Anda di halaman 1dari 8

TUGAS AHWAL AS-SYAKHSHIYAH

DOSEN PEMBIMBING:

Dosen pembimbing:
Al-Ustad Ma’ruf Zein
Disusun oleh:
Imroatus Sholiha
Putri Azzah Nabiilah

JURUSAN AL AHWAL AL SYAKHSIYAH


TAKHASUS FIQIH DAN USHUL FIQIH
MA’HAD ALY AL MUNAWWARAH RIAU
TAHUN AJARAN 2022/2023
PENDAHULUAN AQAD PERNIKAHAN

Sebelum pelaksaan akad, ada beberapa ketentuan yang harus dilakukan


yaitu:

1.Baik memilih

2. Khitbah (lamaran)

Sesuai dalam firman Allah Ta’ala (Q. S Albaqarah 234-235)

‫ُون َأ ْز َواجً ا َي َت َربَّصْ َن ِبَأ ْنفُسِ ِهنَّ َأرْ َب َع َة َأ ْشه ٍُر َو َع ْشرً ا َفِإ َذا َبلَ ْغ َن َأ َجلَهُنَّ َفاَل ُج َنا َح‬
َ ‫ِين ُي َت َو َّف ْو َن ِم ْن ُك ْم َو َي َذر‬ َ ‫َوالَّذ‬
ْ‫) َواَل ُج َنا َح َعلَ ْي ُك ْم فِي َما َعرَّ ضْ ُت ْم ِب ِه مِن‬۲۳۴( ‫ون َخ ِبي ٌر‬ َ ُ‫َعلَ ْي ُك ْم فِي َما َف َع ْل َن فِي َأ ْنفُسِ ِهنَّ ِب ْال َمعْ رُوفِ َوهَّللا ُ ِب َما َتعْ َمل‬
‫خ ِْط َب ِة ال ِّن َسا ِء َأ ْو َأ ْك َن ْن ُت ْم فِي َأ ْنفُسِ ُك ْم َعلِ َم هَّللا ُ َأ َّن ُك ْم َس َت ْذ ُكرُو َنهُنَّ َولَكِنْ اَل ُت َواعِ ُدوهُنَّ سِ ًّرا ِإاَّل َأنْ َتقُولُوا َق ْواًل‬
‫اح َح َّتى َي ْبلُ َغ ْال ِك َتابُ َأ َجلَ ُه َواعْ لَمُوا َأنَّ هَّللا َ َيعْ لَ ُم َما فِي َأ ْنفُسِ ُك ْم َفاحْ َذرُوهُ َواعْ لَمُوا‬ ً
ِ ‫َمعْ رُوفا َواَل َتعْ ِزمُوا ُع ْق َد َة ال ِّن َك‬
)۲۳۵( ‫َأنَّ هَّللا َ َغفُو ٌر َحلِي ٌم‬

“Dan orang-orang yang mati diantara kamu serta meninggalkan istri-istri


hendaklah mereka (istri-istri) menunggu empat bulan sepuluh hari. Kemudian
apabila telah sampai(akhir) iddah mereka maka tidak ada dosa bagimu mengenai
apa yang mereka lakukan terhadap diri mereka menurut cara yang patut. Dan
Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.(234).Dan tidak dosa bagimu
meminang perempuan-perempuan itu dengan sindiran. atau kamu sembunyikan
(keinginanmu) dalam hati. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut
kepada mereka. Tetapi janganlah kamu membuat perjanjian (untuk menikah)
dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan kata-kata yang
yang baik. Dan janganlah kamu menetapkan akad nikah, sebelum masa iddah
nya. Ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun,Maha Penyantun(235)

Berdasarkan teks diatas, menerangkan tentang:

 Masa iddah seorang perempuan yang ditinggal wafat oleh suaminya


 Hukum-hukum yang berkaitan dengan iddah perempuan yang ditinggal
wafat
 Tidak berdosa mengkhibah perempuan iddah dengan cara sindiran
Ayat di atas secara tegas melarang seorang laki-laki melamar seorang
perempuan dalam masa iddah dengan tashrih (jelas/terang-terangan), sampai
iddah si perempuan selesai, dapat disimpulkan bahwa ayat tersebut
mengisyaratkan untuk melakukan lamaran, karna lamaran merupakan awal dari
akad pernikahan.
Dalam hadist nabi juga mensyari’atkan untuk melakukan lamaran.
Dari ‘Uqbah bin ‘amir bawa rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam, berkata “
seorang mukmin adalah saudaranya mukmin, maka tidak boleh menjual jualan
saudaranya, dan tidak boleh melamar seorang perempuan yang sudah dilamar
orang lain sampai si pelamar yang pertama meninggalkannya. ”
Dari hadist tersebut juga menunjukkan bahwa lamaran itu diisyaratkan
untuk si pelamar pertama, dan wajib menghargai hak si pelamar pertama .
Sebagai tambahan juga, ada hadist qauliyah tentang syari’at lamaran,
dan ada sunnah amali dan ketetapan, bahwa “ rasul melamar sebagian istri-istri
rasul seperti ummu salamah dan juwairiyah sementara sahabat juga
mengerjakan lamaran pada masa rasulullah sallallahu ‘alaihi wasalam, dan
rasul tidak mengingkari hal tersebut”
Maka, orang-orang muslim mengambil kesimpulan bahwa hukum
melamar itu adalah jawaz (boleh), yang mana pada asalnya hukum lamaran itu
adalah mubah, menurut jumhur ulama. Dan tidak harus sebelum melaksanakan
pernikahan itu diawali dengan lamaran terlebih dahulu, karna lamaran itu
merupakan awal sebuah pernikahan

A. Defenisi khitbah (lamaran)


Khitbah berasal dari huruf (‫ب‬,‫ط‬,‫ )خ‬,
1. Perbincangan antara 2 orang
2. Menuntut menikah
Menurut satu perkataan bahwa khitbah itu dari (‫) خاطبه يخاطبه خطابا‬ialah
“saling berkhitbah” ,sedangkan nikah adalah: Permintaan untuk menikah, seperti
yang ada di dalam firman allah (Q.S Al-Baqarah:235)
ْ ‫[ } َواَل ُجنَا َح َعلَ ْي ُك ْم فِي َما َعرَّضْ تُ ْم بِ ِه ِم ْن ِخ‬۲۳۵ :‫]البقرة‬
{‫طبَ ِة النِّ َسا ِء‬
Artinya:
“Dan tidak ada dosa bagimu meminang perempuan itu dengan sindiran”

Secara terminologi khitbah adalah: Memperkuat hubungan antara laki-laki dan


perempuan/wali perempuan untuk menikah. Khitbah itu seumpama laki-laki
meminta kepada perempuan yang ia ingin untuk diajak menikah, apabila sudah
diterima permintaan si laki-laki maka selesailah khitbahnya.

Dari defenisi tadi, maka khitbah tidak menjadi hukum akad diantara
pengkhitbah dan yang di khitbah/walinya .karna khitbah bukan janji ataupun
komitmen untuk menikah, tetapi khitbah hanya sekedar pernyataan untuk
menikah.

Disyari’atkan khitbah itu agar bebas memilih, kesempatan untuk saling


mengenal, menyatukan 2 diri yang akan menjadi teman seumur hidup, dan
diharapkan memiliki keluarga yang baik, aman dan bahagia.

Menurut jumhur ulama khitbah itu hukumnya mubah, tetapi sebagian


jumhur ulama berpendapat sunnah, sehingga untuk setiap akad nikah tidak harus
didahului khitbah. Hal ini berlaku untuk calon pasutri yang sudah saling mengenal
satu sama lain, menikahi sepupu atau menikah dengan orang yang masih
sekampung, yang mana penduduknya itu saling bersimpati dan tolong menolong,
sekalipun tanpa hubungan nasab dan rahim, sehingga tidak diperlukan banyak
bertanya antara satu dengan yang lain.

B. Hal-hal yang dilihat dalam mengkhitbah


Dalam mengkhitbah tidak berpatokan dengan bentuk yang sempurna
tetapi dilihat dari segi fisik dan akal, maka syariat membolehkan laki-laki melihat
perempuan yang ingin dijadikan teman seumur hidupnya, mau melihatnya dengan
izin perempuan/wali ataupun tanpa izin mereka. Dengan ini laki-laki
diperbolehkan melihat perempuan begitu juga dengan perempuan boleh melihat
laki-laki, karna yang diperintah untuk menundukkan pandangan adalah laki-laki
dan perempuan.

( َ‫ك َأ ْز َكى لَهُ ْم ِإ َّن هَّللا َ خَ بِي ٌر بِ َما يَصْ نَعُون‬َ ِ‫ار ِه ْم َويَحْ فَظُوا فُرُو َجهُ ْم َذل‬
ِ ‫ص‬َ ‫قُلْ لِ ْل ُمْؤ ِمنِينَ يَ ُغضُّ وا ِم ْن َأ ْب‬
ْ َ‫ار ِه َّن َويَحْ ف‬
‫ظنَ فُرُو َجه َُّن َواَل يُ ْب ِدينَ ِزينَتَه َُّن ِإاَّل َما ظَهَ َر ِم ْنهَا‬ ِ ‫ص‬ َ ‫ت يَ ْغضُضْ نَ ِم ْن َأ ْب‬ِ ‫) َوقُلْ لِ ْل ُمْؤ ِمنَا‬30
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman agar mereka menjaga
pandangannya, dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu lebih suci dari
mereka, sungguh allah maha mengetahui apa yang mereka perbuat.”

Ayat tersebut menjelaskan bahwa laki-laki boleh melihat perempuan


yang ingin dikhitbahnya, dan ingin membangun hidup bersamanya. Perempuan itu
sederajat dengan laki-laki, maka dari itu si perempuan memiliki hak memilih dan
juga kerelaan, dan hal ini menjadi perantara bahwa perempuan juga boleh melihat
kepada laki-laki yang ingin dikhitbahnya, supaya memuncul prasangka dan pola
pikir yang baik.

Ada beberapa hadits yang menyatakan kebolehan melihat orang yang


dikhitbah, sebagian ulama memberi alasan dan tujuan perihal ini. Diriwayatkan
bahwa rasulullah shallauhu ’alaihi wassalam berkata kepada sahabat yang ingin
mengkhitbah seorang perempuan ”Apakah engkau sudah melihat kepada
perempuan itu?. Lalu sahabat menjawab: Tidak. Lalu rasulullah berkata lagi :
lihatlah ke perempuan itu dulu, supaya sesuai dan dapat membuat tenang
diantara kalian.”

Ulama berbeda pendapat mengenai apa saja yang boleh dilihat laki-laki
kepada perempuan yang ingin ia khitbah. Namun, ulama bersepakat hanya boleh
memandang kepada wajah dan tangan perempuan yang ingin ia khitbah. Hal ini
bermaksud bahwa wajah untuk menentukan kecantikan perempuan itu, sedangkan
tangan untuk melihat kesuburan perempuan tersebut. Waktunya juga ditentukan
ketika laki-laki memang bermaksud untuk mengkhitbah si perempuan dan si laki-
laki boleh mengulang sampai 3 kali ketika dibutuhkan, supaya tidak menyesal
ketika sesudah menikah. Dan ulama menyarankan untuk melihat si perempuan
tadi tanpa sepengetahuan atau izinnya, agar laki-laki tadi melihat perempuan tanpa
berdandan atau sejenisnya. Hal ini bertujuan agar tidak menyakiti perasaan si
perempuan ataupun keluarganya ketika tidak ada kecocokan saat mengkhitbah,
dan untuk si laki-laki tadi diharapkan tidak mengumbar aib dari si perempuan.
Oleh karena itu, Imam As-Syafi’i pun menambahkan bahwa waktu melihat itu
sebaiknya sebelum mengkhitbah si perempuan dan ketika sudah melihat lalu
merasa sesuai maka dibolehkan untuk mengkhitbah. Namun,jika tidak sesuai
berpalinglah dengan cara baik-baik.

C. Syarat-syarat perempuan yang dikhitbah


Dalam mengkhitbah harus memenuhi 2 syarat berikut:
1. Perempuan bisa di akad ketika itu.
Maksud dari boleh diakad itu adalah perempuan bukan mahram dari segi
selama-selamanya atau berkala waktu.
2. Perempuan belum pernah dikhitbah dengan orang lain

Permasalahan :
1. Bagaimana cara mengkhitbah perempuan dalam masa iddah, tasrih
(jelas) atau ta’rid (sindiran)?
 Defenisi Tasrih: Kalimat yang memberi paham harapan laki-laki ke
perempuan dengan penunjukkan yang jelas. Contoh: aku ingin
menikahimu
 Defenisi Ta’rid: Kalimat yang memberi paham harapan laki-laki ke
perempuan dengan penunjukkan yang tidak jelas. Contoh: menceritakan
posisinya diantara keluarganya, harapan laki-laki agar mendapat istri yang
sholihah dll.

Perempuan dalam masa ‘iddah itu merupakan macam dari perempuan


yang haram berkala waktu. Sehingga perempuan dalam masa ‘iddah sebab wafat
atau ba’in itu haram di khitbah secara jelas, ditakutkan bercampur nasab dan
untuk menjaga hubungan baik sesama muslim, menghindari maksud buruk dalam
men-tasrih khitbah, seperti kesempatan bermusuhan dan perpecahan diantara
manusia. Karena kebiasaannya laki-laki yang mentalak perempuan itu masih
diselimuti rasa sakit dan ber-zhon tidak baik di saat sampai berita yang baru ia
talak ternyata sudah di khitbah.

Bagi perempuan yang ber’iddah dengan quru’ maka masa boleh


mengkhitbahnya ketika sudah selesai masa ‘iddahnya. Jadi, jika ia ‘iddah sebab
talak ba’in maka boleh di khitbah dengan tasrih atau ta’rid.

Dari penjelasan diatas selain talak ba’in (sebab wafat) tidak boleh
dikhitbah dengan cara tasrih, ini merupakan hal yang terlarang. Kebolehan ta’rid
ini ketika masa ‘iddah sebab wafat sudah selesai, adakala dengan waktu 4 bulan
10 hari atau kalau hamil, sampai melahirkan. Agar menjaga perasaan kerabat
suami yang telah wafat.

Kalau perempuan sebab talak raj’i , ulama bersepakat bahwa hanya boleh
dikhitbah dengan ta’rid , karena berkemungkinan bagi si perempuan untuk
kembali dengan suaminya ketika ia ‘iddah dan tidak memerlukan akad yang baru.

Kalau dia sedang dalam ‘iddah talak ba’in kubra, Imam As-Syafi’i
berpendapat cara mengkhitbahnya dengan ta’rid bukan tasrih. Mengikuti qiyas
’iddah orang yang ditinggal sebab wafat. Dan laki-laki tidak memiliki hak untuk
mengembalikan istri yang ia talak.

2. Mengkhitbah dan meng-akad yang sudah selesai masa ’iddah


Apa efek keharaman mengkhitbah orang yang masih dalam masa iddah
dan akad dilakukan setelah selesai masa ‘iddah?

1. Tidak ada ulama yang berbeda pendapat, bahwa wajib mem-fasakh apabila
akad dilakukan di dalam masa ‘iddah

2. Kalau akad sesudah selesai masa ‘iddah, ulama berbeda pendapat dalam kesah-
an akadnya.
 Ulama Hanafiyah : Akad harus setelah selesai masa ‘iddah dan harus
memenuhi syarat-syarat sah
 Ulama Malikiyah: Kalau akadnya di pertengahan masa ‘iddah maka harus
di fasakh
 Ulama Syafi’iyah: Mau shorih atau tidak ijab nya, maka harus akad nikah
ketika sudah selesai masa ‘iddah. Dan khitbah shorih dalam masa ‘iddah
itu makruh, tetapi tidak merusak akad. Karena nikah itu sesuatu yang baru
sesudah khitbah. Khitbah itu hanya semata-mata ingin menikah, dan harus
memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat, sehingga khitbah berhubungan
dengan akad. Kesimpulan nya akad tetap sah tetapi orang yang meng-
khitbah berdosa.

Anda mungkin juga menyukai