Anda di halaman 1dari 13

Makalah

Ushul Fiqh "Taqlid, Ittiba' dan Talfiq

Disusun oleh;
 RIKA PUSPITA SARI
 SAYYIDIL ANWAR SIDDIQ
 WINDI MAHARANI
BAB I
PENDAHULUAN.

A. Latar Belakang Ilmu


Ushul Fiqh merupakan metode dalam menggali dan menetapkan hukum, ilmu ini sangat berguna
untuk membimbing para mujtahid dalam mengistimbatkan hukum syara’ secara benar dan dapat
dipertanggung jawabkan hasilnya. Melalui ushul fiqh dapat ditemukan jalan keluar dalam
menyelesaikan dalil-dalil yang kelihatannya bertentangan dengan dalil lainnya.

Dalam ushul fiqh juga dibahas masalah talfiq, taklid dan ittiba’. Ketiganya memiliki arti yang berbeda
dan maksudnya pun berbeda. Tetapi ketiga-tiganya sangat jelas diatur dalam Islam. Ittiba’ ini
didasarkan dalam Al-Qur’an surat An-nahl ayat 43 yang artinya : “Dan Kami tidak mengutus sebelum
kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada
orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”

B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini, penyusun akan membahas perihal yang berkaitan dengan:
1. Apa yang dimaksud dengan taqlid, ittiba’ dan talfiq ?
2. Bagaimanakah hukum-hukum dalam bertaqlid, berittiba’ maupun bertalfiq ?
3. Bagaimanakah pendapat ulama mengenai taqlid, ittiba, dan talfiq ?

C. Tujuan Dalam pembuatan makalah ini penulis mempunyai maksud dan tujuan antara lain :
1. Memberi pemahaman tentang Pengertian Taqlid dan Talfiq, Perbedaan antara keduanya dengan
Ittiba’ dan Hukm pembagiannya.
2. Untuk bahan diskusi pada mata kuliah Ushul Fiqih dan juga untuk memenuhi tugas mata kuliah
yang diberikan dosen pembimbing.
BAB II
PEMBAHASAN.
1. TAQLID
Pengertian Taqlid Kata taklid berasal dari bahasa Arab yakni kata kerja “Qallada”, yaqallidu’,
“taglidan”, artinya meniru menurut seseorang dan sejenisnya.
Adapun taqlid yang dimaksud dalam istilah ilmu ushul fiqih adalah

“Menerima perkataan orang lain yang berkata, dan kamu tidak mengetahui alasan perkataannya
itu.”[1]

Ada juga ulama lain memberi definisi, seperti Al-Ghazali, yakni :

“Menerima perkataan orang lain yang tidak ada alasannya.”

Selain definisi tersebut, masih banyak lagi definisi yang diberikan oleh para ulama, yang kesemuanya
tidak jauh berbeda dengan definisi di atas. Dari semua itu dapat di simpulkan bahwa, taqlid adalah
menerima atau mengambil perkataan orang lain yang tidak beralasan dari Al-Qur’an Hadis, Ijma’ dan
Qiyas.

2. Hukum Taqlid
para ulama membagi hukum taqlid menjadi tiga, yaitu:
a). Haram, yaitu taqlid kepada adat istiadat yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunah,
taqlid kepada seseorang yang tidak diketahui kemampuannya, dan taqlid kepada pendapat seseorang
sedang ia mengetahui bahwa pendapat orang itu salah.
b). Boleh, yaitu taqlid kepada mujtahid, dengan syarat bahwa yang bersangkutan selalu berusaha
menyelidiki kebenaran masalah yang diikuti. Dengan kata lain, bahwa taqlid seperti ini sifatnya hanya
sementara.
c). Wajib, yaitu taqlid kepada orang yang perkataan, perbuatan dan ketetapannya dijadikan hujjah,
yaitu Rasulullah saw.[2]

3. Syarat-Syarat Taqlid
Tentang syarat-syarat taqlid bisa dilihat dari dua hal, yaitu syarat orang yang bertaqlid dan syarat-
syarat yang ditaqlidi.[9] Syarat-syarat itu yakni sebagai berikut :

1. Syarat-syarat orang yang bertaqlid

Syarat orang yang bertaqlid ialah orang awam atau orang biasa yang tidak mengerti cara-cara mencari
hukum syara. Ia boleh mengikuti pendapat orang lain yang lebih mengerti hukum-hukum syara dan
mengamalkannya. Adapun orang yang pandai dan sanggup menggali sendiri hukum-hukum syara
maka ia harus berijtihad sendiri kalau baginya masih cukup. Namun, kalau waktunya sempit dan
dikhawatirkan akan ketinggalan waktu untuk mengerjakannya yang lain (dalam soal-soal ibadah),
maka menurut suatu pendapat ia boleh mengikuti pendapat orang pandai lainnya.

2. Syarat-syarat yang ditaqlid

Syarat yang ditaqlidi ada kalanya adalah hukum yang berhubungan dengan syara. Dalam hukum akal
tidak boleh bertaqlid pada orang lain, seperti mengetahui adanya Dzat yang menciptakan alam serta
sifat-sifatnya. Begitu juga hukum akal lainnya, karena jalan menetapkan hukum-hukum tersebut ialah
akal, dan setiap orang mempunyai akal.

4. Pendapat Para Ulama Mengenai Taqlid

Muhammad Rasyid Ridha merumuskan definisi taqlid dengan kenyataan-kenyataan yang ada dalam
masyarakat Islam.Taqlid menurut beliau adalah mengikuti pendapat orang yang diianggap terhormat
dalam masyarakat dan dipercaya dalam hukum Islam tanpa memperhatikan benar atau salahnya, baik
buruknya, serta manfaat mudharatnya pendapat tersebut.

Para ulama ushul fiqh sepakat melarang taqlid dalam tiga bentuk berikut ini:

Semata-mata mengikuti tradisi nenek moyang yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadist.
Contohnya, tradisi nenek moyang tirakatan selama tujuh malam di makam, dengan keyakinan bahwa
hal itu akan mengabulkan semua keinginannya, padahal perbuatan tersebut tidak sesuai dengan firman
Allah, antara lain dalam surah Al-Ahzab [33] :64 yang artinya:

Sesungguhnya Allah melaknati orang-orang kafir, dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-
nyala. Mereka kekal di dalamnya, mereka tidak mendapat perlindungan dan tidak pula penolong. Di
hari itu muka mereka dibolak-balik di dalam appi neraka, mereka berkata: “alangkah baiknya andai
kami taat kepada Allah dan Rasul. Dan mereka berkata; “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah
menaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu menyesatkan kami.”

Mengikuti seseorang atau sesuatu yang tidak diketahuui kemampuan dan keahliannya dan
menggandrungi daerahnnya itu melebihi kecintaannya kepada dirinya sendiri. Hal ini disinggung oleh
Allah dalam surah Al-Baqarah [2]: 165-166 yang artinya:

Di antara manusia ada yang mengikuti banyak ikatan selain Allah dan mencintai Allah.Adapun orang-
orang yang beriman amatmencintai Allah. Sekiranya orang-orang yang berbuat zhalim itu-ketika
mereka melihat azab (di hari akhirat)- bahwa sesungguhnya kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya,
maka Allah sangat pedih siksanya. (yaitu) ketika orang-orang yang mereka ikuti berlepas diri dari
mereka ketika melihat azab tersebut dan memutuskan segala hubungan.

Mengikuti pendapat seseorang, padahal diketahui bahwa pendapat tersebut salah. Firman Allah dalam
surah Al-Taubah [9]: 31 yang artinya:

Mereka menjadika para tokoh agama dan rahib-rahibnya sebagai Tuhan selain Allah, dan
menuhankan al-Masih anak Maryam, padahal mereka (tahu) hanya disuruh menyembah Tuhan yang
satu, Tiada Tuhan selain-Nya. Maha Suci Dia dari segala apa yang mereka sekutukan.

Sehubungan dengan ayat di atas, ‘Adi bin Hatim berkata bahwa ia pernah datang kepada Rasulullah,
padahal di lehernya tergantung salib. Lalu Rasulullah berkata kepadanya: “Hai Adi, lemparkanlah
salib itu dari lehermu dan jangan kamu pakai lagi.” ‘Ya Rasul kami tidak menjadikan pendeta-pendeta
sebagai tuhan.” Lalu Rasul berkata lagi ‘Bukankah kamu tahu bahwa mereka menghalalkan bagimu
apa yang diharamkan Allah dan mereka mengharamkan atasmu apa yang dihalalkan Allah, dan kamu
ikut pula mengharamkannya? [10]

Ayat dan hadis di atas mengingatkan agar kita tidak mengikuti sesuatu yang memang sudah jelas
salah, tapi karena ingin menghormati seseorang atau fanatik terhadap suatu golongan ataujuga karena
mode, lalu diikuti juga.Hal ini sangat dicela oleh Allah SWT.

Akan halnya orang awam yang memang tidak punya kesanggupan berijtihad sama sekali maka
jumhur ulama ushuliyyin berpendapat wajibnya bagi setiap orang awam bertanya pada mujtahid. Hal
ini didasarkan pada firman Allah surah Al-Nahl [16]: 43 “maka berrtanyalah kepada orang yang
mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahuinya”.
Namun demikian, menurut Al-Dahlawy, taqlid yang dibolehkan adalah taqlid dalam artian mengikuti
pendapat orang alim, karena belum ditemukan hukum Allah dan Rasul berkenaan dengan suatu
perbuatan. Namun, seseorang yang bertaqlid tersebut harus terus belajar mendalami pengetahuan
hukum islam. Bila pada suatu saat orang yang bersangkutan menemukan dalil bahwa apa yang
ditaqlidinya selama ini bertentangan dengan syariat Allah, ia harus meninggalkan pendapat yang
ditaqlidinya tadi.

5. Pesan Para Ulama mengenai Taqlid

Imam Abu Hanifah berkata :

“Jika perkataan saya menyalahi Kitab Allah dan hadis Rasul, maka tinggalkanlah perkataan saya ini.
Seseorang tidak boleh mengambil perkataan saya sebelum mengetahui dari mana saya berkata”.

Imam Syafi’i berkata :

“perumpamaan orang yang mencari ilmu tanpa hujjah (alasan) seperti orang yang yang mencari kayu
diwaktu malam. Ia membawa kayu-kayu sedang di dalamnya ada ular yang mengantup, dan ia tidak
tahu”.

Ibnu Mas’ud berkata :

“Kamu jangan menaqlidi orang. Kalau ia iman, maka kamu beriman. Kalau ia kafir, maka kamu kafir.
Tidak ada tauladan dalam hal-hal buruk”.

B. ITTIBA’ ( ‫)عاَبِّتِاَل‬
1. Pengertian Ittiba’
Kata ‘’Itibbaa’a’’ berasal dari bahasa Arab, yakni dari kata kerja atau fi’il “Ittaba’a”, “Yattbiu”
”Ittiba’an”, yang artinya adalah mengikut atau menurut.Ittiba’ yang dimaksud di sini adalah:

“Menerima perkataan orang lain yang berkata yang berkata, dan kamu mengetahui alasan
perkataannya.” Di samping ada juga yang memberi definisi :
“menerima perkataan seseorangdengan dalil yang lebih kuat.”

Jika kita gabungkan definisi-definisi di atas, dapat kita simpulkan bahwa, ittiba’ adalah mengambil
atau menerima perkataan seorang fakih atau mujtahid, dengan mengetahui alasannya serta tidak
terikat pada salah satu mazhab dalam mengambil suatu hukum berdasarkan alasan yang diaagap lebih
kuat dengan jalan membanding.

2. Hukum Ittiba’

Dari pengertian tersebut di atas, jelaslah bahwa yang dinamakan ittiba’ bukanlah mengikuti pendapat
ulama tanpa alasan agama. Adapun orang yang mengambil atau mengikuti alasan-alasan, dinamakan
“Muttabi”[5]

Hukum ittiba’ adalah Wajib bagi setiap muslim, karena ittiba’ adalah perintah oleh Allah,
sebagaimana firmannya:

Ikuti apa yang diturunkan padamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti selain Dia sebagai
pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran. (QS. Al-A’raf:3)

Dalam ayat tersebut kita diperintah mengikuti perintah-perintah Allah. Kita telah mengikuti bahwa
tiap-tiap perintah adalah wajib, dan tidak terdapat dalil yang merubahnya.

Di samping itu juga ada sabda Nabi yang berbunyi:

Wajib atas kamu mengikuti sunnahku dan perjalanan/sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahku.
(HR.Abu Daud)
3. Syarat Ittiba’
Ittiba’ hanya dikatakan benar apabila memenuhi tiga perkara yang diringkas dari dalil-dalil Al-Quran
dan As-Sunnah yang telah berlalu, tiga perkara tersebut adalah:

1. Berpegang teguh kepada kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

2. Tidak berpecah belah dan berselisih dalam Al-Quran dan As-Sunnah.

3. Hendaknya ittiba’ kepada Al-Quran dan As-Sunnah dibatasi (diikat) dengan pemahaman Salaf
Shalih, tidak dengan pemahaman selain mereka.

Demikianlah syarat benarnya ittiba’, dan termasuk konsekuensi ittiba’ adalah meninggalkan bid’ah di
dalam agama, dan telah berlalu pembahasan tentang dalil-dalil syar’i yang memerintahkan ittiba’,
memperingatkan buruknya bid’ah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan kabar bagi orang-orang yang berpegang teguh
kepada sunnah, suatu kabar yang paling menggembirakan dan seutama-utama tujuan yang ingin
dicapai oleh setiap mukmin, di mana setiap orang yang di dalam hatinya masih memiliki sedikit
keimanan, ia akan berusaha untuk menggapainya. Tidak lain, kabar gembira itu adalah keberhasilan
meraih surga dan selamat dari neraka.

“Setiap umatku pasti akan masuk surga kecuali yang tidak mau”, para sahabat bertanya, “siapa yang
enggan masuk surga wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “siapa yang taat kepadaku maka ia pasti
masuk surga, dan siapa yang durhaka (bermaksiat) kepadaku maka sungguh ia enggan masuk surga”.
(HR. Al-Bukhari)

Adakah penolakan dan ketidaksukaan terhadap sunnah yang lebih buruk daripada menyelisihi
perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yakni dengan mengada-adakan perkara baru dalam
agama dan melakukan bid’ah?! (Ushuul Iimaan Fii Dhauil Kitaabi Was Sunnah (hal. 296)).
4. Pendapat Ulama Mengenai Ittiba’

Kalangan ushuliyyin mengemukakan bahwa ittiba’ adalah mengikuti atau menerima semua yang
diperintahkan atau dilarang atau dibenarkan oleh Rasulullah. Dalam versi lain, ittiba’ diartikan
mengikuti pendapat orang lain dengan mengetahui argumentasi pendapat yang diikuti.

Ittiba’ dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :

1. Ittiba’ kepada Allah dan Rasul-Nya, dan


2. Ittiba’ kepada selain Allah dan Rasul-Nya.

Ittiba’ kepada Allah dan Rasul-Nya hukumnya wajib, sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-
A’raf [7]: 3

“Ikuti apa yang diturunkan padamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti selain Dia sebagai
pemimpin.Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran”.

Mengenai ittiba’ kepada para ulama terdapat perbedaan pendapat. Imam Ahmad bin Hanbal hanya
membolehkan ittiba’ kepada Rasul. Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa boleh ittiba’ kepada
ulamayang dikategorikan sebagai waratsatul anbiya’, dengan alasan firman Allah Surah Al-Nahl [16]:
43 yang artinya: Maka bertanyalah kepada orang-orang yang punya ilmu pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui.

Yang dimaksud dengan “orang-orang yang punya ilmu pengetahuan” (ahl al-dzikri) dalam ayat
itu adalah orang-orang yang ahli dalam ilmu Alquran dan Hadis serta bukan pengetahuan berdasrkan
pengalaman semata. Karena orang-orang seperti yang disebut terakhir dikhawatirkan akan banyak
melakukan penyimpangan –penyimpangan dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran dan Hadis Rasul,
bahkan yang terkandung dalam Alquran. Untuk itu, kepada orang-orang yang seperti ini tidak
dibenarkan berittiba’ kepadanya.

Seorang muttabi’ tidak memenuhi syarat-syarat tertentu untuk berititba’. Bila seseorang tidak
sanggup memecahkan persoalan keagamaan dengan sendirinya, ia wajib bertanya kepada seorang
mujtahid atau kepada orang-orang yang benar-benar mengetahui Islam. Dengan demikian, diharapkan
agar setiap kaum muslimin sekalipun mereka awam dapat mengamalkan ajaran islam dengan penuh
keyakinan karena adanya pengertian. Karena suatu ibadah yang dilakukan dengan penuh pengertian
dan keyakinan akan menimbulkan kekhusukan dan keikhlasan.

C. Talfiq ( ‫) ْقيِ ْفلَّتاَل‬


1. Pengertian Talfiq
Talfiq menurut istilah adalah mencampuradukkan pendapat seorang ulama dengan pendapat ulama
lain, atau bisa disebut dengan mencampuradukkan dua pendapat atau lebih dalam sebuah
permasalahan yang mempunyai hukum, sehingga akan melahirkan suatu pendapat baru yang mana
sama-sama tidak mengakui kebenarannya

Talfiq menurut bahasa adalah menutup, menambal, tak dapat mencapai dan lain sebagainya. Adapun
“Talfiq” yang dimaksudkan dalam pembahasan ilmu ushul fiqh adalah:

“Mengamalkan satu hukum yang terdiri dari dua mazhab atau lebih.”
Maksudnya adalah, seperti seseorang mengikuti pendapat Syafi’iy dalam masalah iddah wanita yang
ditalak, karena balasannya lebih kuat dari mazhab lain umpamanya. Sedang dalam hal tidak adanya
wali mujbir dalam perkawinan, ia mengikut pendapat hanafi, karena merasa alasannya lebih kuat.
Yang demikian dinamakan Talfiq dalam masalah yang berlainan.

Di samping itu, juga termasuk dalam ketegori talfiq, seseoorang yang dalam satu masalah, seperti
dalam masalah wudhu. Seseorang tidak melafazkan niat, karena mengikut mazhab Hanafy. Tapi
dalam hal mengusap kepala ketika wudhu cukup sebagian kepala saja, karena mengikuti mazhab
Maliki misalnya.

2. Hukum Talfiq

Para ulama mutaqaddimin tidak membuat larangan terhadap talfiq, atau seseorang bertalfiq, bahkan
pada banyak tempat mereka menganjurkan untuk meneliti fatwa-fatwa mereka.dan juga mengatakan
bahwa tidaklah halal memfatwakanfatwa merekabila tidak diketahui alasan-alasannya. Nereka juga
memfatwakan supaya melemparkan jauh-jauh fatwa mereka bila ternyata bertentangan dengan Nash.
Anjuran atau larangan di atas dapat dipahami bahwa, semua itu menghendaki agar semua orang
muslim supaya menjauhi diri dari “taqlid”, dan dengan sendirinya menghendaki supaya melakukan
ijtihad, atau sekurang-kurangnya ber-ittba’, hal yang demiikian kemungkinan besar akanmembawa
kepada talfiq.

Setelah dilakukan penelaahan atau penelitian memang diperbolehkan talfiq adalah dalam perselisihan
para ulama, atau lebih jelasnya adalah para fuqaha muta’akhirin, adapun mereka yang fanatik pada
mazhab, berfatwa bahwa para qadhi berhak menghukum (yakni hukum ta’zir) terhadap orang yang
berpindah mazhab.

3. Pendapat Ulama
Ulama berbeda pendapat tentang talfiq yang dalam definisi pertama “menjalankan suatu masalah
dengan cara yang tidak sesuai dengan satu pun mujtahid terdahulu”. Terkadang, muqallid
melakukannya dengan sengaja, kadang juga tidak.

Apabila hal itu dilakukan tanpa sengaja, maka jelas tidak dilarang. Karena ijma’ bahwa ia boleh
mengamalkan fatwa dari mujtahid siapapun. Ia tidak dicegah meminta fatwa kepada Syafi’iyyah
tentang wudlu dan meminta fatwa kepada Malikiyah tentang batalnya wudlu. Kemudian ia wudlu
tanpa membasuh keseluruhan kepala dan menyentuh wanita lain.

Apabila talfiq dilakukan sengaja, maka tidak sah. Karena bisa jadi ia jatuh dalam perbedaan nash-nash
syariat yang ia tidak ketahui. Dan karena menjalankan pendapat baru tanpa ada fatwa merupakan
tindakan yang didasari hawa nafsu. Itu bertentangan dengan prinsip beragama.

Sebagian ulama memberikan syarat penting dalam talfiq: [1] tidak bertentangan dengan ijma’ atau
nash Al Quran dan sunnah, [2] tidak digunakan untuk membebaskan diri dari tanggungan beban (tidak
untuk meringankan).

Namun, menurut madzhab Maliki, boleh taklid kepada setiap madzhab Islam yang mu’tamad (diakui),
sekalipun talfiq, dalam keadaan darurat, hajat, lemah, maupun udzur. Karena talfiq tidak dilarang
menurut Malikiyah, pun sebagian Hanafiyah, sebagaimana kebolehan mengambil pendapat paling
ringan dari beberapa madzhab. Akan tetapi, talfiq harus didasari kebutuhan dan maslahat, bukan
main-main atau mengikuti hawa nafsu.

Karena agama Allah agama yang mudah, kebolehan talfiq merupakan bagian dari kemudahan itu.
Allah berfirman, “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu.” (QS. al-Baqarah: 185).
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pengertian taqlid dan ittiba’ serta talfiq di atas maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan taqlid adalah menerima perkataan orang lain yang berkata, sedangkan si penerima tersebut
tidak mengetahui alasan perkataannya itu.

Ittiba’ adalah mengambil atau menerima perkataan seorang fakih atau mujtahid, dengan mengetahui
alasannya serta tidak terikat pada salah satu mazhab dalam mengambil suatu hukum berdasarkan
alasan yang diaagap lebih kuat dengan jalan membanding.

Talfiq adalah mengamalkan satu hukum yang terdiri dari dua mazhab atau lebih atau dapat dikatakan
bahwa talfiq adalah mencampuradukkan hukum yang ditetapkan oleh suatu mazhab dengan mazhab
lainnya. Contohnya seperti seperti dalam masalah wudhu. Seseorang tidak melafazkan niat, karena
mengikut mazhab Hanafy. Tapi dalam hal mengusap kepala ketika wudhu cukup sebagian kepala saja,
karena mengikuti mazhab Maliki misalnya.

B. Saran

Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan-kesalahan.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan pembaca dapat menyampaikan kritik dan juga sarannya
terhadap hasil penulisan makalah kami.
DAFTAR PUSTAKAA.

Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, Edisi pertama, Catakan Ke-1, Jakarta: Kencana,
2010.A. Hanafie, Ushul Fiqh, cetakan Ke-3, Jakarta: Widjaya, 1963.

Ushul Fiqh ‘Iyadl bin Nami, 333-334

Al-Fiqh al Islami wa Adillatuhu, I, 9

Anda mungkin juga menyukai