Anda di halaman 1dari 20

1

Studi Penyelesaian Kasus Kepemimpinan Perempuan


oleh: Wiwid Purwawan 1

Abstrak
Dewasa ini bersama dengan perkembangan kemajuan zaman
pengembangan sumberdaya manusia sangat pesat baik laki-laki maupun
perempuan. Dalam hamper disemua bidang laki-laki maupun perempuan
memiliki kesempatan yang sama didalam hak untuk mengembangkan diri,
sehingga kedua jenis makhluk ini bisa mencapai keunggulan diberbagai
bidang yang di pilih. Diantara yang muncul akibat perkembangan yang
posistif ini adalah tema tentang kepemimpinan perempuan dalam pandangan
agama Islam. Dalam wacana politik Islam apa hukum kepemimpinan
perempuan.
Kepemimpinan perempuan menurut pandangan yang masyhur
dikalangan ulama adalah tidak boleh berdasarkan argumen ayat Al Qur’an
Surat An Nisa’ ayat 34 dan Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh oleh
Bukhori dan Muslim melalui Abu Bakroh. Meskipun ada pandangan yang
membolehkan tapi hanya sebatas kepemimpinan sektoral bukan
kepemimpinan tertinggi, kecuali Imam Ibn Jarir membolehkan secara
muthlaq.
Kepemimpinan dalam Islam adalah murupakan syariat tetapi ia
menempati posisi sarana untuk mencapai tujuan kemaslahatan umat.
Kepemimpinan menjadi penting ketika ia mampu mewujudkan tujuan dan ia
tidak bermakna apa-apa jika tidak bisa merealisasikan cita-cita kemaslahatan
umat, baik kemaslahatan bersifat diiny maupun kemaslahatan yang bersifat
badani. Disini tentang siapa yang berhak memimpin tergantung kepada
kapasitas dan kemampuan tanpa melihat jenis kelamin laki-laki maupun
perempuan, meskipun secara tabiat kepemimpinan dalam skala makro lebih
cocok di ambil oleh jenis kelamin laki-laki. Pandangan demikian bisa
dihasilkan dari sudut pandangan ijtihad berdasarkan mashlahat seperti
tertuang dalam kitab Qawaidul ahkam fi mashalihil anam karya ‘Izzuddin
ibn abd As-Salam.
Kata Kunci: Kepemimpinan Perempuan, maqashid, mashlahah

A. Pendahuluan

1
Makalah disusun sebagai bahan diskusi pada Mata Kuliah Metodologi Tafsir Ahkam,
Program Ilmu Al Qur’an dan Tafsir Institut PTIQ Jakarta, Sabtu 28 April 2018, Dosen
Pengampu DR. Muqsit Ghazali, MA.
2

Wacana tentang kepemimpinan perempuan dalam Islam merupakan


salah satu tema yang sering diperbincangkan sejak dulu hingga sekarang.
Berbagai diskusi dikalangan para ulama terjadi diberbagai masa untuk
menjawab apa hukum kepemimpinan perempuan dalam Islam. Para ulama
telah membahas tema ini dengan berbagai metode Ijtihad. Argumen-argumen
dikemukan untuk menghasilkan sebuah kesimpulan apakah kepemimpinan
perempuan diakui dalam agama Islam atau tidak.
Pada makalah ini akan dibahas bagaimana penyelesaian kasus
kepemimpinan perempuan ini berdasarkan motode ijtihad seorang ulama
besar dizamanya yaitu Izzuddin Ibn Abd as-Salam dalam kitab Qawaid al-
Ahkam fi Mashalah al-Anam.

B. Biografi singkat Izzudin Ibn Abd al-Salam


Nama, Nasab dan Nisbat
Abu Muhammad, Izzuddin Abdul Aziz bin Abdussalam bin Abul
Qosim bin Al-Hasan bin Muhammad bin Muhadzdzab As-Sulmi Al-
Maghrobi Ad-Damasyqi Al-Mishri Asy-Syafi’i, begitulah nama, nasab dan
nisbat beliau.
Nama asli Imam Izzuddin adalah Abdul Aziz, Abu Muhammad
adalah kunyah beliau, sedangkan “izzuddin”, yang artinya “kebanggaan
agama” adalah laqob (julukan/gelar) beliau. Pemberian gelar dengan
tambahan “ad-din” (agama) sedang masyhur dikala itu, banyak para ulama’
dan para pemimpin menambahkan kata tersebut dalam gelar mereka, sebut
saja semisal Sholahuddin Yusuf, Ruknuddin Adzdzohir Beibres, Tajuddin
Abdul Wahab bin Bintul Al’A’azz, dan lainnya. Namun biasanya penyebutan
nama beliau disingkat dengan “Al-‘Izz bin Abdussalam”.2
Selain gelar izzuddin, beliau juga diberi gelar “Sulthonul Ulama’”
yang artinya sultan/raja dari para ulama’, gelar ini dipopulerkan oleh murid
beliau, Imam Ibnu Daqiq Al-’Id. Kemungkinan gelar ini disematkan pada
nama beliau lantaran beliau dikenal sebagai seorang ulama’ yang berani
menentang kebijakan-kebijakan pemerintah yang tak sejalan dengan ajaran
agama, dan mendatangi para penguasa untuk menyampaikan hujah-hujah
beliau dihadapan mereka.
Adapun nisbat As-Sulmi (huruf sin-nya dibaca dhommah,
sebagaimana yang tertera pada lampiran pertama naskah kitab tafsir brliau,
dan juga sebagaimana dikemukakan dalam beberapa sumber yang
menjelaskan biografi beliau) mengarah pada satu kabi;lah yang bernama
Bani Sulaim, salah satu kabilah yang masih dari kabilah-kabilah Mudhor.

2
Dr. Muhammad Az-Zuhaili, Al ‘Izz Ibn Abd As-Salam, (Damaskus: Darul Qalam,1992)
Hal. 39
3

Daerah asal nenek moyang beliau adalah daerah Maghrib (Maroko)


karena itu terdapat kata “Al-Maghrobi” pada nisbat beliau. Lalu nenek
moyang beliau pindah ke Damaskus, dan disitulah beliau dilahirkan,
makanya beliau diberi nisbat “Ad-Damasyqi”. Sedangkan nisbat “Al-Mishri”
dicantumkan dalam nama beliau sebab beliau pindah ke Negara mesir dan
menetap disana. Adapun nisbat “Asy-Syafi’i” sudah maklum kiranya sebab
beliau merupakan pengikut madzhab Syafi’i meskipun dalam beberapa hal
beliau memiliki pendapat yang berseberangan dengan madzhab syafi’i.

Kelahiran dan Perkembangan


Semua sumber sejarah yang mencantumkan biografi beliau sepakat
bahwa beliau dilahirkan di Damaskus, Syiria, hanya saja terdapat dua
pendapat berbeda mengenai tahun kelahiran beliau, ada yang menyatakan
beliau lahir pada tahun 577 H. dan ada yang menyatakan beliau lahir pada
tahun 578 H.
Imam Izzuddin Ibnu Abdissalam dilahirkan dari keluarga miskin dan
dari keturunan biasa, karena itulah sangat sedikit informasi yang didapat
mengenai kehidupan masa kecil beliau dan sejarah nenek moyang beliau,
karena memang beliau bukanlah keturunan seorang ulama’, orang
terpandang, atau pemimpin pemeritahan. Syaikh Ibnu As-Subki
mengisahkan, bahwa pada masa awal hidupnya Imam Izzuddin sangat faqir,
karena itulah beliau baru mulai menuntut ilmu pada usiau tua.

Masa-Masa Menuntut Ilmu


Meskipun beliau baru mulai menuntut ilmu pada usia tua, namun
beliau sangat bersemangat menghafalkan kitab dan giat belajar, dan secara
berkala mengaji p[ada para ulama’ besar pada masa beliau, semua itu beliau
lakukan untuk menebus masa kecil beliau yang tak sempat mengenyam
pendidikan karena keadan keluarga beliau yang miskin.
Ketekunan dan ketelatenan beliau bisa kiuta lihat dari sikap beliau
yang tak mau memutuskan pelajaran sebelum menyelesaikannya. Dikisahkan
bahwa suatuketika guru beliau berkata; “Engkau sudah tidak membutuhkan
apa-apa dariku lagi”, namun Imam Izzuddin tetap saja mengaji dengan tekun
kepada sang guru dan mengikuti pelajaran sang guru hingga selesai kajian
kitab yang diajarkan.
Ketekunan beliau juga dituunjukkan dengan jarangnya tidur pada
malam hari, beliau pernah berkata bahwa selama 30 tahun beliau tidak tidur
sebelum benar-benar memahami kitab yang sedang beliau pelajari. Selain itu
lingkunagn dimana beliau tinggal, yaitu Damaskus pada waktu itu adalah
kawasannya para ulama’, daerah yang dipenuhi ulama’-ulama’ yang masyhur
dalam berbagai ilmu.
4

Guru - Guru Imam Izzuddin Ibn Abd as-Salam


1. Al-Qodhi Abdus Shomad Al-Harostani
Al-Qodhi Abdus Shomad bin Muhammad bin Ali bin Abdul Wahid
bin Al-Harostani Al-Anshori Al-Khozroji Al-Ubadi As-Sa’di Ad-Damasyqi
merupakan seorang qodhi (hakim) yang dikenal adil, zuhud dan wira’i,
beliau merupakan salah satu pembesar fuqoha’ madzhab syafi’i, imam
izzuddin menceritakan bahwa gurunya ini hafal kitab “Al-Wasith” karya
imam ghozali. Tak heran jika Imam Izzuddin begitu kagum pada gurunya
tersebut, Imam Izzuddin sampai mengatakan; “Tak pernah aku melihat orang
yang ahli fiqih seperti beliau”.
Al-Qodhi Abdus Shomad Al-Harostani dikenal sebagai seorang
hakim yang sangat berani dan tegas dalam memberikan keputusan hukum,
Dikisahkan suatu ketika ada dua orang yang mengadukan permasalahan yang
menimbulkan pertikaian diantara keduanya, salah satu diantara mereka
membawa surat dari sang raja yang ditujukan kepasa sang qodhi yang berisi
wasiat kepada qodhi, namun ketika beliau menerima surat itu, beliau tidak
membukanya, setelah mendengarkan keterangan dari kedua orang tersebut
beliau memberikan keputusan bahwa orang yang membawa surat dari raja
itulah yang benar. Setelah memberikan keputusan, sang qodhi baru membuka
surat tersebut, lalu membacanya dan mengembalikannya kepada orang yang
membawa surat tersebut, seraya berkata; “Kitabulloh (al-qur’an) telah telah
memberikan keputusan pada kitab (surat) ini”. Apa yang beliau lakukan
akhirnya sampai kepada raja, lalu sang raja berkata; “Dia benar, kitabulloh
lebih utama dari kitabku”.
Keberanian gurunya inilah yang sangat membekas dan berpengaruh
pada keperibadian imam izzuddin, ini nampak ketika kelak beliau mulai
memberikan fatwa, seringkali fatwa beliau berseberangan dengan apa yang
dikehendaki oleh para pemimpin-pemimpin daulah Mamalik di Mesir. Imam
Izzuddin juga memiliki pendapat yang berseberangan dengan raja
Najmuddin Ayyub hingga membuat sang raja marah besar.
2. Syaikh Saifuddin Al-Amidi
Dalam bidang ushul (ilmu tauhid), Imam Izzuddin belajar pada
Syaikh Saifuddin Al-Amidi, seorang ulama’ yang dikenal sangat pandai
dalam bidang ushul dan diskusi (munadhoroh). Imam Izzuddin sangat
terpengaruh dengan Syaikh Al-‘Amidi dan mengagumi gurunya itu, Imam
Izzuddin mengatakan; “Tak pernah aku mendengar orang yang
menyampaikan pelajaran sebagus beliau”, Imam Izzuddin juga pernah
berkata; “Aku tidak mengetahui kaidah-kaidah berdiskusi kecuali dari
beliau”.
3. Imam Fakhruddin bin ‘Asakir
Abu Manshur Abdurrohman bin Muhammad bin Al-Hasan bin
Hibatulloh bin Abdulloh bin Al-Husain Ad-Damasyqi, atau yang lebih
5

dikenal dengan sebutan Ibnu ‘Asakir merupakan guru imam izzuddin dalam
bidang hadits dan fiqih madzhab syafi’i, seorang ulama’ yang dikenal wira’i
dan zuhud. Beliau juga dikenal sebagai ulama’ yang sangat berani dalam
memberikan fatwa dan tak perduli meskipun keputusannya itu bertentangan
dengan keputusan yang dikeluarkan oleh raja, jika memang menurut beliau
keputusan itu salah dan melanggar agama.. Beliau menolak dijadikan sebagai
hakim ketika diminta oleh raja, dan mengatakan kepada sang raja; “Cari saja
orang lain”.
Ketiga ulama’ inilah guru-guru yang berpengaruh besar pada akhlak
dan pola pemikiran beliau kelak. Selain ketiga ulama’ tersebut, Imam
izzuddin juga belajar kepada beberapa ulama’ lainnya, diantaranya ;
4. Syaikh Al-Qosim bin ‘Asakir
Beliau adalah Al-Hafidh Baha’uddin Abu Muhammad Al-Qosim bin
Al-hafidh Al-Kabir Abul Qosim boin Asakir.
5. Syaikh Abdullathif bin Syaikhus Syiuyukh
Beliau adalah Abul Hasan Dhiya’uddin Abdullathif bin Isma’il bin
Syaikhus Suyukh Abu Sa’d Al-Baghdadi. Beliau merupakan guru imam
izzuddin fdalam bidang hadits.
6. Syaikh Al-Khusyu’i
Beliau adalah Abu Thohir Barokat bin Ibrohim bin Thohir Al-
Khusyu’i. Beliau merupakan guru imam izzuddin fdalam bidang hadits.
7. Syaikh Hanbal Ar-Rushofi
Beliau adalah Abu ‘Ali Hambal bin Abdulloh bin Al-Faroj bin
Sa’adah. Beliau merupakan guru imam izzuddin fdalam bidang hadits.
8. Syaikh Umar bin Thobarzad
Beliau adalah Abu Hafsh Umar bin Muhammad bin Yahya, yang
lebih dikenal dengan Ibnu Thobarzad Ad-Darqozi.
Karir Intelektual Imam Izzuddin
Setelah imam izzuddin belajar kepada guru-guru tersebut, beliau
mulai kehidupan intelektual beliau dengan mengajar, berfatwa dan menjadi
khothib. Berikut ini akan dijelaskan secara rinci kegiatan-kegiatan beliau
tersebut.
Pertama; Mengajar
Selama beliau tinggal di Damaskus, beliau mengajar dibeberapa
madrasah, diantaranya :
1. Madrasah Al-‘Aziziyah
Imam Izzuddin ditetapkan sebagai staf pengajar dimadrasah ini, yang juga
merupakan tempat mengajar guru beliau, Imam Al-Amidi, beliau sudah
mulai mengajar ditempat ini saat guru beliau itu juga masih mengajar disana.
2. Zawiyah Al-Ghozaliyah
Zawiyah Al-Ghozaliyah adalah sebiah tempat kecil yang berada disalah satu
sudut masjid jami’ al-umawi (zawiyah artinya pojokan). Tempat ini
6

dinamakan zawiyah al-ghozaliyah karena sering dipakai oleh imam Ghozali


sebagai tempat i’tikaf dan juga mengajar murid-muridnya. Tempat ini
merupakan tempat yang digunakan sebagai tempat mengajar oleh beberapa
ulama’ besar pada masa itu. Imam Izzuddin ditetapkan oleh Sultan Al-Kamil
sebagai pengajar ditempat itu menggantikan Syaikh Jamaluddin bin
Muhammad Ad-Daula’i yang telah wafat.
Kedua; Berfatwa
Pada masa beliau memberikan fatwa bukanlah tugas resmi dimana
pemerintah menetapkan seseorang menjadi mufti yang memiliki tugas
khusus untuk memberikan fatwa, Berfatwa adalah tanggung jawab moral
yang dijalankan oleh seorang ulama’ yang sudah ahli, wira’i dan bertakwa.
Jika ada orang yang sudah memenuhi kriteria tersebut maka masyarakat
dengan sendirinya akan mendatangi orang tersebut untuk dimintai fatwa
mengenai satu permasalahan. Jadi pada masa beliau berfatwa bukanlah tugas
dari pemerintah namun murni karena Allah semata.
Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya, imam izzuddin sangat
terpengaruh dengan ketegasan guru-gurunya dalam berfatwa dan tak
memperdulikan jika pendapat beliau bertentangan dengan penguasa.
Dikisahkan bahwa beliau memiliki pendapat yang berbeda dengan
Sultan Al-Asraf mengenai masalah hakikat al-qur’an, yang pada kurun itu
merupakan salah satu masalah yang menyebabkan fitnah yang sangat besar
dikalangan kaum muslimin. Beberapa orang yang mengetahui bahwa
pendapat beliau berbeda dengan sultan sengaja mengajukan pertanyaan
tersebut kepada imam izzuddin, dan nanti jawaban itu akan disampaikan
kepada sang raja. Saat orang-orang itu menghadap beliau berkata;
“permintaan untuk menulis fatwa mengenai masalah ini adalah ujian bagiku,
demi Allah aku hanya akan menulis pendapat yang haq”.
Lalu beliau menulis kitab beliau yang masyhur “Milhatul I’tiqod”.
Ketika kitab itu dibaca oleh Sultan Asyraf, ia marah dan menuliskan jawaban
dari kitab fatwa tersebut, setelah sampai pada imam izzuddin, jawaban sang
raja diminta untuk dikembalikan lagi. Hal ini membuat sultan marah besar
lalu mengutus perdana menterinya yang bernama Al-Ghoroz untuk
mendatangi imam izzuddin dan memberitahukan 3 keputusan yang
diberlakukan bagi beliau, yaitu; larangan memberikan fatwa, tidak boleh
bertemu dengan siapapun dan tidak boleh keluar rumah.
Setelah mendengar apa yang disampaikan oleh Al-Ghoroz, imam
izzuddin berkata : “Wahai Ghoroz, 3 ketetapan itu adalah nikmat yang sangat
besar dari Allah kepadaku, yang wajib disyukuri selamanya. Aku
memberikan fatwa secara suka rela dan sebenarnya aku tidak menyukainya
karena aku berkeyakinan bahwa seorang mufti berada ditepi neraka
jahannam, jika saja bukan karena aku meyakini bahwa tugas ini merupakan
kewajiban dari Allah yang harus aku emban dimasa ini tentu aku tak akan
7

mengerjakannya, dan sekarang aku telah memiliki udzur untuk tidak


melaksanakan tugas tersebut dan aku terbebas dari tanggunganku, jadi aku
patut berucap Alhamdulillah.
Wahai Ghoroz, ketetapan agar aku tetap dirumah merupakan suatu
keberuntungan bagiku, karena keadaan itu adalah kesempatan bagiku untuk
menghabiskan waktu beribadah kepada Allah, karena orang yang beruntung
adalah orang yang tetap tinggal didalam rumah, menangisi segala kesalahan
yang telah diperbuat dan menyibukkan diri beribadah kepada Allah. Sultan
member keputusan itu karena marah sedangkan aku yang menerimanya
malah senang.
Demi Allah, wahai Ghoroz, andai saja aku memiliki mahkota yang
pantas untukmu akan aku lepas dan kuberikan padamu sebagai imbalan surat
yang berisi kabar gembira dari sang raja, ambillah sajadah ini dan pakailah
untuk sholat. Setelah beliau menyerahkan sajadah itu Ghoroz kembali
keistana untuk menghadap sultan dan menyampaikan semua yang dikatakan
imam izzuddin. Mendengar cerita itu sang raja berkata kepada orang-orang
yang hadir disityu; “Coba katakana kepadaku, apa yang harus aku lakukan
kepada dia, lelaki ini menganggap hukuman sebagai nikmat”.
Keadaan imam izzuddin yang dilarang berfatwa, tidak boleh bertemu
siapa siapa dan keluar dari rumah berlangsung selama 3 hari, hingga
akhirnya Syaikh Al-Allamah Jamaluddin Al-Hushoiri, seorang ulama’
pembesar madzhab Hanafi dimasa itu menghadap kepada sultan Al-Asyraf.
Syaikh Jamaluddin berkata pada sultan; “Apa yang terjadi antara anda dan
Ibnu Abdissalam, orang ini adalah seorang lelaki yang jika saja ia berada di
negeri india atau berada diujung dunia, sudah sepantasnya bagi seorang
sultan untuk pergi menghadap kepadanya, dan memintanya untuk tinggal
dinegerinya agar negerinya bertambah berkah, dan agar negerinya berbangga
karena ada seorang ulama’ besar yang tinggal dinegeri itu”.
Sultan berkata; “Saya memiliki tulisan fatwanya mengenai masalah
aqidah, juga satu tulisan lagi yang ditulis sebagai jawaban atas satu
pertanyaan”. Lalu sang sultan memperlihatkan kedua tulisan tersebut dan
membacanya dari awal sampai akhir, setelah membacanya Syaikh
Jamaluddin berkata; “Ini adalah i’tiqod dan keyakinan semua orang islam
dan merupakan syi’ar orang-orang sholih, semua yang tertulis disitu adalah
benar”.
Mendengar pernyataan dari Syaikh Jamaluddin sang sultan mengakui
kesalahannya lalu berucap; “Kami memohon ampun pada Allah atas segala
yang telah terjadi dan kami akan membayar kesalahan kami dengan
memberikan hak beliau”. Setelah kejadian itu sultan meminta maaf kepada
belimam izzuddin. Semenjak saat itu sang sultan menuruti semua fatwa
beliau dan meminta pertimbangan beliau sebelum mengambil keputusan.
8

Pada saat sang sultan sakit parah dan merasa bahwa ajlnya sudah
dekat, sultan memanggil imam izzuddin untuk meminta maaf atas segala
kesalahan yang telah diperbuat kepada san imam dan meminta beliau untuk
memberikan nasehat. Memenuhi permintaan sultan, imam izzuddin
memberikan nasehat untuk membatalkan pengiriman bala tentara yang telah
disiapkan untuk memerangi saudara sultan Al-Asyraf yaitu sultan Al-Kamil
yang berkuasa di Mesir, dan mengalihkan tentara tersebut untuk memerangi
tentara Tartar yang menjadi musuh bersama, kala itu tentara Tartar sudah
mulai mulai menguasai bagian timur Negara-negara islam. Sultan Asyraf
mematuhi nasehat dan saran dari imam Izzuddin lalu mengirimkan pasukan
untuk memerai tentara tartar.
Selain itu imam izzuddin memberikan nasehat kepada sultan agar
menindak tegas para pegawainya yang berzina, suka mabuk-mabukan,
meminta pungutan liar dari kaum muslimin dan bersikap dholim pada warga,
beliau meminta sultan untuk memberantas semua itu. Beliau juga bercerita
pada sultan bahwa sebagian dari hal-hal tersebut telah mampu beliau
hilangkan dengan usahanya.
Setelah mendengar semua nasehat dari sang imam, sultan Asyraf
berkata; “Semoga Allah membalas atas jasa anda pada agama dan atas semua
nasehat yang telah anda beikat, dan semoga Allah mengumpulkan aku
dengan anda kelak disurga”, lalu sang sultan memberikan uang 1000 dinan
mesir namun beliau menolaknya seraya berkata ; “Pertemuan kita ini adalah
murni karena Allah, karena itu aku tak akan mengotorinya dengan urusan
dunia”.
Setelah meninggalnya Sultan Asyraf, kepemimpinan beralih kepada
wakilnya yaitu Sultan Ismail. Maka Sultan Isma’il yang pada akhirnya
menjalankan nasehat dari Imam Izzuddin untuk menindak pegawai-pegawai
pemerintah yang suka melakukan kemungkaran.
Ketegasan imam izzuddin dalam memberikan fatwa juga
ditampakkan pada masa pemerintahan Sultan Isma’il, beliau menentang
kebijakan Sultan isma’il yang bersekongkol dengan tentara salib dan
meminta bantuan mereka untuk berperang melawan Sultan Najmuddin
Ayyub bin Kamil yang berkuasa di Mesir, tentu saja bantuan dari tentara
salib itu tidak diberikan dengan cuma-cuma, Sultan Isma’il menyerahkan
beberapa benterng yang sebelumnya dikuasai kaum muslimin kepada tentara
salib.
Selain itu tentara salib diperkenankan masuk ke Damaskus untuk
membeli alat-alat perang yang akan digunakan untuk berperang menyerang
mesir. Para pembuat persenjataan perang dan penjualnya datang kepada
Imam Izzuddin untuk menanyakan hukum membuat dan menjual alat-alat
perang kepada tentara salib yang bersekongkol dengan Sultan Isma’il. Maka
Imam Izzuddin memberikan fatwa bahwa hal tersebut dilarang, beliau
9

berkata; “Diharamkan bagi kalian menjual pedang alat-alat perang kepada


mereka, sebab kalian telah yakin bahwa mereka akan menggunakannya
untuk memerangi saudara-saudara kalian sendiri yang sama-sama beragama
Islam”. Fatwa inilah yang membuat sang raja marah besar pada beliau,
namun Imam Izzuddin tak memperdulikan hal tersebut, karena bagi beliau
memang fatwa itulah yang seharusnya diberikan.
Keahlian dan ketegasan beliau dalam berfatwa itulah yang membuat
nama beliau dikenal dimana-mana, sampai sampai beberapa orang sengaja
datang jauh-jauh menghadap beliau hanya untuk meminta fatwa.
Kemasyhuran beliau juga sampai kenegeri Mesir sebelum akhirnya beliau
pindah kesana, ini terbukti ketika beliau pindah ke Mesir, ulama’ yang
menjadi mufti disana, yaitu Al-Hafidh Al-Mundhiri sudah tak mau lagi
memberikan fatwa, Imam Al-Mundhiri memberikan alas an; “Aku
memberikan fatwa sebelum Syaikh Izzuddin datang, jika beliau telah datang
maka beliau yang lebih pantas untuk menjadi mufti”.
Ketiga; Menjadi Khothib
Imam Izzuddin Ibnu Abdissalam menjadi khothib di masjid jami’ Al-
Umawi pada masa pemerintahan Sultan isma’il, beliau mulai ditetapkan
sebagai khothib pada bulan robi’ul awwal tahun 637 H. Pada saat menjadi
khothib beliau menghilangkan beberapa hal yang beliau anggap sebagai
perbuatan bid’ah, seperti mengetokkan pedang kemimbar, memakai pakaian
hitam, menggunakan kalimat-kalimat yang diperindah yang terlalu
dipaksakan dan pujian kepada para sultan. Pujian-pujian kepada sultan yang
biasanya diucapkan ketika khutbah beliau ganti dengan do’a untuk mereka.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Imam
Izzuddin menentang keras kebijakan sultan yang akan memerangi
saudaranya sendiri, penguasa mesir dengan meminta bantuan tentara salib,
dan beliau memberikan fatwa agar para penjual perlengkapan perang tidak
menjualnya kepada tentara salib. Selain memberikan fatwa yang sangat
berani, dalam khutbahnya beliau menyindir sang sultan dalam khutbah yang
beliau sampaikan di Masjid jami’ Umayyah. Beliau mengucapkan do’a tidak
seperti biasanya, beliau berdo’a;
‫اللهم أبرم لهذه األمة أمرا رشدا تعز فيه وليك وتذل به عدوك ويعمل فيه بطاعتك وينهى فيه عن‬
‫معصيتك‬
“Ya Allah, kuatkanlah umat ini dengan aturan yang benar, yang akan
memuliakan kekasihMu dan merendahkan musuhMu, mengamalkan ketaatan
kepadaMu dan mencegah berbuat maksiat kepadaMU”.
Ketika beliau menyampaikan khutbah itu sang sultan sedang berada
diluar Damaskus, lalu setelang Sang Sultan diberikan kabar akan hal itu ia
semakin marah karena do’a itu jelas jelas menyindirnya, karena itulah ia
mengeluarkan keputusan untuk memberhentikan imam izzuddin sebagai
khotib dan menghukum beliau dengan hukuman tahanan. Namun setelah
10

sultan kembali ke Damaskus atas berbagai pertimbangan ia memutuskan


untuk melepaskan imam izzuddin. Dan setelah imam izzuddin keluar dari
tahanan beliau pergi ke Baitul Maqdis dan berencana untuk pindah ke Mesir.

Kondisi politik
Kondisi politik dimasa Izzuddin adalah kondisi politk yang sulit
paska keberhasilah Shalhuddin Al Ayyubi yang fenomenal. Dimana
kepemimpinan khilafah Islamiyah dibawah kekuasaan Bnai Abbasiah yang
dalam kondisi sudah melemah.
Juga pemerintahan Syam dan Mesir yang sudah beralih kepada anak
keturunan Shalahuddin dimana timbul diantarra mereka persaingan
kekuasaan secara internal dan eksternal selalu ancaman musuh dari pasukan
Mongol dan tentara Salib terus mengintai menjalankan agenda politiknya
untuk menguasai kembali Baitul Maqdis.

Hubungan Izzuddin Ibn Abd al-Salam dengan para penguasa.


Di antara tugas ulama yang paling utama adalah beramar ma’ruf nahi
mungkar. Dalam hal ini, Imam Al-Izzu berada di garda terdepan dalam
mengaplikasikan tugas tersebut. Setiap kali melihat perbuatan ma’ruf
ditinggalkan, ia menyeru umat untuk mengerjakannya. Sebaliknya bila
perbuatan mungkar merajalela, ia tak segan-segan turun tangan
mencegahnya.
Rasulullah SAW pernah menyatakan bahwa sebaik-baik jihad adalah
mengatakan yang haq di depan penguasa yang zalim. Bagi seorang Al-Izzu,
hadits tersebut sebagai pelecut semangat. Sehingga tidak jarang ia harus
mendatangi para penguasa untuk sekedar menyampaikan nasihat dan kritikan
di depan mereka secara langsung.
Pernah suatu ketika Imam Izzuddin Ibnu Abdus Salam menemui
Sultan Najamudin Ayyub yang tengah duduk dalam istananya. Pada saat itu
istananya yang megah tengah ramai. Imam Al-Izzu berkata,”Hai Ayyub, apa
hujjahmu di depan Allah bila Dia bertanya padamu,’bukankah Aku telah
memberikanmu kekuasaan di Mesir, lalu kenapa kamu menjual Khamar.’”
Sultan menjawab,”Apa itu benar terjadi?”
“Benar, seorang wanita menjual khamer di kedainya sedang engkau
asyik-asyik duduk di istanamu!” Jawab sang Imam.
“Tuanku, itu adalah kebijakan sultan sebelumnya yaitu ayahku.” Sultan
membela diri.
“Berarti engkau termasuk di antara mereka yang mengatakan ‘inna
wajadna aba’ana ala ummah’ (Sesungguhnya Kami mendapati bapak-bapak
kami menganut suatu agama, dan Sesungguhnya kami orang-orang yang
mendapat petunjuk mereka).” Beliau lalu meminta sultan menutup kedai itu.
11

Imam Al-Izzu ditanya apa ia tidak takut saat mengeritik sultan di majelis
yang penuh dengan orang-orang yang culas. Beliau menjawab,”Anakku, aku
menghadirkan ketakutan pada Allah, serta merta sultan bagaikan kucing di
hadapanku.” Sultan akhirnya menutup kedai yang dimaksud dan sejak saat
itu ia berkomitmen tidak akan membiarkan setiap kemunkaran yang ada.

Karya Izzuddin Ibn Abd al-Salam


Di antara karya-karya beliau adalah:
1. Al-Qawaid Al-Kubro
2. Al-Qawaid As-Shughra
3. Qawaidhul Ahkam fi Masalihil Anam
4. Al-Imamah fi Adillatil Ahkam
5. Al-Fatawa Al-Misriyah
6. Al-Fatawa Al-Maushuliyah
7. Majaz Al-Qur’an
8. Syajarah Al-Ma’arif
9. At-Tafsir
10. Al-Ghayah fi Ikhtishar An-Nihayah
11. Mukhtasar Shahih Muslim dan lain-lain

C. Mengenal Kitab Qawaid al- Ahkam fi Mashalaih al- Anam karya


Izzuddin Ibn Abdi al-Salam
Kitab ini dikenal sebagai Al-Qawaid Kubro. Merupkan kitab pertama
dalam bab Nazhariyatul maqashid sebagaimana disebutkan oleh Imam
Suyuti dalam kitab Al Asybah Wan Nazair. Izzuddin Ibn Abd al-Salam
dalam kitab mendatangkan pendekatan-pendekatan baru dalam teori fiqih
yang banyak tidak terpikirkan oleh ulama yang lain sebelumnya. Bahkan
ulama-ilama setelahnya banyak mengambil berbagai teori dari kitab ini,
seperti Imam Ibnu Taimiyyah, Syahbuddin Al Qarafi dan selain keduanya.

Tujuan dan tema penulisan kitab Qawaid Kubro


Imam Izzuddin mengatakan: tujuan penulisan kitab ini merupakan
penjelasan tentang berbagai kemashalahatan dalam hal ketaatan, muamalat
dan berbagai tindakan supaya para dapat memperolehnya (baca:
mencapainya). Juga merupakan penjelasan tentang tujuan dibalik larangan
supaya para hamba dapat mencegahnya. Kitab ini merupakan penjelasan
tentang berbagai kebaikan dalam hal yang mubah sehingga para hamba bisa
memilih berbagai hal mubah tersebut. Kitab ini menjelaskan apasaja
kemaslahatan yang lebih didahulukan dari pada mashlahat yang lain, dan
mafsadat apa saja yang lebih dahulu dihilangkan dibandingkan yang lain,
12

yang masih dalam batas kemampuan seorang hamba, dan tidak termasuk
yang diuar kemampuan dan potensi hamba tersebut. 3

Urgensi maqashid
Selanjutnya Syeikh Izzudin menyebutkan urgensi tema ini, bahwa
Syariat semuanya merupakan arahan (nashaih), apakah berbentuk penolakan
berbagai kerusakan atau berbentuk arahan untuk mendapatkan berbagai
kebaikan (mashlahat). Jika anda mendengan redaksi “wahai orang-orang
yang beriman”, maka perhatikan apa arahan yang akan keluar setelah
panggilan tersebut. Engkau pasti akan mendapati kebaikan yang
diperintahkan atau warning akan kerusakan yang mesti dijauhi, atau bisa
perpaduan antara perintah dan larangan. Sesungguhnya Allah telah
mejelaskan dalam Al Qur’an berbagai kebaikan untuk dilaksanakan dan
berbagai kerusakan agar jauhi.4

Definisi maqashid
Kitab ini merupakan kitab ilmu Maqashid Syar’iiyah dan Syekh
Izzuddin merupakan ulama pertama yang menulisnya sebagaimana Imam
Suyuti sampaikan. Ilmu Maqashid syar’iyyah adalah ilmu yang
menunjukkan berbagai kebaikan yang dijaga oleh berbagai bab syariah, ia
adalah ilmu untuk mengetahui hikmah atau tujuan ditetapkannya ataruan-
aturan dari syariat agama, juga ilmu yang menjaga berbagai ukuran dalam
syariat secara keseluruhan.

Objek kajian
Objek kajian kitab ini adalah sistem hukum yang dibawa oleh Nabi
Muhammad SAW berdasarkan sudut pandang maslahat dan mafsadat.

Tujuan Ilmu Maqashid


Adalah hilangkanya rasa keberatan atas apa-apa yang telah ditetapkan
oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, supaya tunduk patuh terhadap hukum-
hukum Ilahiyyah disertai keyakinan yang sempurna dan ketenangan serta
adanya keinginan untuk menjaga dimana jiwa tertarik secara keseluruhan dan
tidak ada potensi sedikitpun untuk menyelisihi hukum-hukum tersebut.
Para ulama syariah telah memberikan perhatian yang begitu besar sehingga
menjelaskan berbagai tujuan dan alasan (‘illah) juga kebaikan apasaja yang

3
DR. Nazih Kamal Hamad & DR. Utsman Jumah Dhamiriyah, Muqaddimah tahqid Kitab
Qawaid Al Ahkam Fi Mashalihail Anam lil Izz Ibn Abd As-Salam (Damaskus- Darul
Qalam, 2000) hal. 35
4
DR. Nazih Kamal Hamad & DR. Utsman Jumah Dhamiriyah, Muqaddimah tahqid Kitab
Qawaid Al Ahkam Fi Mashalihail Anam lil Izz Ibn Abd As-Salam (Damaskus- Darul
Qalam, 2000) hal. 36
13

dihasilkan oleh hukum. Bahwa tidak hukum yang disyariatkan kecuali ada
padanya kemaslahatan hikmah, hal ini ditangkap oleh para ulama secara
berbeda-beda sesuai dengan tingkat perhatian dan kemampuan ulama dalam
mengungkapnya. Dan Syekh Izzudiin Ibn Abd as-Slalam adalah dianta
ulama tekemuka yang memiliki kemampuan yang tinggi dalam bidang ini.

Sistematika penulisan kitab


Kitab Qawaid Kubra ditulis dengan sangat berbeda dengan kitab-
kitab qawaid kebanyakan. Ada ulama yang menulis kaidah brbdasarkan
urutan huruf hija’yyah tanpa melihat tema hukumnya, seperti dilakukan oleh
Imam Azzarkasyi dalam kitabnya Al Mantsur fil Qawaid. Juga bukan seperti
kitab qaaid yagn ditulis berdasarkan urutan bab fiqih seperti apa yang ditulis
oleh abu Abdillah Al Muqirri Al Maliki.
Secara ringkas berikut sistematika penulisan kitab Qawaid Kubro:
Sistematika Kitab Qawa`id al-Ahkam Limashalih al-Anam yangdisusun
Izzudin agak unik dan tidak linier. Di dalamnya terdapat kaidah ushuliyah
dan beberapa kaidah fiqhiyyah. Sebagai kitab yang pembicarakan tentang
kaidah ushuliyah, sistematika kitab ini tidak sama dengan kitab ushul
mutakalimin lainnya. Berdebatan tentang hakim, tahsin dan taqbikh yang
menjadi ciri ushul fiqh mutakallimin, tidak dibicarakan secara proporsional.
Hal yang sama juga terjadi berkaitan dengan adillah. Sejak awal kitab
Izzudin langsung fokus pada kajian tentang maqasid syar`iyyah. Oleh sebab
itu, wajar kalau ulama mengklasifikasikan kitab ini bukan dalam kitab ushul
fiqh, tetapi masuk dalam kitab qawa`id fiqhiyyah.
Kitab ini terdiri dari dua juz. Pada juz pertama Izzudin berbicara
tentang konsep maslahah dan mafsadah, pembagian dan tingkatannya. Di
pertengahan pembahasan tersebut, ia masukkan pasal-pasal tentang
perbuatan manusia, tingkatan, keadilan dan hal-hal yang terkait dari
keduanya, yang merupakan perluasan dari konsep yang diajukannya. Pada
bagian akhir dari juz I Izzuddin berbicara tentang ikhlas dan taat.
Adapun kaidah, penulisannya dengan kata-kata yang pendek tapi
sangat mencakup. Seperti kaidah: ‫كل تصرف تقاعد عن تحصبل مقصوده فهو‬
‫ باطل‬tetapi memang ada uraian dari kaidah merupakan penjelasan yang
panjang, seperti ketika membahas tentang muwazah bainal mashalih wal
mafasid. Ada juga kiadah yang dijelaskan secara singkat seperti kaidah: ‫كل‬
‫ تصرف شرع لمقصود واحد بطل بفوات ذلك المقصود‬. Jadi bisa disimpulkan
bahwa penjelasan dari berbagai kaidah panjang dan lebarnya tergantung
kebutuhan yang dilihat oleh Syekh Al Izz.
Terkait dengan penggunaan dalil, maka Syekh Izzuddin mengambil
dari Al Qur’an, Sunnah Nabawiyah yang dari kitab-kitab Shihah, juga Atsar
14

dari Shahabah, juga pertimbangan akal. Termasuk menggunakan disiplin


Qiyas dan Qiyas Aula serta cara-cara istidlal yang lain yang mu’tabar.

Keistimewaan kitab
Pertama, kitab ini ditulis dengan bahasa yang mudah, dengan nuansa
spiritual yang kuat, sehinga sangat sedikit ungkapan-ungkapan yang sulit
dipahami terlihat betapa sedikitnya yang memberikan syarah, penjelasan
terhadap isis kitab ini.
Kedua, ada spirit pembaharuan dari seorang da’i dan pemikir
sekaligus.
Ketiga, kitab yang aktual, dimana berbagai isu yang terjadi dan
menjadi kepentingan orang banyak dibahas secara jelas seperti keadilan
dalam kepemimpinan, kepemimpinan oleh orang yang lebih baik, bagaimana
jika syarat kepemimpinan ideal tidak terpenuhi.
Keempat, buku ini merupakan teori umu dalam masalah fiqih.
Kelima, jauh dari fanaitme mazhab, dalam kitab ini tidak ditemukan
serangan terhadap pendapat mazhab lain. Akan tetapi dalam pembahasan
kitab ini usaha yang keras oleh beliau untuk memerangi taqlid, seperti dalam
pembahasan siapa yang berhak untuk ditaati.

D. Manhaj Ijtihad Izzuddin Ibn Abd al-Salam dalam Kitab Qawaid


al- Ahkam fi Mashalaih al Anam karya Izzuddin Ibn Abdi al-
Salam

Ijtihad berdasarkan maqashid


Dari kitab Qawaid Kubro ini bisa diambil sebuah metodologi ijtihad
untuk sampai kepada sebuah produk hukum, dimana ijtihad yang lakukan
oleh Syekh Izzuddin ibn Abd as-Salam selalu berdasarkan cara pandang
berdasarkan Maqasid antara Jalbul Mashalih atau Dar’ul mafasid yang juga
dengannya tercapai maslahah.
‫ أو عاجلة‬،‫" اعلم أن هللا سبحانه لم يشرع حكما من أحكامه إال لمصلحة عاجلة أو آجلة‬
‫ ولو شرع األحكام كلها خلية‬،‫وآجلة تفضال منه على عباده؛ إذ ال حق ألحد منهم عليه‬
“ ‫ كما كان شرعها للمصالح إحسانا منه وفضال‬،‫عن المصالح لكان قسطا منه وعدال‬
Selanjutnya beliau mengatakan:
‫ والزجر عن اكتساب‬،‫ "ومعظم مقاصد القرآن األمر باكتساب المصالح وأسبابها‬:‫قال‬
‫المفاسد وأسبابها‬
Bagaimana mengetahui maqashid:
:‫ أو تجلب مصالح‬،‫ إما تدرأ مفاسد‬،‫ "والشريعة كلها مصالح‬:‫قال‬

:‫أما بماذا تعرف المقاصد وما هي طرقها؟ فإنها تعرف بالتالي‬


‫‪15‬‬

‫‪ .1‬النص الصريح على التعليل في الكتاب والسنة‪.‬‬

‫‪ .2‬استقراء تصرفات الشارع‪ ،‬وهو نوعان‪:‬‬

‫األول‪ :‬استقراء األحكام الشرعية التي عرفت عللها بطريق مسالك العلة‪ ،‬دون نص‬
‫صريح عليها‪.‬‬

‫الثاني‪ :‬استقراء أدلة أحكام اشتركت في غاية واحدة وباعث واحد‪.‬‬

‫‪ .3‬استقراء األحكام الشرعية التي عرفت عللها بطريق مسالك العلة‪ ،‬دون نص صريح‬
‫عليها‪.‬‬
‫‪ .4‬االهتداء بالصحابة في فهمهم ألحكام الكتاب والسنة‪.‬‬
‫أما آليات تحصيل المقاصد الشرعية وطرق إثباتها فهي‪ :‬العقل والفطرة والتجربة‪ ،‬يقول‬
‫العز عن دور العقل‪" :‬ومعظم مصالح الدنيا ومفاسدها معروف بالعقل‪ ،‬وذلك في معظم‬
‫الشرائع؛ إذ ال يخفى على عاقل قبل ورود الشرع‪ ،‬أن تحصيل المصالح المحضة‪،‬‬
‫ودرء المفاسد المحضة عن نفس اإلنسان وعن غيره محمود حسن‪ ،‬وأن تقديم أرجح‬
‫المصالح فأرجحها محمود حسن‪ ،‬واتفق الحكماء على ذلك ‪.‬‬
‫ثم يقول في موضع آخر‪" :‬وأما مصالح الدارين وأسبابها ومفاسدها فال تعرف إال‬
‫بالشرع‪ ،‬فإن خفي منها شيء طلب من أدلة الشرع‪ ،‬وهي‪ :‬الكتاب والسنة واإلجماع‬
‫والقياس المعتبر واالستدالل الصحيح‪ .‬وأما مصالح الدنيا وأسبابها ومفاسدها فمعروفة‬
‫بالضرورات والتجارب والعادات والظنون المعتبرات‪ ،‬فإن خفي شيء منها طلب من‬
‫أدلته‪.‬‬
‫ومن أراد أن يعرف المتناسبات والمصالح والمفاسد‪ :‬راجحهما ومرجوحهما فليعرض‬
‫ذلك على عقله بتقدير أن الشرع لم يرد به‪ ،‬ثم يبني عليه األحكام‪ ،‬فال يكاد حكم منها‬
‫يخرج عن ذلك إال ما تعبد هللا به عباده‪ ،‬ولم يقفهم على مصلحته أو مفسدته‪ ،‬وبذلك‬
‫يعرف حسن األفعال وقبحها‪ ،‬مع أن هللا‪ ،‬عز وجل‪ ،‬ال يجب عليه جلب مصالح الحسن‪،‬‬
‫وال درء مفاسد القبيح‪ ،‬كما ال يجب عليه خلق وال رزق وال تكليف وال إثابة وال عقوبة‪،‬‬
‫وإنما يجلب مصالح الحسن‪ ،‬ويدرأ مفاسد القبيح طوال منه على عباده وتفضال‪ ،‬إذ ال‬
‫حجر ألحد عليه ـ‬
‫"ومن تتبع مقاصد الشرع في جلب المصالح ودرء المفاسد حصل له من‬
‫مجموع ذلك اعتقاد أو عرفان بأن هذه المصلحة ال يجوز إهمالها‪ ،‬وأن هذه‬
‫المفسدة ال يجوز قربانها‪ ،‬وإن لم يكن فيها إجماع وال نص وال قياس خاص‪،‬‬
‫فإن فهم نفس الشرع يوجب ذلك” ـ‬
‫‪Macam-macam maslahat:‬‬
16

﴾‫واالحسان وإيتاء ذي القربى‬


ِ ‫ ﴿إن هللا يامر بالعدل‬:‫يقول اإلمام العز في قوله تعالى‬
‫]"؛ ﴿وينهى عن الفحشاء والمنكر‬44[‫) "هذا أمر بالمصالح وأسبابها‬90 :‫(النحل‬
‫ "وهذا نهي عن المفاسد وأسبابها ـ‬:)90 :‫والبغي﴾ (النحل‬
‫ نفع في األديان ونفع في األبدان " ـ‬:‫ "إن النفع نفعان‬:‫و يقول اإلمام العز‬
Metode Ijtihad para ahli ushul
Ijtihad dengan berbagai dalil yang dikenal dengan Al Adillah al
mukhtalaf fiiha, seperti Ishtishab al-Ashl dan dzari’ah apakah saddan atau
fathan.

E. Pembahasan Kasus Kepemimpinan Perempuan


Dalam pembahasan mengenai kepemimpinan perempuan ini
berdasarkan teori ijtihad dari kitab Qawaid Kubro, maka pembahasan akan
dimulai dengan bagaimana perspektif kepemimpinan menurut Al ‘allamah
Izzuddin ibn Abd as-Salam, lalu apa Tujuan kepemimpinan (Al Wilayah)?
Kemudian bagaimana hubungan antara Tujuan kepemimpinan dengan
seorang pempimpin, lalu pembahasan tentang dalil-dalil dari Al Qur’an Dan
Hadits tentang apakah seorang pemimpin itu laki-laki atau perempuan.
Perspektif kepemimpinan menurut Al ‘allamah Izzuddin ibn Abd as-
Salam
Kepemimpinan dalam Islam memiliki kedudukan yang tinggi,
dimana dalam kehidupan seorang muslim tidak boleh kosong dari
kepemimpinan. Bahkan dalam sebuah Hadits disebutkan, “jika ada tiga orang
bepergian, hendaknya mereka mengangkat salah seorang diantara mereka
menjadi pemimpinnya”.
Dalam sejarah Islam kita dapati fakta-fakta tentang betapa pentingnya
kepemimpinan dalam Islam, seperti peristiwa berkumpulnya para Sahabat di
Tsaqifah Bani Sa’idah ketika Rasul SAW wafat untuk memilih seorang
pengganti kepemimpinan Nabi SAW, yang akan melanjutkan cita-cita
dakwah beliau. Itu semua dilakukan supaya kehidupan kaum muslimin
khususnya terjaga dalam kebaikan dan terhindar dari berbagai kemungkaran.
Betapa pentingnya kepemimpinan ini, Syekh Izzuddin berpandangan bahwa
kepemimpinan merupakan wasilah, cara untuk memperoleh kemashalahatan
bagi rakyat yang dipimpin, sekaligus dalam rangka menolak berbagai
kerusakan yang stiap saat bisa menimpa mereka.5
Sesungguhnya pemimpin diangkat dengan tujuan agar kepemimpinan
mendatangkan mashalahat bagi masyarakat dan dengan kepimpinan yang ada

5
Izzudin Ibn Abdis Salam, Qawa`id al-Ahkam Limashalih al-Anam, (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.t.) Jilid 1 hal. 171
17

berbagai kerusakan dapat ditanggulangi.6 Sebagaimana hal itu


disampaikanNabi Musa As kepada saudaranya Nabi Harun, “ Gantikanlah
aku dalam memimpin kaumku dan perbaikilah dirimu dan kaummu dan
jangan engkau mengikuti jalan orang-orang yang berbuat kerusakan.
Adapun kreteria kaulitas seorang pemimpin ditentukasn oleh sejauh
mana ia dapat mewujudkan kemashlahatan dan menolak kerusakan. Dengan
ukuran ini siapapun yang lebih dapat mewujudkan tujuan kepemimpinan
maka ia lah yang berhak memperoleh kepemimpinan tersebut.
Seperti dalam kepemimpinan perang, seseorang tidak boleh diangkat
sebagai pimpinan perang kecuali ia adalah orang yang paling pemberani,
lebih mengatahui berbagai strategi perang dibanding yang lain, lebih tahu
cara perang sekaligus yang lebih tahu bagaimana menyelamatkan pasukan
(jika kondisi mengahruskan mundur), paling pemberani dan dikenal baik
oleh para pengikut. 7
Jadi yang menjadi standar untuk menentukan kepemimpinan dalam
semua bidang adalah kita tidak memilih seorang pemimpin kecuali ia lah
yang paling aqwam, paling mampu didalam mewujudkan kemashlahatan dan
paling bisa menolak berbagai kerusakan.8 Seperti dalam kepemimpinan
shalat, maka yang diangkat sebagai imam shalat adalah seorang yang faqih
dari pada seorang qari’, yaitu lebih didahulukan seorang yang lebih
memahami berbagai hal terkait shalat dibanding orang yang hanya sekedar
bacaan Al Qur’annya bagus. Karena seorang faqih lebih mengetahui rukun,
syarat sah dan sekaligus mengatahui apa saja hala-hal yang dapat merusak
shalat.

Kepemimpinan perempuan
Didalam fiqih politik dalam Islam pembahasan tentang syarat bahwa
seorang pemimpin adalah harus seorang lelaki, bahkan mayoritas ulama
hampir bersepakat tentang syarat ini terutama dalam kepemimpinan puncak.
Berdasarkan beberapa argument diantaranya bahwa seorang nabi tidak
pernah diutus dari kalangan perempuan, dimana posisi kenabian merupakan
posisi tertinggi dalam kepemimpinan umat Islam, juga setelah wafatnya Nabi
Muhammad SAW tidak diangkat seorang perempuanpun dalam menduduki
posisi sebagai khalifah.
Dan diantara argumen dari Hadits Nabi SAW yang dijadikan sebagai
dalil tentang syarat seorang pemimpin adalah hadits yang diriwayatkan oleh
Abu Bakroh yang sangat masyhur dalam bab ini, “bahwa tidak akan

6
Izzudin Ibn Abd As-Salam, Qawaidul Ahkam fi Mashalihil Anam, jilid 1 hal.105
7
Izzudin Ibn Abd As-Salam, Qawaidul Ahkam fi Mashalihil Anam, jilid 1 hal.107
8
Izzudin Ibn Abd As-Salam, Qawaidul Ahkam fi Mashalihil Anam, jilid 1 hal.107
18

beruntung suatu kaum jika mereka mengangkat seorang pemimpin


perempuan”.9
Juga adanya argumen bahwa ketika syarat imam dalam shalat adalah
laki-laki secara lebih prioritas apalagi dalam kepemimpinan politik.10
Berdasarkan standar pertimbangan kemashlahatan dalam bab kepemimpinan
sebagaimana disampaikan oleh Syekh Izzuddin Ibn Abdi As-Salam,
“Adapun kreteria kaulitas seorang pemimpin ditentukasn oleh sejauh mana ia
dapat mewujudkan kemashlahatan dan menolak kerusakan. Dengan ukuran
ini siapapun yang lebih dapat mewujudkan tujuan kepemimpinan maka ia lah
yang berhak memperoleh kepemimpinan tersebut.”11
Maka syarat kepemimpinan dalam Islam kembali kepada kualitas dan
kemampuan seseorang, adapun realitas kelamin apakah itu laki-laki atau
perempuan sesuai disesuaikan dengan tabiat pekerjaan dan ketentuan syariat
secara khusus. Dan secara khusus tidak ada nash dalam Al Qur’an mupun
Hadits yang melarang perempuan untuk menjadi seorang pemimpin.
Dalam sebuah hadits bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak
yang sama dalam hal kepemimpinan dengan pertimbangan kualitas dan tabiat
sebuah pekerjaan. “Setiap kalian adalah pemimpin, dan bertanggung jawab
atas rakyatnya”.12
Adapun ayat Al Qur’an bahwa QS. Anisa’ ayat 34 yang menyatakan
bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan adalah karena adanya
kelebihan yang dimiliki oleh seorang laki-laki dimana ia bertanggung jawab
memberikan nafkah kepada keluarganya. Jadi kualitas laki-laki disini ada
dan diperhitungkan jika adanya kualitas adanya tanggung jawab dan
kemampuan untuk merealisasikan tanggung jawab tersebut. Ketika
kepemimpinan seorang lelaki dimaksudkan untuk mewujudkan
kemaslahatan, maka jika tidak teralisasi tujuan kepemimpinan seorang lelaki
maka hak kepemimpinannya jatuh. Sebagiaman disebutkan oleh Imam
Izzuddin bahwa, “Al Wasaith tasquthu bi siquthil maqashid”, sarana menjadi
batal bersama jatuhnya tujuan.13 Sehingga bisa digantikan oleh yang mampu
merealisasikan tujuan baik orang laki-laki lain atau seorang perempuanpun.
Ayat tersebut juga bisa berfungsi afdhaliyah, keutamaan seorang lelaki
terkait tabiat pekerjaan kepemimpinan, dimana seorang pemimpin umat
terkadang harus keluar melkukan perjalanan yang jauh ke berbagai daerah
yang dipimpin, terkadang juga harus ke medang perang langsung memimpin

9
HR. Bukhori
10
Zhafir al Qasimi, Nizhamul Hukmi fis Syari’ah wat Tarikh, (Dar An Nafais), Jilid 1
hal.341
11
Izzudin Ibn Abd As-Salam, Qawaidul Ahkam fi Mashalihil Anam, jilid 1 hal.107
12
HR. Bukhri dan Muslim
13
Izzudin Ibn Abd As-Salam, Qawaidul Ahkam fi Mashalihil Anam, jilid 1 hal.168
19

peperangan, yang mana hal ini tidak bisa dilakukan oleh seorang perempuan
secara baik sebagaimana oleh seorang lelaki.

Penutup
Kepemimpinan perempuan menurut pandangan yang masyhur
dikalangan ulama adalah tidak boleh berdasarkan argumen ayat Al Qur’an
Surat An Nisa’ ayat 34 dan Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh oleh
Bukhori dan Muslim melalui Abu Bakroh. Meskipun ada pandangan yang
membolehkan tapi hanya sebatas kepemimpinan sektoral bukan
kepemimpinan tertinggi, kecuali Imam Ibn Jarir membolehkan secara
muthlaq.
Kepemimpinan dalam Islam adalah murupakan syariat tetapi ia
menempati posisi sarana untuk mencapai tujuan kemaslahatan umat.
Kepemimpinan menjadi penting ketika ia mampu mewujudkan tujuan dan ia
tidak bermakna apa-apa jika tidak bisa merealisasikan cita-cita kemaslahatan
umat, baik kemaslahatan bersifat diiny maupun kemaslahatan yang bersifat
badani. Disini tentang siapa yang berhak memimpin tergantung kepada
kapasitas dan kemampuan tanpa melihat jenis kelamin laki-laki maupun
perempuan, meskipun secara tabiat kepemimpinan dalam skala makro lebih
cocok di ambil oleh jenis kelamin laki-laki. Pandangan demikian bisa
dihasilkan dari sudut pandangan ijtihad berdasarkan mashlahat seperti
tertuang dalam kitab Qawaidul ahkam fi mashalihil anam karya ‘Izzuddin
ibn abd As-Salam.

Daftar Putaka
- Abdullah bin Sa`id, Idlah al-Qowa`id al-Fiqhiyyah, Surabaya: Maktabah
al-Hidayah, t.t.
- Abu Zahrah, Muhammad, Ushul Fiqh, t.t.p: Darul Fikri al-Araby, 1958.
al-Fasy, ‘Allal. Maqashid Asy-Syariah Al-Islamiyyah Wa Makarimuha, Cet.
5,
t.t.p: Darul Garb Al-Islamy, 1993.
- Hisân, Hâmid Husain, Nazariyyat al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islâmiy,
Beirut:
Dâr al-Nahdah al-Arabiyyah, 1971.
- al-Jauziyah, Ibnul Qayyim, I’lamul Muwaqqi’in ‘an Rabbil Alamin. Beirut:
Darul Jail, 1973.
- Musa, Yusuf Muhammad, Tarikh al-Fiqh al-Islamy, Mesir: Dar al-Kitab
al-Araby, t.t.
- an-Nadawi, Ahmad Ali, Al-Qawa`id al-Fiqhiyyah, Damaskus: Dar al-
Qolam, t.t.
- as-Subuky, Thabaqat asy-Syafi`iyah. Beirut: Dar al-Kutub al-Arabiyah, t.t.
- as-Suyuthi, Al-Asybah wa an-Nadzair, Beirut: dar al-Fikr, t.t.
20

- asy-Syarqawi, Abdurrahman, Riwayat Sembilan Imam Fikih, Jakarta:


Pustaka
Hidayah, t.t.
- asy-Syathibi, Ibrahim bin Musa, Al-Muwafaqat, Cet.1, Tahqiq: Masyhur
Hasan Salman Daru Ibni Affan. 1997.
- al-Yubi, Muhammad Saad. Maqashid asy-Syariah al-Islamiyah Wa
‘Alaqatuha
Bil Adillah Asy-Syar’iyyah, Cet.1, KSA: Darul Hijrah Lin Nasyr Wat
Tauzi’, 1998.
- Isma`il, Muhammad, Ushul Fiqh Tarikhuhu Wa Rijaluhu, Kairo: Dar as-
Salam, t.t.
- Salam, Izzudin Ibn Abdis, Qawa`id al-Ahkam Limashalih al-Anam, Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.t.

Anda mungkin juga menyukai