Anda di halaman 1dari 16

ISU-ISU AKSIOLOGI

DALAM FILSAFAT ILMU

Tugas Makalah
Disusun Untuk Memenuhi TugasMata Kuliah Filsafat Ilmu
Dosen Pengampu: Dr. H. Muhammad Taufik, M.Ag.

Oleh:
ACHMAD ADIL
1620510040

PROGRAM PASCASARJANA
FAKUTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
KONSENTRASI STUDI AL-QURAN DAN HADIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ( UIN )
SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2016

A. PENDAHULUAN
Ada tiga pilar utama dalam filsafat ilmu yang selalu menjadi
pedoman.Yaitu, ontologi, epistemologi, dan aksiologi1. Ketiga pilar
itulah manusia berupaya untuk mencari dan menggali eksistensi
ilmu sedalam-dalamnya. Hakikat apa yang ingin diketahui manusia
merupakan pokok bahasan dalam ontologi. Dalam hal ini manusia
ingin mengetahui tentang ada atau eksistensi yang dapat
dicerap oleh pancaindera. Epsitemologi merupakan landasan kedua
filsafat yang mengungkapkan bagaimana manusia memperoleh
pengetahuan atau kebenaran tersebut. Setelah memperoleh
pengetahuan, manfaat apa yang dapat digunakan dari pengetahuan
itu. Inilah yang kemudian membawa pemikiran kita menengok pada
konsep aksiologi. Yaitu, filsafat yang membahas masalah nilai
kegunaan dari nilai pengetahuan.
Mengenai persoalan-persoalan filsafat berdasarkan cirinya
dapat dibagi kepada lima hal.2 Kelima persoalan filsafat tersebut
adalah metafisika,epistemologi, logika, etika, dan estetika.
Istilah metafisika berasal dari kata Yunani meta ta physika,
yang dapat diartikan sebagai sesuatu yang ada di balik atau di
belakang benda-benda fisik.3 Metafisika juga dapat diartikan sebagai
pemikiran tentang sifat yang paling dalam (ultimate nature) dari
kenyataan atau keberadaan. Persoalan metafisika dapat dibedakan

1 Jujun S. Sumantri, filsafat Ilmu, (Jakarta; Pustaka Sinar


Harapan, 2001), hal. 5.
2 Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu,
(Yogyakarta: Penerbit Liberty Yogyakarta, 2000), hal. 31-34.
3 Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu,
hal. 31.

menjadi tiga, yaitu ontologi, kosmologi (alam), dan antropologi


(manusia).
Epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari asal
mula atau sumber, struktur, metode, dan validitas pengetahuan.4
Secara etimologi, istilah epistemologi berasal dari Yunani episteme
(pengetahuan) dan logos (ilmu/teori). Logika merupakan cabang
filsafat yang berkenaan dengan kegiatan berpikir dan bahasa.
Dalam hal ini logika dapat didefinisikan sebagai ilmu bernalar secara
runtut dan sistematis yang disampaikan dengan menggunakan
bahasa. Tentu dalam hal ini terdapat sejumlah aturan yang harus
ditaati agar pernyataan-pernyataan yang disampaikan sah dan
dapat diterima oleh akal sehat baik diri kita sendiri maupun orang
lain.
Etika sering disebut sebagai filsafat moral. Ethos yang berasal
dari bahasa Yunani dan berarti sifat, watak, kebiasaan merupakan
istilah yang selalu merujuk pada etika. Begitu halnya dengan
ethikos yang berarti susila, keadaban, atau kelakuan dan perbuatan
yang baik. Sementara moral berasal dari bahasa Latin yaitu mores
(bentuk jamak dari mos), yang berarti adat istiadat atau kebiasaan,
watak, kelakuan, tabiat, dan cara hidup. Objek material etika adalah
tingkah laku atau perbuatan manusia.5 Perbuatan yang dilakukan
secara sadar dan bebas. Sedangkan objek formalnya adalah
kebaikan dan keburukan atau bermoral dan tidak bermoral dari
tingkah laku tersebut.

4 Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu,


hal. 32.
5 Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu,
hal. 33.

Yang terakhir adalah estetika. Yaitu, cabang filsafat yang


berkaitan dengan keindahan (philosophy of beauty). Estetika berasal
dari Yunani, aesthetika yaitu hal-hal yang dapat dicerap dengan
indera atau aisthesis = cerapan indera. Perbincangan etika dan
estetika selalu berkaitan dengan nilai-nilai. Perbedaannya, etika
berkaitan dengan baik - jahat dan nilai-nilai moral sedangkan
estetika berkaitan dengan keindahan dan kejelekan serta nilai nonmoral.

B. PEMBAHASAN
a. Pengertian Aksiologi
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwasanya
aksiologi adalah Filsafat Nilai. Nilai yang dimaksud disini adalah nilai
kegunaan, jika demikian apa sebenarnya kegunaan ilmu itu bagi
kehiduan manusia ? melihat pertanyaan ini tidak dapat kita hindari
bahwa ilmu telah banyak memberikan manfaat dalam kehidupan
dan kesejahteraan umat manusia di dunia. Dengan ilmu, bahaya
bencana kelaparan dan kemiskinan dapat kita berantas. Bahkan
mewabahnya berbagai penyakit dapat kita obati, dan dengan ilmu
pula dapat mengurangi manusia dari buta aksara. Ilmu telah
mampu membuat kehidupan manusia menjadi lebih mudah dan
membantu pekerjaan menjadi lebih efektif dan efisien.
Namun di sisi ilmu juga bisa menjadi pisau bermata dua, yaitu
ilmu juga dapat merusak sendi-sendi kehidupan manusia dan
bahkan membinasakan manusia. Lihat saja peristiwa PD I-II,
pemboman kota Hirosima dan Nagasaki, dan yang tidak dapat kita
lupakan adalah peristiwa bom Bali, dan masih banyak lagi peristiwa
lainnya.
Kata mutiara yang disampaikan Einstein bahwa ilmu tanpa
agama adalah buta dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh memiliki
makna yang teramat mendalam bila kita renungkan dan pahami.
Tanpa dilambari dengan agama, ilmu akan digunakan manusia
untuk berbagai macam kepentingan baik yang bersifat merusak
ataupun untuk membangun dan meningkatkan kesejahteraan
kehidupan manusia. Ilmu itu sendiri bersifat netral, ilmu tidak
mengenal sifat baik dan buruk. Manusialah sebagai pemilik ilmu
pengetahuan harus mempunyai sikap. Untuk apa sebenarnya ilmu
itu akan digunakan oleh manusia. Dengan kata lain, netralitasilmu

terletak pada dasar epistemologinya saja (Jujun S. Suriasumantri,


1987:35).6 Jika hitam, katakan hitam; jika ternyata putih, katakan
putih. Ilmu tidak berpihak kepada siapa pun. Ia hanya berpihak
kepada kebenaran yang nyata. Secara ontologis dan aksiologis,
manusialah yang harus memberikan penilaian tentang baik dan
buruk. Manusialah yang menentukan sikap dan mengkategorikan
nilai-nilai. Secara etimologis, aksiologi berasal dari bahasa Yunani
Kuno, yaitu aksios yang berarti nilai dan kata logos berarti teori.
Jadi, aksiologi, merupakan cabang filsafat yang mempelajari nilai.
Dengan kata lain, aksiologi adalah teori nilai. Suriasumantri
mendefinisikan aksiologi sebagai teori nilai yang berkaitan dengan
kegunaan dari pengetahuan yang di peroleh.7 Aksiologi dalam
Kamus Bahasa Indonesia adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi
kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika.8
Menurut Wibisono aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolak ukur
kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normatif penelitian dan
penggalian, serta penerapan ilmu.9 Dalam Encyclopedia of
Philosophy dijelaskan aksiologi disamakan dengan value and
valuation.10

6 Jujun S. Sumantri, filsafat Ilmu, hal. 35


7 Jujun S. Sumantri, filsafat Ilmu, hal. 234
8 Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta; Balai
Pustaka, 2003), hal. 19
9 Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia,
(Jakarta; Bumi Aksara, 2007), hal. 152.
10 Bakhtiar Amsal, Filsafat Ilmu, ( Jakarta; Rajawali Press,
2009), hal. 164.

Memperbincangkan tentang aksiologi tentu membedah


masalah nilai karena aksiologi tidak bisa lepas dari pembahasan
mengenai nilai. Apa sebenarnya nilai itu ? seorang tokoh filsafat
yaitu Bertens dalam bukunya menjelaskan nilai sebagai sesuatu
yang menarik bagi seseorang, sesuatu yang menyenangkan,
sesuatu yang dicari, sesuatu yang diinginkan. Secara singkat nilai
dapat dimaknani sebagai sesuatu yang baik.11
Posisi yang sesuai dengan epistemologis objektivis, tidak
mengambil posisi yang ekstrim dan menerima bahwa beberapa
unsur subjektivis, dalam bentuk nilai, memengaruhi proses
penelitian. Pertanyaan yang masih diperdebatkan adalah bukan
mengenai apakah nilai masih mempengaruhi teori dan penelitian,
melainkan bagaimana nilai mempengaruhi keduannya.
Ada tiga posisi dalam debat :
a)

Menghindari nilai yang mempengarui verifikasi.

Bahwa proses penelitian terdiri atas banyak tahapan dan


bahwa nilai seharusnya mempengaruhi beberapa dari tahapan ini.
Contohnya tahapan pemilihan teori dan
pertimbanganmengenai paradigma harus dipengaruhi oleh nilai-nilai
penelitian. Para ilmuan memilih untuk memandang sebuah masalah
penelitian melalui kacamata yang mereka percayai dapat secara
akurat menggambarkan dunia. Oleh karenanya para peneliti banyak
memilih kerangka teoritis yang konsisten dengan ontologi pilihan
bebas, sementara yang lain memilih lerangaka yang lebih kaku dan
deterministik.
b) Mengenali bagaimana nilai mempengaruhi keseluruhan
proses penelitian

11 K. Bertens, Etika. (Jakarta; Gramedia Pustaka Utama, 2007), hal. 139.

Berpendapat bahwa tidak mungkin untuk mengenimilasi nilai


dari setiap bagian teori dan penelitian. Bahkan beberapa nilai
sangat berparti dalam budaya penelitian sehingga penelitian tidak
sadar bahwa mereka memegang nilai tersebut.
c) Mendukung bahwa nilai seharusnya berkaitan erat dengan
penelitian
Bahwa bukan nilai saja yang tidak dapat dipahami, melainkan
merupakan aspek yang diinginkan dari proses penelitian.
b.

Aspek Aksiologis
Aspek aksiologis dari filsafat membahas tentang masalah nilai

atau moral yang berlaku di kehidupan manusia. Dari aksiologi,


secara garis besar muncullah dua cabang filsafat yang membahas
aspek kualitas hidup manusia, yaitu etika dan estetika.
a)

Etika

Etika adalah cabang filsafat yang membahas secara kritis dan


sistematis masalah-masalah moral.Etika disebut juga filsafat moral
(moral philosophy), yang berasal dari kata ethos (yunani) yang
berarti watak.12 Moral berasal dari kata mos atau mores (latin) yang
artinya kebiasaan.13 Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan
etika dalam tiga arti. Pertama, etika merupakan ilmu tentang apa
yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral
(akhlak). Kedua, etika adalah kumpulan asas atau nilai yang
berkenaan dengan akhlak. Ketiga, etika adalah nilai mengenai benar
dan salah yang di anut suatu golongan atau masyarakat.

12 Nurani Soyomukti, Pengantar Filsafat Umum, (Yogjakarta;


Ar-Ruzz Media, 2011), hal.210
13 Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, (Yogjakarta: Penerbit
Kanisius,1996), hal. 62.

Kajian etika lebih fokus pada perilkau, norma dan adat istiadat
manusia. Etika merupakan salah satu cabang filsafat tertua.
Setidaknya ia telah menjadi pembahasan menarik sejak masa
sokrates. Disitu dipersoalkan mengenai masalah kebaikan,
keutamaan, keadilan dan sebagainya. Etika sendiri dalam buku etika
dasar yang ditulis oleh Franz Magnis Suzeno diartikan sebagai
pemikiran kritis, sistematis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan
pandangan-pandangan moral ini sebagaimana telah dijelaskan
diatas adalah norma adat, wejangan dan adatistiadat manusia.
Berbeda dengan norma itu sendiri etika tidak menghasilkan suatu
kebaikan atau perintah dan larangan, melainkan sebuah pemikiran
yang kritis dan mendasar. Tujuan dari etika adalah agar manusia
mengetahui dan mampu mempertanggungjawabkan apa yang ia
lakukan.
Di dalam etika, nilai kebaikan dari tingkah laku manusia
menjadi sentral persoalan. Maksudnya adalah tingkah laku yang
penuh dengan tanggungjawab, baik tanggung jawab terhadap diri
sendiri, masyarakat, alam maupun terhadap Tuhan sebagai sang
pencipta.
Ada lima teori yang membahas nilai-nilai dalam etika. Kelima
teori tersebut adalah Idealisme Etis, Deontologisme Etis, Etika
Teleologis, Hedonisme, dan Utilitarisme.14
Idealisme Etis meyakini adanya skala nilai-nilai, asas-asas
moral, atau aturan-aturan untuk bertindak. Teori ini juga lebih
mengutamakan hal-hal yang bersifat spiritual (kerohanian) ataupun
mental daripada yang bersifat inderawi atau kebendaan. Kebebasan

14 Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu,


hal. 41.

moral dan hal hal yang bersifat umum juga menjadi fokus
kajiannya ketimbang ketentuan kejiwaan atau alami serta hal hal
yang khusus.
Teori Deontologis diilhami oleh pemikiran Immanuel Kant,
yang terkesan kaku, konservatif dan melestarikan status quo, yaitu
menyatakan bahwa baik buruknya suatu perilaku dinilai dari sudut
tindakan itu sendiri, dan bukan akibatnya. Suatu perilaku baik
apabila perilaku itu sesuai norma-norma yang ada.
Deontologisme etis dilawankan dengan etika aksiologi (etika
yang mendasarkanpada teori nilai). Deontologis etis disebut juga
formalisme dan juga intuisionisme.15
Teori Teleologis lebih menekankan pada unsur hasil.16 Suatu
perilaku baik jika buah dari perilaku itu lebih banyak untung
daripada ruginya, dimana untung dan rugi ini dilihat dari indikator
kepentingan manusia. Teori ini memunculkan dua pandangan, yaitu
egoisme (hedonisme) dan utilitarianisme (utilisme).
Teori Hedonisme menganjurkan manusia untuk mencapai
kebahagiaan yang didasarkan pada kenikmatan dan kesenangan
(pleasure). Pengajar teori ini adalah Cyrenaics (400 S.M). Cyrenaics
menyatakan bahwa hidup yang baik adalah memperbanyak
kenikmatan melalui kenikmatan inderawi dan intelek. Epikuros (341270 S.M) malah justru berseberangan pendapat dengan
pendahulunya. Epikuros menyatakan bahwa kesenangan dan
kebahagiaan adalah tujuan hidup manusia. Ia tidak menganjurkan

15 Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu,


hal. 41.
16 Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu,
hal. 41.

manusia untuk mengejar semua kenikmatan yang sesuai


intelegensi. Kesenangan dan kebahagiaan itu yang wajarwajar saja
dan tengah-tengah (pola hidup sederhana). Kegembiraan pikiran
menurutnya lebih tinggi tingkatannya ketimbang kenikmatan
jasmani.
Teori Utilitarisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa
tindakan yang baik adalah tindakan yang menimbulkan kenikmatan
atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi manusia yang
sebanyak-banyaknya.17 Tokoh yang mengajarkan adalah Jeremy
Bentham (1742-1832), yang kemudian diperbaiki oleh John Stuart
Mill (1806 -1873).18 Mill mengatakan bahwa kebahagiaan seseorang
tidak harus diukur secara kuantitatif tetapi juga harus
mempertimbangkan kualitasnya. Menurutnya kesenangan ada yang
lebih tinggi dan ada yang lebih rendah. Misalnya, kesenangan orang
kaya lebih tinggi ketimbang kesenangan orang miskin. Pemikiran
kedua Mill menyatakan bahwa kebahagiaan yang menjadi norma
etis adalah semua orang yang terlibat dalam suatu kejadian, bukan
kebahagiaan satu orang saja sebagai pelaku utama. Kemakmuran
negara harus dapat dinikmati oleh semua rakyat, bukan segelintir
orang (kelompok penguasa dan kroni-kroninya). Kebahagiaan satu
orang tidak boleh dianggap lebih penting daripada kebahagiaan
orang lain.19
b) Estetika

17 Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu,


hal. 41
18 K. Bertens, Etika. Hal. 248-251.
19 K. Bertens, Etika. Hal. 250

Estetika merupakan bidang studi manusia yang


mempersoalkan tentang nilai keindahan. Keindahan mengandung
arti bahwa didalam diri segala sesuatu terdapat unsur-unsur yang
tertata secara tertib dan harmonis dalam satu kesatuan hubungan
yang utuh menyeluruh. Maksudnya adalah suatu objek yang indah
bukan semata-mata bersifat selaras serta berpola baik melainkan
harus juga mempunyai kepribadian.
Sebenarnya keindahan bukanlah merupakan suatu kulaitas
objek, melainkan sesuatu yang senantiasa bersangkutan dengan
perasaan. Misalnya kita bangun pagi, matahari memancarkan
sinarnya kita merasa sehat dan secara umum kita merasakn
kenikmatan. Meskipun sesungguhnya pagi itu sendiri tidak indah
tetapi kita mengalaminya dengan perasaan nikmat. Dalam hal ini
orang cenderung mengalihkan perasaan tadi menjadi sifat objek itu,
artinya memandang keindahan sebagai sifat objek yang kita serap.
Padahal sebenarnya tetap merupakan perasaan.
c.

Isu aksiologis

Problem aksiologis yang pertama berhubungan dengan nilai.


Berkaitan dengan masalah nilai sebenarnya telah dikaji secara
mendalam oleh filsafat nilai. Oleh sebab itu dalam kesempatan kali
ini pemakalah sedikit akan membahas beberapa hal saja yang
kiranya penting untuk dipaparkan berkaitan dengan masalah nilai.
Tema-tema yang muncul seputar masalah ini misalnya apakah nilai
itu subjektif atau objektif.
Perdebatan tentang hakikat nilai, apakah ia subjektif atau
objektif selalu menarik perhatian. Ada yang berpandangan bahwa
nilai itu objektif sehingga ia bersifat universal. Di mana pun
tempatnya, kapanpun waktunya, ia akan tetap dan diterima oleh
semua orang. Ambil misal mencuri, secara objektif ini salah karena

hal itu merupakan perbuatan tercela. Siapa pun orangnya, di mana


pun dan kapanpun pasti akan sepakat bahwa mencuri dan
perbuatan tercela lainnya adalah salah. Jadi nilai objektif itu
terbentuk jika kita memandang dari segi objektivitas nilai.
Sementara jika kita melihat dari segi diri sendiri terbentuklah
nilai subjektif. Nilai itu tentu saja bersifat subjektif karena berbicara
tentang nilai berarti berbicara tentang penilaian yang diberikan oleh
seseorang terhadap sesuatu. Tentunya penilaian setiap orang
berbeda-beda tergantung selera, tempat, waktu, dan juga latar
belakang budaya, adat, agama, pendidikan, yang memengaruhi
orang tersebut. Misalnya bagi orang Hindu tradisi Ngaben
(membakar mayat orang mati) merupakan suatu bentuk
penghormatan terhadap orang mati dan bagi mereka hal itu
dianggap baik dan telah menjadi tradisi. Namun bagi orang Islam
hal itu diangap tidak baik. Berhubungan seksual di luar nikah asal
atas dasar suka sama suka hal ini tidak menjadi masalah dan biasa
di Barat. Tapi bagi orang Islam hal itu jelas hina, jelek, dan salah.
Bagi orang-orang terdahulu, ada beberapa hal yang dianggap tabu,
tidak boleh dilakukan dan tidak pantas tapi hal-hal tersebut tidak
lagi bermasalah bagi orang-orang sekarang ini. Dari sini bisa dilihat
bahwa nilai itu bersifat subjektif tergantung siapa yang menilai,
waktu dan tempatnya.
Berbicara tentang nilai berarti berbicara tentang baik dan
buruk bukan salah dan benar. Apa yang baik bagi satu pihak belum
tentu baik pula bagi pihak yang lain dan sebaliknya. Apa yang baik
juga belum tentu benar misalnya lukisan porno tentu bagus setiap
orang tidak mengingkarinya kecuali mereka yang pura-pura dan sok
bermoral, tapi itu tidak benar. Membantu pada dasarnya adalah baik

tapi jika membantu orang dalam tindakan kejahatan adalah tidak


benar.
Jadi, persoalan nilai itu adalah persoalan baik dan buruk.
Penilaian itu sendiri timbul karena ada hubungan antara subjek
dengan objek. Tidak ada sesuatu itu dalam dirinya sendiri
mempunyai nilai. Sesuatu itu baru mempunyai nilai setelah
diberikan penilaian oleh seorang subjek kepada objek. Suatu barang
tetap ada, sekalipun manusia tidak ada, atau tidak ada manusia
yang melihatnya. Bunga-bunga itu tetap ada, sekalipun tidak ada
mata manusia yang memandangnya. Tetapi nilai itu tidak ada, kalau
manusia tidak ada, atau manusia tidak melihatnya. Bunga-bunga itu
tidak indah, kalau tidak ada pandangan manusia yang
mengaguminya. Karena, nilai itu baru timbul ketika terjadi
hubungan antara manusia sebagai subjek dan barang sebagai
objek.

C. KESIMPULAN
Aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan
manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika. Ilmu
menghasilkan teknologi yang akan diterapkan pada masyarakat.
Teknologi dalam penerapannya dapat menjadi berkah dan
penyelamat bagi manusia, tetapi juga bisa menjadi bencana bagi
manusia. Di sinilah pemanfaatan pengetahuan dan teknologi harus
diperhatikan sebaik-baiknya. Dalam filsafat penerapan teknologi
meninjaunya dari segi aksiologi keilmuan. Seorang ilmuwan
mempunyai tanggungjawab agar produk keilmuwan sampai dan
dapat dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat.Pengetahuan
merupakan kekuasaan, kekuasaan yang dapat dipakai untuk

kemaslahatan manusia atau sebaliknya dapat pula disalahgunakan


seperti nuklir dan rekayasa genetika.

DAFTAR PUSTAKA
Sumantri, Jujun S. filsafat Ilmu, Jakarta; Pustaka Sinar Harapan,
2001,
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu,
Yogyakarta: Penerbit Liberty Yogyakarta, 2000.
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta; Balai Pustaka,
2003.
Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, Jakarta;
Bumi Aksara, 2007.
Amsal, Bakhtiar. Filsafat Ilmu, Jakarta; Rajawali Press, 2009.
K. Bertens, Etika. Jakarta; Gramedia Pustaka Utama, 2007.
Soyomukti, Nurani. Pengantar Filsafat Umum, Yogjakarta; Ar-Ruzz
Media, 2011.
Rapar, Jan Hendrik. Pengantar Filsafat, Yogjakarta: Penerbit
Kanisius,1996.

Anda mungkin juga menyukai