Anda di halaman 1dari 14

Kaidah Cabang Al-umuru bi Maqosidiha

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas pada

Mata kuliah : “Qawa’id Fiqiyah”

Dosen Pengampu :

DRA. HJ. HAMSIDAR, M.HI.

Disusun Oleh : 9

A.ADI ANUGRAH 932103013

MONALYSA 932103713

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BONE


TAHUN AKADEMIK 2020/2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kaidah Al-Umuru Bi Maqasidiha merupakan salah satu daripada


kaedah yang digunakan oleh para Fukaha’ dalam dalam Qawa’id
Fiqhiyyah. Jadi kaidah ini bolehlah ditafsirkan dari dua sudut yaitu dari
segi bahasa dan istilah. Pengertian kaedah dari segi bahasa boleh
membawa maksud asas manakala menurut istilah pula bermaksud perkara
yang dipraktikkan daripada masalah atau perkara pokok kemudian
dipraktikkan terhadap perkara-perkara furu’ atau pecahan.

Dalam makalah ini, penulis akan membahas tentang kaidah fiqih


yang pertama, yaitu ‫(االمور بمقاصدها‬al-Umuru bi Maqasidiha). Kaidah ini
membahas tentang kedudukan niat yang sangat penting dalam menentukan
kualitas ataupun makna perbuatan seseorang, apakah seseorang melakukan
perbuatan itu dengan niat ibadah kepada Allah dengan melakukan perintah
dan menjauhi laranganNya. Ataukah dia tidak niat karena Allah, tetapi
agar disanjung orang lain.

B. Rumusan Masalah
1. Apa makna al-Umuru bi maqasidiha ?
2. Apa dalil al-Umuru bi maqasidiha ?
3. Apa cabang-cabang dari al-umuru bi maqosidiha dan bagaimana
penerapannya ?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Makna kaidah ‫بمقاصدها‬ ‫االمور‬

Maksud kata umuur. Kaidah pertama ini al-umuru bi maqashidiha


terbentuk dari dua unsur yakni lafadz al-umuru dan al- maqashid
terbentuk dari lafadz al-amru dan al-maqshod. Secara etimologi lafadz al-
umuru merupakan bentuk dari lafadz al-amru yang berarti keadaan,
kebutuhan, peristiwa dan perbuatan. jadi, dalam bab ini lafadz al-umuru bi
maqashidiha diartikan sebagai perbuatan dari salah satu anggota.
Sedangkan menurut terminologi berarti perbutan dan tindakan mukallaf
baik ucapan atau tingkah laku, yang dikenai hukum syara’ sesuai dengan
maksud dari pekerjaan yang dilakukan.

Sedangkan maqashidsecara bahasa adalah jamak dari maqshad,


dan maqsad mashdar mimi dari fi’il qashada, dapat dikatakan: qashada-
yaqshidu-qashdan-wamaksadan, al qashdu dan al maqshadu artinya sama,
beberapa arti alqashdu adalah ali’timad berpegang teguh, al amma,
condong, mendatangi sesuatu dan menuju.

Makna Niat, Kata niat (‫ )النيّة‬dengan tasydid pada huruf ya adalah


bentuk mashdar dari kata kerja nawaa-yanwii. Inilah yang masyhur di
kalangan ahli bahasa. Ada pula yang membaca niat dengan ringan, tanpa
tasydid menjadi (niyah). Dapat diambil benang merah bahwa makna niat
tidak keluar dari makna literar linguistiknya, yaitu maksud atau
kesengajaan.Sementara Ibnu Abidin menyatakan niat secara bahasa
berarti, kemantapan hati terhadap sesuatu, sedangkan menurut istilah
berarti mengorientasikan ketaatan dan pendekatan diri kepada Allah dalam
mewujudkan tindakan.
Kaidah pertama ini (al-umuru bi maqasidiha) menegaskan bahwa
semua urusan sesuai dengan maksud pelakunya kaidah itu berbunyi: ‫األمور‬
‫“( بمقـاصدها‬segala perkara tergantung kepada niatnya”). Niat sangat
penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang,
apakah seseorang melakukan perbuatan itu dengan niat ibadah kepada
Allah dengan melakukan perintah dan menjauhi laranganNya. Atau dia
tidak niat karena Allah, tetapi agar disanjung orang lain.1

Pengertian kaidah ini bahwa hukum yang berimplikasi terhadap


suatu perkara yang timbul dari perbuatan atau perkataan subjek hukum
(mukallaf) tergantung pada maksud dan tujuan dari perkara tersebut.
Kaidah ini berkaitan dengan setiap perbuatan atau perkara-perkara hukum
yang dilarang dalam syari’at Islam. sebagai tambahan penjelasan perlu
kami tegaskan, bahwa apabila tindakan seseorang meninggalkan hal-hal
yang terlarang dilakukannya dengan segala ketundukan karena ada
larangan yang berlaku dalam ketetapan syara’ maka tindakan tersebut
memperoleh pahala. Namun apabila tindakan tersebut berkaitan dengan
tabiat atau perasaan jijik terhdap sesuatu yang ditinggalkan tersebut tanpa
memperhatikan status pelarangannya, maka ia dinilai sebagai perkara biasa
dan tabiat manusiawi yang tak beroleh pahala.

Sebagai contoh, memakan bangkai tanpa adanya rukhshah


(dispensasi hukum) status hukumnya adalah haram. Dalam hal ini,
terdapat nash syara’ yang dengan tegas mengharamkan konsumsi bangkai
dan melarang tindakan tersebut. Sehingga apabila melanggar akan
memperoleh hukuman dunia dan akhirat. Nash tersebut adalah firman
Allah SWT : “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging
babi…” dan seterusnya. Apabila seorang mencegah diri untuk tidak
melakukan tindakan tersebut (konsumsi bangkai) dengan harapan bahwa ia
berpegang teguh pada nash dan menerapkan ketentuan yang berlaku di
dalamnya maka tindakan ini memperoleh ganjaran dari Allah SWT dan

1
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Gazali, Ihya Ulumi ad-Diin, (Jakarta: Hidayah, 1996),
Jilid 4,351
pelaku mendapatkan pahala kebaikan yangditambahkan pada daftar
pahala-pahala kebaikannya disisiNya. Berbeda halnya apabila seseorang
tidak memakan bangkai karena faktor psikologis didalam diri merasa jijik
atau tidak suka terhadap bangkai, tanpa memandang nash yang
mengharamkannya atau dengan bahasa lain seseorang pasti akan
memakannya seandainya tidak merasa jijik maka tindakan tersebut tidak
berpahala sama sekali.2

B. Dalil ‫بمقاصدها‬ ‫االمور‬

Ayat al-Qur’an dan hadis yang menjelaskan tentang kaidah, berikut


ini :

1. Q.S Al Bayyinah ayat: 5

‫ك‬ ِ َّ ‫صنْي َ لَهُ الدِّينَ ُحَن َفآءَ َويُِقْي ُموا‬


َّ ‫الصلو َة َويُ ْؤتُوا‬ ‫ال‬ ِ ِ‫ومآ اُِمروآ االَّ لِيعب ُدوا اهلل خُمْل‬
َ ‫الزكو َة َوذ ل‬ َ ُْ َ ُ ََ
‫ِديْ ُن الْ َقيِّ َم ِة‬
Artinya: Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama
yang lurus dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat
dan yang demikian Itulah agama yang lurus.

Ayat ini menegaskan bahwa manusia diperintahkan untuk


melakukan ketaatan kepada Allah dengan ikhlas.

2. Q.S Ali Imron ayat: 145

َ ‫س اَ ْن تَ ُموْ تَ اِالَّ بِا ِ ْذ ِن هللاِ ِكتَابًا ُمؤَ َّجالً قلى َو َم ْن ي ُِر ْد ثَ َو‬
‫اب ال ُّد ْنيَا نُ ْؤتِه‬ ٍ ‫َو َما َكانَ لِنَ ْف‬
َ‫اب اال ِخ َر ِة نُ ْؤتِه ِم ْنهَاقلى َو َسنَجْ ِزى ال َّشا ِك ِرين‬ َ ‫ِم ْنهَاج َو َم ْن ي ُِر ْد ثَ َو‬
Artinya:barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan
kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala

2
Nasher Farid M Wasil. Al-Qowa’id Fiqhiyyah .(Jakarta: Amzah , 2009)hlm 6-7
akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. dan Kami
akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur.

3. Dalam sejumlah hadis juga di jelaskan tentang penting peran


maksud dan tujuan seseorang dalam melakukan suatu
perbuatan seperti berikut:
ِ ‫ مَسِ عت رسو َل‬: ‫اب ر ِضي اهلل عْنه قَ َال‬ ٍ ‫َع ْن أ َِمرْيِ الْ ُم ْؤ ِمنِنْي َ أَيِب ْ َح ْف‬
‫اهلل‬ ُْ َ ُ ْ ُ َ ُ َ َ ِ َّ‫ص عُ َمَر بْ ِن اخْلَط‬
ِ ِ ِّ ِ‫ال ب‬
ْ َ‫ فَ َم ْن َكان‬. ‫النيَّات َوإِمَّنَا ل ُك ِّل ْام ِر ٍئ َما َن َوى‬
‫ت‬ ْ ‫ إِمَّنَا اْأل‬: ‫صلى اهلل عليه وسلم َي ُق ْو ُل‬
ُ ‫َع َم‬
ِ ‫ت ِهجرتُه لِ ُد ْنيا ي‬ ِِ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ
‫صْيُب َها أ َْو‬ ُ َ ُ َ ْ ْ َ‫ َو َم ْن َكان‬،‫ه ْجَرتُهُ إىَل اهلل َو َر ُس ْوله فَ ِه ْجَرتُهُ إىَل اهلل َو َر ُس ْوله‬
‫رواه إماما احملدثني أبو عبد اهلل حممد بن‬. )‫اجَر إِلَْي ِه‬ ِ ِ ٍ
َ ‫ْامَرأَة َيْنك ُح َها فَ ِه ْجَرتُهُ إىَل َما َه‬
‫إمساعيل بن إبراهيم بن املغرية بن بردزبة البخاري وابو احلسني مسلم بن احلجاج بن‬

‫مسلم القشريي النيسابوري يف صحيحيهما اللذين مها أصح الكتب املصنفة‬


Artinya: Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khottob
radiallahuanhu, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah 
bersabda : Sesungguhnya setiap  perbuatan itu (tergantung)
niatnya.  Dan  sesungguhnya  setiap  orang  (akan
dibalas)berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya
karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka
hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa
yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena
wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai
sebagaimana) yang dia niatkan.3

(Hadist Riwayat dua imam hadist, Abu Abdullah Muhammad bin


Isma’il bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhori dan Abu
Al Husain, Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naishaburi

3
Ma’shum Zainy Al-Hasimy, Qowaidh Fiqhiyyah Al-Faroidul Bahiyyah(Jombang :Darul Hikmah ,
2010)hlm 26
dan kedua kita Shahihnya yang merupakan kitab yang paling shahih yang
pernah dikarang).

‫العمل ملن ال نية له‬


Artinya: “Tidak ada (pahala) bagi perbuatan yang tidak disertai
niat”. (HR. Anas Ibn Malik ra.)

‫إمنا بعث الناس على نياته‬


Artinya: “Sesungguhnya manusia itu dibangkitkan menurut
niatnya.” (HR.Ibn Majah dan Abu Hurairah ra.)

Dari kaidah ini kemudian dikembangkan kaidah fikih lain seperti


“al-ibrah fi al ‘uqud bi al-maqashid wa an-niyyat”(yang menjadi patokan
dalam transaksi adalah tujuan niat).

‫من قتل لتكون كلمة اهلل هي العليا فهو ىف سبيل اهلل عزوجل‬

Artinya: "Barangsiapa berperang dengan maksud meninggikan


kalimah Allah, maka dia ada di jalan Allah" (HR. Bukhari dari
Abu Musa).

‫من أتى فراشه وهو ينوي أن يقوم يصلي من الليل فغلبته عيناه حىت أصبح كتب له مانوى‬

Artinya: "Barangsiapa yang tidur dan ia berniat akan shalat


malam, kemudian dia ketiduran sampai subuh, maka ditulis
baginya pahala sesuai dengan niatnya" (HR. al-Nasâi dari Abu
Zâr).4

4
Ibid, hlm 26-27
C. Kaidah Cabang ‫بمقاصدها‬ ‫االمور‬dan Penerapannya

Adapun kaidah cabangnya sebagai berikut:

‫ﺍﺐ ﺇِﻻﱠ ﺒِﺎﻟﻨﱢﻴَ ِﺔ‬


َ ‫ﻻَ ﺜَ َﻮ‬
“Tidaklah ada pahala kecuali dengan niat”.

Kaidah ini, memberikan kepada kita pedoman untuk membedakan


perbuatan yang bernilai ibadah dengan yang bukan bernilai ibadah, baik
itu ibadah yang mahdah (jika dilakukan tanpa niat,ibadah tersebut tidak
sah karena niat merupakan rukun) maupun ibadah yang ‘ammah (jika
dilakukan tanpa menyertakan niat beribadah maka perbuatan keduniaan
semata tidak mendatangkan pahala).5

‫ﻨِﻴﱠﺔ ُ ﺍﻟ ُﻣ ْﺆ ِﻣ ِﻦ ﺧَ ﻴْﺮ ٌ ِﻣ ْﻦ َﻋ َﻣﻟِ ِﻪ‬

“Niat seorang mukmin lebih baik daripada amalnya”.

Misalkan, apabila ada seseorang yang mengalami musibah


kecelakaan dan kita pada saat berkata pada semua orang akan membantu
orang tersebut untuk dibawa ke RS dan menanggung semua biaya RS
tersebut. Namun kenyataannya setelah keluarga orang itu datang, kita
langsung memberikan kuitansi pembayaran kepada keluarga orang itu,
agar mengganti biaya tersebut. Oleh karena itu apa yang diucapkan kita itu
tidak sama dengan yang kita lakukan. Maka dalam hal ini kita membantu
dan menolong orang tersebut bukanlah benar-benar ingin membantu,
tetapi hanya ingin membangun citra “baik” di mata orang, agar mendapat
sanjungan dari orang lain.

ِ ‫ َﻣﺎ ِﻔﻲ ﺍﻟﻗَ ْﻟ‬ ‫ﻑ ﺍﻟﻟِ َﺳﺎﻦُ َﻮﺍﻟﻗَ ْﻟﺏُ ﻔَﺎﻟ ُﻣ ْﻌﺗَﺒَ ُﺮ‬
‫ﺏ‬ ْ َ‫ﻟ‬
Lَ َ‫ﻮﺍﺨﺗَﻟ‬
“Apabila berbeda antara yang diucapkan dengan yang di hati, yang
dijadikan pegangan adalah yang didalam hati”

5
Suyatno.Dasar-dasar Ilmu Fiqih & Ushul Fiqih.(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,2011)hlm 234
Sebagai contoh, apabila hati niat wudhu, sedang yang diucapkan
adalah mendinginkan anggota badan, maka wudûnya tetap sah.

ُ‫ﻻَ ﻴَ ْﻟ َﺯ ُﻡ ﻨِﻴَﺔُﺍﻟ ِﻌﺎ َﺪ ِﺓ ﻔِﻲ ُﻜ ﱠﻞ ﺠ ُْﺯﺀٍ ﺇِﻨﱠ َﻣﺎ ﺗ َْﻟ َﺯ ُﻡ ﻔِﻲ ُﺠ ْﻣﻟَ ٍﺔ َﻣﺎ ﻴَ ْﻔ َﻌﻟُﻪ‬

“Tidak wajib niat ibadah dalam setiap bagian, tetapi niat wajib dalam
keseluruhan yang dikerjakan”.

Contohnya, yaitu sebagai berikut, ketika kita berniat untuk


melakukan shalat, maka niat cukup satu kali, dan tidak perlu mengucapkan
niat pada tiap kali gerakan shalat.6

َ ‫ﺍﺤﺪ ٌﺇِﻻﱡ‬
‫ﺍﻟﺤ ّﺞ َﻮﺍﻟ ُﻌ ْﻣ َﺮﺓ‬ َ ‫ُﻜﻞﱡ ُﻣﻔَﺮﱢ‬
ِ ‫ﻀﻴْﻦ ﻔَﻼَ ﺗَﺠْ ِﺯ ْﻴ ِﻬ َﻣﺎ ﻨِﻴﱠﺔ ٌَﻮ‬
“Setiap dua kewajiban tidak boleh dengan satu niat, kecuali ibadah haji
dan umrah”.

Berdasarkan kaidah di atas, dapat diambil contoh sebagai berikut,


yaitu seseorang berniat melakukan mandi wajib kemudian orang tersebut
ingin berwudhu dengan menggunakan niat yang pertama yaitu niat mandi
wajib, maka hal itu tidak diperbolehkan sebab dalam dua kewajiban tidak
boleh dengan satu niat saja.

‫ ُﻜﻞﱡ َﻣﺎ َﻜﺎﻦَ ﻠﻪُ ﺃﺻْ ٌﻞ ﻔَﻼَ ﻴَ ْﻨﺗَﻘِ ُﻞ ﻋ َْﻦ ﺃَﺻْ ﻟِ ِﻪ ﺒِ ُﻣ َﺠ ﱠﺮ ِﺪ ﺍﻠﻨﱢﻴَ ِﺔ‬ 

“Setiap perbuatan asal/pokok, maka tidak bisa berpindah dari yang asal
karena semata-mata niat”

Seseorang niat shalat zuhur, kemudian setelah satu raka'at, dia


berpindah kepada shalat tahiyyat al-masjid, maka batal shalat zuhurnya.
Contoh lain misalnya jika kita berniat membayar hutang puasa ramadhan,
tetapi belum selesai kita melakukan puasa tersebut, misalnya pada siang
hari, tiba-tiba kemudian kita berubah niat untuk tidak jadi membayar
hutang puasa dan ingin hanya melaksanakan puasa sunnah senin kamis,
maka hal itu tidak diperbolehkan dan puasa tersebut batal untuk
dilaksanakan.

6
A.Djazuli.Kaidah-kaidah fikih.(Jakarta:Kencana,2007, Ed.1.Cet.ke-2)hlm 38-42
 ‫ﺻ ُﺪ اللفظِ َﻋﻟَﻰ ﻨِﻴَ ِﺔ ﺍﻠﻼَﻔِﻇ‬
ِ ‫َﻣﻘَﺎ‬

“Maksud lafadz itu tergantung pada niat orang yang mengatakannya”.

Dari redaksi kaidah ini, memberikan pengertian bahwa ucapan


seseorang itu dianggap sah atau tidak, tergantung dari maksud orang itu
sendiri, yaitu apa maksud dari perkataannya tersebut.

Contohnya seperti jika kita memanggil seseorang dan kita


memanggil orang tersebut dengan sebutan yang bukan nama orang itu
sendiri, dan kita memanggilnya dengan sebutan yang tidak baik, seperti
memperolok orang tersebut dengan kata-kata yang tidak baik, maka dari
ucapan tersebut, apakah dianggap baik atau tidak tergantung maksud orang
yang mengucapkannya. Apakah hal itu dilakukan dengan sengaja ataukah
hanya sekedar bercanda.

Dalam hal lain misalnya,maksud kata-kata seperti talak, hibah,


naźar, shalat, sedekah, dan seterusnya harus dikembalikan kepada niat
orang yang mengucapkan kata tersebut, apa yang dimaksud olehnya,
apakah maksudnya itu zakat, atau sedekah,apakah shalat itu maksudnya
shalat fardhu atau shalat sunnah.

ِ ‫ﺍﻷَ ْﻴ َﻣﺎﻦُ َﻣ ْﺒﻨِﻴﱠﺔ ٌ َﻋﻠَﻰ ﺍﻷَﻠﻔَﺎ ِﻇ َﻭﺍﻟ َﻣﻘَﺎ‬


‫ﺻ ِﺪ‬

“Sumpah itu harus berdasarkan kata-kata dan maksud”.

Khusus untuk sumpah ada kata-kata yang khusus yang digunakan,


yaitu “wallahi” atau “demi Allah saya bersumpah” bahwa saya... dan
seterusnya. Selain itu harus diperhatikan pula apa maksud dengan
sumpahnya itu.Selain itu harus diperhatikan pula apa maksud dengan
sumpahnya. Dalam hukum Islam, antara niat, cara, dan tujuan harus ada
dalam garis lurus, artinya niatnya harus ikhlas, caranya harus benar dan
baik, dan tujuannya harus mulia untuk mencapai keridhaan Allah SWT.
Contohnya seperti apabila seseorang itu berkata bahwa, demi Allah
saya akan memberikan sedikit rezeki kepada orang yang tidak mampu,
apabila nanti saya mendapat rezeki lebih. Dan sumpahnya itu disaksikan
oleh orang lain, maka yang dimaksud orang tersebut ialah dia bersumpah
untuk dirinya sendiri agar berbagi kepada orang yang tidak mampu,
apabila ia mendapatkan rezeki lebih dari biasanya.

‫أل ْلفَا ِظ َو ْال َمبَا نِي‬


ِ َ‫ص ِد َو اَ ْل َم َعا نِي ل‬
ِ ‫اَ ْل ِع ْب َر ةُ فِي اَ ْل ُعقُوْ ِد لِ َمقَا‬
“Pengertian yang diambil dari suatu tujuannya bukan semata-mata kata-
kata dan ungkapannya”.

Sebagai contoh, apabila seseorang berkata: "Saya hibahkan barang


ini untukmu selamanya, tapi saya minta uang satu juta rupiah", meskipun
katanya adalah hibah, tapi dengan permintaan uang, maka akad tersebut
bukan hibah, tetapi merupakan akad jual beli dengan segala akibatnya.7

‫ما َ يُ ْشت ََرطُ فِ ْي ِه التَّ ْعيِي ُْن فَ ْالخَ طا ُ ِف ْي ِه ُمب ِْط ٌل‬
(sesuatu yang disyaratkan {diharuskan} untuk ditentukan, kesalahan pada
penentuan menjadikan sesuatu itu batal).

Misalnya, orang yang melaksanakan sholat dhuhur, tetapi ia keliru


niat sholat ashar maka sholatnya tidak sah. Sehingga dalam kasus ini
menentukan bahwa sholat dhuhur adalah keharusan bagi sahnya ibadah
tersebut.

ِ ِ
ُ َ‫َخطَأ‬
‫ضّر‬ َ ‫ض لَهُ مُجْلَةً َوالَ يَ ْشَتَر ُط َت ْعيِْينُهُ َت ْفصْيالً أ َذ‬
ْ ‫اعَّينَهُ َوأ‬ ُ ‫َّعُّر‬
َ ‫َما يُ ْشَتَر ُط الت‬

(Sesuatu yang di syaratkan menyebutkannya secara garis besar, jika di


dalam pelaksanaannya ditentukan secara rinci, jika salah dalam
penentuan berakibat fatal).

7
Firdaus.Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah.(Padang: IAIN Press,2010)hlm 53-58
Misalnya, orang yang niat melaksanakan sholat jenazah laki-laki,
tetapi ternyata jenazahnya perempuan, maka sholatnya tidak sah. Dalam
hal ini menentukan jika sholat jenazah sangat dipersyaratkan secara rinci.

‫ضَّر‬ ِ ِ ‫ما الَ يشتر ُط التَّعرض لَه لَة والَ ت ْف‬


ُ َ‫صْيالً أذَا َعَّينَهُ َوا ْخطَأ مَلْ ي‬ َ َ ُ ْ‫َ ُّ ُ ُ مُج‬ ََ ْ ُ َ

(Sesuatu yang tidak di syaratkan untuk menyebutkannya, baik secara


garis besar, maupun secara detail, jika disebutkan dan ternyata salah,
maka tidak membawa kerusakan).

Misalnya orang yang niat sholat ashar di Mesir, ternyata ia berada


di Irak, shalatnya tetap sah. Dalam hal ini menentukan tempat sholat tidak
dipersyaratkan sama sekali, baik secara garis besar maupun detail.8

8
Suwarjin.Ushul Fiqh.(Yogyakarta: Teras, 2012)hlm 215-216
‫‪BAB III‬‬
‫‪PENUTUP‬‬

‫‪A. Kesimpulan‬‬

‫‪Pengertian kaidah‬‬ ‫‪bahwa hukum yang berimplikasi‬االم ور مبقاص دها‬


‫‪terhadap suatu perkara yang timbul dari perbuatan atau perkataan subjek‬‬
‫‪hukum (mukallaf) tergantung pada maksud dan tujuan dari perkara‬‬
‫‪tersebut. Kaidah ini berkaitan dengan setiap perbuatan atau perkara-‬‬
‫‪perkara hukum yang dilarang dalam syari’at Islam.‬‬

‫‪Ada 12 kaidah cabang Al-Umuru bi Maqasidiha diantaranya‬‬


‫‪sebagai berikut :‬‬

‫ﺍﺐ ﺇِﻻﱠ ﺒِﺎﻟﻨﱢﻴَ ِﺔ‬


‫ﻻَ ﺜَ َﻮ َ‬

‫ﻨِﻴﱠﺔ ُ ﺍﻟ ُﻣ ْﺆ ِﻣ ِﻦ ﺧَ ﻴْﺮ ٌ ِﻣ ْﻦ َﻋ َﻣﻟِ ِﻪ‬

‫ﻑ ﺍﻟﻟِ َﺳﺎﻦُ َﻮﺍﻟﻗَ ْﻟﺏُ ﻔَﺎﻟ ُﻣ ْﻌﺗَﺒَ ُﺮ‪َ  ‬ﻣﺎ ﻔِﻲ ﺍﻟﻗَ ْﻟ ِ‬
‫ﺏ‬ ‫ﻟَ ْ‬
‫ﻮﺍﺨﺗَﻟَ َ‪L‬‬

‫ﻻَ ﻴَ ْﻟ َﺯ ُﻡ ﻨِﻴَﺔُﺍﻟ ِﻌﺎ َﺪ ِﺓ ﻔِﻲ ُﻜ ﱠﻞ ﺠ ُْﺯﺀٍ ﺇِﻨﱠ َﻣﺎ ﺗ َْﻟ َﺯ ُﻡ ﻔِﻲ ُﺠ ْﻣﻟَ ٍﺔ َﻣﺎ ﻴَ ْﻔ َﻌﻟُﻪُ‬

‫ﺍﻟﺤ ّﺞ َﻮﺍﻟ ُﻌ ْﻣ َﺮﺓ‬ ‫ﺍﺤﺪ ٌﺇِﻻﱡ َ‬ ‫ُﻜﻞﱡ ُﻣﻔَﺮﱢ َ‬


‫ﻀﻴْﻦ ﻔَﻼَ ﺗَﺠْ ِﺯ ْﻴ ِﻬ َﻣﺎ ﻨِﻴﱠﺔ ٌَﻮ ِ‬
‫‪ُ  ‬ﻜﻞﱡ َﻣﺎ َﻜﺎﻦَ ﻠﻪُ ﺃﺻْ ٌﻞ ﻔَﻼَ ﻴَ ْﻨﺗَﻘِ ُﻞ ﻋ َْﻦ ﺃَﺻْ ﻟِ ِﻪ ﺒِ ُﻣ َﺠ ﱠﺮ ِﺪ ﺍﻠﻨﱢﻴَ ِﺔ‬

‫ﺻ ُﺪ اللفظِ َﻋﻟَﻰ ﻨِﻴَ ِﺔ ﺍﻠﻼَﻔِﻇ‪ ‬‬


‫َﻣﻘَﺎ ِ‬

‫ﺍﻷَ ْﻴ َﻣﺎﻦُ َﻣ ْﺒﻨِﻴﱠﺔ ٌ َﻋﻠَﻰ ﺍﻷَﻠﻔَﺎ ِﻇ َﻭﺍﻟ َﻣﻘَﺎ ِ‬


‫ﺻ ِﺪ‬

‫أل ْلفَا ِظ َو ْال َمبَا نِي‬


‫ص ِد َو اَ ْل َم َعا نِي لَ ِ‬
‫اَ ْل ِع ْب َر ةُ فِي اَ ْل ُعقُوْ ِد لِ َمقَا ِ‬

‫ما َ يُ ْشت ََرطُ فِ ْي ِه التَّ ْعيِي ُْن فَ ْالخَ طا ُ فِ ْي ِه ُمب ِْط ٌل‬
‫ِ ِ‬
‫َخطَأَ ُ‬
‫ضّر‬ ‫ض لَهُ مُجْلَةً َوالَ يَ ْشَتَر ُط َت ْعيِْينُهُ َت ْفصْيالً أذَ َ‬
‫اعَّينَهُ َوأ ْ‬ ‫َّعُّر ُ‬
‫َما يُ ْشَتَر ُط الت َ‬

‫ضّر‬ ‫ما الَ يشتر ُط التَّعرض لَه لَة والَ ت ْف ِ ِ‬


‫صْيالً أ َذا َعَّينَهُ َوا ْخطَأ مَلْ يَ ُ‬ ‫َ ُّ ُ ُ مُجْ ُ َ َ‬ ‫َ ُ ْ ََ‬
DAFTAR PUSTAKA

Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Gazali.1996. Ihya Ulumi ad-Diin.


Jakarta: Hidayah.

A.Djazuli.2007. Kaidah-kaidah fikih.Jakarta: Kencana Ed.1.Cet.ke-2.

Firdaus.2010. Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah.Padang: IAIN Press.

Ma’shum Zainy Al-Hasimy.2010. Qowaidh Fiqhiyyah Al-Faroidul Bahiyyah


.Jombang : Darul Hikmah.

Nasher Farid M Wasil.2009. Al-Qowa’id Fiqhiyyah .Jakarta: Amzah.

Suwarjin.2012. Ushul Fiqh .Yogyakarta: Teras.

Suyatno.2011. Dasar-dasar Ilmu Fiqih & Ushul Fiqih.Jogjakarta: Ar-Ruzz


Media.

Anda mungkin juga menyukai