Anda di halaman 1dari 18

HADITS TENTANG KAFA’AH

Makalah ini sebagai salah satu tugas Mata kuliah Hadits Hukum Keluarga
Dipresentasikan dalam perkuliahan di kelas

Disusun Oleh:
Asri Ainun Ilahude
Hafifah Khairunnisa. A

Dr. Hj. Zaenab Abdullah,Lc.,M.Th.i

PROGRAM HUKUM KELUARGA ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
(STAI) AL-AZHAR GOWA
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Banyak hal yang dapat menjadi dasar terjadinya pernikahan. Cinta, kasih sayang,
keinginan, keperluan, kemampuan, adalah beberapa hal yang kerap menjadi alasan utama
dua insan melangsungkan pernikahan. Pernikahan atau munakahat merupakan suatu hal
yang sangat sakral dalam kehidupan dua orang insan. Janji sehidup semati yang
diikrarkan dalam pernikahan bukanlah hal yang mudah untuk diwujudkan. Lika-liku
perjalanan hidup mengarungi bahtera pernikahan akan
dijalani.                                            

Pernikahan merupakan sebuah kebutuhan manusia yang harus dipenuhi, karena


hal itu merupakan kebutuhan biologis dan psikologis yang tidak bisa dipisahkan dari
kehidupan manusia. Kasarnya, pernikahan merupakan jalan dari hasrat biologis yang
dimiliki manusia. Namun, terlepas dari berbagai alasan tersebut, Islam menganjurkan
beberapa syarat yang hendaknya dapat dipenuhi sebelum seseorang menjalani sebuah
pernikahan. Bukan syarat adanya wali dan perangkat pernikahan lainnya, akan tetapi
syarat kafa’ah atau kecocokan dan kesesuaian antara kedua insan yang berkasih dan juga
berkeluarga. Selain itu, perlu adanya khiyar dalam pernikahan, agar nantinya tidak terjadi
suatu kesalahpahaman jika telah menikah.

Mengapa demikian, pada awalnya keduan insan ini adalah individu yang
berbeda, kemudian ingin untuk disatukan dengan tata cara yang benar menurut syariat
islam. Kalimat ‘individu yang berbeda’ inilah yang kemudian menjadi disyaratkan adanya
kafa’ah dalam sebuah pernikahan. Kafa’ah atau kesetaraan antar pasangan nikah sangat
penting dalam kelanggengan suatu pernikahan. Agar kelak terdapat kesesuaian,
keseimbangan dan kesinambungan antara dua insan yang akan mengarungi kehidupan
berdua. Dan kami selaku penyusun makalah ingin menjelaskan hukum kafa’ah serta
hadits-hadits kafa’ah dalam pernikahan

B. Rumusan Masalah
1. Bagimana kafa’ah dalam hukum islam?
2. Bagaimana pendapat ulama tentang kafa’ah dalam pernikahan?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kafa’ah dalam Hukum islam
1. Pengertian kafa’ah

Kafa’ah berasal dari bahasa Arab dari kata ( ‫ كفىء‬ ) , berarti sama atau setara.
Kata ini merupakan kata yang terpakai dalam bahasa Arab dan terdapat dalam Al-
Qur’an dengan arti “sama” atau setara. Contoh dalam Al-Qur’an adalah dalam surat
Al-Ikhlas ayat 4 :

٤‫ح ۢ ُد‬ َ
ُ َّ ‫وَل َ مۡ يَكُن ل‬ 
َ ‫هۥ كُفُوًا أ‬
yang berarti “ dan tidak ada seorangpun yang setara dengan-Nya”.
 Dalam istilah fikih, “sejodoh” disebut “kafa’ah” , artinya ialah sama, serupa,
seimbang, atau serasi. Menurut H. Abd. Rahman Ghazali, kafa’ah atau kufu’, menurut
bahasa, artinya “setaraf, seimbang, atau keserasian/kesesuaian, serupa, sederajat atau
sebanding” .
Yang dimaksud dengan kafa’ah atau kufu’ dalam perkawinan, menurut istilah
hukum Islam, yaitu keseimbangan dan keserasian antara calon istri dan suami
sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan perkawinan.
Atau laki-laki sebanding dengan calon istrinya, sama dalam kedudukan, sebanding
dalam tingkat sosial dan derajat dalam akhlak serta kekayaan.
Jadi, tekanan dalam hal kafa’ah adalah keseimbangan, keharmonisan, dan
keserasian, terutama dalam hal agama, yaitu akhlak dan ibadah. Sebab, kalau kafa’ah
diartikan persamaan dalam hal harta atau kebangsawanan, maka akan berarti
terbentuknya kasta, sedangkan manusia di sisi Allah SWT adalah sama. Hanya
ketaqwaannyalah yang membedakannya.
Hal ini sesuai dengan Firman Allah SWT: 

ُ ۡ‫جعَ ۡلن َٰك ُ م‬ ُ َ


َ ِ ‫ش عُوبٗا وَقَبَٓائ‬
‫ل‬ َ َ‫ى و‬ ٰ َ ‫من ذ َك َ ٖر وَأنث‬ ِّ ‫س إِنَّا خَل َ ۡقنَٰكُم‬ُ ‫يَٰٓأيُّهَ ا ٱلنَّا‬
َ َ ‫لِتعارفُو ۚ ْا إ‬
١٣ ‫ر‬ٞ ‫م خَبِي‬ٌ ‫ه عَلِي‬ َّ ِ ‫عند َ ٱللَّهِ أ ۡتقَىٰك ُ ۡۚم إ‬
َ َّ ‫ن ٱلل‬ ِ ۡ‫مك ُ م‬ َ ‫ن أ ۡك َر‬َّ ِ ٓ َ َ َ
Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujura :13)
Kafa’ah dalam perkawinan, merupakan faktor yang dapat mendorong
terciptanya kebahagiaan suami istri dan lebih menjamin keselamatan perempuan dari
kegagalan atau kegoncangan rumah tangga. Kafa’ah dianjurkan oleh Islam dalam
memilih calon suami/istri, tetapi tidak menentukan sah atau tidaknya perkawinan.
Kafa’ah adalah hak bagi wanita atau walinya. Karena suatu perkawinan  yang tidak
seim
bang, serasi/sesuai akan menimbulkan problema berkelanjutan, dan besar
kemungkinan menyebabkan terjadinya perceraian, oleh karena itu, boleh dibatalkan.

2. Landasan Kafa’ah

Kafa’ah diatur dalam pasal 61 KHI (kompilasi Hukum Islam) dalam


membicarakan pencegahan perkawinan, dan yang diakui sebagai kriteria kafaah itu
adalah apa yang telah menjadi kesepakatan ulama yaitu kualitas ke-beragamaan. Pasal
61 berbunyi: “Tidak se-kufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah
perkawinan, kecuali tidak se-kufu karena perbedaan agama atau ikhtilafu al-dien.
Ibnu Hazim berpendapat tidak ada ukuran-ukuran kufu’. Dia berkata: Semua
orang Islam asal saja tidak berzina, berhak kawin dengan semua wanita Muslimah,
asal tidak tergolong perempuan lacur. Dan semua orang Islam adalah bersaudara.
Kendatipun ia anak seorang hitam yang tak dikenal umpamanya, namun tak dapat
diharamkan kawin dengan anak Khalifah Bani Hasyim. Walau seorang Muslim yang
sangat Fasiq, asalkan tidak berzina ia adalah kufu’ untuk wanita Islam yang fasiq, asal
bukan  perempuan berzina. Alasannya adalah firman-firman allah:
َ ‫صِحوا ْ ب ۡي‬ َ ُۡ ‫ما ۡٱل‬
١٠ ‫ن‬
َ ‫مو‬ َ ُ ‫ه لَعَلَّك ُ مۡ ت‬
ُ ‫حۡر‬ َ َّ ‫ن أخَوَ ۡيك ُ مۡۚ وَٱتَّقُوا ْ ٱلل‬
َ َ ُ ‫ة فَأ ۡل‬ٞ َ‫ن إ ِ ۡخو‬
َ ‫منُو‬
ِ ‫مؤ‬ َ َّ ‫إِن‬
Artinya: Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu
damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah
terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. (QS. Al-Hujarat ayat 10)

‫ن‬ ِّ ‫اب لَكُم‬


َ ‫م‬ َ َ‫م ا ط‬ َ ْ ‫حوا‬ ُ ِ ‫ى فَٱ نك‬ ‫م‬
َ َ ٰ ‫ت‬َ ‫ي‬ ۡ ‫س طُوا ْ فِي‬
‫ٱل‬ ِ ‫ق‬ ۡ ُ ‫خ ۡفت ُ مۡ أَاَّل ت‬
ِ ‫وَإ ِ ۡن‬
ٰ
َ ِ َٰ‫خ ۡفت ُ مۡ أَاَّل ت َ ۡعدِلُوا ْ فَو‬
ِ ‫ث وَ ُرب َٰ ۖ َعفَ إ ِ ۡن‬ َ َٰ ‫ى وَثُل‬ ۡ ِ‫س ٓاء‬
‫م ا‬ َ ‫ح دَةً أ ۡو‬ ٰ َ ‫م ثن‬َ َ ِّ ‫ٱلن‬
٣ ْ ‫ى أَاَّل تَعُولُوا‬ َ َ ِ ‫ملَك َ ۡتأ َ ۡيمنك ُ مۡۚ ذَٰل‬
ٰٓ َ ‫ك أ ۡدن‬ ُ َٰ َ
Artinya:  Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-
hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-
budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya.(QS. An-Nisa’: 3 )
Tujuan disyari'atkannya kafa'ah adalah untuk menghindari celaan yang terjadi
apabila pernikahan dilangsungkan antara sepasang pengantin yang tidak sekufu
(sederajat) dan juga demi kelanggengan kehidupan pernikahan, sebab apabila
kehidupan sepasang suami istri sebelumnya tidak jauh berbeda tentunya tidak terlalu
sulit untuk saling menyesuaikan diri dan lebih menjamin keberlangsungan kehidupan
rumah tangga. Dengan demikian kafa’ah hukumnya adalah dianjurkan, seperti dalam
hadits Abu Hurairah yang dijadikan dasar tentang Kafa’ah, yaitu:

ُ‫رْ أَة‬MM‫ تُ ْن َك ُح ال َم‬:‫ال‬MM‫لم ق‬MM‫ه وس‬MM‫ة علي‬MM‫لى الل‬MM‫بى ص‬MM‫ه عن الن‬MM‫ى هللا عن‬MM‫وعن أبى هريرة رض‬
‫ه‬MM‫ق علي‬MM‫ متف‬.‫داك‬MM‫ فاظفر بذات الدين تربت ي‬,‫ ولدينها‬,‫ ولجمالها‬,‫ ولحسبها‬,‫ لمالها‬:‫ألَرْ بَ ٍع‬
.‫مع بقية السبعة‬
Artinya: “Wanita itu dikawini karena empat hal: karena hartanya,
keturunannya, kecantikannya dan agamanya, maka pilihlah yang beragama, semoga
akan selamatlah hidupmu”.
Secara mafhum hadits ini berlaku pula untuk wanita yang memilih calon
suami. Dan khusus tentang calon suami ditegaskan lagi oleh hadits At-Turmudzy
riwayat Abu Hatim Al Mudzanny:

‫ رواه الترمذي‬.‫اذااتاكم من ترضون دينه وخلقه فانكحوا‬


Artinya:“Bila datang kepadamu (hai wali), seorang laki-laki yang sesuai
agama dan akhlaknya, maka kawinkanlah anakmu kepadanya”

3. Kriteria Kafa’ah Menurut Ulama’ Fiqih

Menurut Ibnu Rusyd, di kalangan Madzhab Maliki tidak di perselisihka lagi


bahwa apabila seorang gadis di kawinkan oleh ayahnya dengan seorang peminum
khamr (pemabuk), atau singkatnya dengan orang fasik, maka gadis tersebut berhak
menolak perkawinan tersebut. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa para fuqoha’ juga
berbeda pendapat tentang faktor nasab (keturunan), faktor kemerdekaan, kekayaan
dan keselamatan dari cacat (aib).
Menurut pendapat yang masyhur dari Imam Malik, dibolehkan kawin dengan
hamba sahaya Arab, seperti firman Allah dalam Qur’an Surat Al Hujurat ayat 13:

ُ ۡ‫جعَ ۡلنَٰك ُ م‬ ُ َ
َ
‫ل‬ ِ ‫ش عُوبٗا وَقَبَٓائ‬ َ َ‫ى و‬ ٰ َ ‫من ذ َك َ ٖر وَأنث‬ ِّ ‫س إِنَّا خَل َ ۡقنَٰكُم‬ُ ‫أيُّهَ ا ٱلنَّا‬
َ َ ‫لِتعارفُو ۚ ْا إ‬
١٣ ‫ر‬ٞ ‫م خَبِي‬
ٌ ‫ه عَلِي‬ َ َّ ‫ن ٱلل‬َّ ِ ‫عند َ ٱللَّهِ أ ۡتقَىٰك ُ مۡۚ إ‬
ِ ۡ‫مك ُ م‬ َ ‫ن أ ۡك َر‬َّ ِ ٓ َ َ َ
Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat :13)
Para ulama’ berbeda persepsi dalam menentukan kriteria yang digunakan
dalam kafa’ah:

a. Menurut ulama Hanafiyah, yang menjadi dasar kafa’ah adalah:


1) Nasab

Yaitu keturunan atau kebangsaan. Orang Arab adalah kufu’ antara satu dengan
lainnya. Begitu pula halnya dengan orang Quraisy sesama Quraisy lainnya. Karena itu
orang yang bukan Arab tidak sekufu’ dengan perempuan Arab. Orang Arab tetapi
bukan dari golongan Quraisy, tidak sekufu’ dengan/ bagi perempuan Quraisy lainnya.

2) Islam

Yaitu silsilah kerabatnya banyak yang beragama Islam. Dengan Islam maka
orang kufu’ dengan yang lain. Ini berlaku bagi orang-orang bukan Arab. Adapun di
kalangan bangsa Arab tidak berlaku. Sebab mereka ini merasa sekufu’ dengan
ketinggian nasab, dan mereka merasa tidak akan berharga dengan Islam. Adapun
diluar bangsa Arab yaitu para bekas budak dan bangsa-bangsa lain, mereka merasa
dirinya terangkat menjadi orang Islam. Karena itu jika perempuan muslimah yang
ayah dan neneknya beragama Islam, tidak kufu’ dengan laki-laki Muslim yang atah
dan neneknya tidak beragama Islam.

3) Hirfah

`Yaitu profesi dalam kehidupan. Seorang perempuan dan keluarga yang


pekerjaannya terhormat, tidak kufu’ dengan laki-laki yang pekerjaannya kasar. Tetapi
kalau pekerjaannya itu hampir bersamaan tingkatannya antara satu dengan yang lain
maka tidaklah dianggap ada perbedaan. Untuk mengetahui pekerjaan yang terhormat
atau kasar, dapat diukur dengan kebiasaan masyarakat setempat. Sebab adakalanya
pekerjaan tidak terhormat di suatu tempat dengan  masa yang lain.

4) Kemerdekaan dirinya

Jadi budak laki-laki tidak kufu’ dengan perempuan merdeka. Budak laki-laki
yang sudah merdeka tidak kufu’ dengan perempuan yang merdeka dari asal. Laki-laki
yang salah seorang neneknya pernah menjadi budak tidak kufu’ dengan perempuan
yang neneknya tak pernah ada yang jadi budak. Sebab perempuan merdeka bila
dikawin  dengan laki-laki budak dianggap tercela. Begitu pula bila dikawin oleh laki-
laki yang salah seorang neneknya pernah menjadi budak.

5)   Diyanah

Yaitu tingkat kualitas keberagamaan dalam Islam. Abu Yusuf berpendapat:


seseorang laki-laki yag ayahnya sudah dalam kufu’dengan perempuan yang ayah dan
neneknya Islam. Karena untuk mengenal laki-laki cukup hanya dikenal ayahnya saja.

6) Kekayaan.

Golongan Syafi’i berkata bahwa kemampuan laki-laki fakir dalam


membelanjai isterinya adalah di bawah ukuran laki-laki kaya.  Sebagian lain
berpendapat bahwa kekayaan itu tidak dapat jadi ukuran kufu’ karena kekayaan itu
sifatnya timbul tenggelam, dan bagi perempuan yang berbudi luhur tidaklah
mementingkan kekayaan.

b. Menurut ulama Malikiyah, yang menjadi dasar kafa’ah adalah:


1) Diyanah.
2) Terbebas dari cacat fisik
Salah satu syarat kufu’ ialah terbebas dari cacat. Bagi laki-laki yang mempunyai cacat
jasmani yang menonjol, ia tidak kufu’ dengan perempuan yang sehat dan normal.
c. Menurut ulama Syafi’iyah, yang menjadi dasar kafa’ah adalah:
1) Nasab  
Tidaklah dinamakan sekufu’ pernikahan orang bangsawan Arab dan rakyat jelata atau
sebaliknya.
2) Diyanah
Tidaklah sekufu’ bila orang Islam menikah dengan orang yang bukan Islam.
3) Kemerdekaan dirinya
Tidaklah sekufu’ bagi mereka yang merdeka yang menikah dengan budak.
4) Hirfah
d. Menurut ulama Hanabilah yang menjadi dasar kafa’ah adalah:
1) Diyanah
2) Hirfah
3) Kekayaan
4) Kemerdekaan diri
5) Nasab

Mayoritas Ulama sepakat menempatkan dien atau diyanah sebagai kriteria kafa’ah.
Konsensus itu didasarkan pada Qur’an Surat As-Sajdah: 18,
َ
َ ‫سقٗ ۚا اَّل ي َ ۡستَوُۥ‬
١٨ ‫ن‬ َ ‫من كَا‬
ِ ‫ن فَا‬ َ َ ‫منٗا ك‬
ِ ‫م ۡؤ‬ َ ‫من كَا‬
ُ ‫ن‬ َ َ‫أف‬
Artinya: “Apakah orang-orang beriman itu sama dengan orang-orang yang fasik?
Mereka tidak sama. (QS. As-Sajdah :18 )
Menurut Sufyan Al Tsauri dan Imam Ahmad berpendapat bahwa wanita Arab tidak
boleh kawin dengan hamba sahaya lelaki.
Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya berpendapat bahwa wanita Quraiys tidak
boleh kawin kecuali dengan lelaki Quraisy, dan wanita Arab tidak boleh kawin kecuali
dengan lelaki Arab pula.
Perbedaan pendapat tersebut menurut Ibnu Rusyd disebabkan oleh adanya
perbedaan pendapat mereka tentang mafhum (pengertian) dari sabda Rasulullah, yaitu:

ُ‫رْ أَة‬MM‫ تُ ْن َك ُح ال َم‬:‫ال‬MM‫لم ق‬MM‫ه وس‬MM‫ة علي‬MM‫لى الل‬MM‫بى ص‬MM‫وعن أبى هريرة رضى هللا عنه عن الن‬//
‫ه‬MM‫ق علي‬MM‫ متف‬.‫داك‬MM‫ فاظفر بذات الدين تربت ي‬,‫ ولدينها‬,‫ ولجمالها‬,‫ ولحسبها‬,‫ لمالها‬:‫ألَرْ بَ ٍع‬
‫مع بقية السبعة‬
Artinya: “Wanita itu dikawinkan karena agamanya, kecantikannya, hartanya dan
keturunannya. Maka carilah wanita yang taat beragama, niscaya akan beruntung tangan
kananmu”.
Segolongan fuqoha’ ada yang memahami bahwa faktor agama sajalah yang
dijadikan pertimbangan. Segolongan lainnya berpendapat bahwa faktor keturunan sama
kedudukannya dengan factor agama, demikian pula faktor kekayaan, dan tidak ada yang
keluar dari lingkup kafa’ah, kecuali apa yang dikeluarkan oleh ijma’, yaitu bahwa
kecantikan tidak termasuk dalam lingkup kafa’ah. Dan semua fuqoha’ yang berpendapat
adanya penolakan nikah karena adanya cacat, mereka akan menganggap keselamatan dari
cacat termasuk dalam lingkup kafa’ah.
Demikian juga dengan faktor kemerdekaan juga tidak diperselisihkan lagi di
kalangan madzhab Maliki bahwa ia termasuk dalam lingkup pengertian Kafa’ah. Hal ini
didasarkan adanya hadits shahih yang memberikan hak khiyar (memilih) kepada hamba
sahaya perempuan yang telah dimerdekakan (yakni hak memilih untuk meneruskan atau
membatalkan perkawinan dengan suaminya yang masih berstatus hamba sahaya).
Selanjutnya para fuqoha’ juga bersepakat bahwa kafa’ah hanya berlaku bagi pihak
pria untuk wanita, tidak sebaliknya. Jadi apabila pihak pria memilih seorang wanita yang
tidak sekufu dengannya tidak menjadi masalah dalam kafa’ah. Seperti dalam Al-Qur’an
surat Al Ahzab ayat 36:
َ َ ُ ‫وما كَان لِم ۡؤم ن واَل م ۡؤمنة إذ َا قَض ى ٱللَّه ورس ول‬
َ ‫ ًرا أن يَك ُ و‬%%‫هۥٓ أ ۡم‬
‫ن‬ ُ ُ ََ ُ َ ِ ٍ َ ِ ُ َ ٖ ِ ُ َ َ َ
َ ِ ‫م ۡٱل‬
ُّ ‫ض لَٰاٗل‬
‫مبِين ٗ ا‬ َّ ‫ض‬
َ ‫ل‬ ُ َ ‫سول‬
َ ‫هۥ فَقَ ۡد‬ َ َّ ‫ص ٱلل‬
ُ ‫ه وَ َر‬ ِ ‫من ي َ ۡع‬ َ َ‫م ۡنأ ۡمرِه ِ ۡۗم و‬
ِ ُ ‫خي َ َرة‬ ُ ُ‫لَه‬
٣٦
Artinya: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan,
akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.

4. Hikmah Kafa’ah dalam Kehidupan Rumah Tangga


Berikut hikmah kafaah dalam pernikahan yang di antaranya adalah sebagai berikut:

a. Kafa’ah merupakan wujud keadilan dan konsep kesetaraan yang ditawarkan Islam dalam
pernikahan.
Islam telah memberikan hak thalaq kepada pihak laki-laki secara mutlak. Namun oleh
sebagian laki-laki yang kurang bertanggungjawab, hak thalaq yang dimilikinya dieksploitir
dan disalahgunakan sedemikian rupa untuk berbuat seenaknya terhadap perempuan. Sebagai
solusi untuk mengantisipasi hal tersebut, jauh sebelum proses pernikahan berjalan, Islam
telah memberikan hak kafa’ah terhadap perempuan. Hal ini dimaksudkan agar pihak
perempuan bisa berusaha seselektif mungkin dalam memilih calon suaminya  Target paling
minimal adalah, perempuan bisa memilih calon suami yang benar-benar paham akan konsep
thalaq, dan bertanggung jawab atas kepemilikan hak thalaq yang ada di tangannya.
b. Dalam Islam, suami memiliki fungsi sebagai imam dalam rumah tangga dan perempuan
sebagai makmumnya.
Konsekuensi dari relasi imam-makmum ini sangat menuntut kesadaran keta’atan dan
kepatuhan dari pihak perempuan terhadap suaminya. Hal ini hanya akan berjalan normal dan
wajar apabila sang suami berada ‘satu level di atas’ istrinya, atau sekurang-kurangnya sejajar.

c. Naik atau turunnya derajat seorang istri, sangat ditentukan oleh derajat suaminya.
Seorang perempuan ‘biasa’, akan terangkat derajatnya ketika dinikahi oleh seorang
laki-laki yang memiliki status sosial yang tinggi, pendidikan yang mapan, dan derajat
keagamaan yang lebih. Sebaliknya, citra negatif suami akan menjadi kredit kurang bagi
nama, status sosial, dan kehidupan keagamaan seorang istri.

B. Pendapat Para Ulama


1. Hadits tentang kafa’ah
HADITS I
, ‫س<<بِ َها‬ ٍ َ‫<<رأَةُ أِل َ ْرب‬
َ ‫ َولِ َح‬, ‫ لِ َمالِ َه<<ا‬: ‫<<ع‬ ْ ‫ ( تُ ْن َك ُح اَ ْل َم‬: ‫َوعَنْ أَبِي ه َُر ْي<< َرةَ رض<<ي هللا عن<<ه َع ِن النَّبِ ِّي ص<<لى هللا علي<<ه وس<<لم قَ<<ا َل‬
ِ ‫ فَا ْظفَ ْر بِ َذا‬, ‫ َولِ ِدينِ َها‬, ‫َولِ َج َمالِ َها‬
 ) ‫ت اَلدِّي ِن تَ ِربَتْ يَدَا َك‬

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
bersabda: "Perempuan itu dinikahi karena empat hal, yaitu: harta, keturunan, kecantikan,
dan agamanya. Dapatkanlah wanita yang taat beragama, engkau akan berbahagia."

HADITS II
‫<والِي‬ ٍ ‫ض< ُه ْم أَ ْكفَ<<ا ُء بَ ْع‬
َ <‫ َوا ْل َم‬, ‫ض‬ ُ ‫ب بَ ْع‬ُ ‫سو ُل هَّللَا ِ ص<<لى هللا علي<<ه وس<<لم ( اَ ْل َع< َر‬ ُ ‫ قَا َل َر‬: ‫ قَا َل‬-‫ض َي هَّللَا ُ َع ْن ُه َما‬
ِ ‫ َر‬- ‫َو َع ِن ا ْب ِن ُع َم َر‬
 ‫ستَ ْن َك َرهُ أَبُو َحاتِ ٍم‬
ْ ‫ َوا‬, ‫س َّم‬ ْ ِ‫ َوفِي إ‬, ‫ َر َواهُ اَ ْل َحا ِك ُم‬ ) ‫ إِاَّل َحائِ ٌك أَ ْو َح َّجا ٌم‬, ‫ض‬
َ ُ‫سنَا ِد ِه َرا ٍو لَ ْم ي‬ ٍ ‫ض ُه ْم أَ ْكفَا ُء بَ ْع‬
ُ ‫بَ ْع‬

َ ِ‫ عَنْ ُم َعا ِذ ْب ِن َجبَ ٍل ب‬: ‫َولَهُ شَا ِه ٌد ِع ْن َد اَ ْلبَ َّزا ِر‬


 ‫سنَ ٍد ُم ْنقَ ِط ٍع‬

Dari Ibnu Umar Radliyallahu 'anhuma bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
bersabda: "Bangsa Arab itu sama derajatnya satu sama lain dan kaum mawali (bekas hamba
yang telah dimerdekakan) sama derajatnya satu sama lain, kecuali tukang tenung dan
tukang bekam."

a. Makna Hadits
Hadits pertama mengandung makana setiap manusia mempunyai cara dan tujuan
tersendiri dalam memiliki pasangan lalu Rasulullah Saw, membatasinya dalam empat faktor
berikut, yaitu harta, keturunan, kecantikan dan agama. Allah Swt kemudian menganjurkan
untuk mengahwini wanita kerana agamanya. Ini kerana harta membuat manusia lupa diri
sebagaimana firman-Nya
“Ingatlah! Sesungguhnya jenis manusia tetap melampaui batas (yang sepatutnya atau
yang sewajibnya). Dengan sebab ia melihat dirinya sudah cukup apa yang dihajatinya.”
(Surah al-‘Alaq: 6-7)
Demikian pula keturunan membuat seseorang tinggi hati dan takabur, sebagaimana
firman Allah-Nya: “Maka berkatalah ketua-ketua yang kafir dari kaumnya: “Kami tidak
memandangmu (wahai Nuh) melainkan sebagai seorang manusia seperti kami; dan kami
tidak nampak golongan yang mengikutmu melainkan orang-orang kami yang miskin hina,
lagi berfikiran singkat; dan kami juga tidak memandang kamu (semua) mempunyai sebarang
kelebihan yang mengatasi kami, bahkan kami menganggap kamu orang-orang pendusta”.
(Surah Hud: 27)
Demikian pula kecantikan, di mana ia mendorong seseorang jatuh dalam kebinasaan
seperti mana dalam satu kisah bahawa ada seseorang yang berjalan dengan sombongnya
lantaran rupa elok yang ada pada dirinya, lalu Allah menenggelamkannya ke dalam bumi.
Malah kecantikan mengakibatkan permusuhan di kalangan kaum lelaki yang berebut ingin
meminangnya. Keadaan ini tentu mendatangkan persaingan tidak sihat.
Hadits yang kedua merupakan hadits daif, sehingga tidak bisa dijadikan pegangan. Hal
tersebut berdasarkan Firman Allah Swt yang berbunyi:
“Wahai umat manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari lelaki dan
perempuan, dan Kami telah menjadikan kamu berbagai bangsa dan bersuku puak, supaya
kamu berkenal-kenalan (dan beramah mesra antara satu dengan yang lain). Sesungguhnya
semulia-mulia kamu di sisi Allah ialah orang yang lebih taqwanya di antara kamu, (bukan
yang lebih keturunan atau bangsanya). Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, lagi Maha
Mendalam PengetahuanNya (akan keadaan dan amalan kamu).” (Surah al-Hujurat: 13)
Mengikut pemahaman ayat ini, persamaan derajat terletak pada agama sahaja. Ini
turut disokong oleh sabda Rasulullah SAW “Tidak ada keutamaan bagi orang Arab ke atas
orang selain Arab kecuali dengan ketakwaan.” Dari huraian di atas dapat disimpulkan bahwa
suku dan bangsa tidak boleh dijadikan kayu ukur dalam menentukan persamaan derajat.
b. Kandungan Hukum Dalam Hadits
Dalam hadits yang pertama terdapat beberapa kandungan hukum yaitu:
1)Menjelaskan faktor-faktor yang mendorong lelaki memilih pasangan, di mana pilihan itu
terbatas pada kekayaan, keturunan, kecantikan dan agama.
2)Anjuran untuk memilih wanita yang taat beragama.
3)Disunatkan mengahwini perempuan yang memiliki keturunan baik dan taat beragama.
Demikian pula setiap pilihan hendaklah disertakan dengan adanya faktor ketataan dalam
beragama.
4)Suami dibolehkan menikmati dan memanfaatkan harta isteri
Kemudian hadits yang kedua mengungkapkan kedudukan orang Arab adalah sama,
namun orang yang menisbahkan diri kepada mereka tidak memiliki kedudukan yang sama
dengan mereka. Ulama berbeda pendapat mengenai persamaan kedudukan ini. Menurut Ibn
‘Umar dan Ibn Mas’ud dari kalangan sahabat, Ibn Sirin, Ibn ‘Abdul ‘Aziz dari kalangan
tabi’in, Imam Malik dan Imam al-Syafi’i dalam satu riwayat dan sekumpulan ulama yang lain
menyatakan bahawa kesamarataan ini hendaklah berdasarkan agama sebagaimana yang
disebutkan dalam surah al-Hujurat ayat 13 di atas. Dalam perkembangan yang, al-Bukhari
turut menyokong pendapat ini dengan membuat satu bab berjudul: persamaan kedudukan
berdasarkan agama dan firman Allah (s.w.t):
“Dan Dia lah Tuhan yang menciptakan manusia dari air, lalu dijadikannya
(mempunyai) titisan baka dan pertalian keluarga (persemendaan); dan sememangnya
tuhanmu berkuasa (menciptakan apa jua yang dikehendakiNya).” (Surah al-Furqan: 54).
Kemudian al-Bukhari mengemukakan hadith yang menceritakan perkahwinan Salim
mawla Abu Hudzaifah dengan Hindun binti al-Walid. Sementara jumhur ulama berpendapat
bahwa persamaan kedudukan hendaklah berdasarkan keturunan. Menurut Abu Hanifah, suku
Quraisy memiliki kedudukan yang setara di antara sesama mereka dan orang Arab memiliki
kedudukan yang sama di antara sesama mereka. Orang Arab tidak setara dengan suku
Quraisy, sebagaimana orang bukan Arab tidak setara dengan orang Arab. Inilah pendapat
Imam al-Syafi’i dalam satu riwayat. Bagaimanapun, Imam al-Syafi’i berpendapat bahawa
mengahwinkan orang yang tidak sedarjat tidaklah diharamkan hingga nikahnya boleh
dibatalkan, namun tindakan ini pada hakikatnya merendahkan kedudukan perempuan yang
lebih kedudukannya dan demikian pula walinya. Jadi, jika mereka sama-sama redha untuk
berkahwin maka perkahwinan itu dinyatakan meskipun orang yang memiliki kedudukan lebih
tinggi berhak untuk membatalkan perkahwinan.
Pendapat yang menyatakan kesetaraan hendaklah berdasarkan keturunan berhujah
dengan hadith dalam bab ini dan hadith Mu’adz, namun Ibn Hajar dalam kitab Fath al-Bari
berkata: “Tidak ada hadith yang sahih yang mengatakan kesetaraan mesti berdasarkan
keturunan.” Mereka turut mengemukakan dalil dengan hadith: “Sesungguhnya Allah memilih
bani Kinanah dari keturunan Nabi Isma’il, memilih Quraisy dari bani Kinanah, memilih bani
Hasyim dari keturunan Quraisy dan memilihku dari keturunan Hasyim.” (Diriwayatkan oleh
Muslim)
Hadith yang lain pula menyebutkan: “Dahulukan kaum Quraisy dan jangan kamu
mendahului mereka,(Hadith sahih). Tetapi hadith ini tidak dapat dijadikan sebagai hujah,
karena banyak riwayat yang menceritakan terjadinya perkahwinan orang Arab dengan orang
bukan Arab. Ketetapan dalam masalah ini sudah jelas dan tidak boleh dikhususkan. Oleh itu,
nash yang jelas mestilah didahulukan ke atas nash yang memuatkan banyak kemungkinan.
Memandang rendah pekerjaan tukang bekam dan tukang tenung.
Al-Amir al-Shan’ani berkata: “Rasulullah (s.a.w) menyampaikan khutbah pada waktu
pembukaan kota Makkah. Baginda bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah menjauhkan
kesombongan masyarakat jahiliah…” Di sini baginda menjadikan berbanggah-bangga dengan
kerturunan sebagai sikap sombong yang biasa diamalkan oleh masyarakat jahiliah. Ini tentu
tidak layak dilakukan oleh seorang mukmin. Dalam satu hadith yang diriwayatkan oleh
Muslim, baginda bersabda:
“Ada empat kebiasaan buruk masyarakat jahiliah yang sukar ditinggalkan; bangga
dengan keturunan, merendahkan nasab, meminta hujah dengan petunjuk bintang dan
merapati mayat.
2. Pendapat Ulama Tentang Kafa’ah
a. Mazhab Hanafiah
Kafaah ialah kesetaraan laki-laki terhadap wanita dalam beberapa hal, yakni enam hal
1) Nasab
Manusia dibedakan atas Arab dan Ajam. Arab sendiri dibedakan atas Quraisy dan
bukan Quraisy. Laki-laki Ajam tidak sekufu dengan wanita Arab. Laki-laki Arab bukan
Quraisy tidak sekufu dengan wanita Quraisy. Laki-laki Quraisy sekufu dengan wanita
Quraisy meskipun berbeda qabilah, misalkan si wanita seorang Hasyimi sementara si laki-
laki seorang Naufali. Adapun laki-laki Ajam sekufu dengan wanita Ajam pula. Seorang Ajam
yang alim sekufu dengan wanita Arab yang tidak alim, meskipun wanita itu kaya sementara
si laki-laki miskin, karena kemuliaan ilmu lebih tinggi daripada kemuliaan kekayaan.
Seorang Ajam yang alim sekufu dengan wanita yang terpandang nasabnya tetapi tidak alim,
karena kemuliaan ilmu lebih tinggi daripada kemuliaan nasab.
2) Bapak dan kakek-kakeknya muslim atau bukan, 
Dalam hal bapak dan kakek-kakeknya muslim atau bukan hanya berlaku untuk orang
Ajam.
3) Status sosial dan pangkat atau profesi, 
Yang dimaksud ialah bahwa status sosial dan pangkat atau profesi keluarga si laki-
laki harus sekufu dengan status sosial dan pangkat atau profesi keluarga si wanita. Adapun
ukuran status sosial dan pangkat atau profesi maka kembali kepada budaya dan tradisi
setempat.
4) Merdeka atau budak, 
5) Agamanya
Seorang laki-laki fasiq tidak sekufu dengan wanita yang shalihah. Yang dimaksud
dengan fasiq disini ialah terang-terangan dalam berbuat kefasiqan. Misalnya suka mabuk di
tempat umum atau di jalan umum, suka pergi ke tempat-tempat mesum atau tempat-tempat
kemaksiatan, gemar meninggalkan sholat dan puasa wajib kemudian mengumumkannya
kepada orang-orang.
6) Kekayaan.
Adapun masalah rupa tidaklah termasuk dalam kafaah. Jika si wanita cantik tetapi
suaminya buruk rupa, maka wanita itu dan juga walinya tidak berhak untuk mem-fasakh
pernikahan.
Kafaah merupakan syarat terlaksananya akad nikah. Jika seorang wanita menikahkan
dirinya sendiri dengan laki-laki yang derajatnya lebih rendah, maka wali boleh menolak akad
itu dan hakim boleh mem-fasakh pernikahan itu.

Sebagian mengatakan bahwa kafaah merupakan syarat sahnya akad nikah. Jika
seorang wanita menikah dengan laki-laki yang tidak sekufu padahal si wanita memiliki wali
yang belum rela dengan pernikahan itu, maka akad nikah itu bathil (tidak sah). Tetapi jika
wali sudah rela saat akad kemudian sesudah akad menolak pernikahan, maka penolakannya
itu tidak ada gunanya.

Kemudian, tentang kerelaan wali harus dengan ucapan atau cukup dengan diam
adalah sepanjang si wanita belum diketahui hamil atau melahirkan, maka kerelaan wali tidak
cukup hanya dengan diamnya. Jadi kerelaannya harus sharih. Disamping itu, wali harus
mengetahui sang suami. Jika sang wali menyatakan kerelaan terhadap sang suami yang
belum ia ketahui, maka kerelaannya itu tidak sah, kecuali jika ia menggugurkan haknya
dengan berkata kepada si wanita, “Aku rela dengan apapun yang engkau lakukan”, atau “Aku
rela terhadap siapa saja yang akan engkau nikahi”, atau “Lakukan apa saja yang engkau
suka”, atau yang semacam itu.
Kafaah hanya dipersyaratkan atas laki-laki, dan tidak atas wanita. Jadi seorang laki-
laki boleh menikah dengan wanita manapun yang ia sukai, meskipun budak atau pelayan.

b. Mazhab Malikiyah
Kafaah dalam pernikahan ialah kesetaraan dalam dua hal :

1) Agamanya

Agamanya yakni bahwa si laki-laki haruslah muslim yang tidak fasiq jika si wanita
juga muslimah yang tidak fasiq.

2) Tidak memiliki kekurangan atau cacat fisik,

Jika si laki-laki memiliki kekurangan atau cacat fisik, maka si wanita memiliki hak
memilih untuk menikah atau tidak. Dan ini merupakan hak bagi si wanita, tidak bagi si wali.

Adapun dalam hal harta, status merdeka, nasab, dan status sosial / pangkat / profesi,
maka tidak harus ada kafaah.

c. Mazhab Syafiiyah
Kafaah meliputi lima hal, yakni enam hal menurut madzhab Hanafiyah kecuali
kekayaan. Jadi tidaklah mengapa seorang laki-laki miskin menikahi wanita yang kaya raya.
Disamping itu, mereka juga tidak mengharuskan kafaah dalam hal tidak memiliki kekurangan
atau cacat fisik. Jadi tidak bisa dikatakan bahwa seorang laki-laki yang cacat sekufu dengan
wanita yang juga cacat, karena sama-sama cacat.

1) Nasab

Dalam hal nasab, sama dengan yang lainnya. Hanya saja mereka tidak menganggap
sama orang-orang Quraisy, sebab orang Quraisy Bani Hasyim dan Bani Muthallib lebih
mulia daripada orang Quraisy yang lainnya.
Tingkatan-tingkatan nasab juga berlaku di kalangan Ajam. Misalnya orang Persi lebih
utama daripada orang Nibth, atau orang Banu Israil lebih mulia daripada orang Mesir,
demikian seterusnya.
Demikian pula harus terdapat kafaah dalam hal kemuliaan orang tua (bapak). Anak laki-
laki seorang yang lebih rendah derajatnya tidak sekufu dengan anak perempuan seorang yang
lebih tinggi derajatnya.

2) Agamanya
Seorang laki-laki pezina tidak sekufu dengan wanita yang baik-baik, meskipun laki-laki
itu sudah bertaubat dengan taubat yang sungguh-sungguh, karena taubat dari zina tetap tidak
menghilangkan citra yang sudah terlanjur buruk. Tetapi jika seorang laki-laki fasiq karena
kemaksiatan selain zina, misalnya khamr, kemudian bertaubat, maka terdapat dua pendapat.
Pertama, ia sekufu dengan wanita yang baik-baik. Kedua, ia tidak sekufu. Adapun jika si
wanita seorang pezina, maka laki-laki pezina sekufu dengannya. Demikian pula jika si wanita
seorang yang fasiq, maka laki-laki fasiq sekufu dengannya.

3) Bapak dan kakek-kakeknya muslim

Seseorang yang memiliki dua generasi moyang yang muslim tidak sekufu dengan yang
memiliki tiga generasi moyang yang muslim. Demikian seterusnya. Dikecualikan dari kaidah
ini adalah generasi sahabat, sebab mereka lebih mulia dari siapapun, berdasarkan hadits Nabi.

4) Status merdeka atau budak,


5) Status sosial dan pangkat profesi keluarga,

Mereka juga berpendapat bahwa seorang wanita yang merdeka tetapi fasiq tidaklah
sekufu dengan lelaki budak tetapi shalih. Demikian pula seorang wanita Arab tetapi fasiq
tidaklah sekufu dengan laki-laki Ajam yang shalih. Demikian seterusnya.

Mereka juga berpendapat bahwa kafaah hanya dipersyaratkan atas laki-laki. Adapun
laki-laki, maka ia boleh menikahi wanita manapun yang ia sukai, meskipun wanita itu budak
atau pelayan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kafa’ah berasal dari bahasa Arab dari kata (‫ كفىء‬ ) , berarti sama atau setara. Kata
ini merupakan kata yang terpakai dalam bahasa Arab dan terdapat dalam Al-
Qur’an dengan arti “sama” atau setara. istilah hukum Islam, yaitu keseimbangan
dan keserasian antara calon istri dan suami sehingga masing-masing calon tidak
merasa berat untuk melangsungkan perkawinan. Atau laki-laki sebanding dengan
calon istrinya, sama dalam kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan derajat
dalam akhlak serta kekayaan.
Kafa’ah diatur dalam pasal 61 KHI (kompilasi Hukum Islam) dalam
membicarakan pencegahan perkawinan, dan yang diakui sebagai kriteria kafaah
itu adalah apa yang telah menjadi kesepakatan ulama yaitu kualitas ke-
beragamaan. Pasal 61 berbunyi: “Tidak se-kufu tidak dapat dijadikan alasan untuk
mencegah perkawinan, kecuali tidak se-kufu karena perbedaan agama atau
ikhtilafu al-dien. Ibnu Hazim berpendapat tidak ada ukuran-ukuran kufu’. Dia
berkata: Semua orang Islam asal saja tidak berzina, berhak kawin dengan semua
wanita Muslimah, asal tidak tergolong perempuan lacur.
Para ulama berbeda persepsi dalam menentukan kriteria yang digunakan
dalam kafa’ah Imam Hanafiyah menjadikan dasar kafa’ah menjadi enam yaitu
Nasab, Islam, Hirfah, Kemerdekaan dirinya, Diyanah, dan Kekayaan yang
menjadikan itu adalah dasar dalam memilih satu keturunan atau kebangsaan.
Imam Malikiyah berpendapat dasar Kafa’ah menjadi dua yaitu Diyanah dan
Terbebas dari cacat fisik. Imam Syafi’yah menjadikan dasar Kafa’ah ada empat
dasar yaitu Nasab, Diyanah, Kemerdekaan dirinya, Hirfah. Dan sedangkan Imam
Hanabilah terdiri dari lima dasar Kafa’ah adalah Dinayah, Hirfah, Kekayaan,
Kemerdekaan diri, dan Nasab
Hikma Kafa’ah dalam kehidupan rumah tangga mewujudkan keadilan dan
konsep kesetaraan yang ditawarkan islam dalam pernikahan, dalam islam suami
berfungsi sebagai imam dan istri sebagai makmum, dan setinggi dan serendahnya
derajat seorang istri ditentukan oleh derajat suami
2. Para ulama berbeda pendapat tentang kesetaraan laki-laki dan wanita, ada
beberapa hal yang menjadi perbedaan pendapat imam madzhab di antaranya:
a. Imam Hanafiyah menyebutkan ada enam hal kesetaraan laki-laki dan wanita
yaitu:
Nasab: manusia dibedakan atas Arab dan Ajam, Arab sendiri dibedakan atas
Quraisy dan bukan Quraisy, laki-laki Ajam tidfak sekufu dengan wanita arab,
laki-laki arab bukan Quraisy tidak sekufu dengan wanita Quraisy, Bapak dan
kakek –kakekny muslim dan bukan muslim, Status sosial dan pangkat atau
profesi, Merdeka atau budak, Agamanya dan kekayaan
b. Mazhab Malikiyah ia menyebutkan kafa’ah dalam pernikahan ialah
kesetaraan dalam dua hal yaitu:
Agamanya : yakni laki-laki haruslah muslim yang tidak fasiq jika si wanita juga
muslimah yang tidak fasiq
Tidak memiliki kekurangan atau cacat fisik: jika laki-laki memiliki kekurangan
atau cacat fisik, maka si wanita memiliki hak memilih untuk menikah atau tidak.
c. Madzhab Syafiiyah memiliki lima hal kafa’ah dalam pernikahan yakni enam
hal menurut mazhab Hanafiyah kecuali kekayaan yaitu:
Nasab, Agamanya, Bapak dari kakek-kakeknya muslim, status merdeka atau
budak, dan status sosial dan pangkat atau profesi
Mereka juga berpendapat bahwa seorang wanita yang merdeka tetapi fasiq
tidaklah sekufu dengan lelaki budak tetapi shalih. Demikian pula seorang wanita
Arab tetapi fasiq tidaklah sekufu dengan laki-laki Ajam yang shalih. Demikian
seterusnya.
Mereka juga berpendapat bahwa kafaah hanya dipersyaratkan atas laki-laki.
Adapun laki-laki, maka ia boleh menikahi wanita manapun yang ia sukai,
meskipun wanita itu budak atau pelayan.

Anda mungkin juga menyukai