OLEH:
KELOMPOK 4:
Abdurrohman (12120112863)
Ahmad Fauzan (12120112819)
Silvia Agustriani (12120122379)
DOSEN PENGAMPU:
Dr. JUMNI NELLY. M. Ag
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan penulis kemudahan dalam
menyelesaikan makalah tepat waktu. Tanpa rahmat dan pertolongan-Nya, penulis tidak akan
mampu menyelesaikan makalah ini dengan baik. Tidak lupa shalawat serta salam tercurahkan
kepada Nabi Muhammad SAW.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya,
sehingga makalah ini dapat diselesaikan. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata
kuliah “Fiqh Munakahat”.
Penulis menyadari makalah ini masih perlu banyak penyempurnaan karena kesalahan
dan kekurangan. Penulis terbuka terhadap kritik dan saran pembaca agar makalah ini dapat
lebih baik. Apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini, baik terkait penulisan
maupun isinya, penulis memohon maaf.
Demikian yang dapat penulis sampaikan. Akhir kata, semoga makalah ini dapat
bermanfaat.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Penulis
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………………………..1
DAFTAR ISI.............................................................................................................................2
BAB I.........................................................................................................................................3
PENDAHULUAN.....................................................................................................................3
A. Latar Belakang..............................................................................................................3
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................3
C. Tujuan............................................................................................................................3
BAB II.......................................................................................................................................4
PEMBAHASAN
……………………………………………………………………………...4
A. ZHIHAR…………………………………………………………………………………4
1. Pengertian…………………………………………………………………...................4
2. Dasar Hukum…………………………………………………………………………..5
3. Kafarat…………………………………………………………………………………6
4 Zhihar Menurut Pendapat Ulama’ Empat Mazhab……………………………………7
5 Akibat Hukum………………………………………………………………………....9
6 Hikmah ………………………………………………………………………………10
B. ILA'……………………………………………………………………………………..10
1 Pengertian……………………………………………………………………………10
2 Dasar Hukum………………………………………………………………………...11
3 Rukun………………………………………………………………………………...11
4 Syarat…………………………………………………………………………….......11
5 Lafal………………………………………………………………………………….13
6 Akibat Hukum………………………………………………………………………..13
7 Hikmah………………………………………………………………………………14
BAB III……………………………………………………………………………………...15
PENUTUP…………………………………………………………………………………..15
A. KESIMPULAN………………………………………………………………….….15
B. SARAN………………………………………………………………………………15
2
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………….16
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan adalah fitrah. Keterikatan antara seorang lelaki dan seorang
perempuan merupakan kebutuhan setiap orang yang bersifat naluriah. Lebih dari
itu, ia bahkan menjadi kebutuhan bagi kesempurnaan hidup manusia. Dalam
ajaran Islam, perkawinan merupakan anjuran bagi mereka yang telah dewasa lagi
mampu. Allah memerintahkan kepada orang tua untuk mendukung perkawinan
anak-anak mereka, dan jangan terlalu mempertimbangkan kemampuan materi
calon pasangan.
Islam adalah agama yang sangat realistis. Ketika berbicara tentang perceraian
(talak), Islam menetapkan aturan-aturan yang sangat manusiawi. Islam menyadari
bahwa dalam kehidupan bersama antara dua individu yang berbeda selalu ada
kemungkinan timbulnya konflik dan pertikaian yang sulit didamaikan. Di antara
perkara yang terjadi pada sebagian rumah tangga kaum muslimin adalah seorang
suami melakukan zhihar kepada istrinya, Zhihar dan Ila’.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Zhihar
1. Pengertian Zhihar
Zhihar menurut bahasa Arab Zhahrun yang bermakna punggung. Hal ini
dikarenakan orang-orang Yahudi mengibaratkan isteri yang digauli sebagai
kendaraan yang ditunggangi, sehingga mereka melarang menggauli isteri dari
belakang karena dapat mengakibatkan lahirnya anak yang cacat. Zhihar dalam
syariat Islam digunakan untuk seluruh anggota tubuh sebagai qiyas (analogi) dari
kata zhihar itu sendiri.1
Zhihar secara istilah adalah ucapan seorang Mukallaf (orang dewasa dan
berakal) kepada isterinya bahwa dia sama dengan ibunya. Abu Hanifah
berpendapat bahwa tidak hanya ibu akan tetapi bisa juga wanita lain yang haram
untuk dinikahi baik karena hubungan darah, perkawinan, penyusuan maupun
sebab lain seperti lafadz "Punggung kamu seperti punggung saudara
perempuanku". Jumhur Ulama' berpendapat bahwa zhihar hanya mempersamakan
isteri dengan ibu saja seperti yang termaktub dalam al-Qur'an dan Sunnah Rasul.
Sehingga mempersamakan isteri dengan wanita muharramat selain ibu belum
dikatakan zhihar. Sedangkan menyamakan isteri dengan ibu atau muharramat
untuk suatu penghormatan atau ungkapan kasih sayang tidak dikatakan zhihar
namun perbuatan tersebut dibenci oleh Rasulullah Saw.2
Zhihar di zaman Jahiliyah berarti talak, namun ketika Islam datang, hukum
zhihar yang berarti talak tersebut dihapus, dan menggantikan zhihar ini sebagai
penyebab haramnya seorang isteri bagi suaminya, namun tidak menetapkan
sebagai talak sebagaimana yang berlaku di zaman Jahiliyah sehingga suaminya
hanya diwajibkan untuk membayar kafarah terlebih dahulu ketika ingin menggauli
isterinya kembali.3 Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Zhihar itu ialah ucapan
seseorang laki-laki kepada isterinya, seperti ungkapan seorang suami: “anti
1
Abdul Ghofar EM., Fikih Keluarga (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), h. 379
2
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 381.
3
Mu’ammal Hamidy, Tafsir Ahkam al-Shabuni, h. 165
4
‘alayya kazahri ummi.” Melakukan zihar terhadap isteri ialah menyamakan
kedudukan isteri dengan kedudukan mahram seperti ibu, dengan maksud hendak
membuang isteri, dan perkataan yang biasa dipakai ialah menyamakannya dengan
punggung ibunya. Pada zaman jahiliyyah cara tersebut adalah cara untuk
menceraikan isteri.4
ك ِفى َز ْو ِجهَا َوتَ ْشتَ ِك ٓى ِإلَى ٱهَّلل ِ َوٱهَّلل ُ يَ ْس َم ُع َ ُقَ ْد َس ِم َع ٱهَّلل ُ قَ ْو َل ٱلَّتِى تُ ٰ َج ِدل
ُون ِمن ُكم ِّمن نِّ َسٓاِئ ِهم َّما هُ َّن َ ين يُ ٰظَ ِهر َ صيرٌٱلَّ ِذ ِ َتَ َحا ُو َر ُك َمٓا ۚ ِإ َّن ٱهَّلل َ َس ِمي ۢ ٌٓع ب
ٰ
ۚ ون ُمن َكرًا ِّم َن ْٱلقَ ْو ِل َو ُزورًا َ ُُأ َّم ٰهَتِ ِه ْم ۖ ِإ ْن ُأ َّم ٰهَتُهُ ْم ِإاَّل ٱلَّـِٔى َولَ ْدنَهُ ْم ۚ َوِإنَّهُ ْم لَيَقُول
۟ ُون لِما قَال
وا َ َ ُون ِمن نِّ َسٓاِئ ِه ْم ثُ َّم يَعُو ُد َ ين يُ ٰظَ ِهر َ َوِإ َّن ٱهَّلل َ لَ َعفُ ٌّو َغفُور ٌَوٱلَّ ِذ
َ ُون بِِۦه ۚ َوٱهَّلل ُ بِ َما تَ ْع َمل
ون فَتَحْ ِري ُر َرقَبَ ٍة ِّمن قَب ِْل َأن يَتَ َمٓاسَّا ۚ ٰ َذلِ ُك ْم تُو َعظُ َـ
صيَا ُم َشه َْري ِْن ُمتَتَابِ َعي ِْن ِمن قَب ِْل َأن يَتَ َمٓاسَّا ۖ فَ َمن لَّ ْم ِ ََخبِي ٌرفَ َمن لَّ ْم يَ ِج ْد ف
ۗ ِ ك ُح ُدو ُد ٱهَّلل َ وا بِٱهَّلل ِ َو َرسُولِ ِهۦ ۚ َوتِ ْل ين ِم ْس ِكينًا ۚ ٰ َذلِ َـ
۟ ُك لِتُْؤ ِمن َ ِّط َعا ُم ِستْ يَ ْستَ ِط ْع فَِإ
ين َع َذابٌ َألِي ٌم َ َولِ ْل ٰ َكفِ ِر
4
Rusdaya Basri, Fikih Munakahat 2, (Parepare: IAIN Parepare Nusantara Press, 2020), h. 48
5
puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-
Nya. dan Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat
pedih.”
3. Kafarat Zhihar
Berdasarkan sabda Nabi Saw. di atas dapat dilihat kafarat yang ditetapkan oleh
Allah sebagai sanksi yang harus dilaksanakan apabila pasangan suami isteri yang
hendak kembali lagi. Jadi dapat disimpulkan bahwa denda kafarat zhihar adalah:
a. Memerdekakan Budak.
b. Kalau tidak dapat memerdekakan hamba sahaya, puasa dua bulan berturut-
turut.
c. Kalau tidak kuat puasa, memberi makan 60 orang miskin, tiap-tiap orang
1/4 sa’fitrah (3/4 liter).
Tingkatan ini perlu berurut sebagaimana tersebut di atas, berarti yang wajib
dijalankan adalah yang pertama lebih dahulu, kalau yang pertama tidak dapat
dijalankan, baru boleh dengan jalan yang kedua, begitu pula kalau tidak dapat yang
kedua, baru boleh yang ketiga. Kafarat menurut zahirnya ialah memerdekakan budak
dan tidak ditentukan budak yang bagaimana, demikian pendapat Abu Hanifah.
Syafi’i berkata, hendaklah seseorang budak yang mukmin seperti kafarat
pembunuhan. Demikian juga pendapat Malik dan kedua imam itu memberi syarat
lagi, yaitu budak tersebut tidak cacat.5
Menurut keterangan Jumhur, maknanya tidak halal seorang laki-laki yang
menzhihar isterinya mencampurinya sebelum membayar kafarat lebih dahulu. Malik
berkata, “Bukan saja tidak boleh dicampurinya tetapi juga tidak boleh dipegang
atau dilihat aurat isterinya itu dengan syahwat.” Begitu juga salah satu qaul Syafi’i.
“Siapa yang tidak memperolehnya (budak), ia harus berpuasa dua bulan berturut-
turut sebelum mereka bercampur. Maka barangsiapa yang tidak kuasa, ia harus
memberi makan enam puluh orang miskin.” Ini berarti, jika ia tidak mampu
memperoleh hamba yang akan dimerdekakan sebagai kafarat, maka hendaklah dia
mengerjakan puasa dua bulan berturut-turut, tidak boleh putus kecuali karena uzur
seperti sakit atau dalam perjalanan.
Apabila seorang bercampur dengan isterinya itu pada malam hari dengan
sengaja atau karena lupa, maka menurut Abu Hanifah dan Malik hendaklah
5
Syekh. H. Abdul Halim Hasan, Tafsir Al-Ahkam (Jakarta: Kencana, 2006), h. 579
6
diulanginya kembali puasanya itu karena telah terputus. Menurut Syafi’i, apabila ia
mencampuri isterinya pada malam hari, ia tidak mengulang kembali puasanya itu dari
pertama dan itu tidak membatalkan puasanya yang berturut-turut, karena malam itu
bukanlah tempat untuk berpuasa. Kalau tidak mampu berpuasa hendaklah memberi
makan enam puluh orang miskin, masing-masing dua mud. Demikian pendapat Abu
Hanafi dan sahabatnya. Sedangkan Syafi’i berkata, bagi tiap orang miskin satu mud.6
6
Ibid, h. 581
7
Rusdaya Basri, Fikih Munakahat 2, (Parepare: IAIN Parepare Nusantara Press, 2020), h. 53
7
Mazhab Syafi’iyah memiliki pandangan yang hampir sama mengenai zhihar
dengan mazhab Hanafi. Yakni, menyamakan isteri dengan wanita yang haram
dinikahi untuk selamanya, baik dari jalur nasab, seperti ibu dan saudara perempuan,
maupun dari jalur susuan, seperti ibu dan saudara perempuan sepersusuan. Asy-
Syafi’iyah menjelaskan sebagai berikut: “Kalau seorang laki-laki berkata kepada
isterinya: ‘Engkau atasku adalah seperti punggung saudara perempuanku’, atau
seperti punggung wanita yang diharamkan menikah dengannya dengan sebab nasab
atau rada’ (susuan), yang demikian itu (menyamakan isterinya dengan wanita yang
diharamkan dinikahi) adalah bertempat pada tempat ibu kandung (sama hukumnya).
Adapun rahim (yang haram karena nasab) maka yang diharamkan atasnya dari
ibunya haram pula atasnya dari wanita itu’.8
Selain itu, menurut Imam Syafi’i kalau seorang laki-laki berkata kepada
isterinya, “Kemaluanmu atau kepalamu atau badanmu atau punggungmu atau
kulitmu atau tanganmu atau kakimu atasku seperti punggung ibuku, atau seperti
badan ibuku, atau seperti tangannya atau seperti kakinya”, adalah ini disebut zhihar.
Karena berenak-enakan dengan setiap anggota tubuh ibunya adalah diharamkan
atasnya seperti berenakenakan dengan punggungnya.
3. Zhihar menurut ulama Mazhab Hambali sama seperti konsep zhihar
menurut mazhab Hanafi dan madzhab Syafi’i, konsep zihar menurut mazhab
Hambali juga menyamakan isteri dengan wanita yang haram dinikahi untuk
selamanya, baik dari jalur nasab, seperti ibu dan saudara perempuan, maupun dari
jalur susuan, seperti ibu dan saudara perempuan sepersusuan. Selanjutnya, dalam
salah satu pendapat ulama dari kalangan mazhab Hambali, beliau menuliskan dalam
kitabnya mengenai zhihar yang dalam pembahasannya nanti menyebutkan bahwa
akan jatuh hukum makruh atau dibenci panggilan suami kepada isterinya dengan
sebutan “ummi, ukhti dan binti”. Pemakruhan ini disebabkan karena panggilan-
panggilan tersebut menyerupai panggilan kepada seseorang yang diharamkan untuk
dinikahi oleh suami tersebut.
Berdasarkan beberapa pendapat ulama mazhab di atas, dapat diambil garis
besarnya bahwa menurut jumhur ulama, zhihar memiliki banyak lafaz yang berbeda,
termasuk diantaranya adalah jika seorang suami berkata kepada isterinya, “Engkau
bagiku seperti punggung ibuku atau saudara perempuanku atau seperti punggung
anakku atau seperti punggung saudara sesusuanku.” Penyerupaan isteri dengan
8
Ibid.
8
mahram selain ibu itu menjadi zihar sekalipun penyerupaannya dengan mahram
sepersusuan. Dalil mereka adalah qiyas, sesungguhnya ilatnya adalah pengharaman
yang abadi, dan pengharaman yang abadi itu hanya ada pada mahram seperti ibu itu.9
Selain itu, menurut pendapat mayoritas Ulama, apabila seorang suami
menyamakan isteri dengan anggota bagian tubuh wanita (selain punggung) yang
haram dinikahi untuk selamanya, seperti jika seorang suami berkata kepada isterinya,
“Engkau bagiku seperti perut atau tangan ibuku.”10 Maka hal itu juga menjadikan
jatuhnya zhihar kepada isteri. Akan tetapi yang jelas bahwa nash Al-Quran itu hanya
menyebutkan ibu dan punggung. Apa saja yang disebutkan berupa penyamaan ibu
dengan selainnya itu dan atau dengan anggota tubuh selain punggung itu hanya
berdasarkan qiyas dan dengan memperhatikan maknanya saja.
9
As-Shan’ani, Subul al-Salam III (Surabaya: Al-Ikhlas, 1995), h. 671
10
Muhammad Ustman Al- Khasyt, Kitab Fikih Empat Wanita 4 Mazhab untuk Seluruh Muslimah, (Cet. I;
Jakarta: Kunci Iman, 2014), h. 404-405
11
Anggota IKAPI, Keluarga Muslim, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1984), h. 303
9
6. HIKMAH ZHIHAR12
a. Hendaknya kita tidak bermain kata atau kalimat, terutama yang berlawanan
dengan kenyataan. Bagaimana pun seorang ibu itu tidaklah sama dengan
seorang isteri. Seorang ibu adalah orang yang mengandung, melahirkan,
merawat dan mendidik kita dengan sebaik-baiknya. Adapun seorang isteri
merupakan partner atau mitra terdekat kita dalam mengarungi kehidupan.
Masing-masing memiliki keistimewaan dan fungsi masing-masing.
Keduanya selamanya tidak pernah sama, dan tidak boleh disamakan.
b. Penghormatan kepada seorang ibu dan seorang isteritidaklah sama. Kita
menghormati keduanya sesuai dengan kedudukan masing-masing.
c. Kita sebut ibu, apabila ia adalah orang yang melahirkan kita. Hal ini
mengingatkan kita akan pengorbanan dan perjuangan seorang ibu dalam
mengandung dan melahirkan kita.
B. ILA’
1. Pengertian Ila’
Ila’ berasal dari bahasa Arab yaitu ālā – yuwāli - ilā’ yang berarti sumpah.13
Ila’ secara bahasa adalah sumpah. Secara terminologis, ila’ adalah sumpah seorang
suami yang memiliki hak talak untuk tidak menggauli istrinya, baik dalam tempo tak
terbatas maupun dalam tempo empat bulan. Ilā’ juga merupakan kebiasaan orang
jahiliyah. Dalam rangka menghukum isteri, mereka bersumpah untuk tidak
menyetubuhi isterinya dalam jangka waktu tertentu, biasanya setahun atau lebih.
Dengan demikian status wanita menjadi menggantung, bukan isteri, tapi juga tidak
ditalak.14
Para Ulama mazhab berbeda pendapat dalam mengemukakan defenisi Ila’.
Mazhab Hanafiah mendefinisikan bahwa ila’ adalah sumpah suami dengan menyebut
nama Allah SWT atau salah satu sifat-Nya, atau dengan nazar, atau ta’lik talak untuk
tidak menggauli isterinya selama waktu tertentu. Ila’ dalam pandangan mazhab
Malikiyah adalah sumpah suami yang muslim dan mukallaf suami mempunyai
kemampuan untuk menggauli isterinya dengan menggunakan nama Allah dan salah
satu sifat-Nya untuk tidak menggauli isterinya lebih dari empat bulan. Adapun dalam
12
https://www.ahdabina.com/zhihar-pengertian-hukum-kafarah-dan-hikmahnya/
13
Lois Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughghah (Beirut: Dar al-Mashruq, 1977), h. 17
14
Syaikh Hasan Ayyub, Fiqih Keluarga, (Jakarta Timur: Pustaka Alkautsar, 2005), h. 289
10
pandangan as-Syafi’iyah adalah sumpah suami yang sah talaknya untuk tidak
menggauli isterinya secara mutlak (tanpa batas waktu) atau dalam masa lebih empat
bulan. Sedangkan dalam pandangan Mazhab Hanbali adalah Ila’ adalah sumpah suami
yang sanggup untuk menggauli isterinya dengan nama Allah SWT atau salah satu
sifat-Nya untuk tidak menggauli isterinya walaupun sumpah itu sebelum menggauli
isterinya, baik sumpah secara mutlak atau lebih dari empat bulan.15
Artinya:
“Kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat
bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), Maka
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika
mereka ber'azam (bertetap hati untuk) talak, Maka Sesungguhnya Allah Maha
mendengar lagi Maha Mengetahui”.
15
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (Damaskus: Dar alFiqr al-Mu’asir, 1989), h. 503-504
16
Ibid. h. 467- 471
11
b. Al-Mahluuf Bihi (yang dijadikan sebagai sumpah) Yang dijadikan sebagai
sumpah adalah dengan menyebut nama Allah atau juga dengan menyebut
sifat-sifatnya menurut kesepakatan para fuqaha. Menurut madzhab Hambali
dan Maliki orang yang tidak melakukan persetubuhan dengan tanpa sumpah
dilazimkan hukum ila’ jika dia bertujuan untuk menciptakan kemudharatan.
Oleh sebab itu ditetapkan masa selama empat bulan.
c. Al-Mahluuf’alaih (objek sumpah) Objek sumpah adalah persetubuhan,
dengan semua lafal yang mengandung pengertian persetubuhan. Misalnya: aku
tidak setubuhi kamu dan aku tidak junub darimu, aku tidak dekati kamu.
d. Masa. Menurut pendapat Jumhur Fuqaha selain Madzhab Hanafi yaitu si
suami bersumpah untuk tidak menyetubuhi isterinya selama lebih dari empat
bulan. Sedangkan menurut madzhab Hanafi masa yang paling minimal adalah
lebih dari empat bulan, oleh karena itu, jika si suami bersumpah selama tiga
bulan atau empat bulan maka menurut jumhur fuqaha dia tidak melakukan ila’.
4. Lafal Ila’
Ila’ dapat dilakukan dengan lafal yang bersifat terang-terangan atau dengan
lafadz sindiran yang menunjukkan ketidakmauan suami untuk melakukan
persetubuhan. Termasuk di antara lafal ila’ yang yang bersifat terang-terangan
menurut madzhab Hanafi dan menurut madzhab Maliki adalah ucapan suami
17
Hikmatullah, FIQH MUNAKAHAT Pernikahan dalam Islam, (Jakarta Timur: Edu Pustaka, 2021), h. 103-104
12
kepada isterinya seperti “Demi Allah aku tidak akan mendekatimu atau tidak
akan menyutubuhimu, tidak menggaulimu, mandi junub darimu”, atau ucapan
suami ” Demi Allah aku tidak akan mendekatimu selama empat bulan” atau
ucapan suami menurut para fuqaha yang selain madzhab hambali, “Jika aku
mendekatimu maka aku akan melakukan ibadah haji” atau perkara lain yang sulit
untuk dilakukan. 18
18
Ibid.
19
https://www.studocu.com/id/document/universitas-islam-negeri-sunan-ampel-surabaya/hukum-
perkawinan-islam/akibat-hukum-pada-khuluk-fasakh-ila-dhihar-dan-lian/46637718
13
istrinya berlakulah talak raj‟i sesuai dengan jumlah yang ditetapkan,
satu atau dua.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa pertama, Zhihar adalah
ucapan seorang Mukallaf (orang dewasa dan berakal) kepada isterinya bahwa
20
Rusdaya Basri, Fikih Munakahat 2, (Parepare: IAIN Parepare Nusantara Press, 2020), h. 65
14
dia sama dengan ibunya. Zhihar juga berlaku kafarat, memiliki akibat hukum
dan hikmahnya yang dapat kita jadikan pelajaran.
Kedua, begitu pula dengan Ila’ yang memiliki arti sumpah seorang suami yang
memiliki hak talak untuk tidak menggauli istrinya, baik dalam tempo tak
terbatas maupun dalam tempo empat bulan.
B. Saran
Setelah penyampain materi ini, di sarankan kepada pembaca agar
mengambil pelajaran yang bermanfaat dari materi di atas dan dapat
menerapkannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari dosen, rekan-rekan
mahasiswa dan para pembaca. Dan semoga apa yang telah kami uraikan diatas
dapat bermanfaat bagi kita semua, terutama dalam memahami materi yang
telah dijelaskan diatas.
DAFTAR PUSTAKA
15
Anggota IKAPI, 1984. Keluarga Muslim, Surabaya: PT. Bina Ilmu
As-Shan’ani, 1995. Subul al-Salam III, Surabaya: Al-Ikhlas
Ayyub, Syaikh Hasan Ayyub, Fiqih Keluarga, (Jakarta Timur: Pustaka
Alkautsar, 2005)
Basri, Rusdaya, Fikih Munakahat 2, (Parepare: IAIN Parepare Nusantara
Press, 2020)
Ghofar, Abdul EM. 2001, Fikih Keluarga, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
Hamidy, Mu’amal, Tafsir Ahkam al-Shabuni
Hasan, Syekh. H. Abdul Halim. 2006. Tafsir Al-Ahkam , Jakarta: Kencana
Hikmatullah, FIQH MUNAKAHAT Pernikahan dalam Islam, (Jakarta
Timur: Edu Pustaka, 2021),
Khasyt, Muhammad Ustman, 2014. Kitab Fikih Empat Wanita 4 Mazhab untuk
Seluruh Muslimah, Cet. I; Jakarta: Kunci Iman.
Ma’luf, Lois. 1997. al-Munjid fi al-Lughghah, Beirut: Dar al-Mashruq
Shihab, M. Quraish. 2000. Tafsir al-Mishbaah, Cet. I; Jakarta: Lentera Hati
Zuhaili, Wahbah. 1989. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Jil. VII, Cet. III;
Beirut: Dar al-Fikr
Website:
https://www.ahdabina.com/zhihar-pengertian-hukum-kafarah-dan-hikmahnya/
https://www.studocu.com/id/document/universitas-islam-negeri-sunan-ampel-
surabaya/hukum-perkawinan-islam/akibat-hukum-pada-khuluk-fasakh-ila-
dhihar-dan-lian/46637718
16