Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Negara Indonesia berpenduduk mayoritas beragama Islam. Kewajiban
umat beragama Islam adalah menjalankan syariat Islam berdasarkan al-Qur’an
dan as-Sunnah. Berdasarkan fakta sejarah, hukum Islam telah mengakar dan
mempunyai peran yang penting bagi kehidupan masyarakat Indonesia.
Perkembangan hukum Islam di Indonesia dalam perjalanannya tidaklah selalu
mulus, selalu diwarnai dengan kepentingan politik. Setelah kemerdekaan, negara
Indonesia perlu melakukan pembenahan, yang salah satunya adalah pembenahan
di bidang hukum. Perlu dibentuk suatu sistem hukum dengan satu tujuan, yaitu
melahirkan sistem hukum nasional yang berdasar kepada Pancasila dan UUD
1945. Sistem hukum nasional yang dibangun haruslah berwawasan kebangsaan
dan berlaku bagi seluruh warga negara, tanpa memandang agama yang dianutnya.
Hukum Islam haruslah mempunyai kedudukan dalam sistem hukum
nasional, mengingat hukum tersebut merupakan hukum yang telah diakui
masyarakat Indonesia sejak lama. Oleh karena itu, dalam pembinaan hukum
nasional haruslah memperhatikan hukum-hukum yang ada dalam agama (Islam)
sebagaimana yang telah diakui masyarakat. Hukum Islam adalah keseluruhan
aturan hukum yang bersumber pada al-Qur’an, dan untuk kurun masa tertentu
lebih dipersonifikasikan oleh Nabi Muhammad saw., baik berupa tingkah laku,
ucapan, tindakan ataupun suatu keadaan tertentu (sunnah Rasul). Kaidah-kaidah
yang bersumber dari Nabi Muhammad saw. ini kemudian lebih dikonkretkan dan
diselaraskan dengan kebutuhan jaman, melalui ijtihad atau penemuan hukum oleh
para mujtahid dan pakar di bidangnya masing-masing, baik secara perorangan
maupun kolektif.
Studi hukum di Indonesia mengalami pasang surut sesuai dengan fluktuasi
keberlakuan politik hukum yang dijalankan negara, perkembangan sosial
kemasyarakatan dan interaksi masyarakat dengan keputusan politik negara. Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai produk hukum pidana di
2

Indonesia yang diberlakukan sejak masa kolonial Belanda dan dipertahankan


sampai sekarang, merupakan hasil politik hukum Belanda dengan berbagai teori
hukum yang berlaku di Indonesia. KUHP yang secara substansial diadopsi dari
Code Civil Perancis (Napoleon Bonaparte) telah mereduksi dan memarginalkan
hukum Islam, baik secara substansial maupun keberlakuan di dalam masyarakat
Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Sebagai sebuah perundang-undangan,
KUHP mengalami kekakuan dalam pemberlakuannya di masyarakat. Secara teori,
sebuah perundang-undangan akan berlaku dengan baik dan sukses hanya jika
sesuai dengan keyakinan internal suatu bangsa kepada siapa perundang-undangan
itu diperuntukkan. Jika melenceng dari itu, maka akan mengalami kegagalan.
Untuk mencapai tujuan hukum diberlakukannya KUHP, maka pemerintah
Indonesia melakukan serangkaian pemaknaan yang sesuai dengan cita-cita
hukum, yaitu kesejahteraan dan ketertiban umum. Proses pemaknaan tersebut
mengacu pada religiusitas dan semangat nasionalis hukum Indonesia. Dari
pemikiran tersebut, maka makalah ini hendak membahas hukum Islam dalam
tatanan hukum pidana nasional.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan diatas, maka dapat dirumuskan yang menjadi
identifikasi masalah dalam makalah ini adalah :
1. Bagaimana sejarah proses pengakomodasian hukum Islam ke dalam hukum
pidana nasional ?
2. Bagaimana hukum pidana Islam dapat terakomodir dalam hukum pidana
nasional ?
3. Bagaimana peranan hukum pidana Islam dalam hukum pidana nasional ?
3

BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Hukum Islam dalam Perkembangan Sistem Hukum di Indonesia


Hukum Islam secara umum merupakan hukum yang didasarkan kepada al-
Qur’an dan hadis. Hukum Islam baru dikenal di Indonesia setelah agama Islam
disebarkan di tanah air, tetapi belum ada kesepakatan para ahli sejarah Indonesia
mengenai periode masuknya Islam ke Indonesia. Walau para ahli berbeda
pendapat mengenai kapan Islam masuk ke Indonesia, hukum Islam telah diikuti
dan dilaksanakan oleh para pemeluk agama Islam di Indonesia. Hal ini terlihat
dengan banyaknya hasil studi dan karya ahli hukum Islam di Indonesia sejak
dahulu kala.1
Sebelum datangnya agama Islam, Indonesia sudah mempunyai hukum
sendiri yang disebut hukum adat, dimana hukum ini menjadi sistem yang
tersendiri. Terdapat berbagai teori mengenai hubungan antara hukum Islam
dengan hukum adat ini, yang salah satunya adalah teori receptin in complexu yang
diterangkan oleh Van den Berg, yaitu, “Selama bukan sebaliknya dapat
dibuktikan, menurut ajaran ini hukum pribumi ikut agamanya, karena jika
memeluk agama harus juga mengikuti hukum agama itu dengan setia”.2 Dapat
dikatakan bahwa sesungguhnya hukum adat itu juga merupakan bagian hukum
agama. Dalam artian bahwa hukum Islam merupakan bagian dari hukum adat,
dimana mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam. Terdapat bukti-bukti
yang menunjukkan bahwa Islam berakar dalam kesadaran penduduk Indonesia
dan mempunyai pengaruh yang bersifat normatif dalam kebudayaan Indonesia.3
Pada era kekuasaan kesultanan dan kerajaan-kerajaan Islam, peradilan
agama di Indonesia sudah hadir secara formal, misalkan Peradilan Penghulu di

1
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam
di Indonesia, (Cet. X; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), h. 209
2
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: Gunung
Agung, 1994), h. 29
3
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam
di Indonesia, h. 235
4

Jawa, Mahkamah Syariah Kesultanan Islam di Sumatera, Peradilan Qadi di


Kesultanan Banjar dan Pontianak. Namun sangat disayangkan, walaupun pada
masa Kesultanan telah berdiri peradilan agama serta status ulama memegang
peranan sebagai penasehat dan hakim, hal ini belum pernah disusun dalam suatu
buku hukum positif yang sistematik. Hukum yang diterapkan masih abstraksi,
yang ditarik dari kandungan doktrin fiqh.4
Belanda datang ke Indonesia awal mulanya bermaksud untuk berdagang,
namun kemudian berubah haluan untuk menguasai kepulauan Indonesia. Untuk
memantapkan tujuannya, pihak Belanda menggunakan hukum Belanda yang
dibawanya. Namun pada prakteknya, hukum Belanda sangat sulit untuk
diterapkan karena adanya hukum yang telah lama hidup dalam masyarakat
Indonesia. Hal ini dipahami oleh pihak Belanda, dimana jika tidak, mereka akan
mendapat perlawanan dari masyarakat Indonesia. Akhirnya dilakukan
penggolongan hukum, dimana hukum Islam dapat diberlakukan bagi orang-orang
yang menganut agama Islam. Pihak Belanda juga meminta kepada DW. Freijer
untuk menyusun suatu compendium (intisari) yang memuat hukum perkawinan
dan kewarisan dalam Islam5. Setelah disempurnakan, intisari tersebut diterima
oleh pemerintah Belanda untuk dipergunakan di pengadilan dalam menyelesaikan
sengketa-sengketa dalam kalangan umat Islam.
Pada abad XIX, pihak Belanda sangat berharap dapat menghilangkan
pengaruh Islam dari masyarakat Indonesia. Menurut Belanda, Islam menghambat
kekuasaan Belanda di Indonesia. Akan tetapi, Mr. Scholten van Oud Haarlem
(Ketua Komisi penyesuaian undang-undang Belanda dengan keadaan istimewa di
Indonesia) mengatakan bahwa untuk mencegah timbulnya keadaan yang tidak
menyenangkan dan juga perlawanan jika tetap diadakan pelanggaran terhadap
orang pribumi dan agama Islam, maka harus diikhtiarkan sedapat-dapatnya agar
mereka itu dapat tinggal tetap dalam lingkungan (hukum) agama serta adat
istiadat. Pandangan Scholten inilah yang menyebabkan pasal 75 (Regering

4
Mardani, Jurnal Hukum No. 2 Vol 16 April 2009: Kedudukan Hukum Islam dalam
Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 268
5
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam
di Indonesia, h. 236
5

Reglement) menginstruksikan kepada pengadilan untuk mempergunakan Undang-


Undang Agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan masyarakat Indonesia. Selain itu
dalam regering reglement tersebut juga disebutkan mengenai suatu pengadilan
agama di Jawa dan Madura6. Namun karena alasan-alasan politis dilakukan
peninjauan kembali kewenangan pengadilan agama, dan sejak itu terdapat usaha-
usaha Belanda untuk mengubah kewenangan tersebut. Akhirnya pada tahun 1937,
wewenang mengadili perkara warisan dialihkan dari pengadilan agama ke
pengadilan negeri7. Hal ini mengakibatkan perihal warisan yang semula
mendasarkan keputusannya kepada hukum Islam di pengadilan agama, kemudian
berdasarkan pengadilan biasa, yang belum tentu bersandar kepada hukum Islam.
Penerapan dan penyebaran hukum Islam pun mengalami kemandekan akibat
keputusan pemerintah Belanda tersebut.
Usaha-usaha menempatkan kedudukan hukum Islam kembali dalam
kedudukannya dilakukan oleh para pemimpin Islam. Hingga akhirnya pada masa
pemerintahan Jepang menjelang kemerdekaan, Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan (BPUPKI) merumuskan dasar negara dan menentukan hukum dasar
bagi negara Indonesia. Para pemimpin Islam yang menjadi anggota BPUPKI terus
berusaha untuk “mendudukkan” hukum Islam dalam negara Republik Indonesia.
Pertukaran pemikiran terus dilakukan hingga menghasilkan persetujuan yang
dinamakan Piagam Jakarta, yang diantaranya menyatakan bahwa negara
berdasarkan kepada ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya8. Namun akibat tawar-menawar politik, kalimat tersebut
digantikan hanya dengan kata Ketuhanan yang Maha Esa. Makna Ketuhanan yang
Maha Esa dianggap selain mempercayai adanya Tuhan, juga berarti kewajiban
menjalankan perintahNya berdasarkan kepercayaan masing-masing, termasuk
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk agama Islam.

6
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam
di Indonesia, h. 239-240
7
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam
di Indonesia, h. 250
8
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam
di Indonesia, h. 259
6

Setelah Indonesia merdeka, terdapat berbagai perombakan di bidang


hukum. Indonesia sebagai negara berdaulat harus segera membenahi sistem
hukumnya yang semula merupakan sistem hukum warisan masa kolonial. Usaha-
usaha pembentukan suatu sistem hukum yang terunifikasi secara nasional gencar
dilakukan. Kemudian muncul juga suatu konsepsi sistem hukum nasional yang
bersumber kepada Pancasila dan UUD 1945.

B. Hukum Pidana Islam Dalam Hukum Pidana Nasional


Islam sebagai agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk Indonesia
sangat berpengaruh terhadap pola hidup bangsa Indonesia. Perilaku pemeluknya
tidak lepas dari syariat yang dikandung agamanya. Melaksanakan syariat agama
yang berupa hukum-hukum menjadi salah satu parameter ketaatan seseorang
dalam menjalankan agamanya. Bagi kalangan muslim, hukum yang dimaksud
adalah hukum Islam, yaitu keseluruhan aturan hukum yang bersumber dari al-
Qur’an dan untuk kurun waktu tertentu lebih dikonkritkan oleh Nabi Muhammad
saw., yang lazim disebut sunnah Rasul.
Harapan mengembangkan syariat Islam di Indonesia sudah lama
terniatkan, yaitu sejak hukum pidana positif berkembang pada jaman
pemerintahan Hindia Belanda. Para perumus bangsa (The Founding Fathers) telah
merencanakan untuk memberlakukan syariat Islam di Indonesia. Namun
didasarkan pada pluralitas penduduk Indonesia, rencana itu tidak dapat terwujud
dan Pancasila dijadikan sebagai dasar negara Indonesia9.
Perkembangan politik hukum di Indonesia menjalani pertumbuhan dengan
memperhatikan pengaruh dari faktor nilai-nilai kemasyarakatan dan keagamaan.
Sudah waktunya para ulama dan kaum cendekiawan muslim turut menegaskan
kaidah agama, agar para penganutnya tidak lagi melanggar ajaran agama dengan
cara self inforcement. Penegakan hukum agama secara preventif sangat membantu
pemantapan pola penegakan hukum (law enforcement) negara secara preventive
represive. Hal ini bertujuan agar masyarakat memahami dan menaati kaidah

9
Marzuki, Prospek Pemberlakuan Hukum Pidana Islam di Indonesia.
https://marzukiwafi.wordpress.com/2011/02/08/prospek-pemberlakuan-hukum-pidana-islam-di-
indonesia/ (17 April 2017)
7

hukum negara dan kaidah agama sekaligus. Dengan demikian, syariat Islam bukan
hanya didakwahkan tetapi juga dilaksanakan (self-enforcement) melalui
penegakan hukum preventif, guna mengisi kelemahan norma hukum pidana
positif10.
Hukum pidana yang berlaku di Indonesia hingga sekarang ini masih
merupakan warisan dari pemerintahan Hindia Belanda. Sejak awal abad XIX,
Hindia Belanda memberlakukan kodifikasi hukum pidana yang pada mulanya
masih pluralistis, yakni Undang-Undang Hukum Pidana untuk orang-orang Eropa
dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana untuk orang-orang pribumi serta yang
dipersamakan (inlanders). Mulai tahun 1918 diberlakukan satu Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana untuk seluruh golongan yang ada (unifikasi hukum
pidana) hingga sekarang di Indonesia. Hukum pidana itu lalu diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia menjadi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
KUHP dinyatakan berlaku melalui dasar konstitusional pasal 2 dan 4 Aturan
Peralihan UUD 1945 dengan Undang-Undang No. 1 tahun 1946. KUHP
dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia dalam UU No. 73 tahun
1958.
Hukum pidana Islam menurut asas legalitas dikategorikan sebagai hukum
tidak tertulis masih diakui secara konstitusional sebagai hukum di Indonesia, dan
masih terus berlaku menurut pasal 2 Aturan Peralihan UUD 1945. Namun
demikian, ketentuan dasar ini belum ditindaklanjuti dengan instrumen hukum
untuk masuk ke dalam wujud instrumen asas legalitas. Seperti halnya KUHP,
posisi hukum pidana Islam belum terdapat kepastian untuk menjawab pertanyaan
teoritis11.
Ketiadaan hukum pidana Islam secara tertulis di Indonesia menjadi
penyebab belum dapat terpenuhinya hukum pidana Islam secara legal. Karena
itulah hukum pidana Islam harus benar-benar disiapkan secara tertulis

10
Muhammad Amin Suma, dkk., Pidana Islam di Indonesia: Peluang, Prospek dan
Tantangan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h. 17
11
Muhammad Amin Suma, dkk., Pidana Islam di Indonesia: Peluang, Prospek dan
Tantangan, h. 24
8

sebagaimana hukum positif lainnya, bukan langsung mendasarkannya pada


sumber hukum Islam (al-Qur’an, hadis dan ijtihad ulama).
Hingga saat ini ada keinginan sebagian umat Islam di Indonesia untuk
memberlakukan hukum Islam secara utuh di Indonesia, termasuk dalam bidang
hukum pidana. Hal ini didasari anggapan bahwa dengan diberlakukannya hukum
pidana Islam, maka tindak pidana yang semakin hari semakin merebak di tengah-
tengah masyarakat sedikit demi sedikit dapat dikurangi. Sanksi yang diberikan
kepada para pelaku tindak pidana selama ini tidak membuat efek jera untuk tidak
mengulanginya. Oleh karena itu, sanksi tegas seperti yang ada dalam hukum
pidana Islam nampaknya merupakan alternatif terbaik yang dapat mengatasi
permasalahan tindak pidana di Indonesia12. Dalam beberapa kasus, terlihat
antusiasme masyarakat untuk menerapkan ketentuan pidana Islam, namun karena
tidak mendapat ijin oleh aparat pemerintah, keinginan itu tidak dapat diwujudkan.
Namun demikian, bukan berarti apa yang selama ini diterapkan oleh pengadilan di
Indonesia seluruhnya bertentangan dengan hukum pidana Islam. Ada beberapa
putusan pengadilan yang terkadang sama dan sesuai dengan ketentuan hukum
pidana Islam, seperti hukuman mati dan langkah awal pemberlakuan sanksi
pidana cambuk seperti yang diberlakukan di Nanggroe Aceh Darussalam.
Ada sebuah pemikiran bijak, yaitu pengintegrasian hukum pidana Islam ke
dalam pembentukan hukum pidana nasional. Proses tersebut dilakukan dengan
cara pengungkapan materi hukum Islam secara eksplisit ke dalam RUU KUHP.
Namun, jika tidak memungkinkan, hal tersebut dapat dilakukan dengan cara
pengungkapan prinsip-prinsip dan moralitasnya saja. Contohnya tindak pidana
perzinaan dan minum minuman keras tidak harus dihukum dengan hukuman
cambuk empat puluh kali kepada pelakunya. Yang paling prinsip adalah
bagaimana contoh perbuatan itu dianggap sebagai tindak pidana yang tidak sesuai
dengan prinsip dan moralitas Islam. Hal ini merupakan proses dari strategi
legislasi hukum Islam yang bersifat gradual dan sejalan dengan kaidah fiqh, yaitu

12
Marzuki, Prospek Pemberlakuan Hukum Pidana Islam di Indonesia,
https://marzukiwafi.wordpress.com/2011/02/08/prospek-pemberlakuan-hukum-pidana-islam-di-
indonesia/
9

ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu (sesuatu yang tidak dapat dicapai


seluruhnya, tidak boleh ditinggalkan seluruhnya)13.
Indonesia telah mengupayakan pembuatan KUHP yang baru atau dapat
disebut KUHP Indonesia. Upaya ini mendapatkan hasil dengan disiapkannya
RUU KUHP yang baru, dimana termuat materi-materi yang bersumberkan pada
hukum pidana Islam, meskipun tidak secara keseluruhan. RUU ini telah beberapa
kali dibahas dalam berbagai kesempatan, termasuk dalam forum sidang-sidang di
DPR, namun hingga saat ini belum ada kata sepakat di kalangan para penegak
hukum tentang materi atau pasal-pasal yang menjadi isi dari RUU tersebut.
Langkah ini bukanlah yang paling ideal, tetapi cukup memberikan harapan untuk
dimulainya pemberlakuan hukum pidana Islam di Indonesia secara bertahap.
Tawaran seperti ini sementara dapat memuaskan pihak-pihak yang kerap kali
menolak upaya pemberlakuan hukum Islam di Indonesia. Meski ada juga sebagian
yang menginginkan diberlakukannya hukum pidana Islam secara penuh dan sesuai
dengan ketentuan yang pasti (qath’i) dari al-Qur’an dan hadis. Pemberlakuan
hukum pidana Islam dalam aspek fundamentalnya saja bukanlah harapan pihak
ini, namun juga harus menyertakan aspek instrumentalnya. Karena itu, mereka
mengharapkan dimasukkan ketentuan-ketentuan pokok hukum pidana Islam
dalam hukum pidana nasional, jika tidak bisa memberlakukan hukum pidana
Islam secara khusus.
Terkait dengan penegakan syariat Islam, dalam hal ini hukum pidana Islam
di Indonesia, paling tidak terdapat empat kelompok berdasarkan cara pandangnya.
Pertama, yang menginginkan hukum pidana Islam ditegakkan seutuhnya dan tidak
dicampuri dengan hukum-hukum lainnya yang sudah sah. Kedua, yang meyakini
kelayakan hukum pidana Islam untuk setara dengan hukum barat dan hukum adat
dalam menjadi sumber hukum pidana di Indonesia. Ketiga, yang meyakini bahwa
syariat Islam itu harus ditegakkan seutuhnya sehingga harus ada pemerintahan
Islam. Dan yang berpendapat bahwa yang paling penting ialah nilai-nilai syariat

13
Muhammad Amin Suma, dkk., Pidana Islam di Indonesia: Peluang, Prospek dan
Tantangan, h. 259
10

Islam dapat ditegakkan14. Dari beberapa keterangan diatas, terdapat beberapa


alternatif pelaksanaan hukum pidana Islam di Indonesia, yaitu perubahan institusi,
perubahan sistem hukum pidana nasional menjadi sistem hukum pidana Islam,
Islamisasi hukum pidana nasional, perluasan kompetensi Pengadilan Agama,
transformasi norma dan konsep hukum pidana Islam ke dalam hukum pidana
nasional. Penegakan hukum pidana Islam sejatinya sangat mendukung reformasi
dalam bidang hukum pidana nasional, dan juga sebaliknya.
Pembaharuan sistem hukum pidana nasional melalui pembahasan RUU
KUHP harus diakui sebagai upaya untuk mengakomodasi aspirasi sebagian besar
umat beragama di Indonesia. Berbagai delik tentang agama ataupun yang
berkaitan dengan agama mulai dirumuskan dalam RUU tersebut, misalnya tentang
penghinaan agama, merintangi niat beribadah atau upacara keagamaan, perusakan
bangunan ibadah, penghinaan terhadap Tuhan dan lain sebagainya. Rumusan
semacam ini tidak mungkin didapati dalam hukum pidana yang diberlakukan di
negara-negara sekuler, sebab agama bukanlah urusan negara dan menjadi hak
individu masing-masing warga negara. Selain beberapa pasal yang terkait dengan
delik agama, dalam rancangan tersebut juga dimasukkan pasal-pasal baru yang
berkaitan dengan delik kesusilaan, seperti berbagai bentuk persetubuhan di luar
pernikahan yang sah atau yang melanggar ketentuan agama. Tentu saja masih
banyak pasal-pasal lain yang terkait dengan materi hukum pidana Islam dalam
RUU KUHP tersebut. Langkah diatas merupakan upaya positif pemerintah untuk
memberlakukan ketentuan hukum sesuai aspirasi masyarakat, khususnya umat
Islam, meski hingga saat ini belum terwujud.
Terkait dengan proses pengakomodasian hukum Islam ke dalam hukum
pidana nasional tentunya tidak terlepas bagaimana prosedur penyusunan peraturan
perundang-undangan. Peran politik DPR RI sangatlah dominan, sehingga perlu
disimak pada tahapan mana ide dan materi hukum pidana Islam mulai
terakomodasi ke dalam RUU yang membahas hukum pidana nasional, karena

14
Faisal, Jurnal Ahkam: Menimbang Wacana Formalisasi Hukum Pidana Islam di
Indonesia vol. XII No. 1, Januari 2011, h. 48
11

RUU tersebut akan menjelma menjadi undang-undang yang berlaku dan mengikat
setelah disahkan.
Lamanya perjalanan perumusan RUU KUHP ini (sejak tahun 1966 hingga
2004) pada satu sisi menimbulkan kejenuhan bahkan mungkin menjengkelkan,
tetapi pada saat yang bersamaan memberikan kesempatan yang lebih luas dan
komprehensif bagi perbaikan RUU KUHP itu sendiri. Alasannya, pada rentang
waktu beberapa tahun terakhir ini telah hadir sejumlah peraturan perundang-
undangan baru sehingga perlu mendapatkan perhatian dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana yang baru, serta adanya perhatian serius dari berbagai
pihak di tengah-tengah masyarakat terhadap perkembangan RUU KUHP itu
sendiri. Termasuk di dalamnya masyarakat agamis yang menghendaki agar Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana baru dapat menyerap nilai-nilai hukum agama,
sebagai konsekuensi logis dari sebuah bangsa yang mengaku diri religius15.
Aspirasi demikian tentu saja sejalan dengan Pancasila dan benar-benar
konstitusional, sebab Pancasila terutama sila pertamanya Ketuhanan Yang maha
Esa, memberikan landasan atau asas yang sangat kokoh bagi setiap pembangunan
peradaban dan kebudayaan yang ingin ditegakkan di Indonesia. Landasan atau
asas teologis ini semakin memperoleh bentuk kongkrit dalam pasal 29 Undang-
Undang Dasar 1945 yang menyatakan :
1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.

Dalam pandangan umat Islam, hal ini termasuk ke dalam pengertian ibadah
(literal maupun terminologis) yaitu mematuhi dan menghormati hukum yang telah
ditetapkan oleh ad-din (agama). Sama dengan sistem hukum konvensional, sistem
hukum Islam juga mengenal hukum pidana (al-ahkam al-jina'iyah), disamping
hukum perdata (al-ahkam al-madaniyyah). Dalam banyak hal terdapat persamaan
dan saling melengkapi antara keduanya (hukum konvensional dan hukum Islam).
Disinilah arti penting penyertaan hukum pidana Islam di samping sistem hukum

M. Amin Suma, Makalah “Telaah Kritis dan Sumbangan Konstruktif Terhadap RUU
15

KUHP (Bab XVI-XXXIII) di http://www.djpp.depkumham.go.id/inc., diakses pada 17 April 2017


12

pidana yang lain dalam upaya menggantikan hukum pidana peninggalan


pemerintah Belanda dengan hukum pidana nasional yang berbasiskan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945.
Pengajuan penggantian hukum pidana peninggalan Belanda ini tidak serta
merta diterima. Masukan-masukan dan usulan perubahan pasal demi pasal serta
alasan atau argumentasi mengapa pasal tersebut perlu diubah, diperbaiki dan
dilengkapi telah diberikan oleh para akademisi, namun dari sekian banyak usulan
yang disampaikan itu, sebagian diakomodir oleh tim perumus RUU KUHP dan
sebagian yang lain belum atau tidak diterima. Walaupun tidak semua diakomodir,
bukan tidak mungkin ke depannya hukum pidana Islam diakomodir secara
keseluruhan, karena hukum merupakan produk politik. Selain itu, hingga saat ini
belum disahkannya RUU KUHP menjadi Undang-Undang membawa
kemungkinan diakomodirnya hukum pidana Islam ke dalam hukum pidana
nasional masih terbuka lebar, dan sangat tergantung konstalasi dan kontestasi
politik yang akan terjadi di DPR nantinya.
Jika dibandingkan dengan tindak pidana hudud dan qishash-diyat yang
jumlahnya sangat terbatas, tindak pidana takzir justru memiliki ruang gerak yang
sangat luas dan elastis. Dalam RUU KUHP, dijumpai sejumlah pasal pidana yang
ancaman hukumannya dapat dikatagorikan ke dalam pidana takzir. Berlainan
dengan jarimah hudud (tindak pidana) dan qishash-diyat yang pada dasarnya
bersifat dogmatif meskipun tetap filosofis, pidana takzir lebih dinamis dan
kompromi. Dalam hal pidana takzir, wewenang untuk menerapkan jenis dan kadar
hukum kepada pelaku tindak pidana justru diserahkan kepada pemerintah atau
lembaga lain yang berwenang untuk itu. Pembentukan undang-undang memang
merupakan sesuatu yang penting, tetapi yang tidak kalah penting adalah
penegakan hukumnya (law enforcement).
Hukum Islam di Indonesia sangat penting kedudukannya, baik bagi orang-
orang yang tidak beragama Islam, lebih-lebih bagi umat yang beragama Islam.
Dari sudut pandang manapun, historis maupun sosiologis, teoritis maupun praktis,
apalagi dari sudut pandang yuridis dan konstitusi, hukum Islam di Indonesia
memiliki kedudukan yang sangat strategis dan kuat serta memiliki peranan yang
13

sangat penting serta sentral. Dikatakan kuat mengingat hukum Islam memiliki
jangkauan yang sangat luas. Disebut penting karena hukum Islam mendapatkan
jaminan dan perlindungan konstitusi. Serta dibuat sentral karena hukum Islam
memiliki jangkauan ke seluruh aspek hidup dan kehidupan masyarakat Indonesia
dan bahkan setiap insan kapan dan dimanapun. Hukum Islam disebut berperan
strategis mengingat khazanah intelektual hukum Islam telah terbukukan dalam
jumlah yang tiada terkira.
Proses akomodasi hukum Islam melalui pembentukan peraturan
perundang-undangan sebenarnya selama ini telah berjalan dengan baik, misalkan
dalam bidang hukum keperdataan seperti Undang-Undang Republik Indonesia
No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang diikuti dengan Peraturan Pemerintah
No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1974 tentang
Perkawinan yang menandai hukum keluarga Islam. Hukum keluarga Islam juga
tampak dalam Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman yang secara eksplisit mengakui eksistensi
Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan negara. Dalam undang-
undang ini dinyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan
dalam lingkungan Pengadilan Umum, Pengadilan Militer, Pengadilan Tata Usaha
Negara dan Pengadilan Agama.
Hukum Islam semakin menunjukkan kemajuan di akhir tahun 1980-an
sampai tahun 2000-an, terutama dengan adanya Undang-Undang No. 9 tahun
1989 tentang Peradilan Agama. Kemudian kemajuan hukum Islam dalam bidang
muamalah menjadi semakin kokoh ketika diundangkan Undang-Undang No. 50
Tahun 2009 jo Undang-Undang No. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas
Undang-Undang No. 9 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama yang intinya
memberikan wewenang lebih luas lagi kepada peradilan agama. Kemudian sejak
bergulirnya era reformasi, cukup banyak peraturan perundang-undangan yang
mengakomodir nilai-nilai hukum Islam.
Kondisi Islam pada masa era reformasi juga menunjukkan tanda-tanda
positif. Peraturan yang memuat nilai-nilai hukum Islam yang telah ditetapkan
dalam bentuk undang-undang, diantaranya adalah UU No. 23 tahun 2011 Tentang
14

Pengelolaan Zakat, UU No. 34 tahun 2009 tentang ibadah haji, UU No. 21 tahun
2008 tentang Perbankan Syariah, UU No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga
Syariah Negara dan lain sebagainya.
Proses pengakomodasian hukum keperdataan Islam disini adalah untuk
memberi inspirasi kepada terbentuknya hukum positif Islam dalam ranah hukum
pidana. Hukum merupakan produk politik sehingga politik hukum dalam rangka
proses akomodasi hukum pidana Islam ke dalam hukum pidana nasional ditempuh
melalui kontestasi politik di lembaga legislatif (DPR RI). Seperti hukum perdata
Islam yang ada saat ini merupakan hasil penggodokan dari lembaga legislatif yang
sama, sehingga proses ini sepatutnya menjadi rujukan dan masukan yang berharga
bagi proses akomodasi hukum pidana Islam ke depannya.
15

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Setelah membaca uraian-uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Sejarah proses pengakomodasian hukum Islam ke dalam hukum pidana
nasional di Indonesia terus berjalan sejak jaman kesultanan, jaman kolonial
Belanda, jaman kemerdekaan, jaman Orde Lama sampai dengan jaman
Reformasi saat ini. Namun eksistensinya hingga kini terus diperjuangkan,
bahkan di Aceh penerapan hukum pidana Islam memasuki era baru dengan
diterapkannya hukuman cambuk.
2. Pembaharuan sistem hukum pidana nasional melalui pembahasan RUU
KUHP sekarang ini sebagai upaya untuk mengakomodasi aspirasi sebagian
besar umat beragama di Indonesia. Berbagai delik tentang agama ataupun
yang berkaitan dengan agama mulai dirumuskan dalam RUU tersebut,
misalnya tentang penghinaan agama, merintangi ibadah atau upacara
keagamaan, perusakan bangunan ibadah, penghinaan terhadap Tuhan,
penodaan terhadap agama atau kepercayaan dan lain sebagainya. Rumusan
semacam ini tidak mungkin didapati dalam hukum pidana yang diberlakukan
di negara-negara sekular, sebab urusan agama bukan urusan negara dan
menjadi hak individu masing-masing warga negara. Selain beberapa pasal
yang terkait dengan delik agama, dalam rancangan tersebut juga dimasukkan
pasal-pasal baru yang berkaitan dengan delik kesusilaan, seperti berbagai
bentuk persetubuhan di luar pernikahan yang sah atau yang melanggar
ketentuan agama. Tentu saja masih banyak pasal-pasal lain yang terkait
dengan materi Hukum Pidana Islam dalam RUU KUHP tersebut, sehingga
pada akhirnya nanti apabila telah disahkan Hukum Pidana Islam dapat
terakomodir dalam hukum pidana nasional.
3. Pengakomodasian hukum pidana Islam ke dalam hukum pidana nasional akan
saling melengkapi sekaligus menjadi jawaban atas problem kriminalitas yang
hingga kini tidak pernah usai.
16

B. Saran
Dalam rangka dilakukannya upaya pembangunan hukum nasional
alangkah baiknya memperhatikan asas-asas yang terdapat dalam hukum Islam
karena hukum Islam ini telah mengakar lama dalam masyarakat Indonesia. Hal ini
dapat dilakukan dengan kajian terhadap hukum Islam secara mendalam dengan
memperhatikan wawasan kebangsaan. Lembaga Legislasi dalam pembentukan
hukum nasional juga harus selalu berkoordinasi dengan lembaga-lembaga
pengkaji hukum Islam yang ada di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai