PENDAHULUAN
1
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Nasakh
1. Pengertian Naskh
3
Mengangkat suatu hukum syara dengan dalil syara yang datang
kemudian3
Maksudnya adalah, dengan datangnya hukum syara yang
demikian itu, maka terangkatlah atau batalah atau tidak berlaku hukum
syara yang terdahulu. Jadi berdasarkan tarif tersebut di atas, maka baik
yang menghapus ataupun yang dihapus adalah hukum syara. Dengan
demikian berarti tidak termasuk hukum akal, hukum perasaan dan yang
lainnya.
Dari definisi tersebut, para ahli ushul fiqih mengemukakan
bahwa naskh itu baru dianggap benar apabila :
a. Pembatalan itu dilakukan melalui tuntunan syara yang mengandung
hokum dari syara (Allah dan Rasul-Nya). Yang membatalkan ini
disebut nasikh.
b. Yang dibatalkan itu adalah hukum syara, yang disebut mansukh.
c. Hukum yang membatalakan hukum tedahulu, dan datangnya setelah
hukum yang pertama.4
2. Adanya Naskh
Adanya naskh dapat dibagi pada dua jenis, pertama,
adanya naskh menurut akal, dan kedua adanya naskh menurut naqal atau
riwayat.
a. Adanya Nasakh menurut akal telah disepakati oleh Ulama. Dengan
alasan bahwa, kepentingan manusia tidaklah selalu sama terus-
menerus, mungkin satu kepentingan hanya bermanfaat pada satu masa,
sedang pada masa sesudahnya membawa bahaya.
b. Adanya Nasakh menurut riwayat adalah sebagaimana yang disebutkan
dalam riwayat Bukhari dan Muslim yang artinya sebagai berikut :
Sesungguhnya Nabi SAW., berdiri menghadap ke Baitul Makdis
dalam shalat selama 16 bulan, kemudian di-nasakh (dihapuskan) yang
4
demikian dengan satu perintah untuk menghadap ke Kabah. (HR.
Bukhari dan Muslim).
5
dengan hukum lain, yang menurut-Nya lebih baik dan sesuai
dengan kemaslahatan umat manusia.6
Selanjutnya jumhur ulama ushul fiqh menyatakan
bahwa dalam ayat lain Allah berfirman:
Artinya: dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat
yang lain sebagai penggantinya Padahal Allah lebih
mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka
berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang
mengada-adakan saja". bahkan kebanyakan mereka
tiada mengetahui. (Q.S an-Nahl: 101)
6
dalam syariat Islam dan tidak ada bukti yang menunjukkan
adanya nasakh itu. Menurutnya, apabila hukum-hukum syara
boleh dinasakhkan, maka ini berarti terdapat perbedaan
kemasalahatan sesuai dengan pergantian zaman.
Hal ini, menurutnya, sama sekali tidak mungkin dan
tidak diterima akal. Kemudian, apabila nasakh diterima, maka
hal ini menunjukkan ketidaktahuan Allah terhadap
kemaslahatan umat di suatu zaman, sehingga ia harus
mengganti (membatalkan) suatu hukum dengan hukum lain.
Perbuatan ii mustahil bagi Allah dan sia-sia. Selanjutnya Abu
Muslim menyatakan bahwa Allah sendiri berfirman dalam
surat Fushsilat : 42
Artinya: yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan
baik dari depan maupun dari belakangnya, yang
diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha
Terpuji. (Q.S Fushsilat: 42)
7Ibid, 187
7
Mereka yang tak mau berpikir lama-lama cepat saja
menyimpulkan, bahwa itu namanya nasakh. Sebab selama
yang melakukan perubahan atau revisi itu hanya Tuhan
sendiri, tidak ada persoalan, Dia berbuat sesuai kehendak-
Nya, tidak akan mengurangi derajat ke Tuhanan-Nya.
Sebaliknya mereka yang menolak nasakh ingin
mensucikan Tuhan dari sifat-sifat kemanusiaan yang selalu
berubah-ubah. Jika nasakh diakui ada, berarti secara tidak
langsung, telah diakui Allah sama dengan manusia, padahal
telah menjadi keyakinan tak ada yang serupa dengan-Nya
suatu jua pun (Laisa kamitslihi syaiun). Meskipun demikian
mereka yang menolak nasakh ini juga meyakini bahwa
memang telah terjadi perubahan terutama dalam masalah
istinbath (ketetapan) hukum. Oleh karena itu, mereka
menyatakan bahwa perubahan hukum itu bukan berarti
membatalkan hukum sebelumnya, melainkan hukum itu
disyariatkan Allah secara dinamis, sesuai dengan kondisi
masyarakat. Dengan pengertian bila kondisi semula kembali,
maka hukum yang diterapkan kembali pula pada apa yang
telah diterapkan tempo dulu itu. Jadi tidak ada pembatalan;
yang ada ialah pensyariatan hukum oleh Tuhan secara
fleksibel sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Jadi pada hakikatnya antara mereka yang menerima nasakh
dan yang menolaknya tidak terdapat perbedaan yang prinsipil
karena mereka hanya berbeda dalam redaksi saja, sebab
masing-masing mengakui memang telah terjadi perubahan
hukum dalam kasus-kasus tertentu sebagaimana telah
dijelaskan.
8
Nasakh hanya terjadi di masa tasyri yakni selama hidup
Nabi SAW mulai menjadi Rasul sampai beliau wafat, yakni
lebih kurang selama kurun waktu 23 tahun.
Para ulama berbeda pendapat perihal adanya nasikh dan mansukh
dalam Al-Quran . Ada dua golongan yang berbeda pendapat:8
1. Golongan ke I menyatakan bahwa ada nasikh mansuk dalam Al-Quran .
Yang termasuk golongan ini adalah:
a. As Syafii (254 H)
b. An Nahas (388 H)
c. As Sayuti (911 H)
d. Asz Syaukani (1280 H)
Alasan-alasan mereka:
a. Berdasar dalil Al-Quran sendiri dalam surat Al Baqarah 106 yang
mengindikasikan pemberitahuan Allah SWT bahwa ada ayat yang
diganti oleh ayat lain.
b. Karena adanya kenyataan, beberapa ayat memperlihatkan perlawanan
antara lahiriyah ayat yang satu dengan yang lain.
2. Golonga ke II menyatakan bahwa tidak ada nasikh dan mansukh dalam Al-
Quran . Yang termsuk golongan ini adlah:
a. Abu Muslim Isfahan (322 H)
b. Al Fakhur Razy (504-606)
c. Muhammad Abduh (1325 H)
d. Rasyid Ridha (1354 H)
e. Dr. taufik Sidqi (1298 H)
f. Ubay bib Kaab
Alasan-alasan mereka:
a. Tidak ada keterangan spesifik dan tegas dari Al-Quran .
b. Tdak ada keterangan hadis yang shorih/jelas yang meyakinkan perihal
adanya ayat yang dimansukh itu dan ayat apa yang memansukh.
c. Melihat pendapat para ulama yangmenyatakan adanya nasikh dan
mansukh tidak kompak.
d. Setelah direnungkan ternyata ayat yang nampaknya berlawanan itu
masih bisa di kompromikan.
D. Pendapat yang Terkuat
8Amir Syarifuddin. Ushul Fiqh Jilid I. ( Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1997),
h. 211
9
Ulama yang mempelopori konsep nasikh-
mansukh dalam Al-Quran adalah Al-Syafii, Al-Nahhas, Al-
Suyuthi dan Al-Syaukani. Persoalan naskh bagi kelompok
pendukungnya merupakan salah satu cara menyelesaian
beberapa dalil yang dianggap bertentangan secara zhahir,
maka diupayakan pengkompromian kedua dalil tersebut.
Apabila tidak bisa dikompromikan maka salah satunya
di naskh (dibatalkan). Ada beberapa definisi nasakh yang
dikemukakan kelompok ini, antara lain oleh Al-Ghazali:
10
) pencabutan( perberlakuan hukum terdahulu, maka dalam
definisi kedua naskh diartikan sebagai ( mencegah), yaitu
mencegah kelangsungan berlakunya hukum yang terdahulu.
Kedua definisi itu diterima oleh kalangan jumhur.
11
akan kekal. Padahal risalah Muhammad merupakan risalah
pengganti dan penyempurna. Oleh karena itu naskh boleh dan
dapat terjadi. Keempat, bahwa terdapat dalil yang
menunjukkan naskh terjadi menurut nash.
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
13
DAFTAR PUSTAKA
Amir Syarifuddin. 1997.Ushul Fiqh Jilid I. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu.
A. Basiq Djalil, 2010. Ilmu Ushul Fiqih satu dan dua .Jakarta:
Prenada Media Group,.
14