Anda di halaman 1dari 24

“Pengakuan Hukum Adat dalam Hukum Positif di Indonesia”

BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu Negara di dunia yang dapat dikatakan


kaya, baik dilihat dari kekayaan Sumber Daya Alam maupun dari banyaknya
suku – suku yang ada disetiap daerah. Setiap suku di Indonesia memiliki norma
dan nilai yang berbeda – beda yang hidup di dalam lingkungan masyarakatnya.
Dimana nilai dan norma yang diterapkan tersebut telah melekat dan ditaati oleh
masyarakat itu sendiri. Karena norma – norma merupakan aturan tingkah laku
manusia yang bentuknya tidak tertulis sehingga masyarakat tidak menyadari
bahwa norma tersebutlah yang disebut hukum adat. Meskipun tidak tertulis akan
tetapi masyarakat sangat menaati norma – norma tersebut.

Taatnya masyarakat dengan aturan tidak tertulis ini menunjukan bahwa


hukum adat itu ada sebelum hukum positif berada ditengah masyarakat, hukum
adat sendiri berfungsi untuk mengatur kehidupan masyarakat. Istilah Hukum
Adat pertama kali dikemukakan oleh Prof. Snouck Hurgrounje seorang ahli
sastra dalam timur di Belanda (1894). Sebelum istilah hukum adat berkembang,
dulu dikenal dengan istilah Adat Recht.

Hukum adat adalah hukum yang berkembang dalam masyarakat sehingga


sifatnya dinamis karena mengikuti perkembangan zaman dan mengikuti
kebutuhan masyarakat yang setiap saat dapat berubah. Bentuk dari hukum
adalah tidak dikodifikikasikan (disusun secara sistematis, bulat, tuntas dan
tuntas). Sehingga tidak mempunyai asas legalitas.
Dalam perjalanan sejarahnya Indonesia adalah Negara yang pernah dijajah
oleh bangsa – bangsa Eropa, termasuk Negara Belanda yang cukup lama
menjajah Indonesia. Selama masa penjajahan atau Indonesia dijajah Belanda,
terdapat pengingkaran terhadap eksistensi hukum adat sebagai hukum yang
digunakan untuk mengintegrasi organisasi kehidupan berskala antarlokal. Hal
ini terlihat dengan adanya asas konkordasi (menginduk) yang diberlakukan di
Indonesia
yang mengharuskan hukum yang digunakan adalah hukum Negara penjajah.
Hukum Negara penjajah pada waktu itu lebih ditunjukan sebagai hukum yang
tertulis yang berlaku sebagai hukum positif. Hukum yang berlaku pada masa ini
lah yang menyebabkan masyarakat Indonesia dibagi menjadi 3 Golongan.

Namun ketika Indonesia menyatakan diri sebagai negara yang merdeka


dan bebas dari penjajahan melalui sebuah proklamasi pada tanggal 17 Agustus
1945. Maka dapat diartikan kemerdekaan tersebut merupakan lahirnya negara
Indonesia yang berbentuk republik, lahirnya tata pemerintahan Indonesia,
lahirnya tata hukum Indonesia serta lahirnya sistem hukum di Indonesia. Oleh
sebab itu, bangsa Indonesia memiliki kewajiban untuk mengatur dirinya sendiri.
Hal tersebut dilakukan dengan cara pembentukan suatu sistem hukum, hukum
tersebut berisi tentang peraturan yang berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dan tata hukum tersebut harus bersumber dan berdasar atas pancasila dan UUD
1945. Dengan kata lain bahwa Tata Hukum Hindia Belanda tidak berlaku lagi di
Indonesia sehingga digantikan oleh Tata Hukum Republik Indonesia.

Pembentukan sistem hukum di Indonesia itu harus didasarkan pada


Pancasila dan UUD 1945. Akan tetapi, sebelum adanya hukum positif yang
bersifat unifikasi, yaitu suatu sistem hukum yang secara nasional dan berlaku
untuk seluruh rakyat Indonesia. Maka hukum yang diterapkan adalah hukum
yang bersumber pada nilai – nilai yang berlaku dimasyarakat itu sendiri. Hukum
tersebut merupakan hukum kebiasaan pada masyarakat setempat yang sangat
melekat dalam kebudayaan masyarakat itu. Hukum ini bentuknya tidak tertulis
tetapi sangat megikat dan ditaati. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk
membahas menegenai Pengakuan Hukum Adat dalam Hukum Positif di
Indonesia.
II. Rumusan Masalah

 Apakah perbedaan antara hukum adat dan hukum positif?

 Bagaimanakah pengakuan hukum adat sebagai hukum positif di Indonesia?

III. Tujuan

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah:

1. Mengetahui perbedaan antara hukum adat dan hukum positif.

2. Mengetahui pengakuan hukum adat sebagai hukum positif di Indonesia.


BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Perkembangan Sistem Hukum di Indonesia

1) Perkembangan Hukum di Indonesia pada Zaman Penundukan Belanda


dan Jepang

Hukum di Indonesia merupakan campuran dari hukum Eropa, hukum adat


dan hukum Islam. Hukum di Indonesia baik pidana maupun perdata yang berbasis
pada sistem hukum Eropa Continental karena dari aspek sejarahnya Indonesia
pernah dijajah diantaranya oleh Belanda. Sistem Hukum Eropa continental dianut
oleh negara, Spayol, Portugis dan lain- lain. Sistem hukum Eropa Continental ini
sumbernya berasal dari Romawi Kuno yang banyak berkembang di benua Eropa.
Sedangkan Hukum Indonesia dipengaruhi oleh hukum adat karena hukum adat itu
hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia sendiri yang sudah lama ada.
Hukum adat sendiri diserap kedalam yuriprudensi atau perundangan-perundangan
yang merupakan penerus aturan-aturan dan budaya masyarakat setempat. Karena
sepanjang sejarah Indonesia sendiri telah dijajah oleh negara seperti Belanda,
Jepang, dan Inggris. Dimana setiap negara penjajah berusaha untuk menanamkan
nilai-nilai dan tata hukum diwilayah jajahannya. Sedangkan wilayah jajahannya
sendiri telah memiliki tata nilai dan sistem hukum sendiri. Sehingga hukum
Indonesia menganut hukum adat. Kemudian Hukum di Indonesia juga menganut
hukum Islam karena sebagian besar penduduk Indonesia beragama Islam.

Ketika Indonesia dikuasai oleh pemerintah Belanda, pada saat itu


pemerintah Hindia Belanda mulai memberlakukan peraturan Perundang-undangan
baik yang sudah dikodifikasikan seperti Wvk, BW, Wvs dan yang belum
dikodifikasikan seperti RV dan HIR. Namun Pemerintah Hindia Belanda masih
memberlakukan hukum adat dan hukum lain bagi orang asing lain yang ada di
Indonesia. Pada tahun 1917 dengan adanya staatsblaad 1917 No. 21 memungkin
penduduk non Eropa untuk tunduk pada hukum Perdata dan hukum dagang
tersebut. Dan didalam peratutaran tersebut terdapat penundukkan diri yaitu:
1. Penundukan pada seluruh Hukum Perdata Eropa;

2. Penundukan pada sebagian hukum Perdata Eropa, yakni hanya pada hukum
kekayaan harta benda saja (vermogensrecht), seperti yang dinyatakan berlaku bagi
golongan Timur Asing bukan Tiong Hoa;

3. Penundukan secara diam-diam, yang mengandung maksud jika seorang bangsa


Indonesia asli melakukan suatu perbuatan hukum yang tidak dikenal didalam
hukumnya sendiri, ia dianggap secara diam-diam menundukkan dirinya pada
hukum Eropa.

Dengan demikian terdapat pluralisme hukum dan tidak ada unifikasi


hukum saat itu. Tetapi tidak dengan Wvs ( KUH Pidana) yang berlaku untuk
semua golongan. Sedangkan untuk badan peradilannya tidak untuk semua
golongan tetapi setiap golongan memiliki peradilannya sendiri. Pluralisme sendiri
memiliki definisi yaitu sebagai suatu kondisi yang terdapat lebih dari satu sistem
hukum dalam suatu lingkungan kehidupan sosial. Pluralisme sendiri merupakan
suatu kenyataan dalam kehidupan masyarakat karena setiap masyarakat memiliki
sistem tata hukum sendiri yang berbeda satu lain seperti dalam keluarga,
komunitas dan lain sebagainya. Pluralisme sendiri menyebabkan suatu konflik
karena akan menyebabkan kebingungan, hukum manakah yang akan digunakan
untuk menyelesaikan konflik tersebut dan bagaimana seseorang mengetahui
bagaimana menentukan hukum yang berlaku padanya. Pengertian pluralisme
sendiri memiliki pengertian yang berbeda dari masa ke masa yang memiliki
koeksistensi dan interelasi dengan berbagai agama seperti hukum adat, agama dan
hukum negara. Dan semakin komplek karena adanya globalisasi karena terkait
dengan perkembangan hukum internasional.

Pada tahun 1942 Indonesia dikuasai oleh pemerintah Jepang. Peraturan


penting yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang adalah peraturan mengenai
hukum pidana dan peraturan Osamu Sirei No 1 Tahun 1942 yang salah satu
pasalnya mengatur tentang lembaga pemerintahan dan hukum yang telah ada
sebelumnya tetap berlaku asalkan tidak bertentangan dengan hukum pemeritah
Jepang. Hal itu bertujuan untuk menghindari adanya kekosongan hukum di
Indonesia. Pemerintah Jepang membagi wilayah Indonesia menjadi 3 bagian yaitu
Jawa, Madura, Sumatera serta Indonesia bagian timur. DI Jawa dan Madura
berlaku peraturan Osamu Sirei yang mengatur mengenai wewenang badan
pemerintahan dan peraturan yang selama ini masih berlaku dinyatakan tetap
berlaku selama tidak bertentangan dengan peraturan Pemerintah Jepang. Dan
untuk wilayah lainnya diberlakukan aturan yang sama. Kontribusi Jepang yang
penting juga adalah tentang penghapusan dualisme peradilan sehingga Indonesia
memiliki hanya satu Peradilan. Sebagaimana halnya dengan badan Peradilan,
Jepang juga mengunifikasikan badan kejaksaan dengan membentuk Kenzatsu
Kyoku, yang diorganisasikan menurut 3 tingkatan Pengadilan. Reorganisasi badan
Peradilan dan Kejaksaan itu bertujuan untuk meniadakan kesan khusus bagi
orang-orang Eropa dihadapan Orang Asia.

Dalam situasi yang lebih mementingkan kepentingan berperang, Jepang


tidak banyak merubah ketentuan berlaku pada masa itu hanya merubah sebagian
ketentuan yang perlu diubah. Untuk Menjalankan roda pemerintahan dan
penegakan tata tertib hukum pemerintah Jepang mengangkat pejabat- pejabat yang
berasal dari orang-orang Indonesia untuk menjalankan hal tersebut. Namun
setelah Indonesia merdeka maka banyak peraturan Jepang yang dinyatakan tidak
berlaku.

2) Perkembangan Hukum di Indonesia Pasca Merdeka

Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 sering


disebut sebagai masa awal kemerdekaan. Pada awal kemerdekaan ini merupakan
salah satu perkembangan hukum Indonesia untuk memiliki tata hukum sendiri.
Tetapi Tata Hukum Pemerintahan Hindia Belanda menurut Indische Staatsblad
yang terdiri dari hukum barat, hukum agama dan hukum adat dinyatakan berlaku
dalam Tata Hukum Republik Indonesia berdasar pasal II Aturan Peralihan UUD
1945. Sebab pada waktu memproklamirkan kemerdekaan, Indonesia baru hanya
memiliki norma dasar yaitu proklamasi. Maka dari itu untuk mengisi kekosongan
hukum di Indonesia sehingga adanya kepastian hukum, Tata Hukum Hindia
Belanda diberlakukan sementara sebelum terbentuknya Hukum Nasional yang
bersumber dari Pancasila dan UUD 1945.Sejalan dengan beriringannya waktu
lembaga – lembaga Negara terutama lembaga legislatif telah berfungsi dan telah
membuat peraturan perundang-undangan yang disebut sebagai Hukum
Nasional.Maka sedikit demi sedikit untuk menggantikan tata hukum yang
bersumber dari Hindia Belanda dilakukan pembangunan hukum nasional yang
nantinya bersifat unifikasi.Unifikasi itu adalah sistem hukum yang berlaku secara
nasional dan berlaku untuk seluruh rakyat Republik Indonesia.

Berdasar asas konkordansi tata hukum Republik Indonesia mengikuti model


hukum Eropa Kontinental yaitu model hukum legisme, adanya kodifikasi dan
berbentuk undang-undang. Hal ini terbukti bahwa bangsa Indonesia lebih
mengutamakan atau lebih dominan mengenai undang-undang daripada hukum
kebiasaan.Oleh karena itu hukum kebiasaaan memiliki fungsi sebagai pelengkap
hukum undang-undang.

B. Perbedaan Hukum Adat dan Hukum Positif

1. Pengertian Hukum Adat

Hukum adat terdiri dari dua kata yaitu hukum dan adat. Hukum berasal
dari bahasa belanda yaitu recht , sedangkan Adat berasal dari bahasa arab yang
artinya kebiasaan. Sedangkan istilah hukum adat itu berasal dari terjemahan
bahasa Belanda yaitu Adat-recht, istilah ini pertama kali dikemukakan oleh
Snouck Hurgronje dan pernah dipakai oleh Van Vollenhoven dalam menulis
buku-bukunya yang mengenai hukum adat. Hukum adat itu merupakan istilah
yang digunakan untuk menyebut hukum yang berlaku bagi masyarakat asli
Indonesia.

Dalam arti sempit hukum adat adalah hukum asli yang tidak tertulis yang hidup
dalam kebiasaan masyarakat asli Indonesia dan dijadikan pedoman dalam
kehidupan sehari-hari, dalam hubungan antara orang yang satu dengan yang
lainnya.Disamping yang tidak tertulis ada juga yang tertulis seperti piagam,
prasasti, perintah-perintah raja. Dibawah ini beberapa definisi hukum adat
menurut para sarjana :

1. Van Vollenhoven
Menurut Van Vollenhoven Hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku
positif yang disatu pihak mempunyai sanksi (oleh karena itu “ hukum”) dan di
pihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasikan (oleh karena itu :”Adat”)

Jadi dapat diambil sebuah uraian yang jelas dari definisi tersebut bahwa, hukum
adat merupakan tingkah laku yang berdasarkan hukum yang berlaku disini dan
kini serta apabila melanggar akan ada sanksi sebagai reaksi dari pelanggaran
terebut namun tidak dibukukan secara tersusun seperti undang-undang.

2. Supomo

Menurut Supomo di dalam “Beberapa catatan mengenai Kedudukan Hukum Adat”

menulis antara lain:

Dalam tata hukum baru Indonesia baik kiranya guna menghindarkan salah
pengertian, istilah Hukum Adat dipakai sebagai sinonim dari hukum yang tidak
tertulis di dalam peraturan legislatief (non-statutory law); hukum yang hidup
sebagai konvensi di badan badan hukum Negara (parlemen, dewan – dewan
Propinsi dan sebagainya); hukum yang timbul karena putusan – putusan hakim
(Judgemade Law); hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang
dipertahankan di dalam pergaulan hidup, baik dikota kota maupun di desa desa
(Customary law); semua merupakan Adat atau hukum yang tidak tertulis yang
disebut oleh pasal 32 UUDS Tahun 1950.3

Jadi dapat disimpulkan bahwa menurut Supomo hukum adat bukan hanya yang
berkaitan dengan hukum yang hidup didalam masyarakat yang dijadikan
kebiasaan akan tetapi memahamkan bahwa hukum adat adalah hukum yang tidak
tertulis dalam arti hukum kebiasaan.

3. Sukanto

Menurut Sukanto dalam bukunya “ Meninjau Hukum Adat Indonesia” mengatakan


bahwa “ kompleks adat-adat inilah yang kebanyakan tidak dibukukan, tidak
dikodifikasikan dan bersifat paksaan (dwang), mempunyai akibat hukum
(rechtsgevolg) kompleks ini disebut Hukum Adat.

Jadi Hukum Adat merupakaan aturan adat yang tidak tertulis dan tidak
dikodifikasikan yang hidup dalam kebiasaan, kebudayaan, ketertiban masyarakat
dan apabila melanggar ada akibat hokum yang bersifat memaksa.

4. Ter Haar
Ter Haar adalah seorang sarjana hukum yang bekerja sebagai hakim Landraad di
Jawa. Sesuai dengan profesinya sebagai hakim maka Ter Haar akan memandang
hukum adat dari sudut pandang hakim. Ter Haar membuat dua perumusan yang
menunjukan pendapatnya tentang hukum adat yaitu :

a. Hukum adat lahir dan dipelihara oleh keputusan – keputusan ;


keputusan para warga masyrakat hukum, terutama keputusan
berwibawa dari kepala - kepala rakyat yang membantu pelaksanaan
perbuatan-perbuatan hukum ; atau dalam hal pertentangan
kepentingan keputusan para Hakim yang bertugas mengadili
sengketa, sepanjang keputusan – keputusan itu karena
kesewenangan atau kurang pengertian tidak bertentangan dengan
keyakinan hukum rakyat, melainkan senapas seirama dengan
kesadaran tersebut, diterima/ diakui atau setidak-tidaknya
ditoleransikan olehnya.

b. Hukum adat itu dengan mengabaikan bagian – bagiannya yang


tertulis yang terdiri dari peraturan – peraturan desa, surat – surat
perintah raja adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam
keputusan – keputusan para Fungsionaris Hukum (dalam arti luas)
yang mempunyai wibawa (Macht, Authority) serta pengaruh dan
yang dalam pelaksanaannya berlaku seta merta (spontan) dan

dipatuhi dengan sepenuh hati. (Fungsionaris disini terbatas pada


dua kekuasaan yaitu : Eksekutif dan Yudikatif). Dengan demikian
Hukum Adat yang berlaku itu hanya dapat diketahui dan dilihat
dalam bentuk keputusan – keputusan para fungsionaris hukum itu ;
bukan saja hakim tetapi juga Kepala Adat , rapat desa , wali tanah,
petugas- petugas dan lapangan Agama, petugas – petugas desa
lainnya. Keputusan itu bukan saja keputusan mengenai suatu
sengketa yang resmi, tetapi juga diluar itu berdasarkan kerukunan
(musyawarah). Keputusan- keputusan itu diambil berdasarkan
nilai- nilai yang hidup sesuai dengan alam rokhnai dan hidup
kemasyarakatan anggota- anggota persekutuan itu. Dalam
perumusan ter Haar ini tersimpul ajaran : Beslissingenleer (Ajaran
Keputusan).

Dari uraian diatas terlihat bahwa Ter Haar benar-benar melihat hukum adat
dari sudut pandang hakim, karena hakim ketika mengambil keputusan harus
melihat dari adat yang hidup di masyarakat. Tidak boleh bertentangan dengan apa
yang menjadi keyakinan hukum rakyat harus diambil dari nilai – nilai yang sesuai
dengan rokhani, kepercayaan serta kebudayaan masyarakat tersebut.

Dapat diambil kesimpulan dari pendapat tiga sarjana diatas mengenai


hukum adat adalah keseluruhan tingkah laku yang hidup dalam masyarakat asli
Indonesia, yang diambil dari nilai – nilai rokhani, kepercayaan serta kebudayaan
yang ada dalam masayarakat dan apabila melanggar ada sanksi sebagai reaksi dari
pelanggaran tesebut yang bersifat memaksa.

Corak hukum adat menurut Soepomo adalah :

 Mempunyai sifat kebersamaan yang kuat ; artinya manusia menurut


hukum adat, merupakan makhluk dalam ikatan kemasyarakatan yang
erat, rasa kebersamaan mana meliputi sebuah lapangan hukum ;

 Mempunyai corak magish- religi, yang berhubungan dengan


pandangan hidup alam Indonesia;

 Sistem hukum itu diliputi oleh pikiran serba konkrit, artinya


hukum adat sangat memperhatikan banyaknya dan berulang-
ulangnya hubungan yang kongkrit tadi dalam pengatur pergaulan
hidup;

 Hukum adat mempunyai sifat visual, artinya hubungan-hubungan


hukum dianggap hanya terjadi oleh karena ditetapkan dengan
suatu ikatan yang dapat dilihat ( atau tanda yang tampak ).

Pengertian Hukum Positif

Hukum positif merupakan hukum yang berlaku pada suatu wilayah dan
tempat tertentu. Setiap hukum positif pada tiap negara tentuanya berbeda-beda
dan beraneka ragam, termasuk di Indonesia. Hukum positif yang berlaku di
Indonesia terbagi menjadi dua bagian, hukum tertulis dan hukum tidak tertulis.
Hukum positif yang tertulis adalah hukum yang sumbernya di atur berdasarkan
peraturan perundang-undangan seperti kitab undang-undang hukum perdata
maupun kitab undang-undang hukum pidana. Namun sumber hukum tertulis yang
paling fundamental dan yang menjadi dasar peraturan perundang-undangan
lainnya adalah Undang-undang Dasar 1945. Sementara hukum tidak tertulis di
Indonesia bersumber pada kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dan diterapkan
secara turun temurun dan manjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat
atau suku-suku tertentu di Indonesia. Kebiasaan yang seperti itu di namakan adat
istiadat. Indonesia yang masyarakatnya tergolong menjadi masyarakat majemuk
memiliki masyarakat yang adat dan budayanya beraneka ragam, mulai dari sabang
sampai merauke. Adat dan kebiasaannya pun berbeda antara masyarakat yang satu
dengan masyarakat yang lainnya. Hukum adat merupakan kekayaan untuk
membangun hukum nasional tetapi bukan berarti hukum adat dipertahankan
dalam segi keutuhannya didalam hukum nasional. Hal ini pada gilirannya akan
muncul hukum nasional Indonesia
sebagai miliknya sendiri6. Agar penerapan hukum positif di Indonesia dapat
berjalan efektif maka perlu adanya kerjasama dari masyarakat untuk mematuhi
hukum positif di Indonesia secara seksama, namun bukan berarti menghilangkan
unsur-unsur hukum adat pula yang ada dan sudah lama tumbuk dalam masyarakat
adat di Indonesia. Sebab hukum adat juga berperan penting dalam membangun
dan menciptakan hukum positif di Indonesia.

Menurut Prof. Djojodigoeno hukum adalah suatu karya masyarakat


tertentu yang bertujuan tata yang adil dalam tingkah laku dan perbuatan orang
dalam perhubungan pamrihnya serta kesejahteraan masyarakat itu sendiri yang
menjadi substratumnya (dasarnya/alasannya). Menurutnya Hukum positif itu
merupakan ius constituendum karena hukum itu adanya untuk dilaksanakan,
sedangkan pelakasannanya masih diharapkan dan apabila sudah dilaksanakan
maka hukum akan ditinggal begitu saja hanya menjadi bekas7. Sedangkan menurut
pendapat yang lazim Hukum positif atau bisa dikenal dengan istilah Ius
Constitutum, adalah hukum yang berlaku sekarang bagi suatu masyarakat tertentu
dalam suatu daerah tertentu. Ada sarjana yang menamakan hukum positif itu
"Tata Hukum".Tata hukum sendiri berasal dari bahasa belanda. "recht orde" yaitu
susunan hukum, artinya memberikan tempat yang sebenarnya kepada
hukum.Maksud dari memberikan tempat sebenarnya adalah menyusun dan
membuat aturan – aturan hukum dengan baik dan teratur sehingga aturan tersebut
dapat digunakan secepat dan sebaik mungkin apabila menghadapi peristiwa
hukum.

Hukum Positif adalah kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis yang saat
ini sedang berlaku dan mengikat secara umum atau khusus untuk masyaraktnya
dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam negara
Indonesia.

Beberapa unsur yang terkandung dalam pengertian hukum, antara lain :

 Hukum sebagai himpunan peraturan-peraturan yang mengatur


kehidupan bermasyarakat, maksudnya adalah bahwa hukum itu dibuat
secara tertulis dan terdiri dari kaidah yang mengatur berbagai
kepentingan.

 Hukum dibuat oleh lembaga yang berwenang adalah bahwa hukum


merupakan produk dari lembaga yang telah diberi amanah untuk
membuat hukum.

 Hukum bersifat memaksa, yakni penegakan hukum dilaksanakan oleh


aparat yang memiliki kewenangan tertentu yang dapat memaksa orang
untuk mematuhi hukum.

 Hukum berisi perintah dan larangan adalah bahwa hukum memuat


perintah-perintah yang harus dilaksanakan dan larangan-larangan yang
harus ditinggalkan atau tidak boleh dilaksanakan.

 Hukum memberikan sanksi adalah apabila hukum tersebut dilanggar


maka pelanggar akan dikenakan sanksi dimana pemberian sanksi
terhadap pelanggar melalui sebuah proses yang juga diatur dalam
hukum.

Pengertian hukum yang diberikan diatas adalah pengertian hukum yang


bersifat positivisme dalam artian hukum positif, yakni hukum yang berlaku dalam
suatu negara yang dibentuk atas dasar kesepakatan bersama.

3) Pengakuan Hukum Adat dalam Hukum Positif di Indonesia

Hukum Adat merupakan hukum yang bersifat melengkapi hukum positif


sebagaimana yang diatur dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 sebelum
diamandemen yang menyebutkan bahwa, segala badan negara dan peraturan yang
ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang –
Undang Dasar ini. Dan disini segala peraturan yang sedang berlaku tersebut
merupakan hukum yang ada dalam masyarakat yaitu hukum adat. Hukum positif
adalah hukum tertulis yang salah satu sumber hukumnya adalah nilai – nilai yang
ada dalam masyarakat, sehingga hukum adat merupakan sumber hukum positif.

1.Kedudukan Hukum Adat dalam Prespektif UUD 1945


Konstitusi kita sebelum diamandemen belum menunjukkan adanya pengakuan dan
penggunaan istilah hukum adat. Namun apabila ditelaah maka rumusan-rumusan
dalam UUD 1945 sendiri itu mengandung nilai luhur dan Jiwa bangsa Indonesia
yang terdapat dalam hukum adat. Pembukaan UUD 1945 sendiri mencerminkan
kepribadian bangsa Indonesia yang hidup dalam nilai-nilai dan pola pikir hukum
adat. Hal itu dapat dilihat dari pasal yang terdapat dalam UUD 1945 yaitu pasal 29
(1) Negara berdasarkan Ketuhanan Manusia, pasal 33 (1) Perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan.

Namun setelah diamandemen hukum adat diakui sebagaimana dinyatakan dalam


UUD 1945 yaitu pasal 18 B ayat 2 yaitu : Negara menagkui dan menghormati
kesatuan–kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Uundang-undang. Dalam
memberikan tafsiran terhaddap ketentuan tersebut Jimly Ashiddiqie menyatakan
perlu diperhatikan bahwa pengakuan ini diberikan oleh Negara:

1. Kepada eksistensi suatu masyarakat hukum adat beserta hak-hak


tradisional yang dimilikinya;

2. Eksistensi yang diakui adalah eksistensi kesatuan-kesatuan masyarakat


hukum adat. Artinya pengakuan diberikan kepada satu persatu dari
kesatuan-kesatuan tersebut dan karenanya masyarakat hukum adat itu
haruslah tertentu;

3. Masyarakat hukum adat itu memang hidup ( masih hidup )

4. Dalam lingkungannya yang tertentu pula;

5. Pengakuan dan penghormatan itu diberikan tanpa mengabaikan ukuran-


ukuran kelayakan bagi kemanusiaan sesuai dengan tingkat
perkembangan keberadaaan bangsa. Misalnya tradisi-tradisi tertentu
yang memang tidak layak lagi dipertahankan tidak boleh dibiarkan
tidak mengikuti arus kemajuan peradaban hanya karena alasan
sentimentil;
6. Pengakuan dan penghormatan itu tidak boleh mengurangi makna
Indonesia sebagai suatu negara yang berbentuk Negara Kesatuan
Republik Indonesia.

Memahami rumusan pasal 18 B UUD 1945 tersebut maka:

1. Konstitusi menjamin kesatuan masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya;

2. Jaminan Konstitusi sepanjang hukum adat itu masih hidup;

3. Sesuai dengan perkembangan masyarakat,dan;

4. Sesuai dengan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia;

5. Diatur dalam undang-undang

Dengan demikian konstitusi ini, memberikan jaminan pengakuan dan


penghormatan hukum adat apabila memenuhi syarat :

1. Syarat realitas, yaitu hukum adat masih hidup dan sesuai perkembangan
masyarakat.

2. Syarat idealitas,yaitu sesuai dengan prinsip negara Kesatuan Republik


Indonesia dan keberlakuan diatur dalam UU.

Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa “ identitas budaya dan hak
masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan
peradaban.” Sebagaimana penjelasan UU No 39 Tahun 1999 ( TLN No. 3886)
pasal 6 ayat (1) menyebutkan bahwa hak adat harus dihormati dan dilindungi
dalam rangka perlindungan dan penegakan hak asasi Manusia dalam masyarakat
bersangkutan dalam memperhatikan hukum dan peraturan Per Undang-undangan.
Selanjutnya penjelasan, pasal 6 ayat 2 menyatakan dalam rangka penegakan Hak
Asasi Manusia, identitas budaya nasional masyarakat hukum adat yang masih
secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat, tetap dihormati dan
dilindungi sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas Negara Hukum yang
berintikan keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Dalam ketentuan tersebut,
bahwa hak adat termasuk hak atas tanah adat dalam artian harus dihormati dan
dilindungi sesuai dengan perkembangan zaman, ditegaskan bahwa pengakuan itu
dilakukan terhadap hak adat yang secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat
hukum adat setempat.

C. Contoh Pengakuan Adat oleh Hukum Positif Di Indonesia

Berbicara persoalan penegak hukum adat Indonesia, ini memang sangat


mendasar karena adat merupakan salah satu cermin bagi bangsa, adat merupakan
identitas bagi bangsa, dan identitas bagi tiap daerah. Dalam kasus salah satu adat
suku Nuaulu yang terletak di daerah Maluku Tengah, ini butuh kajian adat yang
sangat mendetail lagi, persoalan kemudian adalah pada saat ritual adat suku
tersebut, dimana proses adat itu membutuhkan kepala manusia sebagai alat atau
prangkat proses ritual adat suku Nuaulu tersebut.. Dalam penjatuhan pidana oleh
salah satu Hakim pada Perngadilan Negeri Masohi di Maluku Tengah, ini pada
penjatuhan hukuman mati, sementara dalam Undang-undang Kekuasaan
Kehakiman Nomor 4 tahun 2004. dalam Pasal 28 hakim harus melihat atau
mempelajari kebiasaan atau adat setempat dalam menjatuhan putusan pidana
terhadap kasus yang berkaitan dengan adat setempat.

Dalam kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional dan dikarenakan


tuntutan masyarakat adat maka pada tanggal 24 Juni 1999, telah diterbitkan
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5
Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat
Hukum Adat.

Peraturan ini dimaksudkan untuk menyediakan pedoman dalam pengaturan


dan pengambilan kebijaksanaan operasional bidang pertanahan serta langkah-
langkah penyelesaian masalah yang menyangkut tanah ulayat.
Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan
terhadap "hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat"
sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA. Kebijaksanaan tersebut meliputi

 Penyamaan persepsi mengenai "hak ulayat" (Pasal 1)

 Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang
serupa dari masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan 5).

 Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal


3 dan 4)

Pengakuan hukum Adat dalam hukum positif di Indonesia juga terlihat


dalam hukum adat perkawinan, dimana perkawinan yang dilakukan oleh kedua
pihak mempelai biasanya atas dasar perjodohan yang ditentukan oleh orang tua
dari masing-masing anak. Perkawinan semacam ini sudah dilakukan oleh para
pendahulu turun temurun sampai sekarang (dibeberapa tempat yang masih kuat
hukum adatnya). Filosofinya adalah perkawinan tersebut tidak hanya
menghubungkan dua manusia saja, akan tetapi persatuan dua keluarga dan
mengeratkan hubungan.

Namun, fakta membuktikan adanya benturan-benturan hukum yang terjadi


antara masalah perkawinan adat yang memperbolehkan melakukan perkawinan di
usia baligh walaupun si laki-laki belum mencapai usia 19 tahun dan si wanita usia
16 tahun, dengan hukum positif yang diatur oleh UU No. 1 Tahun 1974 yang
menentukan batasan umur minimal 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi
perempuan. Sehingga dari pasal tersebut bisa kita lihat bahwa hukum positif tidak
memperbolehkan perkawinan di bawah umur minimal. Hukum positif mengatur
hal tersebut mengharapkan agar orang yang akan menikah sudah memiliki
kematangan dalam menghadapi kehidupan, sehingga tidak terjadi penyesalan di
akhir kemudian seperti perceraian.
Akan tetapi, perkawinan adat tetap bisa dijalankan meskipun terpaksa
karena UU No. 1 Tahun 1974 masih memungkinkan akan terjadi penyimpangan.
Melihat pada saat ini cara pikir masyarakat Indonesia yang melakukan
penyimpangan-penyimpangan karena salah mengadopsi pemikiran-pemikiran
yang glamour. Maka dari itu dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974, bagi
yang ingin melakukan perkawinan (adat) dibawah umur pengadilan memberikan
dispensasi.

Adat seperti ini akan banyak kita temui saat ini di daerah pedalaman-
pedalaman yang masih belum tersentuh modernisasi. Dan dapat dilihat hasilnya,
minim pengetahuan namun memiliki kekuatan budaya yang kuat sehingga
kehidupan yang dijalani tidak seperti orang modern yang cerai-cerai semakin
marak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hukum adat yang ada sebenarnya
adalah demi kemaslahatan langgengnya sebuah perkawinan, artinya
pengkondisian yang ada di hukum adat merupakan dasar-dasar yang meminimkan
masalah yang akan timbul di kemudian hari. Jadi, hukum Adat pun menjadi salah
satu pertimbangan dalam pembuatan Hukum poisitif di Indonesia.
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Hukum adat merupkan hukum yang telah ada dan telah hidup lama dan
mendarah daging di dalam masyarakat adat. Hukum adat merupakan sekumpulan
kebiasaan masyarakat adat yang telah di patuhi secara turun-temurun dan
mempunyai sanksi tersendiri berupa sanksi moral bagi masyarakat adat yang hidup
dan tinggal di wilayah tertentu. Kebanyakan pengaturan hukum adat tersebut tidak
dikodifikasikan.

Ketika Indonesia merdeka, maka disitulah wujud dari adanya suatu negara
baru dengan sistem pemerintahan yang baru. Dari sinilah makan muncul
pemikiran untuk menyatukan beberapa aturan hukum adat menjadi satu kesatuan
hukum yaitu dengan unifikasi hukum dengan cara membentuk hukum positif.
Tujuan di bentuknya suatu unifikasi hukum ini adalah untuk menghindari
pluralisme hukum sehingga ketika terjadi suatu konflik maka hukum yang di
gunakan adalah hukum positif.

Ketika adanya suatu hukum positif di Indonesia sebenarnya posisi hukum


adat itu masih di akui oleh masing-masing daerah, hanya saja hukum adat yang
berlaku tersebut merupakan hukum pelengkap (unfullen recht). Hal itu dapat di
lihat dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 18 B dan yang tercantum di UUPA.

Anda mungkin juga menyukai