Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

Orientalisme adalah tradisi kajian keislaman yang berkembang di Barat.


Kajian keislaman pada mulanya hanya ditunjukan kepada materi materi
keislaman secara umum. Baru pada masa - masa belakangan, mereka
mengarahakan kajianya secara khusus kepada bidang hadist nabi.
Jadi di kalangan islam, kritik hadis bertujuan untuk mengetahui mana
hadis yang diterima (maqbul) dan mana yang tertolak (mardud), serta untuk
mengetahui apakah hadis tersebut dapat dijadikan dasar ajaran islam atau tidak,
maka lain hal nya dengan kritik yang datang dari non-Muslim. Mereka ( Non-
Muslim) melakukan kritik terhadap hadis dengan tujuan mencari kesalahan dan
kelemahan, untuk digunakan sebagai alat melemahkan islam.
Dalam makalah ini akan dibahas tentang apa itu orientasi dan sejarah
kajian hadis dikalangan orientalis, siapa saja orientalis yang melakukan kajian
hadism dan bagaimana kritikannya terhadap hadis dan ulama hadis, serta
sanggahan dan bantahan balik dari ulama Muslim terhadap kritik orientalis
tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Orientalis
Kajian tentang orientalis tidak dapat dipisahkan dari studi tentang
orientalisme. Orientalisme berasal dari kata orient dan isme. Dalam bahasa
Inggris, kata orient berarti direction of the rising sun (arah terbitnya matahari).
Secara geografis, kata orient berarti dunia timur dan secara etimologis berarti
wilayah yang membentang dari kawasan Timur Dekat (Turki dan sekitarnya)
hinggah Timur Jauh (Jepang, Korea dan Cina) dan Asia Selatan hingga
republik republik Muslim bekas uni soviet, serta kawasan timur tengah
hingga Afrika Utara. Adalpun istilah isme berarti aliran, pendirian, ilmu,
faham, keyakinan dan sistem. Dengan demikian, secara etimologis,
orientalisme dapat diartikan sebagai ilmu tentang ketimuran atau studi tentang
timur. 1
Secara terminologis, Edward Said sebagaimana dikutip oleh Idri,
memberikan 3 (tiga) pengertian dasar orientalisme, yaitu:2
1. Sebuah cara kedatangan yang berhubungan dengan bangsa bangsa Timur
berdasarkan tempat khusus Timur dan pengalaman barat eropa.
2. Sebuah gaya pemikiran berdasarkan Ontologi dan epistemologi Barat pada
umumnya.
3. Sebuah gaya Barat untuk mendominasi, membangun kembali, dan
mempunyai kekuasaan terhadap Timur.
Berdasarkan tiga pengertian dasar yang dipaparkan oleh Edward Said
di atas, dapat disimpulkan bahwa orientalisme adalah kajian tentang dunia
Timur yang dilakukan oleh dunia Barat, yang dalam hal ini berkaitan khusus
dengan dunia Islam.
Menurut penulis, orientalis adalah sekelompok orang dari negara Barat
yang dalam hal ini dimaksud sebagai non-Muslim, yang mengkaji tentang
persoalan di Negara Timur, yang dalam hal ini dimaksud sebagai negara yang

1 Idri. Studi Hadis. Ed-1 (Jakarta: Kencana, 2010, h. 305


2 Ibid., h. 305 - 306
beragama Islam. Secara tidak langsung berarti yang dikaji oleh sekelompok
orang tersebut adalah seputar kajian Islam.
Pada awal pertumbuhannya, kajian orientalis terhadap islam bersifat
umum. Namun, dalam perkembangannya kajian itu mengalami spesifikasi
sehingga lahir berbagai kajian tentang islam. Seperti al-Quran, hadis, hukum,
dan sejarah.
Dari sekian banyak bidang kajian yang menjadi garapan para
orientalis, salah satunya adalah hadis Nabi. Tentang sipa yang pertama kali
mengadakan kajian dibidang ini, belum ditemukan kepastian sejarah. Ada
yang berpendapat adalah Alois Sprenger, diikuti oleh Sir William Muir dan
mencapai puncaknya dalam karya Ignaz Goldziher3
Menurut M. Musthafa Azami, orientalis yang pertama kali melakukan
kajian hadis adalah Ignaz Goldziher, seorang yahudi kelahiran Honggaria
(1850-1920 M) melalui karya berjudul: Muhamedanische Studien pada tahun
1980 yang berisi pandangannya tentang hadis. Namun, pendapat ini dibantah
oleh A.J. Wesinck bahwa orientalis pertama mengkaji hadis adalah Snouck
Hurgronje yang menerbitkan bukunya: Revre Coloniale internationale tahun
1886.
Selanjutnya, kajian di bidang hadis dilakukan oleh Hamilton
Alexander Roskeen Gibb, seorang orientalis asal Inggris (1895-1971) melalui
karyanya mohammedanism dan Shorter Enscyclopedia of Islam, dilanjukan
oleh Joseph Schacht seorang orientalis berkebangsaan Polandia (1902-1969)
melalui karyanya the origin of Muhammad Jurisprudence, GHA. Joynboll
dengan bukunya Muslim Tradition, Studies in Chronology, Provenance, and
Authorship of Early Hadith, Bernard G. Weiss, dengan bukunya The Search
For Gods Law, serta masih banyak nama nama lain, seperti W. Montgomery
Watt, Von Guerboum, Arberry, Jeffre, Ira Lapidus dan John L. Esposito.
Terlepas dari kontroversi di atas, hal yang perlu diketahui adalah
bahwa ternyata Goldziher telah berhasil menanamkan keraguan terhadap
autentitas hadis yang dilengkapi dengan studi studi ilmiah yang

3 Ibid., h. 307
dilakukannya, sehingga karyanya dianggap sebagai kitab suci oleh para
orientalis sendiri. Disamping itu, kehadiran Joseph Schacht melalui bukunya
The Origin of Muhammad Jurisprudence, yang kemudian dianggap sebagai
kitab suci kedua oleh para orientalis berikutnya.4
Namun demikian, adapula orientalis yang memiliki pandangan yang
lebih jernih dan bertentangan dengan kedua ilmuwan di atas, seperti Freeland
Abbot. Dalam bukunya yang berjudul Islam and Pakistan ia membagi
kehidupan Nabi secara umum, Hadis yang dipermasalahkan karena hadis
hadis itu tidak konsisten dengan ucapan Nabi, dan hadis yang menceritakan
wahyu yang diterima oleh Nabi. Meskipun klasifikasi oleh Freeland Abbott ini
jauh berbeda dengan klasifikasi kalangan ulama hadis, akan tetapi secara tidak
langsung menunjukan bahwa hadis benar benar bersumber dari Nabi.5
Dapat dikatakan bahwa dikalangan orientalis telah terjadi pergeseran
pendapat tentang hadis. Sebagian mereka sependapat dengan Hurgronje,
Goldziher dan Schacht, namun ada pula yang bertentangan dengan mereka
dalam memandang islam umumnya dan hadis khususnya.
Perbedaan pandangan ini tidak terlepas dari motivasi dan sikap para
orientalis dalam mengkaji islam, lebih khusus lagi tentang hadis. Hal ini
dipengaruhi oleh sikap dan pencitraan mereka terhadap Nabi Muhammad
SAW., karena bagaimanapun mengkaji tentang hadis jelas akan berkaitan
dengan perkataan, perbuatan dan ketetapan Nabi Muhammmad SAW.
Menurut Saad al-Marshafi, sebagian orientalis berpandangan skeptis
terhadap keberadaan dan autentusitas hadis Nabi, karena menurut mereka pada
masa-masa awal pertumbuhan Islam, Hadis tidak tercatat dengan baik seperti
halnya al-Quran. Sehinga, mungkin saja banyak hadis yang dipertanyakan
autentisitasnya atau sama sekali diragukan keberadaannya, bahkan semua
hadis terutama yang berkaitan dengan hukum dikatakan sebagai hasil karya
sahabat. Tabiin, atau para ulama fuquha pada abad pertama hijriah, dan
permulaan abad kedua hijriah.6

4 Ibid., h 307 - 308


5 Ibid., h. 308
Dalam padangan kebanyak orientalis, hadis merupakan karya ulama
dan ahli fiqih yang ingin menjadikan islam sebagai agama yang
multidimensional. Mereka beranggapan bahwa hadis tidak lebih dari sekedar
ungkapan manusia, atau jiplakan ajaran Yahudi dan Kristen saja.
Pada masa ini kekuatan rasio ilmu meningkat. Mereka mengadakan
studi mengenai islam untuk mengetahui islam sebenarnya. Orientalisme
muncul setelah orang kristen berputus asa memerangi islam dengan pedang,
sehingga mereka beranggapan bahwa cara terbaik memerangi islam adalah
melalui Ghazwi al-Fik (perang pemikiran).7
B. Pandangan Ignaz Goldziher dan Josep Schacht Terhadap Hadits
Banyak tokoh-tokoh orientalis yang meneliti dan menanggapi hadits
yang telah dijadikan umat Islam sebagai landasan hukum kedua setelah al-
Quran. Mereka mengkritik hadis dari berbagai segi, multi dad sanad, matan,
tokoh, kitab, periwayatan dan lain- lainya. Diantara orientalis yang banyak
mengkaji tentang hadis dan hasil kajianya menjadi rujukan bagi orientalis,
lainnya ialah:
1. Pandangan Ignaz Goldhizer terhadap Hadis
Ignaz Goldhizer adalah seorang orientalis berkebangsaan
Honggaria, lahir di Szekesfahervar pada 22 juni 1850, di Hongaria. Ia
berasal dari keluarga Yahudi Goldziher memeilki intelektualitas yang
tinggi, dalam usia 12 tahun dia telah menulis buku Piyyuts yang berisi asal
usul dan waktu yang tepat bagi sembayang orang orang Yahudi. Dalam
usia 16 tahun dia mengikuti kuliah di Universitas Budapest, tahun 1868
dia dikirim ke Jerman untuk belajar dengan Prof. Rodiger di Berlin dengan
H.L Fielscher dan G. Ebers di Liepzig. Dia berhasil memperoleh gelar
Doktor dalam usia 19 tahun.8
6 Miftahul Hidayati. Kritik Orientalis Terhadap Hadis dan Ulama Hadis. Diposting pada
tanggal 27/03/2013. Diakses pada tanggal 07/11/2014. http://de-journal-of-Nimisiata/kritik-
orientalis-terhadap-haids-dan-ulama-hatis.html
7 Dr. Muhammad Nabi Ghanayim, Min Asalib al-Ghazwu al-Fikr, ath-thamu fi al-
Quran al-Karim ard wa tafnid, majalah as-Syariah von IV, dan Dr. Muhammad Amarah telah
membahas hakekat Ghazwu al-fikr ini dalam kitabnya Al-Ghazwu al-Fikr Wahim am-Haqiqah
yang terletak oleh Dar. Al-Shorouk
8Wahyudin Darmalaksana, hadits di Mata Orientalis, (Bandung: Benar Merah press,
2004), h. 91
Setelah mempelajari manuskrip manuskrip Arab di Leiden dan
Wina, tahun 1871 dia diangkat menjadi dosen privat di Budapest atas bia
pemerintah Hongaria, tahun1873 sampai tahun 1874, Goldziher
melakukan perjalanan ke Timur dan belajar di Universitas Al-Azhar Kairo,
Syria dan Palestina. Pada tahun 1904 Goldziher diangkat menjadi guru
besar di Universitas Budapest sampai akhirnya meninggal 13 november
1921.9
Hasil penelitianya dalam bidang keislaman banyak yang
dipublikasikan dalam bahasa Jerman, Inggris dan Perancis, bahkan ada
yang di publikasikan dalam bahasa arab.
Diantara kritikan Godlziher terhadap hadis adalah:
a. Bagian terbesar dari hadis yang dikatakan berasal dari Nabi adalah
tidak benar. Catatan catatan itu hanaya merupakan jerih payah umat
Islam pada masa keemasan sebagai dokumen atas kemajuan yang
dicapai di bidang Agama, sejarah dan sosial. Pada saat sesudahnya
terjadi keteganan antara dinasti Umawiyyah dengan Ahlul Bait di
Madinah. Mereka ini memerangi kelompok pemberontak Umawiyyah
dengan membuat hadis sebanyak banyaknya yang memojokan dinasti,
Sebaliknya Umawiyyah pun melakukan hal yang sama. Al Zuhri
berikut:

Artinya: janganlah kamu melakukan perjalan kecuali meuju tiga


masjid: Masjidil Haram, Masjidku (Nabawi) dan Masjid BaitulMaqdis
(al-Aqsa) (HR. Al-Bukhari)

Menurut Goldziher, hadis ini dibuat-buat oleh al-Zuhri sebagai


pesanan khalifah Abdul Malik bin Marwan untuk memperkuat
kekuasaannya dengan mengatakan bahwa haji tidak hanya dilakukan di
Masjidil Haram, tapi di Mesjid Al-Aqsha, Yerussalem. Abdul Malik

9Ibid, h. 90-91
khawatir kalau orang-orang Syma pergi haji ke Mekkah akan membaiat
Abdullah bin Juber sebagai Khalifah yang saat itu menjadi lawan politik
dan melakukan pemberontakan kepada Abdul Malik.
Tuduhan Goldziher ini didasarkan kepada kenyataan bahwa Al-
Zuhri dan Abdul Malik adalah teman baik, dan tergolong ulama yang
dekat dengan penguasa.
b. Goldziher tidak percaya kebenaran metodologi dan cara penulisan atau
pembukuan hadis oelh ulama sudah dilakukan sejak abad kedua
Hijriyah oleh Umar bin Abdul Aziz. Alasanya adalah bahwa sumber
hadisnya ditemukan dari hafalan, sebab hadis tidak ditulis pada masa
Rasul dan Sahabat. Ia tidak percaya keakuratan hafalan sahat.
2. Pandangan Josep Schacht terhadap Hadis
Sementara Josep Schacht adalah seorang profesor yang lahir di
Rottbur Jerman, 15 Maret 1902. Ia mulai studi di perguruan tinggi dengan
mendalami filologi klasik, teologi dan bahasa-bahasa Timur di Universitas
Prusia dan Liepzig. Tahun 1923, ia memperoleh gelar sarjana muda di
Universitas Prusia dan menjadi guru besar pada 1929. Schacht menjadi
dosen di Fryburg Jerman. Pada tahun 1943 ia diundang untuk mengajar di
Universitas Kairo, Mesir.
Di Mesir ia mengajar fikih, Bahasa Arab dan Bahasa Suryani, di
jurusan Bahasa Arab, Fakultas Sastra. Ia mengajar di Universitas Mesir
hingga 1939. Ketika terjadi perang dunia ke dua pada september 1939,
Schacht pindah dari mesir ke London dan bekerja di Radio BBC, London.
Disitu ia berperanan melancarkan propaganda melawan Nazi Jerman.
Di Inggris itu Schacht melanjutkan studinya di Universitas Oxford
dan memperoleh gelar Magister pada tahun 1948, serta gelar Doktor pada
tahun 1952. Ia diangkat sebagai guru besar diseluruh universitas yang ada
di kerajaan inggris. Pada tahun 1954, ia pakar fikih islam ini, ia menjadi
guru besar di universitas Leiden sampai 1959. Ia dengan kawan-kawanya
mengedit cetakan kedua Dairat al-Maarif al Islamiyah. Kemudian ia ke
Newyork dan menjadi guru besar di universitas Columbia dan meninggal
di Amerika pada Agustus 1969.10
Dalam bidang fikih, karya Schacht anta lain: Al Khosaf al Kitab al
Hiyal wa al-Mkharij (1932), Abu Hatim al Qazwini: Kitab al-khiyal al
fiqih (1924), Ath Thabari Ikhtilaf al-Fuquha (1933) dan lain-lain.
Karyanya yang menonjol dan kontroversial adalah bukunya the Origin of
Muhammdan Jurisprudence (Oxford,1950). Karya Schact ini banyak
mengambil rujukan Ar Risalahnya Imam Syafii.11
Menurut pemikiran Joseph Schacht atas hadis banyak bertumpu
pada teori-teori yang digagas oleh pendahulunya yakni Goldziher. Hanya
saja perbedaanya adalah Goldziher meragukan otentitas hadis, Josep
Schacht sampai pada kesimpulannya bahwa sebagian hadis adalah palsu.12
Pandangan Schacht secara keseluruhan adalah bahwa sistem isnad
mungkin valid untuk melacak hadis-hadis sampai pada ulama abad kedua,
tapi rantai periwayatan yang merentang ke belakang sampai pada Nabi
SAW dan para sahabat adalah palsu. Argumennya dapat dilihat dalam lima
poin.
a. Sistem Isnad dimulai apada awal abad kedua atau, paling awal, akhir
abad pertama.
b. Isnad-isnad itu diletakkan secara sembarangan dan sewenang-wenang
oleh mereka yang ingin memproyeksikan ke belakang doktrin
doktrin mereka sampai kepada sumber klasik.
c. Isnad-isnad secara bertahap meningkat oleh pemalsuan; Isnda-isnad
yang terdahulu tidak lengkap, tapi semua kesenjangan dilengkapi pada
masa koleksi-koleksi klasik.13
d. Sumber sumber tambahan diciptakan pada masa Syafii untuk
menjawab penolakan-penolakan yang dibuat untuk hadits-hadits yang
dilacak ke belakang sampai kepada sate sumber isnad-isnad keluarga

10http://nimiasata.blogspot.com/2013/03/kritik-orientalis-terhadap-hadits-dan.html
11Muhammad Mustafa Azami, Op. cit, h. 595
12Syamsudin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani, 2008)
13Ibid, h. 33
adalah palsu, dan demikian pula materi yang disampaikan dalam isnad-
isnad itu.
e. Keberadaan common narator dalam rantai periwayatan itu merupakan
indikasi bahwa hadis itu berasal dari masa periwayat itu.
Dan dalam rangka membuktikan dasar-dasar pemikirannya tentang
kepalsuan hadis Nabi SAW, Josep Schacht menyusun:
a. Teori projecting back
Maksudnya adalah untuk melihat keaslian hadis bisa
direkonstruksikan lewat penelusuran sejarah hubungan antara hukum
Islam dengan apa yang disebut hadis Nabi menurutnya hukum islam
belum eksis pada masa al Syabi. Hukum islam baru eksis ketika
kebijakan khalifah Ummayah mengangkat para hakim.14
b. Teori El Silentio
Sebuah teori yang disusun berdasarkan asumsi bahwa bila
seseorang sarjana (ulama atau perawi) pada waktu tertentu tidak
cermat terhadap adanya sebuah batas dan gap menyebutkanya atau jika
satu hadis oleh sarjana (ulama atau perawi) yang datang kemudian
yang mana para sarjana sebelumnya menggunakan hadis tersebut,
maka berarti hadis tersebut tidak pernah ada. Jika satu hadis ditemukan
pertama kali tanpa sanad yang komplit dan kemudian ditulis dengan
Isnad yang komplit, maka Isnad itu juga dipalsukan. Dengan kata lain
untuk membuktikan hadis itu eksis atau tidak cukup dengan
menunjukan bahwa hadis tersebut tidak pernah dipergunakan sebagai
dalil dalam diskusi para fuqaha. Sebab seandainya kata itu pernah ada
pasti hal itu akan dijadikan referensi.15

c. Teori Common Link


Yakni sebuah teori yang beranggapan bahwa dalam sebuah
susunan sanad kadang terdapat tambahan tokoh tokoh tertentu untuk
mendukung keabsahan sebuah riwayat. Semua sanad yang terdiri dari

14Ibid
15http://nimisiata.blogspot.com/2013/03/kritik-orientasi-terhadap-hadits-dan.html
hubungan keluarga (antara bapak dan anaknya) adalah palsu. Isnad
keluarga tidak menjamin keaslian bahkan dipakai sebagai alat untuk
membuat sebuah hadis kelihatan tanpa cacat. Sehingga isnad atas dasar
keluarga adalah isnad buatan yang digunakan untuk jalur penghubung
antara satu kelompok perawi dengan perawi lainya.
C. Kritik Terhadap Pandangan Ignaz Goldziher dan Josep Scacht
Kritik berasal dari bahasa Inggris critic yang artinya pengecam,
pengkritik, pengupas, pembahas. Secara terminologi kritik berarti upaya untuk
menemukan kesalahan, atau menurut versi W.J.S> Purwodarminto mengkritik
diadakan dengan memberi pertimbangan dengan menunjukan yang salah.
Sedang kritik dalam bahasa Arab adalah naqd yang diterjemahkan dengan
kritik dan kecaman.
Bantahan terhadap kritik bahwa ulama Muslim terhadap kritik
orientalis
Pendapat Goldziher bahwa hadits belum merupakan dokumen sejarah
yang muncul pada masa-masa awal pertumbuhan islam disanggah oleh
beberapa pakar hadits. Mereka diantaranya: Prof. Dr. Musthofa as-Syibaiy
(as Sunnahwa makanatuba fi at tasyiriil Islam), Prof. Dr. Ajjaj Al-Khatib (as
sunnah Qubla Tadwin), dan Prof. M. Musthofa al-Azbami (Studies in Early
Hadits Literature). Menurut ketiga ulama ini pendapat Goldziher lemah baik
dari sisi metodologisnya maupun kebenaran materi sejarahnya.
Alasan mereka adalah karna ketidaktahuan mereka (kekurang
percayaan) pada bukti-bukti sejarah.16 Orientalis lain seperti Nabia Abbot
justru mengajukan bukti-bukti yang cukup valid tentang keberadaan
pencatatan hadits pada awal-awal keberadaan islam, dalam bukunya Studies in
Arabic Literacy Papyri: Quranic Commentary and Tradition (1957). Abbot
menyimpulkan bahwa penulisan hadits bisa direkonstruksikan dalam 4 fase:
pertama masa Nabi hidup, kedua, masa wafat Nabi sampai masa Ummayah,
ketiga, Pada masa Ummayah dengan titik sentral bahasan pada peran Ibn

16 Kassim Ahdad, Hadits Ditelanjangi, (Jakarta; Trotoar, 2006), h. 12


Syihab al-Zuhri dan keempat adalah periode kodifikasi hadits kedalam buku-
buku fiqih.17
Sisi metodologi yang dikriktik Azami adalah bahwa kesalahan
orientalis yang tidak konsisten dalam mendiskusikan perkembangan hadis
Nabi yang berkaitan dengan hukum, sebab bukunya memfokuskan diri pada
masa hukum, mereka malah memasukan hadis-hadis ritual. Sebagai contoh
dari 47 hadis yang diklaimnya berasal dari Nabi sebagian besar tidak berasal
dari Nabi, dan tidak juga berkaitan dengan hukum hanya seperempat yang
relevan dengan topik yang didiskusikan.18
Berkenaan dengan perkataan Ibn Syibab al-Zuhri, Azami menyatakan
bahwa tidak ada bukti-bukti historis yang memperkuat teori Godlziher, bahkan
justru sebaliknya. Ternyata Goldziher merubah teks yang seharusnya berbunyi
al-hadits, akan tetapi ditulis dengan lafaz hadits saja. Dengan demikian jua
ternyata tesis Goldziher bahwa al-Zuhri dipaksa Khalifah Abdul Malik bin
Marwan (yang bermusuhan dengan Ibn Zubair) untuk membuat hadits, adalah
palsu belaka. Hal ini mengingan bahwa al-Zuhri semasa hidupnya tidak
pernah bertemu dengan Abdul Malik, kecuali sesudah 7 tahun dari wafatnya
Ibn Zubair. Pada saat itu umur al Zuhri sekitar 10-18 tahun sehingga tidak
rasional pemuda seperti itu memiliki reputasi dan otoritas yang kuat untuk
mempengaruhi masyarakat di sekitarnya. Bahkan as-Sibai menantang Abdul
Qadir profesornya untuk membuktikan kebenaran teks al-Zuhri. Pada akhirnya
terbukti bahwa Abdul Qadir salah dan berpegang pada argumen-argumen yang
tidak ilmiah.
Argumen lain yang dapat meruntuhkan teori Godlziher adalah teks
hadis itu sendiri. Sebagaimana termaktub dalam kitab Shahih Bukhari, hadits
tersebut tidak memberikan isyarat apapun yang bisa menunjukan bahwa
ibadah haji dapat dilakukan di al-Quds (Yurussalem) yang ada hanya isyarat
memberikan keistimewaan kepada mesjid al-Aqsa, dan hal ini wajar
mengingat mesjid itu pernah dijadikan qiblat pertama bagi umat Islam.
Sementara itu tawaran Goldziher agar hadits semata mata tidak didekati lewat
17Maryam Jamilah, loc. CIT, h. 175
18 Syamsuddin Arif, Op. cit. H. 39
perspektif sanad akan tetapi juga lewat kritik matan, perlu dicermati.
Sebenarnya sejak awal para filsafat dan generasi sesudahnya sudah
mempraktekan metode kritik matan. Dalam hadits. Kritik matan sudah ada
sejak zaman Nabi Muhammad SAW, sementara kritik sanad baru muncul
setelah terjadinya fitnah dikalangan umat Islam, yaitu perpecahan diantara
mereka menyusul terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan ra pada tahun 35H.
Sejak saat itulah setiap orang yang menyampaikan Hadis selalu ditanya dari
siapa ia memperoleh hadis itu. Apabila hadis itu diterima dan orang yang
tsiqqah19, maka ia diterima sebagai hujjah dalam Islam. Namun apabila hadis
itu deiterima dari ahli bidah maka hadis tersebut ditolak sebagai hujjah.
Penjelasan argumentatif telah disajikan oleh Subkhti as Shafih bahwa ulama
dalam mengkaji hadis juga bertumpu para matan.20
Berikutnya adalah bantahan terhadap kritik Joseph Schacht sebagai
mana dia gagas dalam teori projecting back nya. Menurut Azami kekeliruan
Schacht adalah bahwa dia keliru ketika menjadikan kitab-kitab sirah Nabi dan
kitab-kitab fiqh sebagai dasar porstulat atau asumsi penyusunan teorinya itu.
Kitam Muwattha Imam Malik dan al-Syaibaniy serta risalahnya Imam as
Syafii tidak bisa dijadikan sebagai alas analisis eksitensi atau embrio
kelahiran hadis Nabi. Sebab kita-kitab tersebut memiliki karakteristik yang
berbeda beda. Oleh karena itu untuk meniliti hadis Nabi sebaiknya
menggunakan dan berpedoman pada kitab-kitab hadis.
Azami dalam rangka meruntuhkan teorinya Schacht telah melakukan
penelitian terhadap beberapa naskah hadis dengan sanad Abu Hurairah, Abu
Shalih, Suhail dan seterusnya, yang ternyata dari hasil kajiannya mustahil
hadis bisa dipalsukan begitu saja.
Sementara teori Argamenta e Silentio-nya Scacht dikritik oleh Jafar
Ishaq Anshan dalam buku beliau : The aunthenticity of Tradition, A Critique
of Joseph Schachts Argument e Mention, begitu pula Azami dalam
sanggahanya terhadap the Origin of Muhammadan Jurisprudence karya
Schacht, Keduanya berkesimpulan bahwa Schacht melakukan kontradiksi
19Ibid, h. 41-42
20 Muhammad Mustafa Azami, loc. Cit, h. 615
dalam berargumen, sebab dalam bukunya Schacht mengecualikan teorinya itu
terhadap referensi yang berasal dari dua generasi dibelakang Syafii,
kenyataanya Schacht justru menggunakan muwathanya Imam Malik dan
Syaibaniy sebagai data-datanya yang itu adalah referensi valid menurutnya. 21
Muwatha adalah suatu karya yang menurut Ignaz Goldziher sendiri dikritik
sebagai bukan kitab hadis dengan alasa: pertama, belum mencakup seluruh
hadis yang ada, kedua, lebih menekankan dalam aspek hukum, kurang fokus
pada penyelidikan penghimpunan hadis, ketiga, campuran qaul Nabi, Sahabat
dan tabiin.22
Selain itu, temuan Anshari juga membuktikan kebalikan dari teori
Arguments e Silentio. Setelah melakukan verifikasi berdasarkan empat koleksi
hadis: al-Muwatha Karya Imam Malik dan asy-Syaibaniy dan al-Atshar
karya Abu Yusuf dan asy-Syafibi, ia menemukan bahwa ternyata ada sejumlah
hadis dalam koleksi-koleksi awal yang tidak ditemukan dalam koleksi-koleksi
hadis belakangan. Misalnya, sejumlah hadis yang terdapat dalam al-Muwatha
karya Imam Malik tidak ada dalam asy-Syaibaniy, meskipun al-Muwatha
karya as-Syabani adalah koleksi yang lebih muda. Demikian juga sejumlah
hadis yang terdapat dalam al-Atshar karya Abu Yusuf tidak dijumpai dalam al-
Atshar as-Symbabm, walaupun al-Atshar ajy-Syabani lebih muda dari pada al-
Atsar Abu Yusuf.
Temuan Anshari berdasarkan empat koleksi hadis ini paling tidak
mampu mengoreksi asumsi dasar teori Arguments e Silentio. Hal ini juga
menyadarkan para pengkaji hadis untuk mempertimbangkan adanya faktor
faktor lain, selain faktor ketiadan, yang menyebabkan mengapa seorang ahli
hukum merasa cukup untuk menghimpun doktrin fiqih tertentu tanpa
mencantumkan hadis-hadis yang mendukungnya. Karena tujuan ahli hukum
yang utama bukanlah untuk menghimpun hadis, melainkan untuk
menghimpun beberapa doktrin aliran fiqih yang sudah disepakati dan diterima
secara umum serta diikuti para pendahulu mereka. Oleh karena itu, sering kali
penyebutan sebuah hadis untuk mendukung berbagai doktrin fiqih diapandang
21Ibid, h. 600 - 601
22Syamsuddin Arif, op. cit. h. 42
tidak begitu penting. Akibatnya, mereka tidak selalu menyebutkan hadis-hadis
yang releban dengan doktrin-doktrin hukum yang dihimpun meskipun dalam
faktanya hadis-hadis tersebut ada.
Disamping itu Azami membuktikan bahwa tidak adanya sebuah hadis
pada amsa kemudian, padahal pada masa awal-awal hadis itu dicatat oleh
perawi, disebabkan oleh pengarangnya menghapus atau menasakh hadis
tersebut, sehingga ia menulisnya dalam karya-karya terbaru. Ketidak
konsistenan Scahct terbukti ketika dia mengkritik hadis hadis hukum adalah
palsu, ternyata ia mendasarkan teorinya itu pada hadis ritual (ibadah) yang jika
diteliti lebih dalam lagi ternyata tidak bersambung ke Nabi.
Kemudian untuk mebantah teori yang dikemukakan oelh orientalis
lain, Khususnya Schacht, yang meneliti dari aspek sejarah, maka M.M. Azami
membantah teori Schahct ini juga melalui penelitian sejarah, khususnya
sejarah hadis. Azami melakukan penelitian khusus tentang hadis-hadis nabi
yang terdapat dalam naskah-naskah klasik di antaranya adalah naskah milik
Suhai bin Abi Shaleh (w.138 H). Abu Shaikh (ayah Suhail) adalah murid Abu
Hurairah sahabat Nabi SAW. Naskah Suhail ini berisi 49 hadis. Sementara
Azami meneliti para perawi hadis sampai pada generasi Suhail, yaitu jenjang
ketiga (al tabaqah altsalitsah). Termasuk Jumlah dan domisili mereka. Azami
membuktikan bahwa pada jenjang ketiga, jumlah perawi berkisar 20 sampai
30 orang, sementara domisili mereka terpencar-pencar dan berjauhan, antara
India sampai Maroko, antara Turki sampai Yaman. Sementara teks hadis yang
mereka riwayatkan redaksinya sama.
Dengan demikian apa yang dikembangkan oleh Schacht dengan
teorinya Projecting Back, yang mengemukakan bahwa sanan hadits itu baru
terbentuk belakangan dan merupakan pelegitimasian pendapat para qadhi
dalam menetapkan suatu hukum, adalah masih dipertanyakan keabsahannya,
hal ini dibantah oelh Azami dengan penelitiannya bahwa sanan hadits itu
memang muttasihl sampai kepada Rasulullah SAW melalui jalur-jalur yang
telah disebutkan di atas. Dan membuktikan juga bahwa hadits-hadits yang
berkembang sekarang bukanlah buatan para generasi terdahulu, tetapi
merupakan perbuatan atau ucapan yang datang dari Rasul SAW sebagai
seorang Nabi dan panutan umat Islam.23

D. PENUTUP
1. Kesimpulan
Kritik yang dilakukan oleh orientalis terhadap hadis-hadis Nabi itu,
mengkritik hadis dari berbagai segi, mulai dari sanad, matan, tokoh, kitab,
periwayatan dan lainnya. Dengan kritikan itu Para orientalis juga
memberikan pandangan-pandangannya terhadap hadis Nabi, akan tetapi
kritikan tersebut juga ditanggapi Para ulama dengan serius karena menurut
Pandangan ulama kritik yang dilakukan oleh Para orientalis itu
merupakan jalan untuk melemahkan posisi hadis tersebut karena hadis
juga termasuk dalam landasan hukum bagi umat Islam setelah al-Quran.

2. Saran
Demikianlah pembahasan makalah tentang Kritik Orientalis
Terhadap Hadits dan Ulama Hadits ini. Hendaknya dapat
memberikan informasi apapun bagi pembaca. Diharapkan kritik
dan saran dari pembaca yang bersifat konsumtif untuk tercapainya
kesempurnaan dalam penulisan makalah ini. Atas kritik dan saran
yang diberikan, diucapkan terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Kassim, Hadis ditelanjangi, Jakarta: Trotoar, 2006

Arif, Syamsuddin, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gema Insani,


2008

23
Assamurai, Qasim, Bukti-bukti Kebohongan Orientalis (terjemahan) Judul Asli:
Al-Isytifaqa baina al-Maudhuiyat wa al-Iftialiyyat, penerjamah: Isyubudi
Ismail, Jakarta: gema Insan Press, 1996

Hanafi, Hassan Oksidentalism Sikap Kita Tehadap Tradisi Barat, Jakarta:


Faramadhani, 2000

Hoeve, Van, Ensiklopedia Islam 4, Jakarta: PT. Ichtiar Baru, 1994

W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,


1995

Kadhar, Lathifah Ibrahim, Ketika Barat memfitnah Islam, Jakarta: Gema Insani,
2005

Ritonga, A. Rahman, Studi Ilmu-Ilmu Hadits, Yogyakarta, Interpena 2010

Wahyudin Darmalaksana, Hadits di Mata Orientalis, Bandung: Benar Merah


Press, 2004

http://nimiasata.blogspot.com/2013/03/kritik-orientalis-terhadap-hadits-dan.html

Anda mungkin juga menyukai