Anda di halaman 1dari 20

Jejak Eksistensi dan Pengakuan Hukum Adat dalam Sistem Hukum

Indonesia

Tugas Penulisan Ilmiah

Muhamad Rizky Maulana

2306230060

Fakultas Hukum, Universitas Indonesia


Abstrak

Indonesia mempunyai tiga jenis hukum yang berlaku dalam sistem hukumnya, yaitu Hukum
Nasional, Hukum Islam, dan Hukum Adat. Hukum adat sebagai salah satu bentuk pluralisme
hukum yang ada di Indonesia tentunya mempunyai kedudukan dalam sistem hukum Indonesia.
Kedudukan tersebut dapat berupa fungsi maupun acuan referensi bagi Hukum Nasional. Hukum
Adat pun jejak eksistensinya sudah ada bahkan sebelum Indonesia berdiri. Hal tersebut
menggambarkan bahwa Hukum Adat secara tidak langsung sudah menyerap pola-pola sosial
yang terkandung dalam masyarakat Indonesia. Hukum Eropa Kontinental yang sempat
diberlakukan di Indonesia pun tetap mengakui adanya Hukum Adat sebagai bagian dari bangsa
Indonesia. Hukum Aadat diberlakukan untuk memberikan aturan-aturan terhadap warga
bumiputera pada masa penjajahan Belanda.Sementara itu, warga Belanda dan Eropa lainnya
tetap menggunakan Hukum Eropa yang berkiblat pada negara Belanda. Selanjutnya, Hukum
Adat yang sudah mengalami sepak terjang yang begitu hebat tentunya akan sia-sia jika hanya
dibiarkan begitu saja dan tidak dianggap. Usaha dalam mengakui dan mempertahankan Hukum
Adat pun harus disadari oleh Pemerintah Negara merupakan suatu kewajiban. Hal tersebut
dikarenakan dengan adanya pengakuan maka Hukum Adat dapat memiliki kepastian hukum dan
hak-hak masyarakat adat di dalamnya dapat terjaga. Selain itu, dengan adanya pengakuan dan
perlindungan terhadap Hukum Adat sama saja menjaga budaya Indonesia. Hal tersebut
dikarenakan Hukum Adat dapat dikatakan sebagai kebudayaan yang berasal dari bangsa
Indonesia.

Abstract

Indonesia has three types of law that apply in its legal system, namely National Law, Islamic Law
and Adat Law. Adat law as a form of legal pluralism in Indonesia certainly has a position in the
Indonesian legal system. This position can be a function or reference point for National Law.
Adat law has traces of its existence even before Indonesia was founded. This illustrates that Adat
Law has indirectly absorbed the social patterns contained in Indonesian society. Continental
European law, which was once applied in Indonesia, still recognizes the existence of Adat Law as
part of the Indonesian nation. Adat Law was implemented to provide rules for native people
during the Dutch colonial period. Meanwhile, Dutch and other European citizens continued to
use European Law which was oriented towards the Dutch state. Furthermore, Adat Law which
has experienced such extraordinary progress will certainly be in vain if it is just left alone and
not considered. Efforts to recognize and maintain Adat Law must also be realized by the State
Government as an obligation. This is because with recognition, Adat law can have legal
certainty and the rights of indigenous peoples in it can be maintained. Apart from that, the
recognition and protection of Adat Law is the same as protecting Indonesian culture. This is
because Adat Law can be said to be a culture that originates from the Indonesian nation.
DAFTAR ISI
BAB I...........................................................................................1
1.1 PENDAHULUAN...............................................................1
1.2 RUMUSAN MASALAH....................................................2
1.3 METODE PENELITIAN....................................................3
BAB II..........................................................................................4
2.1 TINJAUAN PUSTAKA......................................................4
BAB III........................................................................................6
3.1 Jejak Eksistensi Hukum Adat di Indonesia.........................6
3.2 Pengakuan Hukum Adat pada Sistem Hukum Indonesia..10
3.3 Peran Hukum Adat dalam Sistem Hukum di Indonesia....12
BAB IV......................................................................................14
4.1 KESIMPULAN.................................................................14
DAFTAR PUSTAKA.................................................................15
BAB I
1.1 PENDAHULUAN
Hukum adat secara istilah pertama kali diperkenalkan oleh Snouck Hurgronje pada tahun
1983 yang ditulis dalam bukunya berjudul De Atjehnese.1 Van Vollenhoven dalam bukunya yang
berjudul Adatrecht, memberikan hukum adat suatu pengertian secara teknis yuridis. Vollenhoven
mengatakan bahwa hukum adat merupakan hukum yang ada dan berlaku bagi rakyat Indonesia
pribumi. Selain itu, hukum adat dijadikan Vollenhoven sebagai ilmu pengetahuan hukum positif
dan dijadikan mata kuliah. Selanjutnya, hukum adat juga diangkat sebagai hukum yang harus
diterapkan oleh gubernemen.2

Bersandar pada kenyataan yang ada, rakyat bangsa Indonesia hidup dalam negara yang
mempunyai keberagaman dan serba plural dalam segi apapun, baik dari segi agama, suku,
budaya, adat istiadat, ras, golongan, dan bahkan hukum. Pluralitas tersebut terbentuk tidak
dengan sendirinya, tetapi dipengaruhi oleh beberapa faktor yang salah satunya adalah kondisi
geografis.3 Indonesia sendiri yang merupakan negara kepulauan terdiri atas ribuan pulau baik
besar maupun kecil. Hubungan yang ada antar pulau tersebut tidaklah mudah sehingga
mengakibatkan beberapa pulau seolah terisolasi oleh satu dengan yang lainnya. Selain itu,
pluralitas pun terjadi di bidang hukum, dimana hukum tersebut hadir disamping produk hukum
yang diproduksi oleh negara Indonesia yang dibentuk melalui proses pembentukan peraturan
perundang-undangan nasional. Hukum tersebut adalah hukum adat yang sudah eksis dan dianut
oleh bangsa Indonesia (yang dalam hal ini adalah rakyatnya) jauh sebelum datangnya hukum
Islam dan Hukum Barat yang dibawa oleh Bangsa Belanda.4

Masyarakat hukum adat atau adat rechtgemeenschappen mempunyai makna yang sama
dengan desa atau volks gemeenschappen yang diatur dengan dua buah ordonansi desa, pada
wilayah ordonansi untuk wilayah pulau Jawa dan lainnya di luar wilayah pulau Jawa. Ordonansi
tersebut menghormati hak-hak tradisional Masyarakat hukum adat, sehingga desa dan
Masyarakat hukum adat disebut sebagai republik-republik desa (dorps republiek).5 Menurut buku
“Seri Hak Masyarakat Hukum Adat: Inventarisasi dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum
1
Mahdi Syahbandir, “Kedudukan Hukum Adat dalam Sistem Hukum,” KANUN, No. 50 (2010), hlm. 2.
2
Ibid.
3
Winardi, “Eksistensi dan Kedudukan Hukum Adat dalam Pergumulan Politik Hukum Nasional,” Widya Yuridika:
Jurnal Hukum, Vol. 3, No. 1 (2020), hlm. 95.
4
Ibid, hlm. 96.
Adat,” yang ditulis oleh Saafroedin Bahar menjelaskan bahwa terdapat empat fungsi yang
berkaitan tentang hak-hak tradisional dalam persekutuan masyarakat pedesaan demi terjaganya
tata harmoni antara Masyarakat dengan tata semesta meliputi: fungsi pemerintahan, fungsi
pemeliharaan roh, fungsi pemeliharaan agama, fungsi pembinaan hukum adat.6

Pada dasarnya Masyarakat Indonesia hidup di dalam sistem hukum yang beragam.
Terdapat tiga sistem hukum yang hidup di Tengah masyarakat Indonesia, yaitu Hukum Islam,
Hukum Adat, dan Hukum Eropa Kontinental. Ketiga hukum yang sangat berbeda tersebut saling
berputar pada poros orbitnya masing-masing dalam sistem hukum di Indonesia. Hukum Adat
merupakan hukum yang sudah ada dan tertanam pada setiap jiwa masyarakat Indonesia yang
menganutnya secara turun temurun sehingga mengakar dan menjadi hukum. Namun, Hukum
Adat perlu dipahami berbeda antar satu wilayah kekuasaan kelompok dengan wilayah kekuasaan
kelompok lainnya. Hukum Adat desa Osing di Banyuwangi misalnya, Hukum Adat tersebut
bukan berarti berlaku secara universal terhadap setiap desa Osing yang berada di Banyuwangi
tetapi berbeda hukumnya antar satu desa Osing dengan desa Osing lainnya. Sementara itu,
Hukum Kontinental Eropa yang Indonesia gunakan dalam sistem hukumnya, khususnya hukum
pidana dan perdata merupakan produk yang dibawa oleh Bangsa Belanda saat menjajah
Indonesia pada zaman dahulu. Hukum ini dibawa untuk mengatur perdagangan yang terjadi pada
masa penjajahan karena tidak adanya kepastian hukum yang berlaku.

1.2 RUMUSAN MASALAH


Pada penulisan karya ilmiah ini terdapat beberapa rumusan masalah, diantaranya adalah:

1. Bagaimana jejak eksistensi Hukum Adat di Indonesia dari masa ke masa?


2. Bagaimana pengakuan mengenai Hukum Adat di dalam sistem hukum di Indonesia?
3. Apa peran Hukum Adat dalam sistem hukum di Indonesia?

5
Irfan Nur Rahman Anna Triningsih, Alia Harumdani W., dan Nallom Kurniawan, “Dasar Pertimbangan Yuridis
Kedudukan Hukum (Legal Standing) Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Proses Pengujian Undang-Undang
di Mahkamah Konstitusi,” Jurnal Konstitusi, Vol. 8, No. 5 (2011), hlm. 769.
6
Ibid, 770.
1.3 METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan jenis metode kualitatif yang akan mengedepankan analisis
dan/atau deskriptif melalui sumber-sumber yang sudah ada dan dikembangkan dengan analisis.
Kemudian, hasil analisis tersebut digabungkan kedalam karya ilmiah ini.
BAB II
2.1 TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian ini akan mengangkat mengenai eksistensi Hukum Adat dalam sistem hukum
Indonesia. Mengenai hal tersebut, kita perlu melihat kembali sejarah Hukum Adat di Indonesia.
Berdasarkan pada sejarahnya, saat bangsa Eropa melakukan “ekspansi” ke benua Afrika dan
Asia, mereka menemukan beragam hukum yang dianut oleh warga “primitif” (pribumi), terlebih
ketika mereka melangsungkan kolonisasi pada benua tersebut. 7 Hukum Adat merupakan dua kata
yang diberikan oleh koloni lawan untuk mendeskripsikan tentang hukum asli dan kebiasaan yang
berlaku di masyarakat Indonesia pada masa itu. Hukum Adat sendiri telah diakui dari lama
keberadaannya oleh pemerintah Belanda dan institusi pendidikan pada saat itu ikut
mempengaruhi terhadap pengakuan dari eksistensi Hukum Adat. Selain itu, Hukum Adat pun
pada masa itu telah dipadukam dengan sistem hukum lainnya dalam persidangan.8
Pada masa orde baru, secara implisit mengatakan bahwa Hukum Adat yang merupakan
hukum yang tumbuh dan juga berkembang berdasarkan kondisi masyarakat yang ada di
Indonesia merupakan suatu penghambat bagi laju pembangunan nasional sehingga
membutuhkan suatu upaya dalam melakukan modernisasi pada hukum tersebut. Maka dari itu,
hukum yang lebih modern dipaksakan untuk diterapkan agar membuka peluang industrialisasi
dan bisnis.9 Selain itu, pada masa reformasi hukum nasional yang mengikat seluruh lapisan
Masyarakat di Indonesia sudah diterapkan dan berjalan. Sementara itu, hukum nasional tersebut
dirasa kurang memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat hukum adat sehingga terjadilah Kongres
Masyarakat Adat yang menginginkan adanya tata ulang bagi posisi masyarakat adat terhadap
negara dan menghasilkan Keputusan Kongres Masyarakat Adat Nomor 02/KMAN/1999 pada
tanggal 21 Maret 1999.10 Pada era modern, Hukum Adat diakui pada Pasal 18B Undang-Undang
Dasar 1945 (UUD 1945) yang menyatakan bahwa negara mengakui keberadaan masyarakat
Hukum Adat dan hak-hak tradisionalnya. Selain itu, Hukum Adat keberadaannya semakin kuat
ketika Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mendeklarasikan tentang adanya hak-hak masyarakat
adat, yakni “Mengakui dan menegaskan kembali bahwa warga-warga masyarakat adat diakui,
tanpa perbedaan dalam semua hak-hak asasi manusia yang diakui dalam Hukum Internasional
dan masyarakat memiliki hak kolektif yang sangat diperlukan bagi kehidupan dan keberadaan
mereka.”11
Hukum Adat yang merupakan kebudayaan dari bangsa Indonesia karena merupakan
hukum yang berasal dari perkembangan hidup masyarakat asli Indonesia. Maka dari itu,
Ketetapan MPRS No.II/MPRS/1960, menetapkan Hukum Adat sebagai asas-asas dalam
7
Max Gluckman, “Adat Law in Indonesia,” Journal of Comparative Legislation and International Law, Vol. 31, No.
3/4 (1949), Hal. 60.
8
Ibid, Hal. 61.
9
Sulaiman, “Mereposisi Cara Pandang Hukum Negara Terhadap Hukum Adat di Indonesia,” Jurnal Kajian Ilmu
Hukum dan Syariah, Vol. 2, No. 1 (2017), Hal. 26.
10
Abduk Mukmin, “Kedudukan Hukum Adat dalam Era Reformasi,” Yuriska Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 2, No. 2 (2020),
Hal. 8.
11
Achmad Asfi Burhannudin, “Eksistensi Hukum Adat di Era Modernisasi,” SALIMIYA: Jurnal Studi Ilmu Keagamaan
Islam, Vol. 2, No. 4 (2021), Hal. 107.
pembentukan Hukum Nasional. Hal tersebut semakin menegaskan bahwa pentingnya Hukum
Adat dalam pembentukan Hukum Nasional karena pembentukan Hukum Nasional akan baik
selama tidak menghambat perkembangan masyarakat, sehingga adil dan makmur merupakan
landasannya.12 Namun, perlu diketahui bahwa Hukum Adat yang dimaksud pada Ketetapan
MPRS diatas bukanah Hukum Adat yang masih pure bentuknya tetapi Hukum Adat yang telah
direkonstruksi sedemikian rupa.13 Maka dari itu, mengenai pengakuan Hukum Adat itu
diperlukan karena Hukum Adat yang lahir dari kebiasaan, tata laku, dan cerminan dari
masyarakat Indonesia itu sendiri perlu diakui keberadaannya terlebih ketika membuat Hukum
Nasional yang dimana akan menyangkut hak-hak dari masyarakat Indonesia itu sendiri. Hukum
Adat diperlukan agar Hukum Nasional memberikan rasa keadilan yang cukup dan juga
kesesuaian terhadap kehidupan masyarakat yang ada di Negara Indonesia.

BAB III
PEMBAHASAN
12
Sri Sudaryatmi, “Peranan Hukum Adat dalam Pembangunan Hukum Nasional di Era Globalisasi,” MMH, Jilid. 41,
No. 4 (2012), Hal. 574.
13
Marco Manarisip, “Eksistensi Pidana Adat dalam Hukum Nasional,” Lex Crimen, Vol. 1, No. 4 (2012), Hal. 32.
3.1 Jejak Eksistensi Hukum Adat di Indonesia
Manusia merupakan makhluk sosial dan berakal yang telah hidup di muka bumi selama
ribuan tahun. Manusia selain makhluk sosial, juga merupakan seorang individu yang satu dan
mempunyai kekuasaan penuh atas dirinya. Kemudian, manusia yang merupakan suatu individu
menempati suatu wilayah untuk bertahan hidup dan mencapai tujuannya. Manusia tersebut dapat
dikatakan sebagai manusia asli, pribumi, atau indigenous people. Kemudian, pribumi yang
dilihat sebagai individu ini membentuk perkumpulan dalam wilayah tersebut sehingga menjadi
kelompok pribumi atau indigenous people.

Kelompok pribumi atau indigenous groups merupakan sekelompok manusia yang telah
menempati suatu wilayah selama ratusan tahun, bahkan sebelum negara muncul sebagai suatu
“wujud”.14 Kelompok pribumi tersebut mempunyai struktur kekuasaan, upacara adat, agama, dan
adat istiadat sendiri.15 Selanjutnya, kebiasaan atau tata kelakuan dari Kelompok pribumi tersebut
diturunkan kepada anak sampai ke generasi selanjutnya, sehingga menjadikannya sebagai suatu
“keharusan” bagi para anggota kelompok pribumi tersebut. Akhirnya, “keharusan” tersebut lama
kelamaan menghadirkan suatu sanksi ketika dilanggar oleh anggota kelompok pribumi tersebut.
Sehingga, “keharusan” tersebut semakin lama menjadikannya mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat anggota-anggota kelompok masyarakat pribumi tersebut. Kemudian, menjadikannya
sebagai hukum adat.

Banyak yang mengartikan kata “adat” sebagai suatu tata kelakuan, tradisi, aturan, atau
praktik yang menjadikannya sebagai pedoman dalam hidup bersosial dan dalam pengambilan
keputusan dalam kelompok masyarakat pribumi tersebut, khususnya dalam hal ini kelompok
masyarakat pribumi di Indonesia yang kemudian akan disebut sebagai kelompok masyarakat
adat.16 Hukum adat dapat dikatakan sebagai sistem hukum yang berbasis etnik, dimana hukum
adat sudah menguraikan mengenai kewajiban-kewajiban yang membebani anggota kelompoknya
dan juga menguraikan tentang harapan dari kehidupan sosial dan ekonomi, meliputi pernikahan,
warisan, kepemilikan tanah, dan penyelesaian sengketa.17

14
M. Ya’kub Aiyub Kadir, “Defining ‘People’ and ‘Indigenous People’ in International Human Rights Law and Its
Application in Indonesia,” International Journal on Minority and Group Rights, Vol. 26, No. 3 (2019), hlm. 373.
15
Ibid.
16
Alison M. Buttenheim and Jenna Nobles, “Ethnic diversity, traditional norms, and marriage behaviour in
Indonesia,” Population Studies, Vol. 63, No. 3 (2009), hlm. 279.
17
Ibid.
Indonesia yang mempunyai banyak sekali ras, suku, dan bangsa yang tersebar di seluruh
wilayah Indonesia mengakibatkan Indonesia mempunyai banyak sekali hukum adat. Hukum adat
pun perlu dipahami bahwa hukum tersebut bagi setiap kelompok masyarakat adat tentu saja
berbeda. Hal tersebut dikarenakan pengertian dari “adat” itu sendiri yang merupakan tata
kelakuan dari suatu kelompok masyarakat adat. Selanjutnya dapat diartikan bahwa hukum adat
merupakan suatu aturan yang mengikat anggota-anggota kelompok masyarakat adat yang tunduk
pada hukum adat tersebut dan kekuatan mengikatnya hanya terbatas pada kelompok masyarakat
adat tersebut.

Hukum adat mempunyai sejarah panjang di Indonesia, jika ditarik sejarahnya, bahkan
sebelum Pemerintah Belanda menerapkan pembagian Indonesia ke 17 wilayah “area hukum
adat”.18 Kelompok masyarakat adat di Borneo, yaitu Suku Dayak Bentian mengatakan bahwa
hukum adat merupakan sumber penting bagi mereka, khususnya penguasa dalam menyelesaikan
konflik atau menetapkan kewajiban sosial bagi anggota-anggota sukunya. 19 Namun, dalam
keadaan yang sama, adat sendiri dapat dinegosiasikan. Hal tersebut karena Suku Dayak Bentian
pun sering berselisih mengenai apa hukum adat itu sendiri dan sangat memungkinkan bahwa
sebenarnya mereka menafsirkan hukum adat itu sendiri sesuai dengan keadaan-keadaan tertentu.
20
Sehingga, berdasarkan peristiwa tersebut dapat disimpulkan bahwa hukum adat merupakan
frame yang dapat digunakan oleh kelompok masyarakat adat sebagai suatu pilihan bagi mereka
dalam memutuskan sesuatu dan/atau ketika mereka melakukan suatu kegiatan. 21

Hukum adat sendiri secara istilah sudah pernah dikemukakan dan diperkenalkan pertama
kali oleh Snouck Hurgronje pada tahun 1983. 22 Snouck Hurgronje sendiri merupakan sarjana
Belanda dan merupakan mata-mata Belanda yang dikirim ke Aceh. Pengiriman Snouck
Hurgronje ke Aceh dilakukan Belanda pada saat Perang Aceh tahun 1873 sampai 1904 karena
pada saat itu Aceh sulit dikalahkan oleh Belanda, hingga akhirnya Snouck Hurgronje diutus
menjadi mata-mata untuk mempelajari kebiasaan dan hukum adat yang berlaku disana. Selain
itu, Snouck Hurgronje juga mencari kekuataan rahasia dari masyarakat aceh, seperti tata
negaranya dan terutama sosial budayanya. Snouck Hurgronje yang merupakan orientalis
18
Ibid.
19
Ibid.
20
Ibid.
21
Ibid.
22
Winardi, “Eksistensi dan Kedudukan Hukum Adat dalam Pergumulan Politik Hukum Nasional,” Widya Yuridika:
Jurnal Hukum, Vol. 3, No. 1 (2020), hlm. 96.
terkemuka dan berkebangsaan Belanda yang paham mengenai agama Islam pun dimanfaatkan
Belanda untuk menyelidiki Aceh. Snouck Hurgronje pun berhasil memasuki Aceh pada tahun
1891 dan mempunyai nama samaran Abdul Gafar. Selama disana, Snouck Hurgronje
mempelajari adat istiadat rakyat Aceh dan mengumpulkan penemuannya tersebut untuk dikirim
ke Belanda sebagai bantuan strategi perang dan juga untuk ia pelajari lagi. Akhirnya, pada tahun
1983, Snouck Hurgronje berhasil menulis bukunya yang berjudul De Atjehnese dan merupakan
cikal bakal pertama dari istilah hukum adat. 23 Selain itu, Van Vollenhoven pun turut memberikan
pemikirannya mengenai hukum adat yang ditulis di bukunya berjudul Adatrecht, yaitu hukum
adat adalah suatu pengertian secara teknis yuridis. 24 Vollenhoven mengatakan bahwa hukum adat
adalah hukum yang hadir dan juga berlaku bagi kelompok masyarakat adat/kelompok pribumi di
Indonesia. Selain itu, Vollenhoven pun menjadikan hukum adat sebagai ilmu pengetahuan
mengenai hukum positif dan menjadikannya mata kuliah. 25 Selain itu, hukum adat pun akhirnya
diangkat sebagai hukum yang harus diterapkan oleh gubernemen.26

Dalam menemukan hukum adat terdapat 6 orang yang berjasa dalam usaha tersebut. 6
orang tersebut adalah Marsden yang bertugas sebagai pegawai pangreh praja dalam dinas India-
Inggris pada tahun 1783. Marsden merupakan orang pertama yang memulai usaha penemuan
hukum adat yang tertuang dalam tulisannya, yaitu “The History of Sumatera” yang bagi Marsden
tulisannya tersebut berisi tentang pemerintahan, hukum, dan adat istiadat rakyat bumiputera
(rakyat pribumi).27 Lalu, orang kedua yang berusaha menemukan hukum adat adalah Muntinghe,
ia dianggap telah menemukan fakta bahwa Desa Jawa adalah sebuah persekutuan hukum atau
dalam bahasa Belanda disebut sebagai rechstgemeenschap asli milik masyarakat adat.28 Hal
tersebut karena di desa tersebut sudah memilik organisasi dan hak-hak atas tanahnya sendiri.
Selain itu, Muntinghe merupakan orang Belanda pertama yang memakai istilah adat secara
sistematis walaupun belum mengetahui mengenai adatrecht. 29 Selanjutnya, Raffles yang
merupakan Gubernur Jenderal Inggris yang pada saat itu berkuasa setelah Hindia Belanda tidak
lagi dikendalikan oleh VOC dan berpindah tangan ke Inggris. Namun, Raffles dalam usahanya

23
Ibid, hlm. 96-97.
24
Ibid, hlm. 97.
25
Ibid.
26
Ibid.
27
Ibid, hlm. 98.
28
Ibid.
29
Ibid.
memahami hukum adat mengalami kekeliruan karena menurut Raffles hukum agama adalah
hukum bumiputera (masyarakat pribumi) alih-alih hukum adat itu sendiri. 30 Keempat adalah
Crawfud yang merupakan orang pertama yang tidak keliru ketika mengidentifikasi antara hukum
adat dan hukum agama. Crawfud dapat membedakan kedua hukum tersebut dengan mengartikan
bahwa hukum agama hanyalah bagian kecil dari hukum adat. Selanjutnya, Dirk van Hogendorp
merupakan orang kelima yang mengupayakan penemuan hukum adat. Dirk meneliti mengenai
Hak Milik bumiputera atas tanah.31 Terakhir, orang keenam adalah Jean Chretien Baud yang
mempunyai peran besar dalam penyusunan Pasal 62 Ayat 3 Regeling Reglement atau RR yang
mempunyai kekuatan hukum dalam melindungi hukum tanah adat.32

Mengenai jejak hukum adat pasca kemerdekaan, Soetandyo Wignjosoebroto memberi


pendapat bahwa berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 yang
menjadikan hukum perundangan kolonial terus berlaku dan menyatakan seruan mengenai
semangat dalam unifikasi hukum membuat hukum adat yang berbentuk plural tidak terlalu
diperhatikan.33 Melihat sejarah, dibawah pengelolaan ter Haar pada masa akhir pemerintahan
kolonial Belanda, upaya positivisasi hukum adat tidak dilakukan melalui undang-undang tetapi
hanya melalui proses yudisial. Hal tersebut tentunya bertentangan dengan apa yang dipikirkan
oleh van Vollenhoven.34 Pada akhirnya, hukum adat hanya tercatat dan exist dalam naskah-
naskah yurisprudensi yang dimana ketika diterapkan di Indonesia yang menganut tradisi civil
law, yurisprudensi bukanlah sumber hukum formal primer atau utama. Menurut Soetandyo
sendiri, secara politis eksistensi dan fungsi hukum adat menjadi minimal terlebih ketika upaya
pembangunan hukum nasional lebih difokuskan kepada hukum yang revolusioner.35

Di Indonesia sendiri, hukum adat baru mendapatkan kekuatan penuh setelah jatuhnya
rezim Soeharto pada tahun 1998. Hal tersebut dikarenakan kebebasan berpolitik mulai terbuka
lebar, begitu juga dengan mulai adanya implementasi dari desentralisasi. 36 Selain itu, pasca
jatuhnya kepemimpinan Soeharto, komunitas dan grup etnis diseluruh Indonesia secara publik,
30
Ibid.
31
Ibid.
32
Ibid.
33
Ibid, hlm. 99.
34
Ibid.
35
Ibid.
36
Franz Von Benda-Beckmann dan Keebet Von Benda-Beckmann, “Myths and stereotypes about adat law: A
reassessment of Van Vollenhoven in the light of current struggles over adat law in Indonesia,” Bijdragen tot de Taal,
Land- en Volkenkunde, 2011, Vol. 167, No. 2/3 (2011), hlm. 168.
vocal, dan tidak jarang secara anarkis, menuntut kebebasan dalam mengimplementasi elemen
yang ada pada hukum adat dan adat pada wilayah mereka. 37 Tahun ini dapat disebut sebagai
kebangkitan dari hukum adat karena kebebasan berpendapat semakin luas dan masyarakat adat
dapat menuntut hak-haknya secara formal dalam demokrasi.

Namun, pada masa orde baru terdapat permasalahan dimana hukum adat mulai perlahan
ditinggalkan. Hal tersebut dikarenakan pada masa ini terdapat keinginan untuk menciptakan
hukum revolusioner dan hukum yang berfungsi sebagai tool of social engineering yang secara
implisit menginstruksikan untuk membuat hukum baru yang anti-kolonial dan anti-tradisi. 38
Maka dari itu, hukum adat semakin lama akan semakin terlupa karena tujuan dari hukum
revolusioner adalah anti-tradisi.

Berbeda pada masa sebelumnya, masa modern justru menguatkan hukum adat.
Hukum adat secara jelas diakui pada Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 18B yang berisi
tentang pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat dan juga pengakuan mengenai hak-hak
tradisional yang dipunya oleh masyarakat tersebut. Selanjutnya, langkah penguatan mengenai
keberadaan hukum adat ini pun diperkuat oleh PBB dengan deklarasinya yang berisi adanya hak-
hak masyarakat adat. Bunyi deklarasi tersebut adalah mengakui dan menegaskan kembali bahwa
masyarakat adat itu diakui dengan tanpa membedakan dalam semua hak asasi manusia yang
diakui dalam Hukum Internasional dan masyarakat memiliki hak kolektif bagi kehidupan
mereka.39

3.2 Pengakuan Hukum Adat pada Sistem Hukum Indonesia


Hukum Adat secara sejarah telah beberapa kali mendapat pengakuan dalam sistem
hukum di Indonesia. Misalnya saja pada zaman pemerintahan kolonial Belanda, Hukum Adat
secara resmi diakui sebagai hukum bagi bangsa Indonesia dan kedudukannya sejajar dengan
hukum Eropa yang berlaku. Hal tersebut merupakan fakta karena melalui Pasal 131 ayat (6)
Indische Staatsregeling atau dapat disingkat menjadi IS yang secara jelas menyatakan bahwa
hukum bangsa Indonesia adalah hukum positif bagi bangsa Indonesia. Pasal tersebut
memberikan dasar dalam pengakuan Pemerintah Hindia Belanda terhadap Hukum Adat dan

37
David Henley dan Jamie S. Davidson, “In the Name of Adat: Regional Perspectives on Reform, Tradition, and
Democracy in Indonesia,” Modern Asia Studies, Vol. 42, No. 4 (2008), hlm. 817.
38
Winardi, “Eksistensi dan Kedudukan Hukum Adat dalam Pergumulan Politik Hukum Nasional,” Widya Yuridika:
Jurnal Hukum, Vol. 3, No. 1 (2020), hlm. 99.
39
Achmad Asfi Burhannudin, “Eksistensi Hukum Adat di Era Modernisasi,” SALIMIYA: Jurnal Studi Ilmu
Keagamaan Islam, Vol. 2, No. 4 (2021), Hal. 107.
sekaligus menjadikan hukum adat sebagai hukum positif bagi bangsa Indonesia. 40 Namun,
dengan diputuskannya Pasal 131 ayat (6) IS hukum adat sebagai hukum positif bagi bangsa
Indonesia membuat suatu dualisme hukum, dimana terdapat dua sistem hukum yang berlaku,
yaitu hukum Eropa dan hukum adat. Selain itu, terdapat juga Pasal 62 Ayat 3 Regeling
Reglement/RR yang mengatur mengenai hukum tanah adat.

Selanjutnya, pada masa setelah kemerdekaan terdapat unifikasi hukum yang kemudian
menghasilkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). UUPA merupakan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 yang awalnya memisahkan hukum mengenai kepemilikan agraria dari
pribumi dan bangsa Eropa. Hal tersebut mempunyai maksud bahwa ketika terjadi urusan agraria,
misalnya saja pembelian tanah, pribumi dan orang Eropa tunduk pada dua hukum yang berbeda,
pribumi tunduk pada hukum adat yang berlaku, orang Eropa tunduk pada hukum Eropa.
Penggabungan dari dualisme hukum tersebut merupakan contoh nyata dari unifikasi hukum,
yang berisi mengenai kepemilikan penuh agraria untuk rakyat Indonesia. Sementara itu, rakyat
selain rakyat Indonesia tidak dapat memiliki tanah lagi.

Selain itu, terdapat juga penegasan atas penguatan eksistensi hukum adat dalam hukum
nasional dengan dikeluarkannya dua pasal baru, yaitu Pasal 18B Ayat (2) yang berisi tentang
negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan seseuai dengan perkembangan yang terjadi di tengah
masyarakat dan masih juga selaras dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
kemudian diatur lebih lanjut dalam undang-undang. Selanjutnya, Pasal 28I Ayat (3) juga
menyatakan tentang eksistensi dari hukum adat karena berisi tentang pernyataan mengenai
identitas budaya dan hak masyarakat tradisional perlu dihormati, selaras dengan perkembangan
zaman dan juga peradaban. Satjipto Rahardjo memberikan tanggapannya secara umum terhadap
empat syarat yuridis bagi keberlakuan eksistensi hukum adat, yakni syarat sepanjang hidup
dimana kita tidak hanya melakukan pengamatan dari luar tetapi juga terjun langsung ke dalam
kehidupan masyarakat setempat, syarat mengenai perkembangan masyarakat mengandung risiko
dalam memaksakan kekuasaan yang mengatasnamakan perkembangan itu sendiri, syarat sesuai
dengan prinsip NKRI mempunyai kelemahan dimana masyarakat adat dan NKRI dipandang
sebagai dua entitas yang berbeda dan saling berseberangan, syarat diatur dalam undang-undang
40
Winardi, “Eksistensi dan Kedudukan Hukum Adat dalam Pergumulan Politik Hukum Nasional,” Widya Yuridika:
Jurnal Hukum, Vol. 3, No. 1 (2020), hlm. 98.
pun mempunyai kelemahan dimana Indonesia yang merupakan negara hukum ketika segalanya
diserahkan kepada hukum yang selalu ingin mengatur ranahnya sendiri tentunya akan mengalami
kegagalan dan mengakibatkan tidak produktifnya kehidupan sehari-hari. 41 Selain itu, terdapat
pula Pasal 28I Ayat (4) yang kembali mengakui tentang kehadiran hukum adat dan masyarakat di
dalamnya. Pasal tersebut berisi tentang pengakuan serta penghormatan hak masyarakat hukum
adat atau dapat disingkat sebagai MHA yang tidak hanya menjadi kewajiban moral perintah
semata tetapi juga merupakan kewajiban yuridis yang harus dilakukan pemerintah negara. 42

3.3 Peran Hukum Adat dalam Sistem Hukum di Indonesia


Hukum Nasional yang berlaku sekarang tentunya terdiri atas hukum materiil dan hukum
formiil. Sementara itu, hukum materiil dari Hukum Nasional sendiri mengambil sumber dari
sumber hukum materiil. Sumber hukum materiil berasal dari pola-pola sosial yang ada di
masyarakat baik berupa kebiasaan, tata kelakuan, dan pandangan-pandangan lainnya yang
disepakati oleh anggota masyarakat sehingga menjadi suatu peraturan hukum yang mengikat dan
setiap individu perlu tunduk serta patuh.

Hukum Adat yang merupakan hukum yang berasal dari kebiasaan, praktik, dan norma
yang bersumber dari setiap kelompok masyarakat adat Indonesia yang kemudian ketiga hal
tersebut mengakar dan diturunkan secara turun menurun kepada anak dan generasi seanjutnya,
tentunya kaya akan pola-pola sosial yang dibutuhkan oleh Hukum Nasional. Hal tersebut
dikarenakan sumber Hukum Nasional yang terkhususnya sumber hukum materiil membutuhkan
pola-pola sosial tersebut sehingga hukum adat sesungguhnya bermanfaat bagi keberadaan
Hukum Nasional.

Hukum Adat dapat juga disebut sebagai kebudayaan yang dilahirkan oleh bangsa
Indonesia itu sendiri. Hal tersebut dikarenakan Hukum Adat merupakan hukum yang berasal dari
perkembangan hidup masyarakat asli atau indigeneous people. Dikarenakan hal tersebut, terdapat
Ketetapan MPRS NO. II/MPRS/1960 yang menetapkan Hukum Adat sebagai asas-asas dalam
pembentukan Hukum Nasional karena untuk memastikan Hukum Nasional akan baik dan
berjalan lancar. Selain itu, perlunya Hukum Adat sebagai asas adalah pembangunan Hukum

41
Ibid, hlm. 100.
42
Ibid, hlm. 101.
Nasional yang baik haruslah tidak menghambat perkembangan masyarakat, sehingga adil dan
makmur.43 Namun, dalam menjadikan hukum adat menjadi sebuah asas bukanlah hukum adat
yang pure atau sepenuhnya asli hukum adat, tetapi hukum adat tersebut perlu dibenahi
sedemikian rupa.44 Dapat disimpulkan bahwa pengakuan Hukum Adat itu penting dilakukan
karena Hukum Adat sendiri merupakan hukum yang lahir dari kebiasaan, tata laku, dan
merupakan cerminan dari masyarakat Indonesia. Hukum Adat perlu diakui keberadaannya
terlebih dahulu sebelum pembuatan Hukum Nasional yang menyangkut hak masyarakat
Indonesia karena Hukum Adat yang merupakan ekstraksi dari masyarakat adat dapat membuat
rasa keadilan yang cukup dan sesuai terhadapat kehidupan masyarakat yang ada di Indonesia.

BAB IV
4.1 KESIMPULAN
Indonesia yang merupakan negara yang mempunyai ras, suku, dan bangsa yang beragama
tentunya memiliki kebudayaan, tata laku, kebiasaan, dan pola sosial lainnya. Hal tersebut
merupakan penyebab dari adanya pluralisme hukum yang ada di Indonesia. Salah satu bentuk
dari pluralisme tersebut adalah hadirnya Hukum Adat di tengah Hukum Nasional.

43
Sri Sudaryatmi, “Peranan Hukum Adat dalam Pembangunan Hukum Nasional di Era Globalisasi,” MMH, Jilid. 41,
No. 4 (2012), Hal. 575.
44
Marco Manarisip, “Eksistensi Pidana Adat dalam Hukum Nasional,” Lex Crimen, Vol. 1, No. 4 (2012), Hal. 32.
Hukum Adat yang merupakan hukum yang berdasar dari kebiasaan, tata laku,
kebudayaan, dan pola sosial masyarakat Indonesia lainnya yang kemudian di ekstraksi dan
dijadikan suatu pedoman bersosial bagi anggota-anggota kelompok masyarakat adat tentunya
membutuhkan pengakuan. Pengakuan tersebut bukan hanya semata-mata untuk memberikan
kepastian hukum tetapi juga untuk mejaga kebudayaan serta hak-hak tradisional yang ada dan
melekat dalam diri masyarakat Indonesia. Maka dari itu, Pemerintah perlu tetap menjaga agar
Hukum Adat tidak akan hilang dan tergantikan oleh zaman. Selain itu, hukum adat yang
merupakan bentuk kebudayaan tentunya perlu dilestarikan.

Hukum Adat sebagai ekstraksi dari masyarakat Indonesia tentunya merupakan pondasi
yang penting dalam pembangunan Hukum Nasional. Modernisasi pada Hukum Nasional pun
sangat penting tetapi dalam modernisasi tersebut agar tetap terkandung nilai-nilai kebudayaan
bangsa Indonesia perlu adanya referensi dalam pembuatannya. Hukum Adat dapat memenuhi
fungsi tersebut dikarekan jika pembangunan hukum nasional membutuhkan nila-nilai yang
terkandung dalam pola sosial masyarakat Indonesia agar tetap selaras dan diterima, maka
memerlukan Hukum Adat yang didalamnya sudah terkandung ekstraksi dari nilai-nilai tersebut.
Maka dari itu, Hukum Adat sungguh penting dijadikan acuan dalam menyalaraskan
pembangunan Hukum Nasional agar tetap relevan dan sesuai nilai-nilai yang terkandung pada
bangsa Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Benda-Beckmann, Franz Von Benda-Beckmann dan Keebet Von Benda-Beckmann, “Myths and
stereotypes about adat law: A reassessment of Van Vollenhoven in the light of current
struggles over adat law in Indonesia.” Bijdragen tot de Taal, Land- en Volkenkunde. Vol.
167. No. 2/3 (2011). Hlm. 167-195.
Burhannudin, Achmad Asfi. “Eksistensi Hukum Adat di Era Modernisasi.” SALIMIYA: Jurnal
Studi Ilmu Keagamaan Islam. Vol. 2. No. 4 (2021). Hal. 96-113.

Buttenheim, Alison M. and Jenna Nobles. “Ethnic diversity, traditional norms, and marriage
behaviour in Indonesia.” Population Studies. Vol. 63. No. 3 (2009). Hlm. 277-294.

Gluckman, Max. “Adat Law in Indonesia.” Journal of Comparative Legislation and


International Law. Vol. 31. No. 3/4 (1949), Hal. 60-65.

Henley, David dan Jamie S. Davidson. “In the Name of Adat: Regional Perspectives on Reform,
Tradition, and Democracy in Indonesia.” Modern Asia Studies. Vol. 42. No. 4 (2008).
Hlm. 815-852.

Kadir, M. Ya’kub Aiyub. “Defining ‘People’ and ‘Indigenous People’ in International Human
Rights Law and Its Application in Indonesia.” International Journal on Minority and
Group Rights. Vol. 26. No. 3 (2019). Hlm. 373-408.

Manarisip, Marco. “Eksistensi Pidana Adat dalam Hukum Nasional.” Lex Crimen. Vol. 1. No. 4
(2012). Hal. 24-40.

Mukmin, Abdul. “Kedudukan Hukum Adat dalam Era Reformasi.” Yuriska Jurnal Ilmu Hukum.
Vol. 2. No. 2 (2020). Hal. 141-143.

Nur Rahman, Irfan, Anna Triningsih, Alia Harumdani W., dan Nallom Kurniawan. “Dasar
Pertimbangan Yuridis Kedudukan Hukum (Legal Standing) Kesatuan Masyarakat
Hukum Adat dalam Proses Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi.” Jurnal
Konstitusi. Vol. 8. No. 5 (2011). Hlm. 767-802.

Sudaryatmi, Sri. “Peranan Hukum Adat dalam Pembangunan Hukum Nasional di Era
Globalisasi.” MMH. Jilid. 41. No. 4 (2012). Hal. 572-578.

Sulaiman. “Mereposisi Cara Pandang Hukum Negara Terhadap Hukum Adat di Indonesia.”
Jurnal Kajian Ilmu Hukum dan Syariah. Vol. 2. No. 1 (2017). Hal. 23-32.

Syahbandir, Mahdi. “Kedudukan Hukum Adat dalam Sistem Hukum.” KANUN. No. 50 (2010).
Hlm. 1-13.

Winardi. “Eksistensi dan Kedudukan Hukum Adat dalam Pergumulan Politik Hukum Nasional.”
Widya Yuridika: Jurnal Hukum. Vol. 3. No. 1 (2020). Hlm. 95-106.

Anda mungkin juga menyukai