Anda di halaman 1dari 30

ORIENTALISME ISLAMOLOGI DAN

SUNNAH NABI

Disampaikan dalam Seminar Kelas


Mata Kuliah DIFAAN SUNNAH
Semester VII

Oleh;
Ahmad Fuadi

Nurul Fadhilah Faisal

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN


MAKASSAR
2014

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama Islam merupakan objek studi oleh sarjana Barat, bahkan
Islam sudah menjadi karir sarjana Barat yang melahirkan para
orientalis dan Islamolog Barat dalam jumlah yang Besar. Sarjana barat
menaruh perhatian besar terhadap studi Islam, karena mereka
memandang Islam bukan hanya sekedar agama tetapi juga merupakan
sumber peradaban dan kekuatan sosial, politik dan kebudayaan yang
patut diperhitungkan.
Isu orientalis inilah yang masih menjadi masalah krusial sampai
sekarang yang

dihadapi berbagai kalangan umat Islam. Tidak

dipungkiri bahwa terkait persoalan orientalis memiliki dua sisi yang


saling bertentangan secara dimetral, negatif dan positif.1
Dalam berbagai literatur yang ditulis oleh para penulis Barat,
mengungkapkan bahwa pengenalan Barat terhadap Islam dimulai pada
masa Perang Salib (Perang Salib I: 1096-1099 M), yang mengakibatkan
para kelompok intelektual mulai menaruh perhatian yang besar
terhadap Islam. Sehingga pada peristiwa Perang Salib tersebut
menimbulkan kesalahpahaman bangsa Barat terhadap Islam dan
dalam perkembangan selanjutnya menimbulkan usaha misionaris.
Salah satu pandangan negatif terhadap Islam, ialah bangsa Barat
memandang Timur khususnya Islam sebagai bangsa dan agama yang
1Abdurrahman Badawi, Ensiklopedi Tokoh Orientalis (Yogyakarta: LKiS,
2003), h. vii.

inferior. Termasuk juga sebagai agama teror yang karena itu, Islam
bagi Barat merupakan trauma. Bahkan Nabi Muhammad saw. pun
mereka gambarkan dalam prespektif yang sangat negatif, sehingga
mempengaruhi pandangan masyarakat Barat selama berabad-abad
yang mengklaim bahwa mereka harus antipati terhadap Islam.
Dalam studi sarjana Barat tentang Islam, salah satu tema selain
al-Quran yang menarik perhatian mereka adalah terkait dengan Hadis
atau Sunnah Nabi. Jika para sarjana Muslim mempelajari hadis lebih
didorong oleh peran sentral hadis sebagai sumber hukum dan doktrin
teologis, berbeda dengan kepentingan sarjana barat yang mempelajari
hadis

yang

pada

dasarnya

didorong

oleh

kepentingan

sejarah

(historical interest).2
Maka untuk lebih lanjutnya, dalam makalah ini akan dibahas terkait
orientalis dan pandangan mereka terhadap Islam terkhususnya pada
sunnah Nabi saw.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan gambaran latar masalah di atas, makalah ini akan
menyajikan

pembahasan

terkait

beberapa

poin

masalah

yang

dirumuskan sebagai berikut:


1. Apa pengertian orientalis?
2. Bagaimana pandangan orientalis terhadap sunnah Nabi saw.?

2Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan; Metode Kritik Hadis,


(Cet I; Jakarta: Hikmah, 2009), h. 3.

3. Bagaimana bantahan para ulama terhadap pemikiran para


orientalis?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Seputar Orientalis Islamologi
1. Pengertian Orientalisme
Dalam bahasa arab, kata orientalisme dikenal dengan sebutan
istisyraq ( )berasal dari kata yang terambil dari kata
yang artinya terbit atau menghindarkan diri dari sesuatu karena
takut terbakar oleh panasnya.3 Kata orientalisme sendiri berasal dari
dua kata orient dan isme yang diambil dari bahasa Latin yaitu Oriri
yang berarti terbit. Dalam bahasa Prancis dan Inggris, orient berarti
direction of rising sun (arah terbitnya matahari dari belahan bumi

3Al-Munjid Fi Al-Lughah, (Bairut: Al-Maktabah Al-Syarqiyyah, t.th.), h.


384. Lihat juga Ah{mad Fakri>, Qa>mu>s At}las al-Mau>su>ai>
(t.t.: Atlas Publishing House, 2010), h. 882.

5
timur).4 Secara geografis makna orient berarti dunia belahan timur
atau bisa diartikan bangsa-bangsa belahan timur.
Sedangkan istilah -isme berasal dari bahasa Belanda atau isma
dalam bahasa Latin atau ism dalam bahasa Inggris yang berarti
sebuah doktrin, teori sistem atau pendirian, ilmu paham keyakinan,
dan sistem.5 Secara terminologis, istilah orientalisme mengandung
banyak pengertian, menurut Malik bin Al-Hajj Umar mengatakan
bahwa orientalis itu ialah para penulis barat yang menulis pemikiran
tentang Islam serta kebudayaannya.6
Istilah orientalisme sudah ada sejak jauh Edward Said populer
dalam bukunya, Orientalism. Dalam pengakuannya sendiri, Said
mengatakan bahwa Anwar Abdel Malek (1963) merupakan salah
seorang yang membahas hal serupa dalam bukunya yang berbahasa
Prancis, Abdel Malek menuduh bahwa, para orientalis mengidap
Europocentric yang kurang memahami para sarjana Arab, terobsesi
dengan masa lalu, dan mengecap semua orang timur dengan sesuatu
yang lain, yang mempuunyai karakter tertentu.7
4Wahyudin Darmalaksana, Hadits Dimata Orientalis Telaah Atas Pandangan Ingaz
Goldziher Dan Joseph Schacht (Bandung: Benang Merah Press), h. 51

5Moh. Nasir Mahmud, Orientalisme; al-Quran di Mata Barat Sebuah


Studi Elevatif (Cet. I; Makassar: Alauddin University Press, 2011), h. 31.
6Zuhdi Rifai, Mengenal Ilmu Hadits Menjaga Kemurnian Hadits dengan
Mengkji Ilmu Hadits (Jakarta: Al-Ghuraba), h. 70.
7AL-FIKR; Jurnal Pemikiran Islam, v. 17 no, 2, 2013; Abd. Muin N. Kritik
pemikiran Terhadap Orientalisme: Tanggapan terhdap Pemikiran
Muhammad Abdul-Rauf, h. 268.

Menurut Abdul Rauf, awal persentuhan Islam dengan sesuatu


yang asing adalah ketika para penganut Islam bukan lagi hanya orang
Arab, pada abad pertengahan ketika wilayah-wilayah muslim berada di
dalam genggaman kolonial Barat. Studi Islam ketika itu berhubungan
erat dengan kebutuhan kolonial untuk memahami masyarakat yang
mereka kuasai. Hal tersebut diakui oleh banyak pengamat termasuk
Kate Teltscher, pengarang India Inscribed: European and British Writing
on India (1995). Namun hal tersebut fenomena kolonialisme- tidak
begitu ditekankan oleh Edward Said, karena menganggap bahwa
motivasi orientalisme melampaui kolonialisme.8
Bagi sebagian penulis Barat berpendapat bahwa, para orientalis
mempelajari

bukan

hanya

sekedar

mengenal

melainkan

mempelajarinya secara sistematis, profesional dan terorganisir yang


tergabung

dalam

studi

ilmiah.

Sekalipun

kata

orientalis

dan

orientalisme seringkali mengandung konotasi negatif pada sebagian


penulis Timur, maka sesuai dengan pengertiannya yang orisinil yaitu
bahwa, sarjana Barat yang mempelajari dunia keTimuran.
Hal tersebut sejalan dengan istilah Islamologi yang memiliki arti
ilmu tentang Agama Islam dan seluk-beluknya, hal ini juga menjadi
kajian bagi sebagian orang -para pemikir khususnya-. Jadi jika melihat
dari pengertiannya, kajian orientalis lebih meluas kepada semua yang
berkaitan dengan Ketimuran sedangkan Islamologi lebih spresifik
terhadap kajian Islam saja, artinya mereka menjadikan Islam sebagai
bagian dari ilmu, dalam hal ini kebanyakan dari mereka yang disebut

8h. 266.

sebagai Islamolong adalah para penganut paham kiri, namun tak


jarang bahwa mereka juga merupakan seorang muslim.
Namun

dalam

perkembangannya

bahwa,

orientalis

sangat

identik dengan kajian islamolong, terlihat dari kajian-kajian para


orientalis yang lebih menonjol pada penelitian yang terkait dengan
keIslaman termasuk di dalamnya banyak yang mengkaji tentang alQuran dan Hadis, bahkan tak jarang pula untuk menghindari kesan
yang negative para penganut pemikiran barat ini juga menyebut
diriinya sebagai islamolog walau sebenarnya ia sama saja dengan
paham atau pemikiran para orientalis belakangan.
B. Pandangan Orientalis Islamolog terhadap Sunnah Nabi saw.
Di

dalam

salah

satu

bukunya,

Orientalism,

Edward

Said

mengatakan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh para orientalis dalam


meneliti agama Islam, khususnya hadis (sunnah Nabi saw.), bukanlah
pekerjaan yang non profit oriented, artinya mereka memiliki tujuan
tertentu dengan meneliti agama Islam sedemikian rupa, tujuan itu
antara lain adalah mencari kelemahan Islam dan kemudian mencoba
menghancurkannya pelan-pelan dari dalam. Walaupun tidak semua
orientalis memiliki tujuan seperti itu paling tidak itu adalah sebuah
anomali

dari

sekelompaok

orang

yang

boleh

dikata

memiliki

persentase sangat kecil. Hal inilah yang menjadi alasan bagi Hasan
Hanafi dan kawan-kawannya untuk membalas perlakuan mereka
dengan giliran balik menyerang kebuadayaan barat, dengan cara

mempelajarinya

dan

secara

yang

sistematis

mencoba

menggerogotinya dari dalam.9


Sebagian dari mereka memilih hadis dalam upayanya untuk
menyerang umat Islam, hal tersebut dikarena kedudukan hadis yang
sangat penting dalam kehidupan kaum muslim. Mereka lebih memilih
menyerang

hadis

ketimbang

al-Quran,

karena

hadis

hanyalah

perkataan manusia yang bisa saja mengandung kesalahan dan unsurunsur negatif lainnya dengan memberikan asumsi bahwa hadis tidak
terpelihara sebagaimana Al-Quran.
Gugatan orientalis terhadap hadis bermula pada pertengahan
abad ke-19 Masehi, tatkala hampir seluruh bagian dunia Islam telah
masuk dalam cengkraman kolonialisme bangsa-bangsa Eropa. Alois
Sprenger

adalah

mempersoalkan

disebut

status

sebagai

hadis

dalam

bibit
Islam.

yang
Dalam

pertama

kali

pendahuluan

bukunya mengenai riwayat hidup dan ajaran Nabi Muhammad,


misionaris asal Jerman yang pernah tinggal lama di India ini mengklaim
bahwa hadis merupakan kumpulan anekdot (cerita-cerita bohong tapi
menarik). Klaim ini diamini oleh rekan satu misinya William Muir,
orientalis asal Inggris yang juga mengkaji biografi Nabi Muhammad
saw. dan sejarah perkembangan Islam. Menurut Muir, dalam literatur
hadits, nama Nabi Muhammad saw. sengaja dicatat untuk menutupi
bermacam-macam kebohongan dan keganjilan.
Selanjutnya ditahun-tahun berikutnya muncullah para pengkaji
barat yang secara akademis dan konsen mengkaji hadis hingga
9http://Elmisbah.wordpress.com/presepsi-orientalis-terhadaphadis.html, diakses pada tanggal 13 November 2014.

beberapa dari mereka membuat teori baru dalam menentukan


keontetikan sebuah hadis. Berikut ini beberapa kaum orientalis serta
pemikirannya yang bergelut pada kajian hadis
1. Ignaz Goldziher (1850-1921)
Ignaz Goldziher (selanjutnya disebut Goldziher) adalah seorang
sarjana Hongaria terkenal yang hidup antara 1850-1921 M. Ia dianggap
sebagai salah seorang pendiri studi Islam di Barat dan menjadi pakar
dibidang itu. Salah satu dari karya fundamentalnya adalah sebuah
buku yang berjudul Muhammedanische Studien

yang kemudian

diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris Muslim Studies. Banyak


tempat yang telah dikunjunginya dalam rangka perjalanan ilmiahnya,
antara lain yaitu Budapest, Berlin, dan Liepzig. Tahun 1873, ia menuju
Syiria dan belajar kepada Syeikh Tahir al-Jazairi. Dan kemudian,
perjalanan belajarnya berlanjut ke Palestina dan Mesir. Di Mesir ia
belajar kepada beberapa ulama al-Azhar. Setelah pulang dari Al Azhar,
ia diangkat menjadi guru besar di Universitas Budapest.10
Goldziher disebut sebagai orientalis pertama yang mengkaji
tentang hadis. Hal ini dikemukakan dengan alasan bahwa:
a. Goldziher hidup di masa yang lebih awal di kalangan orientalis
lain yang mengkaji hadis.
b. Tidak ada orang yang lebih dahulu dari padanya dalam mengkaji
hadis secara komprehensif.

10Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h.


14.

10

c. Dengan kenyataan itu, bukunya Muhammedanische Studien,


dianggap sebagai "kitab suci" di kalangan orientalis.11
Menurut

pandangan

Goldziher

menyatakan

bahwa,

hadis

memang memiliki fenomena yang berasal dari zaman Islam paling


awal. Namun demikian karena kandungan hadis tersebut terus
berkembang banyak pada masa setelah itu, kemudian pada setiap
generasi muslim materi hadis tersebut berjalan seiring dengan doktrindoktrin aliran fikih dan teologi yang sering bertabrakan, jadilah hadishadis tersebut susah untuk ditentukan orisinalitasnya apakah benar
berasal dari Nabi saw.12
Selanjutnya, Goldziher juga menyatakan bahwa matan hadis
lebih merupakan hasil perkembangan religius, historis dan sosial Islam
selama dua abad pertama, atau merupakan refleksi dari tendensitendensi yang muncul dalam komunitas muslim selama masa-masa
tersebut. Sehingga menurutnya, kitab-kitab hadis yang ada sekarang,
tidak bisa dipercaya keseluruhannya sebagai sumber ajaran dan
perilaku Nabi saw.13
Meski karya dan pemikirannya dianggap sebagai masterpeace
pertama yang menjelaskan sejarah hadis, namun dalam kesarjanaan
Islam ia menuai banyak kritikan tajam. Dalam kesarjanaan Barat, karya
11Erwin Hafid. Mustafa Azami Dan Kritik Pemikiran Hadis Orientalis.PDF. Al-FIKR vol.
14, no.2 (2010), h. 234.

12Erwin Hafid. Mustafa Azami Dan Kritik Pemikiran Hadis Orientalis., h.


235.
13Erwin Hafid. Mustafa Azami Dan Kritik Pemikiran Hadis Orientalis, h.
235.

11

Goldziher itu yang terbit pada tahun 1890, tidak diikuti dengan serupa,
bahkan tesis serta premisnya tidak terevisi secara signivikan sampai
karya Joseph Schacht muncul pada tahun 1950.14
2. Joseph Schacht (1902-1969)
Joseph Schacht (selanjutnya di sebut Schacht) dilahirkan di Si'iisi,
Jerman 15 Maret 1902. Kajian-kajiannya mengenai dunia timur diawali
dengan belajar mengenai ideologi klasik, teologi dan bahasa-bahasa
Timur di Universitas Berslauw dan Universitas Leipzig. Gelar Doktor
diraihnya dalam usia yang sangat muda di umur 21 pada tahun 1923.
Tahun 1925 ia diangkat menjadi dosen di Universitas Fribourg. Tahun
1929 dalam usia 27 tahun, ia diangkat menjadi guru besar. Tahun 1932
ia pindah ke Universitas Kingsbourg. Dua tahun setelah itu ia
meninggalkan Jerman, lalu mengajar Tata Bahasa Arab dan Bahasa
Suryani di Universitas Fuad Awai, kini Universitas Cairo, Mesir. Di Mesir
ia hanya tinggal selama lebih kurang tujuh tahun yakni hingga tahun
1939. Pada Perang Dunia II, Schacht meninggalkan Cairo lalu pindah ke
Inggris dan bekerja di Radio BBC London. Kemudian tahun 1954 ia
pindah ke Universitas Colombia New York sebagai Guru Besar, sampai
meninggalnya tahun 1969.15
Dibanding dengan Goldziher, Schacht memiliki keunggulan
karena Schacht sampai pada kesimpulan meyakinkan bahwa tidak ada
satupun hadis yang otentik dari Rasulullah, khususnya hadis-hadis
14Kamaruddin Amin, Metode Kritik Hadis h. 3.
15Erwin Hafid. Mustafa Azami Dan Kritik Pemikiran Hadis Orientalis, h.
236.

12

yang berkaitan dengan hukum Islam, sementara Goldziher hanya


sampai pada kesimpulan meragukan otentisitas hadis.
Di antara karya-karya fundamental yang ia tulis adalah buku The
Origin of the Muhammadan Jurisprudence yang terbit tahun 1950 dan
An Introduction to Islamic law yang terbit tahun 1960. Buku-buku yang
ditulis oleh Joseph Schacht merupakan buku rujukan kedua setelah apa
yang ditulis oleh lgnaz Goldziher dalam bidang hadis. Dalam dua buku
di atas, meskipun secara umum lebih terfokus kepada hukum yang
tercermin dari kata jurisprudence (ilmu hukum) dan law (hukum) yang
tercantum pada judul buku di atas, Schacht juga banyak memberikan
kritikan terhadap hadis dan literatur-literatur hadis.16
Dalam pandangan Schacht, Muhammad telah memproklamirkan
diri sebagai pembawa pesan dari Allah dan Muhammad sangat
keberatan ketika orang-orang Quraisy menyebutnya sebagai kahn
(dukun). Hal ini disebabkan karena dalam pandangan kaum Quraisy,
tidak berbeda keadaan dukun mereka ketika membaca mantra dengan
Muhammad ketika menyampaikan ayat al-Qur'an. Ketika Muhammad
menjadi penengah juga mereka pandang sebagai keadaan yang sama
dengan kahn pada masyarakat Jahiliyah. Muhammad tentu saja
menolak tuduhan ini. Menurut Schacht, penolakan ini bukan tanpa
alasan. Muhammad tidak ingin membatasi dirinya hanya sebagai
arbitrator

dalam

komunitas

dimana

ia

berada.

Akan

tetapi

ia

mempunyai ambisi politik yang kuat, ambisi ini bisa diraih setelah ia
hijrah ke Madinah. Di Madinah Muhammad membangun sebuah
16Erwin Hafid. Mustafa Azami Dan Kritik Pemikiran Hadis Orientalis, h.
236.

13

masyarakat baru yang merupakan batu loncatan untuk memenuhi


ambisi politiknya. Oleh karena itu -sekali lagi dalam pandangan
Schacht- Muhammad pada dasarnya lebih tertarik pada masalahmasalah politik ketimbang masalah-masalah hukum.17
Schacht juga mengemukakan pendapatnya yang berkenaan
dengan sanad. Yang menjadi kajian utama dalam tulisan Schacht
adalah bahwa peletakkan sanad merupakan tindakan sewenangwenang dalam hadis Nabi saw. Hadis itu sendiri dikembangkan oleh
kelompok-kelompok yang saling berbeda dan ingin mengaitkan teoriteorinya pada tokoh-tokoh terdahulu. Setidaknya ada enam kesimpulan
argumentasi

Schacht

atas

pernyataannya

tersebut,

argumentasi

tersebut adalah sebagai berikut:18


a. Sistem isnad baru dimulai pada awal abad kedua Hijriyah, atau
setidak tidaknya, pada akhir abad pertama Hijriyah.
b. lsnad dipergunakan atau dicantumkan dalam hadis dengan cara
yang

sangat

ceroboh

oleh

orang-orang

yang

mengaitkan

teorinya kepada para pendahulu (project back).


c. Isnad ditingkatkan dan diciptakan secara bertahap. Isnad pada
awalnya merupakan suatu mata rantai yang tidak lengkap.
d. Otoritas tambahan diciptakan pada masa Imam Syafi'i untuk
mencapai tujuan pengembalian hadis kepada satu sumber.

17Erwin Hafid. Mustafa Azami Dan Kritik Pemikiran Hadis Orientalis, h.


237.
18Erwin Hafid. Mustafa Azami Dan Kritik Pemikiran Hadis Orientalis, h.
237.

14

e. Rangkaian sanad adalah sesuatu yang palsu begitu juga


materi/matan yang ada di dalamnya.
f. Keberadaan

periwayat

yang

umum

pada

mata

rantai

menunjukkan bahwa hadis-hadis berasal dari masa periwayat


tersebut.
Pernyataan Schacht mengenai terbentuknya isnad sangat jelas
sekali, dan ini justru cenderung kepada kesimpulan bahwa isnad
tersebut

merupakan

hasil

buatan

generasi

belakangan

pada

permulaan abad ke 2. Dan dalam rangka membuktikan dasar-dasar


pemikirannya tentang kepalsuan hadis Nabi saw., Joseph Schacht
menyusun beberapa teori berikut ini:
a. Teori Projecting Back
Maksud dari teori ini bahwa untuk melihat keaslian hadis bisa
direkonstruksikan lewat penelusuran sejarah hubungan antara hukum
Islam dengan apa yang disebut hadis Nabi. Schacht menegaskan
bahwa hukum Islam belum eksis pada masa al-Syabi (w. 110 H).
Penegasan ini memberikan pengertian bahwa apabila ditemukan hadishadis yang berkaitan dengan hukum Islam, maka hadis-hadis itu
adalah

buatan

orang-orang

yang

hidup

sesudah

al-Syabi.

Ia

berpendapat bahwa hukum Islam baru dikenal semenjak masa


pengangkatan para qadhi (hakim agama). Pada khalifah dahulu
(khulafa al-Rasyidin) tidak pernah mengangkat qadhi. Pengangkatan
qadhi baru dilakukan pada masa Dinasti Bani Umayyah.19
19Jumal Ahmad, https://ahmadbinhanbal.wordpress.com/2011/01/29/telaah-ataskritik-orientalis-terhadap-hadits-hadith-criticism-oleh-3-orientalis-ignaz-goldziherjoseph-schacht-dan-g-h-a-juynboll/ diakses pada tanggal 16 November 2014.

15

Perkembangan berikutnya, pendapat-pendapat para qadhi itu


tidak hanya dinisbahkan kepada tokoh-tokoh terdahulu yang jaraknya
masih dekat, melainkan dinisbahkan kepada tokoh yang lebih dahulu,
misalnya Masruq. Langkah selanjutnya, untuk memperoleh legitimasi
yang lebih kuat, pendapat-pendapat itu dinisbahkan kepada tokoh
yang memiliki otoritas paling tinggi, misalnya Abdullah ibn Masud.
Dan pada tahap terakhir, pendapat-pendapat itu dinisbahkan kepada
Nabi Muhammad saw. Inilah rekontruksi terbentuknya sanad hadis
menurut Schacht, yaitu dengan memproyeksikan pendapat-pendapat
itu kepada tokoh-tokoh yang legitimit yang ada dibelakang mereka,
inilah yang disebut oleh Schacht dengan teori projecting back.20
Selain itu, Ia juga mengklaim bahwa sanad lengkap yang
berujung ke Rasulullah saw. adalah ciptaan atau tambahan para
fuqaha di era Tabiin dan setelahnya, yang ingin memperkokoh
mazhab mereka dengan menjadikannya sebagai hadits nabawi.
b. Teori E Siliento
Sebuah teori yang disusun berdasarkan asumsi bahwa bila
seseroang sarjana (perawi) pada waktu tertentu tidak cermat terhadap
adanya sebuah hadis dan gagal menyebutkannya atau jika satu hadis
oleh sarjana (perawi) yang datang kemudian yang mana para sarjana
sebelumnya menggunakan hadis tersebut, maka berarti hadis tersebut
tidak pernah ada. Jika satu hadis ditemukan pertama kali tanpa sanad
yang komplit dan kemudian ditulis dengan isnad yang komplit, maka
20Khoirul Asfiyak, http://fai-unismamalang.blogspot.com/2009/01/otentisitas-hadits-di-mataorientalist_10.html, diakses tanggal

16

isnad itu juga dipalsukan. Dengan kata lain untuk membuktikan hadis
itu eksis atau tidak cukup dengan menunjukkan bahwa hadis tersebut
tidak pernah dipergunakan sebagai dalil dalam diskusi para fuqaha.
Sebab seandainya hadis itu pernah ada pasti hal itu akan dijadikan
sebagai refrensi.21
c. Teori Common Link
Common Link adalah periwayat tertua yang disebut dalam
berkas isnad yang meneruskan hadis kepada lebih dari satu murid.
Dengan demikian, ketika berkas isnad hadis itu mulai menyebar untuk
pertama kalinya aka disanalah ditemukan common link nya.22 Lebih
jelasnya, common link adalah sebuah teori yang beranggapan bahwa
orang yang paling bertanggungjawab atas kemunculan sebuah hadis
adalah periwayat poros (common link) yang terdapat di tengah bundel
sanadnya. Common link itulah yang menurut Juynboll merupakan
pemalsu dari hadis yang dibawanya. Argumennya satu: Jika memang
sebuah hadis itu telah ada semenjak Rasulullah saw., mengapa ia
hanya diriwayatkan secara tunggal di era Shahabat atau Tabiin, lalu
baru menyebar setelah Common Link? Juynboll menganggap fenomena
ini muncul karena common link itulah yang pertama kali memproduksi
dan mempublikasikan hadits tersebut dengan menambahkan sebuah
jalur sanad ke belakang sampai Rasulullah saw.23
21Jumal Ahmad, ahmadbinhanbal.wordpress.com
22Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A. Juynboll; Melacak Akar
Kesejahteraan Hadis Nabi, (Yogyakarta: LKiS, 2007), h. 3.
23Jumal Ahmad, ahmadbinhanbal.wordpress.com

17

3. G.H.A. Jyunboll (1935Juynboll24 adalah seorang orientalis yang mendukung pemikiran


kedua orientalis di atas, berasal dari Belanda dan dilahirkan tahun
1935, sejak di bangku S1 di Leiden ia telah banyak melakukan kajian
tentang otensitas hadits, di antara karya-karyanya adalah: The
Authenticity of the Tradition Literature, Studies on the Origins and Uses
of Islamic Hadth; Muslim Tradition: Studies in Chronology, Provenance
and Authorship of Early Hadith; dan Discussion in Modern Egypt.
Adapun pemikiran orientalis yang ketiga ini adalah dalam
beberapa karyanya seperti Muslim Tradition: Studies in Cronology
Provenance and Authorship of Early Hadith dan The Date of The Great
Fitna, Jyunboll melakukan kritik hadis yang sejatinya kritik-kritiknya itu
tidak lebih dari mengulang-ulang atau mendukung gagasan Schacht
dalam bukunya The Origin of Muhammadans Yurisprudence.
Menurut para muhadisin, isnad baru dipergunakan secara cermat
setelah terjadinya fitnah tragedi pembunuhan khalifah Ustman (656
M), Jyunbolll menolak anggapan ini dengan bersandarkan pada karya
ibn Sirin, bahwa penggunaan isnad baru dimulai ketika fitnah tragedi
peperangan antara Abdullah bin Zubair dengan dinasti Ummayah yang
pada akhirnya berdampak pada banyaknya hadis-hadis palsu. Seperti
hadis man kadzaba Jyunboll menemukan sekurang-kurangnya 5
jalur sanad yang disandarkan pada Abu hanifah. Dia beranggapan
hadis itu disusun pada saat-saat tertentu setelah Abu hanifah wafat.

24Lihat: Ali Masrur, h. 57.

18

Hal ini sangat rasional mengingat Abu Hanifah adalah merupakan


tokoh yang sering mengenyampingkan hadis.25
Sebenarnya,

Juynboll

bukanlah

orang

yang

pertama

membicarakan fenomena common link dalam periwayatn hadits. Ia


mengakui dirinya sebagai pengembang dan bukan penemu teori
tersebut. Dalam beberapa tulisannya, ia selalu merujuk kepada
Schacht seraya berkata bahwa dialah pembuat istilah common link dan
yang

pertama

kali

memperkenalkannya

dalam

The

Origins

Of

Muhammadan Jurisprudence.26
C. Bantahan Ulama terhadap kritik Orientalis Islamolog
Gencarnya kritikan terhadap hadis dari kalangan orientalis tidak
lantas membuat ulama Islam berdiam diri, setidaknya ada tiga ulama
kontemporer yang telah menangkal teori-teori ketiga orientalis di atas,
mereka adalah Musthofa as Sibaiy dalam bukunya as-Sunnah wa
Makanatuha fi at Tasyriil Islam, Ajjaj al Khatib dalam bukunya as
Sunnah Qabla Tadwin dan M. Musthofa al Azhami dalam bukunya
Studies in Early Hadith Literature.
Berikut ini penulis mengetengahkan beberapa bantahan dari
ulama-ulama tersebut, terutama M. Musthofa al Azhami yang telah
menelanjangi para orientalis sampai mereka tidak berkutik karena
argument-argument yang disampaikannya benar dan valid.

25Koirul Asfiyak, Otentisitas Hadis dimata Orientalis.


26Ali Masrur, h. x.

19

1. Bantahan untuk Ignaz Goldziher


Pendapat Goldziher bahwa hadis belum merupakan dokumen
sejarah yang muncul pada masa-masa awal peertumbuhan Islam
disanggah oleh bebrapa pakar hadis.. Menurut ketiga ulama ini
pendapat Goldziher lemah baik dari sisi metodologisnya maupun
kebenaran

materi

sejarahnya.27

Alasan

mereka

adalah

karena

ketidaktahuan mereka (kekurang percayaan) pada bukti-bukti sejarah.


Orientalis lain seperti Nabia Abbot, justru mengajukan bukti-bukti yang
cukup valid tentang keberadaan pencatan hadis pada awal-awal
periode Islam, dalam bukunya Studies in Arabic Literary Papyri:
Quranic Commentary and Tradition (1957). Abbot menyimpulkan
bahwa penulisan hadis bisa direkonstruksikan dalam 4 fase: pertama,
masa Nabi saw. hidup, kedua, masa wafat Nabi saw. sampai masa
Ummayah, ketiga, pada masa Ummayah dengan titik sentral bahasan
pada peran ibn Syihab al-Zuhri dan keempat adalah periode kodifikasi
hadits kedalam buku-buku fiqh.28
Sisi metodologi yang dikritik Azami adalah bahwa kesalahan
orientalis yang tidak konsisten dalam mendiskusikakan perkembangan
hadis

Nabi

yang

berkaitan

dengan

hukum,

sebab

bukunya

memfokuskan diri pada masalah hukum, mereka malah memasukkan


hadis-hadis ritual. Sebagai contoh dari 47 hadis yang diklaimnya
berasal dari Nabi sebagiannya tidak berasal dari Nabi, dan tidak juga

27Khoirul Asfiyak, Otentisitas Hadits dimata Orientalist


28Jumal Ahmad, ahmadbinhanbal.wordpress.com

20

berkaitan dengan hukum hanya seperempat yang relevan dengan


topik yang didiskusikan.
Berkenaan dengan pernyataan ibn Syihab al-Zuhri, Azami
menyatakan bahwa tidak ada bukti-bukti historis yang memperkuat
teori Goldziher, bahkan justru sebaliknya. Ternyata Goldziher merubah
teks yang seharusnya berbunyi al-hadis, akan tetapi ditulis dengan
lafaz hadis saja. Demikian juga ternyata tesis Goldziher bahwa al-Zuhri
dipaksa khalifah Abdul Malik bin Marwan (yang bermusuhan dengan
ibn Zubair) untuk membuat hadis, adalah palsu belaka. Hal ini
mengingat al-Zuhri semasa hidupnya tidak pernah bertemu dengan
Abdul Malik, kecuali sesudah 7 tahun dari wafatnya ibn Zubair. Pada
saat itu umur al Zuhri sekitar 10-18 tahun sehingga tidak rasional
pemuda seperti itu memiliki reputasi dan otoritas yang kuat untuk
mempengaruhi masyarakat di sekitarnya. Bahkan as-Sibai menantang
abdul Qadir profesornya untuk membuktikan kebenaran teks al Zuhri.
Pada akhirnya terbukti bahwa Abdul Qadir salah dan berpegang pada
argumen-argumen yang tidak ilmiah.29
Argumen lain yang juga dapat meruntuhkan teori Goldziher
adalah teks hadis itu sendiri. Sebagaimana termaktub dalam kitab
Shahih Bukhari, hadis tersebut tidak memberikan isyarat apapun yang
bisa menunjukkan bahwa ibadah haji dapat dilakukan di al-Quds
(Yurussalem) yang ada hanya isyarat pemberian keistimewaan kepada
masjid al Aqsha, dan hal ini wajar mengingat masjid itu pernah
dijadikan qiblat pertama bagi ummat islam. Sementara itu tawaran
29Jumal Ahmad, ahmadbinhanbal.wordpress.com

21

Goldziher agar hadis tidak semata-mata didekati lewat perspektif


sanad akan tetapi juga lewat kritik matan, perlu dicermati. Sebenarnya
semenjak awal para shahabat dan generasi sesudahnya sudah
mempraktekkan metode kritik matan. Penjelasan argumentatif telah
disajikan oleh Subkhi as Shalih bahwa ulama dalam mengkaji hadis
juga bertumpu pada matan.30
2. Bantahan untuk Josep Schacht
Berikutnya adalah bantahan terhadap kritik Joseph Schahcht
sebagaimana yang dia gagas dalam teori Projecting Back-nya. Menurut
Azami kekeliruan Schacht adalah bahwa dia keliru ketika menjadikan
kitab-kitab sirah Nabi dan kitab-kitab fiqh sebagai dasar postulat atau
asumsi penyusunan teorinya itu. Kitab Muwattha Imam Malik dan al
Syaibaniy serta risalahnya Imam as Syafii tidak bisa dijadiakan
sebagai alat analisis eksistensi atau embrio kelahiran hadis Nabi.
Sebab kitab-kitab tersebut memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
Oleh karena itu untuk meneliti hadis Nabi sebaiknya menggunakan dan
berpedoman pada kitab-kitab hadis.
Azami dalam rangka meruntuhkan teorinya Schacht telah
melakukan penelitian terhadap beberapa naskah hadis dengan sanad
Abu Hurairah, Abu Shalih, Suhail dan seterusnya, yang ternyata dari
hasil kajiannya sangat mustahil hadis bisa dipalsukan begitu saja.31
30Labib Syauqi Akifahadi, Tanggapan sarjana Muslim Terhadap Kajian
Hadits Orientalist, dalam internet website: http:// lenterahadits.com/,
diakses tanggal
31Jumal Ahmad, ahmadbinhanbal.wordpress.com

22

Sementara teori Argumenta e Silentionya Schacht dikritk oleh


Jafar Ishaq Anshari dalam buku beliau: The Authenticity of Tradition, A
Critique of Joseph Schachts Argument e Silention, begitu pula Azami
dalam

sanggahannya

terhadap

The

Origins

of

Muhammadan

Jurisprudence karya Schacht, Keduanya berkesimpulan bahwa Schacht


melakukan kontradiksi dalam berargumen, sebab dalam bukunya
schacht mengecualikan teorinya itu terhadap referensi yang berasal
dari 2 generasi di belakang syafii, kenyataannya schacht justru
menggunakan muwathanya Imam Malik dan Syaibaniy sebagai datadatanya yang itu adalah referensi yang valid menurutnya. Muwatha
adalah suatu karya yang justru oleh Ignaz Goldziher sendiri dikritik
sebagai bukan kitab hadis dengan alasan (1) belum mencakup seluruh
hadis yang ada (2) lebih menekankan pada aspek hukum, kurang fokus
pada penyelidikan penghimpunann hadis (3) campuran qaul Nabi,
Shahabat dan tabiin.32
Selain itu, temuan Anshari justru membuktikan kebalikan dari
teori Argumenta e Silentio. Setelah melakukan verifikasi berdasarkan
empat koleksi hadis: al-Muwatha karya Imam Malik dan asy-Syaibani
dan al-Atsar karya abu Yusuf dan asy-Syatibi, ia menemukan bahwa
ternyata ada sejumlah hadis dalam koleksi-koleksi awal yang tidak
ditemukan dalam koleksi-koleksi hadis belakangan. Misalnya, sejumlah
hadis yang terdapat dalam al-Muwatha karya Imam Malik tidak ada
dalam asy-Syaibani, meskipun al-Muwatha karya asy-Syaibani adalah
koleksi yang lebih muda. Demikian juga sejumlah hadis yang terdapat
di al-Atsar Abu Yusuf tidak dijumpai dalam al-Atsar asy-Syaibani,
32Jumal Ahmad, ahmadbinhanbal.wordpress.com

23

walaupun al-Atsar asy-Syaibani ini lebih muda daripada al-Atsar Abu


Yusuf.33
Temuan Anshari berdasarkan empat koleksi hadis ini paling tidak
mampu mengoreksi asumsi dasar teori Argumenta e Silentio. Hal ini
juga menyadarkan para pengkaji hadis untuk mempertimbangkan
adanya faktor-faktor lain, selain faktor ketiadaan, yang menyebabkan
mengapa seorang ahli hukum merasa cukup untuk menghimpun
doktrin

fiqih

tertentu

tanpa

mencantumkan

hadis-hadis

yang

mendukungnya. Karena tujuan para ahli hukum yang utama bukanlah


untuk menghimpun hadis, melainkan untuk menghimpun berbagai
doktrin aliran fiqih yang sudah disepakati dan diterima secara umum
serta diikuti oleh para pendahulu mereka. Oleh karena itu, sering kali
penyebutan sebuah hadis utuk mendukung berbagai doktrin fiqih
dipandang tidak begitu penting. Akibatnya, merka tidak selalu
menyebutkan hadis-hadis yang relevan dengan doktrin-doktrin hukum
yang dihimpun meskipun dalam faktanya hadis-hadis tersebut ada.34
Di samping itu Azami membuktikan bahwa tidak adanya sebuah
hadis pada masa kemudian, padahal pada masa-masa awal hadis itu
dicatat oleh perawi, disebabkan pengarangnya menghapus/menasakh
hadis tersebut, sehingga ia tidak menulisnya dalam karya-karya
terbaru. Ketidakkonsistenan Schacht terbukti ketika dia mengkritik
hadis-hadis hukum adalah palsu, ternyata ia mendasarkan teorinya itu

33Jumal Ahmad, ahmadbinhanbal.wordpress.com


34Jumal Ahmad, ahmadbinhanbal.wordpress.com

24

pada hadis-hadis ritual (ibadah) yang jika diteliti lebih dalam lagi
ternyata tidak bersambung ke Nabi.35
Kemudian untuk membantah teori yang dikemukakan oleh para
orientalis yang lain, khususnya Schacht, yang meneliti dari aspek
sejarah, maka M.M. Azami membantah teori Schacht ini juga melalui
penelitian

sejarah,

khususnya

sejarah

Hadis.

Azami

melakukan

penelitian khusus tentang Hadis-Hadis Nabi yang terdapat dalam


naskah-naskah klasik. Di antaranya adalah naskah milik Suhail bin Abi
Shaleh (w.138 H). Abu Shaleh (ayah Suhail) adalah murid Abu Hurairah
shahabat Nabi saw. Naskah suhail ini berisi 49 Hadis. Sementara Azami
meneliti perawi Hadis itu sampai kepada generasi Suhail, yaitu jenjang
ketiga (al-thabaqah altsalitsah). Termasuk jumlah dan domisili mereka.
Azami membuktikan bahwa pada jenjang ketiga, jumlah perawi
berkisar 20 sampai 30 orang, sementara domisili mereka terpencarpencar dan berjauhan, antara India sampai Maroko, antara Turki
sampai Yaman. Sementara teks hadis yang mereka riwayatkan
redaksinya sama.36
Dengan demikian apa yang dikembangkan oleh Schacht dengan
teorinya Projecting Back, yang mengemukakan bahwa sanad Hadis itu
baru terbentuk belakangan dan merupakan pelegitimasian pendapat
para

qadhi

dalam

menetapkan

suatu

hukum,

adalah

masih

dipertanyakan keabsahannya, hal ini dibantah oleh Azami dengan


penelitiannya bahwa sanad Hadis itu memang muttashil sampai
35Jumal Ahmad, ahmadbinhanbal.wordpress.com
36Jumal Ahmad, ahmadbinhanbal.wordpress.com

25

kepada Rasulullah Saw. melalui jalur-jalur yang telah disebutkan di


atas. Dan membuktikan juga bahwa Hadis-hadis yang berkembang
sekarang bukanlah buatan para generasi terdahulu, tetapi merupakan
perbuatan atau ucapan yang datang dari Rasul Saw. sebagai seorang
Nabi dan panutan umat Islam.37
3. Bantahan untuk G.H.A Juynboll
Tokoh ketiga yang tak luput dari perbincangan para sarjana
muslim adalah Jyunboll dengan teori common link-nya. Diantara yang
menanggapinya adalah Azami, baginya teori common link bukanlah
hanya patut dipertanyakan namun ia pula meragukan validitas teori
tersebut. Azami cenderung manyimpulkan bahwa metode common link
dan semua metode yang dihasilkannya tidak relevan.
Bagi Azami, teori common link banyak yang perlu dipertanyakan.
Sebagai contoh misalnya, jika memang ditemukan seorang periwayat
seperti

al-Zuhri,

yang

menjadi

periwayat

satu-satunya

yang

meriwayatkan hadis pada muridnya, tetapi telah diakui ke-tsiqah-an


dirinya oleh para kritikus hadis maka tidak ada alasan untuk
menuduhnya sebagai seorang yang memalsukan hadis. Para ahli hadis
sendiri telah menyadari adanya periwayatan hadis secara infirad
(menyendiri) dan implikasinya. Akan tetapi, itu semua bergantung
pada kualitas para periwayat hadis pada isnad-nya.38
37Labib Syauqi Akifahadi, Tanggapan sarjana Muslim Terhadap Kajian
Hadits Orientalist
38Jumal Ahmad, ahmadbinhanbal.wordpress.com

26

Pada tempat lain, Azami menunjukkan bahwa jika seseorang


tidak melihat secara keseluruhan jalur isnad maka ia akan salah dalam
mengidentifikasi seorang periwayat sebagai common link. Hal ini
tentunya agar penemuan akan sanad hadis itu tidak parsial. Sebab,
bisa jadi yang dianggap oleh peneliti hadis sebagai common link
sebenarnya hanya seeming atau artificial common link. Ini disebabkan
karena jalur yang dihimpun hanya sebagian saja sehingga tidak bisa
menggambarkan jalur isnad secara lebih akurat.39

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
1. Secara terminologis, istilah orientalisme mengandung banyak
pengertian. Pengertain sederhana adalah suatu bidang kajian
keilmuan, atau dalam pengertian sebagai suatu cara motodologi

39Labib Syauqi Akifahadi, Tanggapan sarjana Muslim Terhadap Kajian


Hadits Orientalist

27

yang memiliki kecenderungan muatan intergral antara oriental


dengan kegiatan-kegiatan lain yang bertujuan untuk menguasai
dan memanipulasi bahkan mendominasi dunia timur. Menurut
Malik bin Al-Hajj Umar mengatakan bahwa orientalis itu ialah
para

penulis

barat

yang

menulis

pemikiran

Islam

serta

kebudayaannya. Pengertian Islamologi memiliki arti ilmu tentang


Agama

Islam

dan

seluk-beluknya,

Namun

dalam

perkembangannya, terlihat bahwa orientalis sangat identik


dengan islamolong, terlihat dari kajian-kajian para orientalis lebih
menonjolkan pada penelitian yang terkait dengan keIslaman
termasuk di dalamnya banyak yang mengkaji terkait al-Quran
dan Hadis.
2. Ketika sarjana Barat memasuki domain penelitian tentang
sumber

dan

asal

usul

Islam,

mereka

dihadapkan

pada

pertanyaan tentang apakah dan sejauh mana hadis-hadis atau


riwayat-riwayat tentang nabi dan generasi Islam pertama dapat
dipercaya secara hisroris. Pada fase awal kesarjanaan Barat,
mereka menunjukkan kepercayaan yang tinggi terhadap literatur
hadis dan riwayat-riwayat tentang nabi dan generasi Islam awal.
Tetapi sejak paruh kedua abad kesembilan belas, skeptisime
tentang otentisitas sumber tersebut muncul. Bahkan sejak saat
itu perdebatan tentang isu tersebut dalam kesarjanaan Barat
didominasi oleh kelompok skeptis. Kontribusi sarjana seperti
Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, G.H.A Juynboll, memberikan
sebagian hidupnya untuk menliti terkait keontetikan sebuah
hadis, bahkan dari mereka menciptakan teori tersendiri menurut
rasio dan penelitian mereka.

28

3. Gencarnya kritikan terhadap hadis dari kalangan orientalis tidak


lantas membuat ulama Islam berdiam diri, setidaknya ada tiga
ulama kontemporer yang telah menangkal teori-teori ketiga
orientalis di atas, mereka adalah Musthofa as Sibaiy dalam
bukunya as-Sunnah wa Makanatuha fi at Tasyriil Islam, Ajjaj al
Khatib dalam bukunya as Sunnah Qabla Tadwin dan M. Musthofa
al Azhami dalam bukunya Studies in Early Hadith Literature.

DAFTAR PUSTAKA

29

Amin, Kamaruddin. Menguji Kembali Keakuratan; Metode Kritik Hadis.


Cet I; Jakarta: Hikmah. 2009.
Badawi, Abdurrahman. Ensiklopedi Tokoh Orientalis. Yogyakarta: LkiS.
2003.
Darmalaksana, Wahyudin. Hadits Dimata Orientalis Telaah Atas
Pandangan Ingaz Goldziher Dan Joseph Schacht. Bandung:
Benang Merah Press.
Fakri>, Ah{mad. Qa>mu>s
Publishing House. 2010

At}las

al-Mau>su>ai>.

t.t.:

Atlas

Hafid, Erwin. Mustafa Azami Dan Kritik Pemikiran Hadis Orientalis.PDF.


Al-FIKR vol. 14, no.2. 2010.
Hanafi, Hassan. Islamologi 2; Dari Rasionalisme ke Empirisme.
Yogyakarta: LKiS, 2007.
Hussain, Assaf. Orientalism, Islam, and Islamists. Amerika: Amana
Books, t.th.
Mahmud, Moh. Nasir. Orientalisme; al-Quran di Mata Barat Sebuah
Studi Elevatif. Cet. I; Makassar: Alauddin University Press. 2011.
Masrur, Ali. Teori Common Link G.H.A. Juynboll; Melacak Akar
Kesejahteraan Hadis Nabi. Yogyakarta: LKiS. 2007.
Al-Munjid Fi Al-Lughah. Bairut: Al-Maktabah Al-Syarqiyyah, t.th
Rifai,Zuhdi. Mengenal Ilmu Hadits Menjaga Kemurnian Hadits dengan
Mengkji Ilmu Hadits. Jakarta: Al-Ghuraba. t.th.
Yaqub, Ali Mustafa. Kritik Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus. 1995

Via internet:
Akifahadi, Labib Syauqi. Tanggapan sarjana Muslim Terhadap Kajian
Hadits
Orientalist,
dalam
internet
website:
http://
lenterahadits.com/, diakses tanggal
Ahmad,
Jumal.
https://ahmadbinhanbal.wordpress.com/2011/01/29/telaah-ataskritik-orientalis-terhadap-hadits-hadith-criticism-oleh-3-orientalisignaz-goldziher-joseph-schacht-dan-g-h-a-juynboll/ diakses pada
tanggal 16 November 2014.
Asfiyak,
Khoirul.
http://fai-unismamalang.blogspot.com/2009/01/otentisitas-hadits-di-mataorientalist_10.html, diakses tanggal 13 November 2014.

30
http://Elmisbah.wordpress.com/presepsi-orientalis-terhadap-hadis.html,
diakses pada tanggal 13 November 2014.

Anda mungkin juga menyukai