Anda di halaman 1dari 11

AHLI WARIS DZAWIL FURUDH

Disusun untuk Memenuhi Tugas

Mata kuliah : Fiqih Mawaris

Dosen Pengampu : H. Mahbub Nuryadien, M,Ag

Kelas : PAI / 5B

Disusun Oleh :

Kelompok 9

1. Khulwun Khilyatil Nawal (1908101049)


2. Ahmad Yaser Alfiyan (1908101068)
3. Alsa Fadila (1908101069)

KEMENTRIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA
ISLAM INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH NURJATI CIREBON
2021-2022
Jl. Perjuangan By pass Sunyaragi Cirebon-Jawa Barat 4513

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan anugrah dan
nikmat –Nya sehingga makalah tentang Ahli Waris Dzawil Furudh terselesaikan tepat waktu
dengan baik.

Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqi Mawaris
dan bisa memahami dan mengetahui materi dari makalah tersebut. Kami ucapkan terimah
kasih kepada dosen pengampu mata kuliah yang senantiasa membimbing kami dalam
penyusunan makalah ini. Tak lupa kami mengucapkan segenap rasa terimah kasih kepada
teman-teman yang memberikan dukungan dan semangatnya kepada kami. Tentunya makalah
ini masih jauh dari kata sempurna, saran dan kritik yang sifatnya membangun sangat kami
harapkan.

Akhirnya, penulis berharap semoga makalah ini menjadi bahan bacaan dan menjadi
referensi dalam pembelajaran didalam kelas.

Cirebon, 11 November 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................i

DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii

BAB I : PENDAHULUAN

1. Latar Belakang........................................................................................................ 1
2. Rumusan Masalah.................................................................................................. 1
3. Tujuan.................................................................................................................... 1

BAB II : PEMBAHASAN

1. Ahli Waris Dzawil Furudh..................................................................................... 2


2. Hijab Dalam Kewarisan…................ ……………………………………….. 4

BAB III : PENUTUP

KESIMPULAN.................................................................................................................. 7

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................... 8

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu hukum yang mengatur hubungan sesama manusia yang ditetapkan
Allah adalah hukum kewarisan yang mengatur tentang harta warisan, yaitu harta yang
telah ditinggalkan oleh seseorang yang telah meninggal. Harta tersebut memerlukan
pengaturan tentang siapa yang berhak menerimanya, berapa jumlahnya, dan
bagaimana cara mendapatkannya1 . Dalam praktek kehidupan sehari-hari, persoalan
waris seringkali menjadi krusial yang terkadang memicu pertikaian dan menimbulkan
keretakan hubungan keluarga. Penyebab utamanya ternyata keserakahan dan
ketamakan manusia, disamping karena kekurangtahuan pihka-pihak yang terkait
mengenai hukum pembagian waris. Syari‟at Islam telah menetapkan sistem kewarisan
dalam aturan yang paling baik, bijak, dan adil. Agama Islam meletakkan hak
pemilikan benda bagi manusia, baik laki-laki maupun perempuan dalam petunjuk
syara‟, seperti memindahkan hak milik seseorang pada waktu masih hidup kepada ahli
warisnya atau setelah dia meninggal, tanpa melihat perbedaan antara anak kecil dan
orang dewasa.2 Sumber hukum waris Islam yang berasal dari wahyu mengandung
berbagai asas yang dalam beberapa hal berlaku pula pada hukum waris yang
berdasarkan hasil ijtihad manusia. Oleh karena bersumber dari wahyu maka asas-asas
dalam hukum kewarisan Islam memperlihatkan bentuk karakteristik hukum kewarisan
itu sendiri.1
B. Rumusah Masalah
1. Bagaimana Hak-hak ahli waris dzawil furudh
2. Bagaimana hijab dalam kewarisan
C. Tujuan Masalah
1. Untuk memahami hak ahli waris dzawil furud
2. Untuk memahami hija dalam kewarisan

1
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2005), cet. ke-2

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Ahli Waris Dzawil Furudh


Ahli Waris Dzawil Furudh termasuk kedalam Ahli waris sababiyah, yaitu ahli
waris yang dihubungkan kepada almuwarris melalui garis perkawinan atau mushaharah.
Mereka adalah; suami dan isteri. Namun, jika didasarkan pada bagian-bagian yang
diterima oleh ahli waris tersebut. Diantara syarat beralihnya harta seseorang yang telah
mati kepada yang masih hidup ialah adanya hubungan silaturahmi atau kekerabatan
antara keduanya. Adanya hubungan kekerabatan ditentukan oelh adanya hubungan darah.
Adanya hubungan darah ditentukan pada saat adanya kelahiran . Selain hubungan
kekerabatan, adanya hubungan kewarisan juga disebabkan oleh hubungan perkawinan.
Ayat 12 surat an-Nisa‟ menyatakan adanya kewarisan suami dan istri. Berlakunya
hubungan kewarisan antara suami dan istri didasarkan kepada dua ketentuan. Pertama,
bahwa antara keduanya telah berlangsung akad nikah yang sah. Ketentuan kedua, bahwa
antara suami dan istri masi berlangsung ikatan perkawinan pada saat meninggalnya salah
satu pihak .2

Adapun ahli waris dan hak-hak yang diterima oleh ahli waris dzawil furudh adalah : 3

 Yang berhak mendapat bagian setengah (1/2) dari harta warisan :


1. Suami, yaitu apabila istri yang meninggal dunia itu tidak meninggalkan anak dan
tidak pula ada anak dari anak laki-laki, amaupun perempuan.
2. Anak perempuan tunggal, atau tidak mempunyai saudar yang lain.
3. Anak perempuan dari anak laki-laki, yaitu jika tidak memiliki anak perempuan, serta
tidak ada ahli waris lain yang menjadi penghalang perolehan waris (mahjub)
4. Saudara perempuan kandung, yaitu ketika dia seorang diri serta tidak ada orang yang
menghalanginya.
 Yang berhak mendapat bagian seperempat (1/4) dari harta warisan adalah:
1. Suami, jika istri yang meninggal dunia meninggalkan anak lakilaki atau
perempuan dan atau meninggalkan abak dari anak lakilaki, baik laki-laki maupun
perempuan.

2
Moh. Muhibin Abdul Wahid, Hukum kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan Hukum Positif di
Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h., 80
3
Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaid, Fiqih Wanita, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998), h., 510-511

2
2. Istri atau beberapa istri (tidak lebih dari seorang), jika suami yang meningal tidak
meninggalkan anak (laki-laki) atau (perempuan), atau tidak juga anak dari anak
laki-laki (baik lakilaki atau perempuan).
 Yang berhak mendapatkan bagian sperdelapan (1/8) dari harta warisan adalah:
1. Istri atau beberapa istri (tidak lebih dari empat orang), jika suami yang
meninggal dunia tidak meninggalkan anak (laki-laki atau perempuan), atau
anak dari anak laki-laki (laki-laki atau perempuan).
 Yang berhak mendapat bagian dua pertiga (2/3) dari harta warisan adalah:
1. Dua anak perempuan atau lebih, dengan syarat tidak ada anak laki-laki
2. Dua anak perempuan atau lebih dari anak laki-laki, apabila tidak ada anak
perempuan serta tidak ada ahli waris lain yang menjadi penghalang dari
perolehan warisan (mahjub).
3. Dua orang saudara perempuan kandung (seibu sebapak) atau lebih yaitu jika
tidak ada ahli waris lain yang menghalangnya.
4. Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih, yaitu ketika tidak ada
saudara perempuan kandung serta tidaka da ahli waris lain yang menjadi
penghalang perolehan warisan (mahjub)
 Yang berhak mendapat bagian sepertiga (1/3) dari harta warisan adalah;
1. Ibu, jika yang meninggal dunia tidak meninggalkan anak atau anak dari anak laki-laki
(cucu laki-laki atau perempuan), dan tidak pula meningalkan dua orang saudara atau
lebih, baik lakilaki ataupun perempuan.
2. Dua saudara atau lebih yang seibu, baik laki-laki maupun perempuan, jika tidak ada
orang lain yang ebrhak mmenerimanya.
 Yang berhak memperoleh seperenam (1/6) dari harta warisan adalah:
1. Ayah si mayit, jika yang meninggal tersebut mempunyai anak atau anak dari anak
laki-lakinya.
2. Ibu, jika ia mempunyai anak atau anak dari anak laki-laki, atau beserta dua
saudara kandung atau lebih, baiksaudara laki-laki maupun perempuan yang seibu
seayah, seayah saja atau seibu saja.
3. Kakek (ayah dari ayah), yaitu jika beserta anak atau anak dari anak laki-laki dan
tidak ada ayah
4. Nenek (ibu dari ibu atau ibu dari ayah), jika tidaka ada ibu.

3
5. Satu orang anak perempuan dari anak laki-laki (cucu) atau lebih, yaitu ketika
bersama-sama dngan sorang anak perempuan, serta tidak ada ahli waris lain yang
menghalanginya (mahjub)
6. Saudara perempuan yang sebapak, yaitu ketika bersama-sama dengan saudara
perempuan yang seibu seayah (kandung), serta tidak ada ahli waris lain yang
menghalanginya
7. Saudara laki-laki atau perempuan seibu, yaitu jika tidak ada (hijab) yang
menghalanginya

B. Hijab di Dalam Kewarisan


Hijab menurut bahasa artinya tabir, dinding, halangan. Sedangkan menurut
istilah ialah mencegah atau menghalangi orang tertentu menjadi tidak berhak
menerima bagian dari harta warisan atau menjadi berkurang bagiannya. Al-hajb
dalam bahasa Arab bermakna penghalang atau penggugur. Selain itu, dalam
bahasa Arab juga kita kenal kata hajib yang bermakna “tukang atau penjaga
pintu”, disebabkan ia menghalangi orang untuk memasuki tempat tertentu tanpa
izin guna menemui para penguasa atau pemimpin. Jadi, bentuk isim fa'il (subjek)
untuk kata hajaba adalah hajib dan bentuk isim maf'ul (objek) ialah mahjub. Maka
makna al-hajib menurut istilah ialah orang yang menghalangi orang lain
untuk mendapatkan warisan, dan al-mahjub berarti orang yang terhalang
mendapatkan warisan.

Adapun pengertian al-hajb menurut kalangan ulama faraid adalah


menggugurkan hak ahli waris untuk menerima waris, baik secara
keseluruhannya atau sebagian saja disebabkan adanya orang yang lebih berhak untuk
menerimanya (Amin Husein Nasution, 2012: 83)

Al-hujub terbagi dua macam, yaitu:

A. Hijab bil Washfi


Al-hajb bil washfi berarti orang yang terkena hajb tersebut terhalang dari
mendapatkan hak waris secara keseluruhan, atau hak waris mereka menjadi
gugur. Pada dasarnya mereka yang termasuk terlarang untuk menerima warisan,
walaupun mereka termasuk ahli waris adalah berupa “status” diri seseorang,
baik karena tindakan sesuatu ataupun karena keberadaannya dalam posisi

4
tertentu sehingga berakibat jatuhnya hak mereka untuk mewarisi. Yang dimaksud
penghalang menurut ulama faraid yaitu suatu keadaan atau sifat yang
menyebabkan seseorang atau ahli waris tidak dapat menerima warisan padahal
sudah terdapat sebab, rukun dan syarat. Pada awalnya seseorang sudah berhak
mendapat warisan, tetapi oleh karena keadaan tertentu berakibat dia tidak
mendapat harta warisan (Sukris Sarmadi, 1997: 28).

2. Al-Hjab bi asy-Syakhshi
Al-hajb bi asy-Syakhshi yaitu gugurnya hak waris seseorang
dikarenakan adanya orang lain yang lebih berhak untuk menerimanya. Al-
hajb bi asy-syakhshi terbagi dua:

a. Hajb hirman
Hajb hirman yaitu penghalang yang menggugurkan seluruh
hak waris seseorang. Misalnya, terhalangnya hak waris seorang
kakek karena adanya ayah, terhalangnya hak waris cucu
karena adanya anak, terhalangnya hak waris saudara seayah
karena adanya saudara kandung, terhalangnya hak waris seorang
nenek karena adanya ibu, dan seterusnya. Termasuk dalam hijab
hirman adalah status cucu-cucu yang ayahnya terlebih
dahulu meninggal dari pada kakek yang bakal diwarisi
bersama-sama dengan saudara-saudara ayah, kalau dalam
bahasa aceh disebut dengan patah titi, sedangkan dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI sebagai pegangan hakim Peradilan Agama
dalam bidang kewarisan) disebut dengan ahli waris pengganti.
Menurut ketentuan para fuqaha, mereka tidak mendapat apa-apa
lantaran dihijab oleh saudara ayahnya.

b. Hajb nuqshan
Adapun hajb nuqshan (pengurangan hak) yaitu
penghalangan terhadap hak waris seseorang untuk mendapatkan
bagian yang terbanyak. Misalnya, penghalangan terhadap hak
waris ibu yang seharusnya mendapatkan sepertiga menjadi
seperenam disebabkan pewaris mempunyai keturunan (anak).
Demikian juga seperti penghalangan bagian seorang suami yang

5
seharusnya mendapatkan setengah menjadi seperempat, sang
istri dari seperempat menjadi seperdelapan karena pewaris
mempunyai anak, dan seterusnya (Muhammad Ali Ash-Shabuni,
2013: 81).

Satu hal yang perlu diketahui di sini, dalam dunia faraid apabila kata al-
hajb disebutkan tanpa diikuti kata lainnya, maka yang dimaksud adalah hajb
hirman. Ini merupakan hal mutlak dan tidak akan dipakai dalam pengertian
hajb nuqshan. Ada ahli waris yang tidak mungkin terkena hajb hirman.
Mereka terdiri dan enam orang yang akan tetap mendapatkan hak waris.
Keenam orang tersebut adalah anak kandung laki-laki, anak kandung perempuan,
ayah, ibu, suami, dan istri. Bila orang yang meninggal meninggalkan salah satu
atau bahkan keenamnya, maka semuanya harus mendapatkan warisan.4

Apabila dilihat dari hubungan kekerabatan jauh dekatnya, sehingga yang dekat
lebih berhak menerima warisan daripada yang jauh, dapat dibedakan:

1. Ahli waris hijab


yaitu ahli waris yang dekat yang dapat menghalangi yang jauh, atau
karena garis keturunannya menyebabkannya menghalangi orang lain.
2. Ahli waris mahjub
yaitu ahli waris yang terhalang oleh ahli waris yang dekat hubungan
kekerabatannya. Ahli waris ini dapat menerima warisan, jika yang
menghalanginya tidak ada.
Hijab (keadaan menghalangi) ada dua: pertama, hijab nuqsan yaitu
menghalangi yang berakibat mengurangi bagian ahli waris yang mahjub,
seperti suami yang seharusnya menerima bagian 1/2, karena bersama anak
perempuan bagiannya terkurangi menjadi ¼. Ibu, sedianya menerima 1/3,
karena bersama anak bagiannya terkurangi menjadi 1/6. Kedua hijab hirman
yaitu menghalangi secara total, misalnya saudara perempuan kandung semula
berhak menerima bagian ½, tetapi karena bersama anak laki-laki menjadi
tertutup.5

4
Ahmad Rofiq, 2002,Fiqh Mawaris, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada), hal. 59.
5
Ahmad Rofiq. (1993). hlm. 72

6
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Ashabul Furudh adalah orang-orang yang berhak menerima waris yang sudah
ditentukan bagian-bagiannya menurut ketentuan syara‟. Ashabul Furudh terbagi
menjadi 2 macam, yaitu Ashabul Furudh Sababiyah (karena hubungan pernikahan:
suami dan istri) danAshabul Furudh Nasabiyyah (karena hubungan nasab atau
keturunan: anak perempuan, cucu perempuan, ibu, bapak, nenek, kakek, saudara
perempuan sekandung, saudara perempuan seayah dan saudara perempuan/ laki-laki
seibu).
Dasar hukum ashabul furudh sudah jelas termaktub dalam Al-Qur‟an,
diantaranya ialah surat An-nisaa ayat 11, 12, dan 176. Bagian ahli waris masing-
masing ialah (suami, seorang anak perempuan, seorang cucu perempuan, seorang
saudara perempuan sekandung, dan seorang saudara perempuan seayah), (ibu dan
saudara laki-laki/ perempuan seibu 2 orang atau lebih), (2 anak perempuan/ lebih, 2
cucu perempuan/ lebih, 2 saudara perempuan sekandung/ lebih, 2 saudara perempuan
seayah/ lebih), (ibu, ayah, nenek, kakek, cucu perempuan, saudara perempuan seayah,
seorang saudara perempuan/ laki-laki seibu), (suami dan istri), (istri), dengan
syaratnya masing-masing.

7
Daftar Pustaka

Moh. Muhibin Abdul Wahid, Hukum kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan Hukum Positif
di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009).

Syaikh Kamil Muhammad „Uwaid, Fiqih Wanita, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998).

Ahmad Rofiq, 2002,Fiqh Mawaris, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada)

Anda mungkin juga menyukai