Anda di halaman 1dari 15

KATA PENGANTAR

Bismillahir-Rahmanir-Rahim

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
dengan ini kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini dengan baik.
Makalah ini telah disusun oleh beberapa pihak, untuk itu kami berterima kasih
atas ide, gagasan dan argumennya untuk kami, sehingga dapat memperlancar
pembuatan makalah ini.
Walaupun kami sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mengerjakan dengan
baik makalah ini, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada banyak kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun dari tata bahasanya. Oleh karena itu kami
sangat terbuka untuk menerima kritik dan saran dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ini.
Akhir kata, kami berharap semoga makalah tentang perkembangan dan tugas
perkembangan peserta didik usia sekolah dasar (kanak-kanak akhir) dapat
memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.

Kediri, 13 Maret 2023

Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................... i

DAFTAR ISI..............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah.........................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A. Khitbah........................................................................................ 3
1. Pengertian Khitbah
2. Hukum Khitbah
B. Kafa’ah
1. Pengertian kafa’ah
2. Hukum Kafa’ah
3. Kriteria Kafaah
C. Kriteria Wanita Yang Dinikahi
D. Mahar
1. Pengertian Mahar dan hukum Mahar
2. Syarat – Syarat Mahar
3. Macam-macam Mahar

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Banyak hal yang dapat menjadi dasar terjadinya pernikahan.


Cinta, kasih sayang, keinginan, keperluan, kemampuan, adalah beberapa hal yang
kerap menjadi alasan utama dua insan melangsungkan pernikahan. Pernikahan
atau munakahat merupakan suatu hal yang sangat sakral dalam kehidupan dua orang
insan. Janji sehidup semati yang diikrarkan dalam pernikahan bukanlah hal yang
mudah untuk diwujudkan. Lika-liku perjalanan hidup mengarungi bahtera pernikahan
akan dijalani.                                            

Namun, terlepas dari berbagai alasan tersebut, Islam menganjurkan beberapa


syarat yang hendaknya dapat dipenuhi sebelum seseorang menjalani sebuah
pernikahan. Bukan syarat adanya wali dan perangkat pernikahan lainnya, akan tetapi
terlebih dahulu berkhitbah atau meminang agar mersa lebih yakin untuk
melangsungkan akad pernikahan tersebut. dan mencari kafa’ah  atau kecocokan
antara kedua insan yang berkasih dan juga berkeluarga.

Mahar termasuk keutamaan agama Islam dalam melindungi dan memuliakan


kaum wanita dengan memberikan hak yang dimintanya dalam pernikahan berupa
mahar kawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua belah pihak
karena pemberian itu harus diberikan secara ikhlas. Para ulama fiqh sepakat bahwa
mahar wajib diberikan oleh suami kepada istrinya baik secara kontan maupun secara
tempo, pembayaran mahar harus sesuai dengan perjanjian yang terdapat dalam aqad
pernikahan.

Mahar merupakan pemberian yang dilakukan oleh pihak mempelai laki-laki


kepada mempelai wanita yang hukumnya wajib. Dengan demikian, istilah shadaqah,
nihlah, dan mahar merupakan istilah yang terdapat dalam al-Qur’an, tetapi istilah
mahar lebih di kenal di masyarakat, terutama di Indonesia.

3
B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian khitbah dan kafa’ah.?
2. Apa landasan hukum khitbah dan kafa’ah.?
3. Bagaimana kriteria wanita yang dinikahi.?
4. Bagaimana kriteria kafa’ah.?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Khitbah
1. Pengertian Khitbah
Meminang(khitbah) merupakan muqqodimah dari sebuah pernikahan.
Sebuah tindakan yang telah disyariatkan Allah SWT. Sebelum dilakukan akad
nikah, agar masing-masing pihak bisa mengenal satu sama lain, mersa lebih yakin
untuk melangsungkan akad pernikahan tersebut.
Khitbah ialah:

‫ثم شرع المصنف ف بيان الحطبة بكسر الخاء وهي التماس‬


‫الخاطب من المخطوبة\ النكاح‬
“Khitbah adalah peminangan seorang laki-laki kepada seorang wanita.”1

1
M. Yazid Musyaffa’, taysyru fathul qorib (Kediri: ANFA’prees, 2015), hal, 45.

4
Baik disampaikan dengan secara langsung kepada yang bersangkutan ataupun
kepada keluarganya.
Islam juga telah menganjurkan dan bahkan memerintahkan kaum musimin
untuk melangsungkan pernikahan. Berkaitan dengan anjuran untuk menikah,
Allah SWT. Berfirman : (QS.An-Nisa 4:3)

‫اب َل ُك ْم م َِّن ال ِّن َس ۤا ِء َم ْث ٰنى‬


َ ‫ط ْوا فِى ْال َي ٰت ٰمى َفا ْن ِكح ُْوا َما َط‬ ُ ِ‫َو ِانْ ِخ ْف ُت ْم اَاَّل ُت ْقس‬

َ ِ‫ت اَ ْي َم ا ُن ُك ْم ۗ ٰذل‬
‫ك‬ ْ ‫ث َور ُٰب َع ۚ َف ِانْ ِخ ْف ُت ْم اَاَّل َتعْ ِدلُ ْوا َف َوا ِح دَ ًة اَ ْو َم ا َم َل َك‬ َ ‫َو ُث ٰل‬
‫اَ ْد ٰ ٓنى اَاَّل َتع ُْولُ ْو ۗا‬
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-
wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu
takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-
budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya.”

2. Hukum khitbah
Sungguh islam menjadikan khitbah sebagai perantara untuk mengetahui
sifat-sifat perempuan yang dicintai, yang laki-laki menjadi tenang hidupnya,
dengan orang yang diinginkannya sebagai suami baginya sehingga menuju
pelaksanaan pernikahan.
Hukum meminang(khitbah) adalah boleh (muabah), sebagaimana dijelaskan
dalam QS. Al-baqarah, ayat 235 :

‫اح َع َل ْي ُك ْم ِف ْي َما َعرَّ ضْ ُت ْم ِبهٖ ِمنْ خ ِْط َب ِة ال ِّن َس ۤا ِء اَ ْو اَ ْك َن ْن ُت ْم ف ِْٓي‬ َ ‫َواَل ُج َن‬
ْ‫اَ ْنفُسِ ُك ْم ۗ َعلِ َم هّٰللا ُ اَ َّن ُك ْم َس َت ْذ ُكر ُْو َنهُنَّ َو ٰل ِكنْ اَّل ُت َواعِ ُد ْوهُنَّ سِ ًّرا ِآاَّل اَن‬
ُ‫اح َح ٰ ّتى َي ْبلُ َغ ْالك ِٰتب‬ ‫اًل‬ ُ
ِ ‫َتقُ ْول ْوا َق ْو مَّعْ ر ُْو ًفاهّٰللا ەۗ َواَل َتعْ ِزم ُْوا ُع ْقدَ َة ال ِّن َك‬
َّ‫اَ َج َل ٗه ۗ َواعْ َلم ُْٓوا اَنَّ َ َيعْ َل ُم َما ف ِْٓي اَ ْنفُسِ ُك ْم َفاحْ َذر ُْوهُ ۚ َواعْ َلم ُْٓوا اَن‬
‫هّٰللا َ َغفُ ْو ٌر َحلِ ْي ٌم‬
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran
atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah
mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu
janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali

5
sekedar mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang ma'ruf. dan janganlah
kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya.
dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka
takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyantun.”
3. Macam-macam khitbah
a. Secara langsung, yaitu menggunakan ucapan yang jelas dan terus terang
sehingga tidak mungkin dipahami dari ucapan itu, kecuali untuk peminangan,
seperti ucapan, “ saya berkeinginan untuk menikahimu”.
b. Secara tidak langsung( ta’rif), yaitu dengan ucapan yang tidak jelas dan tidak
terus terang atau dengan istilah kinayah.  Dengan pengertian lain ucapan itu
dapat dipahami dengan maksud lain, seperti ucapan.” Tidak ada orang yang
tidak sepertimu”, adapun sindiran selain ini yang  dapat dipahami oleh wanita
bahwa laki-laki tersebut berkeinginan menikah dengannya, maka semua
diperbolehkan.  Diperbolehkan juga bagi wanita untuk menjawab sindiran itu
dengan kata-kata yang berisi sindiran juga.  Perempuan yang belum kawin
atau yang sudah kawin dan telah habis pula masa iddahnya boleh dipinang
dengan ucapan sindiran atau secara tidak langsung.2

B. Kafa’ah
1. Pengertian kafa’ah
Kafa’ah berasal dari bahasa Arab dari kata (‫كفىء‬  ) , berarti sama atau setara.
Kata ini merupakan kata yang terpakai dalam bahasa Arab dan terdapat dalam
Al-Qur’an dengan arti “sama” atau setara. Contoh dalam Al-Qur’an adalah dalam
surat Al-Ikhlas ayat 4 :

‫َو َل ْم َي ُكن لَّهُۥ ُكفُ ًوا َأ َح ۢ ٌد‬


“ dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."

 Dalam istilah fikih, “sejodoh” disebut “kafa’ah” , artinya ialah sama,


serupa, seimbang, atau serasi. Menurut H. Abd. Rahman Ghazali, kafa’ah atau
kufu’, menurut bahasa, artinya “setaraf, seimbang, atau keserasian/kesesuaian,
serupa, sederajat atau sebanding” .

2
D. A Pakih Sati, Panduan Lengkap  Pernikahan (Bening, 2011), hal, 57.

6
Yang dimaksud dengan kafa’ah atau kufu’ dalam perkawinan, menurut
istilah hukum Islam, yaitu keseimbangan dan keserasian antara calon istri dan
suami sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan
perkawinan. Atau laki-laki sebanding dengan calon istrinya, sama dalam
kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan derajat dalam akhlak serta
kekayaan.

Jadi, tekanan dalam hal kafa’ah adalah keseimbangan, keharmonisan, dan


keserasian, terutama dalam hal agama, yaitu akhlak dan ibadah. Sebab, kalau
kafa’ah diartikan persamaan dalam hal harta atau kebangsawanan, maka akan
berarti terbentuknya kasta, sedangkan manusia di sisi Allah SWT adalah sama.
Hanya ketaqwaannyalah yang membedakannya.3

Hal ini sesuai dengan Firman Allah SWT: 

‫ٰيََٓأيُّهَا ٱلنَّاسُ ِإنَّا َخلَ ْق ٰنَ ُكم ِّمن َذ َك ٍر َوُأنثَ ٰى َو َج َع ْل ٰنَ ُك ْم ُشعُوبًا َوقَبَٓاِئ َل‬
‫ارفُ ٓو ۟ا ۚ ِإ َّن َأ ْك َر َم ُك ْم ِعن َد ٱهَّلل ِ َأ ْتقَ ٰى ُك ْم ۚ ِإ َّن ٱهَّلل َ َعلِي ٌم َخبِي ٌر‬
َ ‫لِتَ َع‬
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-
suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
2. Hukum kafa’ah
Kafa’ah diatur dalam pasal 61 KHI dalam membicarakan pencegahan
perkawinan, dan yang diakui sebagai kriteria kafaah itu adalah apa yang telah
menjadi kesepakatan ulama yaitu kualitas ke-beragamaan. Pasal 61 berbunyi:
“Tidak se-kufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali
tidak se-kufu karena perbedaan agama atau ikhtilafu al-dien.4

Ibnu Hazim berpendapat tidak ada ukuran-ukuran kufu’. Dia berkata:


Semua orang Islam asal saja tidak berzina, berhak kawin dengan semua wanita
Muslimah, asal tidak tergolong perempuan lacur. Dan semua orang Islam adalah
bersaudara. Kendatipun ia anak seorang hitam yang tak dikenal umpamanya,
3
Tihami,  Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), hal, 56.
4
Amir Syarifuddin,  Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal, 145.

7
namun tak dapat diharamkan kawin dengan anak Khalifah Bani Hasyim. Walau
seorang Muslim yang sangat Fasiq, asalkan tidak berzina ia adalah kufu’ untuk
wanita Islam yang fasiq, asal bukan  perempuan berzina. Alasannya adalah
firman-firman allah:

‫ِا َّن َما ْالمُْؤ ِم ُن ْو َن ا ِْخ َوةٌ َفاَصْ لِح ُْوا َبي َْن اَ َخ َو ْي ُك ْم َوا َّتقُوا هّٰللا َ َل َعلَّ ُك ْم‬
‫ࣖ ُترْ َحم ُْو َن‬
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah
(perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap
Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujarat ayat 10)

‫اب َل ُك ْم م َِّن ال ِّن َس ۤا ِء‬


َ ‫ط ْوا فِى ْال َي ٰت ٰمى َفا ْن ِكح ُْوا َما َط‬ ُ ِ‫َو ِانْ ِخ ْف ُت ْم اَاَّل ُت ْقس‬
ْ ‫ث َور ُٰب َع ۚ َف ِانْ ِخ ْف ُت ْم اَاَّل َتعْ ِدلُ ْوا َف َواحِدَ ًة اَ ْو َما َم َل َك‬
‫ت‬ َ ‫َم ْث ٰنى َو ُث ٰل‬
‫اَ ْي َما ُن ُك ْم ۗ ٰذل َِك اَ ْد ٰ ٓنى اَاَّل َتع ُْولُ ْو ۗا‬
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-
wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-
budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya.” (QS. An-Nisa’: 3 )
Tujuan disyari'atkannya kafa'ah adalah untuk menghindari celaan yang
terjadi apabila pernikahan dilangsungkan antara sepasang pengantin yang tidak
sekufu (sederajat) dan juga demi kelanggengan kehidupan pernikahan, sebab
apabila kehidupan sepasang suami istri sebelumnya tidak jauh berbeda tentunya
tidak terlalu sulit untuk saling menyesuaikan diri dan lebih menjamin
keberlangsungan kehidupan rumah tangga. Dengan demikian kafa’ah hukumnya
adalah dianjurkan, seperti dalam hadits Abu Hurairah yang dijadikan dasar
tentang Kafa’ah, yaitu:

‫وعن أبى هريرة رضى هللا عنه عن النبى صلى اللة\ علي\\ه وس\\لم‬
ٍ \َ‫ تُ ْن َك ُح ال َم\\رْ َأةُ َألرْ ب‬:‫ق\\ال‬
,‫ ول\\دينها‬,‫ ولجماله\\ا‬,‫ ولحس\\بها‬,‫لماله\\ا‬ :‫\ع‬
.‫ متفق عليه مع بقية السبعة‬.‫فاظفر بذات الدين\ تربت يداك‬
“Wanita itu dikawini karena empat hal: karena hartanya, keturunannya,
kecantikannya dan agamanya, maka pilihlah yang beragama, semoga akan
selamatlah hidupmu”.

8
Secara mafhum hadits ini berlaku pula untuk wanita yang memilih calon
suami. Dan khusus tentang calon suami ditegaskan lagi oleh hadits At-Turmudzy
riwayat Abu Hatim Al Mudzanny:5

‫ رواه الترمذي‬.‫اذااتاكم من ترضون دينه وخلقه فانكحوا‬


“Bila datang kepadamu (hai wali), seorang laki-laki yang sesuai agama dan
akhlaknya, maka kawinkanlah anakmu kepadanya.”

3. Kriteria kafa’ah
Kafa’ah menurut bahasa adalah kesamaan dan kemiripan. Adapun
maksud yang sebenarnya adalah kesamaan antara dua belah pihak suami-istri
dalam 5 hal :
a. Agama
b. Kedudukan. Yaitu nasab atau silsilah keturunan
c. Kemerdekaan. Maka seorang budak laki-laki tidaklah kufu’ bagi wanita
merdeka karena statusnya berkurang sebagai budak.
d. Keterampilan. Orang yang memiliki keterampilan di bidang tenun kufu’
dengan gadis seorang yang memiliki profesi mulia, seperti pedagang.
e. Memiliki harta sesuai dengan kewajiban untuk calon istrinya berupa
maskawin dan nafkah. Maka, laki-laki yang sulit ekonomi tidak kufu’ untuk
seorang gadis yang berada karena pada wanita itu dalam bahaya dengan
kesulitan pada suaminya, karena bisa jadi nafkah yang harus ia terima
mengalami kemacetan.6

Jika salah satu dari pasangan suami-istri berbeda dari pasangannya dalam
salah satu dari lima perkara ini, kafa’ah (keserasian, kecocokan,kesetaraan) telah
hilang. Namun hal ini tidak memberi pengaruh kepada sahnya pernikahan karena
kafa’ah bukan syarat dalam sahnya pernikahan. Seperti perintah Nabi SAW
kepada Fatimah bintu Qais untuk menikah dengan Usamah bin Zaid. Maka,
Usamah menikahinya atas dasar perintah Nabi SAW.

Akan tetapi kafa’ah menjadi syarat lebih utama untuk sebaiknya


dilakukan pernikahan. Jika seorang wanita dinikahkan kepada laki-laki yang

5
Dahlan Idhamy. Azas-azas Fiqh Munakahat, Hukum Keluarga Islam. hal. 19.
6
Shalih,  Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, terj. Asmuni, (Jakarta: Darul Falah, 2005), hal, 834.

9
tidak sekufu’ dengannya, siapa saja yang tidak ridha dengan itu baik pihak istri
atau para walinya, berhak melakukan fasakh (pembataan nikah).7

Jika kita melihat pada Al-Qur’an dan As-Sunnah ditinjau dari segi
insaniyah, manusia itu sama seperti dalam Qur’an Surat Al-Hujurat ayat 13:

‫شع ُْوبًا وَّ َق َب ۤا ِٕى َل‬ ُ ‫ٰ ٓيا َ ُّي َها ال َّناسُ ِا َّنا َخ َل ْق ٰن ُك ْم مِّنْ َذ َك ٍر وَّ ا ُ ْن ٰثى َو َج َع ْل ٰن ُك ْم‬
‫ارفُ ْوا ۚ اِنَّ اَ ْك َر َم ُك ْم عِ ْندَ هّٰللا ِ اَ ْت ٰقى ُك ْم ۗاِنَّ هّٰللا َ َعلِ ْي ٌم َخ ِب ْي ٌر‬
َ ‫لِ َت َع‬
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
            Manusia pada dasarnya sama derajatnya, hanyalah taqwalah yang
membedakan manusia yang satu dengan yang lainnya, bukan seperti
kebangsawanan, kebangsaan dan kecantikan.

C. Kriteria wanita untuk dinikahi


a. Wanita yang kuat agamanya dan yang mempunyai sifat adil.
b. Wanita mulia lantaran diketahui dari keturunan ulama atau orang-orang soleh.
c. Wanita cantik itu lebih utama dinikahi, berdasarkan hadist :

‫لخبر خىر النساء من تسر اذ نظرت‬


“wanita yang paling bagus adalah yang menyenangkan jika di pandang.”
d. Wanita kerabat jauh dari nasab sendiri.
e. Wanita bukan kerabat, adalah lebih utama dari kerabat dekat.
f. Wanita gadis lebih utama dinikahi.
g. Wanita yang banyak keturunannya dan besar kasih sayangnya.
h. Hendaknya wanita itu cerdas dan berbudi baik.8

D. Mahar
1. Pengertian dan Hukum Mahar

7
Shalih,  Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, terj. Asmuni, (Cet. I; Jakarta: Darul Falah, 2005), hal, 835
8
Zainuddin, fat-hul mu’in (Surabaya: Al-Hidayah, 1993), hal, 13-15.

10
Dalam istilah ahli fiqh, disamping perkataan “mahar” juga dipakai
perkataan : “shadaq”, nihlah; dan faridhah” dalam bahasa indonesia dipakai
dengan perkataan maskawin.[1]

Mahar, secara etimologi, artinya maskawin. Secara terminologi, mahar ialah


pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon
suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon
suaminya. Atau suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon
istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar, dan
lain sebagainya).[2]

Imam Syafi’i mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan oleh
seorang laki-laki kepada perempuan untuk dapat menguasai seluruh anggota
badannya[3].

Jika istri telah menerima maharnya, tanpa paksaan, dan tipu muslihat, lalu ia
memberikan sebagian maharnya maka boleh diterima dan tidak disalahkan. Akan
tetapi, bila istri dalam memberi maharnya karena malu, atau takut, maka tidak
halal menerimanya. Allah Swt. Berfirman:

َ ‫فَالَ تَْأ ُخ ُذ ْوا ِم ْنهُ َش ْيُئا اَتَْأ ُخ ُذ ْونَهُ بُ ْهتَنًا َواِ ْث ًما ُمبِ ْينًا َوِإ ْن اَ َر ْدتُ ْم اِ ْستِ ْب َد‬
‫ال‬
‫ج َو َءاتَ ْيتُ ْم اِحْ َدهُ َّن قِ ْنطَارًا‬ َ ‫ج َّم َك‬
ِ ‫ان َز ْو‬ ٍ ‫َز ْو‬
Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah
memberikan seseorang diantara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu
mengambil kembali daripadanya barang sedikit pun. Apakah kamu akan
mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan
(menanggung) dosa yang nyata? (Q.S AL-NISA[4]: 20).

2. Syarat-syarat Mahar

Mahar yang diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut.

11
Harga berharga. Tidak sah mahar dengan yang tidak berharga walaupun tidak ada
ketentuan banyak atau sedikitnya mahar, mahar sedikit, tapi bernilai tetap sah
disebut mahar. Barangnya suci dan bisa diambil manfaat. Tidak sah mahar dengan
memberikan khamar, babi, atau darah, karena semua itu haram dan tidak berharga.

Barangnya bukan barang ghasab. Ghasab artinya mengambil barang milik orang
lain tanpa seizinnya namun tidak termasuk untuk memilikinya karena berniat
untuk mengembalikannya kelak. Memberikan mahar dengan barang hasil ghasab
tidak sah, tetapi akadnya tetap sah. Bukan barang yang tidak jelas
keadaannya.Tidak sah mahar dengan memberikan barang yang tidak jelas
keadaannya, atau tidak disebutkan jenisnya.

3. Macam-macam Mahar

Ulama fiqih sepakat bahwa mahar itu ada dua macam, yaitu:

1. Mahar Musamma

Mahar Musamma, yaitu mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan
besarnya ketika akad nikah.Atau, mahar yang dinyatakan kadarnya pada waktu
akad nikah.Ulama fikih sepakat bahwa,dalam pelaksanaannya, mahar musamma
harus diberikan secara penuh apabila:

a. Telah bercampur (bersenggama).

b. Salah satu dari suami istri meninggal. Dengan demikian menurut ijma’.

Mahar musamma juga wajib dibayar seluruhnya apabila suami telah


bercampurdengan istri, dan ternyata nikahnya rusak dengan sebab tertentu, seperti
ternyata istrinya mahram sendiri, atau dikira perawan ternyata janda, atau hamil
dari bekas suami lama.[7]Akan tetapi, kalau istri dicerai sebelum bercampur,
hanya wajib dibayar setengah.

2. Mahar Mitsli (Sepadan)

Mahar Mitsli yaitu mahar yang tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum
ataupun ketika terjadi pernikahan. Atau mahar yang diukur (sepadan) dengan
mahar yang pernah diterima oleh keluarga terdekat, agakjauh dari tetangga

12
sekitarnya, dengan memerhatikan status sosial, kecantikan, dan sebagainya.
[8]Mahar Mitsli juga terjadi dalam keadaan sebagai berikut:

a. Apabila tidak disebutkan kadar mahar dan besarnya ketika berlangsung akad
nikah, kemudian suami telah bercampur dengan istri, atau meninggal sebelum
bercampur.

b. Jika mahar musamma belum dibayar sedangkan suami telah bercampur


dengan istri dan ternyata nikahnya tidak sah.

Nikah yang tidak disebutkan dan tidak ditetapkan maharnya disebut nikah tafwid.
Hal ini menurut jumhur ulama dibolehkan.

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Khithbah adalah menampakan keinginan menikah terhadap seorang perempuan
tertentu dengan memberitahu perempuan yang dimaksud atau keluarganya (walinya).
Proses khitbah dapat berlangsung, yaitu diantaranya khitbah dapat dilakukan sendiri
oleh seorang ikhwan langsung kepada akhwatnya ataupun dengan mewakilkan,
kemudian bisa juga dilakukan oleh seorang ikhwan kepada keluarga atau wali pihak
akhwat.

Kafa’ah atau kufu’ dalam perkawinan, menurut istilah hukum Islam, yaitu
keseimbangan dan keserasian antara calon istri dan suami sehingga masing-masing
calon tidak merasa berat untuk melangsungkan perkawinan.

Kriteria kafa’ah diantaranya : agama, kedudukan, kemerdekaan, ketrampilan, dan


kemampuan.

Kriteria wanita untuk dinikahi diantaranya : kuat agamanya, bernasab baik,


cantik, kerabat jauh, bukan krabat, gadis, besar kasihsayangnya, cardas dan berbudi
baik.

B. Saran

14
DAFTAR PUSTSTAKA

Zainuddin, 1993, Fat-hul Mu’in, Surabaya: Al-Hidayah.

Musyaffa’, M. Yazid, 2015, Taysyru Fathul Qorib, Kediri: ANFA’ Prees.

Sati, Pakih, 2011, Panduan Lengkap  Pernikahan, Bening: t.p.

Tihami, 2009, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta: Rajawali Press.

Syarifuddin, Amir, 2006, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana.

Idhamy. Dahlan, Azas-azas Fiqh Munakahat, Hukum Keluarga Islam

Shalih, 2005, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, Jakarta: Darul Falah,

Al-Jaziri, Abdurrahman. Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, juz 4.

Mujid, Abdul. dkk, Kamus Istilah Fikih,Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995.

Muhktar,Kamal,Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang,


1994.

Hasan, Mustofa. Pengantar Hukum Keluarga, Bandung : CV Pustaka Setia, 2011.

Al-Fauzan, Saleh.Fiqh Sehari-hari, Depok: GemaInsani,

Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, Jakarta : Rajawali Pers, 2010.

Daradjat , Zakiyah, dkk, Ilmu Fiqh, Jakarta: Depag RI, 1985.

Ghazali, Abdurrahman.Fiqih MunakahatJakarta, Prenada Media, 2003

15

Anda mungkin juga menyukai