1[1] Burhanuddin Salam, Logika Materil; Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Reneka Cipta, Cet, 1, 1997),
hlm. 168.
2[2] Ali Abri, (Sewaktu Menjadi Dosen Fak. Syari’ah IAIN SUSKA), Filsafat Umum Suatu Pengantar, Untuk
Kalangan Sendiri, hlm. 33.
3[3] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Sinar harapan,
Cet, XIII, 2000), hlm. 234.
masalah-masalah nilai yang khusus seperti epistimologis, etika dan estetika. Epistimologi
bersangkutan dengan masalah kebenaran, etika bersangkutan dengan masalah kebaikan, dan
estetika bersangkutan dengan masalah keindahan.4[4]
Secara etimologis, istilah aksiologi berasal dari Bahasa Yunani Kuno, terdiri dari kata
“aksios” yang berarti nilai dan kata “logos” yang berarti teori. Jadi aksiologi merupakan
cabang filsafat yang mempelajari nilai.5[5] Aksiologi adalah abang filsafat yang mempelajari
cara-cara yang berbeda dimana sesuatu hal dapat baik atau buruk (baca: mempunyai akibat
positif atau negatif) dan hubungan nilai dengan menilai di satu pihak dan dengan fakta-fakta
eksistensi obyektif di pihak lain. Aksiologi adalah teori tentang nilai dalam berbagai makna
yang dikandungnya.
Aksiologi meliputi nilai-nilai yang bersifat normative dalam pemberian makna terhadap
kebenaran atau kenyataan sebagaimana kita jumpai dalam kehidupan kita yang menjelajahi
berbagai kawasan seperti kawasan social, kawasan simbolik ataupun fisik-materiil. Lebih dari
itu nilai-nilai juga ditunjukkan oleh aksiologi ini sebagai suatucondition sine quanon yang
wajib dipatuhi dalam kegiatan kita, baik dalam melakukan penelitian maupun di dalam
menerapkan ilmu.
Aksiologi memuat pemikiran tentang maslaah nilai-nilai termasuk nilai-nilai tinggi dari
Tuhan. Misalnya, nilai moral, nilai agama dan nilai keindahan. Aksiologi ini juga
mengandung pengertian lebih luas daripada etika atau higher values of life (nilai-nilai
kehidupan yang bertaraf tinggi). Dilihat dari jenisnya, paling tidak terdapat dua bagian umum
dari aksiologi, yaitu6[6] :
1. Etika
Etika adalah kajian tentang mana perbuatan baik dan mana perbuatan buruk, serta apa
ukuran yang digunakan di dalam menentukan baik dan buruk. 7[7] Semiawan menerangkan
bahwa etika sebagai prinsip atau standar berprilaku manusia, yang kadang-kadang disebut
dengan “moral”. Kegiatan menilai (act of judgement) telah dibangun berdasarkan toleransi
atau ketidakpastian, bahwa tidak ada kejadian yang dapat dijelaskan secara pasti dengan zero
tolerance. Makna etika dipakai dalam dua bentuk arti, pertama, etika merupakan suatu
4[4] Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, Alih Bahasa oleh Soejono Soemargono, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1996), hlm. 327.
5[5] Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2007), hlm. 36.
6[6] A. Susanto, Filsafat Ilmu; Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis dan
Aksiologis, (Jakarta: Bumi Aksara, Cet ke-2, 2011), hlm. 117-118.
7[7] Hasan Bakti Nasution, Filsafat Umum, (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2011), hlm. 75.
kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia. Kedua,
merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan atau
manusia-manusia lain. Objek formal etika meliputi norma-norma kesusilaan manusia, dan
mempelajari tingkah laku manusia baik dan buruknya. Sementara dari kalangan nonfilsafat,
etika sering digunakan sebagai pola bertindak praktis (etika profesi), misalnya bagaimana
menjalankan bisnis yang bermoral dalam etika bisnis.8[8]
2. Estetika
Mengenai estetika, Semiawan menjelskan bahwa estetika adalah mempelajari tentang
hakikat keindahan di dalam seni. Estetika merupakan cabang filsafat yang mengkaji hakikat
indah dan buruk. Estetika membantu mengarahkan dalam membentuk suatu persepsi yang
baik dari suatu pengetahuan ilmiah agar ia dapat dengan mudah dipahami oleh khalayak luas.
Estetika juga berkaitan dengan kualitas dan pembentukan mode-mode yang estetis dari suatu
pengetahuan ilmiah itu.
Tujuan dasar ilmu menurut beberapa ahli tidak selalu sama. Seperti dikutip Muslim A
Kadir, Fred Kerlinger berpendapat bahwa tujuan dasar ilmu hanyalah menjelaskan realitas
(gejala yang ada), bagin bronowsky, tujuan ilmu adalah menemukan yang benar sedangkan
menurut Mario Bunge, tujuan ilmu lebih dari sekadar menemukan kebenaran. Kemudian, jika
kita hubungkan dengan dakwah Islam atau lebih khususnya kepada ilmu dakwah, akan dapat
ditemui arah dakwah sebenarnya. Sebab, berdasarkan sejarah tradisi Islam, ilmu tidaklah
berkembang pada arah yang tak terkendali, tapi ia harus bergerak pada arah maknawi dan
umat berkuasa untuk mengendalikannya. Kekuasaan manusia atas ilmu pengetahuan harus
mendapat tempat yang utuh, eksistensi ilmu pengetahuan bukan selalu mendesak
kemanusiaan, tetapi kemanusiaanlah yang menggenggam ilmu pengetahuan untuk
kepentingan dirinya dalam rangka penghambaan diri kepada Sang Pencipta.9[9]
B. Aksiologi Dalam Pandangan Aliran-Aliran Filsafat
Aksiologi dalam pandangan aliran filsafat dipengaruhi oleh cara pandang dan pemikiran
filsafat yang dianut oleh masing-masing aliran filsafat, yakni :
1. Pandangan Aksiologi Progresivisme
8[8] Asmoro Achmadi, Filsafat Umum; Edisi revisi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 16.
9[9] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet ke-11, 2012), hlm. 173.
Tokoh yang berpengaruh dalam aliran ini adalah William James (1842-1910), Hans
Vahinger, Ferdinant Sciller, Georger Santayana, dan Jhon Dewey. Menurut progressivisme,
nilai timbul karena manusia mempunyai bahasa. dengan demikian, adanya pergaulan dalam
masyarakat dapat menimbulkan nilai-nilai. Bahasa adalah sarana ekspresi yang berasal dari
dorongan, kehendak, perasaan, dan kecerdasan dan individu-individu. Dalam hubungan ini
kecerdasan merupakan faktor utama yang mempunyai kedudukan sentral. Kecerdasan adalah
faktor yang dapat mempertahankan adanya hubungan antara manusia dan lingkungannya,
baik yang terwujud sebagai lingkungan fisik maupun kebudayaan atau manusia.
Dalam dimensi aksiologis dakwah ada tiga hal yang harus dicermati dan ketiganya akan
mengandung konsekuensi yang berbeda.
1. Perlu dijernihkan terlebih dahulu pemahaman dakwah sebagai ilmu pengetahuan atau sebagai
objek kajian atau bahkan sebuah ativitas konkrit.
2. Kesadaran akan pluralitas sebagai keniscayaan, yang meliputi:
10[10] The Liang Gie, Suatu Konsepsi Ke Arah Penertiban Bidang Filsafat, terj. Ali Mudhofir,
(Yogyakarta:Karya Kencana, 1977), hal. 144-145
Perbedaan kebudayaan antara wilayah tertentu dengan yang lain, kurun waktu tertentu dan
kurun waktu yang lain. Kondisi sosial-ekonomi tertentu dan kondisi yang lain. Histories
tertentu dan histories yang lain.
Adanya realitas bahwa diluar Islam ada komunitas lain seperti ahli kitab, orang musyrik dan
orang kafir. Yang dapat dilindungi (Dzimmi) atau diperangi tergantung kondisi yang ada.
Dakwah sebagai panggilan, ajakan dan komunikasi harus merupakan dialog bukan monolog.
Keterbukaan mejadi syarat mutlak, kesediaan untuk selalu diuji dan beradu argumen adalah
syarat aksiologis yang harus ada dalam setiap upaya menyampaikan nilai kebenaran.
Berdasarkan dari ketiga pendekatan tersebut yang dianggap lebih cocok dalam melihat
dan mendekati dakwah itu adalah pendekatan ketiga. Karena nampaknya pendekatan ketiga
lebih mampu untuk menghampiri nilai dakwah itu sendiri dan hal yang akan dicari adalah apa
yang ada dibalik dakwah atau ilmu dakwah itu sendiri. Dalam hal ini, nilai dakwah akan
dilihat dari kenyataan dalam kehidupan sosial dimana apakah masyarakat penerima dakwah
(mad’u) merasakan manfaat atau tidak dari kegiatan dakwah tersebut, hal ini dapat diukur
dengan ukuran yang jelas.
E. Upaya Menelusuri Nilai Dakwah Normatif
Dapat terlihat dimana pendekatan ketiga diatas berusaha untuk melihat nilai itu sendiri
dari segi esensi, artinya kita melihat nilai itu sendiri dari sudut ontologis, yakni bahwa nilai
sudah ada sejak semula, ia terdapat dalam sesuatu yang mungkin ada dan yang ada. Nilai
dakwah itu sendiri merupakan nilai intrinsik dimana esensinya harus dicari dan bukan
sekedar diberi nilai. Berikut ini ada beberapa penjelasan dalam menelusuri nilai dakwah itu
sendiri, yaitu :
1. Jika dilihat dari sudut ilmunya, maka yang muncul adalah nilai kebenaran dari pengetahuan
dakwah yang tentunya harus ada tolok ukur yang baku. Dari sudut ini, dapat dilihat dari
berbagai aspek, yaitu :
Koherensinya, yaitu dilihat dari hubungan antar konsep dalam pengetahuan tersebut.
Korespondensi, yakni sesuatu yang bernilai jika sesuatu itu sesuai dengan kenyataannya.
Empiris, berarti sesuatu itu benar atau bernilai jika didukung dengan bukti empiris.
2. Jika dilihat dari sudut empirik keberadaan dakwah itu sendiri dimana dakwah sebagai sebuah
proses. Dari sudut pandang ini, nilai dakwah dapat dilihat dari kenyataan dalam masyarakat,
yaitu adanya interaksi antara da’i, mad’u yaitu manusia yang menjadi sasaran dakwah, ajaran
berupa pesan dakwah, dan segala hal yang mendukung proses kegiatan dakwah. Dari sudut
ini, ada dua hal yang penting diyakini sebagai nilai dakwah yaitu sebagai berikut.
Nilai kerisalahan yaitu nilai kerisalahan yang digagas berdasarkan kepada Q.S. Yusuf ayat
108 dan Q.S. al-Furqan ayat 56. Dari aspek ini dapat dilihat dakwah itu sebagai penerus,
penyambung, dan menjelaskan fungsi dan tugas Rasul. Dalam hal ini, yang menjadi titik
sentral dalam melaksanakan tugas sepeninggal Nabi Muhammad SAW yaitu da’i. Dilihat dari
fungsi ini, maka da’i mengemban tugas yang besar sebagai agen pembangunan yang
berkewajiban menyampaikan ajaran Islam kepada umat manusia dan menjaga umat agar
tidak tergelincir ke dalam jurang bahaya. Dalam era global ini, seorang da’i berparan ganda
yaitu mampu menjadi benteng peradaban umat yang menyeleksi segala informasi dan
perubahan yang masuk dalam masyarakat dan mampu mengembangkan budaya lokal dan
pembaruan ajaran yang betentangan dengan Islam dan budaya lokal.
Nilai rahmat yaitu nilai rahmat ini berfungsi bahwa ajaran Islam itu harus memberi manfaat
bagi kehidupan umat dimana petunjuk bagi hati, obat spiritual, dan mengantarkan manusia
kepada kehidupan yang sejahtera lahir dan batin serta mampu menjadi rahmatan lil ‘alamin.
Berkaitan dengan ini, dakwah berusaha untuk menjabarkan materi yang bersifat normatif
yaitu al-Qur’an dan Hadist ke dalam konsep yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan.
Dalam hal ini, nilai dakwah harus mampu menerjemahkan ajaran Islam dalam konsep
kehidupan, mengimplementasikan konsel tersebut dalam kehidupan aktual yaitu individu,
keluarga, dan masyarakat. Jadi, dakwah berfungsi sebagai problem solving persoalan saat ini
dan mengantisipasi masalah yang muncul saat mendatang.
Berangkat dari penyataan nilai di atas, dapat kita jadikan batu loncatan untuk melakukan
penelusuran terhadap nilai dakwah. Upaya dalam menelusuri nilai dakwah diantaranya :
a. Jika dilihat dari sudut ilmunya, maka yang muncul adalah nilai kebenaran dari pengetahuan
dakwah tentunya harus ada tolok ukur yang baku, yaitu :
Koherensi antarkonsep dalam pengetahuan
Korespondensi, sesuatu itu bernilai jika sesuai dengan kenyataan
Empiris, sesuatu dikatakan bernilai jika dapat dibuktikan dengan cara empirik/ didapat dari
penelitian
Unsur pragmatis, bernilai jika ada manfaatnya
b. Sudut empirik keberadaan dakwah (dakwah sebagai proses). Nilai dakwah dilihat dalam
kenyataan hidup masyarakat, yakni adanya interaksi antara da’i, ajaran, umat manusia dan
segala hal yang mendukung proses dakwah. Ada dua hal penting yang sebaiknya diyakini
dalam nilai dakwah, yaitu: Pertama, Nilai kerisalahan, dakwah dilihat sebagai
penerus,penyambung dan menjalankan fungsi dan tugas Rasul. Kedua, Nilai rahmat dalam
dakwah, ajaran Islam harus memberikan manfaat bagi kehidupan umat. Sehubungan dengan
hal ini maka dakwah harus mampu menterjemahkan ajran Islam, mengimplementasikan
konsep ajaran dalam kehidupan sehari-hari. Dakwah dalam hal ini lebih menitikberatkan pada
tujuan dakwah secara oprasional entah itu output ataupun input dari kegiatan dakwah yang
dilaksanakan.
Dakwah dari aspek keilmuan dapat ditelusuri dari sejauh mana konsep-konsep dan teori
ilmu dakwah memberikan kontribusi bagi kehidupan manusia, baik sebagai individu,
kelompok sosial maupun bangsa.
Menurut Sambas, aksiologi ilmu dakwah adalah:
Mentransformasikan dan menjadi manhaj (kaifiyah) mewujudkan ajaran islam menjadi
tatanan Khoirul-Ummah
Mentransformasikan iman menjadi amal sholeh jamaah
Membangun dan mengembalikan tujaun hidup manusia, meneguhkan fungsi khilafah
manusia menurut Al-quran dan sunnah, oleh karena itu, ilmu dakwah dapat dipandang
sebagai perjuangan bagi ummat islam dan ilmu rekayasa masa depan umat dan peradaban
islam.
Dalam dimensi aksiologis dakwah ada tiga hal yang harus dicermati dan ketiganya akan
mengandung konsekuensi yang berbeda, yitu :
Perlu dijernihkan terlebih dahulu pemahaman dakwah sebagai ilmu pengetahuan atau
sebagai objek kajian atau bahkan sebuah ativitas konkrit.
Kesadaran akan pluralitas sebagai keniscayaan, yang meliputi:
o Perbedaan kebudayaan antara wilayah tertentu dengan yang lain, kurun waktu tertentu dan
kurun waktu yang lain. Kondisi sosial-ekonomi tertentu dan kondisi yang lain. Histories
tertentu dan histories yang lain.
o Adanya realitas bahwa diluar Islam ada komunitas lain seperti ahli kitab, orang musyrik dan
orang kafir. Yang dapat dilindungi (Dzimmi) atau diperangi tergantung kondisi yang ada.
Dakwah sebagai panggilan, ajakan dan komunikasi harus merupakan dialog bukan monolog.
Keterbukaan mejadi syarat mutlak, kesediaan untuk selalu diuji dan beradu argumen adalah
syarat aksiologis yang harus ada dalam setiap upaya menyampaikan nilai kebenaran.
2) Kejujuran
Rasulullah SAW merupakan teladan utama dalam kejujuran dan bahkanbeliau memiliki
sifat sidiq (jujur). Rasulullah SAW memerintahkan umatnya untuk berlaku jujur, sesuai
dengan sabda beliau :
الص ْد َق َي ْه ِدى ِإىَل الْرِب ِّ َوِإ َّن الْرِب َّ َي ْه ِدى ُ َع ْن َعْب ِد اللَّ ِه قَ َال قَ َال َر ُس
ِّ ِ َعلَْي ُك ْم ب: ول اللَّ ِه صلى اللّ ه عليه وسلم
ِّ الص ْد ِق فَِإ َّن
Artinya : “Hendaklah kamu semua bersikap jujur karena kejujuran membawa kepada
kebaikan, dan kebaikan membawa ke syurga, seseorang yang selalu jujur dan mencari
kejujuran akan ditulis oleh Allah SWT sebagai orang yang jujur, dan jauhilah sifat bohong
karena kebohongan membawa kepada kejahatan dan kejahatan membawa ke neraka. Orang
yang selalu berbohong dan mencari kebohongan akan ditulis oleh Allah SWT sebagai
pembohong” (HR. Muslim)
Kita bisa belajar dari umat yang dibinasakan oleh Allah SWT akibat tidak jujur dan
kejahatan lain yang dilakukannya, yaitu pada bangsa Madyan sebagaimana yang difirmankan
Allah SWT sebagai berikut :
ٍص وا الْ ِمكْيَ َال والْ ِم َيزا َن ِإيِّن َأرا ُكم خِب َرْي ٍ ِ ِ
ْ َ َ ُ اه ْم ُش َعْيبًا قَ َال يَا َق ْوم ْاعبُ ُدوا اللَّهَ َم ا لَ ُك ْم م ْن ِإلَ ه َغْي ُرهُ َوال َتْن ُق َ َوِإىَل َم ْديَ َن
ُ َأخ
ِ ِِ ِ ِ ِ ٍ ِ ٍ
َأش يَاءَ ُه ْم َوال
ْ َّاس
َ )ويَا َق ْوم َْأوفُوا الْمكْيَ َال َوالْم َيزا َن بالْق ْس ط َوال َتْب َخ ُس وا الن
َ ٨٤( اب َي ْوم حُم يط
َ اف َعلَْي ُك ْم َع َذ َ َوِإيِّن
ُ َأخ
Dari ayat di atas, ada tiga hal penting yang bisa diterapkan dalam kehidupan kita untuk
memberantas ketidakjujuran dankejahatan lainnya, yaitu: Pertama, pelurusanakidah dengan
meyakini dan mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah SWT semata. Kedua, berprilaku
jujur dan jangan menyakiti orang lain. Ketiga, jangan merusak bumi, maksudnya bisa
diperluas bukan hanya arti sempitnya tetapi juga bisa dimaksudkan jangan merusak sistem
yang sudah dibangun dengan baik, akibat dari prilaku individu yang tidak jujur.
Begitupun Rasulullah SAW yang telah mencontohkan sejak kecil telah bekerja keras,
seperti mengembala kambing, berdagang dan berupaya sekuat tenaga untuk membebaskan
umat (kaum dhuafa) dari kemiskinan, kebebasan, perbudakan, eksploitasi kaum aghniya dan
sebagainya. Rasulullah SAW mengingatkan kita “yang paling aku khawatirkan dan takuti
terhadap umatku adalah suka membusungkan dada, banyak tidur dan malas bekerja”.
4) Kebersihan
Umat Islam sangat hafal sekali dengan hadist Nabi Muhammad SAW yang menyatakan
bahwa “Kebersihan adalah sebagian dari iman” (HR. Muslim). Sayangnya, hafalan tersebut
kurang diimbangi dengan praktikdi lapangan. Realitas tempat-tempat umum milik umat Islam
menunjukkan kurang terjaganya kebersihan, seperti masjid, mushalla, pondok pesantren,
asrama haji, majelis ta’lim dan sebagainya. Padahal, umat Islam sering kali diperkenalkan
dan dianjurkan untuk menjaga kebersihan. Setiap bahasan pertama tentang fiqih Islam
diawali dengan pembahasan tentang kebersihan seperti menghilangkan hadas besar dan kecil,
menggunakan air yang bersih lagi mensucikan, berwudhu dan lain sebagainya. Allah SWT
mengingatkan umat Islam untuk menjaga kebersihan (kesucian) jiwa dan juga kebersihan
yang bersifat fisik, dengan simbol untuk membersikan pakaian. Allah SWT berfirman :
ِ
َ َ)وثِيَاب
)٤( ك فَطَ ِّه ْر َ ٣( ك فَ َكِّب ْر َ ٢( )قُ ْم فََأنْذ ْر١( يَا َأيُّ َها الْ ُمدَّثُِّر
َ َّ)و َرب
Artinya : “Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan, dan
Tuhanmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah” (Q.S. Al-Muddatssir: 1-4)
Dengan demikian, menjaga kebersihan merupakan nilai dakwah universal yang dapat
dilakukan oleh siapa saja, apalagi umat Islam jelas-jelas memiliki dasar kuat untuk menjaga
kebersihan.
5) Kompetisi
Islam tidak melarang umatnya untuk berkompetisi, karena kompetisi merupakan salah
satu motivasi psikologis yang sangat umum dimiliki oleh setiap manusia. Setiap mahasiswa
akan memiliki motivasi untuk berkompetisi diantara teman-temannya. Meskipun masing-
masing individu berbeda dalam tingkatan motivasinya. Al-Qur’an telah menganjurkan umat
Islam untuk berkompetisi dalam peningkatan kualitas takwa, sebagaimana firman Allah SWT
:
)يُ ْس َق ْو َن ِم ْن َر ِحي ٍق٢٤( ض َرةَ النَّعِي ِم ِ ف يِف وج ِ )علَى ِئ ِ ِ
ْ َوه ِه ْم ن ُ ُ ُ )َت ْع ِر٢٣( األرا ك َيْنظُ ُرو َن
َ ْ ِإ َّن
َ ٢٢( األب َر َار لَفي نَعي ٍم
)٢٦( س الْ ُمَتنَافِ ُسو َن ِ ٍ خَمْت
ٌ )ختَ ُامهُ ِم ْس
َ ك َويِف ذَل
ِ َك َفْليََتنَاف ِ ٢٥( ومُ
Artinya :“Sesungguhnya orang yang berbakti itu benar-benar berada dalam keni'matan yang
besar (syurga), mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang. Kamu dapat
mengetahui dari wajah mereka kesenangan mereka yang penuh keni'matan. Mereka diberi
minum dari khamar murni yang dilak (tempatnya). laknya adalah kesturi; dan untuk yang
demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba” (Q.S. Al-Muthaffifin: 22-26)
Kebanyakan manusia biasanya melakukan kompetisi dalam urusan materi dan dunia yang
fana. Oleh karena itu, Rasulullah SAW mengingatkan agar umat Islam tidak berkompetisi
secara berlebihan dalam urusan dunia. Hal ini dapat menimbulkan konflik, dengki, rasa iri
dan menjauhkan dari ingat kepada Allah SWT. Sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya :
“Demi Allah, bukan kekafiran yang aku khawatirkan atas kalian, tetapi aku khawatir
kalau dunia disodorkan kepada kalian sebagaimana telah disodorkan kepada orang-orang
sebelum kalian. Lantas kalian berlomba-lomba (berkompetisi) sebagaimana mereka telah
melaukannya juga. Akhirnya dunia akan menghancurkan kalian, sebagaimana telah
membinasakan mereka semua” (HR. Bukhari)
Masih banyak lagi nilai-nilai dakwah yang bisa dikembangkan atau diturunkan dari
sumber ajaran Islam yakni Al-Qur’an dan al-Hadist, kami hanya mencontohkan sebagian
kecil dari nilai-nilai dakwah yang ada. Nilai-nilai dakwah yang berlaku universal tersebut
senantiasa disosialisasikan kepada masyarakat sehingga nilai-nilai tersebut menjadi
kebiasaan, tradisi atau norma yang berlaku dimasyarakat. Jika nilai-nilai dakwah universal
telah berkembang dan menjadi norma di masyarakat, maka nilai-nilai dakwah telah
memasuki tahap institusionalisasi atau pelembagaan. Dalam melaksankan proses
pelembagaan nilai-nilai dakwah, titik berangkatnya berasal dari pemahaman tentang konsepsi
dakwah menurut ajaran Islam. Di dalam konsepsi dakwah terkandung nilai-nilai yang akan
disosialisasikan dan ditanamkan kepada para pelaku dakwah. Nilai-nilai yang telah
menginternal dalam diri para pelaku dakwah akan terus dibawa dan dikembangkan melalui
interaksi sosial yang terjadi di organisasi dakwah dan terbentuk menjadi nilai-nilai dakwah.
Nilai-nilai dakwah tersebut akan terus-menerus dipraktikkan oleh para pelaku dakwah
menjadi kebiasaan dan tata aturan yang pada akhirnya melahirkan institusi.