DOSEN PEMBIMBING:
Dosen pembimbing:
Al-Ustad Ma’ruf Zein
Disusun oleh:
Imroatus Sholiha
Putri Azzah Nabiilah
1.Baik memilih
2. Khitbah (lamaran)
ُون َأ ْز َواجً ا َي َت َربَّصْ َن ِبَأ ْنفُسِ ِهنَّ َأرْ َب َع َة َأ ْشه ٍُر َو َع ْشرً ا َفِإ َذا َبلَ ْغ َن َأ َجلَهُنَّ َفاَل ُج َنا َح
َ ِين ُي َت َو َّف ْو َن ِم ْن ُك ْم َو َي َذر َ َوالَّذ
ْ) َواَل ُج َنا َح َعلَ ْي ُك ْم فِي َما َعرَّ ضْ ُت ْم ِب ِه مِن۲۳۴( ون َخ ِبي ٌر َ َُعلَ ْي ُك ْم فِي َما َف َع ْل َن فِي َأ ْنفُسِ ِهنَّ ِب ْال َمعْ رُوفِ َوهَّللا ُ ِب َما َتعْ َمل
خ ِْط َب ِة ال ِّن َسا ِء َأ ْو َأ ْك َن ْن ُت ْم فِي َأ ْنفُسِ ُك ْم َعلِ َم هَّللا ُ َأ َّن ُك ْم َس َت ْذ ُكرُو َنهُنَّ َولَكِنْ اَل ُت َواعِ ُدوهُنَّ سِ ًّرا ِإاَّل َأنْ َتقُولُوا َق ْواًل
اح َح َّتى َي ْبلُ َغ ْال ِك َتابُ َأ َجلَ ُه َواعْ لَمُوا َأنَّ هَّللا َ َيعْ لَ ُم َما فِي َأ ْنفُسِ ُك ْم َفاحْ َذرُوهُ َواعْ لَمُوا ً
ِ َمعْ رُوفا َواَل َتعْ ِزمُوا ُع ْق َد َة ال ِّن َك
)۲۳۵( َأنَّ هَّللا َ َغفُو ٌر َحلِي ٌم
Dari defenisi tadi, maka khitbah tidak menjadi hukum akad diantara
pengkhitbah dan yang di khitbah/walinya .karna khitbah bukan janji ataupun
komitmen untuk menikah, tetapi khitbah hanya sekedar pernyataan untuk
menikah.
( َك َأ ْز َكى لَهُ ْم ِإ َّن هَّللا َ خَ بِي ٌر بِ َما يَصْ نَعُونَ ِار ِه ْم َويَحْ فَظُوا فُرُو َجهُ ْم َذل
ِ صَ قُلْ لِ ْل ُمْؤ ِمنِينَ يَ ُغضُّ وا ِم ْن َأ ْب
ْ َار ِه َّن َويَحْ ف
ظنَ فُرُو َجه َُّن َواَل يُ ْب ِدينَ ِزينَتَه َُّن ِإاَّل َما ظَهَ َر ِم ْنهَا ِ ص َ ت يَ ْغضُضْ نَ ِم ْن َأ ْبِ ) َوقُلْ لِ ْل ُمْؤ ِمنَا30
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman agar mereka menjaga
pandangannya, dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu lebih suci dari
mereka, sungguh allah maha mengetahui apa yang mereka perbuat.”
Ulama berbeda pendapat mengenai apa saja yang boleh dilihat laki-laki
kepada perempuan yang ingin ia khitbah. Namun, ulama bersepakat hanya boleh
memandang kepada wajah dan tangan perempuan yang ingin ia khitbah. Hal ini
bermaksud bahwa wajah untuk menentukan kecantikan perempuan itu, sedangkan
tangan untuk melihat kesuburan perempuan tersebut. Waktunya juga ditentukan
ketika laki-laki memang bermaksud untuk mengkhitbah si perempuan dan si laki-
laki boleh mengulang sampai 3 kali ketika dibutuhkan, supaya tidak menyesal
ketika sesudah menikah. Dan ulama menyarankan untuk melihat si perempuan
tadi tanpa sepengetahuan atau izinnya, agar laki-laki tadi melihat perempuan tanpa
berdandan atau sejenisnya. Hal ini bertujuan agar tidak menyakiti perasaan si
perempuan ataupun keluarganya ketika tidak ada kecocokan saat mengkhitbah,
dan untuk si laki-laki tadi diharapkan tidak mengumbar aib dari si perempuan.
Oleh karena itu, Imam As-Syafi’i pun menambahkan bahwa waktu melihat itu
sebaiknya sebelum mengkhitbah si perempuan dan ketika sudah melihat lalu
merasa sesuai maka dibolehkan untuk mengkhitbah. Namun,jika tidak sesuai
berpalinglah dengan cara baik-baik.
Permasalahan :
1. Bagaimana cara mengkhitbah perempuan dalam masa iddah, tasrih
(jelas) atau ta’rid (sindiran)?
Defenisi Tasrih: Kalimat yang memberi paham harapan laki-laki ke
perempuan dengan penunjukkan yang jelas. Contoh: aku ingin
menikahimu
Defenisi Ta’rid: Kalimat yang memberi paham harapan laki-laki ke
perempuan dengan penunjukkan yang tidak jelas. Contoh: menceritakan
posisinya diantara keluarganya, harapan laki-laki agar mendapat istri yang
sholihah dll.
Dari penjelasan diatas selain talak ba’in (sebab wafat) tidak boleh
dikhitbah dengan cara tasrih, ini merupakan hal yang terlarang. Kebolehan ta’rid
ini ketika masa ‘iddah sebab wafat sudah selesai, adakala dengan waktu 4 bulan
10 hari atau kalau hamil, sampai melahirkan. Agar menjaga perasaan kerabat
suami yang telah wafat.
Kalau perempuan sebab talak raj’i , ulama bersepakat bahwa hanya boleh
dikhitbah dengan ta’rid , karena berkemungkinan bagi si perempuan untuk
kembali dengan suaminya ketika ia ‘iddah dan tidak memerlukan akad yang baru.
Kalau dia sedang dalam ‘iddah talak ba’in kubra, Imam As-Syafi’i
berpendapat cara mengkhitbahnya dengan ta’rid bukan tasrih. Mengikuti qiyas
’iddah orang yang ditinggal sebab wafat. Dan laki-laki tidak memiliki hak untuk
mengembalikan istri yang ia talak.
1. Tidak ada ulama yang berbeda pendapat, bahwa wajib mem-fasakh apabila
akad dilakukan di dalam masa ‘iddah
2. Kalau akad sesudah selesai masa ‘iddah, ulama berbeda pendapat dalam kesah-
an akadnya.
Ulama Hanafiyah : Akad harus setelah selesai masa ‘iddah dan harus
memenuhi syarat-syarat sah
Ulama Malikiyah: Kalau akadnya di pertengahan masa ‘iddah maka harus
di fasakh
Ulama Syafi’iyah: Mau shorih atau tidak ijab nya, maka harus akad nikah
ketika sudah selesai masa ‘iddah. Dan khitbah shorih dalam masa ‘iddah
itu makruh, tetapi tidak merusak akad. Karena nikah itu sesuatu yang baru
sesudah khitbah. Khitbah itu hanya semata-mata ingin menikah, dan harus
memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat, sehingga khitbah berhubungan
dengan akad. Kesimpulan nya akad tetap sah tetapi orang yang meng-
khitbah berdosa.