FIQIH IKHTILAF
Disusun oleh :
2020
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana awal lahirnya madzhab dalam Islam?
2. Bagaimana perbedaan madzhab dan penyikapannya?
3. Bagaimana menganalisis bermadzhab dan urgensinya?
4. Bagaimana ragam madzhab fiqih?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui awal lahirnya madzhab dalam Islam
2. Untuk mengetahui perbedaan madzhab dan penyikapannya
3. Untuk mengetahui madzhab dan urgensinya
4. Untuk mengetahui ragam madzhab fiqih
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Fiqih ikhtilaf muncul sejalan dengan ilmu fiqih muncul pada zaman
keemasan/kejayaan Islam. Sebagaimana dikutuip oleh Ulama fiqih bahwa kajian
fiqih ikhtilaf muncul apada abad ke-lima Hujriyyah. Ini menunjukkan bahwa fiqih
ikhtiaf memilki kontribusi besar dalam membangun peradaban Islam (al hadharah
al-Islamiyyah). Kondisi ini dapat dilihat banyalnya karya-karya Ulama klasik
dalam bidang fiqih ikhtilaf. Pengertian Ikhtilaf secara bahasa ikhtilaf berasal dari
kata khalafa, yakhlifu, khalfan. Adapun makna khilafan yaitu berbeda, mengganti,
membelakangi, meninggalkan keturunan. Khilafan dapat juga diartikan dengan
bertentangan, tidak sepakat, berselisih paham, perbedaan pendapat atau pikiran
yang masih terjadi di kalangan ulama. Perbedaan pendapat secara linguistik dalam
kajian bahasa inggris, dapat diterjemahkan dalam beraneka ragam yaitu, diffence
of opinion, distingtion, atau controversi. Sedangkan secara istilah ikhtilaf
didefinisikan dengan beragam definisi di antaranya adalah: Taha Jabir
mengatakan bahwa ikhtilaf adalah “Ikhtilaf dan Mukhalifah proses yang dilalui
melalui metode yang berbeda, antara seorang dan yang lainnya dalam bentuk
perbuatan atau perkataan.” Dan menurut al Jurjani ikhtilaf yaitu, “Perbedaan
pendapat yang terjadi di antara beberapa pertentangan untuk menggali
kebenarannya dan sekaligus untuk menghilangkan kesalahannya.”
Dari dua definisi yang dijelaskan oleh beberapa pakar hukum Islam dapat
dipahami bahwa, perbedaan pendapat adalah perbedaan cara atau metode yang
ditempuh oleh seseorang yang berbeda dengan orang lain, baik perkataan,
perbuatan, prinsip, keadaan. Namun al-Jurjani menjelaskan bahwa, tujuan atau
maksud dari perbedaan pendapat untuk memastikan kebenaran atau menolak
kebatilan. Hal ini berbeda dengan definisi lain yang tidak menjelaskan tujuan dari
ikhtilaf. Oleh karena itu diperlukan suatu metode yang benar untuk mencari
kebenaran dan kesalahan dalam ikhtilaf sebagai antisipasinya, munculah ilmu
khilaf. Taha Jabir menjelaskan bahwa, ilmu khilaf adalah ilmu yang membahas
kemungkinan terpeliharanya persoalan yang diperdebatkan yang dilakukan oleh
para Imam mazhab dan sekaligus ilmu yang membahas perselisihan tanpa
sandaran yang yang jelas kepada dalil yang dimaksud. Ilmu ikhtilaf menekankan
cara menetapkan hukum yang sesuai dengan apa yang dilakukan oleh para Imam
mazhab sebelumnya dan juga untuk menolak perselisihan yang tidak diharapkan.
Uraian di atas memperlihatkan bahwa, ikhtilaf yang asalnya hanya sebatas diskusi
atau bantahan tiap-tiap mazhab atau pengikutnya, telah melahirkan ilmu yang
mandiri, yakni ilmu khilaf.
C. Pengertian Madzhab
Menurut Bahasa “mazhab” berasal dari shighah mashdar mimy (kata sifat)
dan isim makan (kata yang menunjukkan tempat) yang diambil dari fi’il madhi
“dzahaba” yang berarti “pergi”. Sementara menurut Huzaemah Tahido Yanggo
bisa juga berarti al-ra’yu yang artinya “pendapat”. Sedangkan secara terminologis
pengertian mazhab menurut Huzaemah Tahido Yanggo, adalah pokok pikiran atau
dasar yang digunakan oleh imam Mujtahid dalam memecahkan masalah, atau
mengistinbatkan hukum Islam. Selanjutnya Imam Mazhab dan mazhab itu
berkembang pengertiannya menjadi kelompok umat Islam yang mengikuti cara
istinbath Imam Mujtahid tertentu atau mengikuti pendapat Imam Mujtahid tentang
masalah hukum Islam. Jadi bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud mazhab
meliputi dua pengertian
1. Mazhab adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh seorang Imam
Mujtahid dalam menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan kepada al-Qur’an
dan hadis.
2. Mazhab adalah fatwa atau pendapat seorang Imam Mujtahid tentang hukum
suatu peristiwa yang diambil dari al-Qur’an dan hadis.
Namun dari begitu banyak mazhab yang pernah ada, maka hanya beberapa
mazhab saja yang bisa bertahan sampai sekarang. Menurut M. Mustofa Imbabi,
mazhab-mazhab yang masih bertahan sampai sekarang hanya tujuh mazhab saja
yaitu: mazhab hanafi, Maliki, Syafii, Hambali, Zaidiyah, Imamiyah dan Ibadiyah.
Adapun mazhab-mazhab lainnya telah tiada.
BAB III
PEMBAHASAN
Sebenarnya ikhtilaf telah ada di masa sahabat, hal ini terjadi antara lain
karena perbedaan pemahaman di antara mereka dan perbedaan nash (sunnah)
yang sampai kepada mereka, selain itu juga karena pengetahuan mereka dalam
masalah hadis tidak sama dan juga karena perbedaan pandangan tentang dasar
penetapan hukum dan berlainan tempat Dari fragmentasi sejarah, bahwa
munculnya madzhab-madzhab fiqih pada periode ini merupakan puncak Dari
perjalanan kesejarahan tasyri’. Bahwa munculnya madzhab-madzhab fiqih itu
lahir dari perkembangan sejarah sendiri, bukan karena pengaruh hukum romawi
sebagaimana yang dituduhkan oleh para orientalis.
Berkenaan dengan sikap dan etika dalam menghadapi perbedaan pendapat dengan
cara menyikapi perbedaan pendapat dan pandangan yang dicontohkan Rasulullah
saw., yaitu dengan cara terlebih dahulu mendengar seluruh pendapat yang
berbeda-beda dari para sahabatnya yang mulia. Banyak sekali peristiwa dan kasus
yang membuktikan sikap Rasulullah ini. Prinsip mendengar dan bermusyawarah
yang diterapkan oleh Rasulullah tersebut tidak lain merupakan perwujudan dari
firman Allah Swt dalam surat Ali Imran ayat 159 yang berbunyi sebagai berikut:
dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu (QS. Ali Imran: 159)
Rasulullah saw dalam sejarah selalu berusaha mendengar pendapat dari para
sahabatnya, kemudian menyaring sekaligus memilih pendapat terbaik dan
bermanfaat. Contahnya al-Hubab bin al-Munzir bin al-Jumuh menyarankan, agar
rumah yang ditempati Rasulullah saw dalam perang Badar diubah posisinya dan
dimajukan hingga mendekat ke beberapa sumber air yang telah dikuasai oleh umat
Islam dalam wilayah, di mana terdapat banyak sumber air tersebut merupakan
salah satu posisi paling strategis untuk pertahanan dan penyusunan kekuatan umat
Islam. Rasulullah saw dan para sahabatnya kemudian melakukan perubahan
sesuai saran al-Hubab tersebut. Saran tersebut membuahkan manfaat yang besar
bagi kaum Muslimin saat itu. Dari keterangan ayat dan hadis menunjukkan,
perbedaan pada masa Nabi diselesaikan dengan musyarawah. Teladan yang
diperlihatkan Nabi saw dari hadis yang riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim
meriwayatkan dari Abdullah bin Umar, yang artinya yaitu:12 Artinya: dari Ibnu
Umar berkata: Nabi saw mengatakan bagi kami ketika kembali dari Azhab
(Janganlah ada satupun yang shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani
Quraizhah. Lalu ada di antara mereka mendapati waktu Ashar di tengah jalan,
maka berkatalah sebagian mereka: “Kita tidak shalat sampai tiba di sana.” Yang
lain mengatakan: “Bahkan kita shalat saat ini juga. Bukan itu yang beliau inginkan
dari kita.” Kemudian hal itu disampaikan kepada Rasulullah saw, namun Rasul
tidak mencela salah satunya.” (H.R. Bukhari)
Berdasarkan Hadis di atas dapat disimpulkan bahwa, Nabi tidak mencela salah
satu pihak yang berlawanan pendapat dengan kata-kata bid’ah, sesat, kafir, dan
sebagainya, bahkan tidak mencela salah satunya. Masingmasing pihak punya
argumen. Sahabat yang shalat Ashar di tengah jalan bukan ingkar kepada Nabi,
namun mereka mencoba shalat di awal waktu sebagaimana diperintahkan Allah
swt dan Rasul-Nya. Adapun sahabat yang shalat belakangan di perkampungan
Bani Quraizah juga tidak melanggar perintah shalat di awal waktu, namun mereka
mengikuti perintah Nabi di atas. Imam mazhab saling memuji satu sama lain,
walaupun mereka berbeda pendapat. Mereka saling menghargai, dan menghormati
perbedaan pendapat. Pernyataan tersebut dapat dilihat beberapa contoh dan
ungkapkan di bawah ini, 1. Imam Abu Hanifah. Para sahabat Imam Hanafi dan
Imam Syafi’i, serta Imam-Imam yang lain, berpendapat bahwa, wajib membaca
basmalah dalam shalat. Karena basmalah merupakan salah satu dari ayat dalam
surah Al-Fatihah. Pada kebiasaannya di Kota Madinah dilaksanakan shalat
berjama’ah dengan Imam-Imam bermazhab Maliki. Para pengikut Hanafi dan
Syafi’i ketika shalat mengikuti Imam bermazhab Maliki mereka tidak
mempersoalkannya.13 2. Imam Syafi’i pernah shalat subuh di dekat kuburan Abu
Hanifah tanpa kunut untuk menghormati Imam Abu Hanifah, pada hal kunut
menurut Imam Syafi’i termasuk perbuatan sunat ab’ad.14 Ini menunjuk betapa
mulia dan hormat Imam Syafi’i kepada ulama, sekalipun tidak sesuai dengan
mazhabnya. 3. Imam Nawawi salah seorang mujtahid tarjih dalam mazhab Syafi’i
berkata: “Dan adapun yang terkait masalah ijtihad, tidak mungkin orang awam
menceburkan diri ke dalamnya, mereka tidak boleh mengingkarinya, tetapi itu
tugas ulama. Kemudian para ulama hanya mengingkari dalam perkara yang
disepakati para imam. Adapun dalam perkara yang masih diperselisihkan, maka
tidak boleh ada pengingkaran di sana. Karena berdasarkan dua sudut pandang
setiap mujtahid adalah benar. Ini adalah sikap yang dipilih oleh mayoritas para
ulama peneliti (muhaqqiq). Sedangkan pandangan lain mengatakan bahwa, yang
benar hanya satu, dan yang salah kita tidak tahu secara pasti, dan dia telah
terangkat dosanya.” 15 Penyataan Imam Nawawi menjelaskan bahwa, yang boleh
diingkari hanyalah yang jelas-jelas bertentangan dengan nas qath’i (teks yang
pasti) dan ijma’. Adapun masalah ijtihadiyah, maka tidak bisa saling menganulir/
membatalkan. Ibnu Taymiyah berkata: ”Seandainya setiap kali dua orang muslim
yang berbeda pendapat dalam suatu masalah saling menjauhi dan memusuhi,
niscaya tidak akan tersisa sedikitpun ikatan ukhuwah di antara kaum muslimin”.
Imam Syafi’i juga memuji Imam Malik, pernyataan ini dapat dilihat di bawah ini;
Imam Syafi’i mengatakan: Apabila datang hadis dari Imam Malik, maka itu
bagaikan bintang, siapa yang menginginkan, maka, dia termasuk dalam keluarga
Malik. Demikian juga Imam Ahmad bin Hanbal memuji Imam as-Syafi’i. Pada
sebuah riwayat disebutkan, yaitu; Muhammad bin Harun al-Zanjani berkata,
Abdullah bin Ahmad berkata: Saya berkata kepada bapakku (Ahmad bin Hanbal),
siapakah Syafi’i itu, sehingga engkau banyak mendo’akannya. Ahmad bin Hanbal
berkata, wahai anakku! Dia itu seperti matahari bagi dunia, kesehatan bagi
manusia. Apakah yang bisa menggantikan kedua hal itu. Dari berbagai keterangan
dan sejarah perkembangan hukum Islam menunjukkan bahwa, perbedaan
pendapat semenjak masa Nabi Muhamamad, masa sahabat, tabi’in sampai ke
masa Imam mazhab terus berlangsung, tetap dalam suasana yang harmonis, saling
menghargai, saling memuji dan toleransi. Sementara Imam bin Abdil Barr dalam
kitabnya; Jami’ Bayanil Ilmi Wa Ahlihi menyebutkan beberapa ungkapan ulama
yang masyhur di antaranya dari Imam Qatadah ra yang berbunyi: يعرف لم من
بأنفهه الفقه يشم لم االختالف
“Barang siapa yang tidak mengenal adanya perbedaan pendapat, maka dia belum
mencium fikih dengan hidungnya. ”Demikian juga al-Amidi menyebutkan
perkataan Imam Sa’id bin Arubah dalam alMuwafaqah, dengan bunyinya yaitu:
Dari Sa’id bin Ibn Abi Arubah berkata: “Barang siapa yang belum pernah
mendengar adanya perbedaan pendapat, maka janganlah kalian anggap dia
sebagai seorang yang alim”. Imam Utsman bin Atha’ meriwayatkan dari ayahnya
berkata yang artinya: diriwayatkan dari Usman bin Atha’ dari ayahnya berkata:
Tidak sepantasnya bagi seseorang untuk memberikan fatwa untuk manusia
sehingga dia tahu betul akan perbedaan pendapat yang ada. Karena jika tidak
demikian, maka dia akan menolak ilmu yang lebih kuat (dalilnya) dari pada apa
yang selama ini dia yakini”.
Sebagaiman suatu contoh kejadian ketika zeyd dan amir sedang berwudhu,
lalu keduanya kepasar, dan masing masing membeli sesuatu di pasar seraya
keduanya menyentuh wanita, lalu keduanya akan shalat, maka zeyd berwudhu dan
amir tak berwudhu, ketika zeyd bertanya pada amir, mengapa kau tak berwudhu?,
bukankah kau bersentuhan dengan wanita?, maka amir berkata, aku
bermadzhabkan maliki, maka zeyd berkata, maka wudhu mu itu tak sah dalam
madzhab malik dan tak sah pula dalam madzhab syafii, karena madzhab maliki
mengajarkun wudhu harus menggosok anggota wudhu, tak cukup hanya
mengusap, namun kau tadi berwudhu dengan madzhab syafii dan lalu dalam
masalah bersentuhan kau ingin mengambil madzhab maliki, maka bersuci mu kini
tak sah secara maliki dan telah batal pula dalam madzhab syafii.
" األربعة_) االتفاق بين المسلمين على أن الحق منحصر في هذه المذاهب(أي المذاهب وقد وقع
فال يجوز أن يقع االجتهاد إال،هـ وحينئذ فال يجوز العمل بغيرها.فيها" ا
telah terjadi mufakat antara ulama muslimin bahwa kebenaran itu teracakup dalam
madhab empat ini, oleh sebab itu maka tidak boleh mengamalkan dengannya
maka tidak boleh terjadi ijtihad kecuali dalam empat madhab itu.
" وفي االفصاح ان االجماع انعقد على تقليد كل من المذاهب االربعة وان الحق ال يخرج عنهم
dan dalam kitab al ifsoh sesungguhnya ijma itu terikat di atas taqlid terhadap salah
satu empat madhab itu, dan al haq tidak keluar darinya.
" إن أراد أنّه ال يتق ّيد وقول، ال أتق ّيد بأحد من هؤالء األئمة األربعة:بواحد بعينه دون الباقين القائل
وإن أراد أنّي، بل هو الصواب من القولين، بل أخالفها فهو مخطئ في فقد أحسن،ال أتقيّد بها كلّها
إذ الحق ال،"يخرج عن هذه األربعة في عامة الشريعة الغالب قطعًا
Dan perkataan orang: "aku tidak akan terikat dengan salah satu madhab
empat",kalau maksud perkataan tersebut adalah untuk tidak menetukan hanya satu
madhab saja dengan menafikan madhab lainnya,maka itu benar,malah itu adalah
salah satu dari dua pendapat [tentang taqlid],kalau maksud perkataan itu adalah
tidak mau terikat dengan madhab secara keseluruhan, malah dengan menyelisihi
semua madhab yang ada,maka lumrahnya itu menyimpang,malah bukan lumrah
lagi tapi pasti menyimpangnya,karena alhaq tidak keluar dari empat madhab ini
dalam keumuman syariat.
Maka bagaimana besarnya keruksakan dan permusuhan yang akan terjadi
dengan adanya orang yang belajar dan berfatwa dengan madhabnya orang yang
tidak bermadhab malah justru mengasingkan diri dari madhab yang empat??
maka berapa banyak barisan yang akan berpecah dan berapa banyak
permusuhan akan banyak terjadi?
Malah Dalam berbagai Kitabnya ibnu taemiyah pun secara umum mengikuti
madhab hambali dan terkadang mengikuti pendapat madhab selainnya, juga
terkadang pendapatnya berbeda dengan semua pendapat madhab empat, misal
dalam masalah tawasul dan syadu rihal, juga masalah thalaq diantara buktinya
adalah:
1.Imam ibnu muflih murid ibnu taemiyah menyelisihi pendapat gurunya dan
mengingatkan supaya jangan di pegang seperti dalam masalah batal puasa dengan
gibah, ibnu muflih menyatakan bahwa ibnu taemiyah mengambilnya dari
pendapat ibnu hazm, juga peringatan ibnu muflih dalam masalah syaddu rihal.
2.Ibnu rojab mengkritik ibnu taemiyah dengan menulis 2 kitab utk membantah
Ibnu taemiyah: 1. ar rod ala man itabaa goiro madzahib al arbaah:bantahan atas
orang yg mengikuti selain madhab empat, maka secara hakikat yg di maksud ibnu
rojab dengan risalahnya itu adalah ibnu taemiyah karena beliau meninggalkan
manhaj ibnu taemiyah di akhir hayatnya sebagaiman di sebutkan oleh ibnu hajar.
2. kitab muskilul ahadis waridah fi anna tholak salas wahidah, ibnu rojab juga
membantah ibnu taemiyah dalam masalah talak 3 sekaligus di hitung satu...
أو، حججت خمس حجج منها ثنتين [ راكبا ] و ثالثة ماشيا: ثنتين ماشيا و ثالثة سمعت أبي يقول
فجعلت أقول، فضللت الطريق في حجة و كنت ماشيا، راكبا: ( ) ! يا عباد هللا دلونا على الطريق
الطريق فلم أزل أقول ذلك حتى وقعت على
. أو كما قال أبي
aku mendengar ayahku berkata: aku berhaji 5 kali, dua kali dengan
menunggang tunggangan dan dua kali dengan jalan kaki atau dua kali jalan kaki
dan tiga kali menaiki tunggangan, lalu aku tersesat dalam salah satu perjalanan
haji dengan keadan jalan kaki, maka aku berkata: wahai hamba Allah tunjukanlah
jalan padaku,maka aku tidak henti henti berkata itu sampai akhirnya aku pun
menemukan jalan semula,atau sebagaimana perkataan ayahku. Dan riwayat ini di
ceritakan juga oleh al baihaqi dalam as suab al iman 2/455.
Dalam cerita di atas, imam ahmad sedang mengamalkan kandungan hadis Nabi
SAW:
“ و هو بأرض ليس بها أنيس, أو أراد أحدكم غوثا, يا عباد هللا إذا أضل أحدكم شيئا: فليقل
فإن هلل عبادا ال, يا عباد هللا أغيثوني, نراهم أغيثوني
" ال نعلم يروى: أخرجه البزار و قال، هذا حديث حسن اإلسناد غريب جدا
عن النبي صلى هللا عليه وسلم بهذا اللفظ إال من هذا الوجه بهذا اإلسناد
Hadis ini statusnya hasan, sanadnya gorib sekali di keluarkan oleh imam: bazzar
dan aku tidak tau dari Nabi dengan lafad ini kecuali dengan lafad matan ini
dengan sanad ini.
D. Ragam Madzhab Fiqih
1. Aliran Hanafi
Kelahiran dan sikap politik Abu Hanifah (80-150 H/669-767 M)
Aliran ini didirikan oleh Abu Hanifah, yang nama lengkapnya
adalah al-Nu’man ibn Tsabit ibn Zuthi (80-150 H). Secara politik, Abu
Hanifah hidup dalam dua generasi. Ia dilahirkan di Kufah pada tahun 80
H, artinya ia lahir pada zaman dinasti ‘Ummayah, tepatnya pada zaman
kekuasaan ‘Abd al-Malik ibn Marwan. Beliau meninggal pada zaman
kekuasaan Abbasiah.
Ia hidup selama 52 tahun pada zaman ‘Umayyah dan 18 tahun pada
zaman ‘Abbasiyah. Selama hidupnya, ia melakukan ibadah haji lima puluh
lima kali. Sikap politiknya berpihak pada keluarga ‘Ali (Ahlul Bait) yang
selalu dianiaya dan ditindas oleh Dinasti ‘Ummayah. Ketika Zaid berontak
terhadap Hisyam dan terbunuh, termasuk putranya, Yahya ibn Zaid, Abu
Hanifah sangat berduka. “Perjuangan Zaid sama dengan perjuangan Nabi
Muhammad Saw dalam perang Badar,” katanya.
Ketika yazid ibn ‘Umar ibn Hubairah (zaman Dinasti ‘Umayyah)
menjadi Gubernur Irak, Abu Hanifah diminta menjadi hakim di pengadilan
atau bendaharawan negara, tetapi ia menolaknya. Akibatnya, ia ditangkap
dan dipenjarakan, bahkan dicambuk. Namun, atas pertolongan juru
cambuk, ia berhasil meloloskan diri dari penjara dan pindah ke Mekah. Ia
tinggal disana selama enam tahun (130-136 H). setelah pemerintahan
‘Umayyah berakhir, ia kembali ke Kufah dan menyambut kekuasaan
Abbasiah dengan rasa gembira.
Tidak berbeda dengan pemerintahan Bani Umayyah, Bani Abbas
juga melakukan kekerasan terhadap Ahlul Bait, seperti tindakan yang
dilakukan oleh al-Manshur terhadap al-Nafs al-Zakiyah pada tahun 145 H.
Abu Hanifah tampil mengkritik Abbasiah. Ia mengkritik pula para hakim
dan mufti pemerintah. Ketika diminta oleh al-Manshur untuk menjadi
hakim di pengadilan, Abu Hanifah menolaknya. Akhirnya, ia dipenjara
dan dicambuk. Ia meninggal pada tahun 150 H akibat penderitaannya
dalam tahanan.
Mazhab Maliki merupakan mazhab fikih dalam Islam yang masih bertahan hingga
hari ini. Dirintis oleh Imam Malik bin Anas (wafat 179 H.) di Madinah.
Pengikutnya menyebar ke Mesir, Tunisia, Maroko hingga Andalusia (Spanyol).
Imam Malik lahir di Madinah pada tahun 93 Hijriyah, di era pemerintahan Dinasti
Umayyah. Beliau mengalami masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz (w. 101
H.) yang membuatnya terkesan. Ketika kekuasaan telah beralih kepada Dinasti
Abbasiyyah, ada yang bertanya apakah rakyat harus membela pemerintah atau
memberontak bersama para pemberontak.
Abu Zahrah menjelaskan, pada dasarnya, penguasa pada masa Imam Malik, baik
pemerintahan Umayyah maupun Abbasiyyah, sudah melenceng dari garis
kekhalifahan. Kekhalifahan mengatur perpindahan kekuasaan didasarkan kepada
musyawarah yang demokratis.
Namun, dalam praktiknya yang terjadinya adalah pewarisan kekuasaan dari ayah
ke anak yang mencerminkan sistem monarkhi. Jika tidak demikian, biasanya
perpindahan kekuasan terjadi melalui proses kudeta. Karena itu, Imam Malik
memandang kekuasaan apapun saat itu adalah kekuasaan yang lalim dan
menyimpang dari rel syariah.
Hidup pada dua masa yang penuh gejolak, Imam Malik tetap dapat memperoleh
pendidikan yang baik di kota Madinah.
Madinah menjadi tempat belajar Imam Malik, tak ada yang alin. Sebab, Madinah
telah menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan Islam. Justru orang-orang
dari luar Madinah harus datang ke kota tersebut untuk belajar tentang Islam.
Imam Malik kemudian dikenal sebagai Imam Dar Al-Hijrah (Penghulu Ulama
Madinah-Bumi Hijrah). Selain piawai dalam merumuskan hukum, Imam Malik
juga seorang pendidik yang berhasil. Banyak murid-muridnya yang kemudian
mewarisi metode perumusan hukumnya, lalu menyebarkan mazhabnya ke penjuru
dunia Islam. Bahkan, ada di antaranya yang kemudian menjadi pendiri mazhab
fikih tersendiri seperti Imam Al-Syafi'i (w. 204 H).
Dalam merumuskan hukum fikih, Imam Malik merujuk kepada Alquran, hadis
Nabi, ijma, qiyas, praktik penduduk Madinah, mashlahah mursalah (maslahat),
'urf (tradisi), dan saddu dzari'ah (upaya pencegahan).
Karena isinya didominasi hadis-hadis Nabi, banyak pihak yang menyebut Al-
Muwaththa' sebagai karya bidang hadis dibanding sebuah karya dalam fikih.
Karya lain Imam Malik adalah kitab Al-Mudawwanah. Kitab ini membuat fatwa-
fatwa Imam Malik yang mencapai kurang lebih 6200 fatwa, yang disusun dengan
sistem berdasar tema-tema fikih seperti yang dikenal saat ini.
Usman bin Hakam Al-Judzami membawa fikih aliran Maliki ke Mesir. Usaha
menyebarkan Mazhab Maliki dilanjutkan Abdurrahman bin Al-Qasim. Pada era
Abdurrahman bin Al-Qasim, Mazhab Maliki berhasil menggeser dominasi
Mazhab Hanafi yang terlebih dahulu berkembang.
Pada tahun 200 Hijriah, Mazhab Syafi'i menggeser dominasi Mazhab Maliki.
Sekalipun bersaing dengan Mazhab Syafi'i, pengaruh Mazhab Maliki masih cukup
kuat dibanding Mazhab Hanafi. Keduanya menjadi dua mazhab yang paling
banyak dianut di Mesir.
Al-Maqrizi mencatat kedua mazhab ini selalu menjadi rujukan umat muslim di
Mesir. Ulama kedua mazhab mengisi posisi-posisi penting dalam kehakiman.
Ketiga, keterlibatan penguasa dalam penyebaran mazhab. Hal ini dapat dipotret
dalam perkembangan Mazhab Maliki di wilayah Afrika Utara, dan Andalusia.
Wailayah Afrika Utara, seperti Tunisia dan sekitarnya pada mulanya didominasi
pengikut Mazhab Hanafi. Belakangan, pengaruhnya digeser oleh Mazhab Maliki.
Mazhab Maliki mencapai puncak pengaruhnya ketika Al-Mu'izz bin Badis (w.
454 H.)menguasai Tunisia dan sekitarnya. Keterlibatan kekuasaan dalam
penyebaran Mazhab Maliki juga terjadi di Andalusia.
Abu Zahra mencatat, Yahya bin Yahya Al-Laitsi (w. 234 H.), murid Imam Malik
punya hubungan dekat dengan penguasa Dinasti Umayyah di Andalusia. Beliau
diangkat menjadi hakim berpengaruh. Pengangkatan hakim baru selalu melalui
rekomendasi beliau.
Sampai saat ini, Mazhab Maliki masih mendominasi praktik keagamaan umat
Islam di Afrika Utara dan pantai barat Afrika, Maroko. Di antara praktik
keagamaan yang dipengaruhi Mazhab Maliki di negeri tersebut adalah
penggunaan batu sebagai media bersuci dan azan tiga kali sebelum salat.
Di setiap masjid hampir selalu ada batu yang disediakan untuk tayamum, cara
mensucikan diri ketika tidak ada air untuk wudu. Dalam Mazhab Syafi'i, yang
banyak dianut masyarakat muslim di Indonesia, tayamum hanya boleh dengan
menggunakan debu. Sedangkan dalam Mazhab Maliki mengizinkan tayamum
dengan benda-benda yang berasal dari bumi seperti batu.
Sebelum salat wajib, azan dikumandangkan tiga kali. Praktik ini termasuk
masalah khilafiyah (perbedaan pendapat) bahkan di kalangan ulama Mazhab
Maliki.
Pada masa Nabi Muhammad, salat Jumat dimulai dengan dua kali azan. Namun,
pada masa Usman bin Affan, ditambahkan satu azan lagi yang sering disebut
"azan ketiga". Selain itu, pada masa Nabi saw. beliau memerintahkan tiga orang
muazin untuk mengumandangkan azan. Ada kemugkinan ketiganya
mengumandangkan azan secara berurutan atau secara bersamaan. Dengan
demikian, praktik semacam ini telah berlangsung sejak masa Rasulullah saw. (drs)
3. Aliran Syafi’i
Menurut Abu Zahrah, pemerintah atau khalifah pada masa itu sering mengangkat
hakim dari mazhab yang berlaku. Di Irak misalnya, ketika Daulah Abbasiyah
menjadikan kota Baghdad sebagai ibu kota, khalifah memilih ulama-ulama dari
kalangan hanafiyah untuk mengisi pos-pos hakim.
Bahkan ketika suatu saat khalifah memilih ulama dari kalangan Mazhab Syafi'i,
tepatnya pada masa Khalifah al-Qadir Billah (w. 422 H), terjadi kegaduhan oleh
penduduk Baghdad karena fatwa yang dikeluarkan. Hingga akhirnya khalifah pun
mencopot ulama yang bermazhab Syafii tersebut. Begitu juga dengan Mazhab
Maliki.
Syekh Ali Jum’ah dalam Tarikh Ushul Fiqh mencatat ada 5 fase perkembangan
Mazhab Syafii. Mulai mazhab tersebut dibangun oleh Imam al-Syafi'i hingga
tersebar luas sampai sekarang. Hal ini didukung dengan beberapa literatur lain,
seperti Manaqib al-Syafii karya Imam al-Baihaqi, Fakhruddin al-Razi dalam kitab
yang berjudul sama, dan Adab al-Syafii wa Manaqibuhu karya Abdurrahman bin
Abi Hatim.
Fase pertama persebaran mazhab ini dimulai pada tahun 178 H, yakni setelah
Imam Malik wafat dan berlangsung hingga 16 tahun. Fase ini berlangsung hingga
Imam al-Syafi'i kembali lagi ke Baghdad untuk kedua kalinya pada tahun 195 H.
Fase kedua, munculnya mazhab lama (qadim). Fase ini dimulai ketika kedatangan
Imam al-Syafi'i ke Baghdad yang kedua kalinya, tahun 195 H, hingga al-Syafii
hijrah ke Mesir pada tahun 199 H. Pada fase inilah muncul fatwa-fatwa Imam al-
Syafi’i yang dikategorikan dan sering disebut sebagai kaul qadim.
Sedangkan fase ketiga dimulai pada tahun 199 H, hingga wafatnya Imam al-
Syafi’i. Bahkan bisa dibilang pada fase ini mazhab baru (jadid) Imam al-Syafi’i
telah sempurna, atau sering disebut sebagai kaul jadid.
Setelah fase ketiga, fase-fase selanjutnya dimulai dengan periwayatan Mazhab
Syafi'i oleh para muridnya (ashab al-syafiʻi). Pada fase keempat ini, para murid
Imam al-Syafi'i cukup gencar dan massif dalam meriwayatkan masalah sesuai
metode istinbath (penggalian hukum) ala Imam al-Syafi’i.
Fase ini dimulai pada abad ke-5 Hijriyah dan berakhir pada abad ke-7 Hijriyah.
Pada fase inilah muncul ulama-ulama hebat murid Imam al-Syafi’i yang menulis
ulang mazhab dan pemikiran Imam al-Syafi’i.
Salah satunya, Imam al-Muzanni (w. 264 H). Ia menulis kitab al-Mukhtashar,
ringkasan kitab al-Umm, kitab fikih karangan Imam al-Syafii. Usahanya ini
disebut termasuk sebagai bagian dari penyebaran atau periwayatan Madzab al-
Syafi'i.
Selain al-Muzanni, ada juga al-Buwaithy (w. 231 H), al-Rabi’ bin Sulaiman al-
Muradi 270 H) dan murid-muridnya yang lain.
Setelah fase periwayatan selesai dan berakhir pada abad ke-7, fase selanjutnya
adalah pengokohan dan penguatan rancang bangun mazhab.
Fase ini dilalui dengan menarjih (memilih pendapat yang paling kuat) dan
menuliskannya dalam kitab-kitab ringkas (mukhtashar). Setelah dituliskan dalam
kitab-kitab ringkas, kemudian muncul kitab-kitab penjelas (syarh) dari kitab
ringkas tersebut.
Di antara lima fase tersebut, yang paling menonjol adalah fase ketiga, ketika para
murid Imam al-Syafi'i dengan sangat massif meriwayatkan fatwa sekaligus
metode penggalian hukum yang dilakukan Imam al-Syaf'ii.
Fase ini dinilai sangat penting karena tanpa adanya fase ini, Mazhab Syafi'i tidak
akan bisa berkembang hingga sekarang. Berapa banyak mazhab yang hilang dan
tidak sampai di masa kita sekarang karena minimnya periwayatan.
Bahkan menurut Ahmad Timur Basya dalam Nadhrah fi Tarikh Huduts al-
Madzahib al-Arba’ah, penyebaran Mazhab Syafi'i tidak terlepas dari
melimpahnya karya-karya para penganutnya. Dari karya-karya tersebutlah banyak
orang belajar dan mengetahui seluk beluk, metode dan fatwa kalangan Syafi'iyah.
Negara Mesir menjadi sentra penyebaran mazhab Syafii yang cukup dominan.
Walaupun, dalam sejarah, mazhab Syafi'i pernah menjadi kecil pengaruhnya
akibat diganti dengan mazhab fikih Ahli Bait (salah satu aliran di Syiah) ketika
kaum Syiah Rafidha menguasai Mesir, namun hal itu tidak bertahan selamanya.
Mazhab Ahli Bait tersebut hilang bersamaan dengan tumbangnya kekhalifahan
Daulah Ubaidiyin dari kalangan Rafidhah oleh Shalahuddin bin Yusuf bin Ayyub
atau biasa dikenal dengan Salahuddin al-Ayyubi. Hingga akhirnya Mazhab Syafi'i
dan para pengikutnya yang sebelumnya lari ke Irak kembali lagi ke Mesir.
Ahmad Timur Basya mencatat ada beberapa tokoh besar yang ikut berpengaruh
dalam menyebarkan Mazhab Syafi'i. Mulai dari Muhyiddin bin Syaraf al-Nawawi
(yang biasa terkenal dengan sebutan Imam al-Nawawi) Izzuddin bin Abdussalam,
Ibn Daqiq al-ʻId, Taqiyuddin al-Subki, hingga Sirajuddin al-Bulqini, ulama besar
Syaf'iiyah yang tinggal di Mesir.
Baru setelah tersebar dengan begitu massif oleh para pengikutnya, Mazhab Syafi'i
mulai digunakan sebagai mazhab resmi. Termasuk menjadi mazhab resmi Dinasti
Ayyubiyah yang digagas oleh Shalahuddin al-Ayyubi.
Tidak hanya di Mesir, Ahmad Timur Basya juga mencatat bahwa Mazhab Syafi'i
juga dianut dan berkembang oleh beberapa negara, di antaranya Turki, Syam dan
Irak.
Selain itu Mazhab Syafii juga merambah ke India Selatan, tepatnya di kota
Malibar. Terbukti dengan adanya kitab fikih Syafi'iyah yang terkenal di kalangan
pesantren yang digubah oleh Zainuddin al-Malibari berjudul Fathul Muin Syarh
Qurratul Ain.
4. Aliran Hanbali
Mazhab Hanbali didirikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal al-Syaibani (w. 241 H).
Imam Hanbal awalnya adalah salah satu murid Imam Syafi’i yang paling setia.
Mazhab ini merupakan mazhab keempat yang otoritatif diikuti oleh umat Islam
berpaham Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Mazhab Hanbali lahir di Baghdad, kota tempat kelahiran pendirinya. Saat mazhab
ini muncul, Baghdad menjadi pusat perkembangan keilmuan Islam. Ibu kota Irak
itu dikenal sebagai negeri maju dan metropolitan, tetapi penduduknya tetap
antusias dengan pengetahuan.
Imam Ahmad dikenal sebagai ulama terkemuka dengan ahli di berbagai disiplin
ilmu, terutama di bidang hadis dan teologi. Tapi pemikirannya tidak mudah
diterima khalayak. Rintangan paling berat yang dialami Imam Ahmad adalah saat
pemikirannya bertentangan dengan ideologi resmi negara, yaitu Muktazilah, pada
era khalifah Ma’mun, Mu’tashim, dan Watsiq.
Tapi kedua saudara itu menyebarkan pemikiran ayahnya dengan cara berbeda.
Seperti dituturkan oleh Abu Zahrah di dalam Tarikhul Madzahibil Islamiyah,
Shalih bin Ahmad bin Hanbal (w. 266 H) menyebarkannya melalui surat yang
berisikan jawaban-jawaban dengan menukil pendapat ayahnya. Saat menjadi
pejabat di pengadilan, Shalih bin Ahmad menggunakan posisinya tersebut dengan
menyampaikan pendapat-pendapat ayahnya.
Sedangkan adiknya, Abdullah bin Ahmad bin Hanbal (w. 290 H),
menyebarkannya dengan model pembelajaran guru-murid. Dengan menjadikan
kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal sebagai refrensi utamanya. Tak jarang
Abdullah mengutip atau malah menyampaikan pendapat ayahnya dalam bidang
fikih.
Dengan penyebaran kutipan dan pendapat ini, pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal
di bidang fikih mulai dikenal dan menyebar di kota Baghdad. Sebab, saat itu
pemikirannya memang tidak dibukukan.
Persebaran Mazhab Hanbali
Susutnya ‘peminat’ mazhab ini di luar Irak, menurut Abu Zahrah ada 3 faktor
yang menyebabkan. Pertama, keterlambatan lahirnya Mazhab Hanbali. Mazhab
ini merupakan mazhab terakhir yang muncul setelah 3 mazhab fikih sebelumnya
(Hanafi, Maliki, dan Syafi’i). Ketiga mazhab tersebut telah berkembang lebih dulu
di pelbagai daerah di jazirah Arab sebelum lahirnya Mazhab Hanbali.
Kedua tidak ada perwakilan dari pengikut Mazhab Hanbali yang menjadi hakim,
terutama saat mazhab ini sudah menyebar ke luar Irak. Padahal, posisi hakim
cukup sentral dan strategis dalam menyebarkan pendapat mazhab yang dianutnya.
Ketiga, kuatnya fanatisme pengikut Mazhab Hanbali. Ini terbukti ketika ada orang
lain yang berbeda pendapat, mereka bukan membantahnya dengan argumen, tapi
justru bersikap kasar dan keras dengan dalih al-amr bil ma’ruf wa nahy ‘anil
munkar (perintah untuk mengajak atau menganjurkan hal-hal yang baik dan
mencegah hal-hal yang buruk)
Misalnya, saat ada perempuan dan anak kecil berjalan bersamaan, lalu ditanya apa
hubungan keduanya? Jika tidak menjawab, mereka langsung memukulnya dan
menyerahkannya ke pihak berwajib.
Bisa disebut, hanya Arab Saudi saja yang menjadikan Mazhab Hanbali ini sebagai
mazhab resmi negara. Sedangkan di negara Islam yang lain, Mazhab Hanbali
hanya menjadi sebatas penambahan wawasan di dunia pendidikan. Tidak sampai
diterapkan atau diikuti layaknya mazhab fikih lain di negara Islam lainnya. (drs)