Anda di halaman 1dari 18

PUTUSAN HAKIM

Makalah ini sebagai salah satu tugas Mata Kuliah Sejarah


Hukum Dan Peradilan Islam

Oleh:

MUSADDIQ ALHADID
NIM: 912018012
MUH ZULKIFLY HS
NIM: 912018010

Dosen Pengampu:
Abdul Salam, SHI., MH.

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
(STAI) AL-AZHAR GOWA
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengambilan keputusan sangat diperlukan oleh hakim atas sengketa yang
diperiksa dan diadilinya. Hakim harus dapat mengolah dan memproses data-data
yang diperoleh selama proses  persidangan, baik dari bukti surat, saksi,
persangkaan, pengakuan maupun sumpah yang terungkap dalam persidangan.
Sehingga keputusan yang akan dijatuhkan dapat didasari oleh rasa tanggung
jawab, keadilan, kebijaksanaan, profesionalisme dan bersifat obyektif.
Putusan adalah produk dari pemeriksaan perkara yang dilakukan oleh
hakim. setelah pemeriksaan selesai, maka hakim karena jabatannya harus
melakukan musyawarah untuk mengambil putusan yang akan dijatuhkan.
Pemeriksaan dianggap telah selesai apabila telah melalui tahap jawaban dari
tergugat, replik dari penggugat, duplik dari tergugat, pembuktian dan kesimpulan
yang diajukan oleh para pihak.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana putusan hakim?
2. Bagaimana ijtihad hakim, hakim muqallid dan bagaimana peradilan untuk
non muslim?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa itu putusan hakim.
2. Untuk mengetahui ijtihad hakim, hakim muqallid dan peradilan untuk non
muslim.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Putusan Hakim
Putusan berasal dari bahasa Belanda yaitu vonnis atau al qada’u dalam
bahasa arab, yaitu produk Pengadilan Agama karena adanya dua pihak yang
berlawanan dalam suatu perkara, yaitu “ penggugat ” dan ”tergugat”.1
Putusan bersifat mengikat kepada kedua belah pihak, dan putusan juga
memiliki kekuatan pembuktian sehingga putusan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap dapat dieksekusi. Putusan harus diucapkan didalam persidangan yang
terbuka untuk umum. Dan dengan diucapkannya putusan oleh Majelis Hakim
maka hal itu menandakan telah berakhirnya suatu perkara, dan telah ditetapkan
siapa yang benar dan siapa yang tidak benar.2
Jumhur ulama berpendapat bahwa putusan hakim hanya menetapkan aspek
aspek lahiriyah perkara, tidak untuk masalah batin atau hakikat nya, sebab
manusia hanya diperintahkan untuk memperhatikan aspek lahiriyahnya,
sedangkan aspek batiniahnya hanya Allah yang menghukumi. karena itu
keputusan hakim tidak sampai menyebabkan sesuatu yang hukumnya haram
menjadi halal atau sesuatu yang halal menjadi haram.3
B. Cara memutuskan perkara
Seorang Hakim wajib menetapkan perkara dengan cara-cara yang legal
menurut syara’ yaitu berdasarkan bukti, ikrar, sumpah, dan menolak untuk
bersumpah.
1. Permasalahan yang berkaitan dengan putusan hakim4
a. Putusan hakim berdasarkan pengetahuannya sendiri

1
Raihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Cet. 16; Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1999), h. 203.
2
M Fauzan, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Dan Mahkamah
Syar’iyah  Indonesia,( Cet. 1; Prenada Media, Jakarta, 2005), h. 159.
3
Wahbah azzuhaili,Fiqih islam wa adillatuhu, (jihad, pengadilan dan mekanisme
mengambil keputusan, pemerintahan dalam islam, jilid 8), (Cet. 10; Damaskus: 20007M ) h. 112.
4
Wahbah azzuhaili,Fiqih islam wa adillatuhu, (jihad, pengadilan dan mekanisme
mengambil keputusan, pemerintahan dalam islam, jilid 8), (Cet. 10; Damaskus: 20007M ) h.114.

2
3

Ulama mazhab Maliki dan Hambali berpendapat bahwa seorang Hakim


tidak boleh menetapkan keputusan berdasarkan pengetahuannya sendiri baik
dalam masalah had maupun yang lain baik dia mengetahuinya sebelum proses
pengadilan an maupun setelahnya. yang boleh dilakukan oleh Hakim adalah
memutuskan perkara berdasarkan pengetahuannya ketika dalam sidang
pengadilan umpamanya tertuduh mengaku secara sukarela di hadapannya.
Ulama mazhab Hanafi memerinci masalah keputusan hakim yang
dilakukan berdasarkan pengetahuan hakim sendiri, pertama: keputusan hakim
tersebut Sahdan boleh Apabila pengetahuan Hakim itu tu muncul ketika dia
menjabat sebagai Hakim Dan terjadi di daerah tempat dia bertugas dengan
syarat perkara yang ditangani tersebut berkaitan dengan hak-hak sipil. Kedua:
ke putusan hakim tersebut tidak sah apabila pengetahuan yaitu terjadi sebelum
dia memegang jabatan sebagai Hakim atau sudah menjabat, tapi dia belum
sampai ke daerah tempat tugasnya menurut Abu Hanifah keputusan hakim
yang seperti ini tidak sah.
b. putusan hakim berdasarkan tulisan Hakim lain yang di berikan kepadanya
para ahli fiqih bersepakat bahwa seorang Hakim boleh menetapkan
putusan berdasarkan tulisan Hakim lain yang diberikan kepadanya dimana
Hakim lain tersebut setelah memutuskan perkara itu jika perkara yang
ditangani berkaitan dengan hak harta benda. sedangkan menurut Imam Malik
ia membolehkan seorang Hakim menetapkan hukuman berdasarkan surat
Hakim lain dalam perkara hudud, qishas..
ada dua bentuk surat yang dikirim oleh seorang Hakim kepada hakim
yang lain: pertama surat yang berisi kesaksian yang didengar oleh seorang
Hakim dari para saksi itu adil maupun tanpa keterangan seperti itu sehingga
Hakim yang lain harus menginvestigasi keadaan para saksi tersebut. kedua
surat yang berisi putusan perkara terhadap orang yang tidak ada dalam sidang
surat itu kemudian dikirimkan kepada hakim kedua supaya melaksanakan
putusan tersebut.
c. putusan hakim berdasarkan kesaksian atas kesaksian
4

Dalam perkara yang berkaitan harta benda para ahli fiqih bersepakat
untuk menerima kesaksian atas kesaksian dasarnya adalah Firman Allah SWT:
.....dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu
(Q.S At-thalaq: 2)
Diterimanya kesaf ksian atas kesaksian merupakan hal yang kadang
diperlukan sebab terkadang kesaksian para saksi yang asli tidak dapat
dihadirkan karena ada uzur contohnya sakit, terhadap dalam perjalanan, atau
tidak mampu untuk datang.
Adapun menurut mazhab Hanafi Hambali dan Syafi'i kesaksian atas
kesaksian tidak diterima apabila perkara yang ditangani berkaitan dengan
masalah hudud yang murni berhubungan dengan hak Allah, Adapun menurut
Imam Malik kesaksian atas kesaksian dapat diterima dalam masalah hudud dan
semua perkara yang berkaitan dengan masalah harta benda.
2. Asas Putusan Hakim5

Dalam pembahasan selanjutnya akan diawali dengan uraian mengenai


asas-asas yang semestinya ditegakkan dalam setiap putusan. Asas-asas ini
dijelaskan dalam Pasal 178 H.I.R., Pasal 189 R.Bg. dan beberapa pasal yang
terdapat dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman

a. Memuat Dasar Alasan yang Jelas dan Rinci

Berdasarkan asas ini setiap putusan yang dijatuhkan oleh hakim


harus berdasarkan pertimbangan yang jelas dan cukup. Karena putusan
yang tidak memenuhi ketentuan itu dikategorikan putusan yang tidak
cukup pertimbangan.

Hal ini ditegaskan dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang No. 4


Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu bahwa segala putusan
pengadilan harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan, serta

5
Haikal A.S Pane, “penerapan uitvoerbaar bij vorraad dalam putusan hakim pada
pengadilan tingkat pertama: putusan perkara perdata register”(skripsi sarjana, fakultas hukum
universitas indonesia, depok, 2009), h.14.
5

mencantumkan pasal- pasal peraturan perundang-undangan tertentu yang


bersangkutan dengan perkara yang diputus atau berdasarkan sumber
hukum lainnya, baik yang tertulis, seperti yurisprudensi atau doktrin
hukum, maupun yang tidak tertulis, seperti hukum kebiasaan atau hukum
adat. Bahkan menurut Pasal 178 ayat (1) H.I.R., hakim karena jabatannya,
wajib mencukupkan segala alasan hukum yang tidak dikemukakan para
pihak yang berperkara. Artinya, bahwa dalam hal ini hakim harus dapat
menemukan hukum yang tepat guna mencukupi segala alasan-alasan dan
dasar-dasar hukum dalam putusan sekiranya hal tersebut tidak
dikemukakan oleh para pihak yang berperkara. Dan untuk memenuhi
kewajiban itu, Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman memerintahkan hakim sebagai penegak
hukum dan keadilan, wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-
nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Sehingga dalam hal ini hakim
berperan dan bertindak sebagai perumus dan penggali nilai-nilai hukum
yang hidup di masyarakat.

Bertitik tolak dari ketentuan pasal-pasal yang dikemukakan di atas,


putusan hakim yang tidak dapat cukup pertimbangan adalah masalah
yuridis. Akibatnya, putusan hakim yang seperti itu, dapat dibatalkan pada
tingkat banding atau kasasi.

b. Wajib Mengadili Seluruh Bagian Gugatan

Asas ini sebagimana yang digariskan dalam Pasal 178 ayat (2)
H.I.R., Pasal 189 ayat (2) R.Bg. dan Pasal 50 Rv. Dimana dalam setiap
putusannya hakim harus secara menyeluruh memeriksa dan mengadili
setiap segi gugatan yang diajukan. Hakim tidak boleh hanya memeriksa
dan memutus sebagian saja, dan mengabaikan gugatan selebihnya. Karena
cara mengadili yang demikian bertentangan dengan asas yang digariskan
undang-undang. Akibatnya, seperti pada asas sebelumnya, bahwa putusan
hakim yang seperti itu dapat dibatalkan pada tingkat selanjutnya
6

Akan tetapi, tidak selamanya kelalaian atas kewajiban untuk


menegakkan asas ini mengakibatkan putusan batal. Adakalanya secara
kasuistik, cukup diperbaiki pada tingkat selanjutnya. Namun demikian,
terlepas dari kebolehan tingkat selanjutnya memperbaiki kelalaian putusan
yang tidak mengadili dan memutus seluruh gugatan, prinsip umum yang
harus tetap ditegakkan, kelalaian itu tetap dapat menjadi dasar untuk
membatalkan putusan. Karena kebolehan memperbaiki secara kasuistik,
apabila kelalaian itu hanya mengenai kealpaan mencantumkan perintah
putusan.

c. Tidak Boleh Mengabulkan Melebihi Tuntutan

Putusan tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan yang


dikemukakan dalam gugatan. Larangan ini disebut ultra petitum partium.
Asas ini ditegaskan dalam Pasal 178 ayat (3) H.I.R., Pasal 189 ayat (3)
R.Bg. dan Pasal 50 Rv. Menurut asas ini hakim yang mengabulkan
melebihi posita maupun petitum gugat, dianggap telah melampaui batas
wewenang atau ultra vires yakni bertindak melampaui wewenangnya
(beyond the powers of his authority). Dengan demikian, apabila suatu
putusan mengandung ultra petitum, harus dinyatakan cacat (invalid)
meskipun hal itu dilakukan hakim dengan itikad baik(good faith) maupun
sesuai dengan kepentingan umum (public interest). Hal ini mengingat
bahwa peradilan perdata semata-mata hanya sebagai sarana penyelesaian
sengketa antara kedua belah pihak guna melindungi kepentingan para
pihak yang bersengketa, bukan untuk kepentingan umum (public interest).

dalam hal ini perlu diingat bahwa asas ini tidak hanya melarang
hakim untuk menjatuhkan putusan yang mengabulkan melebihi tuntutan,
melainkan juga putusan yang mengabulkan sesuatu yang sama sekali
tidak diminta dalam tuntutan, karena hal tersebut nyata-nyata melanggar
asas ultra petitum, sehingga mengakibatkan putusan itu harus dibatalkan
pada tingkat selanjutnya
7

d. Diucapkan di Muka Umum

Prinsip putusan diucapkan dalam sidang pengadilan yang terbuka


untuk umum atau di muka umum, ditegaskan dalam Pasal 20 Undang-
Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu:

Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan


hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

Hal ini tidak terkecuali terhadap pemeriksaan yang dilakukan


dalam sidang tertutup. Khususnya dalam bidang hukum keluarga, seperti
misalnya perkara perceraian. Sebab meskipun peraturan perundang-
undangan membenarkan perkara perceraian diperiksa secara tertutup,
namun Pasal 34 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 menegaskan
bahwa putusan gugatan perceraian harus tetap diucapkan dalam sidang
yang terbuka untuk umum. Dengan demikian, maka dapat disimpulkan
bahwa prinsip keterbukaan ini bersifat memaksa (imperatief), sehingga
tidak dapat dikesampingkan, mengingat pelanggaran atas prinsip
keterbukaan ini mengakibatkan putusan yang dijatuhkan menjadi tidak
sah atau tidak mempunyai kekuatan hukum tetap, sebagaimana yang
ditegaskan oleh Mahkamah Agung melalui S.E.M.A. No. 4 Tahun 1974
yang dikeluarkan pada tanggal 16 September 1974.

3. Macam-macam putusan hakim6


a. Putusan Sela

Sebelum menjatuhkan putusan akhir, ada kalanya hakim lebih


dahulu harus mengambil putusan mengenai suatu masalah yang menyangkut
jalannya pemeriksaan terhadap perkara yang akan atau sedang diperiksanya
itu. Dalam hal yang demikian, maka hakim dapat menjatuhkan putusan yang
bersifat sementara, dan bukan merupakan putusan akhir, atau dalam praktik

6
Haikal A.S Pane, “penerapan uitvoerbaar bij vorraad dalam putusan hakim pada
pengadilan tingkat pertama: putusan perkara perdata register”(skripsi sarjana, fakultas hukum
universitas indonesia, depok, 2009), h.19.
8

putusan ini lebih dikenal dengan istilah putusan sela, sebagaimana yang
digariskan dalam Pasal 185 ayat (1) H.I.R. atau Pasal 48 Rv. Adapun tujuan
dijatuhkannya putusan sela ini semata-mata untuk mempermudah atau
memperlancar kelanjutan pemeriksaan perkara yang akan atau sedang
dihadapi. Selain itu, putusan sela juga tidak dapat berdiri sendiri tanpa
adanya putusan akhir, sebab putusan sela merupakan satu kesatuan dengan
putusan akhir. Meskipun di persidangan putusan sela diucapkan secara
terpisah sebelum dijatuhkannya putusan akhir, namun putusan sela tidak
dibuat dengan putusan tersendiri, melainkan hanya ditulis dalam berita acara
persidangan. Sehingga jika pihak yang berperkara menginginkan
putusansela itu, maka hakim hanya dapat memberikan salinan otentik dari
berita acara tersebut dengan membayar biayanya.

Dalam teori dan praktiknya, putusan sela dapat dikualifikasikan


dalam beberapa macam putusan, antara lain putusan preparatoir, putusan
interlocutoir, putusan incidenteel, dan yang terakhir putusan provisioneel

b. Putusan Akhir

Dengan berakhirnya proses pemeriksaan pokok perkara, kini


tibalah saatnya bagi hakim atau majelis hakim yang menangani perkara
untuk menjatuhkan putusan akhir guna menyelesaikan dan mengakhiri
sengketa yang terjadi diantara para pihak yang bersengketa. Putusan akhir
atau yang lazim disebut dengan istilah end vonis dapat ditinjau dalam
berbagai segi.

Ditinjau dari Sifat Putusan

Ditinjau dari sifatnya, maka putusan hakim ini dapat dibedakan menjadi
3 (tiga) macam, yaitu: Putusan Declaratoir, Putusan Condemnatoir, dan
Putusan Constitutief.

Putusan Declaratoir adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim dengan


amar yang menyatakan atau menegaskan tentang suatu keadaan atau
kedudukan yang sah menurut hukum semata-mata, Misalnya, tentang
9

kedudukan sebagai anak sah, kedudukan sebagai ahli waris, atau tentang
pengangkatan anak

Putusan constitutief adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim yang


amarnya menciptakan suatu keadaan hukum yang baru, baik yang bersifat
meniadakan suatu keadaan hukum maupun yang menimbulkan keadaan hukum
baru. Misalnya putusan perceraian, merupakan putusan yang meniadakan
keadaan hukum yakni tidak ada lagi ikatan hukum antara suami dan istri
sehingga putusan itu meniadakan hubungan perkawinan yang ada, dan
bersamaan dengan itu timbul keadaan hukum yang baru kepada suami dan istri,
yaitu sebagai janda dan duda.

Putusan condemnatoir adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim


dengan amar yang bersifat menghukum. Bentuk hukuman dalam perkara
perdata berbeda dengan hukuman dalam perkara pidana. Dalam perkara
perdata, bentuk hukumannya berupa kewajiban untuk melaksanakan atau
memenuhi prestasi yang dibebankan kepada pihak yang terhukum. Prestasi
yang dimaksud dapat berupa memberi, berbuat, atau tidak berbuat.

Berbeda dengan dua sifat putusan sebelumnya, yaitu putusan declaratoir


dengan putusan contitutief, putusan condemnatoir mengakui atau menetapkan
adanya hak atas suatu prestasi, sehingga putusan ini memerlukan upaya
pemaksa karena pelaksanaannya tergantung pada bantuan dari pihak yang
terhukum.

4. Kekuatan putusan7
Putusan pengadilan mempunyai 3 kekuatan, yaitu kekuatan mengikat
(bindende kracht), kekuatan bukti ( bewijzende kracht), dan kekuatan eksekusi
( executoriale kracht)
a. Kekuatan Mengikat

7
Raihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Cet. 16; Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1999), h. 213
10

Suatu putusan pengadilan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu


persoalan atau sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya. Apabila pihak
yang bersengketa tidak dapat menyelesaikan sengketa diantara mereka
secara damai, dan kemudian menyerahkan dan mempercayakan
sengketanya kepada pengadilan atau hakim untuk diperiksa dan diadili,
maka hal ini mengandung arti bahwa pihak-pihak yang bersengketa akan
tunduk dan patuh pada putusan yang dijatuhkan, sehingga putusan itu
mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak- pihak yang bersengketa.
b. Kekuatan Pembuktian
Dituangkannya putusan dalam bentuk tertulis, yang merupakan akta
otentik, tidak lain bertujuan untuk dapat digunakan sebagai alat bukti bagi
para pihak, yang mungkin diperlukannya untuk mengajukan upaya hukum.
Karena meskipun putusan hakim atau putusan pengadilan tidak mempunyai
kekuatan mengikat terhadap pihak ketiga, namun mempunyai kekuatan
pembuktian terhadap pihak ketiga.
c. Kekuatan eksekusi
yang dimaksud dengan kekuatan executoriale dalam putusan hakim
atau putusan pengadilan adalah kekuatan untuk dilaksanakan secara paksa
oleh alat-alat negara terhadap pihak-pihak yang tidak melaksanakan putusan
tersebut secara sukarela. Sebenarnya yang memberi kekuatan executoriaal
kepada putusan hakim atau putusan pengadilan adalah kata-kata, “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang ada pada setiap
putusan.
C. Ijtihad Hakim
Ijtihad (dalam bahasa arab) berasal dari kata jahada artinya
bersungguh sungguh atau menghabiskan segala daya dalam berusaha8
Ijtihad dalam bidang putusan hakim (pengadilan) ialah jalan yang
diikuti hakim dalam menetapkan hukum, baik yang berhubungan dengan
nash undang-

8
Sofyan hasan, “sebuah pengantar komperehensif tentang ilmu tata hukum dan tata hukum
islam di indonesia” (Cet. 1; malang: 2018), h.71.
11

undang ataupun dengan mengistinbathkan hukum yang wajib diterapkan di waktu


tak ada nash.9
Ada beberapa metode atau cara untuk melakukan ijtihad, baik itu
dilakukan sendiri maupun bersama sama dengan orang lain. Diantara
metode atau cara berijtihad itu adalah ujma’, Qiyas, Istidal, Almasalih al
mursalah, istihsan, Istishab,Urf dan lain-lain10
Ijtihad hakim mempunyai kontribusi dalam pengembangan hukum
Islam dilihat dari produk yang dihasilkan Hakim Pengadilan Agama,
selain yurisprudensi (keputusan dari hakim terdahulu) yang dijadikan
sumber hukum sebagian hakim dalam memutuskan perkara baru, maupun
metode yang dipakai oleh para hakim tidak hanya menggunakan metode
Ijma’ Qiyas, istihsan, istishab, istidal, maslahah mursalah, namun juga
menggunakan metode interpretasi dan kontruksi.
Apabila qadhi (Hakim) tidak menemukan hukum perkara yang
ditanganinya itu didalam keempat sumber hukum (Al-Qur’an, Sunnah, Ijmak,
dan qiyas), jika ia adalah berkapasitas sebagai seorang mujtahid, ia
memutuskannya berdasarkan hasil ijtihad nya, sedangkan jika iyya bukan lah
seorang yang berkapasitas sebagai seorang mujtahid, ia memilih pendapat para
mujtahid yang menurut keyakinannya adalah lebih faqih dan lebih wira’i 11
D. Hakim Muqallid
Taqlid berasal dari bahasa Arab “qallada”, “yuqallidu”, “taqliidan”, yang
mempunyai arti banyak: mengalungi, meniru, mengikuti. Sedangkan para ulama
fiqih mengartikan taqlid sebagai berikut:

‫قبول قول القائل وانت التعلم من اين قاله‬

9
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, Semarang: PT. Pustaka
Rizki Putra, 1999, hlm. 200
10
Sofyan hasan, “sebuah pengantar komperehensif tentang ilmu tata hukum dan tata hukum
islam di indonesia” (Cet. 1; malang: 2018), h. 74
11
Wahbah azzuhaili,Fiqih islam wa adillatuhu, (jihad, pengadilan dan mekanisme
mengambil keputusan, pemerintahan dalam islam, jilid 8), (Cet. 10; Damaskus: 20007M ) h.365.
12

Artinya: penerimaan perkataan seseorang sedang engkau tidak mengetahui dari


mana asal perkataan itu. taqlid adalah mengikuti pendapat orang lain, mengikuti
perkataan orang lain, dengan tidak mengetahui dari mana asal pengambilannya,
entah orang lain tadi benar atau salah, pokoknya asal mengikuti saja tanpa
mengetahui dasar-dasar pengambilannya, hanya mengikuti saja tanpa berfikir.
Dan orang yang bertaqlid disebut Muqallid (‫)مقلد‬.
1. Hakikat Taqlîd12
a. Taqlîd itu adalah beramal dengan mengikuti ucapan atau pendapat orang
lain.
b. Pendapat atau ucapan orang lain yang diikuti itu tidak bernilai hujah.
c. Orang yang mengikuti pendapat orang lain itu tidak mengetahui sebab-
sebab atau dalil-dalil dan hujah dari pendapat yang
diikutinya itu.
Dari penjelasan hakikat taqlid yang merupakan kriteria dari taqlid sebagaimana
disebutkan di atas dan dihubungkan pula dengan ijtihad dan mujtahid yang
telah dijelaskan sebelum ini, maka terlihat ada tiga lapis umat Isla sehubungan
dengan pelaksanaan hukum Islam atau syara’, yaitu:
a. Mujtahid, yaitu orang yang mempunyai pendapat yang dihasil kan melalui
ijtihadnya sendiri, beramal dengan hasil ijtihadnya dan tidak mengikuti hasil
ijtihad lainnya. Ini yang disebut mujtahid mutlaq.
b. Muqallid , yaitu orang yang tidak mampu menghasilkan pendapatnya
sendiri, karena itu ia mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui
kekuatan dan dalil dari pendapat yang diikutinya itu.
c. Muttabi’, yaitu orang yang mampu menghasilkan pendapat, namun dengan
cara mengikuti pendapat dan cara-caramyang telah dirintis oleh ulama
sebelumnya. Mujtahid dalam peringkat mujahid muntasib, mujahid mazhab,
mujahid muraj jih, dan mujtahid-mujtahid muwazin (yang telah dijelaskan
dalam pembahasan tentang ijtihad), termasuk golongan ketiga ini
Pada dasarnya para ulama sepakat mengharamkan taqlid karena dapat
membuat manusia malas untuk berijtihad

12
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, (Cet. 6; Jakarta: Kencana, 2011) h, 46
13

2. Hukum taqlid13
a. Taqlid yang haram
1) Para ulama membagi taqlid yang dihukumi haram ini menjadi tiga
macam: Taqlid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat
nenek moyang atau orang-orang dahulu kala, yang bertentangan dengan
Al-Qur’an dan Sunnah. Contohnya adat kebiasaan yang terjadi pada
masyarakat yang sampai sekarang masih sulit untuk ditinggalkan, yaitu
pada setiap bulan syuro diadakan yang namanya “bersih desa” atau
“grebeg suro” yang ditandai dengan ritual-ritual yang menandai
perbuatan syirik dan perdukunan yang masih kental di dalam masyarakat
awam di daerah-daerah terpencil.
2) Taqlid kepada orang atau sesuatu yang tidak diketahui kemampuan dan
keahliannya. Seperti orang yang menyembah berhala, tapi ia tidak
mengetahui kemampuan dan kekuasaan berhala tersebut.
3) Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedang yang bertaqlid
mengetahui bahwa perkataan dan pendapat itu salah.
b. Taqlid yang Dibolehkan
Diperbolehkan bertaqlid kepada seorang mujtahid dalam hal yang
belum ia ketahui hukum Allah dan Rasulnya yang berhubungan dengan
persoalan atau suatu peristiwa, dengan syarat bahwa ia harus selalu mencari
dalil dan menyelidiki kebenaranya, maksudnya bahwa taqlidnya adalah
bersifat sementara. Dan jika kebenarannya sudah diketahui dari Al-Qur’an
dan Hadist dan ternyata pendapat mujtahid tersebut salah maka pendapat itu
harus ditinggalkan dan kembali pada Al-Qur’an dan Hadist. Sebagai contoh
adalah jika kita ketinggalan waktu sholat ashar ada ulama yang berpendapat
boleh dijama’ dengan sholat magrib sesudahnya. Untuk sementara kita
boleh mengikuti pendapat tersebut. Tapi jika kita menemukan dalil yang
menyalahkan pendapat tersebut kita harus meninggalkannya.

13
Wahyuni Rola paramita, “Tasyri’ Pada Masa Muqqallidun Dan Faktor Yang
Melatarbelakangi” Official Website of Wahyuni Rola paramita,
https://www.academia.edu/9701946/TASYRI_PADA_MASA_MUQQALLIDUN_DAN_FAKTOR_Y
ANG_MELATARBELAKANGI (29 februari 2020)
14

Taqlid ini biasanya terjadi pada orang awam kepada ulama yang
dipercayainya, selama orang awam itu belum menemukan alasan dari
pendapat ulama yang diikutinya itu. Hal semacam ini sudah terjadi
dikalangan umat Islam sejak zaman Nabi Muhammad SAW.
3. Taqlid yang Diwajibkan
Pada zaman sekarang ini taqlid yang berkembang seperti di
Indonesia adalah taklid kepada buku, bukan taqlid kepada imam-imam yang
terkenal. Imam-imam yang terkenal itu adalah Abu Hanifah, Malik, Asy
Syafi’i, dan Ahmad Bin Hanbal. Jika seseorang bertaqlid kepada seorang
imam dia harus mengikuti ajaran imam tersebut secara murni, atau
setidaknya kepada muridnya yang paling dekat. Orang yang bertaqlid pada
salah satu imam tidak boleh mengikuti ajaran imam lain. Tapi kenyataan
yang terjadi adalah tidak demikian, kebanyakan orang mengikuti pendapat
seseorang yang digolongkan termasuk mahzab salah satu imam.
E. Peradilan untuk non muslim
Peradilan Dalam bahasa Arab biasa disebut dengan al-qadha memiliki arti
secara bahasa yaitu memutuskan hukum perkara di antara manusia. Adapun
secara syara’ berarti menyelesaikan dan memutuskan perkara perseteruan dan
persengketaan14
peradilan adalah perkara yang diperintahkan dalam Islam perkara yang
diperintahkan dalam Islam dalam Islam Allah subhanahu wa ta'ala berfirman
kepada rasulnyanya:
….dan hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut
apa yang diturunkan Allah ( QS: Al Maidah: 49 )
Adapun perintah untuk berlaku adil baik itu kpd orang muslim mauppun
yang non muslim sebagaimana dalam firman Allah SWT:
….Maka putuskanlah dengan adil Sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang adil ( QS:Al Maidah: 42)

Wahbah azzuhaili,Fiqih islam wa adillatuhu, (jihad, pengadilan dan mekanisme


14

mengambil keputusan, pemerintahan dalam islam, jilid 8), (Cet. 10; Damaskus: 20007M ) h. 356.
15

Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk
berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan. (QS. al-Maidah [5]: 8 )
Di mata hukum, tidak ada perbedaan antara non-Muslim dengan Muslim.
Hakim (qadhi) wajib mencermati pembuktian yang disyaratkan menurut syariat
semata, bukan menurut aturan lain. Ada banyak contoh yang menunjukkan
bagaimana non-Muslim dapat mengalahkan seorang Muslim di pengadilan.
Pada masa Khalifah Umar bin Khaththab, sejumlah Muslim menyerobot
tanah yang dimiliki oleh seorang Yahudi dan mendirikan masjid di atas tanah
tersebut. Ini jelas melanggar hak Yahudi tersebut sebagai ahlu dzimmah. Umar
kemudian memerintahkan agar masjid tersebut dirubuhkan dan tanah tersebut
dikembalikan pada orang Yahudi tersebut.15
Dalam kasus lainnya, pada masa pemerintahan Imam Ali, seorang Yahudi
mencuri baju zirah milik Khalifah. Ali kemudian mengadukan Yahudi tersebut ke
pengadilan dan membawa puteranya sebagai saksi. Hakim menolak gugatan sang
Khalifah, dan menyatakan bahwa seorang anak tidak dapat dijadikan saksi dalam
perkara yang melibatkan ayahnya di pengadilan. Setelah menyaksikan keadilan
tersebut, si Yahudi kemudian mengaku bahwa ia memang mencuri baju tersebut
dan kemudian memeluk Islam.

Kehidupan non muslim, https://rasitotursinah.wordpress.com/articles/kehidupan-non-


15

muslim-di-wilayah-islam / (29 februari 2020)


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Jumhur ulama berpendapat bahwa putusan hakim hanya menetapkan aspek
aspek lahiriyah perkara, tidak untuk masalah batin atau hakikat nya, sebab
manusia hanya diperintahkan untuk memperhatikan aspek lahiriyahnya,
sedangkan aspek batiniahnya hanya Allah yang menghukumi. karena itu
keputusan hakim tidak sampai menyebabkan sesuatu yang hukumnya haram
menjadi halal atau sesuatu yang halal menjadi haram
2. Apabila qadhi (Hakim) tidak menemukan hukum perkara yang ditanganinya itu
didalam keempat sumber hukum (Al-Qur’an, Sunnah, Ijmak, dan qiyas), jika ia
adalah berkapasitas sebagai seorang mujtahid, ia memutuskannya berdasarkan
hasil ijtihad nya, sedangkan jika iyya bukan lah seorang yang berkapasitas
sebagai seorang mujtahid, ia memilih pendapat para mujtahid yang menurut
keyakinannya adalah lebih faqih dan lebih wira’i.

16
Daftar Pustaka

Azzuhaili Wahbah, Fiqih islam wa adillatuhu, jihad, pengadilan dan mekanisme


mengambil keputusan, pemerintahan dalam islam, jilid 8 , Cet. 10;
Damaskus: 2000Syarifuddin Amir, Ushul Fiqh, Jilid 2, Cet. 6; Jakarta:
Kencana, 2011
Rola paramita Wahyuni, “Tasyri’ Pada Masa Muqqallidun Dan Faktor Yang
Melatarbelakangi” Official Website of Wahyuni Rola paramita,
https://www.academia.edu/9701946/TASYRI_PADA_MASA_MUQQAL
LIDUN_DAN_FAKTOR_YANG_MELATARBELAKANGI (29 februari
2020)
Hasan Sofyan, “sebuah pengantar komperehensif tentang ilmu tata hukum dan
tata hukum islam di indonesia” Cet. 1; malang: 2018
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy Teungku, Pengantar Ilmu Fiqh, Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra, 1999.
Kehidupan non muslim, https://rasitotursinah.wordpress.com/articles/kehidupan-
non-muslim-di-wilayah-islam / (29 februari 2020)
A. Rasyid Raihan, Hukum Acara Peradilan Agama, Cet. 16; Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1999
Haikal A.S Pane, “penerapan uitvoerbaar bij vorraad dalam putusan hakim pada
pengadilan tingkat pertama: putusan perkara perdata register” skripsi
sarjana, fakultas hukum universitas indonesia, depok, 2009 (20 februari
2020)

17

Anda mungkin juga menyukai