Ketiga, iman bil iyyân (‘ainul yaqîn) ialah keimanan yang senantiasa
hatinya muraqabah kepada Allah. Artinya, dalam kondisi apapun, Allah
tidak hilang dari kesadaran hatinya. Dan keempat, iman bil haqq (haqqul
yaqîn) yaitu keimanan yang telah terlepas dari segala yang hadîts (baru)
dan tenggelam dalam fanâ’ billah. Mempelajari ilmu tauhid, fikih dan
tasawuf, hanya akan menghasilkan iman biddalîl (ilmul yaqîn), dan jika
keimanan ini senantiasa disertai kesadaran hati dan penghayatan
amaliah, maka naik ke strata iman bil iyyân (‘ainul yaqîn) hingga
puncaknya mencapai pada iman bil haqq (haqqul yaqîn).
Doktrin keimanan terhadap Allah, berarti tauhid atau meng-Esakan
Allah dalam af’âl (perbuatan), shifah (sifat) dan dzât. Dengan demikian,
tauhid terbagi menjadi tiga, tauhid fi’li, yaitu fana’ dari seluruh
perbuatan; tauhid washfi, yaitu fana’ dari segala sifat; dan tauhid dzati,
yaitu fana’ dari segala yang maujûd. Fana’ fi’li disebut juga dengan
ilmul yaqîn, fana’ washfi disebut juga dengan ‘ainul yaqîn, dan fana’
dzati juga disebut dengan haqqul yaqîn. Level tauhid demikian ini
merupakan puncak prestasi dari penghayatan firman Allah, “Padahal
Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu,” (QS.
Ashshafat: 96). Sebagian ulama ‘arif billah menyatakan, “Barang siapa
dapat menyaksikan makhluk tidak memiliki perbuatan, maka ia telah
beruntung, barang siapa menyaksikannya tidak hidup, maka itu
diperbolehkan, dan barang siapa menyaksikannya praktis tiada, maka ia
telah wushul”.
Konsep tauhid Aswaja mengenai af’âl (perbuatan) Allah, berada di
tengah antara paham Jabariyah di satu pihak dan Qadariyah dan
Mu’tazilah di pihak lain. Ketika Jabariyah menyatakan paham peniadaan
kebebasan dan kuasa manusia atas segala kehendak dan perbuatannya
secara mutlak, sementara Qadariyah dan Mu’tazilah menyatakan
makhluk memiliki kebebasan dan kuasa mutlak atas kehendak dan
perbuatannya. Maka lahirlah Aswaja sebagai sekte moderat di antara dua
paham ektrim tersebut. Aswaja meyakini bahwa makhluk memiliki
kebebasan kehendak (ikhtiyar) namun tidak memiliki kuasa (qudrah)
perbuatan selain sebatas kasb (upaya). Dalam keyakinan Aswaja, secara
lahir manusia adalah ‘kuasa’ (memiliki qudrah), tetapi secara batin,
manusia adalah majbûr (tidak memiliki qudrah apapun).
Dalam doktrin keimanan Aswaja, keimanan seseorang tidak dianggap
hilang dan menjadi kafir, dengan melakukan kemaksiatan. Seseorang
yang melakukan maksiat ataupun bid’ah, sementara hatinya masih teguh
meyakini dua kalimat syahadat, maka Aswaja tidak akan menvonis
sebagai kafir, melainkan sebagai orang yang sesat (dhalâl) dan durhaka.
Aswaja sangat berhati-hati dan tidak gampang dalam sikap takfîr
(mengkafirkan). Karena memvonis kafir seseorang yang sejatinya
mukmin akan menjadi bumerang bagi diri sendiri. Rasulullah saw.
Bersabda, “Ketika seseorang berkata kepada saudaranya, ‘Wahai
seorang yang kafir’, maka salah satunya benar-benar telah kafir. (HR.
Bukhari)
Keimanan seseorang akan hilang dan menjadi kafir (murtad) apabila
menafikan wujud Allah, mengandung unsur syirik yang tidak dapat
ditakwil, mengingkari kenabian, mengingkari hal-hal yang lumrah
diketahui dalam agama (ma’lûm bi adldlarûri), dan mengingkari hal-hal
mutawâtir atau mujma’ ‘alaih yang telah lumrah diketahui. Tindakan
yang menyebabkan seseorang dikategorikan kafir bisa meliputi ucapan,
perbuatan atau keyakinan, yang mengandung unsur-unsur di atas ketika
telah terbukti (tahaqquq) dan tidak bisa ditakwil.
1. Doktrin Keislaman
Doktrin keislaman, yang selanjutnya termanifestasi ke dalam bidang
fikih yang meliputi hukumhukum legal-formal (ubudiyah, mu’amalah,
munakahah, jinayah, siyasah dan lain-lain), Aswaja berpedoman pada
salah satu dari empat madzhab fikih, yaitu Hanafiyah, Malikiyah,
Syafi’iyah dan Hanabilah.
Ada alasan mendasar mengenai pembatasan Aswaja hanya kepada
empat madzhab ini. Di samping alasan otentisitas madzhab yang
terpercaya melalui konsep-konsep madzhab yang terkodifikasi secara
rapi dan sistematis, metodologi pola pikir dari empat madzhab ini relatif
tawâzun (berimbang) dalam mensinergikan antara dalil aql (rasio-logis)
dan dalil naql (teks-teks keagamaan).
Empat madzhab ini yang dinilai paling moderat dibanding madzhab
Dawud Adhdhahiri yang cenderung tekstualis dan Madzhab Mu’tazilah
yang cenderung rasionalis.
Jalan tengah (tawâsuth) yang ditempuh Aswaja di antara dua kutub
ekstrim, yaitu antara rasioalis dengan tekstualis ini, karena jalan tengah
atau moderat diyakini sebagai jalan paling selamat di antara yang
selamat, jalan terbaik diantara yang baik, sebagaimana yang ditegaskan
Nabi saw. dalam sabdanya: Sebaik-baiknya perkara adalah tengahnya.
Dengan prinsip inilah Aswaja mengakui bahwa empat madzhab yang
memadukan dalil Al Quran, Hadits, Ijma’ dan Qiyas (analogi),
diakuinya mengandung kemungkinan lebih besar berada di jalur
kebenaran dan keselamatan. Hal ini juga dapat berarti bahwa kebenaran
yang diikuti dan diyakini oleh Aswaja hanya bersifat kemungkinan dan
bukan kemutlakan. Dalam arti, mungkin benar dan bukan mutlak benar.
Empat dalil (Al Quran, Hadis, Ijma’ dan Qiyas) ini dirumuskan dari
ayat, ”Hai orangorang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Qur’an) dan Rasul (sunnahnya),” (QS. Annisa’: 59)
Ayat ini secara implisit ditegaskan, bahwa ada empat dalil yang bisa
dijadikan tendensi penggalian (istinbâth) hukum, yaitu Al Quran, Hadis,
Ijma’ dan Qiyas. Perintah taat kepada Allah dan utusanNya, berarti
perintah berpegang pada Al Quran dan Hadis, perintah taat kepada ulil
amri berarti perintah berpegang pada Ijma’ (konsensus) umat
(mujtahidîn), dan perintah mengembalikan perselisihan kepada Allah
dan RasulNya berarti perintah berpegang pada Qiyas sepanjang tidak
ada nash dan ijma’. Sebab, Qiyas hakikatnya mengembalikan sesuatu
yang berbeda pada hukum Allah dan utusanNya.
Disamping itu, Aswaja juga melegalkan taqlid, bahkan
mewajibkannya bagi umat yang tidak memiliki kapasitas dan kualifikasi
keilmuan yang memungkinkan melakukan ijtihad. Taqlid hanya haram
bagi umat yang benar-benar memiliki kapasitas dan piranti ijtihad
sebagaimana yang dikaji dalam kitab Ushul Fikih. Dengan demikian,
Aswaja tidak pernah menyatakan pintu ijtihad tertutup. Pintu ijtihad
selamanya terbuka, hanya saja umat Islam yang agaknya dewasa ini
‘enggan’ memasukinya.
Mewajibkan ijtihad kepada umat yang tidak memiliki kapasitas ijtihad,
sama saja memaksakan susuatu di luar batas kemampuannya. Maka
kepada umat seperti inilah taqlid dipahami sebagai kewajiban oleh
Aswaja berdasarkan firman Allah, “Maka bertanyalah kepada orang
yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,” (QS.
Annahl: 43).
2. Doktrin Keihsanan
Tasawuf adalah sebuah manhaj spiritual yang bisa dilewati bukan
melalui teori-teori ilmiah semata melainkan dengan mengintegrasikan
antara ilmu dan amal, dengan jalan melepaskan (takhallî) baju kenistaan
(akhlaq madzmûmah) dan mengenakan (tahallî) jubah keagungan
(akhlaq mahmûdah), sehingga Allah hadir (tajallî) dalam setiap gerak-
gerik dan perilakunya, dan inilah manifestasi konkret dari ihsan dalam
sabda Rasulullah SAW, “Ihsan adalah engkau menyembah Allah seolah
engkau melihatNya, dan jika engkau tidak melihatNya, sesungguhnya
Dia melihatmu”.
Doktrin keihsanan, yang selanjutnya termanifestasi ke dalam bidang
tasawuf atau akhlak ini, Aswaja berpedoman pada konsep tasawuf
akhlaqi atau amali, yang dirumuskan oleh Imam al Junaid al Baghdadi
dan al Ghazali. Limitasi (pembatasan) hanya kepada kedua tokoh ini,
tidak berarti manafikan tokoh-tokoh tasawuf falsafi dari kelompok
Aswaja, seperti Ibn al Arabi, al Hallaj dan tokoh-tokoh sufi
‘kontroversial’ lainnya.
Dari uraian di atas, dapat dimengerti bahwa kelompok yang masuk
kategori Aswaja meliputi ahli tauhid (kalam), ahli fikih (syariat), ahli
tasawuf (akhlak) dan bahkan ahli hadis (muhadditsîn).
DOKTRIN TEOLOGI AJARAN AHLUSSUNAH WAL JAMAAH
1.Ketuhanan (Tauhid)
Dalam masalah teologi ketuhanan, Ahlussunah wal Jamaah meyakini
bahwa Tuhan memiliki banyak sifat. Sifat-sifat yang wajib diketahui
oleh umat islam adalah sebagai berikut:
a)Wujud. Allah itu ada, Mustahil ia tidak ada.
Allah tidak berpermulaan adaNya. Mustahil bila ada yang
mendahuluinya.
b)Baqa’. Allah kekal selama-lamanya. Mustahil bila Ia sirna.
Mukhalafatu lil hawadisi. Tuhan berbeda dengan makhlukNya. Mustahil
Allah menyerupai makhlukNya.
c)Qiyamuhu bi nafsihi. Allah berdiri sendiri. Mustahil bila Allah
membutuhkan perkara lain.
Allah Maha Esa. Mustahil Allah berbilangan.
Allah Mahakuasa. Mustahil Ia Lemah.
Allah Berkehendak. Mustahil bagi Allah
d)‘Ilmu. Allah bersifat dengan ilmu(berpengetahuan). Mustahil bagiNya
tidak memiliki ilmu.
Allah hidup, Mustahil Ia mati.
e)Sama’. Allah mempunyai sifat mendengar. Mustahil Ia tuli.
Allah memiliki sifat melihat. Mustahil Allah buta.
Allah memiliki sifat berkata. Mustahil Ia bisu.
f)Kaunuhu Qadiran. Allah tetap dalam keadaan berkuasa. Mustahil ia
dalam keadaan lemah.
g)Kaunuhu Muridan. Allah tetap selalu dalam keadaan menghendaki.
Mustahil Ia dalam keadaan tidak menghendaki.
h)Kaunuhu ‘Aaliman. Allah tetap selalu dalam keadaan mengetahui.
Mustahil Ia dalam keadaan tidak mengetahui.
i)Kaunuhu Hayyan. Allah tetap selalu keadaan hidup. Mustahil Ia dalam
keadaan mati.
J)Kaunuhu Sami’an. Allah tetap selalu dalam keadaan mendengar.
Mustahil ia dalam keadaan tuli.
k)Kaunuhu Bashiran. Allah tetap selalu dalam keadaan melihat.
Mustahil Ia dalam keadaan buta.
l)Kaunuhu Mutakaliman. Allah tetap selalu dalam keadaan melihat.
Mustahil Ia bisu.
Sifat-sifat tersebut yang diyakini oleh Ahlussunah Wal Jamaah sebagai
sifat yang wajib dimiliki oleh Allah dan mustahil dimiliki Allah. Jumlah
keseluruhan sifat diatas berjumlah empat puluh, dan ditambah satu sifat
lagi, yakni sifat jaiz Allah, Allah boleh menciptakan sesuatu dan tidak
menciptakanya. Maksudnya Allah mempunyai hak preogatif atas semua
ciptaanNya. Berbeda dengan aliran Mu’tazilah, aliran Mu’tazilah
menafikan (tidak meyakini) bahwa Allah memiliki sifat-sifat Azali ,
mereka mengatakan bahwa Allah tidak memiliki sifat Qudrah, ilmu,
iradah, dan hayat.
2.Malaikat
Paham aswaja (Ahlussunah Wal Jama’ah) meyakini bahwa ada makhluk
yang tidak bisa dilihat manusia, ia diciptakan dari cahaya, makhluk
tersebut bernama malaikat. Malaikat merupakan ciptaan Allah yang
ditugaskan mengatur seluruh jagat raya dengan tugas masing-masing
yang diberikan tuhanya, dan ia terhindar dari perbuatan salah. Jumlah
malaikat tidak terhitung, akan tepapi malaikat yang wajib diketahui
berjumlah sepuluh, dengan tugas masing-masng.
1)Jibril, bertugas mengantarkan wahyu kepada Nabi.
2)Mikail, bertugas mengatur kesejahteraan manusia, seperti mengatur
hujan, angin, tanah, dan kesuburanya.
3)Isrofil, Bertugas dalam persoalan akhirat, seperti meniup terompet
tanda kiyamat, dibangkitkan dari kubur, berkumpul di padang masyar
dan lain sebagainya.
4)Izra’il, bertugas mencabut nyawa.
5)Munkar bertugas menanyai orang yang telah mati didalam kubur.
6)Nakir, bertugas menanyai orang yang telah mati didalam kubur.
7)Rakib, bertugas mencatat amal baik.
8)‘Atid, Bertugas mencatat amal buruk.
9)Malik, Bertugas menjaga neraka.
10)Ridwan, bertugas menjaga surga.
Kesepuluh malaikat tersebutlah yang wajib diketahui dan diyakini oleh
setiap umat islam. Sedangkan malaikat-malaikat lain umat islam hanya
wajib mempercayai bahwa ada malaikat lain yang ditugaskan oleh Allah
dengan tugas masing-masing, seperti malaikat Rahmat yang bertugas
membagikan belas kasih Allah kepada hambaNya.
3.Kitaab Allah
Aliran aswaja meyakini bahwa Allah menurunkan mukjizat kepada
sebagian NabiNya yang berupa kitab, sebagai tuntunan hidup manusia.
Kitab yang diturunkan Allah berjumlah banyak, karena Rasul berjumlah
banyak. Tetapi Kitab suci yang wajib diketahui oleh umat islam
berjumalah empat:
1)Taurat, diturunkan kepada Nabi Musa As.
2)Zabur, diturunkan kepada Nabi Daud As.
3)Injil, diturunkan kepada Nabi Isa As.
4)Al-Quran, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Itulah keempat kitab yang wajib diketahui oleh umat islam. Sedangkan
kitab yang lain, seperti shuhuf Nabi Ibrahim As. Umat islam tidak wajib
mengetahui secara terperinci.
4.Nabi Dan Rasul
Dalam menyampaikan syari’at kepada hambanya, Allah memilih
sebagian manusia untuk mengabarkan dan mengajak manusia agar
melaksanakan syari’at yang dibawanya, orang tersebutlah yang
dinamakan Rasul(Utusan Allah). Sedangkan yang hanya mendapatkan
wahyu tetapi tidak diperintahkan untuk menyampaikan syariat tersebut
kepada manusia disebut nabi. Jumlah Nabi banyak, dan yang termasuk
rasul berjumlah tiga ratus tida belas. Akan tetapi yang wajib diketahui
oleh orang mukallaf berjumlah dua puluh lima, yakni;
1) Adam. 16) Zulkifli
2) Idris 17) Daid
3) Nuh 18) Sulaiman
4) Hud 19) Ilyas
5) Sholih 20) Ilyasa’
6) Ibrahim 21) Yunus
7) Luth 22) Zakariya
8) Ismail 23) Yahya
9) Ishaq 24) Isa
10) Ya’qub 25) Muhammad ‘alaihim al-salam
11) Yusuf
12) Ayub
13) Syu’aib
14) Musa
15) Harun
B. Angkatan Ke Dua
Di antara angkatan ke dua pasca generasi al-Imâm Abu al-Hasan al-
Asy’ari adalah; Abu Sa’ad ibn Abi Bakr al-Isma’ili al-Jurjani (w 396 H),
Abu Nashr ibn Abu Bakr Ahmad ibn Ibrahim al-Isma’ili (w 405 H), Abu
ath-Thayyib ibn Abi Sahl ash-Shu’luki, Abu al-Hasan ibn Dawud al-
Muqri ad-Darani, al-Qâdlî Abu Bakar Muhammad al-Baqillani (w 403
H), Abu Bakar Ibn Furak (w 406 H), Abu Ali ad-Daqqaq; seorang sufi
terkemuka (w 405 H), Abu Abdillah al-Hakim an-Naisaburi; penulis
kitab al-Mustadrak ‘Alâ ash-Shahîhain, Abu Sa’ad al-Kharqusyi, Abu
Umar al-Basthami, Abu al-Qasim al-Bajali, Abu al-Hasan ibn
Masyadzah, Abu Thalib al-Muhtadi, Abu Ma’mar ibn Sa’ad al-Isma’ili,
Abu Hazim al-Abdawi al-A’raj, Abu Ali ibn Syadzan, al-Hâfizh Abu
Nu’aim al-Ashbahani penulis kitab Hilyah al-Auliyâ’ Fî Thabaqât al-
Ashfiyâ’ (w 430 H), Abu Hamid ibn Dilluyah, Abu al-Hasan al-Balyan
al-Maliki, Abu al-Fadl al-Mumsi al-Maliki, Abu al-Qasim Abdurrahman
ibn Abd al-Mu’min al-Makki al-Maliki, Abu Bakar al-Abhari, Abu
Muhammad ibn Abi Yazid, Abu Muhammad ibn at-Tabban, Abu Ishaq
Ibrahim ibn Abdillah al-Qalanisi.
C. Angkatan Ke Tiga
Di antaranya; Abu al-Hasan as-Sukari, Abu Manshur al-Ayyubi an-
Naisaburi, Abd al-Wahhab al-Maliki, Abu al-Hasan an-Nu’aimi, Abu
Thahir ibn Khurasyah, Abu Manshur Abd al-Qahir ibn Thahir al-
Baghadadi (w 429 H) penulis kitab al-Farq Bayn al-Firaq, Abu Dzarr al-
Harawi, Abu Bakar ibn al-Jarmi, Abu Muhammad Abdulah ibn Yusuf
al-Juwaini; ayah Imam al-Haramain (w 434 H), Abu al-Qasim ibn Abi
Utsman al-Hamadzani al-Baghdadi, Abu Ja’far as-Simnani al-Hanafi,
Abu Hatim al-Qazwini, Rasya’ ibn Nazhif al-Muqri, Abu Muhammad
al-Ashbahani yang dikenal dengan sebutan Ibn al-Labban, Sulaim ar-
Razi, Abu Abdillah al-Khabbazi, Abu al-Fadl ibn Amrus al-Maliki, Abu
al-Qasim Abd al-Jabbar ibn Ali al-Isfirayini, al-Hâfizh Abu Bakr Ahmad
ibn al-Husain al-Bayhaqi; penulis Sunan al-Bayhaqi (w 458 H), dan Abu
Iran al-Fasi.
D. Angkatan Ke Empat
Di antaranya; al-Hâfizh al-Khathib al-Baghdadi (w 463 H), Abu al-
Qasim Abd al-Karim ibn Hawazan al-Qusyairi penulis kitab ar-Risâlah
al-Qusyairiyyah (w 465 H), Abu Ali ibn Abi Huraisah al-Hamadzani,
Abu al-Muzhaffar al-Isfirayini penulis kitab at-Tabshîr Fî ad-Dîn Wa
Tamyîz al-Firqah an-Nâjiyah Min al-Firaq al-Hâlikîn (w 471 H), Abu
Ishaq asy-Syirazi; penulis kitab at-Tanbîh Fî al-Fiqh asy-Syâfi’i (w 476
H), Abu al-Ma’ali Abd al-Malik ibn Abdullah al-Juwaini yang lebih
dikenal dengan Imam al-Haramain (w 478 H), Abu Sa’id al-Mutawalli
(w 478 H), Nashr al-Maqdisi, Abu Abdillah ath-Thabari, Abu Ishaq at-
Tunusi al-Maliki, Abu al-Wafa’ Ali ibn Aqil al-Hanbali (w 513 H)
pimpinan ulama madzhab Hanbali di masanya, ad-Damighani al-Hanafi,
dan Abu Bakar an-Nashih al-Hanafi.
E. Angkatan Ke Lima
Di antaranya; Abu al-Muzhaffar al-Khawwafi, Ilkiya, Abu Hamid
Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali (w 505 H), Abu al-Mu’ain
Maimun ibn Muhammad an-Nasafi (w 508 H), asy-Syasyi, Abd ar-
Rahim ibn Abd al-Karim yang dikenal dengan Abu Nashr al-Qusyairi (w
514 H), Abu Sa’id al-Mihani, Abu Abdillah ad-Dibaji, Abu al-Abbas ibn
ar-Ruthabi, Abu Abdillah al-Furawi, Abu Sa’id ibn Abi Shalih al-
Mu’adz-dzin, Abu al-Hasan as-Sulami, Abu Manshur ibn Masyadzah al-
Ashbahani, Abu Hafsh Najmuddin Umar ibn Muhammad an-Nasafi (w
538 H) penulis kitab al-‘Aqîdah an-Nasafiyyah, Abu al-Futuh al-
Isfirayini, Nashrullah al-Mishshishi, Abu al-Walid al-Baji, Abu Umar
ibn Abd al-Barr al-Hâfizh, Abu al-Hasan al-Qabisi, al-Hâfizh Abu al-
Qasim ibn Asakir (w 571 H), al-Hâfizh Abu al-Hasan al-Muradi, al-
Hâfizh Abu Sa’ad ibn as-Sam’ani, al-Hâfizh Abu Thahir as-Silafi, al-
Qâdlî ‘Iyadl ibn Muhammad al-Yahshubi (w 533 H), Abu al-Fath
Muhammad ibn Abd al-Karim asy-Syahrastani (w 548 H) penulis kitab
al-Milal Wa an-Nihal, as-Sayyid Ahmad ar-Rifa’i (w 578 H) perintis
tarekat ar-Rifa’iyyah, as-Sulthân Shalahuddin al-Ayyubi (w 589 H) yang
telah memerdekakan Bait al-Maqdis dari bala tentara Salib, al-Hâfizh
Abd ar-Rahman ibn Ali yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn al-Jawzi
(w 597 H).
F. Angkatan Ke Enam
Di antaranya; Fakhruddin ar-Razi al-Mufassir (w 606 H), Saifuddin
al-Amidi (w 631 H), Izuddin ibn Abd as-Salam Sulthân al-‘Ulamâ’ (w
660 H), Amr ibn al-Hajib al-Maliki (w 646 H), Jamaluddin Mahmud ibn
Ahmad al-Hashiri (w 636 H) pempinan ulama madzhab Hanafi di
masanya, al-Khusrusyahi, Taqiyuddin ibn Daqiq al-Ied (w 702 H),
Ala’uddin al-Baji, al-Hâfizh Taqiyyuddin Ali ibn Abd al-Kafi as-Subki
(w 756 H), Tajuddin Abu Nashr Abd al-Wahhab ibn Ali ibn Abd al-Kafi
as-Subki (w 771 H), Shadruddin ibn al-Murahhil, Shadruddin Sulaiman
ibn Abd al-Hakam al-Maliki, Syamsuddin al-Hariri al-Khathib,
Jamaluddin az-Zamlakani, Badruddin Muhammad ibn Ibrahim yang
dikenal dengan sebutan Ibn Jama’ah (w 733 H), Muhammad ibn Ahmad
al-Qurthubi penulis kitab Tafsir al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân atau lebih
dikenal dengan at-Tafsîr al-Qurthubi (w 671 H), Syihabuddin Ahmad
ibn Yahya al-Kilabi al-Halabi yang dikenal dengan sebutan Ibn Jahbal
(w 733 H), Syamsuddin as-Saruji al-Hanafi, Syamsuddin ibn al-Hariri
al-Hanafi, Adluddin al-Iji asy-Syiraji, al-Hâfizh Yahya ibn asy-Syaraf
an-Nawawi; penulis al-Minhâj Bi Syarh Shahîh Muslim ibn al-Hajjâj (w
676 H), al-Malik an-Nâshir Muhammad ibn Qalawun (w 741 H), al-
Hâfizh Ahmad ibn Yusuf yang dikenal dengan sebutan as-Samin al-
Halabi (w 756 H), al-Hâfizh Shalahuddin Abu Sa’id al-Ala-i (w 761 H),
Abdullah ibn As’ad al-Yafi’i seorang sufi terkemuka (w 768 H), Mas’ud
ibn Umar at-Taftazani (w 791 H).
G. Angkatan Ke Tujuh
al-Hâfizh Abu Zur’ah Ahmad ibn Abd ar-Rahim al-Iraqi (w 826 H),
Taqiyyuddin Abu Bakr al-Hishni ibn Muhammad; penulis Kifâyah al-
Akhyâr (w 829 H), Amîr al-Mu’minîn Fî al-Hadîts al-Hâfizh Ahmad ibn
Hajar al-Asqalani; penulis kitab Fath al-Bâri Syarh Shahîh al-Bukhâri (w
852 H), Muhammad ibn Muhammad al-Hanafi yang lebih dikenal
dengan sebutan Ibn Amir al-Hajj (w 879 H), Badruddin Mahmud ibn
Ahmad al-Aini; penulis ‘Umdah al-Qâri’ Bi Syarh Shahîh al-Bukhâri (w
855 H), Jalaluddin Muhammad ibn Ahmad al-Mahalli (w 864 H),
Burhanuddin Ibrahim ibn Umar al-Biqa’i; penulis kitab tafsir Nazhm ad-
Durar (w 885 H), Abu Abdillah Muhammad ibn Yusuf as-Sanusi;
penulis al-‘Aqîdah as-Sanûsiyyah (w 895 H).
H. Angkatan ke Delapan
Al-Qâdlî Musthafa ibn Muhammad al-Kastulli al-Hanafi (w 901 H),
al-Hâfizh Muhammad ibn Abd ar-Rahman as-Sakhawi (w 902 H), al-
Hâfizh Jalaluddin Abd ar-Rahman ibn Abu Bakr as-Suyuthi (w 911 H),
Syihabuddin Abu al-Abbas Ahmad ibn Muhammad al-Qasthallani;
penulis Irsyâd as-Sâri Bi Syarh Shahîh al-Bukhâri (w 923 H), Zakariyya
al-Anshari (w 926 H), al-Hâfizh Muhammad ibn Ali yang lebih dikenal
dengan sebutan al-Hâfizh Ibn Thulun al-Hanafi (w 953 H).
I. Angkatan Ke Sembilan Dan Seterusnya
Abd al-Wahhab asy-Sya’rani (w 973 H), Syihabuddin Ahmad ibn
Muhammad yang dikenal dengan sebutan Ibn Hajar al-Haitami (w 974
H), Mulla Ali al-Qari (w 1014 H), Burhanuddin Ibrahim ibn Ibrahim ibn
Hasan al-Laqqani; penulis Nazham Jawharah at-Tauhîd (w 1041 H),
Ahmad ibn Muhammad al-Maqarri at-Tilimsani; penulis Nazham
Idlâ’ah ad-Dujunnah (w 1041 H), al-Muhaddits Muhammad ibn Ali
yang lebih dikenal dengan nama Ibn Allan ash-Shiddiqi (w 1057 H),
Kamaluddin al-Bayyadli al-Hanafi (w 1098 H), Muhammad ibn Abd al-
Baqi az-Zurqani (w 1122 H), as-Sayyid Abdullah ibn Alawi al-Haddad
al-Hadlrami al-Husaini; penulis Râtib al-Haddâd (1132 H), Muhammad
ibn Abd al-Hadi as-Sindi; penulis kitab Syarh Sunan an-Nasâ-i (w 1138
H), Abd al-Ghani an-Nabulsi (w 1143 H), Abu al-Barakat Ahmad ibn
Muhammad ad-Dardir; penulis al-Kharîdah al-Bahiyyah (w 1201 H), al-
Hâfizh as-Sayyid Muhammad Murtadla az-Zabidi (w 1205 H), ad-
Dusuqi; penulis Hâsyiyah Umm al-Barâhîn (w 1230 H), Muhammad
Amin ibn Umar yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn Abidin al-Hanafi
(w 1252 H).
Nama-nama ulama terkemuka ini hanya mereka yang hidup sampai
sekitar abad 12 hijriyyah, dan itupun hanya sebagiannya saja.
Ulama - ulama’ as-Sunnah as-Salaf yang telah menampakkan
aqidah-aqidah Ahlussunnah yang merupakan panutan.
1.Imam abu abdillah sufyan bin said bin masruq ast tsauri wafat 161 H.
Imam Sufyan Ats-Tsauri bernama lengkap Sufyan bin Sa'id bin Masruq
bin Habib bin Rafi' bin Abdillah, dan dipanggil pula dengan sebutan
Abu Abdillah Ats-Tsauri. Beliau lahir di Kufah pada tahun 96 H. atau
yang bertepatan dengan tahun 716 M. dan wafat di Bashrah pada bulan
Sya'ban tahun 161 H. bertepatan dengan tahun 778 M
aqidah dan madzhab sunnahnya telah dinampakan dan “diimlakan”
pada abu sholeh syuaib bin harb al baghdadi.
2. Imam Abu Muhammad Sufyan bin Uyainah Al-Hilali.
Sufyan bin ‘Uyainah atau Ibnu Uyainah adalah seorang Imam Sunni dan
ahli hadis di tanah haram Makkah. Julukannya adalah “Abu Muhammad
Al-Hilali Al-Kufi Al-Makki”. Nama lengkapnya adalah Sufyan bin
Uyainah bin Abu Imran Maimun . lahir di kota Kuffah pada pertengahan
bulan Sya'ban tahun 107 H.
telah membeberkan aqidah – aqidahnya ketika ditanya soal itu,
sebagaimana telah diriwayatkan oleh abu abdillah muhammad bin ishaq
ats – tsaqofi.
3. Imam Abu Amr Abdurrohman bin Amr Al – Auza’i.
Nama sebenarnya adalah Abu ‘amr Abdurahman bin amr Asy Syamy ad
Dimasqy. Ia seorang fiqh di Syam di masanya. Dilahirkan pada tahun 88
H dan wafat tahun 157 H.