Anda di halaman 1dari 8

ETIKA KEILMUAN

1. Pengertian
Istilah etika keilmuwan mengantarkan kita pada kontemplasi mendalam, baik mengenai
hakekat, proses pembentukan, lembaga yang memproduksi ilmu lingkungan yang
kondusif dalam pengembangan ilmu, maupun moralitas dalam memperoleh dan
mendayagunakan ilmu tersebut. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang mesti
diperhatikan, yakni etika, moral, norma, dan kesusilaan

2. Antara etika, moral, norma, dan kesusilaan


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ketiga (2005:309), etika adalah
ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk serta tentang hak dan kewajiban moral.
Moral yang dimaksudkan di sini adalah akhlak, yakni budi pekerti atau kelakuan
makhluk hidup. itu dengan kata lain disebutkan bahwa etika itu membahas tentang
perilaku menuju kehidupan yang baik, yang di dalamnya ada aspek kebenaran, tanggung
jawab, peran, dan sebagainya.

Dapat diketahui bahwa persoalan etika tidak terlepas dari pengetahuan tentang manusia
sebagai makhluk hidup yang sempurna. Jika kembali kepada kata muasalnya, etika
berasal dari bahasa Yunani; ethos, yang artinya kebiasaan, perbuatan atau tingkah laku
manusia tetapi bukan adat, melainkan adab

Kata moral identik dengan suatu tindakan manusia yang bercorak khusus, yaitu
didasarkan kepada pengertian mengenai baik-buruk. Berbicara tentang moral seseorang
sama dengan membicarakan tentang kepribadian seseorang yang dimaksud. Karena itu,
sesungguhnya moral telah membuat posisi manusia berbeda atau lebih sempurna daripada
makhluk Tuhan lainnya.

KBBI membuat dua pandangan tentang pengertian moral. Pertama, sebagai ajaran
tentang baik-buruk yang diterima akibat perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya
oleh manusia. Kedua, kondisi mental yang mebuat orang tetap berani, bergairah,
berdisiplin, dan sebagainya, yang berpangkal pada isi hati atau keadaan perasaan
sebagaimana terungkap dalam perbuatan (KBBI, 2005:6-7).

Norma adalah aturan atau ketentuan yang mengikat kelompok warga di dalam
masyarakat, dipakai sebagai panduan, tatanan, dan pengendali tingkah laku yang sesuai
dan berterima. Norma juga dapat disebutkan sebagai ukuran atau kaidah yang menjadi
tolok ukur untuk menilai atau memperbandingkan sesuatu .Misalnya, setiap masyarakat
harus menaati suatu tata tertib yang berlaku.

Kesusilaan atau susila merupakan bagian kecil dari norma sehingga kita mengenal nama
norma susila, yaitu aturan yang menata tindakan manusia dalam pergaulan sosial sehari-
hari, seperti pergaulan antara pria dan wanita. Kesusilaan dapat pula menjadi bagian dari
adab dan sopan santun.

Di samping empat hal di atas, tinjauan filsafat juga mesti memiliki estetika, yakni
mengenai keindahan dan implementasinya dalam kehidupan. Dari estetika lahirlah
berbagai macam teori mengenai kesenian atau aspek seni dari berbagai macam hasil
budaya.

3. Dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologi


a. Dimensi Ontologis
Kata dimensi digunakan untuk menunjukan sudut pandang terhadap sesuatu, dari sudut
pandang kepentingan apa kita mengkaji ilmu pengetahuan. Dimensi keilmuan
diartikan sebagai pilihan kita bagaimana memandang, melihat, atau mengkaji ilmu
pengetahuan, misalnya apakah kita akan melihat ilmu pengetahuan dari sudut (a)
substansinya atau upayanya, (b) cara memperoleh, mengembangkan dan
menggunakanya, atau (c) kita akan melihat manfaat dan nilainya. Pembedaan sudut
pandang tersebut hanyalah sebagai perbedaan kehendak, karena ketiga sudut pandang
itu pada praktik berpikirnya tidak terpisahkan. Semua hal itu tidak terlepas dari
pengamatan study filsafat ilmu pengetahuan. Apakah manfaat study ini bagi
mahasiswa calon ilmuan? Apakah ruginya jika studi ini diabaikan mahasiswa?

Istilah “ontologi” berasal dari bahasa Yunani “onta” yang berarti sesuatu “yang
sungguh-sungguh ada”, “kenyataan yang sesungguhnya”, dan “logos” yang berarti
“studi tentang”, “studi yang membahas sesuatu” (Angeles, 1.981). Jadi ontologi adalah
studi yang membahas sesuatu yang ada. Secara sungguh sungguh juga diartikan
sebagai metafisika umum yaitu cabang filsafat yang mempelajari sifat dasar kenyataan
terdalam, ontologi membahas asas asas rasional dari kenyataan (Kattsoff, 1986). Objek
material ontologi adalah yang ada, artinya segala galanya, meliputi yang ada sebagai
wujud kongkret dan abstrak, indrawi maupun tidak indrawi.

Fungsi atau manfaat dalam mempelajari ontologi antara lain: Pertama, berfungsi
sebagai refleksi kritis atas objek atau bidang garapan, konsep-konsep, asumsi-asumsi
dan postulat-postulat ilmu. Di antara asumsi dasar keilmuan antara lain: Pertama,
dunia ini ada, dan kita dapat mengetahui bahwa dunia benar ada. Kedua, dunia empiris
itu dapat diketahui oleh manusia dengan panca indera. Ketiga, fenomena yang terdapat
di dunia ini terdapat di dunia ini berhubungan satu dengan yang lainya secara kausal
(Anshari, 1987:20). Ilmu tidak dapat merefleksikan postulat-postulat, asumsi-asumsi,
prinsip, dalil, dan hukum sebagai pikiran dasar keilmuan dan paradigmanya. Dalam
hal ini ontologi dapat membantu kita untuk merefleksikan eksistensi suatu disiplin
keilmuan tertentu.

b. Dimensi Epistemologi
Epistemologi sering disebut teori pengetahuan (theory of knowledge).Istilah
epistemologi berasal dari kata bahasa Yunani ‘episteme’ yang artinya pengetahuan,
dan ‘logos’ yang artinya teori. Jadi epistemologi dapat didefinisikan sebagai dimensi
filsafat yang mempelajari asal mula, sumber, manfaat dan sahihnya pengetahuan.
secara sederhana disebutkan saja sebagai bagaimana cara mempelajari, memanfaatkan
dan mengembangkan ilmu bagi kemaslahatan umat manusia.
Epistemologi menjadi dasar pijakan dalam memberikan legitimasi bagi suatu “ilmu
pengetahuan” untuk diakui sebagai disiplin ilmu, dan menentukan keabsahan disiplin
ilmu tertentu. Dengan demikian epistemologi juga memberikan kerangka acuan
terhadap pengembangan ilmu pengetahuan. Aspek epistemologi yang penting didalam
pengembangan pengetahuan adalah metodologi keilmuan. Pengetahuan pada
umumnya dan ilmu pada khususnya merupakan produk dari sebuah proses. Proses
mempunyai tempat yang penting karena akan menentukan kualitas produk, selain pula
mempengaruhi pula apakah jalan kepada output akan lebih mudah atau lebih susah.
Oleh karena itu metodologi jugs menjadi alat atau wahana pertanggungjawaban dan
penilaian kualitas dari produk. Maka dewasa ini metodologi menjadi penting sekali.

Persoalan tentang apa yang seharusnya diketahui telah lama menjadi persoalan.
Sebagai contoh, adanya pertentangan besar antara idealisme dan realisme. Idealisme
pada yaman Yunani diwakili oleh Plato meyakini bahwa pengetahuan sungguh-
sungguh adalah dunia ide. Dengan kata lain, dunia riil yang konkret ini adalah
pengetahuan yang semu, hanya merupakan ‘copy’ dunia ide. Sebaliknya, realisme
memandang bahwa dunia sesungguhnya dapat diketahui karena dapat diserap dengan
indra. Pengetahuan yang berdasarkan ide (idealisme) mengandung implikasi
pendekatan rasional. Sifat idealisme lebih menekankan proses berpikir deduktif yang
terimplikasi dalam premis-premis, yaitu premis mayor, premis minor dan simpulan.
Sedangkan realisme menganut pendekatan empirik. Pengetahuan yang berdasarkan
empiris memandang pengetahuan itu adalah kenyataan dan menganut pendekatan
berpikir induktif, sehingga untuk mencapai kebenaran, pengetahuan didasarkan
realitas kongkret yang parsial.

Kedua pendekatan yang antagonistik itu berlanjut terus dalam sejarah filsafat
walaupun aliran kritisme mencoba menengahinya. Kritisme memandang baik
pengetahuan rasional maupun pengetahuan empirik adalah benar dalam batas-batas
tertentu. Untuk maksud itu, kritisme mencoba memunculkan suatu tesis baru yang
lebih memihak rasionalistik, sehingga ukuran-ukuran kebenaran pun lebih pada
otonomi rasio.
Fenomena epistemologi realisme tampak pada adanya ilmu pengetahuan yanag lebih
menekankan aspek empirik. Akibatnaya, muncul pandangan yang bersifat pragmatis.
Kegunaan atau yang dapat dirasakan dampaknya secara fisik, merupakan hal utama
untuk dikembangkan. Kehidupan materialistis yang pragmatis itu menjadi model
dalam kehidupan sehari-hari. Walaupun demikian pragmatisme tidak sepenuhnya
mengambil tradisi masyarakat ilmiah Barat, melainkan lebih cenderung mengambil
ilmu sebagai suatu produk. Untuk Indonesia khususnya diperlukan landasan
epistemologi baru yang dapat mewadahi secara proporsional pemikiran modern yang
cenderung humanis dan sekuler, dan landasan epistemologi humanistik religius yang
dapat membantu memandang realitas secara lebih komperhensif dalam menyelesaikan
persoalan masa kini sesuai dengan budaya bangsa.

c. Dimensi Aksiologi
Ecara etimologis aksiologi berasal dari kata aksios yang berarti nilai dan logos berarti
ilmu atau teori. Aksiologi sebagai teori tentang nilai membahas tentang hakikat nilai,
sehingga disebut Filsafat Nilai. Persoalan tentang nilai apabila dibahas secara filsafati
akan lebih memperhatikan persoalan tentang sumber nilai (lihat Sri Soeprapto:1).
Dalam definisi yang hampir serupa bahwa aksiologi ilmu pengetahuan membahas nilai
nilai yang memberi batas-batas bagi pengembangan ilmu.

4. Hubungan antara nilai dan budaya


Secara pengertian agama dan budaya berbeda, agama dipahami sebagai suatu
penghambaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Mohammad Natsir mengatakan bahwa
agama sebagai problem of ultimate concern, yakni suatu keadaan yang tak dapat ditawar-
tawar lagi dan merupakan keharusan.

Agama dapat diberi pengertian bahwa agama merupakan jalan hidup yang harus
ditempuh oleh manusia untuk mewujudkan kehidupan yang aman, tentram dan sejahtera
dengan aturan, nilai, atau norma yang mengatur kehidupan manusia yang dianggap
sebagai kekuatan mutlak, gaib dan suci yang harus diikuti dan ditaati. Aturan itupun
tumbuh dan berkembang bersama dengan kehidupan manusia, masyarakat dan budaya.

Secara terminologi dalam ensiklopedi Nasional Indonesia, agama diartikan aturan atau
tata cara hidup manusia dengan hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya. Sedangkan
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, agama berarti suatu system, prinsip kepercayaan
terhadap Tuhan dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian denga
kepercayaan tersebut.
Budaya yang memiliki hubungan yang erat sekali dalam suatu tatanan masyarakat.
Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu
yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh
masyarakat itu sendiri. Pengertian budaya menurut Ki Hajar Dewantara ialah buah budi
manusia yang merupakan hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni
zaman dan alam yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi
berbagai rintangan dan kesukaran didalam hidup dan penghidupannya guna mencapai
keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.

Adapun menurut Koentjaraningrat, kebudayaan adalah keseluruhan system gagasan,


tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan
milik diri manusia dengan belajar. Secara pengertian, budaya merupakan nilai sosial dan
norma sosial yang kemudian memberi pengaruh terhadap tingkat pengetahuan dan juga
merupakan hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari
kebudayaan bersifat abstrak akan tetapi perwujudannya telah dapat terlihat dari lahirnya
suatu bahasa, ataupun pola perilaku yang semuanya ditujukan untuk kelangsungan
kehidupan masyarakat.

Agama dan budaya menurut Kuntowijoyo (1991) adalah dua hal yang saling berinteraksi
dan saling mempengaruhi. Pertama, agama mempengaruhi kebudayaan dalam
pembentukannya, nilainya adalah agama, tetapi simbolnya adalah kebudayaan. Kedua,
budaya dapat mempengaruhi simbol agama, dan yang ketiga, kebudayaan dapat
menggantikan sistem nilai dan simbol agama.
Agama dan kebudayaan mempunyai dua persamaan yaitu, keduanya adalah sistem nilai
dan sistem simbol dan keduanya mudah sekali terancam setiap kali ada perubahan. Baik
agama ataupun budaya pada dasarnya memberikan wawasan dan cara pandang dalam
menyikapi kehidupan agar sesuai dengan kehendak Tuhan dan kemanusiaan dan
menciptakan suatu tatanan masyarakat yang teratur dan terarah.

Walaupun agama dan budaya saling berhubungan erat sebab keduanya mengatur
kehidupan sosial dan saling memiliki keterkaitan, akan tetapi agama dan budaya harus
dapat dibedakan. Perbedaan yang paling signifikan yaitu agama merupakan suatu ajaran
yang mengatur kehidupan yang berhubungan dengan Tuhan dan sesama yang berasal dari
Tuhan yang dibawa oleh manusia pilihan. Sedangkan budaya adalah suatu tatanan
masyarakat yang diatur atau yang dibentuk oleh manusia itu sendiri demi kelangsungan
bersama

5. Peranan Ilmu terhadap pengembangan kebudayaan nasional


Pengembangan kebudayaan nasional pada hakikatnya adalah perubahan dari kebudayaan
yang sekarang bersifat konvensional ke arah situasi kebudayaan yang lebih
mencerminkan aspirasi tujuan nasional. Langkah-langkah yang sistematik menurut
Endang Daruni Asdi (1991) adalah sebagai berikut:
a. Ilmu dan kegiatan keilmuan disesuaiikan dengan kebudayaan yang ada dalam
masyarakat kita, dengan pendekatan edukatif dan persuasif dan menghindari konflik-
konflik, bertitik tolak dari reinterprestasi nilai yang ada dalam argumentasi keilmuan.
b. Menghindari scientisme dan pendasaran terhadapp akal sebagai satu-satunya sumber
kebenaran.
c. Meningkatkan integritas ilmuan dan lembaga keilmuan, dan melaksanakan dengan
konsekuen kaidah moral kegiatan keilmuan.
d. Pendidikan keilmuan sekaligus dikaitkan dengan pendidikan moral. Etika dalam
kegiatan keilmuan mempunyai kaidah imperatif.
e. Pengembangan ilmu disertai pengembangan bidang filsafat. Filsafat ilmu hendaknya
diberikan di pendidikan tinggi. Walaupun demikian kegiatan ilmiah tidak berartilepas
dari kontrol pemerintah dan kontrol masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai