebagai
sifat yang wajib dimiliki oleh Allah dan mustahil dimiliki Allah. Jumlah
keseluruhan sifat diatas berjumlah empat puluh, dan ditambah satu sifat
lagi, yakni sifat jaiz Allah, Allah boleh menciptakan sesuatu dan tidak
menciptakanya. Maksudnya Allah mempunyai hak preogatif atas semua
ciptaanNya. Berbeda dengan aliran Mu’tazilah, aliran Mu’tazilah
menafikan (tidak meyakini) bahwa Allah memiliki sifat-sifat Azali ,
mereka mengatakan bahwa Allah tidak memiliki sifat Qudrah, ilmu,
iradah, dan hayat.
2.Malaikat
Paham aswaja (Ahlussunah Wal Jama’ah) meyakini bahwa ada makhluk
yang tidak bisa dilihat manusia, ia diciptakan dari cahaya, makhluk
tersebut bernama malaikat. Malaikat merupakan ciptaan Allah yang
ditugaskan mengatur seluruh jagat raya dengan tugas masing-masing
yang diberikan tuhanya, dan ia terhindar dari perbuatan salah. Jumlah
malaikat tidak terhitung, akan tepapi malaikat yang wajib diketahui
berjumlah sepuluh, dengan tugas masing-masng.
1)Jibril, bertugas mengantarkan wahyu kepada Nabi.
2)Mikail, bertugas mengatur kesejahteraan manusia, seperti mengatur
hujan, angin, tanah, dan kesuburanya.
3)Isrofil, Bertugas dalam persoalan akhirat, seperti meniup terompet
tanda kiyamat, dibangkitkan dari kubur, berkumpul di padang masyar
dan lain sebagainya.
4)Izra’il, bertugas mencabut nyawa.
5)Munkar bertugas menanyai orang yang telah mati didalam kubur.
6)Nakir, bertugas menanyai orang yang telah mati didalam kubur.
7)Rakib, bertugas mencatat amal baik.
8)‘Atid, Bertugas mencatat amal buruk.
9)Malik, Bertugas menjaga neraka.
10)Ridwan, bertugas menjaga surga.
Kesepuluh malaikat tersebutlah yang wajib diketahui dan diyakini oleh
setiap umat islam. Sedangkan malaikat-malaikat lain umat islam hanya
wajib mempercayai bahwa ada malaikat lain yang ditugaskan oleh Allah
dengan tugas masing-masing, seperti malaikat Rahmat yang bertugas
membagikan belas kasih Allah kepada hambaNya.
3.Kitaab Allah
Aliran aswaja meyakini bahwa Allah menurunkan mukjizat kepada
sebagian NabiNya yang berupa kitab, sebagai tuntunan hidup manusia.
Kitab yang diturunkan Allah berjumlah banyak, karena Rasul berjumlah
banyak. Tetapi Kitab suci yang wajib diketahui oleh umat islam
berjumalah empat:
1)Taurat, diturunkan kepada Nabi Musa As.
2)Zabur, diturunkan kepada Nabi Daud As.
3)Injil, diturunkan kepada Nabi Isa As.
4)Al-Quran, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Itulah keempat kitab yang wajib diketahui oleh umat islam. Sedangkan
kitab yang lain, seperti shuhuf Nabi Ibrahim As. Umat islam tidak wajib
mengetahui secara terperinci.
4.Nabi Dan Rasul
Dalam menyampaikan syari’at kepada hambanya, Allah memilih
sebagian manusia untuk mengabarkan dan mengajak manusia agar
melaksanakan syari’at yang dibawanya, orang tersebutlah yang
dinamakan Rasul(Utusan Allah). Sedangkan yang hanya mendapatkan
wahyu tetapi tidak diperintahkan untuk menyampaikan syariat tersebut
kepada manusia disebut nabi. Jumlah Nabi banyak, dan yang termasuk
rasul berjumlah tiga ratus tida belas. Akan tetapi yang wajib diketahui
oleh orang mukallaf berjumlah dua puluh lima, yakni;
1) Adam. 16) Zulkifli
2) Idris 17) Daid
3) Nuh 18) Sulaiman
4) Hud 19) Ilyas
5) Sholih 20) Ilyasa’
6) Ibrahim 21) Yunus
7) Luth 22) Zakariya
8) Ismail 23) Yahya
9) Ishaq 24) Isa
10) Ya’qub 25) Muhammad ‘alaihim al-salam
11) Yusuf
12) Ayub
13) Syu’aib
14) Musa
15) Harun

Rasul juga memiliki beberapa sifat yang wajib diyakini kebenaranya.


Rasul memiliki empat sifat wajib dan empat sifat mustahil(tidak
mungkin dimiliki), yaitu :
a)Sidq (Benar), mustahil ia pendusta
b)Amanah (Dipercaya), mustahil ia khianat
c)Tabligh (Menyampaikan), mustahil ia menyembunyikan
d)Fathanah (pintar), mustahil ia bodoh
Rasul juga memiliki sifat jaiz , yaitu Rasul juga memiliki sifat-sifat
manusia yang tidak merendahkan drajat Rasul, seperti makan, minum,
tidur, dan lain sebagainya.
Keseluruhan Dari sifat wajib yang dimiliki Allah, yang mustahil
dimiliki Allah, jaiz, sifat wajib Rasul, sifat mustahil Rasul dan sifat jaiz
Rasul berjumlah lima puluh sifat, yang biasa disebut dengan ‘aqoid seket
(lima puluh aqidah).
5.Hari Kiamat
Umat Islam wajib meyakini bahwa setelah kehidupan di dunia ada
kehidupan lain, yaitu kehidupan akhirat. Dimana semua manusia
dihidupkan kembali dan dimintai pertanggung jawaban atas semua
perbuatanya di dunia, kemudian menerima balasanya, berupa surga dan
neraka. Aswaja juga meyakini bahwa kenikmatan surga bersifat kekal,
begitu juga siksa neraka bagi orang yang menyekutukan Allah. Berbeda
dengan pendapat Aliran ‘Amraiyah yang termasuk pecahan dari
golongan mu’tazilah yang berpendapat bahwa semua ciptaan Allah akan
sirna, termasuk kenikmatan surga dan neraka. Namun sebelum
berlangsungnya kehidupan akhirat aliran Aswaja meyakini bahwa akan
terjadi yaum al-akhir (hari akhir), atau yang biasa disebut dengan hari
kiamat.
Jadi pada akhir kehidupan ini akan terjadi kiamat, yakni hari dimana
semua manusia akan mati, kemudian dibangkitkan kembali untuk
mempertanggung jawabkan perbuatan mereka didunia dan menerima
balasanya.
6.Qadha’ Dan Qadar
Qodha menurut faham Aswaja adalah ketetapan Tuhan pada zaman
azali tentang sesuatu. Sedangkan realisasi dari qadha’ tersebut
dinamakan qadar. Jadi bisa diambil kesimpulan bahwa yang dinamakan
Qadha ialah rencana Allah yang telah ditetapkan terhadap sesuatu
sebelum menciptakanya,sedangkan Qadar ialah pelaksanaan dari
ketetapan tersebut. Contoh: Allah menetapkan Fulan dilahirkan di
Indonesia sebelum Allah menciptakanya, inilah yang dinamakan Qadha.
Kemudian Fulan dilahirkan di Indonesia, inilah yang dinamakan Qadar.
Aliran Aswaja meyakini bahwa semua yang terjadi pada makhluk,
baik berupa keadaan maupun perbuatan tidak lepas dari Qadha Dan
Qadar Allah. Berbeda halnya dengan pendapat mayoritas Aliran
Mu’tazilah, mereka berpendapat bahwa Allah tidak menciptakan
perbuatan manusia, semua yang dilakukan manusia adalah kehendak
mereka sendiri, bahkan Allah tidak mampu merubahnya. Bahkan
mereka berpendapat bahwa Allah tidak mampu menetapkan sesuatu
yang telah menjadi hak manusia.

beberapa nama tokoh terkemuka yang memiliki andil besar dalam


penyebaran akidah Asy’ariyyah. Ulama kita di kalangan Ahlussunnah
mengatakan bahwa menyebut nama orang-orang saleh adalah sebab bagi
turunnya segala rahmat dan karunia Allah; Bi Dzikr ash-Shâlihîn
Tatanazzal ar-Rahamât”. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa al-
Imâm Ahmad ibn Hanbal berkata tentang salah seorang yang sangat
saleh bernama Shafwan ibn Sulaim: “Dia (Shafwan ibn Sulaim) adalah
orang saleh yang bila disebut namanya maka hujan akan turun”.
Karenanya, semoga dengan penyebutan orang-orang saleh berikut ini,
kita mendapatkan karunia dan rahmat dari Allah. Amin.
Tokoh – Tokoh Ahlussunnah Wal Jamaah
A. Angkatan Pertama
Angkatan yang semasa dengan al-Imâm Abu al-Hasan sendiri, yaitu
mereka yang belajar kepadanya dan mengambil pendapat-pendapatnya,
di antaranya: Abu al-Hasan al-Bahili, Abu Sahl ash-Shu’luki (w 369 H),
Abu Ishaq al-Isfirayini (w 418 H), Abu Bakar al-Qaffal asy-Syasyi (w
365 H), Abu Zaid al-Marwazi (w 371 H), Abu Abdillah ibn Khafif asy-
Syirazi; seorang sufi terkemuka (w 371 H), Zahir ibn Ahmad as-
Sarakhsi (w 389 H), Abu Bakr al-Jurjani al-Isma’ili (w 371 H), Abu
Bakar al-Audani (w 385 H), Abu al-Hasan Abd al-Aziz ibn Muhammad
yang dikenal dengan sebutan ad-Dumal, Abu Ja’far as-Sulami an-
Naqqasy (w 379 H), Abu Abdillah al-Ashbahani (w 381 H), Abu
Muhammad al-Qurasyi az-Zuhri (w 382 H), Abu Manshur ibn Hamsyad
(w 388 H), Abu al-Husain ibn Sam’un salah seorang sufi ternama (w
387 H), Abu Abd ar-Rahman asy-Syuruthi al-Jurjani (w 389 H), Abu
Abdillah Muhammad ibn Ahmad; Ibn Mujahid ath-Tha’i, Bundar ibn al-
Husain ibn Muhammad al-Muhallab yang lebih dikenal Abu al-Husain
ash-Shufi (w 353 H), dan Abu al-Hasan Ali ibn Mahdi ath-Thabari.

B. Angkatan Ke Dua
Di antara angkatan ke dua pasca generasi al-Imâm Abu al-Hasan al-
Asy’ari adalah; Abu Sa’ad ibn Abi Bakr al-Isma’ili al-Jurjani (w 396 H),
Abu Nashr ibn Abu Bakr Ahmad ibn Ibrahim al-Isma’ili (w 405 H), Abu
ath-Thayyib ibn Abi Sahl ash-Shu’luki, Abu al-Hasan ibn Dawud al-
Muqri ad-Darani, al-Qâdlî Abu Bakar Muhammad al-Baqillani (w 403
H), Abu Bakar Ibn Furak (w 406 H), Abu Ali ad-Daqqaq; seorang sufi
terkemuka (w 405 H), Abu Abdillah al-Hakim an-Naisaburi; penulis
kitab al-Mustadrak ‘Alâ ash-Shahîhain, Abu Sa’ad al-Kharqusyi, Abu
Umar al-Basthami, Abu al-Qasim al-Bajali, Abu al-Hasan ibn
Masyadzah, Abu Thalib al-Muhtadi, Abu Ma’mar ibn Sa’ad al-Isma’ili,
Abu Hazim al-Abdawi al-A’raj, Abu Ali ibn Syadzan, al-Hâfizh Abu
Nu’aim al-Ashbahani penulis kitab Hilyah al-Auliyâ’ Fî Thabaqât al-
Ashfiyâ’ (w 430 H), Abu Hamid ibn Dilluyah, Abu al-Hasan al-Balyan
al-Maliki, Abu al-Fadl al-Mumsi al-Maliki, Abu al-Qasim Abdurrahman
ibn Abd al-Mu’min al-Makki al-Maliki, Abu Bakar al-Abhari, Abu
Muhammad ibn Abi Yazid, Abu Muhammad ibn at-Tabban, Abu Ishaq
Ibrahim ibn Abdillah al-Qalanisi.
C. Angkatan Ke Tiga
Di antaranya; Abu al-Hasan as-Sukari, Abu Manshur al-Ayyubi an-
Naisaburi, Abd al-Wahhab al-Maliki, Abu al-Hasan an-Nu’aimi, Abu
Thahir ibn Khurasyah, Abu Manshur Abd al-Qahir ibn Thahir al-
Baghadadi (w 429 H) penulis kitab al-Farq Bayn al-Firaq, Abu Dzarr al-
Harawi, Abu Bakar ibn al-Jarmi, Abu Muhammad Abdulah ibn Yusuf
al-Juwaini; ayah Imam al-Haramain (w 434 H), Abu al-Qasim ibn Abi
Utsman al-Hamadzani al-Baghdadi, Abu Ja’far as-Simnani al-Hanafi,
Abu Hatim al-Qazwini, Rasya’ ibn Nazhif al-Muqri, Abu Muhammad
al-Ashbahani yang dikenal dengan sebutan Ibn al-Labban, Sulaim ar-
Razi, Abu Abdillah al-Khabbazi, Abu al-Fadl ibn Amrus al-Maliki, Abu
al-Qasim Abd al-Jabbar ibn Ali al-Isfirayini, al-Hâfizh Abu Bakr Ahmad
ibn al-Husain al-Bayhaqi; penulis Sunan al-Bayhaqi (w 458 H), dan Abu
Iran al-Fasi.
D. Angkatan Ke Empat
Di antaranya; al-Hâfizh al-Khathib al-Baghdadi (w 463 H), Abu al-
Qasim Abd al-Karim ibn Hawazan al-Qusyairi penulis kitab ar-Risâlah
al-Qusyairiyyah (w 465 H), Abu Ali ibn Abi Huraisah al-Hamadzani,
Abu al-Muzhaffar al-Isfirayini penulis kitab at-Tabshîr Fî ad-Dîn Wa
Tamyîz al-Firqah an-Nâjiyah Min al-Firaq al-Hâlikîn (w 471 H), Abu
Ishaq asy-Syirazi; penulis kitab at-Tanbîh Fî al-Fiqh asy-Syâfi’i (w 476
H), Abu al-Ma’ali Abd al-Malik ibn Abdullah al-Juwaini yang lebih
dikenal dengan Imam al-Haramain (w 478 H), Abu Sa’id al-Mutawalli
(w 478 H), Nashr al-Maqdisi, Abu Abdillah ath-Thabari, Abu Ishaq at-
Tunusi al-Maliki, Abu al-Wafa’ Ali ibn Aqil al-Hanbali (w 513 H)
pimpinan ulama madzhab Hanbali di masanya, ad-Damighani al-Hanafi,
dan Abu Bakar an-Nashih al-Hanafi.
E. Angkatan Ke Lima
Di antaranya; Abu al-Muzhaffar al-Khawwafi, Ilkiya, Abu Hamid
Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali (w 505 H), Abu al-Mu’ain
Maimun ibn Muhammad an-Nasafi (w 508 H), asy-Syasyi, Abd ar-
Rahim ibn Abd al-Karim yang dikenal dengan Abu Nashr al-Qusyairi (w
514 H), Abu Sa’id al-Mihani, Abu Abdillah ad-Dibaji, Abu al-Abbas ibn
ar-Ruthabi, Abu Abdillah al-Furawi, Abu Sa’id ibn Abi Shalih al-
Mu’adz-dzin, Abu al-Hasan as-Sulami, Abu Manshur ibn Masyadzah al-
Ashbahani, Abu Hafsh Najmuddin Umar ibn Muhammad an-Nasafi (w
538 H) penulis kitab al-‘Aqîdah an-Nasafiyyah, Abu al-Futuh al-
Isfirayini, Nashrullah al-Mishshishi, Abu al-Walid al-Baji, Abu Umar
ibn Abd al-Barr al-Hâfizh, Abu al-Hasan al-Qabisi, al-Hâfizh Abu al-
Qasim ibn Asakir (w 571 H), al-Hâfizh Abu al-Hasan al-Muradi, al-
Hâfizh Abu Sa’ad ibn as-Sam’ani, al-Hâfizh Abu Thahir as-Silafi, al-
Qâdlî ‘Iyadl ibn Muhammad al-Yahshubi (w 533 H), Abu al-Fath
Muhammad ibn Abd al-Karim asy-Syahrastani (w 548 H) penulis kitab
al-Milal Wa an-Nihal, as-Sayyid Ahmad ar-Rifa’i (w 578 H) perintis
tarekat ar-Rifa’iyyah, as-Sulthân Shalahuddin al-Ayyubi (w 589 H) yang
telah memerdekakan Bait al-Maqdis dari bala tentara Salib, al-Hâfizh
Abd ar-Rahman ibn Ali yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn al-Jawzi
(w 597 H).
F. Angkatan Ke Enam
Di antaranya; Fakhruddin ar-Razi al-Mufassir (w 606 H), Saifuddin
al-Amidi (w 631 H), Izuddin ibn Abd as-Salam Sulthân al-‘Ulamâ’ (w
660 H), Amr ibn al-Hajib al-Maliki (w 646 H), Jamaluddin Mahmud ibn
Ahmad al-Hashiri (w 636 H) pempinan ulama madzhab Hanafi di
masanya, al-Khusrusyahi, Taqiyuddin ibn Daqiq al-Ied (w 702 H),
Ala’uddin al-Baji, al-Hâfizh Taqiyyuddin Ali ibn Abd al-Kafi as-Subki
(w 756 H), Tajuddin Abu Nashr Abd al-Wahhab ibn Ali ibn Abd al-Kafi
as-Subki (w 771 H), Shadruddin ibn al-Murahhil, Shadruddin Sulaiman
ibn Abd al-Hakam al-Maliki, Syamsuddin al-Hariri al-Khathib,
Jamaluddin az-Zamlakani, Badruddin Muhammad ibn Ibrahim yang
dikenal dengan sebutan Ibn Jama’ah (w 733 H), Muhammad ibn Ahmad
al-Qurthubi penulis kitab Tafsir al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân atau lebih
dikenal dengan at-Tafsîr al-Qurthubi (w 671 H), Syihabuddin Ahmad
ibn Yahya al-Kilabi al-Halabi yang dikenal dengan sebutan Ibn Jahbal
(w 733 H), Syamsuddin as-Saruji al-Hanafi, Syamsuddin ibn al-Hariri
al-Hanafi, Adluddin al-Iji asy-Syiraji, al-Hâfizh Yahya ibn asy-Syaraf
an-Nawawi; penulis al-Minhâj Bi Syarh Shahîh Muslim ibn al-Hajjâj (w
676 H), al-Malik an-Nâshir Muhammad ibn Qalawun (w 741 H), al-
Hâfizh Ahmad ibn Yusuf yang dikenal dengan sebutan as-Samin al-
Halabi (w 756 H), al-Hâfizh Shalahuddin Abu Sa’id al-Ala-i (w 761 H),
Abdullah ibn As’ad al-Yafi’i seorang sufi terkemuka (w 768 H), Mas’ud
ibn Umar at-Taftazani (w 791 H).
G. Angkatan Ke Tujuh
al-Hâfizh Abu Zur’ah Ahmad ibn Abd ar-Rahim al-Iraqi (w 826 H),
Taqiyyuddin Abu Bakr al-Hishni ibn Muhammad; penulis Kifâyah al-
Akhyâr (w 829 H), Amîr al-Mu’minîn Fî al-Hadîts al-Hâfizh Ahmad ibn
Hajar al-Asqalani; penulis kitab Fath al-Bâri Syarh Shahîh al-Bukhâri (w
852 H), Muhammad ibn Muhammad al-Hanafi yang lebih dikenal
dengan sebutan Ibn Amir al-Hajj (w 879 H), Badruddin Mahmud ibn
Ahmad al-Aini; penulis ‘Umdah al-Qâri’ Bi Syarh Shahîh al-Bukhâri (w
855 H), Jalaluddin Muhammad ibn Ahmad al-Mahalli (w 864 H),
Burhanuddin Ibrahim ibn Umar al-Biqa’i; penulis kitab tafsir Nazhm ad-
Durar (w 885 H), Abu Abdillah Muhammad ibn Yusuf as-Sanusi;
penulis al-‘Aqîdah as-Sanûsiyyah (w 895 H).
H. Angkatan ke Delapan
Al-Qâdlî Musthafa ibn Muhammad al-Kastulli al-Hanafi (w 901 H),
al-Hâfizh Muhammad ibn Abd ar-Rahman as-Sakhawi (w 902 H), al-
Hâfizh Jalaluddin Abd ar-Rahman ibn Abu Bakr as-Suyuthi (w 911 H),
Syihabuddin Abu al-Abbas Ahmad ibn Muhammad al-Qasthallani;
penulis Irsyâd as-Sâri Bi Syarh Shahîh al-Bukhâri (w 923 H), Zakariyya
al-Anshari (w 926 H), al-Hâfizh Muhammad ibn Ali yang lebih dikenal
dengan sebutan al-Hâfizh Ibn Thulun al-Hanafi (w 953 H).
I. Angkatan Ke Sembilan Dan Seterusnya
Abd al-Wahhab asy-Sya’rani (w 973 H), Syihabuddin Ahmad ibn
Muhammad yang dikenal dengan sebutan Ibn Hajar al-Haitami (w 974
H), Mulla Ali al-Qari (w 1014 H), Burhanuddin Ibrahim ibn Ibrahim ibn
Hasan al-Laqqani; penulis Nazham Jawharah at-Tauhîd (w 1041 H),
Ahmad ibn Muhammad al-Maqarri at-Tilimsani; penulis Nazham
Idlâ’ah ad-Dujunnah (w 1041 H), al-Muhaddits Muhammad ibn Ali
yang lebih dikenal dengan nama Ibn Allan ash-Shiddiqi (w 1057 H),
Kamaluddin al-Bayyadli al-Hanafi (w 1098 H), Muhammad ibn Abd al-
Baqi az-Zurqani (w 1122 H), as-Sayyid Abdullah ibn Alawi al-Haddad
al-Hadlrami al-Husaini; penulis Râtib al-Haddâd (1132 H), Muhammad
ibn Abd al-Hadi as-Sindi; penulis kitab Syarh Sunan an-Nasâ-i (w 1138
H), Abd al-Ghani an-Nabulsi (w 1143 H), Abu al-Barakat Ahmad ibn
Muhammad ad-Dardir; penulis al-Kharîdah al-Bahiyyah (w 1201 H), al-
Hâfizh as-Sayyid Muhammad Murtadla az-Zabidi (w 1205 H), ad-
Dusuqi; penulis Hâsyiyah Umm al-Barâhîn (w 1230 H), Muhammad
Amin ibn Umar yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn Abidin al-Hanafi
(w 1252 H).
Nama-nama ulama terkemuka ini hanya mereka yang hidup sampai
sekitar abad 12 hijriyyah, dan itupun hanya sebagiannya saja.
Ulama - ulama’ as-Sunnah as-Salaf yang telah menampakkan
aqidah-aqidah Ahlussunnah yang merupakan panutan.
1.Imam abu abdillah sufyan bin said bin masruq ast tsauri wafat 161 H.
Imam Sufyan Ats-Tsauri bernama lengkap Sufyan bin Sa'id bin Masruq
bin Habib bin Rafi' bin Abdillah, dan dipanggil pula dengan sebutan
Abu Abdillah Ats-Tsauri. Beliau lahir di Kufah pada tahun 96 H. atau
yang bertepatan dengan tahun 716 M. dan wafat di Bashrah pada bulan
Sya'ban tahun 161 H. bertepatan dengan tahun 778 M
aqidah dan madzhab sunnahnya telah dinampakan dan “diimlakan”
pada abu sholeh syuaib bin harb al baghdadi.
2. Imam Abu Muhammad Sufyan bin Uyainah Al-Hilali.
Sufyan bin ‘Uyainah atau Ibnu Uyainah adalah seorang Imam Sunni dan
ahli hadis di tanah haram Makkah. Julukannya adalah “Abu Muhammad
Al-Hilali Al-Kufi Al-Makki”. Nama lengkapnya adalah Sufyan bin
Uyainah bin Abu Imran Maimun . lahir di kota Kuffah pada pertengahan
bulan Sya'ban tahun 107 H.
telah membeberkan aqidah – aqidahnya ketika ditanya soal itu,
sebagaimana telah diriwayatkan oleh abu abdillah muhammad bin ishaq
ats – tsaqofi.
3. Imam Abu Amr Abdurrohman bin Amr Al – Auza’i.
Nama sebenarnya adalah Abu ‘amr Abdurahman bin amr Asy Syamy ad
Dimasqy. Ia seorang fiqh di Syam di masanya. Dilahirkan pada tahun 88
H dan wafat tahun 157 H.

Beliau seorang Ulama Tabi’it Tabi’in, menerima hadits dari golongan


Tabi’in yaitu ‘Atha’ bin Abi Rabah, Qatadah, Nafi’, az Zuhry, Yahya
bin Abi Katsir dan yang laiinya.
Imam daerah syam telah menampakan aqidah – aqidahnya pada saat
bid’ah telah merebak. Hal ini telah diriwayatkan oleh ibrohim bin
muhammad bin abdilah bin ishaq al – fazari .
3. Imam Abu Abdirrohman ibn Mubaraok.
Abdullah bin al-Mubarak atau Ibnul Mubarak, yang diberi gelar Abu
Abdirrahman, lahir di Marwa pada tahun 118 H. dan wafat di bulan
Ramadhan, saat kembali dari medan perang pada 181 H. dalam umur 63
tahun, atau yang bertepatan dengan tahun 736 – 797 M.Beliau adalah
seorang ahli fikih, ahli hadits, punya sikap wara’ atau hati-hati,
tepercaya dalam bidang hadits, zuhud, suka berjihad, sangat alim,
pemberani, dermawan, ahli sejarah, dan lain-lain.
4. Imam Abul Ali Frdloil bin ‘Iyadl, seorang zahid, tsiqoh, wira’I ,
wafat 86 H.
5. Imam Waqi’ bin Jarrah.
Nama sebenarnya adalah Abu Sufyan Waqi’ bin al Jarrah bin Malikh
bin ‘Adiy, Ia dilahirkan pada tahun 127 H, Ia seorang ulama dari tabi’it
tabi’in dan seorang hafidh ahli hadist yang besar, Imam dari ulama
ulama Kufah dalam bidang hadist dan lainnya.
6. Imam Yusuf bin Asbat.
Yusuf bin Asbath seorang tabi-tabiin ahli zuhud murid dari Sofyan
Ats-tsauri mengatakan, akhlak mulia.
7. Imam Suraik bin Abdillah an-Nakha’i.
Sebagaimana dinyatakan oleh Imam an-Nawawi dalam Tahdzîb al-
Asmâ’ wa al-Lughât, juga oleh Ibn Hajar al-Asqalani dalam Tahdzîb at-
Tahdzîb, Ibrahim an-Nakha’i bernama lengkap Abu Imran Ibrahim bin
Yazid bin Qais an-Nakha’i al-Kufi. Ia adalah seorang ulama besar dan
mulia dari kalangan tâbi’in yang tinggal di Kufah
8. Imam Abu Said Yahya bin Said al-Qaththan
Nama sebenarnya adalah Yahya bin Sa'id bin Farrukh Al Qaththan At
Tamimi Al Ahwal dengan kunyah Abu Sa'id Al Bashri rahimahullah.
Beliau dilahirkan pada awal tahun 120 H yang berstatus bekas budak
Bani Tamim menurut sebagian ulama.
9. Imam Abu Ishaq al-Fazazi.
Abū Ishāq al-Fazārī , dia adalah Ibrahīm ibn Muḥammad ibn al-Ḥārith,
Abū Isḥāq al-Fazārī ,ahli sejarah tradisional Irak, dan ahli sejarah Islam
tahun 804.
10. Imam Abu Abdillah Malik bin Anas al-Asbihani al-Madani, Imam
“Dar al-Hijrah wa Faqih al-Haromain”
Mālik ibn Anas bin Malik bin 'Āmr al-Asbahi atau Malik bin Anas
(lengkapnya: Malik bin Anas bin Malik bin `Amr, al-Imam, Abu `Abd
Allah al-Humyari al-Asbahi al-Madani), lahir di (Madinah pada tahun
711 M / 90H), dan meninggal pada tahun 795M / 174H). Ia adalah pakar
ilmu fikih dan hadis, serta pendiri Mazhab Maliki.
11. Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris as-Syafi’I al-Muttholibi.
Sayyidul fuqaha’ fi zamanihi.
Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi'i al-Muththalibi al-
Qurasyi atau singkatnya Imam Asy-Syafi'i (Ashkelon, Gaza, Palestina,
150 H/767 M - Fusthat, Mesir, 205 H/820 M) adalah seorang mufti besar
Sunni Islam dan juga pendiri mazhab Syafi'i. Imam Syafi'i juga
tergolong kerabat dari Rasulullah, ia termasuk dalam Bani Muththalib,
yaitu keturunan dari al-Muththalib, saudara dari Hasyim, yang
merupakan kakek Muhammad.
12. Imam Abu Ubaid al-Qasim bin Salam
Abu 'Ubaid al-Qasim bin Sallam al-Khurasani al-Harawi atau lebih
dikenal dengan Abu Ubaid al-Qasim bin Salam. Lahir di Herat tahun
154 H/770 wafat tahun 224 H/838 pada usia 67 tahun adalah seorang
ulama dibidang Bahasa Arab.
13. Imam Abu Hasan Nadlr bin Syummail an-Nahwi al-Bisri (wafat
203H)
14. Imam Abu Ya’qub Yusuf bin Yahya al-Buwaithi al-Mishri.
Imam Abu Ya’qub Yusuf bin Yahya al-Buwaithi al-Mishri Murid
Imam Syafi’I (wafat;232 H), telah menampakkan aqidah “keqadiman al-
Qur’an” pada saat terjadi fitnah kubro dari kekhalifahan al-Ma’mun.16)
15. Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hambal.
Imam Ahmad bin Hanbal lahir 20 Rabiul awal 164 H (27 November
780) - wafat 12 Rabiul Awal 241 H (4 Agustus 855) adalah seorang ahli
hadits dan teologi Islam. Ia lahir di Marw (saat ini bernama Mary di
Turkmenistan, utara Afganistan dan utara Iran) di kota Baghdad, Irak.
Kunyahnya Abu Abdillah lengkapnya: Ahmad bin Muhammad bin
Hambal bin Hilal bin Asad Al Marwazi Al Baghdadi/ Ahmad bin
Muhammad bin Hanbal dikenal juga sebagai Imam Hambali. Telah
menampakkan aqidahnya, mengajak umat menetapinya, serta tabah
menghadapi siksaan demi memegang “al-Qur’an Qadim”.
16. Imam Abu Abdirrahman Zahir bin Nu’aim al-Baby as-Sijistani
Imam Abu Dawud (817 / 202 H – meninggal di Basrah 888 / 16
Syawal 275 H umur 70–71 tahun) adalah salah seorang perawi hadis,
yang mengumpulkan sekitar 50.000 hadis lalu memilih dan menuliskan
4.800 di antaranya dalam kitab Sunan Abu Dawud. Nama lengkapnya
adalah Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy'ats As-Sijistani. Untuk
mengumpulkan hadis, dia bepergian ke Arab Saudi, Irak, Khurasan,
Mesir, Suriah, Nishapur, Marv, dan tempat-tempat lain, menjadikannya
salah seorang ulama yang paling luas perjalanannya.
17. Imam Abu Yahya Zakariya bin Yahya as-Saaji
Imam Abu Yahya Zakaria bin Yahya As-Saji Asy-Syafi'I, Lahir :220
H/835 M - Wafat :307 H/920 M merupakan muhaddist kota Bashrah
masanya, dan faqih Madzhab Syafi'i. Menurut Adz-Dzahabi, Beliau
merupakan salah satu guru Abu Hasan Al-Asy'ari dalam bidang hadist
waktu masih kecil dan belum aliran Mu'tazilah.
18. Imam Abu Raja’ Quthaibah bin Sa’id ats-Tsaqafi al-Baghdadi
Imam Qutaibah bin Sa’id bin Jamil bin Tharif Ats-Tsaqafi, al Balkhi,
al Baghlani. Dilahirkan di tahun 149 H. Dikisahkan bahwa kakek beliau,
Jamil bin Tharif termasuk bekas budak al Hajjaj Ats Tsaqafi, sang
gubernur yang sangat terkenal kezalimannya. Apabila al Hajjaj duduk di
singgasananya, maka Jamil bin Tharif duduk di atas kursi sebelah kanan
al Hajjaj. Rawi terakhir yang meriwayatkan hadits dari Abu Abbas
Muhammad bin Ishaq as-Sarraj.
19. Imam Husain bin Abdirrahman al-Ihtiyathi
Imam Husain bin ‘Alī bin Abī Thālib, lahir 3 Sya‘bān 4 H dan wafat 10
Muharram 61 H atau 8 Januari 626 M - 10 Oktober 680 M ) adalah cucu
dari Nabi Muhammad yang merupakan putra dari Fatimah az-Zahra dan
Ali bin Abi Thalib. Husain merupakan Imam ketiga bagi kebanyakan
Mazhab Ahlul Bait (Syi'ah), dan Imam kedua bagi yang lain. Ia
dihormati oleh Sunni karena ia merupakan Ahlul Bait. Ia juga sangat
dihormati kaum Sufi karena menjadi Waliy Mursyid yang ke 2 setelah
ayah dia terutama bagi tarekat Qadiriyyah di seluruh dunia dan tarekat
Alawiyyah di Hadramaut.

Anda mungkin juga menyukai