Anda di halaman 1dari 16

PERNIKAHAN YANG DI LARANG (NIKAH MUT’AH, SYIGAR, TAHLIL,

SEPRSUSUAN, MEMADU ISTRI DENGAN BIBI)

Makalah ini sebagai salah satu tugas mata kuliah Tafsir Hadist Hukum

Oleh:

RAHMAT JAYA ABBAS (912018014)


TASNIM AHMAD (912018015)

Dosen pengampu :
Dr. Zaenab Abdullah, Lc, M,Th.I.

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
(STAI) AL-AZHAR GOWA
2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pernikahan merupakan suatu akad untuk menghalalkan hubungan antara laki-laki


dan perempuandalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup berkeuarga yang
diridloi oleh Allah SWT.

Dari pengertian itu dapat kita ketahui bawasanya untuk menciptakan kehidupan
keluarga yang bahagia, kemudoian menghalalkan hubungan antara laki-laki dan
perempuan, membangun rumah tangga yang tentram atas dasar cinta dan kasih
sayang.

Dalam agama islam sudah jelas mana pernikahan yang dilarang dan mana yang
diperbolehkan. Adapun yang dimaksud pernikahan yang dilarang yakni bentuk-
bentuk perkawinan yang tidak boleh dilakukan seperti kawin Mut'ah, kawi Syighor
dan lain-lain. Bentuk perkawinan tersebut merupakan bawaan yang berasal dari
zaman jahiliyah yang mana pada zaman ini orang=orang bagaikan binatang yang
memiliki rinsip siapa kuat dialah yang berkuasa.

Adapun pernikahan yang diperbolehkan yaitu pernikahan yang sesauai dengan


syari'atseperti ada kedua mempelai, saksi dan wali serta mahar dan apabila salah sayu
diantara syarat-syarat terssebut tidak dipenuhi maka pernikahannya tidak sah atau
batal.

B. Rumusan Masalah
1. Apa penertian dari Nikah Mut’ah ?
2. Apa penertian dari Nikah Syigar ?
3. Apa penertian dari Nikah Tahlil ?
4. Apa penertian dari Nikah Spersusuan ?
5. Apa penertian dari Memadu istri dengan bibi ?
BAB II

PEMBAHASAN

1. NIKAH MUT’AH
Istilah nikah mut`ãh berasal dari bahasa Arab, perkataan nikah mut`ãh dalam
kajian fiqh Islam merupakan penggabungan dua buah kata, yakni kata "nikah" dan
kata " mut`ãh". Sedangkan kata mut’ah berasal dari kata "  َ‫ ة‬22‫ ُم ْت َع‬,ُ‫ع‬22ِ‫ يُ َمت‬,‫ َع‬22َ‫ " َم َمت‬yang
memiliki makna kenikmatan.1 dalam fiqih Sunnah Kawin Mut’ah yaitu kawin
sementara, atau kawin terputus, oleh karena laki-laki yang mengawini perempuannya
itu untuk sehari atau seminggu atau sebulan. Dinamakan kawin Mut’ah karena laki-
lakinya bermaksud untuk bersenang-senang sementara waktu saja.2
 Dasar hukum
Allah SWT berfirman dalam Surat QS. Al-Ma’arij: 29 – 31:

َ‫ك‬22ِ‫ فَ َم ِن ا ْبتَغَى َو َرا َء َذل‬. َ‫و ِمين‬22ُ‫ ُر َمل‬2‫إِنَّهُ ْم َغ ْي‬2َ‫انُهُ ْم ف‬22‫ت أَ ْي َم‬
ْ ‫ا َملَ َك‬22‫ إِال َعلَى أَ ْز َوا ِج ِه ْم أَوْ َم‬. َ‫ افِظُون‬2‫َوالَّ ِذينَ هُ ْم لِفُرُو ِج ِه ْم َح‬
َ ِ‫فَأُولَئ‬
َ‫ك هُ ُم ْال َعا ُدون‬

Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka


atau budak-budak yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka dalam hal ini
tiada tercela.
Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang
melampaui batas.
Dalam suatu lafadz yang diriwayatkannya oleh Ibnu Majah, Rasulullah telah
mengharamkan nikah Mut’ah dengan sabdanya:
“wahai manusia! Saya telah pernah mengizinkan kamu kawin mut’ah. Tetapi
sekarang ketahuilah bahwa Allah telah mengharamkannya sampai hari kemudian.”
 Pendapat ulama
Secara umum, para ulama’ dari kalangan Sunni sepakat bahwa nikah mut’ah
telah diharamkan oleh Allah swt. dan Rasulnya sampai hari kiamat. Meskipun tanpa
menginkari bahwa pada awal Islam juga pernah dihalalkan. Satu-satunya riwayat
yang membolehkan adalah dari Ibnu Abbas ra. namun itu tidak bisa dijadikan
pedoman karena lemahnya riwayat sebagaimana penjelasan di atas.

http://muhammad-hammam.blogspot.com/2011/12/hukum-kawin-kontrak.html, diunduh
1

tanggal 21 Maret 2020 pukul 19.56


2
Sayyid sabiq, Terjemah Fiqih Sunnah jilid 6,( Al-Maarif: Bandung, 1980,) h 63
Dalam Al-Qur’an terdapat ayat yang konteksnya adalah perintah menjaga
kemaluan, sebagaimana disebutkan dalam Surat Al-Ma’arij (70) ayat 29-31:

‫ فَ َم ِن ا ْبتَغَى‬. َ‫ت أَ ْي َمانُهُ ْم فَإِنَّهُ ْم َغ ْي ُر َملُو ِمين‬


ْ ‫اج ِه ْم أَوْ َما َملَ َك‬
ِ ‫ إِال َعلَى أَ ْز َو‬. َ‫َوالَّ ِذينَ هُ ْم لِفُرُو ِج ِه ْم َحافِظُون‬
َ ِ‫ك فَأُولَئ‬
َ‫ك هُ ُم ْال َعا ُدون‬ َ ِ‫َو َرا َء َذل‬
Artinya: “Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap isteri-
isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka
dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka
itulah orang-orang yang melampaui batas.”

Ayat ini menyebutkan bahwa kemaluan hanya halal bagi istri-istri mereka, dan
tidak termasuk pasangan mut’ah, karena permpuan mut’ah tidak termasuk dalam
katergori tersebut, akan tetapi hanya sebatas sewaan.

Riwayat yang paling kuat kesahihannya adalah yang dikeluarkan oleh Bukhari dan
Muslim, yang disandarkan kepada Sayyidina Ali ra. bahwa bahwa Rasulullah Saw.
telah melarang nikah mut’ah pada perang Khaibar dan melarang memakan daging
keledai peliharaan. Para ulama Syi’ah tidak memakai hadits ini, padahal Ali ra. itu
imam pertama mereka yang sangat di puja- puja.3

Dalil pelarangan mut’ah yang lain adalah riwayat dari Ibnu Umar ra. bahwa
Sayyidina Umar bin Khattab ra. dalam pidatonya mengatakan: “…Demi Allah, saya
tidak melihat seseorang melakukan mut’ah sedang ia adalah muhshan, kecuali aku
akan merajamnya...” (HR. Imam Ibn Majah).4 Sebagai catatan, tidak ada satu
sahabatpun yang memprotes Umar ra. ketika itu. Hal ini menunjukkan bahwa
pelarangan mut’ah itu bukan dari diri Umar ra. melainkan menyampaikan apa yang
telah ditetapkan oleh Rasulullah saw. Berbeda dengan mut’ah haji, beberapa sahabat
memprotes Umar ra. ketika menyebut bahwa mut’ah haji juga dilarang, karena
Rasulullah saw. pernah melakukan.

Pengharaman mut’ah ini juga disebutkan dalam Musnad Ibn' Hanbal, bahwa
Rasulullah saw. pernah mengatakan dalam pidatonya: “Wahai manusia,
3
HR. Al-Bukhari (3919,4748, 5124) dan Muslim (2518, 2519, 2521, 3588), lihat juga Syekh
Salim bin ‘Ied al-Hilali dalam Ensiklopedi Larangan, (Pustaka Imam Syafi’i, Bogor, TC, 2005), hlm.
26
4
Ibnu Majah Al-Quzuaini, Sunan Ibnu Majah, (Darul Fikr, Beirut, Cet. I, TP), hlm. 488, no.
1949.
sesungguhnya aku pernah membolehkan mut’ah kepada wanita, tahukah kalian
bahwa Allah swt. telah melarangnya sampai hari Kiamat...”. Rijal hadits ini, mereka
adalah Waki’, Abdul Aziz, Robi’ dan Sabroh Al-Juhani, semuanya thiqah dan Imam
Muslim mengambil hadits dari mereka kecuali Robi’ dan Sabroh Imam Bukhari tidak
mengambilnya. Namun hadits ini sudah dapat dikategorikan shahih, karena masih
banyak riwayat lain yang menerangkan tentang diharamkannya mut’ah.

2. Nikah Syighar

Yaitu wali menikahkan gadis yang diurusnya kepada seorang pria dengan syarat
dia menikahkannya pula dengan gadis yang diurusnya.

Nafi’ berkata: “Syighar ialah seorang laki-laki menikahi puteri laki-laki lainnya dan
dia pun menikahkannya dengan puterinya tanpa mahar. Atau seorang laki-laki
menikahi saudara perempuan laki-laki lainnya lalu dia menikahkannya pula dengan
saudara pe-rempuannya tanpa mahar.”5

An-Nawawi berkata: “Para ulama bersepakat bahwa pernikahan ini terlarang.”6

 Dasar hukum

Adapun hadits-hadits tentang pengharaman pernikahan ini ialah sebagai berikut:

Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahiihnya dari Ibnu ‘Umar
Radhiyallahu anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫َار فِي ْا ِإلسْـالَ ِم‬


َ ‫الَ ِشغ‬.

“Tidak ada nikah syighar dalam Islam.”7

5
https://almanhaj.or.id/3562-pernikahan-yang-diharamkan-nikah-syigar-nikah-tahlil-nikah-
dalam-masa-iddah.html diunduh tanggal 21 Maret 2020 pukul 19.56
6
https://almanhaj.or.id/3562-pernikahan-yang-diharamkan-nikah-syigar-nikah-tahlil-nikah-
dalam-masa-iddah.html diunduh tanggal 21 Maret 2020 pukul 19.56

7
HR. Muslim (no. 60) bab Tahriim Nikaahisy Syighaar wa Buthlaanihi kitab an-Nikaah, at-
Tirmidzi (no. 1123) kitab an-Nikaah, an-Nasa-i (no. 3335) kitab an-Nikaah, ‘Abdurrazzaq (no. 6690),
Mu’jam al-Kabiir (XI/358).
At-Tirmidzi meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu, bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang syighar.”8

At-Tirmidzi meriwayatkan dari ‘Imran bin Hushain Radhiyallahu anhu, bahwa


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

َ ‫ب نُ ْهبَةً فَلَي‬
‫ْس ِمنَّا‬ َ َ‫ َو َم ِن ا ْنتَه‬،‫َب َوالَ ِشغَا َر‬ َ َ‫الَ َجل‬
َ ‫ب َوالَ َجن‬

“Tidak boleh berbuat kejahatan, tidak boleh membangkang, tidak boleh melakukan
syighar. Dan barangsiapa melakukan perampasan, maka dia bukan golongan
kami.”9

Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi


wa sallam melarang syighar. Dan syighar ialah menikahkan seseorang dengan
puterinya dengan syarat orang tersebut menikahkan dirinya dengan puterinya pula,
tanpa ada mahar di antara keduanya.10

 Pendapat Ulama

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Allah telah mewajibkan


mahar dan tidak mewajibkan para saksi. Barangsiapa yang mengatakan bahwa
pernikahan itu sah tanpa adanya mahar dan tidak sah kecuali dengan adanya para
saksi, maka dia telah menggugurkan apa yang diwajibkan Allah kepadanya dan
mewajibkan apa yang tidak diwajibkan Allah.

Inilah di antara yang membuktikan bahwa pendapat penduduk Madinah dan ahli
hadits itu lebih shahih daripada pendapat penduduk Kufah mengenai pengharaman
nikah syighar. Alasannya hanyalah karena meniadakan mahar. Jadi, bilamana mahar
tersebut ada, maka pernikahan pun menjadi sah.

3. Nikah Tahlil.

8
HR. At-Tirmidzi (no. 1133) kitab an-Nikaah, dan beliau menilainya sebagai hadits hasan
shahih, serta dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih at-Tirmidzi (no. 897).
9
HR. At-Tirmidzi (no. 1123) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 2581) kitab an-Nikaah,
Ahmad (no. 19354), dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih at-Tirmidzi (no. 896).
10
HR. Al-Bukhari (no. 5112) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1415), kitab an-Nikaah.
Yaitu menikahi wanita yang telah ditalak tiga setelah berakhirnya masa ‘iddahnya
kemudian menceraikannya kembali untuk diberikan kepada suaminya yang pertama.
Ini adalah salah satu dosa besar dan perbuatan keji yang Allah melarangnya dan
melaknat pelakunya, berdasarkan apa yang diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengenai hal itu.

 Dasar hukum

At-Tirmidzi meriwayatkan dalam Sunannya dari ‘Abdullah bin Mas’ud


Radhiyallahu anhu, ia mengatakan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melaknat muhallil dan muhallal lahu.”11

Arti muhallil berasal dari tahlil, yakni orang yang menikahi wanita yang ditalak
tiga dengan niat untuk diceraikannya setelah menyetubuhinya agar orang yang
mentalak tiga tersebut dapat menikahinya kembali.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerupakan orang yang melakukan


perbuatan ini dengan rusa yang dipinjamkan. Sebagaimana Ibnu Majah meriwayatkan
dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda: “Maukah aku
tunjukkan kepada kalian tentang rusa yang dipinjamkan?” Mereka menjawab: “Tentu,
wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Ia adalah muhallil, semoga Allah melaknat
muhallil dan muhallal lahu.”12

 Pendapat Ulama

At-Tirmidzi rahimahullah berkata: “Pengamalan atas hal ini dilakukan para


ulama dari kalangan Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di antaranya adalah
‘Umar bin al-Khaththab, ‘Utsman bin ‘Affan, ‘Abdullah bin ‘Umar dan selainnya,
serta ini pun adalah pendapat fuqaha dan Tabi’in.13

Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Pernikahan muhallil, yang diriwayatkan


bahwa Rasulullah melaknatnya, bagi kami -wallaahu a’lam- sama halnya dengan
nikah mut’ah, karena pernikahan ini tidak mutlak, jika disyaratkan agar
menikahinya hingga melakukan persetubuhan. Pada dasarnya, dia melakukan akad
11
HR. At-Tirmidzi (no. 1129) kitab an-Nikaah, dan menilainya sebagai hadits hasan shahih,
an-Nasa-i (no. 3198) kitab an-Nikaah; dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih Ibni
Majah (no. 1571).
12
HR. Ibnu Majah (no. 1936), kitab an-Nikaah, dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam
Shahiih Ibni Majah (no. 1572). Lihat al-Irwaa’ (VI/309).
13
Komentar Imam at-Tirmidzi atas hadits (no. 1129), kitab an-Nikaah.
nikah terhadapnya hingga dia menyetubuhinya. Jika dia telah menyetubuhinya, maka
selesailah status pernikahannya dengan wanita tersebut.”

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan bahwa secara keseluruhan, pernikahan


muhallil adalah haram lagi bathil menurut pendapat semua ahli ilmu, baik wali
mengatakan: “Aku menikahkanmu dengannya hingga kamu menyetubuhinya,”
maupun mensyaratkan bila telah menggaulinya, maka tiada pernikahan di antara
keduanya, atau bila telah menggaulinya untuk pertama kalinya maka dia harus
menceraikannya. Diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa pernikahan tersebut sah
tetapi syaratnya tidak sah.

Asy-Syafi’i berkata: “Kedua bentuk yang pertama tidaklah sah, sedangkan untuk
yang ketiga terdapat dua pendapat.

Ibnu Mas’ud berkata “Muhallil dan muhallal lahu dilaknat melalui lisan
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kami mempunyai riwayat dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Semoga Allah melaknat muhallil dan muhallal lahu.'”

‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu berkata ketika beliau berkhutbah:


“Demi Allah, tidaklah dihadapkan kepadaku muhallil dan muhallal lahu melainkan
aku merajam keduanya. Sebab, keduanya adalah pezina.” Dan karena pernikahan
hingga suatu masa, atau di dalamnya terdapat syarat yang menghalangi kelangsungan
pernikahan tersebut, maka ini serupa dengan nikah mut’ah.

Nafi’ meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, bahwa seorang pria
bertanya kepadanya: “Aku menikahi seorang wanita untuk menghalalkannya bagi
(mantan) suaminya, sedangkan dia tidak menyuruhku dan dia tidak tahu.” Ia
menjawab: “Tidak boleh, kecuali pernikahan karena keinginan (yang wajar); jika
mengagum-kanmu, pertahankanlah dan jika kamu tidak suka, ceraikanlah.
Sesungguhnya kami menganggapnya pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam sebagai perzinaan.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah ditanya tentang orang yang
berucap: “Jika wanita yang dicerai telah disetubuhi seseorang (yang menikahinya)
pada duburnya, maka dia halal untuk suaminya; apakah ini benar ataukah tidak?”

Beliau menjawab: “Ini adalah ucapan bathil, menyelisihi pen-dapat para Imam kaum
muslimin yang masyhur dan para Imam kaum muslimin lainnya. Sebab, Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada wanita yang ditalak tiga (kemudian
menikah dengan laki-laki lain dan ingin kembali kepada suaminya yang pertama..).14

4. Nikah sepersusuan

Yang dimaksud hubungan sepersusuan adalah bila seorang anak menyusu kepada
seorang perempuan, maka air susu perkawinan itu menjadi darah daging dan
pertumbuhan bagi si anak sehingga perempuan yang menyusukan itu telah seperti
ibunya. Ibu tersebut menghasilkan susu karena yang disebabkan hubungannya dengan
suaminya, sehingga suami perempuan itu sudah seperti ayahnya sebaliknya bagi ibu
yang menyusukan dan suaminya anak tersebut sudah seperti anaknya.

Demikian pula anak yang dilahirkan oleh ibu itu seperti saudara dari anak yang
menyusu kepada ibu tersebut, selanjutnya hubungan susuan sudah seperti hubungan
nasab.

Jika sudah begitu juga akan berpengaruh terhadap anak jika akan menikah dengan
saudara sepersusuannya karena hukum islam telah mengharamkan begitu pula dengan
hukum negara yang turut serta melarang perkawinan ini.

 Dasar hukum

Haramnya menikah antara saudara sepersusuan jelas sekali yaitu berdasarkan


AlQur’an dan As-Sunnah. Allah SWT berfirman dalam wanita-wanita yang haram
dinikahi.

َ ْ‫َوأُ َّمهَا تُ ُك ُم ا َّل تِي أَر‬


َ ‫ض ْعنَ ُك ْم َوأَ َخ َواتُ ُك ْم ِمنَ ال َّر‬
‫ضا َع ِة‬

Diharamkan mengawini ibu-ibu yang menyusukan kamu dan saudara-saudara


sepersusuan dengan kamu.

Rasulullah SAW bersabda, Apa yang diharamkan karena adanya hubungan


kelahiran, haram pula karena hubungan persusuan. (HR.Muslim)

Didalam riwayat lain, Persusuan menyebabkan menjadi mahram (diharamkan untuk


menikah) sebagaimana hubungan kelahiran. (HR.Muslim)

https://almanhaj.or.id/3562-pernikahan-yang-diharamkan-nikah-syigar-nikah-tahlil-nikah-
14

dalam-masa-iddah.html diunduh tanggal 21 Maret 2020 pukul 19.56


ْ‫ يَحْ َر ُم من الرضاع َما يُحْ ر ُم من النَّ َسب‬،‫إنَّهَا الَ تُ ِحل لى إنَّهُا أَ ِخى ِمنَ الرّضاعة‬

Perempuan itu tidak boleh saya nikah karena dia adalah saudaraku sepersusuan .
Diharamkan karena hubungan susuan mana-mana yang diharamkan karena
hubungan nasab.

Serta ayat yang terkandung dalam surat An-Nisa ayat 23:

َ ْ‫ت َوأُ َّمهَاتُ ُك ُم الاَّل تِي أَر‬


‫ض ْعنَ ُك ْم‬ ِ ‫َات اأْل ُ ْخ‬ ُ ‫خ َوبَن‬ ُ ‫ت َعلَ ْي ُك ْم أُ َّمهَاتُ ُك ْم َوبَنَاتُ ُك ْم َوأَ َخ َواتُ ُك ْم َو َع َّماتُ ُك ْم َو َخااَل تُ ُك ْم َوبَن‬
ِ َ ‫َات اأْل‬ ْ ‫حُرِّ َم‬
‫ُور ُك ْم ِم ْن نِ َسائِ ُك ُم الاَّل تِي َد َخ ْلتُ ْم بِ ِه َّن فَإ ِ ْن لَ ْم تَ ُكونُوا‬
ِ ‫ات نِ َسائِ ُك ْم َو َربَائِبُ ُك ُم الاَّل تِي فِي ُحج‬ ُ َ‫ضا َع ِة َوأُ َّمه‬ َ ‫َوأَ َخ َواتُ ُك ْم ِمنَ ال َّر‬
َ‫َدخَ ْلتُ ْم بِ ِه َّن فَاَل ُجنَا َح َعلَ ْي ُك ْم َو َحاَل ئِ ُل أَ ْبنَائِ ُك ُم الَّ ِذينَ ِم ْن أَصْ اَل بِ ُك ْم َوأَ ْن تَجْ َمعُوا بَ ْينَ اأْل ُ ْختَي ِْن إِاَّل َما قَ ْد َسلَفَ إِ َّن هَّللا َ َكان‬
‫َغفُورًا َر ِحي ًما‬

Artinya:

Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan;


saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan;
saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-
saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang
perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-
ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri
yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan
sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan
bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam
perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa
lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.15

 Pendapat ulama

Secara zhahir segala macam susuan dapat menjadi sebab haramnya perkawinan.
Tetapi sebenarnya tidak benar, kecuali karena susuan yang sempurna, yaitu dimana
anak menyusu dan menyedot air susunya, dan tidak berhenti dari menyusui kecuali
dengan kemauannya sendiri tanpa sesuatu paksaan.16

https://agussupianto.blogspot.com/2014/12/makalah-tentang-perkawinan-sepersusuan.html
15

diunduh tanggal 21 Maret 2020 pukul 19.56


16
Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah (6), terjemah, h. 112
Jika ia baru menyusu sekali atau dua kali hal ini tidak menyebabkan haramnya
kawin, karena bukan disebut menyusu dan tidak pula bisa mengenyangkan.

Aisyah berkata bahwa Rasulullah saw bersabda :

َّ ‫صةَ َوالَ ْال َم‬


‫صتَا ِن‬ َّ ‫الَتُ َح ِّر ُم ْال َم‬

“Tidak haram kawin karena sekali atau dua kali susuan” (H.R. Jama’ah, kecuali
Bukhari).

Para ulama telah berbeda pendapat tentang kadar persusuan yang menimbulkan
pertalian persusuan. Hal ini akibat adanya beberapa riwayat hadits yang mengandung
keterangan yang berbeda satu sama lain, yang masing-masing dikuatkan ataupun
dilemahkan berdasarkan pertimbangan para ulama dari berbagai madzhab. Di antara
pendapat-pendapat tersebut adalah 17

Menurut madzhab Syafi’i dan Ahmad (dalam salah satu di antara dua
pendapatnya) serta Ibn Hazm mengacu kepada pendapat yang diriwayatkan dari
Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Zubair, juga salah satu pendapat Aisyah serta
beberapa tokoh lain —“ Persusuan tidak dianggap sempurna, dan karenanya tidak
menimbulkan hubungan mahram antara yang menyusui dan disusui, kecuali dengan
berlangsungnya paling sedikit lima kali susuan mengenyangkan, dalam beberapa
waktu yang berlainan.”

Menurut Abu Hanifah, Malik, dan salah satu dalam madzhab Ahmad,
berdasarkan riwayat yang disandarkan pada Ali, Ibn Abbas, Sa’id bin Musayyab,
Hasan Al-Bashri dan beberapa lainnya —“Berlangsungnya susuan yang sempurna
(yakni yang mengenyangkan, bukan yang hanya berupa satu atau dua isapan saja)
walaupun hanya satu kali saja, sudah cukup menimbulkan hubungan mahram antara
yang menyusui dan disusui.

‘Aisyah berkata bahwa Rasulullah saw bersabda :

َّ ‫صةَ َوالَ ْال َم‬


‫صتَا ِن‬ َّ ‫الَتُ َح ِّر ُم ْال َم‬

“Tidak haram kawin karena sekali atau dua kali susuan” (H.R. Jama’ah, kecuali
Bukhari).

Pendapat ketiga, yang tampaknya tidak begitu populer, yaitu yang dianut oleh
Abu Daud Azh-Zahiri, Abu Tsaur dan Ibn Al-Mundzir. Mereka menyatakan bahwa
17
Muhammad Bagir Al-Habsyi, “Fiqh Praktis”,cet 1 (Bandung karisma 2008) h. 17
persusuan tidak dianggap sempurna, dan karenanya tidak menimbulkan hubungan
mahram, kecuali apabila telah berlangsung paling sedikit tiga kali susuan.

Dinyatakan dalam buku Bidayatul Mujtahid silang pendapat ini disebabkan oleh
adanya pertentangan antara keumuman ayat Al-Qur’an dengan hadits yang memuat
pembatasan, di samping pertentangan antara hadits itu sendiri satu dengan lainnya.
Keumuman firman Allah tersebut ialah:

َ ْ‫َوأُ َّمهَاتُ ُك ُم الاَّل تِي أَر‬


‫ض ْعنَ ُك ْم‬

”Dan ibu-ibumu yang menyusui kamu”. ( Q.S. Al-Nisa (4): 23 )

Ayat ini menghendaki keharaman setiap yang dikatakan susuan.

Sedangkan hadits yang saling bertentangan mengenai masalah ini berpangkal pada
dua hadits.

Pertama: hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari jalan ‘Aisyah dan jalan Ummu
‘I-Fadhl disebutkan:

‫التُ َحرِّ ُم ْا ِإل ْمالَ َجةُ َوالَ ْا ِإل ْمالَ َجتَا ِن‬: ‫م‬.‫قال الرسول هللا ص‬

Rasulullah saw bersabda: “Tidak mengharamkan satu kali sedotan atau

dua kali sedotan”.

Kedua: hadits Salhah yang berkenaan dengan Salim, bahwa Nabi saw. berkata
kepadanya:

‫ت‬
ٍ ‫ض َعا‬ َ ‫ض ِع ْي ِه َخ ْم‬
َ ‫س َر‬ ِ ْ‫ا َر‬

“Susukanlah dia lima kali susuan”.

Bagi fuqaha yang lebih menguatkan lahir kata-kata al-Qur’an atas hadits-hadits
ini, maka mereka mengatakan bahwa satu atau dua kali sedotan sudah diharamkan.

Sedang bagi fuqaha yang mendudukan hadits tersebut sebagai tafsiran atas ayat
al-Qur’an, dan menggabungkan antara hadits-hadits dengan al-Qur’an, serta lebih
menguatkan mafhum dalil khithab pada sabda Nabi saw.: “Tidak mengharamkan satu
kali sedotan atau dua kali sedotan”, atas mafhum dalil khithab pada hadits tentang
Salim, maka mereka mengatakan bahwa tiga kali sedotan ke atas itulah yang
mengharamkan18

5. Memadu istri dengan bibi

yakni menikahi seorang wanita dengan dipoligami bersama bibinya baik dari ayah
maupun ibu itu dilarang dalam syariat islam

 Dasar hukum

Dalilnya sabda Nabi Muhammad saw sebagai berikut:

‫اَل يُجْ َم ُع بَ ْينَ ْال َمرْ أَ ِة َو َع َّمتِهَا َواَل‬ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل‬
َ ِ ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ أَ َّن َرسُو َل هَّللا‬
ِ ‫ع َْن أَبِي هُ َر ْي َرةَ َر‬
‫بَ ْينَ ْال َمرْ أَ ِة َوخَالَتِهَا‬

Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda: “Seorang wanita tidak boleh
dimadu dengan bibinya baik dari jalur ibu atau ayah.” (HR.Bukhari)

Dalam riwayat lain, beliau bersabda:

‫ت أَ ِخيهَا‬
ِ ‫ « الَ تُ ْن َك ُح ْال َمرْ أَةُ َعلَى َع َّمتِهَا َوالَ ْال َع َّمةُ َعلَى بِ ْن‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ع َْن أَبِى هُ َر ْي َرةَ قَا َل قَا َل َرسُو ُل هَّللا‬
‫ت أُ ْختِهَا َوالَ تُ ْن َك ُح ْال ُك ْب َرى َعلَى الصُّ ْغ َرى َوالَ الصُّ ْغ َرى َعلَى ْال ُك ْب َرى‬ ِ ‫» َوالَ ْال َمرْ أَةُ َعلَى خَالَتِهَا َوالَ ْال َخالَةُ َعلَى بِ ْن‬.

Dari Abu Hurairah, ia berkata; Rasulullah saw bersabda: “Tidak boleh seorang
wanita dinikahi sebagai madu bibinya (saudari ayah), dan seorang bibi dinikahi
sebagai madu anak wanita saudara laki-lakinya, dan tidak boleh seorang wanita
dinikahi sebagai madu bibinya (saudari ibu) dan seorang bibi sebagai madu bagi
anak wanita saudara wanitanya. Dan tidak boleh seorang kakak wanita dinikahi
sebagai madu adik wanitanya, dan adik wanita dinikahi sebagai madu kakak
wanitanya.” (HR.Abu Dawud).19

18
Ibnu Rusyd Bidayatul Mujtahid Terj, jilid II, (pustaka azzam Jakarta selatan) h. 424.
19
www.almuflihun.com diunduh tanggal 21 Maret 2020 pukul 21.03
 Pendapat ulama
Imam An Nawawi menjelaskan bahwa hadist di atas menyebutkan secara shahih
tentang dilarangnya memadu istri dengan bibinya, baik bibi dari ayah ataupun ibunya
baik itu bibi yang nyata (saudara ayah atau ibu) ataupun yang majazi (seperti saudara
sepupu ayah atau ibu) dan dalam hal ini para ulama sepakat dalam hal pelarangannya.
Jumhur ulama mengatakan boleh menikahi bibi istri apabila istri telah di ceraikan
atau meninggal dunia.20

20
https://books.google.co.id=pendapat+ulama+tentang+memadu+istri+dengan+bibi.com
diunduh tanggal 22 Maret 2020 pukul 13.44
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Nikah Mut’ah yaitu kawin sementara, atau kawin terputus, oleh karena laki-
laki yang mengawini perempuannya itu untuk sehari atau seminggu atau sebulan.
Dinamakan kawin Mut’ah karena laki-lakinya bermaksud untuk bersenang-
senang sementara waktu saja.
Nikah Syigar Yaitu wali menikahkan gadis yang diurusnya kepada seorang
pria dengan syarat dia menikahkannya pula dengan gadis yang diurusnya.
Nikah Tahlil Yaitu menikahi wanita yang telah ditalak tiga setelah
berakhirnya masa ‘iddahnya kemudian menceraikannya kembali untuk diberikan
kepada suaminya yang pertama.
Nikah sesusuan yaitu menikah dengan saudara sepersusuan, Pernikahan ini
dilarang kareana hubungan susuan sudah seperti hubungan nasab. Dan bebagai
perbedaan ulama mengenai jumlah asi yang di minum sehingga menjadi saudara
sepersusuan.
Memadu istri dengan bib yaitu menikahi seorang wanita dengan dipoligami
bersama bibinya baik dari ayah maupun ibu itu.

B. Saran

Dalam penulisan makalah ini masih terdapat beberapa kekurangan dan


kesalahan, baik dari segi penulisan maupun dari segi penyusunan kalimatnya dan
dari segi isi juga masih perlu ditambahkan. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan kepada para pembaca makalah ini agar dapat memberikan kritkan
dan masukan yang bersifat membangun.
DAFTAR PUSTAKA

Ibnu Majah Al-Quzuaini, Sunan Ibnu Majah, (Darul Fikr, Beirut, Cet. I, TP),

Sayyid sabiq, Terjemah Fiqih Sunnah jilid 6, (Al-Maarif: Bandung, 1980 )

Salim bin ‘Ied al-Hilali dalam Ensiklopedi Larangan, (Pustaka Imam Syafi’i, Bogor,
TC, 2005)

Muhammad Bagir Al-Habsyi, “Fiqh Praktis”,cet 1 (karisma Bandung 2008)

Ibnu Rusyd Bidayatul Mujtahid, jilid II, (pustaka azzam Jakarta selatan)

https://almanhaj.or.id/3562-pernikahan-yang-diharamkan-nikah-syigar-nikah-tahlil-
nikah-dalam-masa-iddah.html

https://agussupianto.blogspot.com/2014/12/makalah-tentang-perkawinan-
sepersusuan.html

www.almuflihun.com

https://books.google.co.id=pendapat+ulama+tentang+memadu+istri+dengan+bibi.com

Anda mungkin juga menyukai