Anda di halaman 1dari 11

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. ²

Dalam melaksanakan pernikahan diibaratkan membangun sebuah bangunan,

sehingga harus dipersiapkan segala sesuatunya karena dengan hal tersebutlah

pernikahan akan langgeng dan bahagia.³

Namun dalam kenyataannya untuk membina suatu perkawinan yang

bahagia tidaklah mudah, bahkan kehidupan perkawinan kandas ditengah jalan.

Bukannya kebahagiaan atau ketenangan yang didapati didalam rumah tangga,

tetapi yang sering terjadi adalah pertengkaran bukan kecocokan. Yang terjadi

antara suami dan istri melainkan semakin menimbulkan perbedaan satu sama lain.

Tidak sedikit pasangan muda atau setelah memiliki anak kemudian berpisah

karena tidak menemukan kecocokan dengan pasangannya sehingga akhirnya

rumah tangga menjadi berantakan dan bercerai. Sebernarnya tidak perlu terjadi

perceraian bila berbagai problem rumah tangga dan keluarga bisa diatasi bersama

dengan penuh bijaksana seperti masalah ekonomi, krisis cinta atau persingkuhan.

Dalam Al-Qur’an perceraian tidak dianjurkan, tetapi diperlukan sebagai

realita yang ada dalam kehidupan manusia. Al-Qur’an memperbolehkan praktik

perceraian dan aturan-aturan yang rinci dan spesifik tentang percaraian bila

pasangan suami istri sudah tidak serasi lagi.


2

Mengenai perceraian, pria mempunyai hak dan wanita mempunyai hak yang

seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang baik, tetapi pria mempunyai

satu kelemahan dibanding wanita. Dan wanita memiliki hak dan apapun yang

terjadi harus dipenuhi dengan adil. Jika suatu pernikahan putus, maka sebagai

akibat hukum yang wajib diperhatikan oleh yang bersangkutan ialah masa ‘iddah

dan ruju’. Bagi seorang istri yang putus perkawinan dari suaminya, berlaku

baginya waktu tunggu atau masa ‘iddah kecuali apabila seorang istri dicerai

suaminya sebelum berhubungan (qubl dukhul). Baik karena kematian, perceraian

atau atas keputusan pengadilan.

Wanita-wanita yang diceraikan karena ba’da dukhul harus menunggu

selama tiga masa suci menstruasi (quru’) untuk menentukan ihwal apakah mereka

hamil atau tidak serta tidak boleh menyembunyikan apa yang di ciptakan Allah

dalam rahim nya. ‘iddah sudah ada sejak zaman jahiliyah. Mereka tidak pernah

meninggalkan kebiasaan ‘iddah. Ketika islam datang, ‘iddah terus dijalankan dan

diakui karena dalam ‘iddah tersebut mengandung kebaikan. Para ulama sepakat

bahwa ‘iddah hukum nya wajib. Sesuai denga firman Allah SWT al-Qur’an surat

Al-Baqarah ayat 228 :

         


            
          
          


Artinya : wanita –wanita yang ditolak hendaklah menahan diri (menunggu)


tiga kali quru’...(Al-Baqarah ayat [2] : 228)
3

Iddah dalam istilah agama menjadi nama bagi masa lamanya bagi

perempuan (istri) istri menunggu dan tidak boleh kawin. Setelah kematian

suaminya, atau setelah pisah dari suaminya. Secara bahasa ‘iddah adalah bilangan

atau hitungan, karena masa ‘iddah itu harus dihitung dengan masa bersih wanita

dari haid atau dihitung dengan jumlah bulan. Sedangkan menurut istilah‘iddah

ialah waktu tunggu seorang janda, ia boleh kawin, untuk mengetahui keadaannya

mengandung atau tidak, juga sebagai ta’abud kepada Allah, ‘iddah juga

mempunyai tujuan syari’ah diantaranya adalah untuk menjaga keturunan, dari

percampuran dengan benih lain ( li ma’rifah bara’ah rahm) littahayiah

(mempersiapkan diri) dan memberim kesempatan terjadi proses ruju’.

‘iddah diwajibkan karena cerai oleh suami yang masih hidup yang pernah

mengaulinya pada dubur atau qubulnya. Baik dengan cara talaq atau mufasakh

nikah oleh suami yang bersa ditempat atau tengan tiada dalam waktu yang cukup

lama, tapi jika suami belumpernah mengaulinya maka tidak wajib ‘iddah

sekalipun diyakini tidak terjadi kehamilan, misalnya istri masih kecil, suami

masih kecil, seperti halnya orang laki-laki yang salah mengaulinya seorang

perempuan yang Diyakini sebagai istrinya, kemudian ternyata bukan, maka wanita

yang dicampuri tersebut wajib menjalani ‘iddah, hal ini di sebut salah

persangkaan.

Salah satu persangkaan ninilah yang disebut dengan wath’syubhat.

Percampuran syubhat ialah percampuran yang tidal halal yang pelakuannya

dimaafkan karena adanya kesyubhatan dan tidak dijatuhi hukuman, baik wanita

tersebut termasuk wanita muhrim, semisal saudara perempuan tiri, wankita yang
4

sudah besuami maupun wanita lain yang belum kawin, karena persetubuhan

secara syubhat sama hukumannya dengan persetubuhan dalam perkawinan yang

sah soal nasabnya.

Dari uraian tersebut di atas, penulis berkepentingan membahas tentang

kewajiban ‘iddah akibat wath’syubhat dalam skripsi dengan judul ‘iddah bagi

perempuan hamil karena wath’syubhat (kajian fiqh Syafi’iyyah).

B. Rumusan Masalah

Setelah penulis pemamparan latar belakangmasalah yang menjadi motivasi

dalam penulisan skripsi ini, maka timbul beberapa permasalahan yang

memerlukan pemecahan dan penyelesaian yaitu :

1. Bagaimana fiqh Syafi’iyyah tentang ‘iddah bagi perempuan hamil akibat

wath’syubhat.

2. Bagaimana metode istimbat fiqh Syafi’iyyah dalam menetapkan hukum


tentang kewajiban ‘iddah akibat wath’syubhat.

C. Tujuan Penelitian

Dalam Penulisan Skipsi ini ada beberapa tujuan yang hendak dicapai, yaitu :

1. Untuk dapat mengetahui pendapat fiqh Syafi’iyyah tentang kewajiban

‘iddah bagi perempuan hamil akibat wath’syubhat.

2. Untuk mengetahui metode dalam menetapkan hukum tentang kewajiban

‘iddah akibat wath’syubhat.

D. Kegunaan Hasil Penelitian

1. Sebagi sumbangan bagi pengembangan hukum islam khususnya fiqh

Syafi’iyyah khususnya berkenan dengan ‘iddah wath’syubhat.


5

2. Untuk memberikan gambaran yang jelas tentang masalah ‘iddah

wath’syubhat sehingga umat bisa mengetahuinya dan mengamalkan

bagaimana ketentuan yang telah digariskan dalam islam.

E. Penjelasan Istilah

1. ‘iddah

Menurut bahasa kata ‘iddah berasal dari kata al-‘adad. Sedangkan kata

al-‘adad merupakan bentuk masdar dari kata kerja al-‘adda-ya’uddu yang yang

berarti menghitung. al-‘adda-ya’uddu memiliki arti ukuran dari suatu yang

dihitung dan jumlahnya. Adapun bentuk jama’ dari kata al-‘adad begitu pulak

bentuk jama’.

Dari kata ‘iddah atau al-‘adad. dan dikatakannya juga bahwa seorang

perempuan telah ber’iddah karena kematian suaminya atau ditalak suami

kepadanya.

Menurut sayyid Sabiq yang dimaksud dengan ‘iddah dari segi bahasa adalah

perempuan (istri) menghitung hari-hari dan masa bersihnya. Sementara al-jaziri

menyatakn bahwa kata ‘iddah mutlak digunakan untuk menyebut hari-hari haid

perempuan atau hari-hari sucinya. Dari sisi terminologi maka terdapat beberapa

definisi ‘iddah yang dikemukakan oleh para fuqaha. Meskipun dalam redaksi

yang berbeda, berbagai tersebut memiliki kesamaan secara garis besarnya.

Menurut al-Jaziri ‘iddah secara syar’i memiliki makna yang lebih luas dari

pada makna bahasa yaitu masa tunggu seorang perempuan yang tidak hanya

didasarkan pada haid atau sucinya tetapi kadang-kadang juga didasarkan pada
6

bilangan bulan dengan melahirkan dan selama masa tersebut seorang perempuan

dilarang untuk menikah dengan laki-laki lain. Abu Yahya Zakariyya Al-Ansarhari

memberikan definisi ‘iddah sebagai masa tunggu seorang perempuan untuk

mengetahui kesucian rahim untuk ta’abbud (beribadah) atau untuk tafajju’ (bela

sungkawa) terhadap suaminya. Dalam definisi lain dijelaskan bahwa ‘iddah

menurut ‘urf syara’adalah nama untuk suatu masa yang ditetapkan untuk

mengakhiri apa yang tersisa dari pengaruh-pengaruh pernikahan.

Muhammad Zaid al-Ibyani menjelaskan bahwa ‘iddah memiliki tiga makna

yaitu makna secara bahasa, secara syar’i dalam istilah fuqaha. Menurut makna

bahasa berarti menghitung secara syar’i adalah masa tunggu yang diwajibkan bagi

perempuan maupun laki-laki ketika terdapat sebab. Adapun dalm istilah fuqaha

yaitu masa tunggu yang diwajibkan bagi perempuan ketika putus perkawinan atau

karena perkawinan syubhat.

Dari berbagai defini yang ‘iddah telah dikemukakan diatas maka dapat

dirumuskan sebuah pengertian yang komprehensif tentang ‘iddah yaitu masa

tunggu yang ditetapkan bagi perempuan setelah kematian suami atau putus

perkawinan baik berdasarkan masa haid atau suci, bilangan bulan atau dengan

melahirkan untuk mengetahui kesucian rahim, beribadah (ta’abbud) maupun bela

sungkawa atas suaminya. Selama masa tersebut dilanrang menikah dengan laki-

laki lain.
7

1. Percampuran

Wath’ berasal dari bahasa arab masdar dari kata juga bisa bermakna

dimana kata tersebut mempunyai makna bersetubuh atau bercampur. Sedang

pengertian syubhat atau ensiklopedi hukum islam adalah suatu yang tidak jelas

apakah benar atau tidak atau masih mengandung kemungkinan benar atau salah.

Menurut istilah agama, pengertian syubhat ialah samar-samar, yaitu

perkara-perkara yang kurang atau tidak jelas hukumnya apakah halal atau haram.

Percampuran syubhat adalah percampuran tidak halal yang pelakunya dimaafkan

(karena ada kesyubhatan) dan tidak dijatuhi hukuman baik wanita termasuk

muhrim, semisa saudara perempuan istri.

Dengan kata lain percampuran syubhat adalah mencampuri seorang wanita

yang sebenarnya tidak berhak dicampuri karena ketidaktahuan pelakunya bahwa

pasangannyaiytu tidak berhak untuk dicampuri. Yang dimaksud syubhat dakam

wath’ syubhat ialah terjadinya percampuran diluar pernikahn yang sah,

disebabkan oleh suatu hal yang dimaafkan oleh syar’i yang melepaskan nya dari

hukuman had.

2. Fiqh Syafi’iyyah

Imam al-Syafi’i sebagai pediri mazhab al-Syafi’i merupakan salah satu

tokoh hukum islam yang amat terkenal. Nama lengkapnya adalah Muhammad bin

Idris al-Syafi’i al-Quraisyi. Dilahirkan didesa gazah pelestina pada tahun

150H/767M, dan wafat di mesir pada tahun 204 H / 819 M. Sisilah beliau dengan

nabi Muhammad bertemu pada datuk mereka. Abd Al-Manaf. Jelasnya adalah

Muhammad bin Idris bin Abbas bin Usman in Syafi’i bin Syu’ib bin Ubaid bin
8

Ali Yazid bin Hasyim bin Muttaib bin ‘Abd al-manaf datuk Muhammad SAW.

Al-Syafi’i bin Syu’ib adalah yang menjadi nisbat al-Syafi’i. Syafi’i bertemu nabi

pada masa kecilnya dan ayahnya masuk islam pada saat perang badar. Jadi al-

Syafi’i adalah keturunan Quraisy, tetapi ibunya bukan dari keturunan Quraisy

tetapi berasal dari suku’Ad (dari yaman) bukan keturunan ‘Alawiyyah.

Adapun fiqh syafi’i yang penulis maksud di sini adalah ulama-ulama fiqh

dari kalangan Ahlussunnah Waljama’ah yang mengikuti mazhab imam al-Syafi’i.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah suatu cara yang ditempuh dalam mencari,

menggali, mengolah dan membahas data dalam suatu penelitian. Supaya dapat

memperoleh hasil yang valid dan dapat dipertanggumg jawabkan maka penulis

menggunakan beberapa metode, yaitu.

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang akan dilakukan berupa penelitian kualitatif,

penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami

fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya pelaku,

persepsi, motivasi, tindakan,dll. Karena penulus menggunakan jenis penelitian

kepustakaan maka, penulis membaca kitap-kitap, buku-buku dan

menganalisasisnya guna memperoleh data-data yang diperlukan berkaitan dengan

masalah yang dibahas dalam skripsi ini.

2. Sumber Data
9

Sumber data yang dimaksud dalam penelitian adlah subjek dari mana dapat

diperoleh. Maka data-data yang digunakan terdiri dari:

a. Data primer

Sumber data primer, merupakan data yang memperoleh dari sumber asli

yang memuat suatu informasi. Dalam hal menulis menggunakan kitap ulam

mazhab al-Syfi’i seperti al-bajuri, I’anatuttalibin san Al-Mahali, Tahzib Al-

Asma’wa Al-Lughah, FatH al-Wahab dan kitap mutabar lainnya sebagai data

primer.

b. Data sekunder

Sumber data sekunder, merupakan data yang diperoleh dari sumber

yang bukan asli atau bersifat komplemen yaitu: fiqih sunnah karya sayyid sabiq,

kitap al-Mubsuth karya Imam As-Syakarkhasi, Fath al-Qadir karya Imam

Kamaluddin, dan buku-buku yang berkaitan dengan ‘iddah.

3. Tehnik pengumpulan data

Sesuai dengan jenis penelitian ini maka data-data yang dibutuhkan

dikumpulkan dengan cara menelusuri buku-buku maupun hasil penelitian yang

memiliki kesesuaian dengan pokok masalah. Karena jenis penelitian ini adalah

library reseach, maka pada tahap pengumpulan data menggunakan bahan-bahan

pustaka tentang ‘iddah dalam fiqh Syafi’iyyah yang relavan dan representatif.

4. Penelitian analisa data

Penelitian ini bersifat deskritif-analitis. Setelah data terkumpul akan

dideskripsikan terlebih dahulu seputar masalah ‘iddah secara umum. Kemudian

dilanjutkan denagn pembahasan pada pokok masalah tentang ‘iddah perempuan


10

hamil karena wath’ syubhat dan dalil yang digunakan ulama mazhab al-syafi’i dan

terakhir akan dianalisir ketentuan yang terdapat dalam kitap mu’tabar berkaitan

dengan ‘iddah tersebut. Umpamanya, pene;itian menggunakan teks al-Quran dan

pemikiran ulama didalam berbagai kitap fiqh dapat menggunakan metode ini.

Setelah itu dilakukan pengelompokan yang disusun secara logis dan

sistematis, kemudian dianalisis secara deskriptif, yaitu berusaha memamparkan

tentang ‘iddah perempuan hamil karna wath syubhat terhadap pendapat mazhab

imam Al-Syafi’i. Selanjutnya data-data yang ada diuraikan dan analisis dengan

secermant mungkin sehingga dapat ditarik kesimpulan.

5. Jadwal Penelitian

Jadwal penelitian ini penulis lakukan dan berhasil merangkum dalam waktu

beberapa bulan dimulai dari pertengahan bulan Agustus hingga akhir bulan April

2021.

Tabel Jadwal Penelitian

Tahapan Kegiatan Waktu pelaksanaan

15 Februari 2021 6 Maret 2021 15 April 2021

Persiapan proposal

Pengajuan skripsi

Konsultasi
11

6. Teknik penulisan

Untuk menjaga keseragaman dalam penulisan dan untuk memenuhi

pesyaratan dalam skripsi penulisan berpedoman pada buku ‘paduan penulisan

karya ilmiah’ yang diterbitkan oleh Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) Dayah

AMAL tahun 2015.

Anda mungkin juga menyukai