Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH

FIQIH IKHTILAF

Dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah ‘Seminar Agama Islam’


Dosen Pengampu: Ima Maisaroh, M.SI.

Disusun oleh :

1. Dessy Gita Kisnawati (6661190144)


2. Nabilah Maulia Rahma (6661190003)
3. Nurisma Amalia (6661190004)
4. Talitha Putri Naila (6661190105)
5. Yolanda Devina (6661190089)

PRODI ADMINISTRASI PUBLIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA

2020
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di Indonesia ini memiliki beragam perbedaan, salah satunya yaitu


mengenai masalah pemahaman atau penafsiran hukum-hukum agama. Tidak
jarang kita temui atau kita dengar beberapa fatwa atau ketetapan hukum yang
dikeluarkan para ulama berbeda satu sama lain misalnya mengenai kebolehan atau
keharaman suatu produk makanan minuman atau produk dan alat kesehatan dan
kecantikan, fatwa atau pendapat para ulama tentang kesesatan atau keanehan suatu
aktifitas (kegiatan) sosial tertentu, suatu aliran kepercayaan, sekte dengan ritual
tertentu, atau perbedaan dalam menetapkan fatwa dan pendapat para ulama
terhadap aktifitas operasionalisasi dan transaksi keuangan, moneter dan fiskal
pada lembaga keuangan perbankan dan lembaga keuangan non perbankan, bahkan
dalam hal pilihan pemimpin politik pun kadang kala terjadi perbedaan
pemahaman dan penafsiran sehingga menimbulkan perbedaan dan perpecahan
yang cukup tajam diantara para ulama di Indonesia. Padahal semestinya
perbedaan pendapat tidak perlu disesalkan dan menjadi sebab kita berpecah belah
dan bercerai-berai. Para ulama masa salaf, baik di kalangan sahabat, tabi’in dan
tabi’ tabi’in telah banyak berikhtilaf. Bahkan ikhtilaf ini telah teradi dai sejak
Rasululah SAW masih hidup. Tapi tidak ada seorangpun diantara mereka yang
saling menuding salah, fasiq atau kafir kepada orang yang bertentangan dengan
pendapatnya. Dalam beberapa masalah mawarist terjadi ikhtilaf sahabat antara
Zaid bin Tsabit dan Ibnu mas’ud atau yang lainnya. Sebagaimana dikalangan
sahabat ada yang membaca Basmallah diawal Al-Fatihah da nada pula yang tidak
membacanya, ada yang membaca dengan sir ada pula yang membaca dengan
jahar. Imam Asy Syafi’I pernah jadi imam subuh di Ira dekat makam Abu
Hanifah, dan beliau tidak berqunut sebagai penghormatan kepada Abu Hanifah
dan pengikut-pengikutnya. Perbedaan itu tentu bukan semata-mata karena sesuatu
yang tidak jelas atau sekedar ingin mempertahankan pendapat masing-masing
saja. Akan tetapi memiliki alasan tersendiri dan tentunya tetap sejalan dengan
ajaran Islam. Untuk itu penulis tertarik membahas mengetahui lebih jelas
mengenai ikhtilaf (perbedaan) mahzab dalam islam.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana awal lahirnya madzhab dalam Islam?
2. Bagaimana perbedaan madzhab dan penyikapannya?
3. Bagaimana menganalisis bermadzhab dan urgensinya?
4. Bagaimana ragam madzhab fiqih?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui awal lahirnya madzhab dalam Islam
2. Untuk mengetahui perbedaan madzhab dan penyikapannya
3. Untuk mengetahui madzhab dan urgensinya
4. Untuk mengetahui ragam madzhab fiqih
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Fiqih Ikhtilaf

Fiqih ikhtilaf muncul sejalan dengan ilmu fiqih muncul pada zaman
keemasan/kejayaan Islam. Sebagaimana dikutuip oleh Ulama fiqih bahwa kajian
fiqih ikhtilaf muncul apada abad ke-lima Hujriyyah. Ini menunjukkan bahwa fiqih
ikhtiaf memilki kontribusi besar dalam membangun peradaban Islam (al hadharah
al-Islamiyyah). Kondisi ini dapat dilihat banyalnya karya-karya Ulama klasik
dalam bidang fiqih ikhtilaf. Pengertian Ikhtilaf secara bahasa ikhtilaf berasal dari
kata khalafa, yakhlifu, khalfan. Adapun makna khilafan yaitu berbeda, mengganti,
membelakangi, meninggalkan keturunan. Khilafan dapat juga diartikan dengan
bertentangan, tidak sepakat, berselisih paham, perbedaan pendapat atau pikiran
yang masih terjadi di kalangan ulama. Perbedaan pendapat secara linguistik dalam
kajian bahasa inggris, dapat diterjemahkan dalam beraneka ragam yaitu, diffence
of opinion, distingtion, atau controversi. Sedangkan secara istilah ikhtilaf
didefinisikan dengan beragam definisi di antaranya adalah: Taha Jabir
mengatakan bahwa ikhtilaf adalah “Ikhtilaf dan Mukhalifah proses yang dilalui
melalui metode yang berbeda, antara seorang dan yang lainnya dalam bentuk
perbuatan atau perkataan.” Dan menurut al Jurjani ikhtilaf yaitu, “Perbedaan
pendapat yang terjadi di antara beberapa pertentangan untuk menggali
kebenarannya dan sekaligus untuk menghilangkan kesalahannya.”

Dari dua definisi yang dijelaskan oleh beberapa pakar hukum Islam dapat
dipahami bahwa, perbedaan pendapat adalah perbedaan cara atau metode yang
ditempuh oleh seseorang yang berbeda dengan orang lain, baik perkataan,
perbuatan, prinsip, keadaan. Namun al-Jurjani menjelaskan bahwa, tujuan atau
maksud dari perbedaan pendapat untuk memastikan kebenaran atau menolak
kebatilan. Hal ini berbeda dengan definisi lain yang tidak menjelaskan tujuan dari
ikhtilaf. Oleh karena itu diperlukan suatu metode yang benar untuk mencari
kebenaran dan kesalahan dalam ikhtilaf sebagai antisipasinya, munculah ilmu
khilaf. Taha Jabir menjelaskan bahwa, ilmu khilaf adalah ilmu yang membahas
kemungkinan terpeliharanya persoalan yang diperdebatkan yang dilakukan oleh
para Imam mazhab dan sekaligus ilmu yang membahas perselisihan tanpa
sandaran yang yang jelas kepada dalil yang dimaksud. Ilmu ikhtilaf menekankan
cara menetapkan hukum yang sesuai dengan apa yang dilakukan oleh para Imam
mazhab sebelumnya dan juga untuk menolak perselisihan yang tidak diharapkan.
Uraian di atas memperlihatkan bahwa, ikhtilaf yang asalnya hanya sebatas diskusi
atau bantahan tiap-tiap mazhab atau pengikutnya, telah melahirkan ilmu yang
mandiri, yakni ilmu khilaf.

Dari beberapa penjelasan pengertian di atas, maka yang dimaksud ikhtilaf


dalam pembahasan ini adalah perbedaan pendapat di antara ahli hukum Islam
dalam menetapkan sebagian hukum Islam yang bersifat furu’, bukan pada masalah
hukum Islam yang bersifat ushul, yang disebabkan perbedaan pemahaman atau
perbedaan metode dalam menetapkan hukum suatu masalah.

B. Kaidah-Kaidah Untuk Memahami Ikhtilaf


1. Ikhtilaf Adalah Perkara Yang Kauni (Sunnatullah),
Sedangkan Mencegahnya Merupakan Perkara Yang Syar’i. Dengan
kehendak dan hikmah-Nya yang tepat, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
menakdirkan ummat ini berpecah belah sebagaimana halnya (kaum) ahli
kitab sebelumnya telah berpecah belah. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman. “Artinya: Jikalau Rabbmu menghendaki, tentu Dia menjadikan
manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa beselisih pendapat,
kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu, Dan untuk itulah
Allah menciptakan mereka” [Hud: 118-119]
Dan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda. “Artinya: Kaum Yahudi terpecah menjadi 71 atau 72
golongan, kaum Nashara terpecah menjadi 71 atau 72 golongan, dan
umatku akan terpecah menjadi 73 golongan” [Hadits ini dikeluarkan oleh
Imam Tirmidzi, Abu Daud, Ahmad dan lainnya].
Meskipun perpecahan ini terjadi sesuai dengan sunatullah yang
kauni, namun (sebenarnya) Allah melarang terjadinya perpecahan ini
dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi-Nya, memerintahkan supaya
berpegang teguh pada jalan Firqatun Naajiyah Al-Manshurah (kelompok
yang mendapat pertolongan), dan memberikan tanda-tanda pada golongan
ini sehingga orang yang ikhlas hatinya dalam mencari kebenaran tidak
akan tersesat (salah pilih). Ada sebagian orang yang meragukan keabsahan
hadist iftiraq (perpecahan) ini, akan tetapi orang yang betul-betul
memperhatikan jalur-jalur periwayatannya akan memastikan
keabsahannya, terutama karena di sana terdapat hadits-hadits shahih yang
masyhur yang menerangkan tentang keserupaan umat ini dengan umat-
umat sebelumnya. Diantaranya yang paling menonjol ialah tentang
fenomena munculnya iftiraq (penyimpangan) dari manhaj yang haq.
Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang tasyabbuh
(menyerupai umat-umat terdahulu) ini dengan firman-Nya.
“Artinya: Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-
berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka.
Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat” [Ali Imran:
105]
Al-Hafizh Ibnu Katsir Rahimahullah berkata: “Allah Subhanahu
wa Ta’ala telah melarang umat ini menyerupai umat-umat yang telah lewat
dalam iftiraq (perpecahan) dan ikhtilaf (perselisihan) mereka dan dalam
meninggalkan amar ma’ruf serta nahi mungkar, setelah hujjah tegak atas
mereka” [Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim I/390] Allah berfirman.
“Artinya: Janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan
Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka
menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan
apa yang ada pada golongan mereka” [Ar-Ruum: 31-32]
Syaikh As-Sa’di berkata: “Padahal agama ini hanya satu yaitu
memurnikan ibadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, lalu orang-
orang musyrik ini memecah-mecahnya, diantara mereka ada yang
menyembah berhala dan patung, ada yang menyembah matahari dan
bulan, ada yang menyembah para wali dan orang-orang shaleh, ada yang
Yahudi dan ada yang Nasharani. Oleh karenanya Allah berfirman:
[wakanuu syiyaan] maksudnya masing-masing golongan membentuk
kelompok dan membuat ta’ashub (fanatisme) untuk membela kebathilan
yang ada pada mereka, dan menyingkirkan serta memerangi kelompok
lainnya. [kullu khizbin] masing-masing kelompok. [bimaa ladaiyhim]
dengan ilmu (nya masing-masing) yang menyelisihi ilmunya para rasul,
[farihuun] berbangga.
Dengan sikap ini, masing-masing mereka menghukumi bahwa
kelompoknyalah yang benar, sedangkan kelompok lain berada dalam
kebathilan. Disini terdapat peringatan bagi kaum muslimin agar tidak
bercerai berai dan berpecah belah menjadi firqah-firqah, dimana masing-
masing firqah bersikap fanatik terhadap apa yang ada pada mereka, baik
berupa kebenaran maupun kebatilan.
Sehingga (dengan perpecahan ini) jadilah kaum muslimin
bertasyabbuh (serupa) dengan orang-orang musyrik dalam hal perpecahan.
Padahal dien (agama) ini satu, rasulnya satu, sesembahannya satu,
kebanyakan persoalan dien (agama) pun telah ijma diantara para ulama
dan para imam, dan ukhuwah Imaniyah juga telah diikat oleh Alllah
dengan sesempurna-sempurnanya ikatan, kenapa semua itu di sia-siakan?
Malahan dibangun perpecahan diantara kaum muslimin, dibangun
masalah-masalah yang samar atau (dia bangun persoalan-persoalan) furu’
khilafiyah, yang (atas dasar itu kemudian) sebagian kaum Muslimin
menganggap sesat sebagian lainnya, dan masing-masing menganggap
dirinyalah yang istimewa dibanding yang lain. tidak lain ini merupakan
godaan setan yang terbesar, dan merupakan tujuan setan paling utama
untuk memperdaya kaum muslimin?”. [Tafsir Al-Karim Ar-Rahman fi
Tafsir Kalam Al-Manaan]
2. Tidak Semua Ikhtilaf adalah Iftiraq
Dan itu ada karena Ikhtilaf merupakan lafazh yang masih umum,
mencakup beberapa macam (makna), satu diantaranya adalah iftiraq.
Iftiraq menurut bahasa berasal dari kata mufaraqah yang artinya
perpecahan dan perpisahan. Sedangkan menurut istilah para ulama’ iftiraq
adalah keluar dari Sunnah dan Jama’ah pada salah satu ushul (pokok) dari
perkara-perkara ushul yang mendasar, baik dalam aqidah ataupun
amaliyah. Sangat disayangkan, ada sebagian thalabatul ilmi (penuntut ilmu
syar’i) yang menghukum pada beberapa masalah ikhtilaf yang
diperbolehkan sebagai iftiraq. Ini adalah kesalahan yang fatal.
Penyebabnya adalah ketidaktahuan mereka tentang prinsip-prinsip iftiraq,
kapan dan bagaimana bisa terjadi iftiraq? Demikian juga (penyebabnya
adalah -pent) ketidaktahuan mereka tentang masalah yang diperbolehkan
ikhtilaf dan masalah yang tidak diperbolehkan ikhtilaf. Keterangan berikut
ini akan membuat perbedaan antara ikhtilaf yang diperbolehkan dengan
iftiraq menjadi jelas.
1) Iftiraq tidak akan terjadi kecuali pada ushul kubra kulliyah (pokok-
pokok yang besar dan mendasar) yang tidak ada peluang untuk
diperselisihkan. Pokok-pokok yang telah jelas berdasarkan nash qathi
atau ijma’ atau telah jelas sebagai manhaj ilmiah Ahlus sunnah wal
Jama’ah yang tidak lagi diperselisihkan (oleh Ahlus Sunnah)
mengenainya.
2) Ikhtilaf (perselisihan pendapat) yang diperbolehkan itu bersumber dari
ijtihad dan niat yang baik, dan orang yang salah akan diberi pahala
apabila ia mencari kebenaran. Sementara Iftiraq (perpecahan) tidak
terjadi dari kesungguh-sungguhan dalam mencari kebenaran dan niat
yang baik, dia timbul dari mengikuti hawa nafsu.
3) Iftiraq berkaitan erat dengan ancaman Allah, dan semua iftiraq
menyimpang serta binasa, adapun ikhtilaf yang diperbolehkan tidaklah
seperti itu betapapun hebat ikhtilaf yang terjadi diantara kaum
muslimin. [Perbedaan diantara keduanya telah dijelaskan oleh Syaikh
Nashr Al-Aql dalam muhadharah (ceramah) yang sangat berharga
“Mafhumul Iftiraq* kemudian muhadharah itu dicetak dalam bentuk
buku]
3. Kebenaran Itu Hanya Satu, Tidak Terbilang.
Walaupun dalam perkara-perkara praktis. Ini adalah perkara yang
jelas. Sebagian orang ada yang berpendapat bahwa semua mujtahid (orang
yang pantas untuk berijtihad -pent) itu benar. Ini adalah bualan belaka
yang tidak perlu dijelaskan. Sekalipun demikian, kami akan bawakan dalil
atas kebathilannya yang sebenarnya banyak, (namun kami sebutkan satu)
diantaranya.
“Artinya: Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an? Kalau
kiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat
pertentangan yang banyak di dalamnya” [An-Nisa’: 82]
Kandungan ayat itu sangat jelas. Dengan demikian, setiap hal yang
padanya terjadi ikhtilaf tadhadh (perselisihan pendapat kontrakdiktif),
maka kebenaran yang ada padanya hanya satu, karena apapun yang berasal
dari Allah, tidak akan ditemukan ikhtilaf padanya. Akal yang sehat pasti
sesuai (sepakat) dengan dalil naql yang sharih dalam menolak ikhtilaf
padanya. (Misalnya) dikatakan kepada Zaid (hanya contoh) : “Jika anda
melakukan pekerjaan ini maka anda mendapat pahala dan berada di
syurga, tetapi pada saat yang sama anda mendapat dosa dan berada di
neraka. (Ini jelas tidak mungkin). Dan tidak mungkin pula terjadi, dengan
satu pekerjaan seseorang berbuat maksiat, sementara pada saat yang sama,
dalam pekerjaan yang sama dia juga berbuat ta’at kepada Allah”.

C. Pengertian Madzhab

Menurut Bahasa “mazhab” berasal dari shighah mashdar mimy (kata sifat)
dan isim makan (kata yang menunjukkan tempat) yang diambil dari fi’il madhi
“dzahaba” yang berarti “pergi”. Sementara menurut Huzaemah Tahido Yanggo
bisa juga berarti al-ra’yu yang artinya “pendapat”. Sedangkan secara terminologis
pengertian mazhab menurut Huzaemah Tahido Yanggo, adalah pokok pikiran atau
dasar yang digunakan oleh imam Mujtahid dalam memecahkan masalah, atau
mengistinbatkan hukum Islam. Selanjutnya Imam Mazhab dan mazhab itu
berkembang pengertiannya menjadi kelompok umat Islam yang mengikuti cara
istinbath Imam Mujtahid tertentu atau mengikuti pendapat Imam Mujtahid tentang
masalah hukum Islam. Jadi bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud mazhab
meliputi dua pengertian

1. Mazhab adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh seorang Imam
Mujtahid dalam menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan kepada al-Qur’an
dan hadis.

2. Mazhab adalah fatwa atau pendapat seorang Imam Mujtahid tentang hukum
suatu peristiwa yang diambil dari al-Qur’an dan hadis.

Dalam perkembangan mazhab-mazhab fiqih telah muncul banyak mazhab


fiqih. Menurut Ahmad Satori Ismail, para ahli sejarah fiqh telah berbeda pendapat
sekitar bilangan mazhab-mazhab. Tidak ada kesepakatan para ahli sejarah fiqh
mengenai berapa jumlah sesungguhnya mazhab-mazhab yang pernah ada.

Namun dari begitu banyak mazhab yang pernah ada, maka hanya beberapa
mazhab saja yang bisa bertahan sampai sekarang. Menurut M. Mustofa Imbabi,
mazhab-mazhab yang masih bertahan sampai sekarang hanya tujuh mazhab saja
yaitu: mazhab hanafi, Maliki, Syafii, Hambali, Zaidiyah, Imamiyah dan Ibadiyah.
Adapun mazhab-mazhab lainnya telah tiada.
BAB III
PEMBAHASAN

A. Awal lahirnya madzhab dalam Islam

Sebenarnya ikhtilaf telah ada di masa sahabat, hal ini terjadi antara lain
karena perbedaan pemahaman di antara mereka dan perbedaan nash (sunnah)
yang sampai kepada mereka, selain itu juga karena pengetahuan mereka dalam
masalah hadis tidak sama dan juga karena perbedaan pandangan tentang dasar
penetapan hukum dan berlainan tempat Dari fragmentasi sejarah, bahwa
munculnya madzhab-madzhab fiqih pada periode ini merupakan puncak Dari
perjalanan kesejarahan tasyri’. Bahwa munculnya madzhab-madzhab fiqih itu
lahir dari perkembangan sejarah sendiri, bukan karena pengaruh hukum romawi
sebagaimana yang dituduhkan oleh para orientalis.

Fenomena perkembangan tasyrik pada periode ini, seperti tumbuh


suburnya kajian-kajian ilmiah, kebebasan berpendapat, banyaknya fatwa-fatwa
dan kodifikasi ilmu, bahwa tasyri’ memiliki keterkaitan sejarah yang panjang dan
tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Munculnya madzhab dalam
sejarah terlihat adanya pemikirah fiqih dari zaman sahabat, tabi’in hingga muncul
madzhab-madzhabfiqih pada periode ini. Seperti contoh hukum yang
dipertentangkan oleh Umar bin Khattab dengan Ali bin Abi Thalib ialah masa
‘iddah wanita hamil yang ditinggalk mati oleh suaminya. Golongan sahabat
berbeda pendapat dan mengikuti salah satu pendapat tersebut, sehingga
munculnya madzhab-madzhab yang dianut.

Di samping itu, adanya pengaruh turun temurun dari ulama-ulama yang


hidup sebelumnya tentang timbulnya madzhab tasyri’, ada beberapa faktor yang
mendorong, diantaranya:

1. Karena semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam sehingga hukum islam


pun menghadapi berbagai macam masyarakat yang berbeda-beda tradisinya.
2. Munculnya ulama-ulama besar pendiri madzhab-madzhab fiqih berusaha
menyebarluaskan pemahamannya dengan mendirikan pusat-pusat studi tentang
fiqih, yang diberi nama Al-Madzhab atau Al-Madrasah yang diterjemahkan oleh
bangsa barat menjadi school, kemudian usaha tersebut dijadikan oleh murid-
muridnya.

3. Adanya kecenderungan masyarakat Islam ketika memilih salah satu pendapat


dari ulama-ulama madzhab ketika menghadapi masalah hukum. Sehingga
pemerintah (kholifah) merasa perlu menegakkan hukum islam dalam
pemerintahannya.

Permasalahan politik, perbedaan pendapat di kalangan muslim awal


trntang masalah politik seperti pengangkatan kholifah-kholifah dari suku apa, ikut
memberikan saham bagi munculnya berbagai madzhab hukum.

B. Perbedaan Madzhab dan Penyikapannya

Berkenaan dengan sikap dan etika dalam menghadapi perbedaan pendapat dengan
cara menyikapi perbedaan pendapat dan pandangan yang dicontohkan Rasulullah
saw., yaitu dengan cara terlebih dahulu mendengar seluruh pendapat yang
berbeda-beda dari para sahabatnya yang mulia. Banyak sekali peristiwa dan kasus
yang membuktikan sikap Rasulullah ini. Prinsip mendengar dan bermusyawarah
yang diterapkan oleh Rasulullah tersebut tidak lain merupakan perwujudan dari
firman Allah Swt dalam surat Ali Imran ayat 159 yang berbunyi sebagai berikut:

dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu (QS. Ali Imran: 159)

Rasulullah saw dalam sejarah selalu berusaha mendengar pendapat dari para
sahabatnya, kemudian menyaring sekaligus memilih pendapat terbaik dan
bermanfaat. Contahnya al-Hubab bin al-Munzir bin al-Jumuh menyarankan, agar
rumah yang ditempati Rasulullah saw dalam perang Badar diubah posisinya dan
dimajukan hingga mendekat ke beberapa sumber air yang telah dikuasai oleh umat
Islam dalam wilayah, di mana terdapat banyak sumber air tersebut merupakan
salah satu posisi paling strategis untuk pertahanan dan penyusunan kekuatan umat
Islam. Rasulullah saw dan para sahabatnya kemudian melakukan perubahan
sesuai saran al-Hubab tersebut. Saran tersebut membuahkan manfaat yang besar
bagi kaum Muslimin saat itu. Dari keterangan ayat dan hadis menunjukkan,
perbedaan pada masa Nabi diselesaikan dengan musyarawah. Teladan yang
diperlihatkan Nabi saw dari hadis yang riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim
meriwayatkan dari Abdullah bin Umar, yang artinya yaitu:12 Artinya: dari Ibnu
Umar berkata: Nabi saw mengatakan bagi kami ketika kembali dari Azhab
(Janganlah ada satupun yang shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani
Quraizhah. Lalu ada di antara mereka mendapati waktu Ashar di tengah jalan,
maka berkatalah sebagian mereka: “Kita tidak shalat sampai tiba di sana.” Yang
lain mengatakan: “Bahkan kita shalat saat ini juga. Bukan itu yang beliau inginkan
dari kita.” Kemudian hal itu disampaikan kepada Rasulullah saw, namun Rasul
tidak mencela salah satunya.” (H.R. Bukhari)

Berdasarkan Hadis di atas dapat disimpulkan bahwa, Nabi tidak mencela salah
satu pihak yang berlawanan pendapat dengan kata-kata bid’ah, sesat, kafir, dan
sebagainya, bahkan tidak mencela salah satunya. Masingmasing pihak punya
argumen. Sahabat yang shalat Ashar di tengah jalan bukan ingkar kepada Nabi,
namun mereka mencoba shalat di awal waktu sebagaimana diperintahkan Allah
swt dan Rasul-Nya. Adapun sahabat yang shalat belakangan di perkampungan
Bani Quraizah juga tidak melanggar perintah shalat di awal waktu, namun mereka
mengikuti perintah Nabi di atas. Imam mazhab saling memuji satu sama lain,
walaupun mereka berbeda pendapat. Mereka saling menghargai, dan menghormati
perbedaan pendapat. Pernyataan tersebut dapat dilihat beberapa contoh dan
ungkapkan di bawah ini, 1. Imam Abu Hanifah. Para sahabat Imam Hanafi dan
Imam Syafi’i, serta Imam-Imam yang lain, berpendapat bahwa, wajib membaca
basmalah dalam shalat. Karena basmalah merupakan salah satu dari ayat dalam
surah Al-Fatihah. Pada kebiasaannya di Kota Madinah dilaksanakan shalat
berjama’ah dengan Imam-Imam bermazhab Maliki. Para pengikut Hanafi dan
Syafi’i ketika shalat mengikuti Imam bermazhab Maliki mereka tidak
mempersoalkannya.13 2. Imam Syafi’i pernah shalat subuh di dekat kuburan Abu
Hanifah tanpa kunut untuk menghormati Imam Abu Hanifah, pada hal kunut
menurut Imam Syafi’i termasuk perbuatan sunat ab’ad.14 Ini menunjuk betapa
mulia dan hormat Imam Syafi’i kepada ulama, sekalipun tidak sesuai dengan
mazhabnya. 3. Imam Nawawi salah seorang mujtahid tarjih dalam mazhab Syafi’i
berkata: “Dan adapun yang terkait masalah ijtihad, tidak mungkin orang awam
menceburkan diri ke dalamnya, mereka tidak boleh mengingkarinya, tetapi itu
tugas ulama. Kemudian para ulama hanya mengingkari dalam perkara yang
disepakati para imam. Adapun dalam perkara yang masih diperselisihkan, maka
tidak boleh ada pengingkaran di sana. Karena berdasarkan dua sudut pandang
setiap mujtahid adalah benar. Ini adalah sikap yang dipilih oleh mayoritas para
ulama peneliti (muhaqqiq). Sedangkan pandangan lain mengatakan bahwa, yang
benar hanya satu, dan yang salah kita tidak tahu secara pasti, dan dia telah
terangkat dosanya.” 15 Penyataan Imam Nawawi menjelaskan bahwa, yang boleh
diingkari hanyalah yang jelas-jelas bertentangan dengan nas qath’i (teks yang
pasti) dan ijma’. Adapun masalah ijtihadiyah, maka tidak bisa saling menganulir/
membatalkan. Ibnu Taymiyah berkata: ”Seandainya setiap kali dua orang muslim
yang berbeda pendapat dalam suatu masalah saling menjauhi dan memusuhi,
niscaya tidak akan tersisa sedikitpun ikatan ukhuwah di antara kaum muslimin”.

Pernyataan ibnu Taimiyah ini menegaskan perbedaan pendapat bukan


menimbulkan terjadinya permusuhan sesama muslim dan bukan cara memutuskan
tali persuadaraan. Para Imam mazhab tidak hanya menghormati pendapat mazhab
lain, bahkan di antara mereka saling memuji, di antaranya Imam Syafi’i memuji
Imam Abu Hanifah, yaitu: Imam Syafi’i: Siapa saja mau tahu ilmu fikih, maka
bergantung kepada Abu Hanifah, siapa yang mau tahu sejarah, maka bergantung
pada Muhammad ibn Ishaq. Dan siapa saja yang mau tahu hadis, maka,
bergantung pada Imam Malik dan siapa saja mau tahu tafsir, maka bergantung
pada maqatil bin Sulaiman.”

Imam Syafi’i juga memuji Imam Malik, pernyataan ini dapat dilihat di bawah ini;
Imam Syafi’i mengatakan: Apabila datang hadis dari Imam Malik, maka itu
bagaikan bintang, siapa yang menginginkan, maka, dia termasuk dalam keluarga
Malik. Demikian juga Imam Ahmad bin Hanbal memuji Imam as-Syafi’i. Pada
sebuah riwayat disebutkan, yaitu; Muhammad bin Harun al-Zanjani berkata,
Abdullah bin Ahmad berkata: Saya berkata kepada bapakku (Ahmad bin Hanbal),
siapakah Syafi’i itu, sehingga engkau banyak mendo’akannya. Ahmad bin Hanbal
berkata, wahai anakku! Dia itu seperti matahari bagi dunia, kesehatan bagi
manusia. Apakah yang bisa menggantikan kedua hal itu. Dari berbagai keterangan
dan sejarah perkembangan hukum Islam menunjukkan bahwa, perbedaan
pendapat semenjak masa Nabi Muhamamad, masa sahabat, tabi’in sampai ke
masa Imam mazhab terus berlangsung, tetap dalam suasana yang harmonis, saling
menghargai, saling memuji dan toleransi. Sementara Imam bin Abdil Barr dalam
kitabnya; Jami’ Bayanil Ilmi Wa Ahlihi menyebutkan beberapa ungkapan ulama
yang masyhur di antaranya dari Imam Qatadah ra yang berbunyi: ‫يعرف لم من‬
‫بأنفهه الفقه يشم لم االختالف‬

“Barang siapa yang tidak mengenal adanya perbedaan pendapat, maka dia belum
mencium fikih dengan hidungnya. ”Demikian juga al-Amidi menyebutkan
perkataan Imam Sa’id bin Arubah dalam alMuwafaqah, dengan bunyinya yaitu:
Dari Sa’id bin Ibn Abi Arubah berkata: “Barang siapa yang belum pernah
mendengar adanya perbedaan pendapat, maka janganlah kalian anggap dia
sebagai seorang yang alim”. Imam Utsman bin Atha’ meriwayatkan dari ayahnya
berkata yang artinya: diriwayatkan dari Usman bin Atha’ dari ayahnya berkata:
Tidak sepantasnya bagi seseorang untuk memberikan fatwa untuk manusia
sehingga dia tahu betul akan perbedaan pendapat yang ada. Karena jika tidak
demikian, maka dia akan menolak ilmu yang lebih kuat (dalilnya) dari pada apa
yang selama ini dia yakini”.

C. Analisis Bermadzhab dan Urgensinya

Memang tak ada perintah wajib bermadzhab secara shariih, namun


bermadzhab wajib hukumnya, karena kaidah syariah adalah Maa Yatimmul
waajib illa bihi fahuwa wajib, yaitu apa apa yg mesti ada sebagai perantara untuk
mencapai hal yg wajib, menjadi wajib hukumnya. Misalnya kita membeli air, apa
hukumnya? tentunya mubah saja, namun bila kita akan shalat fardhu tapi air tidak
ada, dan yg ada hanyalah air yg harus beli, dan kita punya uang, maka apa
hukumnya membeli air? dari mubah berubah menjadi wajib tentunya. karena perlu
untuk shalat yg wajib. demikian pula dalam syariah ini, tak wajib mengikuti
madzhab, namun karena kita tak mengetahui samudra syariah seluruh madzhab,
dan kita hidup 14 abad setelah wafatnya Rasul saw, maka kita tak mengenal
hukum ibadah kecuali menelusuri fatwa yg ada di imam imam muhaddits
terdahulu, maka bermadzhab menjadi wajib, karena kita tak bisa beribadah hal hal
yg fardhu / wajib kecuali dengan mengikuti salah satu madzhab itu, maka
bermadzhab menjadi wajib hukumnya.

Sebagaiman suatu contoh kejadian ketika zeyd dan amir sedang berwudhu,
lalu keduanya kepasar, dan masing masing membeli sesuatu di pasar seraya
keduanya menyentuh wanita, lalu keduanya akan shalat, maka zeyd berwudhu dan
amir tak berwudhu, ketika zeyd bertanya pada amir, mengapa kau tak berwudhu?,
bukankah kau bersentuhan dengan wanita?, maka amir berkata, aku
bermadzhabkan maliki, maka zeyd berkata, maka wudhu mu itu tak sah dalam
madzhab malik dan tak sah pula dalam madzhab syafii, karena madzhab maliki
mengajarkun wudhu harus menggosok anggota wudhu, tak cukup hanya
mengusap, namun kau tadi berwudhu dengan madzhab syafii dan lalu dalam
masalah bersentuhan kau ingin mengambil madzhab maliki, maka bersuci mu kini
tak sah secara maliki dan telah batal pula dalam madzhab syafii.

Demikian contoh kecil dari kebodohan orang yg mengatakan bermadzhab


tidak wajib, lalu siapa yg akan bertanggung jawab atas wudhunya?, ia butuh sanad
yg ia pegang bahwa ia berpegangan pada sunnah nabi saw dalam wudhunya,
sanadnya berpadu pada Imam Syafii atau pada Imam Malik?, atau pada lainnya?,
atau ia tak berpegang pada salah satunya sebagaimana contoh diatas dan
berpindah pindah madzhab tentunya boleh boleh saja bila sesuai situasinya, ia
pindah ke wilayah malikiyyun maka tak sepantasnya ia berkeras kepala dg
madzhab syafii nya, demikian pula bila ia berada di indonesia, wilayah madzhab
syafi’iyyun, tak sepantasnya ia berkeras kepala mencari madzhab lain.

Berkata Imam badruddin Az Zarkasi daam kitab bahrul muhith 6/209:

" ‫األربعة_) االتفاق بين المسلمين على أن الحق منحصر في هذه المذاهب(أي المذاهب وقد وقع‬
‫ فال يجوز أن يقع االجتهاد إال‬،‫هـ وحينئذ فال يجوز العمل بغيرها‬.‫فيها" ا‬

telah terjadi mufakat antara ulama muslimin bahwa kebenaran itu teracakup dalam
madhab empat ini, oleh sebab itu maka tidak boleh mengamalkan dengannya
maka tidak boleh terjadi ijtihad kecuali dalam empat madhab itu.

berkata ibnu muflih dalam kitab alfuru 11/103:

‫" وفي االفصاح ان االجماع انعقد على تقليد كل من المذاهب االربعة وان الحق ال يخرج عنهم‬

dan dalam kitab al ifsoh sesungguhnya ijma itu terikat di atas taqlid terhadap salah
satu empat madhab itu, dan al haq tidak keluar darinya.

berkata ibnu taemiyah dalam alfatawi al misriyah 81;

"‫ إن أراد أنّه ال يتق ّيد وقول‬،‫ ال أتق ّيد بأحد من هؤالء األئمة األربعة‬:‫بواحد بعينه دون الباقين القائل‬
‫ وإن أراد أنّي‬،‫ بل هو الصواب من القولين‬،‫ بل أخالفها فهو مخطئ في فقد أحسن‬،‫ال أتقيّد بها كلّها‬
‫ إذ الحق ال‬،‫"يخرج عن هذه األربعة في عامة الشريعة الغالب قطعًا‬

Dan perkataan orang: "aku tidak akan terikat dengan salah satu madhab
empat",kalau maksud perkataan tersebut adalah untuk tidak menetukan hanya satu
madhab saja dengan menafikan madhab lainnya,maka itu benar,malah itu adalah
salah satu dari dua pendapat [tentang taqlid],kalau maksud perkataan itu adalah
tidak mau terikat dengan madhab secara keseluruhan, malah dengan menyelisihi
semua madhab yang ada,maka lumrahnya itu menyimpang,malah bukan lumrah
lagi tapi pasti menyimpangnya,karena alhaq tidak keluar dari empat madhab ini
dalam keumuman syariat.
Maka bagaimana besarnya keruksakan dan permusuhan yang akan terjadi
dengan adanya orang yang belajar dan berfatwa dengan madhabnya orang yang
tidak bermadhab malah justru mengasingkan diri dari madhab yang empat??
maka berapa banyak barisan yang akan berpecah dan berapa banyak
permusuhan akan banyak terjadi?
Malah Dalam berbagai Kitabnya ibnu taemiyah pun secara umum mengikuti
madhab hambali dan terkadang mengikuti pendapat madhab selainnya, juga
terkadang pendapatnya berbeda dengan semua pendapat madhab empat, misal
dalam masalah tawasul dan syadu rihal, juga masalah thalaq diantara buktinya
adalah:

1.Imam ibnu muflih murid ibnu taemiyah menyelisihi pendapat gurunya dan
mengingatkan supaya jangan di pegang seperti dalam masalah batal puasa dengan
gibah, ibnu muflih menyatakan bahwa ibnu taemiyah mengambilnya dari
pendapat ibnu hazm, juga peringatan ibnu muflih dalam masalah syaddu rihal.

2.Ibnu rojab mengkritik ibnu taemiyah dengan menulis 2 kitab utk membantah
Ibnu taemiyah: 1. ar rod ala man itabaa goiro madzahib al arbaah:bantahan atas
orang yg mengikuti selain madhab empat, maka secara hakikat yg di maksud ibnu
rojab dengan risalahnya itu adalah ibnu taemiyah karena beliau meninggalkan
manhaj ibnu taemiyah di akhir hayatnya sebagaiman di sebutkan oleh ibnu hajar.
2. kitab muskilul ahadis waridah fi anna tholak salas wahidah, ibnu rojab juga
membantah ibnu taemiyah dalam masalah talak 3 sekaligus di hitung satu...

3. Perkataan sebagain ulama madhab hambali tentang ibnu taemiyah, Berkata


Imam mustofa as syato al hambali dalam kitab an nuqul as syar'iyah
"‫ وال ورد فيها مسألة منع‬،‫ليست من مذهب اإلمام أحمد‬..‫رواية عن اإلمام اإلستغاثة باألنبياء والصالحين‬
‫ التقي ابن‬:‫يعني‬-‫ ونص فقهاء الحنابلة على أنه‬،‫ فمن ادعى أنه حنبلي المذهب أحمد‬،‫ال يتابع فيها‬-‫تيمية‬
‫"انتهى المراد فليس له القول‬-‫المنع‬:‫أي‬-‫بها‬.
masalah larangan istigosah dengan nabi dan solihin itu bukanlah madhab imam
ahmad dan tidak ada riwayat larangan tersebut daripada imam ahmad dan telah
mencatat fuqoha hanabilah atas bolehnya, tetapi ibnu taemiyah tidak mengikuti
madhab imamnya,barang siapa bermadhab dgn imam ahmad maka maka tdk ada
jalan utk melarang hal tersebut.
Bukti Imam Iatighosahnya Imam Ahmad adalah: di riwayatkan dari Imam
Ahmad dari putranya yaitu ABdullah dalam kitab almasail imam ahmad dengan
riwayat putranya hal 217:

‫ أو‬، ‫ حججت خمس حجج منها ثنتين [ راكبا ] و ثالثة ماشيا‬: ‫ثنتين ماشيا و ثالثة سمعت أبي يقول‬
‫ فجعلت أقول‬، ‫ فضللت الطريق في حجة و كنت ماشيا‬، ‫ راكبا‬: ( ) ! ‫يا عباد هللا دلونا على الطريق‬
‫الطريق فلم أزل أقول ذلك حتى وقعت على‬
. ‫أو كما قال أبي‬
aku mendengar ayahku berkata: aku berhaji 5 kali, dua kali dengan
menunggang tunggangan dan dua kali dengan jalan kaki atau dua kali jalan kaki
dan tiga kali menaiki tunggangan, lalu aku tersesat dalam salah satu perjalanan
haji dengan keadan jalan kaki, maka aku berkata: wahai hamba Allah tunjukanlah
jalan padaku,maka aku tidak henti henti berkata itu sampai akhirnya aku pun
menemukan jalan semula,atau sebagaimana perkataan ayahku. Dan riwayat ini di
ceritakan juga oleh al baihaqi dalam as suab al iman 2/455.
Dalam cerita di atas, imam ahmad sedang mengamalkan kandungan hadis Nabi
SAW:

“ ‫ و هو بأرض ليس بها أنيس‬, ‫ أو أراد أحدكم غوثا‬, ‫ يا عباد هللا إذا أضل أحدكم شيئا‬: ‫فليقل‬
‫ فإن هلل عبادا ال‬, ‫ يا عباد هللا أغيثوني‬, ‫نراهم أغيثوني‬

Apabila kalian kehilangan sesuatu atau menginginkan pertolongan sedangkan


kalian sedang berada di daerah (bumi) yang tidak ada seseorang yang kau kenal,
maka katakanlah: “wahai hamba Allah. Tolonglah aku! wahai hamba Allah.
Tolonglah aku! Karena sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba yang tidak
bisa dilihat.” (HR. Athobroni dalam alkabir, Anawawi dalam majmu 1/55 Al-
Bazzar dengan lafad agak berbeda dan berkata Alhafid Ibnu hajar sebagaimana di
sebutkan dalam syarah riyadus solihin karya ibnu allan:

" ‫ ال نعلم يروى‬: ‫ أخرجه البزار و قال‬، ‫هذا حديث حسن اإلسناد غريب جدا‬
‫عن النبي صلى هللا عليه وسلم بهذا اللفظ إال من هذا الوجه بهذا اإلسناد‬
Hadis ini statusnya hasan, sanadnya gorib sekali di keluarkan oleh imam: bazzar
dan aku tidak tau dari Nabi dengan lafad ini kecuali dengan lafad matan ini
dengan sanad ini.
D. Ragam Madzhab Fiqih
1. Aliran Hanafi
Kelahiran dan sikap politik Abu Hanifah (80-150 H/669-767 M)
Aliran ini didirikan oleh Abu Hanifah, yang nama lengkapnya
adalah al-Nu’man ibn Tsabit ibn Zuthi (80-150 H). Secara politik, Abu
Hanifah hidup dalam dua generasi. Ia dilahirkan di Kufah pada tahun 80
H, artinya ia lahir pada zaman dinasti ‘Ummayah, tepatnya pada zaman
kekuasaan ‘Abd al-Malik ibn Marwan. Beliau meninggal pada zaman
kekuasaan Abbasiah.
Ia hidup selama 52 tahun pada zaman ‘Umayyah dan 18 tahun pada
zaman ‘Abbasiyah. Selama hidupnya, ia melakukan ibadah haji lima puluh
lima kali. Sikap politiknya berpihak pada keluarga ‘Ali (Ahlul Bait) yang
selalu dianiaya dan ditindas oleh Dinasti ‘Ummayah. Ketika Zaid berontak
terhadap Hisyam dan terbunuh, termasuk putranya, Yahya ibn Zaid, Abu
Hanifah sangat berduka. “Perjuangan Zaid sama dengan perjuangan Nabi
Muhammad Saw dalam perang Badar,” katanya.
Ketika yazid ibn ‘Umar ibn Hubairah (zaman Dinasti ‘Umayyah)
menjadi Gubernur Irak, Abu Hanifah diminta menjadi hakim di pengadilan
atau bendaharawan negara, tetapi ia menolaknya. Akibatnya, ia ditangkap
dan dipenjarakan, bahkan dicambuk. Namun, atas pertolongan juru
cambuk, ia berhasil meloloskan diri dari penjara dan pindah ke Mekah. Ia
tinggal disana selama enam tahun (130-136 H). setelah pemerintahan
‘Umayyah berakhir, ia kembali ke Kufah dan menyambut kekuasaan
Abbasiah dengan rasa gembira.
Tidak berbeda dengan pemerintahan Bani Umayyah, Bani Abbas
juga melakukan kekerasan terhadap Ahlul Bait, seperti tindakan yang
dilakukan oleh al-Manshur terhadap al-Nafs al-Zakiyah pada tahun 145 H.
Abu Hanifah tampil mengkritik Abbasiah. Ia mengkritik pula para hakim
dan mufti pemerintah. Ketika diminta oleh al-Manshur untuk menjadi
hakim di pengadilan, Abu Hanifah menolaknya. Akhirnya, ia dipenjara
dan dicambuk. Ia meninggal pada tahun 150 H akibat penderitaannya
dalam tahanan.

Mazhab Hanafi menjadi salah satu mazhab fikih tertua dalam


masyarakat Muslim. Pertama kali dirintis oleh Imam Abu Hanifah (150
H). Seorang ulama-entrepreneur yang tinggal di Kota Kufah, Irak.
Abu Hanifah meninggalkan tiga karya tulis, yaitu kitab Al-Fiqh Al-
Akbar, Al-Fiqh Al-Absath, dan Al-Alim Wa Al-Muta'allim. Tidak ada yang
secara khusus membahas tentang hukum Islam. Pemikiran hukum Islam
Abu Hanifah lebih banyak diperoleh dari karya-karya muridnya, seperti
Abu Yusuf (182 H) dan Muhammad bin Al-Hasan Al-Syaiban (189 H).
Abu Yusuf mengarang Kitab al-Atsar dan Kitab Al-Kharaj. Kedua
karya tersebut menarik perhatian pemerintah pada era Abbasiyah. Khalifah
Harun Al-Rasyid mengangkat Abu Yusuf sebagai Hakim Agung.
Tugasnya tak hanya memutus persoalan hukum yang terjadi di wilayah
kekuasaan Abbasiyah, tetapi juga mengangkat para hakim lokal.
Abu Yusuf lebih banyak mengangkat para ahli yang memiliki
kemampuan memutuskan hukum dengan metode Imam Abu Hanifah.
Karena kebijakan ini, masyarakat pada akhirnya lebih mengenal
pandangan-pandangan hukum Mazhab Hanafi dibanding pandangan
mazhab lain. Di antara lokasi yang menjadi pusat penyebaran Mazhab
Hanafi adalah Irak, Khurasan, Syam, Mesir, dan wilayah Afrika Utara
lainnya.
Al-Mayuriqi (488 H), dalam kitab Jadwah Al-Muqtabis Fi Dzikri
Wulat Al-Andalus, membenarkan keterlibatan kekuasaan dalam
penyebaran Mazhab Hanafi. Dia mengutip pernyataan Ibn Hazm, seorang
ulama Andalusia bermazhab Zahiri yang mencatat, "Dua mazhab yang
berkembang karena dukungan kekuasaan adalah Mazhab Hanafi di Timur
dan Mazhab Maliki di Andalusia."
Pengaruh Mazhab Hanafi yang kuat di masyarakat Abbasiyah,
ditunjukkan salah satunya ketika Khalifah Al-Qadir Billah mengganti
hakim kota Baghdad dengan hakim bermazhab Syafi'i bernama Al-Barizi.
Menurut Ahmad Timur dalam buku Nazhrah Tarikhiyyah Fi
Huduts Al-Madzahib Al-Fiqhiyyah Al-Arba'ah, kebijakan tersebut memicu
konflik di masyarakat bawah. Khalifah Al-Qadir Billah akhirnya
mengembalikan jabatan hakim kepada ulama bermazhab Hanafi untuk
menghentikan keresahan.
Sejak saat itu, Mazhab Hanafi memiliki posisi yang kuat dalam
pemerintahan.
Dalam catatan Christie S. Warren yang dipublikasikan Oxford
Bibliographies, dituliskan bahwa pada abad ke-16 Kekhalifahan Turki
Usmani mengadopsi Mazhab Hanafi sebagai mazhab resmi negara.
Chamim Tohari dalam artikelnya yang berjudul Majallah Al-Ahkam Al-
Adliyyah menulis, pada tahun 1889, Turki Usmani meresmikan kitab
Majallah Al-Ahkam Al-Adliyah.
Kitab ini disusun untuk menyamakan rujukan hukum para hakim di
bawah kekhalifahan Turki Usmani yang sebelumnya tidak memiliki kitab
kompilasi hukum yang menjadi rujukan bersama. Kitab hukum ini
diadopsi dari kitab-kitab muktabar dalam mazhab Hanafi. Hal ini
menunjukkan, sekali lagi, pengaruh mazhab Hanafi yang kuat pada era
kekhalifahan Turki Usmani.
Dalam Ensiklopedi Tunisia (Al-Mausu'ah Al-Tunisiyyah Al-
Maftuhah) disebutkan, Mazhab Hanafi menjadi salah satu mazhab yang
punya banyak pengikut di Tunisia. Mazhab Hanafi telah masuk sejak abad
ketiga Hijriah. Namun para pengikut Mazhab Hanafi mendapatkan posisi
mereka semakin kuat ketika Turki Usmani menguasai Tunisia. Mazhab
Hanafi menjadi mazhab resmi.
Para pejabat, tentara, dan para hakim bermazhab Hanafi. Syaikhul
Islam, jabatan mufti tertinggi negara, selalu dipegang ulama pengikut
bermazhab Hanafi.
Menurut Abu Zahrah dalam buku Tarikh Al-Madzahib Al-
Islamiyyah, ada tiga faktor perkembangan mazhab Hanafi. Pertama,
banyaknya murid Abu Hanifah yang memiliki kecakapan dalam menjawab
permasalahan-permasalahan hukum.
Mereka menguasai metode pengambilan keputusan hukum Abu
Hanifah, pendapat-pendapat pendiri mazhab, dan dasar-dasar yang
digunakannya. Hal ini membuat mereka dapat dengan cepat menemukan
hukum agama terkait dengan kasus yang sedang terjadi. Selanjutnya
mereka menjadi rujukan masyarakat luas.
Kedua, pengembangan teori pengambilan keputusan hukum. Pada
saat yang bersamaan, pengikut mazhab lain belum menyadari pentingnya
pengembangan teori tersebut. Misalnya tentang proses penemuan alasan
hukum atau biasa disebut illat al-hukm.
Dengan memahami alasan di balik suatu keputusan hukum, mereka
dapat melakukan analogi untuk kasus-kasus baru. Hal ini menjadikan
Mazhab Hanafi lebih maju dibanding mazhab hukum lainnya. Bahkan,
kasus-kasus yang belum timbul di masyarakat dapat diantisipasi sebelum
terjadi.
Ketiga, penyebaran ke wilayah yang memiliki adat-istiadat yang
beraneka macam. Hal ini akan menguji kemampuan para hakim
bermazhab Hanafi menjawab permasalahan yang timbul. Pengalaman ini
membuat para ulama pengikut Mazhab Hanafi dapat mengembangkan
metode pengambilan hukum dan mengkompilasi fatwa yang sangat kaya.
Penyebaran ke berbagai wilayah tersebut tidak dapat dilepaskan
dari dukungan penguasa Abbasiyah di masa lalu dan penguasa Turki
Usmani pada era modern.
Saat ini, mazhab Hanafi menjadi mazhab yang dominan di
beberapa negeri mayoritas Muslim. Christie S. Warren mencatat bahwa
Mazhab Hanafi banyak dianut di Yordania, Lebanon, Pakistan, Suriah,
Turki, Uni Emirat Arab, Bangladesh, Mesir, India, dan Irak. Konstitusi
Afghanistan banyak merujuk kepada fatwa-fatwa Mazhab Hanafi.
Pengaruh Mazhab Hanafi dapat dilihat dalam sejumlah praktik
masyarakat di negara-negara yang mengikuti mazhab tersebut. Salah satu
praktik ibadah yang didasarkan kepada Mazhab Hanafi adalah azan yang
digunakan di sebagian masjid di India dan Afghanistan.
Di Indonesia yang pada umumnya bermazhab Syafi'i, azan dimulai
dengan bacaan takbir sebanyak empat kali. Praktik berbeda yang dapat
ditemui pada sebagian masjid penganut Mazhab Hanafi, bacaan takbirnya
hanya dua kali. Azan semacam ini didasarkan kepada pendapat Abu Yusuf
dan Muhammad bin Al-Hasan Al-Syaibani.
Praktik ibadah lain yang didasarkan kepada Mazhab Hanafi adalah
cara berwudu dengan cara duduk di tempat yang tinggi seperti bangku. Di
tempat wudu di masjid-masjid Turki, negara yang banyak ditemukan
penganut Mazhab Hanafi, disediakan bangku duduk di depan kran-kran
wudu.
Hal ini karena dalam Mazhab Hanafi, sebagaimana juga fatwa
dalam mazhab Maliki, sangat dianjurkan duduk di tempat agak tinggi (al-
julus fi makanin murtafi'in) saat berwudu. Tujuannya untuk menghindari
percikan air bekas wudu yang menurut sebagian pendapat dinilai najis.
Hal ini sebagaimana dijelaskan Ibnu Abidin Al-Hanafi dalam kitab
Al-Durr Al-Mukhtar Syarah Radd Al-Mukhtar. Praktik berwudu dengan
cara duduk tentu tidak akan dijumpai di masjid-masjid di Indonesia yang
umumnya mengikuti mazhab Syafi'i dan tidak menilai najis bekas air
wudu. Pada umumnya, tempat wudu di masjid Indonesia tidak disertai
bangku. Masyarakat Muslim Indonesia juga berwudu dengan cara
berdiri.(drs)
2. Aliran Maliki

Mazhab Maliki merupakan mazhab fikih dalam Islam yang masih bertahan hingga
hari ini. Dirintis oleh Imam Malik bin Anas (wafat 179 H.) di Madinah.
Pengikutnya menyebar ke Mesir, Tunisia, Maroko hingga Andalusia (Spanyol).

Imam Malik lahir di Madinah pada tahun 93 Hijriyah, di era pemerintahan Dinasti
Umayyah. Beliau mengalami masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz (w. 101
H.) yang membuatnya terkesan. Ketika kekuasaan telah beralih kepada Dinasti
Abbasiyyah, ada yang bertanya apakah rakyat harus membela pemerintah atau
memberontak bersama para pemberontak.

Imam Malik menjawab, "Jika mereka memberontak kepada pemerintah seperti


Umar bin Abdul Aziz, maka bergabunglah dengan pemerintah memerangi
pemberontak. Jika tidak, maka tinggalkan mereka. Allah akan menghukum
penguasa yang lalim dengan oposan yang juga lalim. Kemudian Allah akan
menghukum keduanya."

Abu Zahrah menjelaskan, pada dasarnya, penguasa pada masa Imam Malik, baik
pemerintahan Umayyah maupun Abbasiyyah, sudah melenceng dari garis
kekhalifahan. Kekhalifahan mengatur perpindahan kekuasaan didasarkan kepada
musyawarah yang demokratis.

Namun, dalam praktiknya yang terjadinya adalah pewarisan kekuasaan dari ayah
ke anak yang mencerminkan sistem monarkhi. Jika tidak demikian, biasanya
perpindahan kekuasan terjadi melalui proses kudeta. Karena itu, Imam Malik
memandang kekuasaan apapun saat itu adalah kekuasaan yang lalim dan
menyimpang dari rel syariah.

Hidup pada dua masa yang penuh gejolak, Imam Malik tetap dapat memperoleh
pendidikan yang baik di kota Madinah.

Madinah menjadi tempat belajar Imam Malik, tak ada yang alin. Sebab, Madinah
telah menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan Islam. Justru orang-orang
dari luar Madinah harus datang ke kota tersebut untuk belajar tentang Islam.

Ketekunan Imam Malik mengantarkannya menjadi ulama kharismatik yang


menarik perhatian banyak orang. Baik dari kota Madinah maupun luar Madinah.
Di sinilah Imam Malik mengajarkan ajaran Islam, dasar-dasar hukum dan metode
perumusan hukum Islam.

Imam Malik kemudian dikenal sebagai Imam Dar Al-Hijrah (Penghulu Ulama
Madinah-Bumi Hijrah). Selain piawai dalam merumuskan hukum, Imam Malik
juga seorang pendidik yang berhasil. Banyak murid-muridnya yang kemudian
mewarisi metode perumusan hukumnya, lalu menyebarkan mazhabnya ke penjuru
dunia Islam. Bahkan, ada di antaranya yang kemudian menjadi pendiri mazhab
fikih tersendiri seperti Imam Al-Syafi'i (w. 204 H).

Dalam merumuskan hukum fikih, Imam Malik merujuk kepada Alquran, hadis
Nabi, ijma, qiyas, praktik penduduk Madinah, mashlahah mursalah (maslahat),
'urf (tradisi), dan saddu dzari'ah (upaya pencegahan).

Ada 3 hal yang membantu perkembangan mazhab Maliki. Pertama, pemikiran


Imam Malik terkodifikasi dengan baik.

Imam Malik menulis kitab yang memuat pandangan-pandangan fikihnya. Salah


satunya adalah kitab Al-Muwaththa', yang berisi hadis-hadis Nabi Muhammad
SAW. dan fatwa para sahabatnya yang menjadi dasar fatwa Imam Malik.

Karena isinya didominasi hadis-hadis Nabi, banyak pihak yang menyebut Al-
Muwaththa' sebagai karya bidang hadis dibanding sebuah karya dalam fikih.
Karya lain Imam Malik adalah kitab Al-Mudawwanah. Kitab ini membuat fatwa-
fatwa Imam Malik yang mencapai kurang lebih 6200 fatwa, yang disusun dengan
sistem berdasar tema-tema fikih seperti yang dikenal saat ini.

Jika kitab-kitab tersebut diamati, dengan mudah kita menemukan jawaban


mengapa mazhab Malik sering dijuluki dengan mazhab Ahlul Atsar atau Ahli
Hadis. Seringkali sebutan ini dibandingkan dengan mazhab Ahlur Ra'yi, yang
merujuk kepada Madzhab Hanafi.

Dalam beberapa abad, mazhab Maliki dan mazhab Hanafi bersaing


memperebutkan pengaruh masyarakat Muslim seperti dapat ditemukan di Afrika
Utara dan Andalusia.

Faktor kedua, murid-murid Imam Malik berdedikasi menyebarkan fatwa dan


metode berfikir mazhab. Abu Zahrah dalam buku Tarikh Al-Madzahib Al-
Islamiyyah mencatat di antara murid Imam Malik yang berjasa menyebarkan
mazhabnya ke Mesir adalah Usman bin Hakam Al-Judzami (w. 163 H.),
Abdurrahman bin Al-Qasim (w. 191 H.), dan Abdurrahim bin Khalid (w. 163 H.).

Usman bin Hakam Al-Judzami membawa fikih aliran Maliki ke Mesir. Usaha
menyebarkan Mazhab Maliki dilanjutkan Abdurrahman bin Al-Qasim. Pada era
Abdurrahman bin Al-Qasim, Mazhab Maliki berhasil menggeser dominasi
Mazhab Hanafi yang terlebih dahulu berkembang.
Pada tahun 200 Hijriah, Mazhab Syafi'i menggeser dominasi Mazhab Maliki.
Sekalipun bersaing dengan Mazhab Syafi'i, pengaruh Mazhab Maliki masih cukup
kuat dibanding Mazhab Hanafi. Keduanya menjadi dua mazhab yang paling
banyak dianut di Mesir.

Al-Maqrizi mencatat kedua mazhab ini selalu menjadi rujukan umat muslim di
Mesir. Ulama kedua mazhab mengisi posisi-posisi penting dalam kehakiman.

Ketiga, keterlibatan penguasa dalam penyebaran mazhab. Hal ini dapat dipotret
dalam perkembangan Mazhab Maliki di wilayah Afrika Utara, dan Andalusia.

Wailayah Afrika Utara, seperti Tunisia dan sekitarnya pada mulanya didominasi
pengikut Mazhab Hanafi. Belakangan, pengaruhnya digeser oleh Mazhab Maliki.

Mazhab Maliki mencapai puncak pengaruhnya ketika Al-Mu'izz bin Badis (w.
454 H.)menguasai Tunisia dan sekitarnya. Keterlibatan kekuasaan dalam
penyebaran Mazhab Maliki juga terjadi di Andalusia.

Abu Zahra mencatat, Yahya bin Yahya Al-Laitsi (w. 234 H.), murid Imam Malik
punya hubungan dekat dengan penguasa Dinasti Umayyah di Andalusia. Beliau
diangkat menjadi hakim berpengaruh. Pengangkatan hakim baru selalu melalui
rekomendasi beliau.

Sampai saat ini, Mazhab Maliki masih mendominasi praktik keagamaan umat
Islam di Afrika Utara dan pantai barat Afrika, Maroko. Di antara praktik
keagamaan yang dipengaruhi Mazhab Maliki di negeri tersebut adalah
penggunaan batu sebagai media bersuci dan azan tiga kali sebelum salat.

Di setiap masjid hampir selalu ada batu yang disediakan untuk tayamum, cara
mensucikan diri ketika tidak ada air untuk wudu. Dalam Mazhab Syafi'i, yang
banyak dianut masyarakat muslim di Indonesia, tayamum hanya boleh dengan
menggunakan debu. Sedangkan dalam Mazhab Maliki mengizinkan tayamum
dengan benda-benda yang berasal dari bumi seperti batu.

Sebelum salat wajib, azan dikumandangkan tiga kali. Praktik ini termasuk
masalah khilafiyah (perbedaan pendapat) bahkan di kalangan ulama Mazhab
Maliki.

Sebagian ulama Mazhab Maliki menggolongkannya dalam amalan bidah.


Sebagian lain membolehkan dengan sejumlah argumen. Salah satunya,
penambahan azan dalam pelaksanaan salat Jumat. Rujukannya sejarah Islam.

Pada masa Nabi Muhammad, salat Jumat dimulai dengan dua kali azan. Namun,
pada masa Usman bin Affan, ditambahkan satu azan lagi yang sering disebut
"azan ketiga". Selain itu, pada masa Nabi saw. beliau memerintahkan tiga orang
muazin untuk mengumandangkan azan. Ada kemugkinan ketiganya
mengumandangkan azan secara berurutan atau secara bersamaan. Dengan
demikian, praktik semacam ini telah berlangsung sejak masa Rasulullah saw. (drs)

3. Aliran Syafi’i

Menurut Abu Zahrah, pemerintah atau khalifah pada masa itu sering mengangkat
hakim dari mazhab yang berlaku. Di Irak misalnya, ketika Daulah Abbasiyah
menjadikan kota Baghdad sebagai ibu kota, khalifah memilih ulama-ulama dari
kalangan hanafiyah untuk mengisi pos-pos hakim.

Bahkan ketika suatu saat khalifah memilih ulama dari kalangan Mazhab Syafi'i,
tepatnya pada masa Khalifah al-Qadir Billah (w. 422 H), terjadi kegaduhan oleh
penduduk Baghdad karena fatwa yang dikeluarkan. Hingga akhirnya khalifah pun
mencopot ulama yang bermazhab Syafii tersebut. Begitu juga dengan Mazhab
Maliki.

Jika penyebaran Mazhab-Mazhab sebelumnya, baik Hanafi maupun Maliki,


terjadi melalui bantuan pemerintah pada saat itu, dengan menjadikan mazhab
tersebut sebagai mazhab resmi negara, maka berbeda halnya dengan persebaran
Mazhab Syafi'i.

Mazhab Syafii berkembang bukan berawal dari campur tangan pemerintah.


Mazhab ini tersebar luas karena tangan dingin murid-murid Imam al-Syafi'i dan
para pengikutnya.

Syekh Ali Jum’ah dalam Tarikh Ushul Fiqh mencatat ada 5 fase perkembangan
Mazhab Syafii. Mulai mazhab tersebut dibangun oleh Imam al-Syafi'i hingga
tersebar luas sampai sekarang. Hal ini didukung dengan beberapa literatur lain,
seperti Manaqib al-Syafii karya Imam al-Baihaqi, Fakhruddin al-Razi dalam kitab
yang berjudul sama, dan Adab al-Syafii wa Manaqibuhu karya Abdurrahman bin
Abi Hatim.

Fase pertama persebaran mazhab ini dimulai pada tahun 178 H, yakni setelah
Imam Malik wafat dan berlangsung hingga 16 tahun. Fase ini berlangsung hingga
Imam al-Syafi'i kembali lagi ke Baghdad untuk kedua kalinya pada tahun 195 H.

Fase kedua, munculnya mazhab lama (qadim). Fase ini dimulai ketika kedatangan
Imam al-Syafi'i ke Baghdad yang kedua kalinya, tahun 195 H, hingga al-Syafii
hijrah ke Mesir pada tahun 199 H. Pada fase inilah muncul fatwa-fatwa Imam al-
Syafi’i yang dikategorikan dan sering disebut sebagai kaul qadim.

Sedangkan fase ketiga dimulai pada tahun 199 H, hingga wafatnya Imam al-
Syafi’i. Bahkan bisa dibilang pada fase ini mazhab baru (jadid) Imam al-Syafi’i
telah sempurna, atau sering disebut sebagai kaul jadid.
Setelah fase ketiga, fase-fase selanjutnya dimulai dengan periwayatan Mazhab
Syafi'i oleh para muridnya (ashab al-syafiʻi). Pada fase keempat ini, para murid
Imam al-Syafi'i cukup gencar dan massif dalam meriwayatkan masalah sesuai
metode istinbath (penggalian hukum) ala Imam al-Syafi’i.

Fase ini dimulai pada abad ke-5 Hijriyah dan berakhir pada abad ke-7 Hijriyah.
Pada fase inilah muncul ulama-ulama hebat murid Imam al-Syafi’i yang menulis
ulang mazhab dan pemikiran Imam al-Syafi’i.

Salah satunya, Imam al-Muzanni (w. 264 H). Ia menulis kitab al-Mukhtashar,
ringkasan kitab al-Umm, kitab fikih karangan Imam al-Syafii. Usahanya ini
disebut termasuk sebagai bagian dari penyebaran atau periwayatan Madzab al-
Syafi'i.

Selain al-Muzanni, ada juga al-Buwaithy (w. 231 H), al-Rabi’ bin Sulaiman al-
Muradi 270 H) dan murid-muridnya yang lain.

Setelah fase periwayatan selesai dan berakhir pada abad ke-7, fase selanjutnya
adalah pengokohan dan penguatan rancang bangun mazhab.

Fase ini dilalui dengan menarjih (memilih pendapat yang paling kuat) dan
menuliskannya dalam kitab-kitab ringkas (mukhtashar). Setelah dituliskan dalam
kitab-kitab ringkas, kemudian muncul kitab-kitab penjelas (syarh) dari kitab
ringkas tersebut.

Di antara lima fase tersebut, yang paling menonjol adalah fase ketiga, ketika para
murid Imam al-Syafi'i dengan sangat massif meriwayatkan fatwa sekaligus
metode penggalian hukum yang dilakukan Imam al-Syaf'ii.

Fase ini dinilai sangat penting karena tanpa adanya fase ini, Mazhab Syafi'i tidak
akan bisa berkembang hingga sekarang. Berapa banyak mazhab yang hilang dan
tidak sampai di masa kita sekarang karena minimnya periwayatan.

Bahkan menurut Ahmad Timur Basya dalam Nadhrah fi Tarikh Huduts al-
Madzahib al-Arba’ah, penyebaran Mazhab Syafi'i tidak terlepas dari
melimpahnya karya-karya para penganutnya. Dari karya-karya tersebutlah banyak
orang belajar dan mengetahui seluk beluk, metode dan fatwa kalangan Syafi'iyah.

Dari Mesir Menyebar ke Negeri Lain

Negara Mesir menjadi sentra penyebaran mazhab Syafii yang cukup dominan.
Walaupun, dalam sejarah, mazhab Syafi'i pernah menjadi kecil pengaruhnya
akibat diganti dengan mazhab fikih Ahli Bait (salah satu aliran di Syiah) ketika
kaum Syiah Rafidha menguasai Mesir, namun hal itu tidak bertahan selamanya.
Mazhab Ahli Bait tersebut hilang bersamaan dengan tumbangnya kekhalifahan
Daulah Ubaidiyin dari kalangan Rafidhah oleh Shalahuddin bin Yusuf bin Ayyub
atau biasa dikenal dengan Salahuddin al-Ayyubi. Hingga akhirnya Mazhab Syafi'i
dan para pengikutnya yang sebelumnya lari ke Irak kembali lagi ke Mesir.

Ahmad Timur Basya mencatat ada beberapa tokoh besar yang ikut berpengaruh
dalam menyebarkan Mazhab Syafi'i. Mulai dari Muhyiddin bin Syaraf al-Nawawi
(yang biasa terkenal dengan sebutan Imam al-Nawawi) Izzuddin bin Abdussalam,
Ibn Daqiq al-ʻId, Taqiyuddin al-Subki, hingga Sirajuddin al-Bulqini, ulama besar
Syaf'iiyah yang tinggal di Mesir.

Baru setelah tersebar dengan begitu massif oleh para pengikutnya, Mazhab Syafi'i
mulai digunakan sebagai mazhab resmi. Termasuk menjadi mazhab resmi Dinasti
Ayyubiyah yang digagas oleh Shalahuddin al-Ayyubi.

Tidak hanya di Mesir, Ahmad Timur Basya juga mencatat bahwa Mazhab Syafi'i
juga dianut dan berkembang oleh beberapa negara, di antaranya Turki, Syam dan
Irak.

Sebelum disatukan oleh murid-murid al-Qafal al-Marwazi, Mazhab Syafi'i


terpecah menjadi dua kelompok: kelompok Khurasan yang digawangi oleh Ishaq
bin Rahawaih dan lain-lain, serta kelompok Irak yang digawangi oleh Ahmad bin
Hanbal dan ulama-ulama lain.

Menurut al-Subki dalam Muqaddimah Takmilat al-Majmu’, dialektika kedua


aliran tersebut mulai menyusut setelah Imam al-Juwaini menyusun kitab yang
secara khusus menarjih (mengunggulkan) masalah yang diperselisihkan oleh dua
kelompok tersebut dalam Nihayah al-Mathlab fi Dirayah al-Mazhab, dan mulai
surut pada masa Imam al-Rafi’i dan al-Nawawi.

Selain itu Mazhab Syafii juga merambah ke India Selatan, tepatnya di kota
Malibar. Terbukti dengan adanya kitab fikih Syafi'iyah yang terkenal di kalangan
pesantren yang digubah oleh Zainuddin al-Malibari berjudul Fathul Muin Syarh
Qurratul Ain.

Bahkan berdasarkan penuturan Ibnu Batutah dalam Tuhfat al-Nadhar fi Gharaib


al-Amshar wa Ajaib al-Asfar, Mazhab Syafii sudah mulai masuk ke Asia
Tenggara, termasuk Indonesia, terlepas dari berbagai perdebatan siapa yang
membawanya ke Nusantara.

Sirajuddin Abbas dalam bukunya Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafii


menyebutkan 92 pengikut Mazhab Syafii yang merupakan ulama-ulama
kenamaan, mulai abad ke-3 hingga 14 Hijriyah. Termasuk dalam kategori tersebut
beberapa ulama Nusantara yang tak diragukan lagi keilmuannya, seperti Syekh
Nawawi al-Bantani, Syekh Hasyim Asy’ari, hingga Syekh Sulaiman al-Rasuli.
Daftar ulama penganut Mazhab Syafii yang dikumpulkan oleh Sirajuddin Abbas
ini nampaknya bukan jumlah tetap, mengingat masih banyak ulama terkenal
penganut Mazhab Syafi'i lain yang belum dimasukkan. (drs)

4. Aliran Hanbali

Mazhab Hanbali didirikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal al-Syaibani (w. 241 H).
Imam Hanbal awalnya adalah salah satu murid Imam Syafi’i yang paling setia.
Mazhab ini merupakan mazhab keempat yang otoritatif diikuti oleh umat Islam
berpaham Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Mazhab Hanbali lahir di Baghdad, kota tempat kelahiran pendirinya. Saat mazhab
ini muncul, Baghdad menjadi pusat perkembangan keilmuan Islam. Ibu kota Irak
itu dikenal sebagai negeri maju dan metropolitan, tetapi penduduknya tetap
antusias dengan pengetahuan.

Imam Ahmad dikenal sebagai ulama terkemuka dengan ahli di berbagai disiplin
ilmu, terutama di bidang hadis dan teologi. Tapi pemikirannya tidak mudah
diterima khalayak. Rintangan paling berat yang dialami Imam Ahmad adalah saat
pemikirannya bertentangan dengan ideologi resmi negara, yaitu Muktazilah, pada
era khalifah Ma’mun, Mu’tashim, dan Watsiq.

Beliau dihukum penjara dan cambuk. Tapi hukuman tak menyurutkan


pemikirannya.

Dengan kegigihan Imam Ahmad, murid-muridnya seperti kedua putranya


bernama Shalih bin Ahmad bin Hanbal dan Abdullah bin Ahmad bin Hanbal,
melanjutkan perjuangannya. Pemikiran yang telah diwariskan kepada mereka,
diteruskan dan disebarkan ke orang lain.

Tapi kedua saudara itu menyebarkan pemikiran ayahnya dengan cara berbeda.
Seperti dituturkan oleh Abu Zahrah di dalam Tarikhul Madzahibil Islamiyah,
Shalih bin Ahmad bin Hanbal (w. 266 H) menyebarkannya melalui surat yang
berisikan jawaban-jawaban dengan menukil pendapat ayahnya. Saat menjadi
pejabat di pengadilan, Shalih bin Ahmad menggunakan posisinya tersebut dengan
menyampaikan pendapat-pendapat ayahnya.

Sedangkan adiknya, Abdullah bin Ahmad bin Hanbal (w. 290 H),
menyebarkannya dengan model pembelajaran guru-murid. Dengan menjadikan
kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal sebagai refrensi utamanya. Tak jarang
Abdullah mengutip atau malah menyampaikan pendapat ayahnya dalam bidang
fikih.

Dengan penyebaran kutipan dan pendapat ini, pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal
di bidang fikih mulai dikenal dan menyebar di kota Baghdad. Sebab, saat itu
pemikirannya memang tidak dibukukan.
Persebaran Mazhab Hanbali

Ibnu Farhun, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Timur di kitab Nazhrah


Tarikhiyah fi Hudutsil Madzahibil Fiqhiyatil Arba’ah mengatakan, bahwa mazhab
Hanbali menyebar ke negeri Syam. Secara geografis, antara Syam dengan
Baghdad memiliki jarak yang cukup dekat. Jarak yang dekat memungkinkan
penyebaran di masa itu (+ abad 3-4 H).

Dalam perkembangannya, pada abad ke-4 H Mazhab Hanbali sudah dapat


ditemukan di Bashrah, sebuah negeri yang berada di tepi pantai Arab. Selain itu,
pada masa ini juga Mazhab Hanbali mulai sampai ke Mesir.

Mengutip perkataan Imam al-Suyuthi di Husnil Muhadlarah fi Tarikj Mishr wal


Qahirah, secara umum Mazhab Hanbali baru tersebar ke luar Irak sejak abad ke 4
H. Setidaknya, mazhab ini dapat dijumpai di Syam, Bashrah, dan Mesir. Temuan
ini membuktikan makin bertambahnya pengikut mazhab ini seiring berjalannya
waktu.

Seiring perjalanan waktu, ketenaran dan perkembangan Mazhab Hanbali mulai


memudar sejak abad ke 7 H. Bahkan hampir jarang ditemui orang penganut
mazhab ini setelah abad tersebut, terutama di daerah-daerah luar Irak seperti
Syam, Bashrah, dan Mesir.

Susutnya ‘peminat’ mazhab ini di luar Irak, menurut Abu Zahrah ada 3 faktor
yang menyebabkan. Pertama, keterlambatan lahirnya Mazhab Hanbali. Mazhab
ini merupakan mazhab terakhir yang muncul setelah 3 mazhab fikih sebelumnya
(Hanafi, Maliki, dan Syafi’i). Ketiga mazhab tersebut telah berkembang lebih dulu
di pelbagai daerah di jazirah Arab sebelum lahirnya Mazhab Hanbali.

Kedua tidak ada perwakilan dari pengikut Mazhab Hanbali yang menjadi hakim,
terutama saat mazhab ini sudah menyebar ke luar Irak. Padahal, posisi hakim
cukup sentral dan strategis dalam menyebarkan pendapat mazhab yang dianutnya.

Ketiga, kuatnya fanatisme pengikut Mazhab Hanbali. Ini terbukti ketika ada orang
lain yang berbeda pendapat, mereka bukan membantahnya dengan argumen, tapi
justru bersikap kasar dan keras dengan dalih al-amr bil ma’ruf wa nahy ‘anil
munkar (perintah untuk mengajak atau menganjurkan hal-hal yang baik dan
mencegah hal-hal yang buruk)

Misalnya, saat ada perempuan dan anak kecil berjalan bersamaan, lalu ditanya apa
hubungan keduanya? Jika tidak menjawab, mereka langsung memukulnya dan
menyerahkannya ke pihak berwajib.

Bahkan, Ibnu Khaldun di dalam bukunya Muqaddimah menambahkan faktor lain,


yakni sedikitnya pengikut Mazhab Hanbali. Hal ini terjadi karena Mazhab Hanbali
begitu meminimalisir penggunaan akal dalam menyelesaikan problematika umat
(Ijtihad).

Mereka, menurut Ibnu Khaldun, lebih memprioritaskan riwayat Hadis-hadis Nabi


dalam menyelesaikan persoalan keagamaan. Oleh karena itu, kelebihan mereka
adalah memiliki banyak hafalan riwayat-riwayat itu dibandingkan dengan
pengikut mazhab lainnya.

Dengan beberapa faktor di atas akibatnya pengikut Mazhab Hanbali terhitung


sedikit jika dibanding dengan mazhab fikih lainnya. Bahkan, tidak banyak negara-
negara Islam pada masa sekarang menganut mazhab ini.

Bisa disebut, hanya Arab Saudi saja yang menjadikan Mazhab Hanbali ini sebagai
mazhab resmi negara. Sedangkan di negara Islam yang lain, Mazhab Hanbali
hanya menjadi sebatas penambahan wawasan di dunia pendidikan. Tidak sampai
diterapkan atau diikuti layaknya mazhab fikih lain di negara Islam lainnya. (drs)

Anda mungkin juga menyukai