Anda di halaman 1dari 17

TUGAS

10 PERMASALAHAN DAN PEMBAHASAN


FIQIH KONTEMPORER
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

FIQIH KONTEMPORER

DOSEN PEMBIMBING:

H. ABD. RAHMAN, M.Hi. M.Pdi

Oleh :

MULYONO CAHYONO

JURUSAN SYARIAH (AKHWAL ASY SYAKHSIYAH)


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
PANCAWAHANA
BANGIL
2019 / 2020

1
Pertanyaan:
1. Membeli pulsa 50.000,- tapi bayarnya 52.000,-, berarti ada penambahan nilai, bukannya
itu haram? Apakah termasuk Riba? Ada juga yang mengatakan, "itu kan namanya kita
membeli barang yang tidak Nampak, apakah diperbolehkan dalam islam?
Jawaban :
Salah satu bentuk Riba yang diharamkan dalam syariah ialah "Riba Fadhl" [Riba
Penambahan], yaitu Riba yang terjadi karena adanya penambahan nilai pada jenis
"pertukaran" atau jual beli barang-barang Ribawi [barang yang termasuk dalam hadits
Riba]. Dan "Uang" yang merupakan alat tukar itu termasuk dalam kategori barang
Ribawi. Jadi kalau mau saling menukar mata uang, haruslah dalam jumlah yang sama,
tidak boleh lebih atau kurang. Dan harus "taqoobudh", (bayar Tunai). Tidak boleh
menunda.
Jadi kalau tukar uang 50.000,- haruslah dengan nilai yang sama yaitu 50.000,- walau
dengan pecahan yang berbeda. Nah atas dasar inilah, beberapa kawan beranggapan
bahwa jual beli Pulsa itu diharamkan karena termasuk Riba. secara kasat mata memang
beli pulsa itu sepertinya kita membeli "uang". Tapi sejatinya kalau dilihat lebih dalam,
ternyata kita tidak membeli "uang", yang beli ialah jasa. Jasa yang memang disediakan
oleh Provider seluler kepada pelanggannya untuk digunakan sebagai mestinya, entah
menelpon, sms, atau juga internet dan sebagainya. Istilah kasarnya begini, "kalau mau
nomor ente dilayanin, diaktifin buat bisa nelpon, sms, internetan juga. Nah Ane
(provider) punya jasa itu. Beli jasa itu dari ane!", kira-kira begitu kasarnya.  Nah jasa
itu pun punya kadar dan batasnya. Kalau hanya 20.000,- ya provider akan memberikan
jasanya senilai itu saja tidak lebih (beda kalau lagi promo, biasanya banyak bonus).
Dalam kaidah fiqih ketika membicarakan masalah akad jual beli ada istilah
‫العبرة في العقود بالمقاصد والمعاني ال باأللفاظ والمبان‬
"Inti akad berdasarkan Maksud dan Maknanya, dan bukan berdasarkan
Lafadz dan kalimat" (Al-Wajib fi Idhah Al-Qawaid Al-Kulliyah, hlm. 147
Jadi syariat ini dalam masalah muamalat tidak melihat bentuk zahirnya, tapi melihat
makna dan maksud dari akad yang dijalankan itu. Secara kasat mata memang itu
seperti jual beli "uang", tapi sejatinya itu ialah beli "jasa" bukan beli "uang". Dan
memang "Pulsa" bukan "uang". Bukti nyata kalau "pulsa" itu bukan uang ialah, kita
tidak bisa membeli suatu barang dipasar atau dimanapun itu dengan pulsa. Dengan
menunjukkan pulsa di handphone kemudian kita bisa membeli barang, kan tidak bisa.
Padahal hakikatnya, uang itu ialah alat tukar-menukar. Dan pulsa tidak bisa digunakan
untuk itu, maka itu bukan "uang".
Nah karena ini pembelian "jasa", maka nilai yang diberikan ialah boleh sama, boleh
lebih, dan boleh juga kurang. Sama seperti membeli barang pada umumnya. Jadi
tidak ada prkatek "Riba" dalam jual beli Pulsa dan juga tidak ada yang
namanya pembelian "barang ghaib", yang kita beli ialah jasa. Kalau pun masih
mempermasalahkan tentang penambahan uang itu, itu ialah biaya administrasi atau
dengan istilah yang lebih akrab "Uang capek" yang memang digunakan sebagi upah
pekerjaan si provider itu tadi. Dan tidak ada masalah.

Pertanyaan:
1
2. Bagaimana cara berwudhu jika anggota tubuh diperban?
Jawaban:
Jabir rodhiyallohu ‘anhu ;
ً‫صة‬ َ ‫ال هَلْ تَ ِج ُدونَ لِي ر ُْخ‬ َ َ‫اب َر ُجاًل ِمنَّا َح َج ٌر فَ َش َّجهُ فِي َر ْأ ِس ِه ثُ َّم احْ تَلَ َم فَ َسأ َ َل أَصْ َحابَهُ فَق‬ َ ‫ص‬ َ َ ‫خَ َرجْ نَا فِي َسفَ ٍر فَأ‬
َ ‫صةً َوأَ ْنتَ تَ ْق ِد ُر َعلَى ْال َما ِء فَا ْغتَ َس َل فَ َماتَ فَلَ َّما قَ ِد ْمنَا َعلَى النَّبِ ِّي‬
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ َ ‫ك ر ُْخ‬ َ َ‫فِي التَّيَ ُّم ِم فَقَالُوا َما نَ ِج ُد ل‬
َْ‫ْص َر أو‬ِ ‫أُ ْخبِ َر بِ َذلِكَ فَقَا َل قَتَلُوهُ قَتَلهُ ْم ُ أ َسألوا إِذ ل ْم يَ ْعل ُموا فإِن َما ِشفا ُء ال ِع ِّي ال ُّس َؤا ُل إِن َما كانَ يَكفِي ِه أن يَتيَ َّم َم َويَع‬
َ ْ َ ْ َ َّ ْ َ َّ َ َ َ ْ ُ َ ‫اَل‬َ ‫هَّللا‬ َ
‫ك ُمو َسى َعلَى جُرْ ِح ِه ِخرْ قَةً ثُ َّم يَ ْم َس َح َعلَ ْيهَا َويَ ْغ ِس َل َسائِ َر َج َس ِد ِه‬ َّ ‫ب َش‬ َ ‫ص‬ِ ‫يَ ْع‬

“Kami pernah keluar dalam sebuah perjalanan, lalu salah seorang di antara kami
terkena batu pada kepalanya yang membuatnya terluka serius. Kemudian dia bermimpi
junub, maka dia bertanya kepada para sahabatnya; Apakah ada keringanan untukku agar
saya bertayammum saja? Mereka menjawab; Kami tidak mendapatkan keringanan
untukmu sementara kamu mampu untuk menggunakan air, maka orang tersebut mandi
dan langsung meninggal. Ketika kami sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
beliau diberitahukan tentang kejadian tersebut, maka beliau bersabda: “Mereka telah
membunuhnya, semoga Allah membunuh mereka! Tidakkah mereka bertanya apabila
mereka tidak mengetahui, karena obat dari kebodohan adalah bertanya! Sesungguhnya
cukuplah baginya untuk bertayammum dan meneteskan air pada lukanya atau mengikat
lukanya kemudian mengusapnya saja dan mandi untuk selain itu pada seluruh tubuhnya
yang lain.”(Sunan Abu Dawud, no.336).
Dari dalil yang tersebut di atas, ada keringanan dalam Islam bagi orang yang terluka
dan lukanya tersebut tidak bisa terkena air atau jika terkena air akan menjadi semakin
parah, maka diperbolehkan baginya bertayamum saja atau membungkus luka dengan
perban kemudian membasuh bagian tubuh lainnya dengan air sedangkan yang bagian
tubuh ada perban tersebut sekedar diusap saja jangan sampai basah.
Dalam kitab Fathul Qaribil Mujib yang merupakan syarah dari kitab Taqrib
karangan Syekh Abu Syuja’ disebutkan bahwa ada tiga hal yang perlu diperhatikan saat
berwudhu bagi shahibul jaba’ir, orang-orang yang diperban.
1. Bagian anggota wudhu yang masih sehat, dibasuh terlebih dahulu dengan wudhu
sebagaimana biasanya. Semisal di bagian yang diperban itu tidak menutupi seluruh
bagian anggota wudhu yang wajib dibasuh, maka ia sebisa mungkin dibasuh terlebih
dahulu.
2. Mengusap di atas bagian anggota wudhu yang diperban. Mengusapnya tidak perlu
sampai basah, hanya sekadar di atas perban tersebut. Jika luka itu tidak diperban,
maka tidak perlu diusap.
3. Mengganti wudhu yang basuhannya tidak sempurna pada anggota wudhu yang
diperban itu dengan melakukan tayamum. Tayamum yang dilakukan sama seperti
tayamum biasanya, yaitu dengan debu mengusap wajah dan kedua tangan.

Pertanyaan:

2
3. Ada sebagian pengobatan alternatif dengan meminum air kencing (air seni) sendiri
sebagai caranya. Padahal air kencing manusia, kita sepakat akan najisnya. Sesuatu yang
najis itu haram dikonsumsi. Bolehkah mengonsumsi yang haram ini untuk berobat?

Jawaban:
Setiap yang Najis Dihukumi Haram

Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,

‫ْس ُكلُّ ُم َحر َِّم اأْل َ ْك ِل ن َِجسًا‬


َ ‫س ُم َح َّر َم اأْل َ ْك ِل َولَي‬
ٍ ‫ُكلُّ ن َِج‬
“Setiap najis diharamkan untuk dimakan, namun tidak setiap yang haram dimakan itu

najis.” (Majmu’atul Fatawa, 21: 16).

Minum Air Kencing Hewan yang Halal Dimakan

Air kencing hewan yang halal dimakan, seperti unta, kambing atau sapi dihukumi
suci. Dan jikalu dikonsumsi air seni (air kencing) tersebut dihukumi halal. Buktinya
adalah hadits ‘Urayinin beriktum

‫اح َوأَ ْن يَ ْش˜˜ َربُوا‬ َ ‫ك قَا َل قَ ِد َم أُنَاسٌ ِم ْن ُع ْك ٍل أَوْ ُع َر ْينَةَ فَاجْ تَ َووْ ا ْال َم ِدينَةَ فَأ َ َم َرهُ ْم النَّبِ ُّي‬
ٍ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم بِلِق‬ ِ ‫ع َْن أَن‬
ٍ ِ‫َس ْب ِن َمال‬
ِ ˜َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َوا ْستَاقُوا النَّ َع َم فَ َجا َء ْال َخبَ˜ ُر فِي أَ َّو ِل النَّه‬
‫˜ار‬ َ ‫صحُّ وا قَتَلُوا َرا ِع َي النَّبِ ِّي‬ َ ‫ِم ْن أَ ْب َوالِهَا َوأَ ْلبَانِهَا فَا ْنطَلَقُوا فَلَ َّما‬
‫ت أَ ْعيُنُهُ ْم َوأُ ْلقُ˜˜وا فِي ْال َح˜ َّر ِة يَ ْست َْس ˜قُونَ فَاَل‬ْ ‫ار ِه ْم فَلَ َّما ارْ تَفَ َع النَّهَا ُر ِجي َء بِ ِه ْم فَأ َ َم َر فَقَطَ َع أَ ْي ِديَهُ ْم َوأَرْ ُجلَهُ ْم َو ُس ِم َر‬
ِ َ‫ث فِي آث‬ َ ‫فَبَ َع‬
َ‫يُ ْسقَوْ ن‬

Dari Anas bin Malik berkata, “Beberapa orang dari ‘Ukl atau ‘Urainah datang ke
Madinah, namun mereka tidak tahan dengan iklim Madinah hingga mereka pun sakit.
Beliau lalu memerintahkan mereka untuk mendatangi unta dan meminum air kencing
dan susunya. Maka mereka pun berangkat menuju kandang unta (zakat), ketika telah
sembuh, mereka membunuh pengembala unta Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan
membawa unta-untanya. Kemudian berita itu pun sampai kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam menjelang siang. Maka beliau mengutus rombongan untuk
mengikuti jejak mereka, ketika matahari telah tinggi, utusan beliau datang dengan
membawa mereka. Beliau lalu memerintahkan agar mereka dihukum, maka tangan
dan kaki mereka dipotong, mata mereka dicongkel, lalu mereka dibuang ke pada pasir
yang panas. Mereka minta minum namun tidak diberi.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadist di atas menunjukan bahwa air kencing unta tidak najis, karena Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan ‘Urayinin yang terkena sakit untuk
berobat dengan meminum air susu dan air kencing unta. Beliau tidak akan menyuruh
untuk meminum sesuatu yang najis. Adapun air kencing hewan-hewan lain yang boleh
dimakan juga tidak najis dengan mengqiyaskan (menganalogikan) pada air kencing
unta. Inilah yang jadi pendapat Imam Malik, Imam Ahmad, sekelompok ulama salaf,
sebagian ulama Syafi’iyah, Ibnu Khuzaimah, Ibnul Mundzir, Ibnu Hibban. Sedangkan

3
Imam Syafi’i dan jumhur menyatakan najisnya kencing dan kotoran setiap hewan
yang haram dimakan. Ibnu Hajar sendiri lebih cenderung pada pendapat yang
menyatakan najis. Lihat Fathul Bari, 1: 338-339.

Yang lebih tepat, air kencing unta tidaklah najis, termasuk pula hewan yang halal
dimakan lainnya. Sebagaimana kata Ibnul Mundzir,

Fatwa Ulama: Tentang Hukum Berobat dengan Minum Air Kencing Manusia

Ada pertanyaan yang ditujukan pada Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh
-mufti Kerajaan Saudi Arabia- di masa silam: Ada seseorang yang telah minum air
kencingnya sendiri selama 80 hari, apakah boleh berobat dengan yang haram seperti
itu?
Syaikh rahimahullah menjawab, “Tidak boleh berobat dengan menggunakan yang
haram. Tidak ada obat dalam sesuatu yang haram. Diharamkan berobat dengan
sesuatu seperti yang ditanyakan. Karena dalam hadits disebutkan, “Berobatlah wahai
hamba Allah, janganlah berobat dengan yang haram.” Juga disebutkan pula,
“Sesungguhnya Allah menjadikan obat pada umatku bukan yang diharamkan
padanya.“
Akan tetapi, mintalah pada Allah dengan hati yang penuh kekhusyu’an supaya engkau
disembuhkan dan diberi taufik untuk segera sembuh. Semoga Allah pun memberikan
kepadamu kesehatan. Wassalamu ‘alaikum.

Dinukil dari Al Fatawa Al Muta’alliqoh bith Thib wa Ahkamul Marodh, 1: 198.


Kesimpulan
Berobat dengan minum air kencing perlu dirinci:
1- Jika yang diminum adalah air seni (air kencing) manusia, maka dihukumi haram.
2- Jika yang diminum adalah air seni (air kencing) dari hewan yang halal dimakan
(seperti unta dan kambing), dihukumi halal karena air kencing tersebut tidak najis.
3- Jika yang diminum adalah air seni (air kencing) dari hewan yang haram dimakan
(seperti anjing dan babi), dihukumi haram karena air kencing tersebut najis.

Pertanyaan:

4
4. Jika ada non-muslim yang ingin menyumbangkan harta untuk membangun masjid
misalnya atau untuk membangun pondok pesantren, apakah diterima atau ditolak?

Jawaban:

Pertama perlu dijelaskan bahwa hukum asal menerima hadiah dan infak dari non-
muslim adalah mubah. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima
hadiah dari Para raja-raja non-muslim dan juga menerima hadiah daging dari seorang
wanita Yahudi. Ini dalam rangka muamalah yang baik dan mengambil hati mereka.
Bahkan ulama menjelaskan boleh menerima sumbangan membangun masjid dari non-
muslim asalkan tanpa syarat dan tidak membuat kaum muslimin menjadi hina serta
bukan alat politik non-muslim tersebut untuk membuat makar terhadap umat Islam.

Ibnu Muflih menjelaskan bahwa Masjid boleh dibangun dari harta orang kafir, beliau
berkata

ِ ‫ارةُ ُك ِّل َم ْس ِج ٍد َو ِك ْس َوتُهُ َوإِ ْش َعالُهُ بِ َم‬


‫ال ُك ِّل َكافِ ٍر‬ َ ‫َوتَجُو ُز ِع َم‬

“Boleh membangun masjid, memberikan kiswah dan penerangan dari harta orang
kafir”1.

Lajnah Daimah (semacam MUI di Saudi) mengeluarkan fatwa ketika ditanya apakah
boleh shalat di masjid yang dibangun dari harta orang kafir? Dalam fatwa dijelaskan:

‫ال بأس في الصالة في المسجد المذكور‬

“Tidak mengapa shalat di masjid tersebut (yang dibangun dari harta orang kafir)“2.

Adapun maksud ayat bahwa Allah tidak akan menerima dari harta mereka karena
kekafiran mereka, maka ini maksudnya adalah dari segi diterimanya ibadah mereka
oleh Allah, bukan dari segi halal dan haramnya menerima sumbangan dari mereka.
Ayat tersebut sebagai berikut:

َّ ‫َو َما َمنَ َعهُ ْم أَ ْن تُ ْقبَ َل ِم ْنهُ ْم نَفَقَاتُهُ ْم إِاَّل أَنَّهُ ْم َكفَرُوا بِاهَّلل ِ َوبِ َرسُولِ ِه َواَل يَأْتُونَ ال‬
‫صاَل ةَ إِاَّل َوهُ ْم ُك َسالَ ٰى َواَل يُ ْنفِقُونَ إِاَّل َوهُ ْم‬
َ‫ارهُون‬ ِ ‫َك‬

“Dan tidak ada yang menghalangi untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya
melainkan karena mereka kafir kepada Allâh dan Rasul-Nya dan mereka tidak
mengerjakan shalat, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta)
mereka, melainkan dengan rasa enggan” (At-Taubah:54).

Sekali lagi perlu diperhatikan bahwa boleh menerima dengan syarat:

Pertama: Tidak menimbulkan bahaya bagi kaum muslimin karena menerima hadiah
tersebut, semisal sumbangan tersebut ada syaratnya yang merugikan kaum muslimin
atau alat politik untuk membuat makar terhadap Islam

Dalam Fatwa Lajnah Daimah dijelaskan,

5
‫يجوز للمسلمين أن يمكنوا غير المسلمين من اإلنف˜˜اق على المش˜˜اريع اإلس˜˜المية؛ كالمس˜˜اجد والم˜˜دارس إذا ك˜˜ان ال‬
‫يترتب على ذلك ضرر على المسلمين أكثر من المنفعة‬

“Boleh bagi kaum muslimin menerima infak dari non-muslim untuk kegiatan Islam
semisal membangun masjid dan sekolah/pesantren, jika tidak ada bahaya yang
ditimbulkan bagi kaum muslimin dan banyak manfaatnya”3.

Kedua: Dipastikan bahwa harta orang kafir tersebut adalah bukan harta yang haram.
Jika jelas informasi yang masuk ke kita bahwa harta yang disumbangkan itu haram,
maka tidak boleh menerimanya untuk membangun masjid. Dalam Fatawa Syabakah
Islamiyah disebutkan:

‫ كم˜ا ال ح˜رج في قبوله˜ا‬، ‫فال مانع من أن تطلبوا من كافر إعانة مالية يهبكم إياها ثم تستعينون بها في بن˜اء مس˜جد‬
‫ وال يلزمكم البحث عن مصدر ماله الذي ت˜˜برع ب˜˜ه ه˜˜ل‬،‫منه دون طلب ال سيما مع عجزكم عن بنائه وحاجتكم إليه‬
‫ ولكن إذا علمتم أن عين المال الذي أعطاكم إياه حراما فال يجوز لكم قبوله وصرفه في‬، ‫هو من حالل أو من حرام‬
‫بناء المسجد‬

“Tidak ada masalah meminta sumbangan dari orang kafir dalam bentuk harta,
kemudian digunakan untuk membangun masjid. Sebagaimana juga dibolehkan
menerima pemberian orang kafir tanpa melalui permintaan. Terlebih jika kalian (kaum
muslimin) tidak mampu membangun masjid, sementara kalian sangat
membutuhkannya. Tidak ada kewajiban untuk mencari tahu sumber harta mereka,
apakah dari jalan yang halal ataukah dari jalur yang haram. Akan tetapi, jika kalian
tahu persis bahwa uang yang diberikan orang kafir itu adalah uang haram, maka tidak
boleh diterima dan tidak boleh digunakan untuk membangun masjid”4.

Kesimpulan

Maka, jika kaum muslimin mampu membangun masjid atau sekolah/pesantren,


sebaiknya tidak menerima sumbangan dari non-muslim karena memang tidak butuh
dan mampu, terlebih di daerah mayoritas muslim yang tentu umumnya tidak
kekurangan harta untuk membangun masjid. Apalagi memang ada indikasi kuat ada
makar politik untuk membahayakan kaum muslimin. Kita harus berhati-hati karena
orang kafir tidak akan pernah ridha dengan orang Islam

Allah berfirman,

‫َو ُّدوا لَوْ تَ ْكفُرُونَ َك َما َكفَرُوا فَتَ ُكونُونَ َس َوا ًء‬

“Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir,
lalu kamu menjadi sama (dengan mereka)” (An-Nisaa’:89)

Pertanyaan:

6
5. Bagaimana hukumnya berma’mum kepada imam yang tidak baik bacaan qur’annya
terutama bacaan alfatihah apakah sholat kita sah?

Jawaban:

Dalam Islam, Allah selaku syari’ (pembuat syari’at) menaruh perhatian yang cukup


besar terhadap penentuan imam dalam shalat. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad
dari Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan oleh Imam Muslim;

‫ فَإ ِ ْن َكانُوا فِي‬،ِ‫ب هللا‬ ِ ‫ «يَ ُؤ ُّم ْالقَوْ َم أَ ْق َر ُؤهُ ْم لِ ِكتَا‬:‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ِ‫ال َرسُو ُل هللا‬ َ َ‫ ق‬:‫ قَا َل‬،ِّ‫اري‬ ِ ‫ص‬ َ ‫ع َْن أَبِي َم ْسعُو ٍد اأْل َ ْن‬
‫ َواَل‬،‫ فَأ َ ْق َد ُمهُ ْم ِس ْل ًما‬،‫ فَإ ِ ْن َكانُوا فِي ْال ِهجْ َر ِة َس َوا ًء‬،ً‫ فَأ َ ْق َد ُمهُ ْم ِهجْ َرة‬،‫ فَإ ِ ْن َكانُوا فِي ال ُّسنَّ ِة َس َوا ًء‬،‫ فَأ َ ْعلَ ُمهُ ْم بِال ُّسنَّ ِة‬،‫ْالقِ َرا َء ِة َس َوا ًء‬
‫ َم َكانَ ِس ْل ًما ِسنًّا‬:‫ َواَل يَ ْق ُع ْد فِي بَ ْيتِ ِه َعلَى تَ ْك ِر َمتِ ِه إِاَّل بِإ ِ ْذنِ ِه» قَا َل اأْل َ َشجُّ فِي ِر َوايَتِ ِه‬،‫يَ ُؤ َّم َّن ال َّر ُج ُل ال َّرج َُل فِي س ُْلطَانِ ِه‬

Dari Ibnu Mas’ud, berkata bahwasannya Rasulullah SAW bersabda “yang paling
berhak menjadi imam suatu kaum adalah yang paling pandai dalam membaca Al
Quran. Jika mereka setara dalam bacaan Al Quran yang menjadi imam adalah yang
paling mengerti tentang sunnah Nabi. Apabila mereka setingkat tentang pengetahuan
mengenai sunnah Nabi maka yang paling pertama melakukan hijrah. Jika mereka
sama dalam amalan hijrah yang lebih dulu masuk Islam.
Berdasarkan hadis di atas, dapat kita pahami bahwa Allah secara syari’ telah
memberikan petunjuk kepada kita dalam proses menentukan seorang imam.
Bahwasannya, seseorang yang memiliki kefasihan dalam membaca surat al Fatihah
dan ayat-ayat Al Quran adalah yang harus di dahulukan. Namun, dalam proses
pengambilan natijah (kesimpulan hukum), ulama berbeda pendapat tentang hukum
shalat yang dipimpin oleh imam yang ummi (tidak fasih bacaan Al Qurannya) atau
kebalikan dari qori’.
Lalu, bagaimanakah hukum shalat seorang makmum yang qori’ kepada orang yang
ummi? Dalam hal ini, Jumhur al-Fuqaha’ menyepakati bahwa tidak sah bermakmum
kepada orang yang tidak fasih bacaan Al Qurannya, namun sebagian ulama
membolehkan secara mutlak sebagaimana Imam al-Muzni. Imam Syafi’i memiliki
dua pendapat yang berbeda antara qaul qadim dan jadidnya, dalam qaul jadidnya
Imam Syafi’i berpendapat bahwa hukumnya tidak sah, namun dalam qaul qadimnya
justru berpendapat sah apabila dalam shalat sirriyah,  semisal shalat Ashar dan
Dhuhur.  Sebagaimana keterangan kitab Tuhfah al Muhtaj fii syarh al Minhaj juz 8
halaman 35 di bawah ini;

( ‫) وال‬ ‫قدوة ( قارئ بأ ّم ّي في الجدي̃د ) وإن لم يمكنه التّعلّم وال علم بحاله ألنّه ال يص ّح لتح ّمل القراءة عنه لو أدركه‬
‫راكعا مثال ومن شأن اإلمام التّح ّمل ويص ّح اقتداؤه بمن يجوز كونه أ ّميّا إاّل إذا لم يجهر في جهريّة فتلزمه مفارقته فإن‬
‫استم ّر جهال حتّى سلّم لزمته اإلعادة ما لم يبن أنّه قارئ‬

Sah bermakmum kepada orang yang ummi kecuali dalam shalat jahriyyah. Adapun
dalam shalat jahriyyah maka wajib mufaroqoh, apabila orang tersebut terus

7
melanjutkan dalam posisi jahl (tanpa mengetahui apakah imam tersebut ummi atau
qori’) maka wajib mengulangi shalatnya sampai jelas bahwa imam tersebut qori’.
Dalam redaksi lain, kitab al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah juz 6 halaman
34  dijelaskan bahwa tidak boleh bermakmumnya qori’ dengan ummi
menurut jumhurul fuqoha’ (hanafiah, malikiyah, hanabilah, dan qaul jadid dari
madzhab syafii’yah) karena imam itu orang yang menanggung terhadap bacaannya
makmum, dan tidak mungkin bagi seorang yang ummi untuk menanggung bacaan
karena tidak mampunya membaca, dan yang di maksud dengan ummi di sini menurut
fuqoha’yaitu “orang yang tidak bagus bacaannya dan dia berada dalam keadaan
shalat”. Dan diperbolehkan bermakmumnya qori’ dengan ummi menurut qoul qodim
dari madzhab syafi’iyah dalam shalat sirriyah bukan jahriyyah, dan menurut Imam
Muzanni sah bermakmumnya secara mutlak.
Menurut hemat kami, alangkah baiknya dalam menentukan imam shalat perlunya
mempertimbangkan kenyamanan makmunnya. Dalam hal ini, kita bisa hubungkan
kemampuan imam dalam membaca al Fatihah dan bacaan ayat Al Quran dengan baik,
tartil, dan merdu, sehingga kekhusyu’an shalat bisa tercapai dengan hal
tersebut. Wallahu a’alam bisshowab.

Pertanyaan:
6. Bagaimana hukumnya membagikan daging kurban kepada orang non-Muslim?
Jawaban :
Jika seorang Muslim berkurban dan membagikan dagingnya kepada orang miskin
dan para tetangga yang sama-sama Muslim, maka hal itu adalah hal yang biasa dan
tidak menjadi persoalan. Yang menjadi “gegeran” para ulama adalah ketika daging
kurban itu juga diberikan kepada orang non-Muslim. Pendapat pertama “ngotot” untuk
tidak memperbolehkan memberikan daging kurban kepada non-Muslim secara mutlak.
Sedang pendapat kedua menyatakan boleh, bahkan menurut keterangan dalam kitab
Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, dan pendapat ini dianggap selaras dengan ketentuan
dalam Madzhab Syafi’i itu sendiri. Demikian sebagaimana keterangan yang terdapat
dalam kitab Nihayatul Muhtaj.

َ ِ‫ َوي ُْؤ َخ ُذ ِم ْن َذل‬, ‫طلَقًا‬


‫ك‬ ْ ‫إط َعا ُم َكافِ ٍر ِم ْنهَا ُم‬ ْ ‫ضحَّى ع َْن َغي ِْر ِه أَوْ ارْ تَ َّد فَاَل يَجُو ُز لَهُ اأْل َ ْك ُل ِم ْنهَا َك َما اَل يَجُو ُز‬ َ ْ‫لَو‬
ِ ‫ق ْال ُم ْسلِ ِمينَ بِاأْل َ ْك ِل أِل َنَّهَا‬
ِ ‫ضيَافَةُ هَّللا‬ ُ ‫ ْإذ ْالقَصْ ُد ِم ْنهَا إرْ فَا‬, ‫ير َو ْال ُم ْهدَى إلَ ْي ِه ِم ْنهَا َش ْيئًا لِ ْل َكافِ ِر‬
ِ ِ‫ع إ ْعطَا ِء ْالفَق‬
ُ ‫ا ْمتِنَا‬
‫ب ْال َج َوا ُز‬ِ َ‫ضى ْال َم ْذه‬ َ َ‫وع أَ َّن ُم ْقت‬
ِ ‫لَهُ ْم فَلَ ْم يَج ُْز لَهُ ْم تَ ْم ِكينُ َغي ِْر ِه ْم ِم ْنهُ لَ ِك ْن فِي ْال َمجْ ُم‬

Artinya, “Apabila seseorang berkurban untuk orang lain atau ia menjadi murtad, maka
ia tidak boleh memakan daging kurban tersebut sebagaimana tidak boleh memberikan
makan dengan daging kurban kepada orang kafir secara mutlak. Dari sini dapat
dipahami bahwa orang fakir atau orang (kaya, pent) diberi yang kurban tidak boleh
memberikan sedikitpun kepada orang kafir. Sebab, tujuan dari kurban adalah
memberikan belas kasih kepada kaum Muslim dengan memberi makan kepada
mereka, karena kurban itu sendiri adalah jamuan Allah untuk mereka. Maka tidak
boleh bagi mereka memberikan kepada selain mereka. Akan tetapi menurut pendapat
8
ketentuan Madzhab Syafi’i cenderung membolehkanya,” (Lihat Syamsuddin Ar-
Ramli, Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj, Beirut, Darul Fikr, 1404 H/1984 M, juz
VIII, halaman 141).
Logika yang dibangun untuk mendukung pendapat ini adalah bahwa tujuan kurban
itu sendiri adalah untuk menunjukkan belas kasih kepada orang-orang Muslim dengan
cara memberi makan kepada mereka. Sebab, hewan kurban adalah jamuan Allah
(dhiyafatullah) untuk mereka pada hari raya Idul Adha. Konsekuensi logis dari cara
pandangan seperti adalah tidak diperbolehkan memberikan daging kurban kepada non-
Muslim.
Adapun argumentasi yang dibangun untuk meneguhkan pandangan yang
memperbolehkan untuk memberikan daging kurban kepada orang non-Muslim adalah
bahwa berkurban itu merupakan sedekah. Sedangkan tidak ada larangan untuk
memberikan sedekah kepada pihak non-Muslim. Namun kebolehan memberikan
daging kurban kepada non-Muslim tidak bisa dipahami secara mutlak. Tetapi harus
dibaca dalam konteks non-Muslim yang bukan harbi (non-Muslim yang tidak
memusuhi orang Islam). Dan bukan kurban wajib, tetapi kurban sunah.
Dengan kata lain, diperbolehkan memberikan sedekah—termasuk di dalamnya
memberikan daging kurban—selain kepada kafir harbi (non-Muslim yang memerangi
atau memusuhi umat Islam).

ْ ْ ‫ َويَجُو ُز أَ ْن ي‬: ‫فَصْ ٌل‬


‫ َغ ْي ُرهُ ْم‬: ‫ك‬ ٌ ِ‫ي َوقَا َل َمال‬ ِ ‫ َوأَصْ َحابُ الرَّأ‬، ‫ َوأَبُو ثَوْ ٍر‬، ُ‫ َوبِهَ َذا قَا َل ْال َح َسن‬. ‫ُط ِع َم ِم ْنهَا َكافِرًا‬
ْ ‫ َولَنَا أَنَّهُ طَ َعا ٌم لَهُ أَ ْكلُهُ فَ َجا َز‬. ‫ْث إ ْعطَا َء النَّصْ َرانِ ِّي ِج ْل َد اأْل ُضْ ِحيَّ ِة‬
، ‫إط َعا ُمهُ لِل ِّذ ِّم ِّي‬ ُ ‫ك َواللَّي‬ ٌ ِ‫ َو َك ِرهَ َمال‬. ‫أَ َحبُّ إلَ ْينَا‬
ُ‫ص َدقَة‬ َّ ‫فَأ َ َّما ال‬. ‫ع‬ ْ ‫ فَ َجا َز‬، ‫ع‬
َ ‫ َك َسائِ ِر‬، ‫إط َعا ُمهَا ال ِّذ ِّم َّي َواأْل َ ِسي َر‬ َ ُ‫ وَأِل َنَّه‬، ‫َك َسائِ ِر طَ َعا ِم ِه‬
ٍ ‫ص َدقَةُ تَطَ ُّو‬
ِ ‫ص َدقَ ِة التَّطَ ُّو‬
ِ ‫ َو َكفَّا َرةَ ْاليَ ِم‬، َ‫ت ال َّز َكاة‬
‫ين‬ ْ َ‫ فَأ َ ْشبَه‬، ٌ‫اجبَة‬
ِ ‫ص َدقَةٌ َو‬ َ ‫ئ َد ْف ُعهَا إلَى َكافِ ٍر أِل َنَّهَا‬ ُ ‫ فَاَل يُجْ ِز‬، ‫اجبَةُ ِم ْنهَا‬ ِ ‫ْال َو‬

Artinya, “Pasal: dan boleh memberikan makan dari hewan kurban kepada orang
kafir. Inilah pandangan yang yang dikemukakan oleh Al-Hasanul Bashri, Abu Tsaur,
dan kelompok rasionalis (ashhabur ra’yi). Imam Malik berkata, ‘Selain mereka
(orang kafir) lebih kami sukai’. Menurut Imam Malik dan Al-Laits, makruh
memberikan kulit hewan kurban kepada orang Nasrani. Sedang menurut kami, itu
adalah makanan yang boleh dimakan karenanya boleh memberikan kepada kafir
dzimmi sebagaimana semua makanannya, (Lihat Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Beirut,
Darul Fikr, cet ke-1, 1405 H, juz XI, halaman 105).
Dari penjelasan di atas, kita dapat mentarik kesimpulan bahwa dalam soal hukum
memberikan daging kurban kepada non-Muslim ada dua pendapat. Ada yang
melarang secara mutlak, dan ada yang membolehkan tetapi dengan syarat bukan
kurban wajib dan penerimanya bukan kafir harbi.

Pertanyaan:

7. Apakah diperbolehkan memberikan zakat kepada kyai/ ustadz?

Jawaban:
9
Pendistribusian zakat/pembagian zakat itu harus disalurkan kepada para mustahiq
(orang yang berhak menerimanya) yang jumlahnya ada delapan golongan tersebut.
Sedangkan golongan yang lain tidak berhak menerimanya. Demikian pula halnya
dengan kyai langgar/guru ngaji. Sementara sudah merupakan hal yang biasa dilakukan
di kampung-kampung bahwa sebagian kaum muslimin -yang notabenenya warga
nahdliyin- memberikan zaktnya kepada kiyai langgar/guru ngaji, bagaimana
hukumnya?
Sayid Abu Bakar bin Muhammad Syatho dalam kitabnya I’anatut Thalibin
memberikan keterangan :
‫ أَ ِو‬،‫ ْي ِر‬A‫س‬ِ ‫ أَ ْو ِبالتَّ ْف‬،‫ ِه‬A‫ أَ ْو ِبا ْلفِ ْق‬،‫آن‬
ِ ‫ر‬Aْ ُ‫ ِظ ا ْلق‬A‫نُهُ ِب ِح ْف‬A‫س‬ ِ ‫ب يُ ْح‬ ٍ A‫س‬ْ ‫تِ َغالُهُ عَنْ َك‬A‫اش‬ ْ ‫ا‬A‫ض‬ ً ‫ َكنَةَ] أَ ْي‬A‫س‬ ْ ‫ َر َوا ْل َم‬A‫ي ا ْلفَ ْق‬ِ َ‫ا [أ‬A‫َو ِم َّما الَ يَ ْمنَ ُع ُه َم‬
َ
.‫ض ِكفايَ ٍة‬ َ ْ ِ ‫ أَ ْو َما َكانَ آلَة لِذلِ َك َو َكانَ يَتَأتَّى ِمنهُ ذلِ َك فيُ ْعطى لِيَتَف َّرغ لِت َْح‬.‫ث‬
َ ‫ َو َك ْونِ ِه ف ْر‬،‫ص ْيلِ ِه لِ ُع ُم ْو ِم نَف ِع ِه َوتَ َع ِّد ْي ِه‬ َ َ َ َ َ ْ َ َ ً ِ ‫ا ْل َح ِد ْي‬
Artinya :
“Termasuk hal yang tidak mencegah keduanya (status fakir dan miskin) adalah
seseorang yang meninggalkan pekerjaan yang layak baginya karena waktunya tersita
untuk menghafal Qur’an, memperdalam imu fiqih, tafsir, hadits atau ilmu alat (ilmu
yang menjadi sarana tercapainya ilmu-ilmu tersebut), maka orang-orang semacam
ini dapat diberi  zakat, agar mereka dapat melaksanakan usahanya secara optimal,
sebab manfaatnya akan lebih dirasakan serta mengena kepada masyarakat umum,
disamping juga hal itu hukumnya fardlu kifayah.
Dari keterangan ini, kita bisa memahami bahwa hukum memberi zakat kepada
kiyai/guru ngaji itu boleh, dengan syarat bahwa yang bersangkutan keadaannya tidak
mampu. Hal ini disamakan dengan orang yang sibuk menghafal hadits, memperdalam
ilmu fiqih atau mengerjakan sesuatu yang hukumnya fardlu kifayah, sehingga tidak
memiliki waktu yang cukup untuk mencari penghasilan yang layak.
Jam’iyah Musyawarah Bahtsul Masail Pondok Pesantren Al-Falah Ploso Kediri pada
tahun 1405 H./1984 M. pernah membahas persoalan ini dengan deskripsi masalah
sebagai berikut :
Soal : Apakah boleh memberikan zakat kepada kiyai dengan atas nama kiyai?
Jawab:  Tidak boleh, karena tidak termasuk ashnaf delapan, meskipun nama sabilillah,
sebab yang dimaksud sabilillah adalah orang yang berperang dengan sukarela.
Keterangan dari kitab Fathul Wahhab juz II hal. 27 :
.‫سبِ ْي ِل هللاِ) ِو ُه َو َغا ٍز ُمتَطَ ِّوعًا ِبا ْل ِج َها ِد‬ ِ ِ‫( ِول‬
Artinya :
“(dan untuk sabilillah) yaitu orang yang berperang dengan sukarela dalam jihadnya.
(Tanbih) Ada suatu qaul (pendapat ulama) yang menyebutkan bahwa kiyai itu
termasuk sabilillah, sebagaimana keterangan dalam kitab Jawahirul Bukhari hal. 173 :
َّ ‫ةُ ا ْل ِع ْل ِم‬Aَ‫ َك طَلَب‬Aِ‫د ُْخ ُل فِ ْي َذل‬Aَ‫ َوي‬.‫ا ِد‬AA‫ إِعَانَةً َعلَى ا ْل ِج َه‬،‫سبِ ْي ِل هللاِ ا ْل ُغزَ اةُ ا ْل ُمتَطَ ِّوع ُْونَ بِا ْل ِج َها ِد َوإِنْ َكانُ ْوا أَ ْغنِيَا َء‬
‫ ْر ِع ِّي‬A‫الش‬ َ ‫أَ ْه ُل‬
33 ‫ ص‬2 ‫ اهـ تحفة الرحبة‬.‫ف‬ ِ ‫اص ُروا ال ِّد ْي ِن ا ْل َحنِ ْي‬ ِ َ‫اف َوا ْل َو ْع ِظ َو ْا ِإل ْرشَا ِد َون‬ ِ ‫ص‬ َ ‫ب ا ْل َعد ِْل َو ُمقِ ْي ُموا ْا ِإل ْن‬ ُ
ُ َّ‫ق َوطال‬ ِّ ‫َو ُر َّوا ُد ا ْل َح‬
Artinya :
“Ahli Sabilillah adalah mereka yang berperang yang bersuka rela dalam berjihad
walaupun mereka itu kaya, karena untuk membantu mereka dalam berjihad.
Termasuk ahli sabilillah : para pelajar/santri yang mempelajari ilmu syar’i, orang-
orang yang mencari kebenaran, menuntut keadilan, menegakkan kejujuran, orang-
orang yang ahli memberi nasehat, memberi bimbingan dan membela agama yang
lurus”.
Jadi, kalau kita mengikuti qaul/pendapat ulama yang tertulis dalam kitab Jawahirul
Bukhari tadi (yakni pendapat Imam Qasthalani Asy-Syafi’i), maka boleh dan sah
10
memberikan zakat kepada para kiyai/para guru ngaji -sebagaimana yang biasa
dilakukan di kampung-kampung- dengan atas nama sabilillah.

Pertanyaan :

8. Apakah boleh menerima komisi dalam Islam, seperti ketika membantu


menjualkan mobil atau rumah, baik secara profesional ataupun dengan saudara dan
kerabat dekat saja?

Jawaban :
Dari sisi ekonomi Islam, membantu menjualkan atau membelikan barang untuk
seseorang atau perusahaan disebut dengan istilah samsarah (broker), yang berarti
menjadi perantara antara penjual dan pembeli. Orang yang menjadi perantara itu
disebut simsaar. Ia disebut juga sebagai penunjuk (dallal) karena dialah yang
menunjukkan dan mencarikan untuk si penjual orang yang mau membeli barangnya
dan mencarikan untuk si pembeli orang yang menjual barang yang dibutuhkannya.

Pada dasarnya, pekerjaan samsarah dan upah atau komisi dari transaksi pekerjaan


itu dibolehkan karena mendatangkan manfaat bagi pembeli, penjual, dan simsaar itu
sendiri. Samsarah ini banyak dibutuhkan orang karena banyak yang tidak tahu cara
melakukan tawar menawar (negosiasi) dalam jual beli. Tidak sedikit pula orang yang
tidak mampu mencari dan meneliti spesifikasi dan kualitas barang yang hendak
dibelinya. Atau tidak punya waktu untuk melakukan sendiri proses jual beli yang
hendak dilakukannya. Di sinilah diperlukan seorang simsaar.

Imam Malik ketika ditanya tentang upah bagi simsaar  menjawab, “Hal itu tidak
apa-apa.” Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya membuat bab sendiri tentang
upah samsarah dan menjelaskan bahwa Ibnu Sirin, Atha', Ibrahim al-Nakh'I, dan
Hasan al-Bashri mengatakan, upah atau komisi untuk simsaar itu tidak apa-apa.

Para ulama memasukkan masalah samsarah  ini pada pembahasan ji'alah (upah yang


didapatkan oleh seseorang karena suatu pekerjaan yang dilakukannya) yang disepakati
kebolehannya. Ini sesuai dengan firman Allah SWT. “Penyeru-penyeru itu berkata,
'Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan
memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.'”
(QS Yusuf [12] : 72).
Dalam ayat di atas, para pegawai Nabi Yusuf mengatakan, barang siapa yang dapat
menunjukkan di mana letak piala raja yang hilang, akan mendapatkan imbalan berupa

11
makanan seberat beban unta. Ini merupakan bentuk ji'alah, yaitu menjanjikan upah
kepada seseorang jika ia melakukan apa yang dimintakan kepadanya. Tentu saja
komisi akan menjadi haram jika diterima oleh seseorang yang telah mendapatkan gaji
dari pekerjaannya, seperti seorang pegawai pengadaan barang atau pejabat terkait
yang mendapatkan komisi dari vendor atau suplier perusahaan atau lembaga negara.

Sebagaimana banyak terjadi di kalangan elite negara dan pejabat BUMN yang
menerima komisi berbagai proyek, yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan tidak
efisiennya proyek-proyek pemerintah. Seperti, proyek pengadaan Alquran dan impor
daging sapi yang baru-baru ini terjadi. Seorang simsaar (perantara) harus memenuhi
beberapa syarat untuk boleh melakukan samsarah tersebut.

Pertama, ia haruslah orang sudah berpengalaman di bidangnya agar tidak


membahayakan kedua belah pihak, yakni pembeli dan penjual.

Kedua, ia harus jujur, tidak menipu salah satu pihak demi keuntungan pihak yang
lain. Ia harus menjelaskan kelebihan dan kekurangan barang atau produk yang hendak
ditransaksikan tanpa melebih-lebihkan atau mengurangi.

Ketiga, ia tidak boleh menjadi perantara untuk menjual atau membeli sesuatu yang
tidak halal untuk diperjual-belikan, dimiliki, atau diambil manfaatnya.

Berdasarkan itu maka boleh menerima komisi atas perbuatan menjualkan atau
membelikan barang untuk seseorang, baik dilakukan secara profesional maupun hanya
sebatas kerabat dan teman asalkan memenuhi syarat-syarat di atas.

Pertanyaan:

9. Apa hukum memberi barang supaya dipilih menjadi caleg?

Jawaban :

12
Hampir di setiap ajang pemilu di negeri kita, baik tingkat daerah Kabupaten,
Propinsi maupun Nasional tidak bisa lepas dari isu money politics dalam berbagai
betuknya, mulai dari cara yang terang-terangan membagi sejumlah uang kepada para
calon pemilih sampai pada cara yang tergolong soft yakni dengan membagi-bagi
sembako.
Umumnya para caleg mengkatagorikan aktivitas tersebut sebagai sebuah
pemberian/sumbangan/bantuan/hibah, agar pemberian tersebut dapat bernilai pahala
maka harus didasarkan pada keikhlasan.
Dan tidak diikuti syarat/ikatan apapun dalam memberikannya, bukan pemberian
yang berharap pamrih, minimal simpati dan ujung-ujungnya adalah dulangan suara,
sehingga jika jumlah suara yang diperoleh tidak sesuai dengan harapan tidak jarang
kita saksikan caleg stress dan memilih untuk menarik kembali sumbangan yang telah
diberikan walaupun sumbangan terhadap masjid/mushhola.
Dari Ibnu Abbas r.a bahwa Nabi SAW bersabda "Bagi kita tidak ada perumpamaan
yang lebih buruk (lagi) bagi orang mengambil kembali pemberiannya, seperti anjing
yang menelan kembali muntahannya" (HR.Bukhori & Muslim).
Masyarakat pemilih di negeri kita yang telah kenyang dengan asam garam pemilu,
juga telah memiliki pemeonya sendiri, dikalangan mereka berkembang istilah "ambil
uangnya, coblosnya/contrengnya suka-suka".
Tidak sesederhana itu seharusnya sikap kaum muslimin dalam menerima bantuan,
jika bantuan yang diterima mensyaratkan sesuatu maka tidak layak kita menerimanya,
karena yang namanya pemberian/hibah dalam istilah syara' adalah pemberian
seseorang akan hartanya kepada orang lain semasa hidupnya dengan cuma-cuma tanpa
imbalan.
Penerimaan hibah ini lebih bermasalah jika diikuti dengan janji bahkan sumpah
untuk memilih pemberinya pada hari H pemilu, hanya sekedar berharap caleg tersebut
memberikan hibah dengan jumlah yang lebih besar, sementara ia berprinsip
"contrengnya suka-suka" hal ini dapat memasukkan pelakunya kedalam golongan
pemakan harta sesama dengan jalan bathil sebagaimana dijelaskan dalam QS An-Nisa'
29.
Money politic (politik uang) akan berkolerasi positif terhadap penyelenggaraan
negara berbiaya tinggi, bagaimana tidak, jika para pengemban amanah kekuasaan
(Wakil Rakyat, Pemerintah dan Penegak Hukum) dalam meraih posisinya senantiasa

13
menggunakan uang sebagai sarana mencapai tujuannya, hampir bisa dipastikan secara
logis mereka akan memprioritaskan pengembalian modal politiknya dan meraih
keuntungan sebesar-besarnya dari modal yang telah ditanamkannya daripada
menunaikan amanahnya.
Untuk ini janganlah kita terjebak pada permainan politik yang hanya melahirkan
kesengsaraan bagi rakyat, sudah tiba saatnya kita menyadari untuk mengganti sistem
politik di negeri kita dengan sistem politik yang akan mensejahterakan rakyat secara
riil, suatu sistem politik yang dapat menghadirkan keberkahan bagi penduduknya,
yakni sistem politik Islam dengan istitusinya Khilafah Islamiyah sebagaimana
dibangun oleh baginda Nabi SAW
dan diteruskan oleh para Shahabat-sahabatnya.
Marilah kita renungkan Firman Allah SWT "Jikalau sekiranya penduduk negeri-
negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka
berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka
Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya" (QS : Al A'rof 96).

Pertanyaan:
10. Bagaimana hukum mengqadha’ shalat orang yang meninggal?
Jawaban:
Qadha shalat diwajibkan bagi siapapun yang meninggalkan shalat, baik sengaja
maupun tidak. Untuk orang yang meninggalkan shalat secara sengaja, diwajibkan
mengqadha shalat secepat mungkin (faur). Bahkan ia diharuskan mengerjakan shalat
qadha terlebih dahulu, sebelum mengerjakan shalat wajib lainnya atau shalat sunah.

Misalnya, ketika ada yang secara sengaja meninggalkan shalat dzuhur dan waktunya
sudah habis, ia diwajibkan untuk mengqadhanya sebelum menunaikan shalat ashar.
Beda halnya dengan orang yang lupa atau ketiduran, mereka dianjurkan  untuk
menyegerakan (wa yubadiru bihi nadban), dan tidak diwajibkan sebagaimana halnya
orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja.
Kewajiban qadha ini mengukuhkan bahwa bagaimanapun dan dalam kondisi apapun
shalat wajib tidak boleh ditinggalkan, kecuali bagi perempuan haidh.

Lalu bagaimana dengan orang yang sudah meninggal? Apakah ahli  waris atau
keluarganya dianjurkan untuk mengqadha shalat orang yang sudah wafat? Persoalan
ini sudah dibahas dan diperdebatkan oleh para ulama sejak dulu. Dalam Fathul Mu’in,
Zainuddin Al-Malibari mengatakan:

14
‫ حكاه العبادي عن‬،‫ أوصى بها أم ال‬،‫ إنها تفعل عنه‬:‫ وفي قول‬،‫من مات وعليه صالة فرض لم تقض ولم تفد عنه‬
‫ وفعل به السبكي عن بعض أقاربه‬،‫الشافعي لخبر فيه‬

Artinya, “Orang yang sudah meninggal dan memiliki tanggungan shalat wajib tidak
diwajibkan qadha dan tidak pula bayar fidyah. Menurut satu pendapat, dianjurkan
qadha’, baik diwasiatkan maupun tidak, sebagaimana yang dikisahkan Al-‘Abadi dari
As-Syafi’i karena ada hadis mengenai persoalan ini. Bahkan, As-Subki melakukan
(qadha shalat) untuk sebagian sanak-familinya.”

Memang tidak terdapat hadits yang secara tegas menunjukkan kebolehan qadha shalat.
Ulama yang membolehkan hal ini berdalil pada hadis kewajiban qadha puasa bagi ahli
waris. ‘Aisyah pernah mendengar Rasulullah bahwa:

‫من مات وعليه صيام صام عنه وليه‬

Artinya, “Siapa yang meninggal dan memiliki tanggungan puasa, wajib bagi
keluarganya untuk mengqadhanya,” (HR Al-Bukhari).
Anjuran mengqadha puasa ini disematkan pada shalat, karena keduanya sama-sama
ibadah badaniyah (ibadah fisik). Dalam Syarah Shahih Muslim, An-Nawawi juga
menguraikan perdebatan ulama terkait hal ini. Persoalannya, apakah ibadah yang
dilakukan orang yang masih hidup, pahalanya sampai kepada orang yang meninggal
atau tidak? An-Nawawi menjelaskan:

‫ذهب جماعات من العلماء إلى أنه يصل إلى الميت ثواب جميع العبادات من الصالة والصوم والقراءة وغير ذلك وفي‬
‫صحيح البخاري في باب من مات وعليه نذر أن ابن عمر أمر من ماتت أمها وعليها صالة أن تصلي عنها‬

Artinya, “Sekelompok ulama berpendapat bahwa pahala seluruh ibadah (yang


dihadiahkan kepada orang yang meninggal) sampai kepada mereka, baik ibadah
shalat, puasa, dan membaca Al-Qur’an. Dalam shahih al-Bukhari, bab orang yang
meninggal dan masih memiliki kewajiban nadzar, Ibnu Umar memerintahkan kepada
orang yang meninggal ibunya dan memiliki tanggungan shalat untuk mengerjakan
shalat untuk ibunya.”
Demikianlah pendapat ulama terkait kebolehan mengqadha shalat untuk orang yang
sudah wafat. Selain pendapat, sebagian ulama besar seperti As-Subki juga melakukan
untuk keluarganya yang telah wafat. Bagi siapa yang tidak setuju dengan pendapat di
atas, alangkah baiknya untuk tidak menyalahkan orang yang mengqadha’ shalat untuk
keluarganya yang telah wafat. Sebab persoalan ini masih diperdebatkan dan
diperselisihkan oleh para ulama (khilafiyah). 

DAFTAR PUSTAKA

15
http://ahlussunah-wal-jamaah.blogspot.com/2011/08/memberikan-zakat-kepada-kyai-
langgar.html diakses tanggal 25 September 2019 pukul 11.00 WIB
http://zarkasih20.blogspot.com/2013/03/jual-beli-pulsa-haram.html diakses tanggal 25
September 2019 pukul 11.05 WIB
https://almubayyin.wordpress.com/tanya-jawab/cara-berwudhu-jika-ada-anggota-tubuh-
yang-luka/ diakses tanggal 25 September 2019 pukul 11.10 WIB
https://islam.nu.or.id/post/read/70378/hukum-qadha-shalat-untuk-orang-wafat
diakses tanggal 25 September 2019 pukul 11.15 WIB
https://islam.nu.or.id/post/read/71140/hukum-bagikan-daging-kurban-kepada-non-muslim
diakses tanggal 25 September 2019 pukul 11.20 WIB
https://lampung.tribunnews.com/2014/03/20/apa-hukum-memberi-barang-supaya-dipilih-
jadi-caleg diakses tanggal 25 September 2019 pukul 11.25 WIB
https://muslim.or.id/29109-menerima-sumbangan-dari-non-muslim-untuk-membangun-
masjid-dan-pesantren.html diakses tanggal 25 September 2019 pukul 11.30
WIB
https://rumaysho.com/3721-hukum-berobat-dengan-minum-air-kencing.html diakses
tanggal 25 September 2019 pukul 11.35 WIB
https://tebuireng.online/hukum-bermakmum-pada-imam-yang-tak-fasih/ diakses tanggal
25 September 2019 pukul 11.40 WIB
https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/fatwa/13/05/28/mnhnen-hukum-komisi-
transaksi diakses tanggal 25 September 2019 pukul 11.45 WIB

16

Anda mungkin juga menyukai