PENDAHULUAN
A. Pengertian Orientalis
Kajian tentang orientalis tidak dapat dipisahkan dari studi tentang
orientalisme. Orientalisme berasal dari kata orient dan isme. Dalam bahasa
Inggris, kata orient berarti direction of the rising sun (arah terbitnya matahari).
Secara geografis, kata orient berarti dunia timur dan secara etimologis berarti
wilayah yang membentang dari kawasan Timur Dekat (Turki dan sekitarnya)
hinggah Timur Jauh (Jepang, Korea dan Cina) dan Asia Selatan hingga
republik republik Muslim bekas uni soviet, serta kawasan timur tengah
hingga Afrika Utara. Adalpun istilah isme berarti aliran, pendirian, ilmu,
faham, keyakinan dan sistem. Dengan demikian, secara etimologis,
orientalisme dapat diartikan sebagai ilmu tentang ketimuran atau studi tentang
timur. 1
Secara terminologis, Edward Said sebagaimana dikutip oleh Idri,
memberikan 3 (tiga) pengertian dasar orientalisme, yaitu:2
1. Sebuah cara kedatangan yang berhubungan dengan bangsa bangsa Timur
berdasarkan tempat khusus Timur dan pengalaman barat eropa.
2. Sebuah gaya pemikiran berdasarkan Ontologi dan epistemologi Barat pada
umumnya.
3. Sebuah gaya Barat untuk mendominasi, membangun kembali, dan
mempunyai kekuasaan terhadap Timur.
Berdasarkan tiga pengertian dasar yang dipaparkan oleh Edward Said
di atas, dapat disimpulkan bahwa orientalisme adalah kajian tentang dunia
Timur yang dilakukan oleh dunia Barat, yang dalam hal ini berkaitan khusus
dengan dunia Islam.
Menurut penulis, orientalis adalah sekelompok orang dari negara Barat
yang dalam hal ini dimaksud sebagai non-Muslim, yang mengkaji tentang
persoalan di Negara Timur, yang dalam hal ini dimaksud sebagai negara yang
3 Ibid., h. 307
dilakukannya, sehingga karyanya dianggap sebagai kitab suci oleh para
orientalis sendiri. Disamping itu, kehadiran Joseph Schacht melalui bukunya
The Origin of Muhammad Jurisprudence, yang kemudian dianggap sebagai
kitab suci kedua oleh para orientalis berikutnya.4
Namun demikian, adapula orientalis yang memiliki pandangan yang
lebih jernih dan bertentangan dengan kedua ilmuwan di atas, seperti Freeland
Abbot. Dalam bukunya yang berjudul Islam and Pakistan ia membagi
kehidupan Nabi secara umum, Hadis yang dipermasalahkan karena hadis
hadis itu tidak konsisten dengan ucapan Nabi, dan hadis yang menceritakan
wahyu yang diterima oleh Nabi. Meskipun klasifikasi oleh Freeland Abbott ini
jauh berbeda dengan klasifikasi kalangan ulama hadis, akan tetapi secara tidak
langsung menunjukan bahwa hadis benar benar bersumber dari Nabi.5
Dapat dikatakan bahwa dikalangan orientalis telah terjadi pergeseran
pendapat tentang hadis. Sebagian mereka sependapat dengan Hurgronje,
Goldziher dan Schacht, namun ada pula yang bertentangan dengan mereka
dalam memandang islam umumnya dan hadis khususnya.
Perbedaan pandangan ini tidak terlepas dari motivasi dan sikap para
orientalis dalam mengkaji islam, lebih khusus lagi tentang hadis. Hal ini
dipengaruhi oleh sikap dan pencitraan mereka terhadap Nabi Muhammad
SAW., karena bagaimanapun mengkaji tentang hadis jelas akan berkaitan
dengan perkataan, perbuatan dan ketetapan Nabi Muhammmad SAW.
Menurut Saad al-Marshafi, sebagian orientalis berpandangan skeptis
terhadap keberadaan dan autentusitas hadis Nabi, karena menurut mereka pada
masa-masa awal pertumbuhan Islam, Hadis tidak tercatat dengan baik seperti
halnya al-Quran. Sehinga, mungkin saja banyak hadis yang dipertanyakan
autentisitasnya atau sama sekali diragukan keberadaannya, bahkan semua
hadis terutama yang berkaitan dengan hukum dikatakan sebagai hasil karya
sahabat. Tabiin, atau para ulama fuquha pada abad pertama hijriah, dan
permulaan abad kedua hijriah.6
9Ibid, h. 90-91
khawatir kalau orang-orang Syma pergi haji ke Mekkah akan membaiat
Abdullah bin Juber sebagai Khalifah yang saat itu menjadi lawan politik
dan melakukan pemberontakan kepada Abdul Malik.
Tuduhan Goldziher ini didasarkan kepada kenyataan bahwa Al-
Zuhri dan Abdul Malik adalah teman baik, dan tergolong ulama yang
dekat dengan penguasa.
b. Goldziher tidak percaya kebenaran metodologi dan cara penulisan atau
pembukuan hadis oelh ulama sudah dilakukan sejak abad kedua
Hijriyah oleh Umar bin Abdul Aziz. Alasanya adalah bahwa sumber
hadisnya ditemukan dari hafalan, sebab hadis tidak ditulis pada masa
Rasul dan Sahabat. Ia tidak percaya keakuratan hafalan sahat.
2. Pandangan Josep Schacht terhadap Hadis
Sementara Josep Schacht adalah seorang profesor yang lahir di
Rottbur Jerman, 15 Maret 1902. Ia mulai studi di perguruan tinggi dengan
mendalami filologi klasik, teologi dan bahasa-bahasa Timur di Universitas
Prusia dan Liepzig. Tahun 1923, ia memperoleh gelar sarjana muda di
Universitas Prusia dan menjadi guru besar pada 1929. Schacht menjadi
dosen di Fryburg Jerman. Pada tahun 1943 ia diundang untuk mengajar di
Universitas Kairo, Mesir.
Di Mesir ia mengajar fikih, Bahasa Arab dan Bahasa Suryani, di
jurusan Bahasa Arab, Fakultas Sastra. Ia mengajar di Universitas Mesir
hingga 1939. Ketika terjadi perang dunia ke dua pada september 1939,
Schacht pindah dari mesir ke London dan bekerja di Radio BBC, London.
Disitu ia berperanan melancarkan propaganda melawan Nazi Jerman.
Di Inggris itu Schacht melanjutkan studinya di Universitas Oxford
dan memperoleh gelar Magister pada tahun 1948, serta gelar Doktor pada
tahun 1952. Ia diangkat sebagai guru besar diseluruh universitas yang ada
di kerajaan inggris. Pada tahun 1954, ia pakar fikih islam ini, ia menjadi
guru besar di universitas Leiden sampai 1959. Ia dengan kawan-kawanya
mengedit cetakan kedua Dairat al-Maarif al Islamiyah. Kemudian ia ke
Newyork dan menjadi guru besar di universitas Columbia dan meninggal
di Amerika pada Agustus 1969.10
Dalam bidang fikih, karya Schacht anta lain: Al Khosaf al Kitab al
Hiyal wa al-Mkharij (1932), Abu Hatim al Qazwini: Kitab al-khiyal al
fiqih (1924), Ath Thabari Ikhtilaf al-Fuquha (1933) dan lain-lain.
Karyanya yang menonjol dan kontroversial adalah bukunya the Origin of
Muhammdan Jurisprudence (Oxford,1950). Karya Schact ini banyak
mengambil rujukan Ar Risalahnya Imam Syafii.11
Menurut pemikiran Joseph Schacht atas hadis banyak bertumpu
pada teori-teori yang digagas oleh pendahulunya yakni Goldziher. Hanya
saja perbedaanya adalah Goldziher meragukan otentitas hadis, Josep
Schacht sampai pada kesimpulannya bahwa sebagian hadis adalah palsu.12
Pandangan Schacht secara keseluruhan adalah bahwa sistem isnad
mungkin valid untuk melacak hadis-hadis sampai pada ulama abad kedua,
tapi rantai periwayatan yang merentang ke belakang sampai pada Nabi
SAW dan para sahabat adalah palsu. Argumennya dapat dilihat dalam lima
poin.
a. Sistem Isnad dimulai apada awal abad kedua atau, paling awal, akhir
abad pertama.
b. Isnad-isnad itu diletakkan secara sembarangan dan sewenang-wenang
oleh mereka yang ingin memproyeksikan ke belakang doktrin
doktrin mereka sampai kepada sumber klasik.
c. Isnad-isnad secara bertahap meningkat oleh pemalsuan; Isnda-isnad
yang terdahulu tidak lengkap, tapi semua kesenjangan dilengkapi pada
masa koleksi-koleksi klasik.13
d. Sumber sumber tambahan diciptakan pada masa Syafii untuk
menjawab penolakan-penolakan yang dibuat untuk hadits-hadits yang
dilacak ke belakang sampai kepada sate sumber isnad-isnad keluarga
10http://nimiasata.blogspot.com/2013/03/kritik-orientalis-terhadap-hadits-dan.html
11Muhammad Mustafa Azami, Op. cit, h. 595
12Syamsudin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani, 2008)
13Ibid, h. 33
adalah palsu, dan demikian pula materi yang disampaikan dalam isnad-
isnad itu.
e. Keberadaan common narator dalam rantai periwayatan itu merupakan
indikasi bahwa hadis itu berasal dari masa periwayat itu.
Dan dalam rangka membuktikan dasar-dasar pemikirannya tentang
kepalsuan hadis Nabi SAW, Josep Schacht menyusun:
a. Teori projecting back
Maksudnya adalah untuk melihat keaslian hadis bisa
direkonstruksikan lewat penelusuran sejarah hubungan antara hukum
Islam dengan apa yang disebut hadis Nabi menurutnya hukum islam
belum eksis pada masa al Syabi. Hukum islam baru eksis ketika
kebijakan khalifah Ummayah mengangkat para hakim.14
b. Teori El Silentio
Sebuah teori yang disusun berdasarkan asumsi bahwa bila
seseorang sarjana (ulama atau perawi) pada waktu tertentu tidak
cermat terhadap adanya sebuah batas dan gap menyebutkanya atau jika
satu hadis oleh sarjana (ulama atau perawi) yang datang kemudian
yang mana para sarjana sebelumnya menggunakan hadis tersebut,
maka berarti hadis tersebut tidak pernah ada. Jika satu hadis ditemukan
pertama kali tanpa sanad yang komplit dan kemudian ditulis dengan
Isnad yang komplit, maka Isnad itu juga dipalsukan. Dengan kata lain
untuk membuktikan hadis itu eksis atau tidak cukup dengan
menunjukan bahwa hadis tersebut tidak pernah dipergunakan sebagai
dalil dalam diskusi para fuqaha. Sebab seandainya kata itu pernah ada
pasti hal itu akan dijadikan referensi.15
14Ibid
15http://nimisiata.blogspot.com/2013/03/kritik-orientasi-terhadap-hadits-dan.html
hubungan keluarga (antara bapak dan anaknya) adalah palsu. Isnad
keluarga tidak menjamin keaslian bahkan dipakai sebagai alat untuk
membuat sebuah hadis kelihatan tanpa cacat. Sehingga isnad atas dasar
keluarga adalah isnad buatan yang digunakan untuk jalur penghubung
antara satu kelompok perawi dengan perawi lainya.
C. Kritik Terhadap Pandangan Ignaz Goldziher dan Josep Scacht
Kritik berasal dari bahasa Inggris critic yang artinya pengecam,
pengkritik, pengupas, pembahas. Secara terminologi kritik berarti upaya untuk
menemukan kesalahan, atau menurut versi W.J.S> Purwodarminto mengkritik
diadakan dengan memberi pertimbangan dengan menunjukan yang salah.
Sedang kritik dalam bahasa Arab adalah naqd yang diterjemahkan dengan
kritik dan kecaman.
Bantahan terhadap kritik bahwa ulama Muslim terhadap kritik
orientalis
Pendapat Goldziher bahwa hadits belum merupakan dokumen sejarah
yang muncul pada masa-masa awal pertumbuhan islam disanggah oleh
beberapa pakar hadits. Mereka diantaranya: Prof. Dr. Musthofa as-Syibaiy
(as Sunnahwa makanatuba fi at tasyiriil Islam), Prof. Dr. Ajjaj Al-Khatib (as
sunnah Qubla Tadwin), dan Prof. M. Musthofa al-Azbami (Studies in Early
Hadits Literature). Menurut ketiga ulama ini pendapat Goldziher lemah baik
dari sisi metodologisnya maupun kebenaran materi sejarahnya.
Alasan mereka adalah karna ketidaktahuan mereka (kekurang
percayaan) pada bukti-bukti sejarah.16 Orientalis lain seperti Nabia Abbot
justru mengajukan bukti-bukti yang cukup valid tentang keberadaan
pencatatan hadits pada awal-awal keberadaan islam, dalam bukunya Studies in
Arabic Literacy Papyri: Quranic Commentary and Tradition (1957). Abbot
menyimpulkan bahwa penulisan hadits bisa direkonstruksikan dalam 4 fase:
pertama masa Nabi hidup, kedua, masa wafat Nabi sampai masa Ummayah,
ketiga, Pada masa Ummayah dengan titik sentral bahasan pada peran Ibn
D. PENUTUP
1. Kesimpulan
Kritik yang dilakukan oleh orientalis terhadap hadis-hadis Nabi itu,
mengkritik hadis dari berbagai segi, mulai dari sanad, matan, tokoh, kitab,
periwayatan dan lainnya. Dengan kritikan itu Para orientalis juga
memberikan pandangan-pandangannya terhadap hadis Nabi, akan tetapi
kritikan tersebut juga ditanggapi Para ulama dengan serius karena menurut
Pandangan ulama kritik yang dilakukan oleh Para orientalis itu
merupakan jalan untuk melemahkan posisi hadis tersebut karena hadis
juga termasuk dalam landasan hukum bagi umat Islam setelah al-Quran.
2. Saran
Demikianlah pembahasan makalah tentang Kritik Orientalis
Terhadap Hadits dan Ulama Hadits ini. Hendaknya dapat
memberikan informasi apapun bagi pembaca. Diharapkan kritik
dan saran dari pembaca yang bersifat konsumtif untuk tercapainya
kesempurnaan dalam penulisan makalah ini. Atas kritik dan saran
yang diberikan, diucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
23
Assamurai, Qasim, Bukti-bukti Kebohongan Orientalis (terjemahan) Judul Asli:
Al-Isytifaqa baina al-Maudhuiyat wa al-Iftialiyyat, penerjamah: Isyubudi
Ismail, Jakarta: gema Insan Press, 1996
Kadhar, Lathifah Ibrahim, Ketika Barat memfitnah Islam, Jakarta: Gema Insani,
2005
http://nimiasata.blogspot.com/2013/03/kritik-orientalis-terhadap-hadits-dan.html