Anda di halaman 1dari 14

12

BAB II

KAJIAN KEPERPUSTAKAAN

A. Hasil Penelitian

Nuraini, Hukum Menunaikan Ibadah Haji Bagi Perempuan Dalam Masa

“Iddah (Analisis Fiqh Al-Syafi’iyyah). Hasil penelitian menunjukkan kewajiban

bagi perempuan sedang dalam masa iddah menurut Analisis Fiqh Al-Syafi’iyyah

adalah tidak boleh menerima pinangan dari laki-laki lain, tidak boleh keluar

rumah bagi perempuan dalam masa ‘iddah meninggalnya, sedangkan perempuan

yang talaq raj’i atau perempuan yang di talaq bain. Sedangkan hamil tidak

dibolehkan keluar rumah, kecuali dengan izin mantan suaminya atau disebabkan

darurat, namun bila suami tidak memberi nafkah, mereka membolehkan mencari

nafkah dan melakukan ihdat bagi perempuan yang meninggal suami.

Dari uraian diatas, maka penulis menyimpulkan bahwa kajian tentang

‘iddah masih bersifat umum. Disamping itu juga, dapat diketahui bahwa ‘iddah

yang menulis teliti berbeda dengan kajian masalah ‘iddah akibat percampuran

syubhat menurut pendapat ulama Fiqh Al-Syafi’iyyah. Dari penelaah di atas,

maka jelas pokok permasalahan yang akan penulis kaji dalam penulisan skipsi ini

berbeda dengan penulisan atau penelitian sebelumnya.

B. Pengertian dan dasar hukum ‘iddah

Menurut bahasa ‘iddah berasal dari kata Al-‘Adad. Sedangkan kata al-’adad

merupakan bentuk masdar dari kata kerja ‘Adad-Ya’uddu yang berarti

Menghitung. Kata Al-Adad memiliki arti ukuran dari suatu yang dihitung dan

jumlahnya. Adapun bentuk jama’ dari kata Al-Adad begitu pula bentuk jama’ dari
13

kata ‘iddah adalah Al-Adad. Dan dikatakan juga bahwa seorang perempuan telah

ber’iddah karena kematian suaminya atau talaq suami kepadanya.

Dari sisi terminologi maka terdapat beberapa definisi ‘iddah yang

dikemukakan oleh para fuqaha. Meskipun dalam redaksi yang berbeda, berbagai

definisi tersebut memiliki kesamaan secara garis besarnya.

Menurut Al-Jaziri ‘iddah secara syar’i memiliki makna yang lebih luas dari

pada makna bahasa yaitu masa tunggu seorang perempuan yang tidak hanya

didasarkan pada masa haid atau sucinya tetapi kadang-kadang juga didasarkan

pada bilangan bulan atau dengan melahirkan selama masa tersebut seorang

perempuan dilarang untuk menikah dengan laki-laki lain. Sementara itu Sayyid

Sabiq menjelaskan bahwa ‘iddah merupakan sebelum nama bagi masa lamanya

perempuan istri menunggu dan tidak boleh kawin setelah kematian suaminya atau

setelah pisah dari suaminya.

Abu Yahya Zakariyyah Al-Ansari memberikan definisi ‘iddah sebagai masa

tunggu seorang perempuan untuk mengetahui kesucian rahim atau untuk ta’adbud

beribadah atau untuk tafajju’ bela sungkawa terhadap suaminya. Dalam definisi

lain dijelaskan bahwa ‘iddah menurut ‘urf syara’ adalah nama untuk suatu masa

yang ditetapkan untuk mengakhiri apa yang tersisa dari pengaruh-pengaruh

pernikahan.

Dari berbagai definisi ‘iddah yang telah dikemukakan diatas maka dapat

dirumuskan sebuah pengertian yang komprehensif tentang ‘iddah yaitu masa

tunggu yang dutetapkan bagi perempuan setelah kematian suami atau putus

perkawinan baik berdasarkan masa haid atau suci, bilangan bulan atau dengan
14

melahirkan untuk mengetahui kesucian rahim, beribadah ta’adbu maupun bela

sungkawa atas suaminya. Selama masa tersebut perempuan istri dilarang menikah

dengan laki-laki lain

Kewajiban menjalankan ‘iddah bagi orang perempuan setelah kematian

suaminya atau setelah pisah dengan suaminya dijelaskan secara ekspisit dalam Al-

Qur’an maupun sunnah. Diantara nassh al-quran yang menjelaskan tentang ‘iddah

antara lain:

‫ش ًرا ۚ فا َِذا‬
ْ ‫ش ُه ٍر َّو َع‬ ْ َ‫صنَ ِبا َ ْنفُسِ ِهنَّ اَ ْر َب َع َة ا‬ ً ‫َوالَّ ِذ ْينَ ُي َت َو َّف ْونَ ِم ْن ُك ْم َو َي َذ ُر ْونَ اَ ْز َو‬
ْ ‫اجا َّي َت َر َّب‬
‫هّٰللا‬
‫اح َعلَ ْي ُك ْم فِ ْي َما َف َع ْلنَ ف ِْٓي اَ ْنفُسِ ِهنَّ ِبا ْل َم ْع ُر ْو ۗفِ َو ُ ِب َما َت ْع َملُ ْونَ َخ ِب ْي ٌر‬ َ ‫َبلَ ْغنَ اَ َجلَ ُهنَّ َفاَل ُج َن‬

Artinya : orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan men


ingalkan isrti-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah)
empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis -‘iddah –Nya, maka tiada
dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat apa yang kamu perbuat. (al-
baqarah [2] : 234).

‫س ْوهُنَّ َف َما لَ ُك ْم‬ ِ ‫ٰ ٓيا َ ُّي َها الَّ ِذ ْينَ ٰا َم ُن ْٓوا ِا َذا َن َك ْح ُت ُم ا ْل ُمْؤ م ِٰن‬
ُّ ‫ت ُث َّم َطلَّ ْق ُت ُم ْوهُنَّ مِنْ َق ْب ِل اَنْ َت َم‬

‫احا َج ِم ْياًل‬
ً ‫س َر‬ َ ‫َعلَ ْي ِهنَّ مِنْ عِ دَّ ٍة َت ْع َتد ُّْو َن َه ۚا َف َم ِّت ُع ْوهُنَّ َو‬
َ َّ‫س ِّر ُح ْوهُن‬

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi


perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum
kamu mencapurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang
kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah
mereka itu dengan cara baik-baiknya. (al-ahzab [33] : 49).
ٰۤ ٰۤ
َ‫ِض ۗن‬ ْ َ‫ار َت ْب ُت ْم َف ِع َّد ُت ُهنَّ َث ٰل َث ُة ا‬
ْ ‫ش ُه ۙ ٍر َّوالّـِٔ ْي لَ ْم َيح‬ ْ ‫س ۤا ِٕى ُك ْم ا ِِن‬ ِ ‫َوالّـِٔ ْي َي ِٕى ْسنَ مِنَ ا ْل َم ِح ْي‬
َ ‫ض مِنْ ِّن‬
‫هّٰللا‬
‫ض ْعنَ َح ْملَ ُه ۗنَّ َو َمنْ َّي َّت ِق َ َي ْج َعلْ لَّ ٗه مِنْ اَ ْم ِرهٖ ُي ْس ًرا‬
َ ‫ال اَ َجلُ ُهنَّ اَنْ َّي‬
ِ ‫ت ااْل َ ْح َم‬
ُ ‫َواُواَل‬

Artinya : Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menaupause) di


antara perempuan-perempuanmua jika kamu ragu-ragu (tentang masa ‘iddah-
15

Nya), maka masa iddah mereka adalah tiga b ulan : dan begitu (pula) perempuan-
perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah
mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa
yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan
dalam urusannya. (At-Talaq [65] : 4)

Sementara itu masalah ‘iddah juga dijelaskan dalam sunnah Nabi :

Yang artinya : Tidak halal bagi perempuan yang beriman kepada Allah dan

hari akhir berihdad lebih dari tiga malam terhadap orang yang meninggal, kecuali

terhadap suami yang meninggal maka ia harus berihdad empat bulan sepuluh hari.

Artinya : Ber‘iddahlah dirumah anak umi maktum.

Nashsh al-quran maupun sunnah diatas merupakan dasar hukum penetapan

‘iddah. Berdasarkan Nashsh al-quran sunnah tersebut maka para ulama telah

sepakat ijma’ bahwa ‘iddah hukumnya wajib. Mereka hanya berbeda dalam

masalah tafsil perincian dalam beberapa persoalan saja.

Selama dalam ketentuan ‘iddah yang telah dijelaskan secara eksplisit oleh

Nashsh Al-Quran maupun sunnah tidak banyak mengundang perbedaan pendapat

dikalangan ulama. Tetapi juga ketentuan ‘iddah tersebut dihadapkan pada suatu

persolan yang belum ada penjelasannya baik dalam Al-Quran maupun sunnah

seperti ‘iddah bagi perempuan hamil karena watak syubhat telah menimbulkan

perbedaan pendapat dikalangan ulama sebagai mana akan dibahas nanti.

C. Macam – macam ‘iddah

Berdasarkan penjelasan tentang iddah yang terdapat dalam Nashsh Al-

Quran maka para fuqaha dalam kitap-kitap fiqih konvesional membagi ‘iddah
16

menjadi tiga yaitu berdasarkan masa haid atau suci, bilangan bulan dan dengan

melahirkan. Kalau di cermati penentuan ‘iddah itu sendiri sebenarnya disesuaikan

dengan sebab putusnya perkawinan, keadaan istri dan akad perkawinan.

Sebab putus nya perkawinan dapat dibedaakna karena kematian suami,

Talaq Bain Sughra maupun Kubra dan faskh pembatalan seperti murtadnya suami

atau khiyar bulug perempuan. Keadaan istri dapat dibedakan menjadi istri yang

sudah dicampuri atau belum, isteri masih mengalami haid atau belum bahkan

sudah menaupause istri dalam keadaan hamil atau tidak, istri seorang yang

merdeka atau dari hamba sahaya, dan istri seorang muslim atau kitabiyah.

Sedangkan ditinjauan dari jenis akad maka dapat dibagi menjadi akad

shahih dan akad fasid.

Secara umum maka ‘iddah dapat dibedakan sebagai berikut :

1. ‘iddah seorang istri yang masih mengalami haid yaitu dengan tiga

kali haid

2. ‘iddah seorang istri yang sudah tidak haid manopause yaitu tiga

bulan

3. ‘iddah seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya adalah

empat bulan sepuluh hari jika ia dalam keadaan tidak hamil

4. ‘iddah seorang istri yaitu sampai melahirkan

Adapun secara rinci pembagian ‘iddah dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. Iddah berdasarkan haid


17

Apabila putus perkawinan disebabkan karena talaq baik raj’i

maipun bain, Bain Sughra maupun Kubra dan faskh pembatalan seperti

murtadnya suami atau khiyar bulug perempuan sedangkan istri masih mengalami

haid maka ‘iddah-Nya dengan tiga kali haid. Akan tetapi hal tersebut berlaku bagi

seorang istri yamg memenuhi syarat-syarat diantaranya :

1. Istri yang merdeka, sedangkan bagi istri yang hamba sahaya

‘iddah-Nya selesai dengan dua kali haid.

2. Istri tersebut dalam keadaan tidak hamil ha’il. Sedangkan apabila ia

hamil ‘iddah-Nya selesai sampai melahirkan.

3. Istri tersebut telah dicampuri secara hakiki atau hukmi khalwat

berdasarkan akad yang shahih dan tidak ada perbedaan baik istri

tersebut sedangkan muslim atau kitabiyah. Ulama hanafiyyah,

hanabillah, dan khulafah ar-rassyidun berpendapat bahwa khalwat

berdasarkan akad yang sahih dianggap dukhul yang mewajibkan

‘iddah. Sedangkan ulama Al- Syafi’iyyah dalam mazhab yang baru

qaul Al-Jadid berpendapat bahwa khalwa tidak mewajibkan ‘iddah.

Penetapan ‘iddah dengan haid ini juga berlaku bagi istri yang ditinggal mati

oleh suaminya dan ia tidak dalam keadaan hamil dan dua keadaan. Pertama,

apabila ia dicampuri secara syubhat dan sebelum putus perkawinannya suaminya

meninggal maka ia wajib ber’iddah berdasarkan haid. Kedua, apabila akad fasid

dan suaminya meninggal maka ia ber’iddah dengan berdasrkan haid tidak dengan

empat bulan sepuluh hari yang merupakan ‘iddah atas kematiuan suami karena

hikmah ;iddah disini adalah untuk mengetahui kebersihan rahim dan tidak untuk
18

berduka terhadap suami karena dalam hal mencampuri secara syubhat tidak ada

suami dan dalam akad yang fasid tidak ada suami secara syar’i maka tidak wajib

berduka atas suami.

a. ‘iddah berdasarkan bilangan bulan

Apabila perempuan istri merdeka dalam keadaan tidak hamil dan

telah dicampuri baim secara hakiki atau hukmi dalam bentuk perkawinan sahih

dan dia tidak mengalami haid karena sebab apapun baik karena dia masih belum

dewasa atau sudah dewasa tetapi telah menopause yaitu sekitar umur 55 tahun

atau telah mencapai umur 15 tahun dan belum haid kemudian putus perkawinan

antara dia dengan suaminya dengan talaq, atau fisakh atau berdasarkan sebab-

sebab yang lain maka ‘iddah-Nya adalah tiga bulan penuh berdasarkan firman

Allah dalam surat At-Talaq 65:4. Dalam hal ini bagi perempuan yang ditinggal

mati oleh suaminya dan ia tidak dalam keadaan hamil dan masih mengalami haid

“iddah-nya empat bulan sepuluh hari berdasarkan firman Allah dalam surat Al-

Baqarah 2 : 234 .

b. Iddah karena kematian suami

sementara itu jika putusnya perkawinan disebabkan karena

kematian suami maka apabila istri dalam keadaan hamil. ‘iddahnya sampai

melahirkan. Mayoritas ulama menurut ibn Rusyd berpendapat bbahwa masa

‘iddah perempuan tersebut adalah sampai melahirkan, meskipun selisih waktu

kematian suami hingga ia melahirkan hanya setengan bulan atau kurang dari

empat bulan sepuluh hari sedangkan menurut malik dan ibn Abbas dan Ali bin

Abi Thalib ‘iddah perempuan tersebut diambil waktu yang terlama dari dua jenis
19

‘iddah tersebut apakah empat bulan sepuluh hari atau sampai melahirkan. Menurut

jumhur ulama antara lain hanafiyyah dan jumhur sahabat telah diriwayatkan

bahwa umar dan Abdullah bin mas’ud dan zaid bin shabit dan Abdulah bin umar

dan abu hurairah mengatakan : iddahnya ialah dengan melahirkan kandungan

yang ada di dalam perutnya meskipun suaminya ketika itu masih berada diatas

kasur tempat membaring manyat. “ini berarti bahwa ayat dari surat at-talaq

mentakhsis ayat surat al-baqarah yang menjelaskan ‘iddah bagi istri yang di

tinggal mati oleh suaminya adalah empat bulan sepuluh hari. Hal ini karena ayat

surat at-talaq di turunkan setelah ayat surah al-baqarah.

Dan bagi istri yang tidak dalam keadaan hamil. ‘iddah-nya adalah

empat bulan sepuluh hari berdasarkan surah Al-Baqarah 2 : 234. Dalam hal ini

tidak ada perbedaan baik istri masih kecil atau sudah dewasa, muslim atau

kitabiyyah begitu pula apakah sudah melakukan hungan atau belum karena ‘iddah

dalam kondisi seperti ini adalah untuk menunjukkan kesedihan dan rasa belah

kasih atas kematian suami hingga disyaratkan bahwa kadnya sahid. Jika akad

fasid maka “ iddah-nya dengan haid karena untuk mengetahui kebersihan rahim.

Semua ketentuan ini adalah bagi istri yang merdeka sementara jika istri Adalah

hamba sahaya dan hamil maka “iddah-nya sama dengan istri yang merdeka yaitu

sampai melahirkan dan jika tidak hamil dan masih mengalami haid “iddahnya

adalah dua kali haid berdasarkan hadist nabi :

Yang artinya : talaq bagi hamba sahaya adalah dua kali dan sucinya dua

kali.

c. ‘Iddah bagi istri qabla ad-dukhul


20

Adapun jika putusnya perkawinan terjadi sebelum dukhul hubungan seks

apabila disebabkan oleh kematian suami maka wajib bagi istri untuk ber’iddah

sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Dan jika putusnya nperkawinan

disebabkan karena talaq atau fasakh maka tidak ada kewajiban ‘iddah bagi istri.

Jika nikahnya berdasarkan akad sahih tidak disyaratkan adanya seks dukhul hakiki

hubungan seks. Dan tidak ada kewajiban “iddah bagi istri yang cerai sebelum

dicampuri qabla ad-dukhul berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Ahzab 33 :

49,

D. Hikmah “iddah

Perlu dimengerti bahwa Allah tidaklah meninggalkan perintah bagi kita

maupun kaidah-kaidah penetapan hukum kecuali didalamnya terdapat hikmah

yang tinggi untuk menolong manusia didunia mapun akhirat. Adapun hikmah

disyari’atkannya ‘iddah antara lain :

a. Mengetahui kebersihan rahim dan kesuciannya sehingga tidak

berkumpul benih dan laki-laki dalam satu rahim yang

menyebabkan bercampurnya keturunan.

b. Menunjukkan penghormatan terhadap akad dan

mengungkapkannya

c. Memperpanjang waktu untuk ruju’ bagi suami yang menjatuhkan

talaq raj’i.

d. Menghormati hak suami yang meninggal dengan menunjukkan rasa

sedih atas kepergiannya.

e. Kehati-hati ihtiyat terhadap hak suami yang kedua.


21

f. Memberikan kesempatan kepada keduanya secara bersama-sama

untuk memulai kehidupan keluarga dengan akad baru jika dalam

bentuk talaq ba’in.

g. Iddah bagi istri atas kematian suaminya

h. Memuliakan istri merdeka dari pada istri hamba sahaya

i. Perlindungan terhadap penyakit seks menular

Sebenarnya dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

khususnya dalam bidang kedoktoran, untuk mengetahui hamil atau tidaknya

seorang perempuan tidak harus menunggu minimal sampai satu kali haid, akan

tetapi dalam hal ini terdapat hikmah bahwa diantara maksudnya ditetapkan ‘iddah

adalah untuk memberikan waktu bagi kedua belah pihak untyk saling beepikir dan

intropeksi terhadap diri sehingga dapat membenahi dan mewujudkan kembali

kehidupan rumah tangga yang bahagia. Selain itu dengan ditetapkan ‘iddah

menunjukkan bahwa ikatan perkawinan adalah ikatan yang kokoh dan suci

misaqan galizan yang tidak mudah putus hanya dengan jatuhnya talaq. Karena

talaq adalah sesuatu yang boleh dilakukan tetapi sangat dibenci disisi Allah.

E. Gambaran umum tentang percampuran syubhat (wath’syubhat)

a. pengertian percampuran syubhat (wath’ syubhat)

wath’ berasal dari bahasa Arab ‫ وطء‬masdar dari kata ‫ وطء‬juga bisa bermakna

dimana kata tersebut mempunyai makna bersetubuh atau bercampuran.sedang

pengertian syubhat menurut Ensiklopedi hukum islam adalah suatu yang tidak

jelas apakah benar atau tidak atau masih mengandung kemungkinan benar atau
22

salah.Menurut kamus istilah agama, pengertian syubhat ialah samar-samar,yaitu

perkara-perkara yang kurang atau tidak jelas hukumnya apakah halal atau haram.

Percampuan syubhat adalah percampuran tidak halal yang

pelakunya dimaafkan(karena ada kesyubhatan)dan tidak dijatuhi hukuman baik

wanita termasuk muhrim,semasimal saudara perempuan istri.Atau dengan kata

lain percampuran syubhat adalah mencampuri seorang wanita yang sebenarnya

tidak berhak dicampuri karena ketidaktahuan pelakunya bahwa pasangan itu tidak

berhak untuk dicampuri.yang dimaksud syubhat dalam wath’ syubhat ialah

terjadinya percampuran diluar pernikahan yang sah,disebabkan oleh suatu hal

yang dimaafkan oleh syar’i yang melepaskan nya dari hukuman had.

a. sebab terjadinya percampuran syubhat (wath’ syubhat).

Sebab-sebab yang dapat menyebabkan percampuran syubhat

(wath’syubhat) salah satunya yaitu lampu mati dimana seorang suami mengalami

salah sangka dikarenakan ketidaktahuannya terhadap wanita lain yang bukan

istrinya dari suami tersebut baru mengetahui setelah terjadi percampuran.jadi

salah persangkaan itulah yang terjadinya wath’syubhat Dimana suami

menganggap yang dicampuri adalah istrinya.

Hal ini juga bisa dimungkinkan karena wanita tersebut

mewakilkan perkawinannya kepada wanita lain dan si laki-laki pun juga

melakukan hal yang sama.sehingga setelah terjadinya akad keduanya melakukan

persetubuhan,karena menganggap bahwa perkawilan semata dapat menghalalkan

percampuran.Atau salah persangkaan terjadi karena adanya kemiripan antara

istrinya dengan wanita yang dicampurinya tersebut.dalam masalah salah


23

persangkaan ini berbeda dengan masalah zina.wath’syubhat(percampuran

syubhat) pelakunya dimaafkan dengan alasan salah persangkaan.Namun dalam

masalah zina,pelaknya mendapatkan hukuman (had).

a. Pendapat para ulama ‘tentang what’syubhat

Para ulama ‘berbeda-beda pandangan dalam memberikan

keterangan tentang wath’syubhat (percampuran syubhat). wath’syubhat adalah

suatu perbuatan yang mana akibat dari perbuatannya tersebut si perbuatannya

tersebut si pelaku tidak mendapat hukuman sebab adanya kesyubhatan itu sendiri.

Wath’syubhat menurut As Al-Syafi’i terbagi menjadi:

1) Syubhat fa’il

Yaitu, persetubuhan yang terjadi antara seorang laki-laki dan

perempuan yang dianggap istrinya budaknya namun ternyata bukan.

2) Syubhat Al Malik

Yaitu persetubuhan yang terjadi antara seorang budak dengan

majikannya.yang mana budak tersebut telah dibeli oleh majikan tersebut namun

keduanya.

3) Syubhat thoriq

Yaitu ketika seorang perempuan menikah yang menikah tanpadanya

sanksi dan wali,namun setelah terjadinya akad keduanya melakukan persetubuhan

karena menganggap nikahnya sah.sedangkan menurut Hambali wath’ syubhat

adalah persetubuhan seorang budak dengan majikanya namun antara keduanya

tidak jelas.Atau persetubuhan yang terjadi dalam pernikahan yang nikahnya fasid.
24

Kalau imam Al-syafi’imendefinisikan iddah sebagai masa menunggu,imam

maliki mengartikannya sebagai masa yang mencegah wanita untuk

melangsungkan sebuah pernikahan setelah terjadinya talaq,rusaknya pernikahan

atau ditinggal mati suaminya.Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa imam

Maliki tidak mewajibkan idda bagi wanita yang melakukan persetubuhan dengan

akad yang melakukan persetubuhan dengan akad fasid’adanya syubhat dan

perzinahan.

Imam Maliki mengibaratkan syubhat sebagai sesuatu yang tidak

disengaja.Apabila seseorang melakukan sesuatu dengan tidak sengaja,seperti

seseorang suami yang telah menceraikan istrinya dengan talaq baiin kemudian ia

menyetubuhinya dalam keadaan lupa atau seorang suami yang hendak melakukan

ritual bersama istrinya(jima’)kemudian ia salah menyetubuhi dan seseorang yang

baru masuk islam yang belum mengerti bahwa berzina itu haram.itu semua masuk

kedalam glongan syubhat menurut Imam Maliki.

Menurut Imam Maliki iddah adalah ”Masa yang mencegah seseorang

wanita untuk melangsungkan pernikahan dengan sebab talaq,ditinggal mati suami

atau rusaknya pernikahan.”

Dari definisi yang dikemukakan di atas,Imam Maliki tidak

mewajibkan iddah bagi wanita yang disetubuhi (wath’) secara syubhat dan Imam

Maliki mewajibkan iddah kepada seseorang wanita yang sudah berada dalam tali

pernikahan sehingga persetubuhan syubhat tidak terdapat tali pernikahan di

dalamnya.oleh karena itu,Imam Maliki menyamakan persetubuhan syubhat


25

dengan zina.Wanita tersebut harus mensucikan dirinya dirinya dalam waktu yang

sama dengan iddah.

Akibat wanita berzina terkenal hukuman had, maka wanita yang

disetubuhinya secara syubhat un harus melaksanakan hukuman had. Akan tetapi,

karena persetubuhan syubhat adalah persetubuhan yang keliru gugurlah

huyukuman hadd dengan alasan ketidaktahuan dari kedua belah pihak dan

keyakinan yang ada dalam hati bahwa itu adalah pasangan nya.

Imam maliki dalam kasus iddah persetubuhan syubhat tidak

mewajibkan kepada sang wanita untuk menjalani masa iddah, akan tetapi ia harus

menunggu sekuran iddah. Sebagaimana perkataan imam maliki.

Yang artinya : “dan dengan hal tersebut (definisi iddah di atas), diketahui

bahwasanya persetubuhan (wath) dengan akad yang rusak, persetubuhan syubhat

dan persetubuhan zina tidak diwajibkan untuk beriddah dengan makna ini

(definisi iddah di atas), akan tetapi salah satu dari setiap persetubuhan tersebut

harus mensucikan rahimnya seperti ukuran iddah”.

Imam maliki menyamakan iddah persetubuhan syubhat dengan zina

sebagaimana yang dikemukakan Syeikh kamil muhammad uwaidah : “zinz adalah

hubungan badan yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan tanpa melalui

pernikahan yang sah, baik melalui alat kelamin atau dubur.

Anda mungkin juga menyukai