Anda di halaman 1dari 19

Aksiologi Dakwah Dilihat Dari Segi Empiris dan Normatif

A.    Pengertian Aksiologi


Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu “axios” yang berarti sesuai
atau wajar. Sedangkan “logos” yang berarti ilmu. Aksiologi dipahami sebagai teori nilai.
Burhanuddin Salam juga sepakat menyatakan bahwa aksiologi adalah teori tentang nilai. 1[1]
Menurut John Sinclair, dalam lingkup kajian filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau suatu
sistem seperti politik, social dan agama. Sistem mempunyai rancangan bagaimana tatanan,
rancangan dan aturan sebagai satu bentuk pengendalian terhadap satu institusi dapat
terwujud. 
Menurut Richard Bender : Suatu nilai adalah sebuah pengalaman yang memberikan suatu
pemuasan kebutuhan yang diakui bertalian dengan pemuasan kebutuhan yang diakui
bertalian, atau yang menyummbangkan pada pemuasan yang demikian. Dengan demikian
kehidupan yang bermanfaat ialah pencapaian dan sejumlah pengalaman nilai yang senantiasa
bertambah.2[2]
Jujun S. Suriasumantri berpendapat bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang
berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.3[3] Aksiologi ialah ilmu
pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai, pada umumnya ditinjau dari sudut pandangan
kefilsafatan. Di Dunia ini terdapat banyak cabang pengetahuan yang bersangkutan dengan

1[1] Burhanuddin Salam, Logika Materil; Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Reneka Cipta, Cet, 1, 1997),
hlm. 168.

2[2] Ali Abri, (Sewaktu Menjadi Dosen Fak. Syari’ah IAIN SUSKA), Filsafat Umum Suatu Pengantar, Untuk
Kalangan Sendiri, hlm. 33.

3[3] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Sinar harapan,
Cet, XIII, 2000), hlm. 234.
masalah-masalah nilai yang khusus seperti epistimologis, etika dan estetika. Epistimologi
bersangkutan dengan masalah kebenaran, etika bersangkutan dengan masalah kebaikan, dan
estetika bersangkutan dengan masalah keindahan.4[4]
Secara etimologis, istilah aksiologi berasal dari Bahasa Yunani Kuno, terdiri dari kata
“aksios” yang berarti nilai dan kata “logos” yang berarti teori. Jadi aksiologi merupakan
cabang filsafat yang mempelajari nilai.5[5] Aksiologi adalah abang filsafat yang mempelajari
cara-cara yang berbeda dimana sesuatu hal dapat baik atau buruk  (baca: mempunyai akibat
positif atau negatif) dan hubungan nilai dengan menilai di satu pihak dan dengan fakta-fakta
eksistensi obyektif di pihak lain. Aksiologi adalah teori tentang nilai dalam berbagai makna
yang dikandungnya.
Aksiologi meliputi nilai-nilai yang bersifat normative dalam pemberian makna terhadap
kebenaran atau kenyataan sebagaimana kita jumpai dalam kehidupan kita yang menjelajahi
berbagai kawasan seperti kawasan social, kawasan simbolik ataupun fisik-materiil. Lebih dari
itu nilai-nilai juga ditunjukkan oleh aksiologi ini sebagai suatucondition sine quanon yang
wajib dipatuhi dalam kegiatan kita, baik dalam melakukan penelitian maupun di dalam
menerapkan ilmu.
Aksiologi memuat pemikiran tentang maslaah nilai-nilai termasuk nilai-nilai tinggi dari
Tuhan. Misalnya, nilai moral, nilai agama dan nilai keindahan. Aksiologi ini juga
mengandung pengertian lebih luas daripada etika atau higher values of life (nilai-nilai
kehidupan yang bertaraf tinggi). Dilihat dari jenisnya, paling tidak terdapat dua bagian umum
dari aksiologi, yaitu6[6] :
1.      Etika
Etika adalah kajian tentang mana perbuatan baik dan mana perbuatan buruk, serta apa
ukuran yang digunakan di dalam menentukan baik dan buruk. 7[7] Semiawan menerangkan
bahwa etika sebagai prinsip atau standar berprilaku manusia, yang kadang-kadang disebut
dengan “moral”. Kegiatan menilai (act of judgement) telah dibangun berdasarkan toleransi
atau ketidakpastian, bahwa tidak ada kejadian yang dapat dijelaskan secara pasti dengan zero
tolerance. Makna etika dipakai dalam dua bentuk arti, pertama, etika merupakan suatu
4[4] Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, Alih Bahasa oleh Soejono Soemargono, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1996), hlm. 327.

5[5] Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2007), hlm. 36.

6[6] A. Susanto, Filsafat Ilmu; Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis dan
Aksiologis, (Jakarta: Bumi Aksara, Cet ke-2, 2011), hlm. 117-118.

7[7] Hasan Bakti Nasution, Filsafat Umum, (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2011), hlm. 75.
kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia. Kedua,
merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan atau
manusia-manusia lain. Objek formal etika meliputi norma-norma kesusilaan manusia, dan
mempelajari tingkah laku manusia baik dan buruknya. Sementara dari kalangan nonfilsafat,
etika sering digunakan sebagai pola bertindak praktis (etika profesi), misalnya bagaimana
menjalankan bisnis yang bermoral dalam etika bisnis.8[8]

2.      Estetika
Mengenai estetika, Semiawan menjelskan bahwa estetika adalah mempelajari tentang
hakikat keindahan di dalam seni. Estetika merupakan cabang filsafat yang mengkaji hakikat
indah dan buruk. Estetika membantu mengarahkan dalam membentuk suatu persepsi yang
baik dari suatu pengetahuan ilmiah agar ia dapat dengan mudah dipahami oleh khalayak luas.
Estetika juga berkaitan dengan kualitas dan pembentukan mode-mode yang estetis dari suatu
pengetahuan ilmiah itu.

Tujuan dasar ilmu menurut beberapa ahli tidak selalu sama. Seperti dikutip Muslim A
Kadir, Fred Kerlinger berpendapat bahwa tujuan dasar ilmu hanyalah menjelaskan realitas
(gejala yang ada), bagin bronowsky, tujuan ilmu adalah menemukan yang benar sedangkan
menurut Mario Bunge, tujuan ilmu lebih dari sekadar menemukan kebenaran. Kemudian, jika
kita hubungkan dengan dakwah Islam atau lebih khususnya kepada ilmu dakwah, akan dapat
ditemui arah dakwah sebenarnya. Sebab, berdasarkan sejarah tradisi Islam, ilmu tidaklah
berkembang pada arah yang tak terkendali, tapi ia harus bergerak pada arah maknawi dan
umat berkuasa untuk mengendalikannya. Kekuasaan manusia atas ilmu pengetahuan harus
mendapat tempat yang utuh, eksistensi ilmu pengetahuan bukan selalu mendesak
kemanusiaan, tetapi kemanusiaanlah yang menggenggam ilmu pengetahuan untuk
kepentingan dirinya dalam rangka penghambaan diri kepada Sang Pencipta.9[9]
B.     Aksiologi Dalam Pandangan Aliran-Aliran Filsafat
Aksiologi dalam pandangan aliran filsafat dipengaruhi oleh cara pandang dan pemikiran
filsafat yang dianut oleh masing-masing aliran filsafat, yakni :
1.      Pandangan Aksiologi Progresivisme

8[8] Asmoro Achmadi, Filsafat Umum; Edisi revisi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 16.

9[9] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet ke-11, 2012), hlm. 173.
Tokoh yang berpengaruh dalam aliran ini adalah William James (1842-1910), Hans
Vahinger, Ferdinant Sciller,  Georger Santayana, dan Jhon Dewey. Menurut progressivisme,
nilai timbul karena manusia mempunyai bahasa. dengan demikian, adanya pergaulan dalam
masyarakat dapat menimbulkan nilai-nilai. Bahasa adalah sarana ekspresi yang berasal dari
dorongan, kehendak, perasaan, dan kecerdasan dan individu-individu. Dalam hubungan ini
kecerdasan merupakan faktor utama yang mempunyai kedudukan sentral. Kecerdasan adalah
faktor yang dapat mempertahankan adanya hubungan antara manusia dan lingkungannya,
baik yang terwujud sebagai lingkungan fisik maupun kebudayaan atau manusia.

2.      Pandangan Aksiologi Essensialisme


Tokoh yang berpengaruh dalam aliran ini   adalah  Desiderius Erasmus, John Amos
Comenius (1592- 1670), John Locke (1632-1704), John Hendrick Pestalalozzi (1746-1827), 
John Frederich Frobel (1782-1852), Johann Fiedirich Herbanrth (1776-1841) dan William T.
Horris (1835-1909).[20] Bagi aliran ini, nilai-nilai berasal dari pandangan-pandangan
idealisme dan realisme karena aliran essensialisme terbina dari dua pandangan tersebut,
pandangan tersebut adalah :
         Teori nilai menurut idealisme. Idealisme berpandangan bahwa hukum-hukum etika adalah
hukum kosmos karena itu seseorang dikatakan baik, jika banyak berinteraksi dalam
pelaksanaan hukum-hukum itu. Menurut idealisme, sikap, tingkah laku, dan ekspresi
perasaan juga mempunyai hubungan dengan kualitas baik dan buruk. Orang yang berpakaian
serba formal seperti dalam upacara atau peristiwa lain yang membutuhkan suasana tenang
haruslah bersikap formal dan teratur. Untuk itu, ekspresi perasaan yang mencerminkan
adanya serba kesungguhan dan kesenangan terhadap pakaian resmi yang dikenakan dapat
menunjukkan keindahan pakaian dan suasana kesungguhan tersebut.
         Teori nilai menurut realisme. Menurut realisme, sumber semua pengetahuan manusia
terletak pada keteraturan lingkungan hidupnya. Realisme memandang bahwa baik dan
buruknya keadaan manusia tergantung pada keturunan dan lingkungannya. Perbuatan
seseorang adalah hasil perpaduan antara pembawa-pembawa fisiologis dan pengaruh-
pengaruh lingkungannya. George Santayana memadukan pandangan idealisme dan realisme
dalam suatu sintesa dengan menyatakan bahwa “nilai” itu tidak dapat ditandai dengan suatu
konsep tunggal, karena minat, perhatian, dan pengalaman seseorang turut menentukan adanya
kualitas tertentu. Walaupun idealisme menjunjung tinggi asas otoriter atau nilai-nilai, namun
tetap mengakui bahwa pribadi secara aktif menentukan nilai-nilai itu atas dirinya sendiri.
3.      Pandangan Aksiologi Perenialisme
Tokoh utama aliran  ini diantaranya  Aristoteles (394 SM) St. Thomas Aquinas.
Perenialisme memandang bahwa keadaan sekarang adalah sebagai zaman yang mempunyai
kebudayaan yang terganggu oleh kekacauan, kebingungan dan kesimpangsiuran. Berhubung
dengan itu dinilai sebagai zaman yang membutuhkan usaha untuk mengamankan lapangan
moral, intelektual dan lingkungan sosial dan kultural yang lain. Sedangkan menyangkut nilai
aliran ini memandangnya berdasarkan asas-asas ‘supernatular‘, yakni menerima universal
yang abadi. Dengan asas seperti itu, tidak hanya ontologi, dan epistemolagi yang didasarkan
pada teologi dan supernatural, tetapi juga aksiologi. Tingkah laku manusia dipengaruhi oleh
potensi kebaikan dan keburukan yang ada pada dirinya. Masalah nilai merupakan hal yang
utama dalam perenialisme, karena ia berdasarkan pada asas supernatural yaitu menerima
universal yang abadi, khususnya tingkah laku manusia. Jadi hakikat manusia terletak pada
jiwanya. Oleh karena itulah hakikat manusia itu juga menentukan hakikat perbuatan-
perbuatannya.

4.      Pandangan Aksiologi Rekonstruksionisme


Aliran rekonstruksionalisme adalah aliran yang berusaha merombak kebudayaan modern.
Sejalan dengan pandangan perenialisme yang memandang bahwa keadaan sekarang
merupakan zaman kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran, kebingungan,dan
kesimpangsiuran. Aliran rekonstruksionalisme dalam memecahkan masalah, mengembalikan
kebudayaan yang serasi dalam kehidupan manusia yang memerlukan kerja sama.

C.    Pengertian Aksiologi dalam Ilmu Dakwah


Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai dari sudut pandang
filsafat. Pembicaraan nilai dalam bahasa yang paling umum dan sederhana menurut konsep
orang awam sering kali dikaitkan dengan baik dan buruknya sesuatu, bermanfaat atau tidak
bermanfaatnya sesuatu, berharga atau tidak berharganya sesuatu, dan lain-lain. Sesuatu itu
dapat dikatakan bernilai jika ia memiliki unsur yang baik atau bermanfaat bagi kehidupan.
Oleh karena itu, dalam kehidupan sehari-hari ada sesuatu yang bernilai dan ada pula yang
diberi nulai yaitu nilai intrinsik dan nilai instrumental.
Jika dikaitikan dengan ilmu pengetahuan, banyak cabang pengetahuan yang berbicara
secara khusus soal nilai, seperti ekonomi yang membahas tentang nilai yang bersangkutan
tentang suatu harga, dalam etika berkaitan dengan baik dan buruknya suatu perilaku, estetika
tentang indah atau tidak indahnya sesuatu, logika berkaitan dengan kebenaran, agama
berkaitan dengan al-Quddus dan al-Haq dan juga mengenai dakwah yang kita cari.
Aksiologi adalah cabang filsafat yang mempelajari cara-cara yang berbeda dimana
sesuatu hal dapat baik atau buruk dan hubungan nilai dengan menilai di satu pihak dan
dengan fakta-fakta eksistensi obyektif di pihak lain. Aksiologi adalah perluasan dari bidang
etika tradisional. Etika memusatkan perhatiannya pada nilai-nilai moral, aksiologi
memperluas diri dengan memusatkan perhatiannya pada semua jenis nilai. Nilai dalam etika
tradisional diartikan sama dengan baik dan jahat sedangkan dalam aksiologi, nilai memiliki
arti lebih luas lagi meliputi baik dan buruk/jahat, indah dan jelek, serta benar dan salah.
Aksiologi adalah teori tentang nilai dalam berbagai makna yang dikandungnya.10[10]
Tujuan dasar ilmu dakwah, dengan merujuk pada beberapa ayat al-Qur’an yang relevan,
adalah untuk :
         Menjelaskan realitas dakwah sebagai suatu kebenaran.
         Mendekatkan diri kepada Allah sebagai Kebenaran.
         Merealisasikan kesejahteraan untuk seluruh alam.
Menurut Sambas, aksiologi ilmu dakwah adalah:
         Mentransformasikan dan menjadi manhaj (kaifiyah) mewujudkan ajaran islam  menjadi
tatanan Khoirul-Ummah.
         Mentransformasikan iman menjadi amal sholeh jamaah.
         Membangun dan mengembalikan tujaun hidup manusia, meneguhkan fungsi khilafah
manusia menurut Al-quran dan sunnah, oleh karena itu, ilmu dakwah dapat dipandang
sebagai perjuangan bagi ummat islam dan ilmu rekayasa masa depan umat dan peradaban
islam.

Dalam dimensi aksiologis dakwah ada tiga hal yang harus dicermati dan ketiganya akan
mengandung konsekuensi yang berbeda.
1.      Perlu dijernihkan terlebih dahulu pemahaman dakwah sebagai ilmu pengetahuan atau sebagai
objek kajian atau bahkan sebuah ativitas konkrit.
2.      Kesadaran akan pluralitas sebagai keniscayaan, yang meliputi:

10[10] The Liang Gie, Suatu Konsepsi Ke Arah Penertiban Bidang Filsafat, terj. Ali Mudhofir,
(Yogyakarta:Karya Kencana, 1977), hal. 144-145
         Perbedaan kebudayaan antara wilayah tertentu dengan yang lain, kurun waktu tertentu dan
kurun waktu yang lain. Kondisi sosial-ekonomi tertentu dan kondisi yang lain. Histories
tertentu dan histories yang lain.
         Adanya realitas bahwa diluar Islam ada komunitas lain seperti ahli kitab, orang musyrik dan
orang kafir. Yang dapat dilindungi (Dzimmi) atau diperangi tergantung kondisi yang ada.
         Dakwah sebagai panggilan, ajakan dan komunikasi harus merupakan dialog bukan monolog.
Keterbukaan mejadi syarat mutlak, kesediaan untuk selalu diuji dan beradu argumen adalah
syarat aksiologis yang harus ada dalam setiap upaya menyampaikan nilai kebenaran.

D.    Pendekatan dalam Aksiologi


Louis O. Katsoff dalam bukunya The Element of Philosophy menjelaskan bagaimana cara
mendekati nilai menggunakan pendekatan aksiologi dapat dibedakan menjadi tiga bagian,
yaitu :
1.      Nilai sepenuhnya berhakikat subjektif, artinya nilai merupakan reaksi-reaksi yang diberikan
manusia sebagai pemberi nilai. Kaitannya dengan hal ini, maka sangat tergantung pada
pengalaman, pengetahuan, dan kemampuan pemberi nilai dimana sampai sejauh mana ia
dapat merespons sesuatu yang dinilainya. Yang demikian ini disebut dengan subjektivitas.
2.      Nilai-nilai merupakan kenyataan ontologis dimana tidak terdapat dalam ruang dan waktu
artinya nilai merupakan esensi logis yang dapat diketahui melalui akal, yang dikenal dengan
objektivitasme logis.
3.      Nilai-nilai merupakan unsur-unsur objektif yang menyusun kenyataan artinya nilai
merupakan hasil dari pengenalan, pemahaman, dan pembuktian dari suatu objek yang dinilai
yang disebut objektivitas.

Berdasarkan dari ketiga pendekatan tersebut yang dianggap lebih cocok dalam melihat
dan mendekati dakwah itu adalah pendekatan ketiga. Karena nampaknya pendekatan ketiga
lebih mampu untuk menghampiri nilai dakwah itu sendiri dan hal yang akan dicari adalah apa
yang ada dibalik dakwah atau ilmu dakwah itu sendiri. Dalam hal ini, nilai dakwah akan
dilihat dari kenyataan dalam kehidupan sosial dimana apakah masyarakat penerima dakwah
(mad’u) merasakan manfaat atau tidak dari kegiatan dakwah tersebut, hal ini dapat diukur
dengan ukuran yang jelas.
E.     Upaya Menelusuri Nilai Dakwah Normatif
Dapat terlihat dimana pendekatan ketiga diatas berusaha untuk melihat nilai itu sendiri
dari segi esensi, artinya kita melihat nilai itu sendiri dari sudut ontologis, yakni bahwa nilai
sudah ada sejak semula, ia terdapat dalam sesuatu yang mungkin ada dan yang ada. Nilai
dakwah itu sendiri merupakan nilai intrinsik dimana esensinya harus dicari dan bukan
sekedar diberi nilai. Berikut ini ada beberapa penjelasan dalam menelusuri nilai dakwah itu
sendiri, yaitu :
1.      Jika dilihat dari sudut ilmunya, maka yang muncul adalah nilai kebenaran dari pengetahuan
dakwah yang tentunya harus ada tolok ukur yang baku. Dari sudut ini, dapat dilihat dari
berbagai aspek, yaitu :
         Koherensinya, yaitu dilihat dari hubungan antar konsep dalam pengetahuan tersebut.
         Korespondensi, yakni sesuatu yang bernilai jika sesuatu itu sesuai dengan kenyataannya.
         Empiris, berarti sesuatu itu benar atau bernilai jika didukung dengan bukti empiris.
2.      Jika dilihat dari sudut empirik keberadaan dakwah itu sendiri dimana dakwah sebagai sebuah
proses. Dari sudut pandang ini, nilai dakwah dapat dilihat dari kenyataan dalam masyarakat,
yaitu adanya interaksi antara da’i, mad’u yaitu manusia yang menjadi sasaran dakwah, ajaran
berupa pesan dakwah, dan segala hal yang mendukung proses kegiatan dakwah. Dari sudut
ini, ada dua hal yang penting diyakini sebagai nilai dakwah yaitu sebagai berikut.
         Nilai kerisalahan yaitu nilai kerisalahan yang digagas berdasarkan kepada Q.S. Yusuf ayat
108 dan Q.S. al-Furqan ayat 56. Dari aspek ini dapat dilihat dakwah itu sebagai penerus,
penyambung, dan menjelaskan fungsi dan tugas Rasul. Dalam hal ini, yang menjadi titik
sentral dalam melaksanakan tugas sepeninggal Nabi Muhammad SAW yaitu da’i. Dilihat dari
fungsi ini, maka da’i mengemban tugas yang besar sebagai agen pembangunan yang
berkewajiban menyampaikan ajaran Islam kepada umat manusia dan menjaga umat agar
tidak tergelincir ke dalam jurang bahaya. Dalam era global ini, seorang da’i berparan ganda
yaitu mampu menjadi benteng peradaban umat yang menyeleksi segala informasi dan
perubahan yang masuk dalam masyarakat dan mampu mengembangkan budaya lokal dan
pembaruan ajaran yang betentangan dengan Islam dan budaya lokal.
         Nilai rahmat yaitu nilai rahmat ini berfungsi bahwa ajaran Islam itu harus memberi manfaat
bagi kehidupan umat dimana petunjuk bagi hati, obat spiritual, dan mengantarkan manusia
kepada kehidupan yang sejahtera lahir dan batin serta mampu menjadi rahmatan lil ‘alamin.
Berkaitan dengan ini, dakwah berusaha untuk menjabarkan materi yang bersifat normatif
yaitu al-Qur’an dan Hadist ke dalam konsep yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan.
Dalam hal ini, nilai dakwah harus mampu menerjemahkan ajaran Islam dalam konsep
kehidupan, mengimplementasikan konsel tersebut dalam kehidupan aktual yaitu individu,
keluarga, dan masyarakat. Jadi, dakwah berfungsi sebagai problem solving persoalan saat ini
dan mengantisipasi masalah yang muncul saat mendatang.

F.     Hakikat Nilai Dan Penelusuran Nilai Dakwah (Aksiologi Dakwah)


Aksiologis adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai dari sudut pandang
filsafat. Sesuatu yang dikatakan bernilai jika ia memiliki unsur baik atau manfaat dalam
kehidupan, misalnya nilai sebuah pisau, nilai sehat, nilai sebuah barang dan sebagainya.
Menurut Kenneth Anderson yang dikutip oleh Onong Uchjana Effendy menyatakan bahwa
nilai merupakan komponen sentral yang membimbing dan memandu tindakan atau kegiatan
seseorang. Sebagai contoh, seseorang yang menginginkan kekuatan, akan menghubungkan
sikap dan kegiatannya dengan nilai sentral, umpamanya dzikir-dzikir khusus yang berkaitan
dengan keyakinan pada Tuhan. Nilai sentral itulah yang menjadimotivasi untuk mendapatkan
kekuatan tersebut. Jika pengertian nilai tersebut dikaitkan dengan dakwah, maka akan dikenal
dengan nilai dakwah, yakni nilai-nili Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan al-Hadits.
Nilai-nilai dakwah bukanlah suatu “barang yang mati”, melainkan nilai dinamis yang
disesuaikan dengan semangat zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan yang ada di
masyarakat. Menurut Muhammad Sulthon, tata nilai Islami yang terdapat di dalam Al-Qur’an
bersifat historis, dinamis, dialektis dan transformatif.11[11]
Kattsoff menjelaskan bahwa hakikat nilai itu ada beberapa kemungkinan, diantaranya :
         Nilai adalah kualitas empiris yang tidak dapat didefinisikan
         Nilai sebagai objek suatu kepentingan
         Nilai pragmatis
         Nilai sebagai esensi

Pada bagian lain, Kattsoff menjelaskan bagaimana mendekati nilai (pendekatan


aksiologis) yang dibedakan menjadi :
         Nilai seluruhnya berhakikat subjektif, artinya nilai merupakan reaksi-reaksi yang diberikan
manusia sebagai pemberi nilai.Kaitannya dengan hal ini, maka sangat tergantung pada
pengalaman, penetahuan dan kemampuan pemberi nilai tersebut.
         Nilai-nilai merupakan kenyataan ontologis, artinya nilai merupakan esensi logis yang dapat
diketahui melalui akal, yang dikenal dengan objektivitasme logis.
11[11] Sukriyadi Sambas, Sembilan Pasal Pokok-pokok Filsafat Dakwah, (Bandung: KP Hadid, 1999), hlm.
41.
         Nilai merupakan unsur-unsur objektif yang menyusun kenyataan, artinya nilai merupakan
hasil dari pengenalan, penambahan dan pembuktian dari suatu yang dinilai (objektivitas).

Berangkat dari penyataan nilai di atas, dapat kita jadikan batu loncatan untuk melakukan
penelusuran terhadap nilai dakwah. Upaya dalam menelusuri nilai dakwah diantaranya :
a.       Jika dilihat dari sudut ilmunya, maka yang muncul adalah nilai kebenaran dari pengetahuan
dakwah tentunya harus ada tolok ukur yang baku, yaitu :
  Koherensi antarkonsep dalam pengetahuan
  Korespondensi, sesuatu itu bernilai jika sesuai dengan kenyataan
  Empiris, sesuatu dikatakan bernilai jika dapat dibuktikan dengan cara empirik/ didapat dari
penelitian
  Unsur pragmatis, bernilai jika ada manfaatnya

b.      Sudut empirik keberadaan dakwah (dakwah sebagai proses). Nilai dakwah dilihat dalam
kenyataan hidup masyarakat, yakni adanya interaksi antara da’i, ajaran, umat manusia dan
segala hal yang mendukung proses dakwah. Ada dua hal penting yang sebaiknya diyakini
dalam nilai dakwah, yaitu: Pertama, Nilai kerisalahan, dakwah dilihat sebagai
penerus,penyambung dan menjalankan fungsi dan tugas Rasul. Kedua, Nilai rahmat dalam
dakwah, ajaran Islam harus memberikan manfaat bagi kehidupan umat. Sehubungan dengan
hal ini maka dakwah harus mampu menterjemahkan ajran Islam, mengimplementasikan
konsep ajaran dalam kehidupan sehari-hari. Dakwah dalam hal ini lebih menitikberatkan pada
tujuan dakwah secara oprasional entah itu output ataupun input dari kegiatan dakwah yang
dilaksanakan.

Dakwah dari aspek keilmuan dapat ditelusuri dari sejauh mana konsep-konsep dan teori
ilmu dakwah memberikan kontribusi bagi kehidupan manusia, baik sebagai individu,
kelompok sosial maupun bangsa.
Menurut Sambas, aksiologi ilmu dakwah adalah:
         Mentransformasikan dan menjadi manhaj (kaifiyah) mewujudkan ajaran islam menjadi
tatanan Khoirul-Ummah
         Mentransformasikan iman menjadi amal sholeh jamaah
         Membangun dan mengembalikan tujaun hidup manusia, meneguhkan fungsi khilafah
manusia menurut Al-quran dan sunnah, oleh karena itu, ilmu dakwah dapat dipandang
sebagai perjuangan bagi ummat islam dan ilmu rekayasa masa depan umat dan peradaban
islam.

Dalam dimensi aksiologis dakwah ada tiga hal yang harus dicermati dan ketiganya akan
mengandung konsekuensi yang berbeda, yitu :

 Perlu dijernihkan terlebih dahulu pemahaman dakwah sebagai ilmu pengetahuan atau
sebagai objek kajian atau bahkan sebuah ativitas konkrit.
 Kesadaran akan pluralitas sebagai keniscayaan, yang meliputi:

o   Perbedaan kebudayaan antara wilayah tertentu dengan yang lain, kurun waktu tertentu dan
kurun waktu yang lain. Kondisi sosial-ekonomi tertentu dan kondisi yang lain. Histories
tertentu dan histories yang lain.
o   Adanya realitas bahwa diluar Islam ada komunitas lain seperti ahli kitab, orang musyrik dan
orang kafir. Yang dapat dilindungi (Dzimmi) atau diperangi tergantung kondisi yang ada.
         Dakwah sebagai panggilan, ajakan dan komunikasi harus merupakan dialog bukan monolog.
Keterbukaan mejadi syarat mutlak, kesediaan untuk selalu diuji dan beradu argumen adalah
syarat aksiologis yang harus ada dalam setiap upaya menyampaikan nilai kebenaran.

G.    Persoalan Rekayasa Masa Depan 


Perubahan sosial adalah perubahan dalam segi struktur dan hubungan sosial. Bisakah arah
perubahan sosial diramalkan dan dikendalikan menjadi perdebatan terutama di kalangan
ilmuan social. Sebagian dari mereka menolak kemungkinan manusia memberi arah atau
mengarahkan perubahan sosial. Namun demikian, ada juga yang berpendapat sebaliknya.
Bahwa manusia dapat memberikan pengaruh tertentu terhadap arah perubahan sosial.
Merujuk pendapat terakhir, perubahan sosial yang direncanakan disebut dengan beberapa
istilah, diantaranya rekayasa-sosial, perencanaan-sosial, dan manajemen-perubahan.
Ilmuan dakwah sepakat bahwa arah perubahan sosial dapat diramalkan, diarahkan dan
direncanakan. Perubahan sosial yang bergerak melalui rekayasa sosial terutama dapat dimulai
dari perubahan individual, baik dalam cara berfikir maupun bersikap. Dalam konteks dakwah,
arah perubahan yang dituju adalah pembentukan khairu ummah. Dalam al-Quran khairu
ummah disebut dengan istilah ummah muslimah atau ummat wasat dalam QS 2:128 dan 143.
Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan
(jadikanlah) diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau(Ummat
Muslimah) dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami.
Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi maha penyayang. (QS.2: 128)
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan
pilihan (umat wasath) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu…(QS. 2: 143).
Dengan merujuk pada pendapat Jalaluddin Rakhmat, rekayasa sosial dapat dipahami
sebagai pemasaran sosial. Dalam pengertian tersebut, dalam upaya merekayasa umat menuju
kearah pembentukan khaira ummat, da’I dalam proses da’wahnya dapat dikatakan sebagai
memasarkan rencana atau solusi atas problem-problem sosial yang dihadapi masyarakat,
dalam konteks penegakan kebenaran dan keadilan.
Dalam QS 57: 25 terkandung antara lain tiga istilah yang dipahami oleh Jalaluddin
Rakhmat sebagai tiga macam cara bagaimana rasulullah merekayasa ummat.
         Al-Kitab, yaitu mengembalikan umat manusia pada fitrah kemanusiaan dan nilai-nilai
ilahiyah,
         Al-Mizan, yaitu mengembangkan argumentasi rasional dan akal sehat agar tercipta
kejernihan pola fikir,
         Al-Hadid, yaitu berusaha memiliki kekuasaan yang sepenuhnya digunakan untuk
menegakkan keadilan, seperti yang telah diberikan oleh Allah kepada Rasulullah.
         Sebagai suatu system, rekayasa social mempunyai beberapa unsur yaitu,
  Strategi perubahan dapat berupa strategi pembangunan, strategi revolusi, strategi persuasi,
strategi normatif re-edukatif.
  Pelaku perubahan pada pokoknya terdiri dari dua kelompok, yaitu leaders dan supporters.
  Adapun unsur target perubahan, maka hal itu bersifat kondisional disesuaikan dengan
rekomendasi hasil penelitian dan pertimbangan di lapangan tentang apa yang dirasa
mendesak untuk diselesaikan.
  Sedangkan unsur media secara garis besar dibedakan ke dalam dua kelompok, yaitu media
pengaruh dan media respon.

H.    Persoalan Nilai-Nilai Islam


Nilai (value) merupakan suatu konsep yang sangat bermakna ganda. Nilai adalah
pandangan tertentu yang berkaitan dengan apa yang penting dan yang tidak penting. Dalam
ilmu social persoalan nilai dapat dimaknai dalam pengertiannya yang terdiri dari dua
subkelas: yaitu nilai sebagai obyek dari tujuan-tujuan yang disetujui secara social dan nilai
sebagai sumbangan untuk mencapai kemakmuran masyarakat. Istilah nilai terkadang
dilawankan dengan “fakta” dan juga dianggap sebanding dengan kebaikan untuk dilawankan
dengan ketepatan. Al-Quran dipercaya memuat nilai-nilai tertinggi yang ditetapkan oleh
Allah dan merupakan nilai-nilai resmi dari-Nya. Nilai-nilai yang termuat dalam al-Quran
selamanya “ada di langit” kecuali setelah melalui proses dakwah.
Apa yang paling dasar dan paling sentral dari nilai-nilai islam adalah tauhid. Tauhid
adalah suatu konsep sentral yang berisi ajaran bahwa Tuhan adalah pusat dari segala sesuatu
dan bahwa manusia harus mengabdikan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Konsep tauhid itu
ternyata mempunyai arus balik kepada manusia. Di dalam al-Quran banyak dijumpai seruan
agar manusia beriman dan beramal. Sebagaimana ayat berikut ini:
(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan
menafkahkan sebagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.(QS 2: 3).
Ayat diatas mengajarkan trilogi: iman-shalat-zakat. Sementara dalam formulasi lain,
dapat ditemukan juga trilogi iman-ilmu-amal. Dengan memperhatikan hal itu, maka dapat
dikemukakan bahwa iman berujung pada amal. Artinya, iman yang berpangkal pada Tuhan
harus diaktualisasikan dalam kehidupan nyata yang berujung aktualisasinya adalah manusia.
Dengan demikian, islam itu agama yang sangat mementingkan manusia sebagai tujuan
sentral. Penanaman nilai-nilai islami yang tidak disertai dengan proses dialog yang sungguh-
sungguh dengan tata nilai yang secara real telah berlaku di masyarakat, hanya akan
menimbulkan kesenjangan yang semakin tajam antara tata-tata nilai yang diidam-idamkan
dan kenyataan yang ada. Cara itu hanya akan menimbulkan pernyataan nilai-nilai secara
verbal. Penanaman nilai-nilai islami ke dalam realitas kehidupan manusia pada dasarnya
adalah suatu rekayasa budaya dan strategi kebudayaan yang berlandaskan pada konsep-
konsep yang matang sesuai dengan arus perubahan zaman yang tidak pernah berhenti. Itulah
sebabnya tata nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat tidak bisa berdiri sendiri,
terlepas dari kenyataan dan realitas sosial yang mengitarinya. Agar tata nilai islami dapat
hidup dan berkembang di masyarakat, dengan demikian tidak cukup hanya disampaikan
dengan menggunakan dakwah bi al-lisan semata, lebih dari itu diperlukan juga tahap-tahap
lain secara berkesinambungan dalam wujud rekayasa social yang terpadu.
Gagasan fazlurrahman tentang pola penafsiran al-Quran terbagi ke dalam dua gerakan.
  Langkah memahami arti atau makna dari suatu pernyataan al-Quran dengan mengkaji situasi
atau problem historis dimana pernyataan al-Quran tersebut merupakan jawabannya.
  Langkah melakukan generalisasi jawaban-jawaban spesifik tersebut dan menyatakannya
sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral social umum yang dapat
disaring dari ayat-ayat spesifik dalam sinaran latar belakang sosio-historis dan rasiologis
yang sering dinyatakan.

I.       Nilai Dakwah dan Institusionalisasinya


Nilai dan orientasi nilai mengacu kepada konsepsi tentang hal-hal atau karakteristik
manusia yang dikehendaki dan terpuji. Tindakan yang dilakukan oleh seseorang dibangun
dari pemahaman yang mendalam tentang arti kehidupan bagi dirinya. Jika seseorang
mengartikan kehidupan sesuai dengan ajaran Islam bahwa hidup ini memiliki makna dan
tujuan yang jelas, maka mereka akan melakukan tindakan sesuai dengan ajaran Islam dan
akan mempersiapkan untuk menghadapi kehidupan akhirat yang abadi. Di dalamnya
seseorang berupaya untuk mengenal tentang dirinya sebagai manusia yang sempurna,
tugasnya di alam sebagai hamba Allah SWT dan khalifatullah, serta hubungannya dengan
Sang Khalik dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Dengan adanya pemahaman tersebut akan lahir persepsi yang positif terhadap kehidupan dan
dinamikanya. Dari persepsi yang positif akan lahirlah kesadaran untuk bertanggung jawab
dalam mengembangkan kehidupan yang berguna dan pada akhirnya akan melakukan
aktivitas-aktivitas yang memberikan manfaat bagi dirinya dan orang lain.
Tindakan yang dilakukan umat Islam mestinya dibangun dari pemahaman yang
komprehensif tentang ajaran Islam yang di dalamnya terdapat nilai-nilai dakwah yang
bersifat universal. Beberapa nilai-nilai dakwah universal yang dapat diaplikasikan dalam
kehidupan umat, diantaranya sebagai berikut12[12] :
1)      Kedisiplinan
Disiplin bukan hanya milik tentara atau polisi saja, tetapi menjadi milik semua orang
yang ingin sukses. Kedidiplinan tidak diartikan dengan kehidupan yang kaku dan susah
tersenyum. Kedisiplinan terkait erat dengan manajemen waktu. Bagaimana waktu yang
diberikan oleh Tuhan selama 24 jam dalam sehari semalam dapat dimanfaatkan dengan
sebaik-baiknya untuk meraih kesuksesan di dunia dan akhirat. Al-Qur’an sangat banyak
bercerita dan menyebutkan tentang pentingnya waktu, seperti demi masa (wal’ashr), demi
waktu dhuha (wadduha), demi waktu malam (wallaili), demi waktu fajar (walfajr) dan lain
sebagainya. Waktu tidak bisa diputar ulang, karenanya amat rugi manakala waktu yang kita
12[12] Abdul Basit, Filsafat Dakwah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 203-207.
jalani hanya dilewatkan begitu saja tanpa memberi makna yang berarti. Pepatah Arab
mengatakan “al-waqtu ka al-shaif” (waktu bagaikan pedang), artinya jika kita tidak mampu
memanfaatkan waktu, bagaikan kita ditebang oleh pedang, yakni mengalami kerugian dan
bahkan kematian.
Dalam ajaran ibadah shalat dan puasa, kita dilatih betul bagaimana menjadi orang yang
disiplin dalam memanfaatkan waktu. Tidak bisa kita melaksanakan shalat di luar waktu yang
telah ditentukan, begitu juga dengan puasa, ada aturan main yang sudah jelas waktunya.
Pembelajaran dan pembiasaan yang diajarkan oleh Tuhan untuk memanfaatkan waktu dengan
sebaik-baiknya mestinya dapat berpengaruh terhadap kedisiplinan seseorang dalam menjalani
hidupnya.

2)      Kejujuran
Rasulullah SAW merupakan teladan utama dalam kejujuran dan bahkanbeliau memiliki
sifat sidiq (jujur). Rasulullah SAW memerintahkan umatnya untuk berlaku jujur, sesuai
dengan sabda beliau :
‫الص ْد َق َي ْه ِدى ِإىَل الْرِب ِّ َوِإ َّن الْرِب َّ َي ْه ِدى‬ ُ ‫َع ْن َعْب ِد اللَّ ِه قَ َال قَ َال َر ُس‬
ِّ ِ‫ َعلَْي ُك ْم ب‬: ‫ول اللَّ ِه صلى اللّ ه عليه وسلم‬
ِّ ‫الص ْد ِق فَِإ َّن‬

‫ب َي ْه ِدى‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َ‫الص ْد َق حىَّت يكْت‬


َ ‫ب فَِإ َّن الْ َك ذ‬
َ ‫ب عْن َد اللَّه ص دِّي ًقا َوايَّا ُك ْم َوالْ َك ذ‬
َ ُ َ ِّ ‫ص ُد ُق َو َيتَ َحَّرى‬ َّ ‫ِإىَل اجْلَن َِّة َو َما َيَز ُال‬
ْ َ‫الر ُج ُل ي‬
‫ب ِعْن َد اللَّ ِه َك َّذابًا‬ ِ ِ َّ ‫ور َي ْه ِدى إىَل النَّا ِر َو َم ا َي َز ُال‬ ‫ِإ‬ ‫ِإ‬
َ َ‫ب َحىَّت يُكْت‬
َ ‫ب َو َيتَ َح َّرى الْ َك ذ‬
ُ ‫الر ُج ُل يَ ْك ذ‬ َ ‫ىَل الْ ُف ُج و ِر َو َّن الْ ُف ُج‬
)‫(اخرجه مسلم‬

Artinya : “Hendaklah kamu semua bersikap jujur karena kejujuran membawa kepada
kebaikan, dan kebaikan membawa ke syurga, seseorang yang selalu jujur dan mencari
kejujuran akan ditulis oleh Allah SWT sebagai orang yang jujur, dan jauhilah sifat bohong
karena kebohongan membawa kepada kejahatan dan kejahatan membawa ke neraka. Orang
yang selalu berbohong dan mencari kebohongan akan ditulis oleh Allah SWT sebagai
pembohong” (HR. Muslim)

Kita bisa belajar dari umat yang dibinasakan oleh Allah SWT akibat tidak jujur dan
kejahatan lain yang dilakukannya, yaitu pada bangsa Madyan sebagaimana yang difirmankan
Allah SWT sebagai berikut :
ٍ‫ص وا الْ ِمكْيَ َال والْ ِم َيزا َن ِإيِّن َأرا ُكم خِب َرْي‬ ٍ ِ ِ
ْ َ َ ُ ‫اه ْم ُش َعْيبًا قَ َال يَا َق ْوم ْاعبُ ُدوا اللَّهَ َم ا لَ ُك ْم م ْن ِإلَ ه َغْي ُرهُ َوال َتْن ُق‬ َ ‫َوِإىَل َم ْديَ َن‬
ُ ‫َأخ‬
ِ ِِ ِ ِ ِ ٍ ِ ٍ
‫َأش يَاءَ ُه ْم َوال‬
ْ ‫َّاس‬
َ ‫)ويَا َق ْوم َْأوفُوا الْمكْيَ َال َوالْم َيزا َن بالْق ْس ط َوال َتْب َخ ُس وا الن‬
َ ٨٤( ‫اب َي ْوم حُم يط‬
َ ‫اف َعلَْي ُك ْم َع َذ‬ َ ‫َوِإيِّن‬
ُ ‫َأخ‬

)٨٥( ‫ين‬ ِ ِ ِ ‫َتعثوا يِف األر‬


َ ‫ض ُم ْفسد‬ ْ َْْ
Artinya :“Dan kepada (penduduk) Mad-yan (Kami utus) saudara mereka, Syu'aib. Ia
berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia. Dan
janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan, sesungguhnya aku melihat kamu dalam
keadaan yang baik (mampu) dan sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan azab hari
yang membinasakan (kiamat)." Dan Syu'aib berkata: "Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan
timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka
dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan” (Q.S.
Huud: 84-85)

Dari ayat di atas, ada tiga hal penting yang bisa diterapkan dalam kehidupan kita untuk
memberantas ketidakjujuran dankejahatan lainnya, yaitu: Pertama, pelurusanakidah dengan
meyakini dan mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah SWT semata. Kedua, berprilaku
jujur dan jangan menyakiti orang lain. Ketiga, jangan merusak bumi, maksudnya bisa
diperluas bukan hanya arti sempitnya tetapi juga bisa dimaksudkan jangan merusak sistem
yang sudah dibangun dengan baik, akibat dari prilaku individu yang tidak jujur.

3)      Kerja Keras


Siapa yang sungguh-sungguhmaka dialah yang pasti dapat (man jadda wajada). Pepatah
Arab tersebut merupakan hukum sosial yang berlaku universal bagi masyarakat, tidak
mengenal etnis, agama maupun bahasa. Orang yang rajin dan bekerja keras, pasti akan
mendapatkan hasil dari kerja kerasnya. Sebaliknya, orang yang malas akan menerima hasil
yang sedikit karena kemalasannya. Allah SWT dalam beberapa ayat mendorong umat-Nya
untuk bekerja keras, seperti:
)٧( ‫ب‬
ْ‫ص‬ َ ‫فَِإذَا َفَر ْغ‬
َ ْ‫ت فَان‬
Artinya : “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan
sungguh-sungguh (urusan) yang lain” (Q.S. Al-Insyiroh: 7)
Sebagian ahli tafsir menafsirkan apabila kamu (Muhammad) telah selesai berda'wah maka
beribadahlah kepada Allah SWT, dan apabila kamu telah selesai mengerjakan urusan dunia
maka kerjakanlah urusan akhirat, dan ada lagi yang mengatakan: “Apabila telah selesai
mengerjakan shalat maka berdo’alah”.
Allah SWT juga berfirman :
)١٠( ‫ض ِل اللَّ ِه َواذْ ُك ُروا اللَّهَ َكثِ ًريا لَ َعلَّ ُك ْم ُت ْفلِ ُحو َن‬
ْ َ‫ض َو ْابَتغُوا ِم ْن ف‬ ِ
ْ ‫الصالةُ فَا ْنتَش ُروا يِف‬
ِ ‫األر‬ َّ ‫ت‬ِ ‫ضي‬
ِ ‫ِإ‬
َ ُ‫فَ ذَا ق‬
Artinya :“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan
carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung” (Q.S. Al-
Jumu’ah: 10)

Begitupun Rasulullah SAW yang telah mencontohkan sejak kecil telah bekerja keras,
seperti mengembala kambing, berdagang dan berupaya sekuat tenaga untuk membebaskan
umat (kaum dhuafa) dari kemiskinan, kebebasan, perbudakan, eksploitasi kaum aghniya dan
sebagainya. Rasulullah SAW mengingatkan kita “yang paling aku khawatirkan dan takuti
terhadap umatku adalah suka membusungkan dada, banyak tidur dan malas bekerja”.

4)      Kebersihan
Umat Islam sangat hafal sekali dengan hadist Nabi Muhammad SAW yang menyatakan
bahwa “Kebersihan adalah sebagian dari iman” (HR. Muslim). Sayangnya, hafalan tersebut
kurang diimbangi dengan praktikdi lapangan. Realitas tempat-tempat umum milik umat Islam
menunjukkan kurang terjaganya kebersihan, seperti masjid, mushalla, pondok pesantren,
asrama haji, majelis ta’lim dan sebagainya. Padahal, umat Islam sering kali diperkenalkan
dan dianjurkan untuk menjaga kebersihan. Setiap bahasan pertama tentang fiqih Islam
diawali dengan pembahasan tentang kebersihan seperti menghilangkan hadas besar dan kecil,
menggunakan air yang bersih lagi mensucikan, berwudhu dan lain sebagainya. Allah SWT
mengingatkan umat Islam untuk menjaga kebersihan (kesucian) jiwa dan juga kebersihan
yang bersifat fisik, dengan simbol untuk membersikan pakaian. Allah SWT berfirman :
ِ
َ َ‫)وثِيَاب‬
)٤( ‫ك فَطَ ِّه ْر‬ َ ٣( ‫ك فَ َكِّب ْر‬ َ ٢( ‫)قُ ْم فََأنْذ ْر‬١( ‫يَا َأيُّ َها الْ ُمدَّثُِّر‬
َ َّ‫)و َرب‬
Artinya : “Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan, dan
Tuhanmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah” (Q.S. Al-Muddatssir: 1-4)
Dengan demikian, menjaga kebersihan merupakan nilai dakwah universal yang dapat
dilakukan oleh siapa saja, apalagi umat Islam jelas-jelas memiliki dasar kuat untuk menjaga
kebersihan.

5)      Kompetisi
Islam tidak melarang umatnya untuk berkompetisi, karena kompetisi merupakan salah
satu motivasi psikologis yang sangat umum dimiliki oleh setiap manusia. Setiap mahasiswa
akan memiliki motivasi untuk berkompetisi diantara teman-temannya. Meskipun masing-
masing individu berbeda dalam tingkatan motivasinya. Al-Qur’an telah menganjurkan umat
Islam untuk berkompetisi dalam peningkatan kualitas takwa, sebagaimana firman Allah SWT
:
‫)يُ ْس َق ْو َن ِم ْن َر ِحي ٍق‬٢٤( ‫ض َرةَ النَّعِي ِم‬ ِ ‫ف يِف وج‬ ِ ‫)علَى ِئ‬ ِ ِ
ْ َ‫وه ِه ْم ن‬ ُ ُ ُ ‫)َت ْع ِر‬٢٣( ‫األرا ك َيْنظُ ُرو َن‬
َ ْ ‫ِإ َّن‬
َ ٢٢( ‫األب َر َار لَفي نَعي ٍم‬
)٢٦( ‫س الْ ُمَتنَافِ ُسو َن‬ ِ ٍ ‫خَمْت‬
ٌ ‫)ختَ ُامهُ ِم ْس‬
َ ‫ك َويِف ذَل‬
ِ َ‫ك َفْليََتنَاف‬ ِ ٢٥( ‫وم‬ُ
Artinya :“Sesungguhnya orang yang berbakti itu benar-benar berada dalam keni'matan yang
besar (syurga), mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang. Kamu dapat
mengetahui dari wajah mereka kesenangan mereka yang penuh keni'matan. Mereka diberi
minum dari khamar murni yang dilak (tempatnya). laknya adalah kesturi; dan untuk yang
demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba” (Q.S. Al-Muthaffifin: 22-26)

Kebanyakan manusia biasanya melakukan kompetisi dalam urusan materi dan dunia yang
fana. Oleh karena itu, Rasulullah SAW mengingatkan agar umat Islam tidak berkompetisi
secara berlebihan dalam urusan dunia. Hal ini dapat menimbulkan konflik, dengki, rasa iri
dan menjauhkan dari ingat kepada Allah SWT. Sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya :
“Demi Allah, bukan kekafiran yang aku khawatirkan atas kalian, tetapi aku khawatir
kalau dunia disodorkan kepada kalian sebagaimana telah disodorkan kepada orang-orang
sebelum kalian. Lantas kalian berlomba-lomba (berkompetisi) sebagaimana mereka telah
melaukannya juga. Akhirnya dunia akan menghancurkan kalian, sebagaimana telah
membinasakan mereka semua” (HR. Bukhari)

Masih banyak lagi nilai-nilai dakwah yang bisa dikembangkan atau diturunkan dari
sumber ajaran Islam yakni Al-Qur’an dan al-Hadist, kami hanya mencontohkan sebagian
kecil dari nilai-nilai dakwah yang ada. Nilai-nilai dakwah yang berlaku universal tersebut
senantiasa disosialisasikan kepada masyarakat sehingga nilai-nilai tersebut menjadi
kebiasaan, tradisi atau norma yang berlaku dimasyarakat. Jika nilai-nilai dakwah universal
telah berkembang dan menjadi norma di masyarakat, maka nilai-nilai dakwah telah
memasuki tahap institusionalisasi atau pelembagaan. Dalam melaksankan proses
pelembagaan nilai-nilai dakwah, titik berangkatnya berasal dari pemahaman tentang konsepsi
dakwah menurut ajaran Islam. Di dalam konsepsi dakwah terkandung nilai-nilai yang akan
disosialisasikan dan ditanamkan kepada para pelaku dakwah. Nilai-nilai yang telah
menginternal dalam diri para pelaku dakwah akan terus dibawa dan dikembangkan melalui
interaksi sosial yang terjadi di organisasi dakwah dan terbentuk menjadi nilai-nilai dakwah.
Nilai-nilai dakwah tersebut akan terus-menerus dipraktikkan oleh para pelaku dakwah
menjadi kebiasaan dan tata aturan yang pada akhirnya melahirkan institusi.

Anda mungkin juga menyukai