Anda di halaman 1dari 15

SIYASAH DUSTURIYAH : IMAMAH

Makalah Ini Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Pada Mata Kulih Fiqih siyasah
Fakultas Syariah dan Hukum IslamProgram Studi Hukum Tata Negara (HTN 3)

Oleh :

A. ADI ANUGRAH
742352019080
AYU SABITA
742352019066
SYAHRAENI
742352019091

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BONE


TAHUN AKADEMIK 2019/2020
KATA PENGANTAR

‫الر حِ ي ِْم‬
َّ ‫الر حْ َم ِن‬
َّ ‫هللا‬
ِ ‫ْــــــــــــــــــم‬
ِ ‫ِبس‬

Assalamualaikum Wr. Wb

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Hidayah, Taufik,
dan Inayah-Nya kepada kita semua.Syukur Alhamdulillah penulis dapat
menyelesaikan makalah ini sesuai dengan judul yang diberikan “Siyasah
Dusturiyah: Imamah”.

Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita


Revolusi Akbar Nabi Muhammad SAW. Karena beliau adalah salah satu figur
umat yang mampu memberikan syafa’at kelak di hari kiamat.

Selanjutnya kami ucapkan mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila dalam


penulisan makalah ini terdapat banyak kesalahan didalamnya.Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya. Aamiiin...

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Watampone, 14 November 2020

Pemakalah
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
B. Rumusan masalah
C. Tujuan penulisan

BAB II PEMBAHASAN

A. Hukum Mengangkat Kepala Negara


B. Syarat-Syarat Pengankatan Kepala Negara
C. Mekanisme Pengangkatan Kepala Negara

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran.

DAFTAR PUSTAKAAN........................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Negara sebagai entitas kelembagaan politik merupakan manifestasi


dari kebersamaan dan keberserikatan sekelompok manusia untuk
mewujudkan kebaikan dan kesejahteraan bersama. Eksistensi negara, dalam
tataran ini, meniscayakan adanya perpaduan, meminjam istilah Georg W.F.
Hegel (w. 1831 M.), antara kebebasan subyektif (subjective liberty), yaitu
kesadaran dan kehendak individual untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu,
dan kebebasan obyektif (objective liberty), yaitu kehendak umum yang
bersifat fundamental
Imamah adalah isim mashdar atau kata benda dari kata Amamayang
artinya “di depan.” Sesuatu yang di depan disebut dengan “imam.” Itulah
sebabnya, dalam kehidupan sehari-hari, kata imam sering dimaknai untuk
menunjuk orang yang memimpin shalat jamaah. Arti harfiah dari kata
tersebut adalah orang yang berdiri di depan untuk menjadi panutan orang-
orang yang di belakangnya. Dengan demikian, imam berarti orang yang
memimpin orang lain. Sementara itu, imamah adalah lembaga kepemimpinan.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Hukum Mengangkat Kepala Negara?
2. Apa Syarat-Syarat Pengankatan Kepala Negara?
3. Bagaimana Mekanisme Pengangkatan Kepala Negara?

C. TUJUAN

1. Untuk mengetahui Hukum Mengangkat Kepala Negara


2. Untuk mengetahui Syarat-Syarat Pengankatan Kepala Negara
3. Untuk Mengetahui Mekanisme Pengangkatan Kepala Negara
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hukum Mengangkat Kepala Negara


Sebagai faktor instrumental dalam mewujudkan kesejahteraan bersama,
adanya seorang kepala negara (pemimpin) merupakan sesuatu yang niscaya.
Lembaga kepala negara (imamah) dipandang sebagai salahsatu aspek penting
dalam sistem ketatanegaraan.1
Selain memiliki kekuatan sentral dalam menjalankan aturan-aturan
politik kenegaraan bagi rakyatnya, dalam banyak kasus, ia juga memegang
peran dalam pengambilan dan pelaksanaan keputusan-keputusan keagamaan.
Begitu besar pengaruh dan peranan lembaga tersebut, sehingga seolah-seolah
tanpa keberadaannya, sebuah negara akan terjerumus pada anarkisme dan
kehancuran (fawdla). Dengan kata lain, kehadiran kepala negara menjadi faktor
yang menjamin eksistensi dan kelangsungan sebuah komunitas.
Dalam pemikiran politik Islam, paling tidak terdapat empat pokok soal
yang mendasari hadirnya seorang pemimpin (waliy al-amr). Pertama,
terwujudnya kemaslahatan umum sangat tergantung pada adanya amar makruf
nahi munkar. Karena itu, menegakkannya diperintahkan agama. 2
Pelaksanaan amar ma’ruf-nahi munkar menghendaki adanya pemimpin,
mengingat bahwa kelompok yangkecilpun diharuskan mengangkat seorang
pemimpin, 3

‫إذا خرج ثالثة في سفر فليؤمروا أحدهم‬


Jika dalam kelompok kecil manusia saja diperlukan seorang pemimpin, secara
logis tentu saja kelompok manusia yang lebih besar (rakyat) lebih memerlukan

1
J.J von Schmid, AhliAhli Pikir Besar tentang Negara dan Hukum, (Jakarta: Pustaka
Sardjana, 1965), hlm. 17-18.
2
Ibrahim Hosen, Fiqh Siyasah dalam Tradisi Pemikiran Islam Klasik, dalam Ulumul Qur`an
(Jakarta: 1992), No.2 Vol. IV, hlm., 58
3
Ibnu Taymiyah, al-Siyasah al-Syar’iyyah…., hlm. 161.
seorang pemimpin untuk mengatur urusan kehidupan mereka.
Kedua, al-Qur’an ayat 59 surat al-nisa’
‫أطيعوهللا وأطيعواالرسول وأولي أالمر منكم‬
Ayat ini tegas memerintahkan umat Islam agar menaati apa yang
diperintahkan ulil amri. Perintah ini tentu menghendaki adanya ulil amri.
Ayat ini melalui isyarah al-nash memerintahkan adanya ulil amri. Dus,
mengangkat pemimpin (uli al-amr) adalah wajib. Lebih jauh, cukup banyak
hadits yang menegaskan kewajiban taat kepada pemimpin. Dan berdasarkan
isyarah al-nash, hadits-hadits tersebut mengharuskan pula adanya pemimpin,
yang dalam lingkup luas diwujudkan dalam sosok kepala negara.
Ketiga, terhadap hukum fiqh yang berkenaan dengan persoalan
kemasyarakatan, intervensi pemerintah mutlak diperlukan, demi
menghindarkan kesimpangsiuran dan ketidakpastian hukum, di samping,
tentunya, agar terwujud keseragaman amaliah umat dan terciptanya
kemaslahatan umumKarena itu, jika pemerintah telah memilih sesuatu hukum
dan menetapkannya, maka semua masyarakat terikat dengannya dan harus
mematuhinya, sejalan dengan kaidah: ‫حكم الحاكم يرفع الخالف‬
Keempat, berdasarkan hukum aqliy (rasio) adalah tepat dan sudah
seharusnya menyerahkan urusan (persoalan kemasyarakatan) kepada seorang
pemimpin yang berkuasa untuk mencegah kezaliman dan mengatasi
perselisihan dalam masyarakat. Sebab, jika tidak demikian, tentu kekacauan
akan melanda umat manusia.
Dari keterangan di atas dan berdasarkan sejumlah nash lain yang
mengharuskan taat kepada pemimpin, dapatlah ditegaskan bahwa dalam
siyasah syar’iyyah hukum mengangkat pemimpin atau kepala negara adalah
wajib, baik secara syar’i maupun aqliy4

B. Syarat-Syarat Pengankatan Kepala Negara


Membaca motivasi dan alasan diperlukannya lembaga kepala negara

4
Mushthafa al-Saqa (editor) dalam al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al-Din, (Beirut: Dar al-
Fikr, Tanpa Tahun), hlm. 3-5
(imamah) dalam satu komunitas, jelas tanggung jawab seorang kepala negara
tidak ringan. Ia diharapkan bisa menjaga keutuhan “negara” dengan tanpa
membatasi hak-hak dasar setiap pribadi warga dan sekaligus mengusahakan
pemenuhan kebutuhan hidup bersama. Untuk dapat menjalankan fungsi
kepemimpinannya dengan baik, seorang kepala negara harus memiliki
sejumlah kelebihan.Al-Mawardi menyodorkan beberapa syarat seorang kepala
negara. Syarat-syarat kepala negara itu meliputi:5

1. Bersifat adil (al-‘adalah)


Sifat adil ini, bagi al-Mawardi, adalah fundamental.Tanpa al-‘adalah,
kepemimpinan negara tak ideal. Ia mensinyalir, sifat adil ini pertama kali
tercermin dalam sikap pribadi, yang kemudian diharapkan menjelma dalam
kehidupan masyarakat. Keadilan kepala negara adalah keadilan
2. Berpengetahuan (al-‘alim)
Pengetahuan yang luas dibutuhkan untuk menopang kemampuan kepala negara
dalam berjihad dan berijtihad. Dalam proses pengambilan keputusan, ijtihad
seorang kepala negara mutlak diperlukan.32
3. Memiliki kemampuan mendengar, melihat dan berbicara secara sempurna,
sehingga ia dapat mengenali masalah dengan teliti dan dapat
mengkomunikasikannya dengan baik dalam proses penentuan hukum .
4. Mempunyai kondisi fisik yang sehat.
5. Memiliki kebijakan dan wawasan yang memadai untuk mengatur kehidupan
rakyat dan mengatur kepentingan umum.
6. Memiliki keberanian untuk melindungi wilayah kekuasaan Islam dan untuk
mempertahankannya dari serangan musuh.
7. Berasal dari keturunan quraisy
Persyaratan yang terakhir ini menurut al-Mawardi berdasarkan ketentuan yang
disepakati umum.

5
Al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al-Din, hlm. 6.
C. Mekanisme Pengangkatan Kepala Negara
Tentang pengangkatan kepala negara, ia mengemukakan dua cara.
Pertama, seorang kepala negara mungkin diangkat melalui lembaga pemilih
(ahl al-hall wa al-‘aqd). Kedua, ia mungkin juga diangkat melalui penunjukan
kepala negara yang sedang berkuasa. Al-Mawardi mengajukan beberapa syarat
yang harus dipenuhi setiap anggota pemilih.Yaitu:
1. adil,
2. memiliki pengetahuan yang dapat menentukan siapa yang layak menjadi
kepala negara,
3. memiliki wawasan yang luas dan sikap yang arif sehingga dapat memilih calon
yang paling tepat untuk jabatan kepala negara dan yang paling mumpuni untuk
menangani dan mengelola kepentingan umum.6
Persyaratan yang diberikan al-Mawardi seperti di atas merupakan
persyaratan yang tepat, sebab dari kelompok pemilih itu diharapkan
terwujudnya kepala negara yang cakap, terampil, dan mengetahui mana yang
harus dilakukan untuk kepentingan rakyat. Untuk itu hanya kelompok tertentu
yang berhak menjadi kelompok pemilih kepala negara.
Kemudian, terhadap pengangkatan kepala negara melalui pemilihan
tersebut terdapat perbedaan pendapat tentang jumlah peserta dalam pemilihan
tersebut.
Pertama, kelompok yang mengatakan bahwa ahl al-hall wa al-‘aqd
terdiri dari perwakilan seluruh kota yang ada di bawah kekuasaan negara.
Kedua, kelompok yang menyatakan bahwa pemilihan baru dianggap
sah apabila paling kurang dilakukan lima orang. Seorang di antara mereka
diangkat sebagai imam dengan persetujuan empat orang yang lain. Dasar
pertimbangan kelompok ini ialah bahwa dahulu Abu Bakar diangkat sebagai
khalifah pertama melalui pemilihan lima orang, dan bahwa Umar ibn Khattab
telah membentuk dewan formatur yang terdiri dari enam orang untuk memilih

6
Ana K.S Lambton, State and Government in Medieval Islam, (New York: Oxford
University Press, 1981), hlm. 83.
seorang di antara mereka sebagai khalifah penggantinya dengan persetujuan
lima anggota yang lain dari dewan itu. 7
Ketiga, pemilihan itu sah kalau dilakukan tiga orang; seorang di antara
mereka diangkat sebagai imam dengan persetujuan dua orang yang lain.
Pendapat ini diajukan ulama Kufah.
Keempat, pemilihan imam sah walaupun dilakukan satu orang. Menurut
kelompok ini, dahulu Ali ibn Abi Thalib diangkat hanya oleh satu orang,
Abbas. Abbas berkata kepada Ali, “ulurkan tanganmu, aku hendak berbai’at
kepadamu”. Menyaksikan apa yang diperbuat oleh Abbas itu, semua yang
hadir serentak berkata, “paman Nabi telah berbai’at kepada anak pamannya”.
Dan semua mengikuti jejak Abbas.8
Al-Mawardi tampaknya tidak memberikan ketentuan secara pasti
mengenai jumlah ahl al-hall wa al-‘aqd. 9Akan tetapi, yang jelas, ia mengakui
keabsahan pemilihan kepala negara melalui lembaga pemilih tersebut. Sebab,
dengan proses ini berarti telah terjadi kontrak pemberian kewenangan formal
bagi seseorang untuk menjadi kepala negara yang bertanggung jawab dalam
upaya menjaga keutuhan dan pemenuhan hidup bersama.
Proses kerja dewan pemilih dimulai dengan meneliti persyaratan para
calon kepala negara. Selanjutnya, kepada calon yang paling memenuhi
persyaratan, dewan melakukan bai’at untuk menjadikannya sebagai pemimpin
negara. Namun, keputusan itu baru berlaku hanya jika ada pernyatan kesediaan
dari calon pemilih. Bagi al-Mawardi, pernyataan kesediaan itu sungguh perlu
dalam proses kontrak antara umat yang diwakili oleh dewan pemilih dengan
calon kepala negara. Di sini tidak boleh ada tekanan dan paksaan dalam proses
tersebut. Jika sang calon menyatakan tidak bersedia, maka ia tidak bisa dipaksa
menjadi kepala negara. Sebaliknya, apabila ia menerima penunjukan, maka

7
Ahmad Syalabi, Mausu’ah al-Tarikh al-Islamiy wa alHadlarah al-Islamiyah, (Cairo:
Maktabah al-Nahdlah al-Mishriyah, 1978), Jilid I, hlm. 422423.
8
al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah, hlm. 7
9
Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun), Juz
X, hlm. 114.
dewan pemilih melakukan bai’at kepadanya.10Dalam hal ini, masyarakatpun
harus ikut memberikan bai’at dan mematuhi kepemimpinanya.
Masalah mungkin muncul ketika terdapat dua calaon yang sama-sama
memenuhi kriteria pemilihan. Untuk menyelesaikannya, al-Mawardi
berpendapat bahwa calon yang lebih tua usianya memiliki hak yang lebih
terbuka untuk dipilih sebagai kepala negara. Akan tetapi, jika faktor usia tidak
menjadi pertimbangan dan kondisi riil mendukung, calon yang lebih mudapun
dapat dipilih. Kondisi obyektif memang menjadi faktor tatkala menghadapi
pilihan calon-calon yang berimbang kualitasnya. Misalnya, jika terdapat dua
calon yang memenuhi syarat, tetapi yang satu memiliki keunggulan dalam hal
keberanian, sementara yang lain memiliki kelebihan secara intelektual, maka
pemilihan harus diambil dengan mempertimbangkan situasi riil yang dihadapi
oleh negara itu. Apabila situasinya sedang dihadapkan pada ancaman dan
instabilitas, pilihan jatuh pada calon yang memiliki keberanian. Apabila
situasinya menuntut penyelesaian dalam masalah kebebasan berfikir, pilihan
diberikan kepada calon yang ntelektual.11
Hal lain yang menjadi perhatian al-Mawardi dalam proses pemilihan ini
adalah ketika terjadi kemacetan proses, yang terjadi akibat adanya dua calon
yang memenuhi syarat dan masing-masing memperlihatkan ambisinya.
Menurutnya, mayoritas ulama mengajukan dua solusi.12
Pertama, diundi sehingga salah seorang di antaranya memperoleh
kemenangan yang kemudian di bai’at. Kedua, dewan pemilih menggunakan
hak pilihmya secara penuh dengan memberikan bai’at kepada siapapun yang
menjadi pilihannya di antara dua calon itu. Adapun tentang pengangkatan
kepala negara melalui penunjukan kepala negara yang sedang berkuasa, al-
Mawardi menyatakan:13
‫وأما إنعقاد االمامة بعهد من قبله فهو مما إنعقد االجماع على جوازه ووقع االتفاق على صحته‬
‫المرين عمل المسلمون بهما ولم يتناكروهما أحدهما أن أبا بكر رضي هللا عنه وأن عمر عهد …عهد‬

10
Al-Mawardi, al-ahkam al-Sulthaniyah, hlm. 8.
11
Al-Mawardi, al-ahkam al-Sulthaniyah, hlm. 7.
12
Al-Mawardi, al-ahkam al-Sulthaniyah, hlm. 8.
13
Al-Mawardi, al-ahkam al-Sulthaniyah, hlm. 10.
‫رضي هللا عنه فأثبت المسلمون إمامته بعهده بها إلي أهل الشوري‬ ‫بها إلي عمر‬

Lagi-lagi alasan yang diajukan adalah praktik al-Khulafa’ al- Rasyidun,


terutama Abu Bakar dan Umar ibn Khattab. Suksesi kepemimpinan dari Abu
Bakar kepada Umar ibn Khattab lebih didasarkan kepada pesan (wasiat) Abu
Bakar kepada Umar sebagai putra mahkota (waliy al-‘ahd).14
Begitu juga selanjutnya, Umar ibn Khttab mewasiatkan kepada
beberapa orang sahabat yang kemudian dikenal sebagai “ahl al-syura” untuk
memilih kepala negara. Kecuali itu, al-Mawardi memberikan beberapa
persyaratan yang mesti dipenuhi dalam proses penunjukan tersebut. Pertama,
orang yang akan di tunjuk itu--di samping harus memiliki kriteria yang sudah
dikemukakan sebelumnya--juga harus dewasa dan memiliki reputasi baik. Jika,
misalnya, beberapa saat setelah kepala negara yang menunjuknya wafat, ia
sudah dewasa dan sudah dikenal tentang kebaikannya, maka kepemimpinan
yang bersangkutan tidak sah sampai ada pemilihan dan bai’at baru dari dewan
pemilih. Kedua, calon yang diangkat harus hadir pada saat penunjukan atau-
kalau memang ia tidak bisa hadir--ada kepastian bahwa ia masih hidup. Ketika
kepala negara yang menunjuknya meninggal dunia, sementara ia sendiri belum
juga hadir untuk dilakukan bai’at, maka dewan pemilih bertanggung jawab
untuk mengangkat orang lain sebagai pejabat pelaksana tugas-tugas kepala
negara.15
Tampaknya, al-Mawardi menghendaki adanya perlindungan bagi
masalah-masalah kenegaraan, sehingga tidak perlu terjadi kekacauan akibat
situasi yang tidak menentu Namun, al-Mawardi tidak menentukan tenggang
waktu sampai kapan atau berapa lama ketidakhadiran kepala negara itu bisa
ditolerir sehingga tidak membatalkan pengangkatannya sebagai kepala negara.
Pada dasarnya, kepala negara yang sedang berkuasa boleh dari
kalangan keluarga sendiri. Tanpa memberikan komentar, al-Mawardi

14
Montgomery Watt, Politik Islam dalam Lintasan Sejarah, terjemah Helmi Ali dan
Muntaha Azhari, (Jakarta: P3M, 1988), hlm. 55.
15
Al-Mawardi, al-ahkam al-Sulthaniyah, hlm.11.
menyajikan beberapa pendapat sebagai berikut:16
Pertama, kepala negara yang sedang berkuasa tidak diperkenankan menunjuk
anak atau ayahnya sebagai pengganti, tanpa dimusyawarahkan (bedakan
dengan dikonsultasikan !) melalui forum ahl al-hall wa al-‘aqd atau ahl al-
ikhtiyar. Alasan kelompok ini, masalah penunjukan ini sama dengan kesaksian
kepada anaknya atau sebaliknya. Tujuannya adalah agar terhindar dari
jebakan subyektifitas. Kedua, kepala negara yang sedang berkuasa dibenarkan
menunjuk anak atau ayahnya sebagai penggantinya. Pasalnya, kepala negara-
-ketika menunjuknya sebagai pengganti--berkedudukan sebagai amir al-
ummah yang mempunyai kekuasaan atau kewenangan mutlak. Karena itu,
tidak perlu dilihat unsur kekeluargaannya, melainkan unsur penguasanya.
Ketiga, penunjukan kepala negara hanya dibenarkan kepada ayahnya tidak
sebaliknya. Artinya, kepala negara tidak boleh menunjuk anaknya sebagai
penggantinya. Dalihnya, karena kecenderungan untuk menunjuk anak jauh
lebih besar ketimbang menunjuk ayah.

Mestinya al-Mawardi melakukan tarjih terhadap tiga pendapat di atas.


Namun, oleh karena situasinya tidak cukup kondusif, terpaksa ia tidak
melakukannya. Sesungguhnya, dengan diajukannya pendapat pertama dan
ketiga bisa diduga bahwa ia sendiri condong untuk mengatakan bahwa kedua
pendapat tersebut adalah rajih. Implikasi terjauh dari kecenderungan ini, ia
harus menyatakan bahwa khalifah tidak dibenarkan mengangkat putera
mahkota. Agaknya, ia tidak berani untuk mengemukakan pendapatnya itu. Ia
tak mungkin menentang tradisi dan konvensi khilafah abbasiyah.

Hal lain yang cukup menarik adalah mengenai dua orang calon
pengganti yang ditunjuk kepala negara yang sedang berkuasa dalam rangka
melanjutkan kepemimpinan berikutnya. Dengan merujuk pada kebijakan Nabi
Muhammaad tatkala mengangkat lebih dari seorang pengganti panglima tentara
muslim pada perang mu`tah, al-Mawardi mengakui keabsahan penunjukan
seperti itu. Praktik Nabi Muhammad dalam bidang kepemimpinan militer ini,

16
Al-Mawardi, al-ahkam al-Sulthaniyah, hlm. 12.
menurutnya, bisa dijadikan patokan untuk mempraktekkan cara yang sama
dalam bidang kenegaraan.17

Di samping itu, ada dua peristiwa lain yang bisa dijadikan


yuresprudensi; masing-masing pada masa Umawiyah dan Abbasiyah. Pada
masa Umawiyah, Khalifah Sulaiman ibn Abdul Malik menunjuk Umar ibn
Abdul Aziz sebagai penggantinya dan Yazid ibn Abdul Malik sebagai
pengganti Umar. Sedangkan pada masa Abbasiyah, adalah Harun al-Rasyid
yang mengangkat tiga anaknya; al-Amin, al-Makmun, dan al-Muktamin untuk
berturut-turut menjadi kepala negara (khalifah) sesudahnya.

Sikap al-Mawadi ini tidak luput dari kritik para penulis modern.
Qomaruddin Khan, misalnya, mengatakan bahwa teori al-Mawardi seperti
inilah yang membuat cita-cita politik umat Islam pasca-al-Khulafa` alRasyidun
menjadi buyar kembali. Setiap penguasa muslim berusaha untuk melestarikan
dinastinya. Itulah yang kita saksikan sampai dihapuskannya sistem khilafah
oleh Musthafa Kemal di Turki.18

17
Al-Mawardi, al-ahkam al-Sulthaniyah, hlm. 18.
18
Qamaruddin Khan, Al-Mawardi’s Theory of the State, Delhi: Idarah al-Adabiyah, 1979,
hlm. 19.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam pemikiran politik Islam, paling tidak terdapat empat pokok soal
yang mendasari hadirnya seorang pemimpin (waliy al-amr).Pertama, terwujudnya
kemaslahatan umum sangat tergantung pada adanya amar makruf nahi munkar.
Karena itu, menegakkannya diperintahkan agama,Kedua, al-Qur’an ayat 59 surat
al-nisa’, Ketiga, terhadap hukum fiqh yang berkenaan dengan persoalan
kemasyarakatan, intervensi pemerintah mutlak diperlukan, demi menghindarkan
kesimpangsiuran dan ketidakpastian hukum, di samping, tentunya, agar terwujud
keseragaman amaliah umat dan terciptanya kemaslahatan umumKeempat,
berdasarkan hukum aqliy (rasio) adalah tepat dan sudah seharusnya menyerahkan
urusan (persoalan kemasyarakatan) kepada seorang pemimpin yang berkuasa
untuk mencegah kezaliman dan mengatasi perselisihan dalam masyarakat.
Syarat-syarat kepala negara itu meliputi: . Sifat adil ini, bagi al-Mawardi,
adalah fundamental.Tanpa al-‘adalah, kepemimpinan negara tak ideal. Ia
mensinyalir, sifat adil,Pengetahuan yang luas,Mempunyai kondisi fisik yang
sehat.Memiliki keberanian untuk melindungi wilayah kekuasaan Islam dan untuk
mempertahankannya dari serangan musuh.

Tentang pengangkatan kepala negara, ia mengemukakan dua cara.


Pertama, seorang kepala negara mungkin diangkat melalui lembaga pemilih (ahl
al-hall wa al-‘aqd). Kedua, ia mungkin juga diangkat melalui penunjukan kepala
negara yang sedang berkuasa.

B. Saran

Mohon maaf apabila ada kesalahan kata dari materi yang ada diatas tentunya
masih banyak hal yang perlu di perbaiki dan tentunya memerlukan saran dari
teman-teman sekalian.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Beirut: Dar al-Fikr,


Tanpa Tahun

Ahmad Syalabi, Mausu’ah al-Tarikh al-Islamiy wa al-Hadlarah al-


Islamiyah, Cairo: Maktabah al-Nahdlah al-Mishriyah, 1978

Al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al-Din, Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun.

Ana K.S Lambton, State and Government in Medieval Islam, New York:
Oxford University Press, 1981.

Ibnu Taymiyah, al-Siyasah al-Syar’iyyah fiy Ishlah al-Ra’i wa al-


Ra’iyyah, cet. IV, Mesir: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1979

Ibrahim Hosen, Fiqh Siyasah dalam Tradisi Pemikiran Islam Klasik,


dalam Ulumul Qur`an, Jakarta: 1992, No.2 Vol. IV.

J.J von Schmid, Ahli-Ahli Pikir Besar tentang Negara dan Hukum,
(Jakarta: Pustaka Sardjana, 1965.

Montgomery Watt, Politik Islam dalam Lintasan Sejarah, terjemah Helmi


Ali dan Muntaha Azhari, Jakarta: P3M, 1988.

Mushthafa al-Saqa (editor) dalam al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al-Din,


Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun.

Qamaruddin Khan, Al-Mawardi’s Theory of the State, Delhi: Idarah


alAdabiyah, 1979.

Anda mungkin juga menyukai