Anda di halaman 1dari 13

Nama : Merry Sabilla

Nim : 190201068
Mata Kuliah : Tarikh Tasyri’
Dosen Pengampu : Dr. Nufiar, M.Ag.

1. Sebutkan 6 Periodisasi tarikh al-tasyri'!


Jawaban:
1) Syariah pada era atau periode kenabian/Rasulullah (periode insya dan
takwin/pertumbuhan dan pembentukan) yang berlangsung selam kurang lebih 22
tahun, terhitung sejak kebangkitan Nabi Muhammad SAW. (610M) sampai wafatnya
beliau (632M). Periode inilah yang penulis maksud sebagai klasifikasi pertama 'asrut
tasyri (masa turunnya syariat).
2) Syariah pada era atau periode sahabat atau era khulafaur rasyidin (periode tafsir dan
takmil/penjelasan dan penyempurnaan), terhitung mulai wafatnya Nabi Muhammad
SAW 11 H sampai akhir kekhilafahan Ali bin Abi Tholib.
3) Syariah pada era atau periode sighar sahabat Tabi'in. Periode ketiga dari prosesi tasyri'
ini berlangsung sejak beralihnya tampuk kekhilafahan dari Ali bin Abi Thalib ke
tangan Muawiyah hingga awal abad kedua hijriyah.
4) Periode keempat adalah periode syariah di era keemasan (golden Age) yang ditandai
dengan maraknya proses tadwin (pembukuan dan puncak perkembangan syariah)
yang berlangsung selama kurang lebih 250 tahun, terhitung mulai tahun 189H/720M-
430H/961M. Masa ini dikenal sebagai masa golden age (masa keemasan atau puncak
kejayan) dari periodisasi pembentukan syariah.
5) Syariah pada era tau periode taqlid yaitu periode kebekuan dan kejumudan, disinyalir
berlangsung mulai tahun 331H/962M-abad XX H. Pada periode ini masyarakat
muslim berkutat pada kegiatan syarah dan hasyiyah.
6) Periode kebangkitan syariah yang dimulai pada abad ke XX H. Abdul wahab Khallaf
dalam tarikh tasyri'nya menyebutkan bahwa masa kebangkitan ini telah dimulai pada
abad XIII H.

2. Sebutkan dan jelaskan nilai-nilai yang terkandung dalam Syariat Islam!


Jawaban:
Nilai-nilai Yang Terkandung dalam Syariat Islam
a. Nilai spiritual
Nilai ini berkaitan dengan kewajiban penataan batin dalam menentukan tujuan
pelaksanaan ibadah. Itulah sebabnya setiap ibadah menempatkan niat sebagai syarat
pertama. Ini dimaksudkan agar orientasi peribadatan hanya karena Allah (lillah),
sehingga manusia bebas dari kemusyrikan dan riya.
b. Nilai materiel
Dalam ibadah, predikat benar bukan hanya pada niat, melainkan juga pada substansi.
Bentuk peribadatan wajib fillah. Artinya, dalam format yang benar dan tidak
menyimpang dari ketentuan, yang telah dibakukan. Penyimpangan dari ketentuan
mengakibatkan ketidaksempurnaan ibadah, bahkan mungkin pembatalan. Realisasi
nilai ini juga berkait dengan pemanfaatan benda-benda tertentu yang menjadi sarana
ibadah.
c. Nilai ruhaniah
Syariat Islam sangat menekankan penjagaan kesucian fitrah. Untuk itu, hal-hal yang
dapat merusakkan martabat manusia selalu dilarang dan hal-hal yang dapat membawa
manusia pada kemuliaan dan kemaslahatan senantiasa diwajibkan. Fitrah adalah
esensi wujud manusia, yang cenderung menerima dan menjalankan ketentuan Allah.
d. Nilai jasmaniah
Nilai ini berhubungan dengan performansi fisik. Dalam ibadah, seseorang perlu
memperhatikan kebersihan lingkungan, kesehatan, Kenyamanan, dan keindahan.
Ibadah tidak dinilai hanya oleh pemenuhan rukun dan syarat dengan meninggalkan
aspek fisik. Tidak terpenuhinya nilai jasmaniah ini menyebabkan pelaksanaan ibadah
terganggu.
e. Nilai sosial
Syariat Islam memprioritaskan kepentingan sosial daripada kepentingan individu.
Oleh karena itu, dalam setiap bentuk peribadatan selalu tersirat hikmah pendidikan
kebersamaan. Sesuatu yang memberi manfaat/kebaikan secara mondial dinilai lebih
utama dari pada yang rujukannya kepada perseorangan. Seorang ibu yang sedang
shalat, misalnya, wajib membatalkan shalatnya jika khawatir anak bayinya yang
terbangun jatuh. Dalam kifarah puasa juga tercermin prinsip ini. Di antara ketiga
macam kifarah (puasa dua bulan berturut-turut, membebaskan budak, dan memberi
makan. fakir miskin sejatah enam puluh orang), hanya satu yang berkaitan dengan
Allah swt. Dua macam kifarah lainnya berhubungan dengan kehidupan sosial.
f. Nilai individual
Nilai ini mengisyaratkan bahwa dalam peribadatan, tanggung jawab dan kualitas
ditentukan oleh individu yang bersangkutan Kualitas peribadatan seseorangpun tidak
ditentukan oleh formalitas peniruannya pada peribadatan orang lain. Setiap adalah
penentu nilai peribadatannya sendiri sesuai dengan niat dan kaifiyat yang ia jalankan.

3. Jelaskan perbedaan tasyri' ilahy dan tasyri' wadh'iy!


Jawaban:
Tasyri' ilahiy dan tasyri' wadh 'iy. Untuk tasyri' jenis pertama, adalah setiap aturan atau
undang-undang yang langsung dibuat oleh Allah melalui ayat-ayat al-Qur'an maupun hadist-
hadist nabi. Sedangkan tasyri jenis kedua adalah aturan-aturan atau undang-undang yang
dibuat oleh para mujtahid baik secara independen (individu) maupun dependen/kolektif
(jama'i), baik dilakukan oleh para sahabat, tabi'in dan para imam mujtahid dengan cara
mengistimbathkan hukum dari al-qur'an maupun sunnah.

4. Apakah pengertian tarikh tasyri' menurut Muhammad 'Ali al-Sayyis?


Jawaban:
Muhammad 'Ali al-Sayyis (1990:8) menjelaskan bahwa yang dimaksud tarikh al-tasyri' al-
Islami adalah Ilmu yang memabahas syariah pada zaman Rasul dan sesudahnya dengan
uraian dan periodisasi, yang padanya hukum itu berkembang, serta membahas ciri-ciri
spesifiknya, keadaan fuqaha dam mujtahid dalam merumuskan hukum itu.
5. Jelaskan pembagian tsyri' secara umum!
Jawaban:
Secara umum tasyri' di bedakan menjadi dua:
al-tasyri' al-Islami min jihat al-tawassu' wa al-syumuliyyah (al-tasyri' dari sudut keluasan dan
kandungan) dan al-tasyri' al-Islami min jihat al-tawassu' wa al-syumuliyyah (al-tasyri' dari
sudut keluasan dan kandungan).
Tasyri' tipe pertama, al-tasyri' dari sudut sumber dibatasi pada tasyri' yang dibentuk pada
jaman Nabi Muhammad Saw, yaitu al-Qur'an dan Sunnah. Sedangkan tasyri tipe kedu, yaitu
al-tasyri' dari sudut keluasan dan kandungan, mencakup ijtihad sahabat, tabi'in, dan ulama
sesudahnya.

6. Sebutkan Tujuan mempelajari tarikh tasyri'!


Jawaban:
Tujuan mempelajari tarikh tasyri' ialah agar tidak keliru dalam memahami syariah,
melahirkan sikap hidup yang toleran, dan tidak mewarisi pemikiran ulama klasik dan
langkah-langkah ijtihadnya serta dapat mengembangkan gagasannya.

7. Sebutkan ciri-ciri utama tatanan masyarakat Arab pra-Islam!


Jawaban:
ciri-ciri utama tatanan masyarakat Arab pra-Islam adalah sebagai berikut:
1) Menganut paham kesukuan (gahilak/clan).
2) Memiliki kesetiaan serth solidaritas sosial (fanatisme primordial) yang sangat kuat.
3) Memiliki tata social politik yang tertutup dengan partisipasi warga yang terbatas;
factor keturunan lebih penting dari pada kemampuan.
4) Mengenal hirearki yang kuat.
5) Kedudukan perempuan cenderung direndahkan.
6) Belum memiliki sistem atau norma yang mengatur kehidupan sosial.
7) Memiliki kebiasaan mengundi nasib (al-azlam) dalam mengambil keputusan.

8. Sebutkan dan jelaskan jenis-jenis perkawinan yang ada pada masa pra-Islam di kawasan
Arab!
Jawaban:
Dalam perkawinan, mereka mengenal beberapa macam perkawinan, diantaranya sebagai
berikut.
1) Itibdla, yaitu seorang suami meminta kepada istrinya supaya berjimak yang
dipandang atau kelebihan tertentu, seperti keberanian dan kecerdasan. Selama istri
"bergaul dengan laki-laki tersebut, suami menahan diri dengan tidak berjimak dengan
istrinya sebelum terbukti istrinya hamil. Tujuan perkawinan semacam ini agar istri
melahirkan anak yang memiliki sifat yang dimiliki oleh laki-laki yang
menyetubuhinya yang tidak dimiliki oleh suaminya. Misalnya, seorang istri
merelakan istrinya berjimak dengan raja sampai terbukti hamil agar memperoleh anak
yang berasal dari orang yang terhormat.
2) Poliandri, yaitu beberapa laki-laki berjimak dengan seorang perempuan. Setelah hamil
dan melahirkan anak, perempuan itu memanggil semua laki-laki yang pernah
menyetubuhinya untuk berkumpul dirumahnya. Setelah semua hadir, perempuan itu
memberitahukan bahwa ia dikaruniai anak hasil hubungan dengan mereka; kemudian
ia menunjuk salah seorang dari semua laki-laki yang pernah menyetubuhinya untuk
menjadi bapak dari anak yang dilahirkannya; laki-laki yang ditunjuk tidak boleh
menolak.
3) Magthu, yaitu seorang laki-laki menikahi ibu tirinya setelah bapaknya meninggal
dunia. Jika seorang anak mengawini ibu tirinya, dia melemparkan kain kepda ibu
tirinya sebagai tanda bahwa ia menginginkannya; jika anak laki-laki itu masih kecil,
ibu tiri diharuskan menunggu sampai anak itu dewasa. Setelah dewasa, anak itu
berhak memilih untuk menjadikannya sebagai istri atau melepaskannya.
4) Badal, yaitu tukar-menukar istri tanpa bercerai terlebih dahulu dengan tujuan untuk
memuaskan hubungan seks dan terhindar dari kebosanan.
5) Shighar, yaitu seorang wali menikahkan anak atau saudara perempuannya kepada
seorang laki-laki tanpa mahar.

9. Sebutkan dua kasus bentuk perendahan terhadap wanita yang terjadi di kawasan Arab pra-
Islam!
Jawaban:
Masyarakat Arab pra Islam cenderung merendahkan martabat wanita dapat dilihat dari dua
kasus.
1) Pertama, perempuan dapat diwariskan, seperti ibu tiri harus rela dijadikan istri eleh
anak tirinya ketika suaminya meninggal; ibu tiri tidak mempunyai hak pilih, baik
untuk menerima atau menolaknya.
2) Kedua, perempuan tidak memperolah harta pusaka atau hak waris.

10. Sebutkan ciri-ciri masyarakat Islam pada fase Mekah!


Jawaban:
Ciri-ciri masyarakat Islam pada fase Mekah adalah:
 jumlahnya masih sangat sedikit;
 karena kecil, mereka masih sangat lemah dibandingkan dengan kekuatan yang
dimiliki penentang Islam (Sya'ban Muhammad Ismail, 1985: 93; dan 'Umar Sulaiman
al-'Asyqar, 1991: 41); dan
 kerena lemah, mereka dikucilkan oleh masyarakat penentang Islam, misalnya
kegiatan ekonominya diblokade.

11. Sebutkan dan jelaskan klasifikasi tasyri' pada masa Rasulullah!


Jawaban:
Fase pertama/fase makkah berlangsung selama kurang lebih 12 tahun 5 bulan dan 13 hari
terhitung mulai beliau diangkat menjadi rasul sampai beliau hijrah ke madinah. Di kota
kelahirannya inilah untuk yang pertama kalinya Rasulullah mendeklarasikan agama
monoteisme yang menyeru ketauhidan, bahwa Allah adalah Tuhan yang Esa tiada sekutu
baginya. Hampir seluruh waktu Rasul terfokus pada upaya penataan pondasi fundamental
dalam merintis berdirinya komunitas sosial masyarakat yang Islami.
pada periode ini masih difokuskan pada rekonstruksi aqidah yakni merekonstruksi konsep
ketuhanan berhala menuju keesaan Allah (tauhidillah).
Fase kedua adalah fase madinah yang berlangsung selama 10 tahun bih beberapa hari,
terhitung semenjak Rasulullah beserta pengikutnya ijrah ke Madinah (awal bulan rabiul awal
1 H) karena kuatnya tekanan, timidasi dan serangan dari masyarakat yang menolak Islam,
sampai afatnya Rasul pada tanggal 12 rabiul awal 11H/19 juni 632M. Pada fase ni kondisi
umat Islam mulai menguat baik dari segi kuantitas maupun malitasnya. Embrio pemerintahan
Islam di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW mulai terbangun secara berangsur
melalui media-media dakwah. Kondisi inilah yang menjadi faktor pendorong prosesi tasyri
dan pembentukan undang-undang untuk mengatur hubungan individu antar bangsa, suku dan
kabilah arab di wilayah madinah yang notabenenya tidak beragama Islam seluruhnya.
Undang-undang dan peraturan yang digagas meliputi aspek hukum, ekonomi, sosial, politik
dan budaya, oleh karenanya fase madinah ini lebih tepat jika dikategorikan sebagai
periode/fase rekonstruksi sosial.

12. Sebutkan ciri-ciri masyarakat Islam pada fase Madinah!


Jawaban:
Ciri-ciri masyarakat Islam fase Madinah adalah:
 Islam tidak lagi lemah karena jumlahnya banyak dan berkualitas,
 mengeliminasi permusuhan dalam rangka mengesakan Allah,
 adanya ajakan untuk mangamalkan syariat Islam dalam rangka memperbaiki hidup
bermasyarakat, dan
 membentuk aturan damai dan perang.

13. Sebutkan 3 metode yang digunakan Rasul dalam menjawab problematika yang muncul
dan menetapkan hukum!
Jawaban:
tiga metode yang digunakan Rasul; metode pertama, penentuan hukum bersumber pada
wahyu Ilahy (al-wahyu al-matlu). Tidak ada keputusan hukum yang ditetapkan oleh Rasul
tanpa pedoman wahyu, tidak pula memutuskan hukum dengan semena-mena menuruti hawa
nafsunya. Rasul baru berinsiatif untuk mengambil keputusan hukum dengan metode lain
apabila nyata-nyata tidak ada wahyu yang diturunkan kepadaNya. Sebagai contoh adalah
kasus seorang wanita Anshar yang bernama Kabasyah yang mengadu bahwa ia telah
ditelantarkan oleh suaminya tanpa memberinya nafkah. Rasul menangguhkan jawaban hingga
turun surat al-Nisa' 19. Sikap penangguhan ketetapan hukum ini menunjukkan komitmenya
terhadap wahyu dalam merealisasikan tanggung jawabnya sebagai penata hukum syariah.
Metode kedua yang digunakan dalam proses tasyri adalah ilham (al-wahyu ghairu al-matlu),
metode ini diaplikasikan jika ternyata wahyu al-matlu (al-Qur'an) tidak juga kunjung turun.
Ilham yang penulis maksud disini adalah wahyu Allah yang redaksi kalimatnya tidak
diterjemahkan dalam redaksi kalimat oleh Jibril, melainkan diterjemahkan oleh Rasul baik
berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapan yang di kemudian hari disebut dengan
Sunnah/hadits Nabawi. (Khallaf, 1987; 23)
Metode ketiga adalah ijtihad Rasul sendiri, metode ini baru dilakukan setelah merasa yakin
betul bahwa tidak ada wahyu maupun ilham yang turun, sementara kondisi atau persoalan
ummat mendesak untuk segera diselesaikan. Dengan kata lain, sistematika sumber tasyri pada
era kerasulan ini adalah wahyu baik dalam bentuk matlu (al-Kitab/al-Qur'an) maupun ghairu
matlu (al-Sunnah/hadits).

14. Sebutkan pembagian kandungan dan tujuan pokok al-Qur'an secara periodik menurut
Quraish Shihab!
Jawaban:
Quraish Shihab, membagi kandungan dan tujuan pokok al-Qur'an secara periodik;
Periode pertama, yakni periode yang berlangsung selama kurang lebih lima tahun, pokok
ajaran dan kandungan ayat-ayat al-Qur'an berkisar pada pendidikan kepribadian Nabi seperti
firman Allah dalam al-Mudatstsir 1-7, al-Muzammil 1-4, al-Syu'ara 214-216; pengetahuan
dasar mengenai sifat-sifat Allah sebagaimana surat al-'Ala 7 dan al-Ikhlas 1-4; dasar-dasar
akhlaq dan etika dalam Islam sebagaimana yang tertuang dalam surat al-Takatsur dan al-
Ma'un.
Periode kedua berlangsung selama kurang lebih 9 tahun, dengan esensi kandungan al-Qur'an
yang berkisar pada beberapa hal berikut; kewajiban agama yang bersifat prinsipil
sebagaimana firman Allah dalam surat al-Nahl 125; kecaman yang ditujuakan pada orang-
orang kafir sebagaimana dalam al-Fushilat 19; argumentasi yang rasional dan logis mengenai
keesaan Allah sebagaiman Q.S Yasin 78-82
Periode ketiga yang berlangsung selama kurang lebih 10-12 tahun berisikan tuntunan dan
cara beradaptasi dengan kultur dan kebudayaan yang beragam, misalnya tentang bagaimana
seharusnya sikap orang- orang mukmin menghadapi orang-orang munafik yang dijelaskan
dalam surat al-Taubah 13-14; perintah untuk berdialog sebagaimana dalam surat Ali Imran
64.

15. Sebutkan dan jelaskan prinsip-prinsip dasar sistem tasyri!


Jawaban:
Dalam merealisasikan universalitas undang-undang, syariat Islam memiliki
prinsip-prinsip/dasar sistem tasyri sebagai berikut:
a. Adam al-Haraj (tidak mempersulit), dalam menetapkan syariah Islam, al-qur'an
senantiasa memperhitungkan kemampuan manusia dalam melaksanakannya, hal ini bisa
dilihat pada peluang dan kelonggaran (tasamuh wa rukhshah) kepada manusia, agar bisa
menerima ketetapan hukum dengan kesanggupan yang dimilikinya. Prinsip ini secara
tegas telah dujelaskan dalam al-qur'an surat al- baqarah 286. Al-Syatibi dalam al-
Muwafaqat menyatakan bahwa kesanggupan manusia merupakan syarat mutlak dalam
menerima ketetapan hukum.
b. Tadriji/berangsur-angsur/bertahap dalam menetapkan hukum, baik dari segi waktu
maupun materi hukumnya. Dari segi waktu, terlihat bahwa hukum-hukum Allah dan
RasulNya tidaklah ditetapkan dalam satu waktu sekaligus, tapi berangsur selama 22 tahun
lebih. Dan masing-masing hukum memiliki sejarah dan sebab khusus yang
melatarbelakangi penetapannya. Sedangkan dari sisi materi hukum, taklif yang ditetapkan
juga diberikan secara bertahap, pada awalnya umat Islam belum diwajibkan mendirikan
shalat 5 kali sehari dengan jumlah rakaat yang ditentukan, melainkan hanya diwajibkan
mendirikan shalat wajib di waktu pagi dan sore. Saat itu mereka belum diwajibkan
mengeluarkan zakat, puasa, minum khomr, berjudi dan berbagai macam akad seperti
pernikahan, riba dan transaksi-transaksi muamalah.
c. Taqlil al-taklif (memudahkan dan meringankan beban), prinsip ini jelas terlihat dalam
syariat Islam yang bertujuan mewujudkan. kemaslahatan umat, sedangkan hikmah
disyariatkannya suatu ketetapan hukum selalu berorientasi pada kelonggaran dan
kemudahan, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 185 (Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesempitan bagimu) dan al-
Nisa ayat 28 (Allah) menghendaki keringanan kepadamu, sebab manusia diciptakan
bersifat lemah). Hal ini bisa dilihat salah satunya dalam proses penetapan dan perubahan
waktu iddah bagi istri yang ditinggal mati suaminya yakni satu tahun menjadi empat
bulan sepuluh hari. Adanya perubahan, penggantian bahkan penghapusan hukum menjadi
bukti bahwa syariat Islam selalu berorientasi pada kemudahan dan kemaslahan umat
manusia.
d. Sejalan dengan kemaslahatan universal. Manusia sebagai subjek legislasi hukum al-
Qur'an, maka seluruh hukum dalam al-Qur'an selalu diperuntukkan bagi kepentingan dan
perbaikan umat baik dari sisi agama, jiwa, akal, kehormatan, keturunan, harta dan
lingkungannya. Sehingga dalam setiap openerapan hukumnya, alquran senantiasa
memperhitungkan ketujuh aspek diatas, dengan kata lain, dimana ada kemaslahan
manusia, disitulah ada hukum.
e. Musawa dan adalah. Persamaan dan keadilan adalah prasyarat mutlak dalam hukum, baik
dalam persoalan muamalah maupun ibadah. Persamaan hak ini secara otomatis
berimplikasi keadilan, persamaan dan keadilan adalah dua hal yang tidak terpisahkan
dalam penetapan hukum demi terpeliharanya martabat manusia (basyariyah insaniyah).

16. Jelaskan perbedaan ijtihad jama'i dengan ijtihad fardli!


Jawaban:
Ijtihad jama'i adalah ijtihad yang dilakukan para sahabat nabi ketika mereka masih berada di
madinah sedangkan ijtihad fardi dilakukan ketika mereka sudah menyebar ke daerah-daerah
Islam lainnya.

17. Apa yang dimaksud dengan ijma' shahabi?


Jawaban:
Berkumpulnya para sahabat dan bermusyawarah untuk menetapkan hukum dari persoalan
baru yang tidak terkandung ketetapan hukumnya di dalam al-Quran dan sunah. Bila terjadi
kesepakatan barulah diputuskan ketetapan hukumnya, proses inilah yang disebut dengan ijma'
shahabi.

18. Sebutkan langka-langkah yang dilakukan Abu Bakar dalam melakukan istinbath hukum!
Jawaban:
Adapun langkah-langkah yang dilakukan Abu Bakar dalam istibath al-ahkam adalah sebagai
berikut:
a. Mencari ketentuan hukum dalam al-Qur'an. Apabila ada, ia putuskan berdasarkan
ketetapan yang ada dalam al-Qur'an.
b. Apabila tidak menemukannya dalam al-Qur'an, ia mencari ketentuan hukum dalam
Sunnah; apabila ada, ia putuskan berdasarkan ketetapan yang ada dalam Sunnah.
c. Apabila tidak menemukannya dalam Sunnah, ia bertanya kepada kepada sahabat lain
apakah Rasul Allah Saw telah memutuskan persoalan yang sama pada zamannya, jika ada
yang tahu, ia menyelesaikan persoalan tersebut berdasarkan keterangan dari yang
menjawab setelah memenuhi beberapa syarat.
d. Jika tidak ada sahabat yang memberikan keterangan, ia mengumpulakan para pembesar
sahabat dan bermusyawarah untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Jika ada
kesempakatan di antara mereka, ia menjadikan kesepakatan itu sebagai keputusan.

19. Jelaskan faktor yang turut andil dalam menghantarkan proses tasyri menuju puncak
keemasannya!
Jawaban:
faktor yang turut andil dalam menghantarkan proses tasyri menuju puncak keemasannya,
yaitu:
a. Perhatian Khalifah kepada para fuqaha
Berbeda dengan khulafa Bani Umayyah yang "memasung" kebebasan fuqaha dalam
berijtihad terutama yang bersentuhan dengan kebijakan khulafa, khulafa Bani Abbas
justru mendekati dan memberikan posisi terhormat kepada fuqaha, yang pada dekade
selanjutnya para fuqaha menghantarkan prosesi tasyri menuju puncak kejayaannya.
b. Berkembangnya kajian-kajian ilmiah.
Tepatnya pada masa khalifah al-mansur, mulai berkembang kajian-kajian filsafat,
kedokteran, kimia, dan budaya. Perkembangan ini diiringi dengan pesatnya gerakan
penerjemahan buku-buku Yunani dan Romawi.
c. Berkembangnya kebebasan berpendapat.
Perhatian yang besar khalifah Bani Abbas terhadap ulama dan disiplin keahlian masing-
masing tercermin dalam stimulasi yang diberikan untuk membangkitkan keberanian
berijtihad. Pemerintah daulah Abbasiyah misalnya, tidak ikut campur dengan meletakkan
peraturan yang mengikat kebebasan berfikir dan berpendapat dan tidak pula membatasi
madzhab tertentu yang mengikat para hakim atau mufti. Mereka bebas menentukan,
menetapkan dan memutuskan hukum sesuuai dengan sumber, metode dan kaidah yang
mereka yakini memiliki tingkat kevalidan tinggi.
d. Gerakan kodifikasi ilmu.
Kodifikasi selain menjadi faktor terpenting dari perkembangan keilmuan periode ini, juga
menjadi promotor vital bagi keberlangsungan dialog menuju kritik yang lebih kontruktif
dan terarah. Kodifikasi tidak terbatas pada persoalan hukum tapi juga merambah pada
persoalan teologi bahkan politik. Penulisan hadist dan tafsir juga semakin semarak, hadist
shahih bukhari muslim, sunan-sunan, musnad- musnad terkodifikasi dengan sistematik
pada periode ini.

20. Kenapa lahir dan melembaganya madzhab-madzhab tidak terjadi pada zaman sahabat?
Jawaban:
Minimal ada dua hasil analisa dalam menjawab pertanyaan ini; pertama, belum adanya
gerakan kodifikasi ilmu khususnya fiqih, karena ketiadaan kodifikasi maka pendapat para
sahabat tidak bisa dipelajari secara komperhensif pewarisan fiqih sebatas pada periwayatan.
Kedua, tidak adanya pengikut/murid yang secara khusus menyebarkan pendapat- pendapat
para sahabat dan tabi'in yang notabenenya mereka adalah pewaris terdekat 'asr al-tasyri'
(turunnya wahyu) sehingga mereka mengkonsentrasikan diri untuk menjawab berbagai
persoalan hukum yang timbul saat itu.
21. Jelaskan sebab pintu ijtihad ditutup pada akhir masa pemerintahan abbasiyah?
Jawaban:
Adapun di antara sebab ijtihad dinyatakan tertutup adalah sebagai berikut.
Pertama, munculnya hubb al-dunya di kalangan ulama. Imam al-Ghazali (w. 505 H.) dalam
kitab ihya 'Ulum al-Din, membagi ulama menjadi dua: ulama dunia dan ulama akhirat. Ulama
dunia dalam pandangan al-Ghazali- adalah ulama yang ilmunya digunakan hanya untuk
mengejar kepentingan duniawi; dan ia lalai dalam ibadah serta kehilangan sifat zuhud.
Kedua, adanya perpecahan politik. Sebagaimana diketahui, pada akhir kekuasaan Abasiah
(Abasiah fase III) khalifah dijadikan boneka; daerah-daerah yang dikuasainya masing-masing
berdiri sendiri dan saling bermusuhan. Pada tahun 324 H. pusat pemerintahan islam terbagi
menjadi beberapa kerajaan: Basharah dikuasai oleh Dinasti Ra'iq, Fez dikuasai oleh Dinasti
Ali ibn Buwaihi, Ray dikuasai oleh Abi Ali al-Husain ibn al-Buwaihi, Diyar Bakr dikuasai
oleh Bani Hamdan, Mesir dan Syam dikuasai oleh Dinasti Fatimah, dan Bahrain dikuasai
oleh Dinasti Qaramithah. Sedangkan khalifah hanya berkuasa di Bagdad. (Musthafa Sa'id al-
khinn, 1984; 116).
Ketiga, adanya perpecahan aliran fikih, sebagaimana diketahui, sebagian umat Islam ada
yang beranggapan bahwa pendapat ulama sepadan dengan Al-Qur'an dan sunnah sehingga
tidak boleh diubah atau diganti dengan pendapat lain. Anggapan ini tentu melahirkan sikap
disharmonisasi dikalangan umat Islam, mengingat banyaknya aliran dan madzhab yang
memiliki rujukan (ulama) masing-masing dalam arti pengikut mazhab Hanafi menganggap
bahwa hanya pendapat Abu Hanifah yang benar, pengikut mazhab Malik berpendapat bahwa
hanya pendapat Imam Malik yang benar: pengikut mazhab Syafi'i dan Ahmad ibn Hanbal
demikian juga.
Dalam waktu yang bersamaan kegiatan-kegiatan dalam bidang fiqih ditangani oleh orang-
orang yang semata-mata hanya mengincar jabatan hakim (qadli) tanpa keahlian ilmiah yang
memadai. Mereka mencukupkan diri dengan menghafal hukum-hukum madzhab yang
menjadi pedoman pengadilan, tanpa harus berfikir dan berijtihad apalagi melakukan
pembaharuan di bidang hukum. Mereka cukup menerapkan sepenuhnya hukum-hukum yang
dihasilkan para imamnya tanpa diperparah dengan keberanian mereka dalam berfatwa
meskipun mereka tidak memahami persoalan dan dalil-dalil hukumnya.

22. Jelaskan kodifiksi-kodifikasi yang terjadi pada masa abbasiyah!


Jawaban:
Kodifikasi Hadist
Minimal ada tiga tahapan kodifikasi hadist;
Tahap pertama, awal abad ke2 H ketika khalifah Umar bin Abdul aziz memerintahkan
perintisan penulisan hadist kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm. Meskipun khalifah
telah wafat sebelum gagasannya terwujud, tetapi intruksinya tetap ditindaklanjuti oleh para
pemerhati hadist lainnya.
Penulisan hadist pada periode ini telah dilakukan secara sistematis -perbab; bab shalat, bab
jual beli, haji dan lain-lain- sehingga memudahkan pembaca dalam merujuk hadis dimaksud.
Hanya sa penulisan hadist pada periode ini masih bercampur dengan fat sahabat, seperti karya
monumental Imam Malik al-Muwattha".
Tahap kedua, dimulai pada akhir abad kedua H, metode penulisan hadist pada tahap ini
berdasarkan sanad, dimana hadist ditulis berdasar sanad tertentu atau berdasarkan nama
sahabat yang meriwayatkan hadist. Contoh; kompilasi hadist yang diriwayatkan Abu
Hurairah, kompilasi hadist yang diriwayatkan Abu Bakar, kompilasi hadist yang
diriwayatkan Aisyah, dan lain-lain. Contoh hasil penulisan hadist pada periode ini adalah
Musnad Ahmad bin Hambal.
Tahap ketiga dimulai sekitar abad ketiga hijriyah hingga akhir abad keempat, dimana metode
penulisan hadist pada periode ini sama dengan dua tahap sebelumnya, hanya saja pada fase
hadist telah terpisah dari fatwa sahabat. Pada tahap ketiga inilah kodifikasi hadist dikatakan
benar-benar terwujud atau mendekati kesempurnaan, karena dalam penulisannya telah
dipisahkan antara yang shahih dan dha'if. Karya agung hadist yang lahir pada periode ini
adalah Kutub al-Sittah.
Ketika kodifikasi hadist hampir dikatakan usai, para ulama hadist mulai merancang
kualifikasi-kualifikasi khusus dalam periwayatan dan penerimaan hadist yang pada dekade
selanjutnya terumuskan dalam buku al-Jarh wa Ta'dil. Dalam buku ini dijelaskan kualifikasi
seseorang yang diterima periwayatannya, lalu ditetapkan tingkat kesahihan sanadnya.

Kodifikasi Tafsir
kodifikasi tafsir hampir sama dengan kodifikasi hadist, Pada zaman sahabat pedriwayatan
tafsir sudah marak dilakukan baik oleh sahabat maupun Nabi sendiri. Pada zaman tabi'in
penghajatan dan kebutuhan akan tafsir semakin menggeliat, terutama ketika berhadapan
dengan ayat-ayat al-Qur'an yang kandungan hukumnya masih tersirat secara implisit.
Pada akhir periode tabi'in beberapa ulama mulai mengumpulkan tafsir-tafsir Nabi dan sahabat
dan memisahkannya dari hadist dan mengkodifikasikannya secara tersendiri yang pada
akhirnya menjadi embrio disiplin ilmu tafsir. Diantara ulama perintis penulisan tafsir pada
periode ini adalah Sufyan bin Uyainah, Waki' bin Jarah, dan Ishaq bin Rawaih.
Pada periode inilah kodifikasi tafsir dilakukan secara sistematis menurut kronologi surat dan
ayat. Diantara kitab tafsir yang lahir pada periode ini adalah tafsir Ibnu Juraih, tafsir
Muhammad bin Ishaq, tafsir Ibnu Jarir al-Tabhari. Perkembangan lebih lanjut dari kodifikasi
tafsir pada periode terakhir mengarah pada penulisan dan pengkajian tafsir secara tematik;
salah satu contohnya adalah tafsir ayat ahkam.

Kodifikasi Fiqih
Fiqih yang notabenenya menjadi pengejawentahan syariah, sebenarnya telah tumbuh pada
masa akhir pemerintahan Bany Umayyah, ketika para ulama mulai gencar menuliskan fatwa-
fatwa syaih mereka khawatir akan hilang atau terlupakan. Sejak saat itu insiatif penulisan
hukum-hukum syar'i terus berkembang.
Pada era Bany abbasiyahlah muncul era baru dalam kodifikasio fiqih, dimana para fuqaha
mulai menulis sendiri pendapat dan fatwa- fatwanya kemudian mengajarkannya pada murid-
muridnya.

Kodifikasi Ushul fiqih


kaidah-kaidah ushul fiqih telah lahir bersamaan dengan munculnya embrio berijtihad, karena
ushul fiqih merupakan kaidah dasar dalam ijtihad. Terjadi perdebatan di kalangan
sejarahwan, siapa sebenarnya yang pertama kali menggagas ushul fiqih, kendati mereka
sepakat bahwa penulis yang merumuskan ushul fiqih secara sistematis adalah al-Syafi'i dalam
karya agung al- Riisalah. Ada pendapat yang mengatakan bahwa Abu Yusuf dan Muhammad
bin Hasan (murid hanafi) telah merumuskan terlebih dahulu ushul fiqih yang menjadi kaidah
dan dasar ijtihad madzhab hanafi, namun hasil karyanya tidak kita temukan sampai saat ini.

23. Sebutkan dua metode penulisan tafsir pada masa keemasan!


Jawaban:
Minimal ada dua metode penulisan tafsir pada periode ini; pertama, metode tafsir bil ma'stur,
metode penafsiran ayat berdasarkan ayat lain (musasabah), hadist, dan astar sahabat. Diantara
mufassir yang mengembangkan metode ini adalah al-Suyuthi, al-Syaukani, al- Thabari.
Metode kedua yang dikenal dengan istilah tafsir bi al-ra'yi atau tafsir ijtihadi, atlalah metode
penafsiran berdasarkan pemikiran atau ijtihad ulama. Namun pada saat ini hampir tidak kita
temukan kitab tafsir yang hanya menggunakan salah satu metode ansich, yang ada adalah
kombinasi keduanya.

24. Jelaskan metode penulisan fiqih pada periode keemasan!


Jawaban:
Minimal ada tiga metode penulisan fiqih pada periode ini:
Pertama, metode penulisan fiqih yang bercampur dengan hadist dan fatwa sahabat dan
tabi;in. Al-Muwatha karya agung Imam Malik bisa diclaim juga sebagai kitab fiqih yang
ditulis menggunakan metode ini. Karya agung ini memuat masalah-masalah fiqih yang
diambil dari hadist, qaul sahabat dan ijtihad tabi'in serta tradisi orang-orang Madinah. Karya
Sufyan al-Stauri, Jami' al Kabir dan karya Imam Syafi'i, Ikhtilaf al-Hadist bisa dikategorikan
sebagai karya yang menggunakan metode ini.
Metode kedua, metode penulisan fiqih yang terpisah dari hadist dan fatwa sahabat. Pelopor
penggunaan metode ini adalah fuqaha Hanafiyah. Karya Abu Yusuf, al-Kharraj, yang
berisikan tentang administrasi, keuangan dan kedaulatan negara Islam adalah contoh karya
besar yang mengadopsi metode ini. Contoh lain adalah karya Muhammad bin Hasan, Dhahir
Riwayat al-Sittah; al-Ashl, al-jami al-Kabir, al-Jami' al-Shashir, al-Ziyadah, al-Shagir al-
Kabir dan al- Sair al-Shaghir yang memuat pendapat-pendapat mu'tabar Imam abu hanifah.
Kitab inilah yang kemudian disusun kembali oleh Hakim Syahid dalam karyanya al-Kafi,
yang kemudian disyarah oleh al- Syarakhsi melalui mega karyanya al-Mabsuth. Al-
Mudawanah yang merupakan karya terbesar dalam madzhab Syafi'i juga menggunakan
metode ini.
Metode ketiga adalah metode komparatif, yang mengetengahkan berbagai pendapat berikut
sumber, metode dan argumentasinya, kemudian mendiskusikannya guna mendapatkan
pendapat tervalid dengan dalil terkuat. Untuk melacak dan menulusuri metode ini, bisa kita
rujuk magnum opus al-Syafi'i yakni al-Umm.

25. Sebutkan bukti perkembangan baru pasca kebangkitan kembali pada abad 13!
Jawaban:
bukti perkembangan baru pasca kebangkitan kembali diantaranya adalah; pertama,
munculnya kecenderungan baru dalam mengkaji fiqih tanpa terikat pada satu madzhab
tertentu; lunturnya sikap fanatisme dan pledoi terhadap madzhab yang dianut; Ketiga,
berkembangpesatnya kajian-kajian kompartatif (mugaranah madzhab fil fighi wa fi ushulil
fighi).

26. Bagaimana bentuk upaya Rekonstruksi Pada Periode Kebangkitan Kembali?


Jawaban:
Salah satu gerakan yang muncul pada periode kebangkitan ini adalah upaya rekonstruksi
yang pada mulanya lebih bergerak dalam rangka menggugat era keterpakuan tekstual dengan
jargon "tertutupnya pintu ijtihad" yang telah menfakumkan pola pikir umat Islam dalam
kurun waktu yang cukup lama. Sasaran upaya rekonstruksi ini adalah purifikasi, yakni ajakan
untuk merujuk kembali pada otositas al-Qur'an dan Sunnah, sekaligus meretas otoritas yang
berlebihan terhadap ulama abad kedua Hijriyah.
Muhammad Abdul Wahab dan Waliyullah al-Dahlawi, misalnya mencoba untuk menghapus
jejak otoritas ulama abad kedua Hijriyah dengan menyerukan keharusan kembali pada al-
Qur'an dan Sunnah secara radikal. Abdul Wahab mengobarkan Slogan madzhab al-
muwahidun (madzhab orang-orang pemersatu), yang diakui atau tidak telah memiliki
pengaruh yang luas terutama di jazirah arab. Sedangkan al-dahlawi yang berlatarbelakang
filsafat menunjukkan kepeduliannya terhadap pentingnya gerakan ijtihad dan kebangkitan
kembali umat Islam melalui karya monumentalnya Hujjatul Balighah.
Sedangkan Jamaluddin al-Afghani dan Syeikh Ismail al-Taimi. memfokuskan gerakan
rekonstruksi pada upaya reinterpretasi (penafsiran kembali) dan adaptasi (penyesuaian)
terhadap kondisi sosio kultur masyarakat Islam. Pemikiran kedua tokoh ini pada dekade
selanjutnya menjadi rujukan tokoh-tokoh reformis seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha,
Salim Muhajib, Qubadu dan Abdul Hamid Bin Badis.

27. Kenapa prosesi tasyri tasyri pada periode tabiin yaitu bermula ketika kekhilafahan umat
islam diambil alih oleh Muawiyah bin Abi Sufyan (tahun 41 H) sampai awal abad kedua
Hijriyah sempat terhenti dan tenggelam?
Jawaban:
Karena menurut para pengamat syariah, periode ini lebih didominasi oleh pergolakan-
pergolakan politik yang terjadi selama kekhilafahan ustman dan Ali, dan memuncak pada
masa pemerintahan daulah ummayyah di bawah kepemimpinan Mua'wiyah ibn Abi Sufyan
yang melahirkan agitasi teologis cukup tajam. Sehingga banyak pengamat yang
menyimpulkan bahwa prosesi tasyri tasyri pada periode ini sempat terhenti dan tenggelam di
bawah perpecahan agama dan negara.

28. Sebutkan kontribusi keempat khalifah (abu Bakar, Umar, Utsman, Ali) dalam
mengemban amanat kekhalifahan dan peradaban Islam!
Jawaban:
kontribusi keempat khalifah dalam mengemban amanat kekhalifahan dan mengembangkan
peradaban Islam, dapat diklasifikasikan pada fokus keagamaan dan fokus pemerintahan. Pada
fokus pertama dapat diukur dengan terkodifikasikannya al-Qur'an yang sebelumnya masih
tertulis dalam mushaf, penanggalan hijriyah, perluasan Masjidil Haram dan masjid Nabawi.
Sedangkan pada fokus kedua ditandai dengan gagasan penarikan pajak untuk kemaslahatan
kaum dhu'afa', pendelegasian para sahabat sebagai qadli (hakim) ke beberapa wilayah Islam,
dibentuknya departemen-departemen dan digagasnya sistem administrasi pemerintahan.

29. Jelaskan tiga pola kecenderungan ulama pada fase kebangkitan!


Jawaban:
Tiga pola kecenderungan ulama pada fase kebangkitan ini:
Kelompok pertama, modernisme, pola pemikiran ini dipelopori oleh sejumlah pemikir dan
sarjana muslim yang sebagian besar terdidik dalam pola pendidikan sekular. Mereka
menuding bahwa produk fiqih klasik tidak lagi mampu merespon berbagai perkembangan
baru yang muncul dari multidimensionalitas. kepentingan manusia oleh karenanya mereka
menggagas dan membangun fiqih baru yang kontektual.
Kelompok kedua, survivalisme yang bercita-cita membangun pemikiran fiqih dengan berpijak
pada madzhab-madzhab fiqih yang sudah ada. Produk tsarwah fiqhiyyah harus terus
dikembangkan dengan mempertimbangkan perbagai persoalan sosial yang terus berkembang.
Kelompok ketiga, tradisionalisme atau salafiyah yang menekankan keharusan kembali pada
al-Qur'an, sunnah dan tradisi ulama salaf (sahabat dantabi'in). Mereka mengecam taqlid dan
penerimaan begitu saja atas otoritas ulama abad pertengahan.

30. Apa faktor yang menyebabkan tidak terbumikannya syariah Islam secara maksimal di
abad modern ini dan bagaimana membumikan syariah?
Jawaban:
Menurut analisa Dr, Farouq Abu Zaid (penulis kitab al-Syari'ah al-Islamiyah: bayna al-
muhafidzin wal mujaddidin), ada beberapa faktor yang menyebabkan tidak terbumikannya
syariah Islam secara maksimal di abad modern ini diantaranya adalah; tergelincirnya
masyarakat Islam pada arus modernisasi tanpa kendali, kebingungan umat Islam terhadap
ketetapan hukum dari suatu masalah yang dalilnya masih diperdebatkan, belum terhimpun
dan terkodifikasinya produk-produk hukum secara sistematis, arus spesialisasi abad modern
yang bertentangan dengan konsep generalisasi faqih dan keterpakuan umat Islam pada empat
madzhab besar yang telah melembaga pada periode kelV hijriyah.
Dari analisa diatas, muncul sebuah gagasan bagaimana seharusnya membumikan dan
mengkontektualisasikan syariah Islam; pertama, memfungsikan kembali ijtihad sehingga
semangat dan ruh syariat kembali berfungsi dalam mengatasi berbagai persoallan termasuk
diantaranya adalah efek modernisasi dan globalisasi. Kedua, menyatukan pendapat madzhab
melalui satu titik temu kemaslahatan dan maqashid syariah. Ketiga mensistematisasikan
kodifikasi hukum dan jika memungkinkan sekaligus mentaqninnya, sehingga seluruh umat
Islam akan terikat di dalamnya.

Anda mungkin juga menyukai