Anda di halaman 1dari 17

RESUME FIQH MUNAKAHAT PERBANDINGAN (dari tekstualitas

sampai legislasi)
Diajukan sebagai Salah satu Syarat Untuk Mata Kuliah Hukum perkawinan di
indonesia Jurusan Perbandingan Madzhab dan Hukum Fakultas Syaria’ah dan
Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Dosen pengampu : Dedi Supriyadi , M.Ag.

Oleh :
Resti Gantini 1153040070
PMH/VI/B

BANDUNG
1438 H/2018 M
RESUME BUKU

FIQH MUNAKAHAT PERBANDINGAN

1. Identitas Buku

Judul Buku : Fiqh Munakahat Perbandingan

Nama Pengarang : Dedi Supriyadi, M. Ag.

Nama Penerbit : CV. Pustaka Setia

Tempat Terbit : Jl. BKR (Lingkar Selatan) No. 162-164, Bandung Tahun
Terbit: 2011

Tebal Buku : 264 Halaman. ; 16 × 24

2. Tujuan Pengarang Buku

Pembahasan Fiqh Munakahat Islam yang disajikan secara komparatif


masih langka dan kerapkali dipandang “membingungkan” orang. Kenyataan
ini, tampaknya akan sirna ketika membaca karya ini. Meskipun dalam setiap
usaha membangun sebuah kontruksi dan rekontruksi pemahaman, manusia
tidak akan pernah selamat dari reduksi, mudah- mudahan kali ini, penulis
mampu memanimalisasi kesalahan tersebut

3. Pokok- Pokok / Ringkasan Buku

Buku Fiqh Munakahat Perbandingan ini, pembahasannya terdiri dari 9 Bab.


Bab I

PROFIL EMPAT MAZHAB BESAR DALAM HUKUM ISLAM

dalam bab ini menjelaskan tentang para Imam Madzhab yaitu Imam Abu
Hanifah, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Ahmad Ibn Hanbal, dijelaskan juga
tipologi dan metode ijtihad yang digunakan oleh keempat Imam Madzhab
tersebut. Seperti:

A. Mazhab Hanifah : Tipologi dan Metode Ijtihad

Secara politik ,abu Hanifah adalah seorang manusia yang hidup dalam
dua generasi, selama hidupnya Abu Hnifah melakukan ibadah haji sebanyak 55
kal Salah satu metode ijtihad, yaitu istimbath yang terkenal dari Abu Hanifah
dalah penggunaan akal sehat, bahkan dalam beberapa hal ia seperti
mementingkan pertimbangan akal daripada hadis. Urutan metode pemikiran Abu
Hanifah terliahat dari pernyataan nya

Metode ijtihad ny dalah sebagaimana yang di tulis oleh abu Bakr Muhammad
Aly Thayib Al- Bagdadi dalam kitab nya bahwa pemeikaran fiqh abu hanifah
sebagai berikut : “ Aku (Abu Hanifah) mengambil kitab allah. Apabila tidak di
temukan di dalam nya , aku ambil dari sunnah Rosul. Jika tidak di temukan
dalam kitab As-sunahnya aku ambil pendapat-pendapat sahabat. Aku ambil
perkataan yang aku hendaki dan aku tinggalkan pendapat yang yang tidak aku
kehendaki. Dan aku tidak keluar dari pendapat mereka kepada pendapat orang
lain, selain mereka. Danpenderian Abu Hnaifah adalah sebgaimana ia
mengambil dari oerang kepercayaan, dan lari dari keburukan, dan memerhatikan
muamalah manusia dan apa yang telah mendatangkan maslahat bagi urusan
mereka.Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dasar dasar pegangan
mazhab Hanafi adalah:

1. Kitab Allah ( Al’Quran )


2. As-Sunah dan atsar-atsar yang sahih serta telah masyhurdi antara para
ulamayng ahli1

Bab II
PERWALIAN DALAM PANDANGAN EMPAT MAZHAB DAN
KOMPILASI HUKUM ISLAM

dalam bab ini dijelaskan perwalian menurut keempat Imam Mazhab lalu
persamaan dan perbedaan empat mazhab fiqh, menurut Malikiyah, syafi’i dan
Hanabilah sepakat keharusan adanya wali atau pengganti dalam setiap
pernikahan, baik untuk gadis maupun janda, baik dewasa maupun belum dewasa.
Berbeda dengan ketiga mazhab tersebut, Hanabilah berpandangan bahwa
keharusan adanya wali hanya untuk gadis yang belum dewasa (shagirah) dan
yang dewasa tetapi gila (kabirah mazjunah)1 dan dijelaskan juga dalamm bab ini
perwalian dalam Kompilasi Hukum Islam. Dan adapun selain perwalian dari
empat mazhab yaitu perwalian dalam kompilasi hukun islam.2
Berdasarkan para ulama mazhab sepakat bahwa wali dan orang-orang
yang menerima wasiat untuk menjadi wali di persyaratkan menjadi baligh,
menegerti dan segama, bahkan banyak di anatara mereka bahwa wali itu harus
adil, sekalipun ayah dan kakek.3
1. Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur21
tahun dan tau belum pernah melangsungkan perkawinan.
2. Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta
kekayaannya.
3. Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas
perwaliannya, maka pengadilan agama dapat menunjuk salah
seorang kerabat untuk bertindak sebagai wali atas permohonan
kerabat tersebut.

1
Dedi Supriyadi, Fiqh Munakahat Perbandingan, (Cv Pustaka Setia, Bandung, 2011), hlm. 31
2
Dedi Supriyadi, Fiqh Munakahat Perbandingan, (Cv Pustaka Setia, Bandung, 2011), hlm. 50-51
3
Prof.Dr. Abdul Rahman Ghozali.M ag. Fiqh Munakahat ( karisma putra bumi 2003),hlm.165
4. Wali sedapat-dapat nya di ambil dari keluarga anak terebut atau
orang lainyang sudah dewasaberpikiran sehat, adil, jujur, dan
berkelakuan baik, atau badan hukum
Dan adapun macam macam perwalian yang lain nya yaitu sebagai berikut:
Perwalian ditinjau dari segi pangangkatannya ada tiga macam:
a. Perwalian oleh suami/istri yang paling lama
b. Pwerwalian ynag di tunjuk oleh bapa atau ibu dengan surat wasiat atau
akta tersendiri;
c. Perwalian yang di angkat oleh hakim. Dalam hal perwalian oleh
suami/istri yang hidup paling lama dalam pasal 345 BW yang
mengatakan bahwa orang tua terlama hidup dengan tersendirinya menjadi
wali.4
Bab III
KRITERIA BALIGH MENURUT FUQAHA DAN PENERAPANNYA
DALAM PERUNDANG-UNDANGAN DI INDOSNESIA DAN DUNIA
ISLAM

Dalam bab ini dijelaskan tentang problematika usia dini dalam penikahan
islam, kriteria usia baligh menurut fuqaha, batasan usia baligh dalam perundang-
undangan di Indonesia, deskripsi hukum keluarga di Dunia Islam, gambaran
umum usia perkawinan dalam perundang-undangan di dunia Islam, negara yang
diambil dalam buku ini yang membahas tentang usia perkawinan yaitu Turki dan
Cyprus, Lebanon dan Israel, Mesir dan Sudan, Yordania dan Syiria, Iran dan Irak
juga Indonesia.

A. Kriteria Usia Baligh menurut fuqaha


Secara tersurat, dalam al’quran tidak akan di temukan ayat yang berkaitan
dengan batas usia yang perkawinan, tetapi jik dibteliti lebih lanjut, ada dua ayat
dalam Al’quran yaitu surat an’nur ayat 32 dan surat ananisa ayat 6 yang
memiliki korelasi dengan usia baligh terutama pada kata kata shalihin dan

4
Beni Ahmad Sabani, Fiqh Munakahat 2 (Bandung Pustaka Setia 2001) hlm. 193
rusydan. Makna kata dasar rusydan adalah ketepatan dan kelurusan jalan. Dan
al-maghari menafsirkan dewasa rushdan yaitu apabila seseorang memehami
dengan baik cara menggunakan harta sdangkan balighul alnikah adalah jika
umur telah siap menikah , bahwa orang yang belum dewasa tidak boleh di bebani
olehpersoalan-persoalantertentu5
Bab IV
KETENTUAN KAFA’AH DI TURKI, UU NO.1 TAHUN 1974 DAN
PANDANGAN FUQAHA

Bab ini menjelaskan tentangketentuan kafaah di Turki, Undang-


undanperkawinan di Indonesia dan juga kafaah dalam pandangan fuqaha.
A. Ketentuan Kafaah di Turki
Menggali ketentuan kafaah yang berlaku di Negara Turki secara spesifik
Zdapat ditemukan dalam Undang-Undang hukum keluarga diZTurki, yakni
Ottaman law of Family Rights.
Secara formal, Ottaman Law Of Family Rights dibentuk dan disahkan pada
tahun 1917 di Turki. Sebuah perUndang-Undangan tentang hukum keluarga
yang resmi dan pertama di dunia Islam. Dalam Pasal 45, kafaah didefinisikan
sebagai persyaratan dalam melaksanakan perkawinan yaitu bahwa laki-laki
seharusnya “sama” dalam (sekufu) dengan wanita, baik dalam harta, jabatan
maupun berbagai aspek lainnya.
Menurut Undang-Undang Perkawinan Indonesia, secara khusus Kafaah
dapat ditemukan dalam UU No. 1 Tahun 1974. Hal itu dapat dilihat dari
penjelasan umum atas Undang-Undang Republik Indonesia No 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan.
Secara tekhnis, sistematika adanya Kafaah dalam UU No 1 Tahun 1974, dimulai
dari adanya syarat-syarat perkawinan. Hal ini tertuang dalam Bab II SYARAT-
SYARAT PERKAWINAN.

5
Dedi Supriyadi, Fiqh Munakahat Perbandingat, (Cv Pustaka Setia, Bandung, 2011), hlm. 59
B. Kafaah dalam Pandangan Fuqaha
Menurut bahasa kafah atau Kufu artinya setara, seimbang atau keserasian atau
kesesuaian, serupa, sederajat atau sebanding. Secara istilah Kafaah yaitu
keseimbangan atau keserasian antara calon istri dan suami sehingga masing-
masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan perkawinan atau sama-
sama dalam kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial, dan sederajat dalam
akhlak serta kekayaan.
Dari ketiga ketentuan tentang Kafaah dapat disimpulkan adanya korelasi
konsepsi antara Ottaman Law Of Family Rights, UU No. 1 Tahun 1974 dengan
pendapat para fuqaha.6
C. Kafa’ah dalam perkawinan
Seperti yang sudah di jelaskan kafa’ah adalah sederajat,setingkat, di sebut
pula dengan istilah kufu yang di maksud dengan sepadan adalah keadaan dua
pasangan suami-istri yang memiliki kesamaandalam beberapa hal yaitu:
1. Keduanya beragama islam
2. Memiliki rupa yang tampan dan cantik
3. Keduanya dari keterunan yang baik
4. Keduanya orang kaya
5. Keduanya yang berpendidikan
Dalam ajaran islam, kesepadanan yang harus di kejar oleh kedua calon suami-
istri adalah kesepadanan agama, karena agama adalah penentu stalibitas rumah
tangga. Karena kesepadanan diutamakan agamanya.7
D. Waktu Berlaku nya kafa’ah
Kafa’ah dinilai pada waktu terjadinyaakad nikah apabila keadaanya
berubah sesudah terjadinya akad, maka tidak mempengaruhi akad, karna
di teliti pada waktu akad8

6
Dedi Supriyadi, Fiqh Munakahat Perbandingan, (Cv Pustaka Setia, Bandung, 2011), hlm. 100-103
7
Beni Ahmad Sabani, Fiqh Munakahat 2, (Bandung Pustaka Setia , 2001), hlm 200
8
Al hamdani, Hukum Perkawinan Islam, ( Pustaka Amani –Jakarta, 2002), hlm.24
Bab V
KETENTUAN DAN MEKANISME NAFKAH DALAM PERUNDANG-
UNDANGAN

Bab ini menjelaskan tentang ketentuan nafkkah di Maroko, ketentuan


nafkah di Irak, Ketentuan nafkah dalam Kompilasi Hukum Islam.

A. Ketentuan Nafkah dalam Kompilasi Hukum Islam


Mekanisme nafkah dalam kompilasi hukum islam dapat ditelusuri dari
berbagai Pasal yang berkaitan dengan nafkah seperti Pasal 77-78 dan seterusnya.
Secara mendasar ketentuan nafkah pada kompilasi hukum islam adalah nafkah
terjadi ketika akad nikah selesai secara sah. Akad nikah secara sah menyebabkan
timbulnya hak dan kewajiban seorang istri dituntut untuk menunaikan
kewajibannya masing-masing. Kelalaian disatu pihak dalam menunaikan
kewajibannya, berarti menelantarkan hak pihak yang lain dan begitulah
hubungan suami istri sejak terjadinya akad perkawinan.
Konsepsi tentang nafkah dalam kompilasi hukum islam ddilihat dari bab
XII hak dan kewajiban suami istri. Bab ini menjelaskan bahwa hak dan
kewajiban kepada suami istri telah ditentukan dan diberlakukan pada keduanya
secara terperinci tentang nafkah ini terdapat dalam pasal 77-81.
Dengan demikian dapat ditarik inti-inti dari pasal tersebut bahw dalam pemberin
nafkah suami bertanggung jawab penuh selama istri setia atau tidak melakukan
hal-hal yang melanggar agama dan tanpa ijin suami, apabila hal itu terjadi nafkah
bisa dikurangi atau dihapuskan.
B. Sebab –sebab Wajib Nafkah
Oleh kerana itu seorang istri adanya nikah menjadi terikat oleh
suami,ia berada di dalam kekuasaan suami, dan ia wajib taat kepada suami nya .
Dengan demikian agama menetepkan suami memberi nafkah kepada istri nya
selama perkawinan itu berlangsung.9

BAB VI
STATUS HUKUM POLIGAMI DALAM PANDANGAN FUQAHA DAN
APLIKASINYA DALAM PERUNDANG-PERUNDANGAN DI
INDONESIA.

Dalam bab ini dijelaskan tentang poligini lalu status hukum poligini dalam
pandangan fuqaha dan aplikasi poligini dalam perundang- undangan.

A. Status hukum Poligini dalam Pandangan Fuqaha


Dalam Al Fiqh Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah karya Aj-Juzairi diuraikan tentang
perbedaan status hukum poligini pokok poligini pada dasarnya terletak pada
persoalan “adil” jika takut menegakkan adil, cukup menikah dengan satu istri,
jika mampu menegakkan “adil” dibolehkan beristri lebih dari satu. Oleh karena
itu, syarat adil adalah wajib. Meskipun dalam hal tertentu menegakkan adil
dalam masalah beristri lebih dari satu bisa hukumnya mandub (sunnat) wajib
adilnya sunnah dalam membagi-bagi adil terhadap istri
B. Aplikasi Poligini dalam Perundang-Undangan
Di Indonesia menganut sistem monogami seorang pria hanya boleh mempunyai
satu orang istri meskipun poligami atau seorang suami beistri lebih dari seorang
perempuan diperbolehkan apabila dihendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan
dan pengadilan telah memberi izin (Pasal 3 (2) UUP) kebolehkan poligami harus
memiliki alasan yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Dalam perspektif metodologis, pengaturan ketentuan hukum mengenai
poligami yang boleh dilakukan atas kehendak yang bersangkutan melalui ijin
pengadilan agama, setelah dibuktikan ijin istri atau istri-istri dimaksudkan untuk
merealisasikan kemaslahatan yaitu terwujudnya cita-cita dan tujuan perkawinan.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa aplikasi poligini dalam Perundang-
undangan di Indonesia bersifat fleksibel. Poligini diijinkan asal memenuhi

9
Al hamdani, Hukum Perkawinan Islam, ( Pustaka Amani –Jakarta, 2002), hlm.148
persyaratan tertentu sebaliknya poligini dilarang keras terhadap orang-orang
yang tidak kompeten, berbeda dengan Negara Malaysia yang memperbolehkan
secara tersurat dalam perundang-undangan.10
C. Hikmah Poligami
Inilah kerusakan yang timbul sebagai akibat menentang fitrah penyimpang dari
ajaran allah, dan ini bukti kuat bahwa, tujuan islam itu lebih baik dan syariat
islam adalah sesuai untuk manusia di bumi dan malaikat yang ada di langit.
Demikian lah hakikat poligami dan sebenarnya poligami dalam islam itu tidak
wajib juga bukan sunah, tetapi hanya di bolehkan saja dan tujuan nya adalah
untuk kebaikan umat manusia11

BAB VII
PRO DAN KONTRA NIKAH MUT’AH

Bab ini menjelaskan tentang nikah mut’ah pandangan Sunni dan Syi’ah dan
juga ketentuan nikah mut’ah. Bab kedelapan membahas tentang Mekanisme
Hadhonah (Pemeliharaan) di Tunisia dan Kompilasi Hukum Islam. Dalam bab ini
menjelaskan tentang tunisia sejarah hukum keluarga, ketentuan hadhonah di
Tunisia dan juga prosedur hadonah dalam Kompilasi Hukum Islam.

A. Nikah Mut’ah: Pandangan Sunni dan Syi’ah


Sepakah bahwa nikah mut’ah berdasarkan keputusan Nabi SAW, adalah
halal, dan bahwasannya kaum muslim telah melakukannya pada masa hidup
beliau. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat tentang ada atau tidaknya nash
(penindakan perlakuan hukum).
Madzhab sunni mengatakan bahwa nikah mut’ah telah dihapuskan dan
diharamkan sesudah dihalalkan.
Bagi kalangan Syi’ah nikah jenis ini tidak berbeda dengan nikah yang tidak
dibatasi waktunya. Iya tidak sah tanpa adanya akad yang sah yang menunjukkan

10
Dedi Supriyadi, Fiqh Munakahat Perbandingan, (Cv Pustaka Setia, Bandung, 2011), hlm. 126-133
11
Al hamdani, Hukum Perkawinan Islam, ( Pustaka Amani –Jakarta, 2002), hlm.44
maksud nikah dalam (mut’ah) secara jelas. Setiap hubungan seksual yang
dilakukan oleh pria dan wanita tanpa akad, tidak bisa dikatakan mut’ah,
meskipun didasarkan atas suka sama suka, dan sepanjang akad seperti itu telah
terlaksana.
B. Ketentuan Nikah Mut’ah
Dalam kitab induk dikalangan Syi’ah diuraikan bahwa mut’ah tidak halal,
kecuali bagi orang yang telah mengetahuinya dan haram terhadap orang yang
tidak mengetahui hukumnya. Dalam kalangan Syi’ah dalam lafad akad mut’ah
wajib disebutkan ketentuan upah, batas waktu, tidak adanya hak mewarisi, dan
kewajiban beriddah selama 45 hari. Akan tetapi, ada yang mengatakan selama
satu kali haid. Pada saat akad itu ia boleh mensyaratkan tidak menenuntut
kelahiran seorang anak.
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa dikalangan Sunni, berkaitan dengan
masalah nikah mut’ah ini sampai sekarang terbagi dua kelompok, yaitu
kelompok yang mendukung dan kelompok yang menentang. Begitu pula
ketentuan nikah mut’ah ini, tidak serta merta berlaku pada setiap orang
terkecuali telah melalui persyaratan yang telah ditentukan baik secara normatif
maupun administratif negara. Adapun dikalangan Sunni nikah mut’ah dilarang
meskipun sebagian kecil menerapkannya, seperti negara yang menganut
Madzhab Hanifah, Hanbali, dan Maliki12.

BAB VIII
MEKANISME HADHONAH (PEMELIHARAAN) DI TUNISIA DAN
KOMPILASI HUKUM ISLAM

A. Ketentuan Hadhonah di Tunisia


Perundangan yang berlaku di Tunisia saat ini, yakni Code Of Personal
Stastus 1956 sampai 1981 setalah amandemen terjadi beberapa perubahan teks
asli yang berbahasa arab berbunyi Majallat Al Ahwal Al Syaksiyah (Mullhiq al-
Halat al-Madaniyat, al-Walayah, Al-Tabani). Masalah hadhonah yang terdapat

12
Dedi Supriyadi, Fiqh Munakahat Perbandingan, (Cv Pustaka Setia, Bandung, 2011), hlm.141
dalam Code Of Personal Status 1958 secara tekstual terdapat pada pasal 32.
Berdasarkan Pasal 32 dijelaskan bahwa posisi hadhonah (costody of children)
ada setelah terjadi perceraian antara suami dan istri berdasarkan keputusan
pengadilan. Pemeliharaan berlaku pula kepada orang tua dan kakek sama dengan
pemeliharaan terhadap anak dan cucu.
Pemeliharaan anak dapat dilakukan dengan menggunakan harta anak bila
anak memiliki harta tersebut. Jika dia tidak mempunyai kekayaan pemeliharaan
dibebankan kepada kekayaan ayahnya. Begitu pula, jika pengasuhan anak
dibebankan kepada ibunya, dan si ibu tidak memiliki rumah si ibu boleh tinggal
ditempat anaknya.
B. Prosedur Hadhonah dalam Kompilasi Hukum Islam
Makna hadhonah, secara bahasa atau dipengaruhi makna secara bahasa
dapat dilihat dalam KHI Pasal 1 huruf G yang berisi “pemeliharaan anak atau
hadhonah adalah kegiatan mengasuh, memelihara, dan mendidik anak hingga
dewasa atau mampu berdiri sendiri. Secara khusus masalah hadhonah terdapat
pada bab XIV dengan judul pemeliharaan anak bab ini menjelaskan hadhonah
sejak bayi sampai sudah menjadi dewasa disamping menjelaskan status usia anak
yang bisa dilakukan hadhonah.
Berdasar paparan diatas, khususnya tentang masalah hadhonah yang
bermaktub dalam KHI, dapat dipahami bahwa, hampir sebagian besar masalah
hadhonah dalam KHI, diambil dalam pemikiran Ulama yang bersumber pada
hadits dan Al-Qur’an. Selain itu apabila disimak secara sesama, tanpa kelemahan
dalam hal pengasuhan anak terjadi perceraian. KHI tidak begitu jelas merinci
status anak yang belum dewasa yang menjadi hak asuh ibu secara mutlak. Dalam
hal ini perlu diperinci kembali tentang status pengadilan yang memberikan
kewenangan hak asuh kepada ayahnya dibanding Ibunya karena berbagai
pertimbangan. Penjelasan ini penting sehingga akan menambah keyakinan si Ibu
untuk mengasuh anaknya meskipun terkadang “kalah” oleh pengadilan.13
C. Masa Hadhanah
Tidk terdapat dalam ayat ayat alqu’an dan hadist yang menerangkan

13
Dedi Supriyadi, Fiqh Munakahat Prbandingan, (Cv Pustaka Setia, Bandung, 2011), hlm.158-163
dengan tegas tentang masa hadahanah, hanya terdapat isyarat isyarat
yang menerangkan yat tersebut.Karena para ulma berijtihad sendiri-
sendiri dalam menetepkannya denga perpedoman kepada isyarat-isyarat
itu seperti mazhab hanafi hadhanah berkrih pada anak laki laki pada saat
itu tidak lagi memerlukan penjagaan dan tidak dapat mengurus
keperluannya sehari hari sepert makan, minum, dan sebagainya,
sedangkan masa hadhanah wanita berakhir pada apabila ia telah baligh,
atau telah datang pada masa haid pertama14

BAB IX
KETENTUAN DAN PROSEDUR PERCERAIAN DALAM PERUNDANG-
UNDANGAN DI ASIA

A. Mekanisme Perceraian di Malaysia


Secara umum ketentuan di Negeri ini terbagi menjadi dua bidang pertama,
yang melibatkan orang-orang islam yaitu akta memperbaharui undang-undang
(perkawinan dan perceraian) 1976. Kedua, ahila Undang-Undang Keluarga Islam
akta Undang-Undang Keluarga Islam (wilayah persekutuan) 1984 (AUKAI
(WP) 1984) merupakan model bagi Undang-Undang tersebut.
Karena mayoritas negara malaysia adalah negara madzhab Syafi’i pola
hukum islam yang mengatur perceraian pun mengikuti pola ijtihad madzhab
tersebut. Ada empat cara perceraian sebagai berikut
a. Talak
b. Cerai taklik
c. Fasakh
d. Khulu’ atau tebus talak
e. Meninggal dunia
A. Brunei
Ketentuan tentang pernikahan dan perceraian yang berlaku di Brunei
dalam Undang-Undang Majlis Agama Islam dan Mahkamah Kadi Penggal 77,

14
Prof.Dr. Abdul Rahman Ghozali.M ag. Fiqh Munakahat ( karisma putrabutma 2003),hlm.185
Adat Negeri, dan Mahkamh Kadi No 20/1955. Dalam undang-undang tersebut
masalah hukum keluarga hukum islam diatur hanya 29 bab yaitu dibawah aturan-
aturan marriage and Divorce di bagian VI yang diawali dari Pasal 134-156 dan
Maintenance of dependent di bagian VII yang dimulai dari pasal 157-163
sebagai berikut:
a. Pembatalan pertunangan
b. Pendaftaran nikah
c. Wali nikah
d. Perceraian yang dilakukan suami
e. Perceraian dengan talak tebus
f. Talak tafwid, Fasakh, dan perceraian oleh pengadilan
g. Hakam
h. Rujuk
i. Nafkah dan Tanggungan Anak
B. Singapura
Ada beberapa jenis perceraian yang dibicarakan di Mahkamah Syari’ah
Singapur. Jenis-jenis perceraian ini sebagaimana termaktub dalam Undang-
Undang Pentadbiran Hukum Islam (AMLA) adalah:
a. Talak
b. Cerai Taklik
c. Cerai Khulu’
C. Indonesia
Indonesia menganut tiga sistem hukum yaitu sistem hukum adat, hukum islam,
dan hukum barat. Dari ketiga hukum tersebut tampak bahwa hukum adat dan
hukum islam mempunyai hubungan sangat erat dengan agama, dan hukum islam
merupakan bagian dari rangkaian struktur agama islam.
Dalam kacamata Islam cerai adalah kata yang paling dibenci meskipun tidak
haram dalam kacamata islam. Memang benar putus hubungan dalam perkawinan
merupakan suatu perbuatan yang tidak disukai. Karena itu, ia dibenci Allah.
Secara tekhnis administratif, perceraian di Indonesia harus didepan pengadilan
setalah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak ini (UUPA Pasal 65, jo. Pasal 115 KHI). Adapun tata cara dan
prosedur nya dapat dibedakan dalam dua macam
a. Cerai talak (permohonan)
b. Cerai gugat15
D. Cerai Dengan Keputusan Hakim
Suami yang mukalaf berkewajiban memelihara istrnya dengan baik pula
Apabila berhak memetuskn percerian karena suami cacat jasmani, maka
tindakan sumi tidak memberi nafkah kepada istri nya dapat di katakan lebih
menyakitkan dan menganiaaya istri di banding cacatnya suami. Maka cerai
yang di sebabkan suami tidak dapat memberi nafkah adalah lebih patut. Ulama
hanafiyah berpendapat bahwa percerain karena suami tidak memberi nafkah
tidak di benarkan, baik karena adanya halangan atau karena suami tidak
mampu. 16
Perjanjian hukum di atas tidak dapat di sahkan apabila melanggar batas batas
hukum, agam dan kesusilaan, dan perjanjian tersebut mulai berlaku sejak
perkawinan di langsungkan, selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut
tidak dapat di rubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk
merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.17
3. Keunggulan Buku

Keunggulan buku ini yaitu lebih detail membahas tentang perbandingan


munakahat baik itu perbandingan dari para Imam Madzhab ataupun Kompilasi
Hukum Islam dan Undang-undang Perkawinan. Kelemahan Buku

Kelemahannya terdapat kesalahan dalam penulisan kata-kata, dan juga penulis


menggunakan kata-kata yang kurang dimengerti dan juga rancu.

15
Dedi Supriyadi, Fiqh Munakahat Perbandingan, (Cv Pustaka Setia, Bandung, 2011), hlm.171
16
Al hamdani, Hukum Perkawinan Islam, ( Pustaka Amani –Jakarta, 2002), hlm. 254
17
Djaja S. Meliala Himpunan Peraturan Perundang-undangan Tentang Perkawinan,(Bandung,
Nuansa Aulia, 2008)
4. Kelemahan Buku

Kelemahannya terdapat kesalahan dalam penulisan kata-kata, dan juga penulis


menggunakan kata-kata yang kurang dimengerti dan juga rancu dan juga ada
beberapa halaman yang tidak sesuai pada judul

5. Saran pada Penyaji Buku

Buku ini bagus sekali untuk dibaca oleh semua kalangan tidak hanya untuk
mahasiswa ataupun dosen saja. Jadi sebaiknya perbaiki lagi 4. kata- katanya dan
juga bahasanya agar dapat dimengerti oleh semua kalangan dan juga
menggunakan kata-kata yang mudah dipahami oleh semua orang. Daftar Pustaka

Daptar Pustaka

Dedi supriyadi, 2011, Fiqh Munakahat Perbandingan, Bandung : Cv. Pustaka


Setia

Prof.Dr. Abdul Rahman Ghozali.M ag. Fiqh Munakahat ( karisma putrabumi


2003)

Al hamdani, Hukum Perkawinan Islam, ( Pustaka Amani –Jakarta, 2002)

Beni Ahmad Sabani, Fiqh Munakahat 2, (Bandung Pustaka Setia , 2001)

Djaja S. Meliala Himpunan Peraturan Perundang-undangan Tentang


Perkawinan,(Bandung, Nuansa Aulia, 2008)

Anda mungkin juga menyukai