A. Latar belakang
Oleh karenanya maka timbullah ilmu yang berhubungan dengan akal fikiran
yakni ilmu filsafat. Lapangan filsafat sendiri ada tiga yaitu Ontologi, Epistemologi
dan Aksiologi. Umat manusia dalam kegiatannya sejak dahulu kala hingga dewasa ini
pada umumnya mendambakan segala sesuatu yang benar, yang baik, dan yang indah.
Hal yang benar, hal yang baik, dan hal yang indah itu sebagai objek pemikiran tidak
lain adalah ide-ide kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Ketiga ide itu pada
umumnya menjadi dasar atau ukuran bagi seseorang dalam melakukan pertimbangan-
pertimbangan.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Nilai (Aksiologis)
2. Objek Kajian Nilai (Nilai Etika dan Nilai Estetika)
C. Tujuan
1. Mengetahui Pengertian Nilai
2. Mengetahui Kajian Nilai
1
BAB II PEMBAHASAN
Problem utama aksiologi ujar Runes berkaitan dengan empat faktor penting
sebagai berikut :
1. Kodrat nilai berupa problem mengenai : apakah nilai itu berasal dari
keinginan (voluntarisme : Spinoza), kesenangan (Hedonisme : Epicurus, bentham,
menong), kepentingan (perry) preferensi,keiinginan rasio murni, pemahaman
mengenai kualitas tersierpengalaman sinoptik kesatuan kepribadian, berbagai
pengalaman yang mendorong semangat hidup, relasi benda-benda sebagai sarana
untuk mencapai tujuan atau konsekuensi yang sungguh-sungguah dapat dijangkau.
3. Kriteria nilai, artinya ukuran untuk menguji nilai yng dipengaruhi sekaigusoleh
teori psikologi dan logika. Penganut hedonist menemukan bahwa ukuran nilai
terletak pada sejumlah kenikmatan yang dilakukan oleh seseorang (aristipus) atau
masyarakat (bentham).
2
B. Objek Aksiologis
Di lihat dari jenisnya paling tidak terdapat dua bagian umum dari aksiologi dalam
membangun filsafat, yaitu:
a. Nilai Etika
Nilai itu objektif ataukah subjektif adalah sangat tergantung dari hasil
pendangan yang muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif apabila subjek
sangat perperan dalam segala hal, kesadara manusia menjadi totok ukur segalanya,
maknanya dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan
penilaian tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat fisik atau psikis. Dengan
demikian nilai subjektif akan selalu memperhatikan berbagai pandangan akal budi
manusia, seperti perasaan, intelektualitas, dan hasil subjektif akan selalu mengarah
kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.[4] Misalnya, seorang
melihat matahari yang sedang terbenam di sore hari, akibat yang dimunculkannya
menimbulkan rasa senang karena melihat betapa indahnya matahari itu terbenam.
[5]
Nilai itu objektif, jika ia tidak bergantung pada subjek atau kesadaran yang
menilai. Nilai objektif selalu muncul karena adanya pandangan filsafat tentang
objektifisme. Objektivisme ini beranggapan pada tolak ukur suatu gagasan yang
berada pada objeknya, sesuatu yang memiliki kadar secara realitas dan benar-
3
benar ada. Misalnya, kebenaran tidak bergantung pada pendapat individu,
melainkan pada objektifitas fakta, kebenaran tidak di perkuat atau di perlemah
oleh prosedur-prosedur. Demikian juga dengan nilai, orang yang berselera rendah
tidak mengurangi keindahan sebuah karya.[6]
4
4) Etika diperlukan oleh penganut agama manapun untuk menemkan dasar
kemantapan dalam iman dan kepercayaan sekaligus memperluas wawasan
terhadap semua dimensi kehidupan masyarakat yang selalu berubah.
b. Nilai Estetika
Dalam banyak hal, satu atau lebih sifat-sifat dasar sudah dengan sendirinya
terkandung di dalam suatu pengetahuan apabila pengetahuan sudah lengkap
mengandung sifat-sifat dasar pembenaran, sistematik, dan intersubjektif.[9]
Perbedaan lain dari estetika adalah estetis filsafati dengan estetis ilmiah.
Melihat bahwa definisi estetika merupakan suatu persoalan filsafat yang sejak
5
dulu sampai sekarang cukup di perbincangkan para filsuf dan di berikan jawban
yang berbeda-beda. Perbedaan itu terlihat dari berlainannya sasaran yang
dikemukakan. The Liang Gie merumuska sasaran-sasaran itu adalah sebagai:
1. Keindahan.
5. Seni (Segi penciptaan dan kritik seni serta hubungan dan peranan seni).
6. Citarasa.
10. Benda estetis.
Estetis filsafati adalah estetis yang menelaah sasarannya secara filsafati dan
sering di sebut estetis tradisional. Estetis filsafati ada yang menyebut estetis
analitis, karena hanyalah mengurai. Hal ini dibedakan estetis yang empiris atau
estetis yang di pelajari secara ilmiah. Jadi, estetika ilmiah adalah estetis yang
menelaah estetis dengan metode-metode yang ilmiah, yang tidak lagi
merupakan cabang filsafat.[11]
6
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
a. Pengertian Nilai (Aksiologis)
b. Nilai Etika
c. Nilai Estetika
B. Saran - Saran
Makalah ini sangat jauh dari kata Sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan
agar para pembaca memberikan kritik dan saran kami harapkan demi kebaikan kita
bersama terutama bagi kami.Mengingat keterbatasan pengetahuan dan keterampilan yang
dimiliki oleh kami. kami menyarankan kepada pembaca agar menambah wawasannya
mengenai.mu’jizat al quran.
7
BAB V DAFTAR PUSTAKA
Susanto, A. Filsafat Ilmu : Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistemologi, dan
Aksiologis, (Bumi Aksara, jakarta : .2011)
[11] Ibid. Surajiyo. Hal 101-102