Disampaikan pada diskusi kelas tadris ipa fisika dalam mata kuliah
HUKUM ISLAM
OLEH kelompok : 9
Yuliarti 2114080046
DOSEN PEMBIMBING:
Dr.Meirison MA
1443 H / 2022 M
1
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI……………………………………………………2
BAB I ……………………………………………………………3
PENDAHULUAN………………………………………………3
1. Latar Belakang……………………………………………3
2. Rumusan Masalah………………………………………...3
BAB II……………………………………………………………4
PEMBAHASAN………………………………………………...4
BAB III………………………………………………………….10
PENUTUP……………………………………………………...10
1.Kesimpulan………………………………………………...10
2.Saran……………………………………………………….10
DAFTAR PUSTAKA………………………………………….11
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pada dasarnya harapan setiap insan yang telah melakukan pernikahan adalah terciptanya
cita-cita suci rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan warohmah. Dipenuhi dengan
kegembiraan karena telah hidup berdampingan bersama seseorang yang di idam-idamkan
sebelumnya, mempunyai hubungan harmonis di antara keduanya dan mampu saling
menyayangi dan mengasihi selamanya.
Akan tetapi, harapan itu terkadang tidak berjalan dengan yang seharusnya, permasalahan
dalam rumah tangga adalah sebuah keniscayaan dan tidak dapat dielakkan. Dan ketika
permasalah tersebut tidak lagi menemukan titik terang untuk diselesaikan, dan karena jika
terus diupayakan hidup berdampingan satu atap akan membuat salah satu pasangan
terluka baik karena penyelewengan pihak suami atau istri, dan atau adanya saling emosi
sehingga terjadi pertengkaaran dan saling pukul di antara keduanya. Maka perceraian
adalah satu satunya jalan yang dirasa baik untuk pasangan tersebut. Akibat perceraian
dalam pernikahan adalah Iddah.
B. Rumusan Masalah
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Iddah
Iddah adalah berasal dari kata al-add dan al-ihsha yang berarti bilangan. Artinya jumlah bulan
yang harus dilewati seorang perempuan yang telah diceraikan (talak) atau ditinggal mati oleh
suaminya. Adapun makna iddah secara istilah adalah masa penantian seorang perempuan setelah
diceraikan atau ditinggal mati oleh suaminya. Akhir masa iddah itu ada kalanya ditentukan
dengan proses melahirkan, masa haid atau masa suci atau dengan bilangan bulan.
"Menurut Ulama Hanafiyah iddah adalah ketentuan masa penantian bagi seorang perempuan
untuk mengukuhkan status memorial pernikahan (atsar al-nikah) yang bersifat material, seperti
memastikan kehamilan. Atau untuk merealisasikan hal-hal yang bersifat etika-moral, seperti
menjaga kehormatan suami. Kalangan Malikiyah memberikan definisi lain. Menurutnya iddah
merupakan masa kosong yang harus dijalani seorang perempuan. Pada masa itu ia dilarang
kawin disebabkan sudah ditalak (cerai) atau ditinggal mati sang suami.
Menurut mazhab Syafi'iyyah iddah adalah masa menunggu bagi seorang wanita guna
mengetahui apakah di dalam rahimnya ada benih janin dari sang suami atau tidak. Iddah juga
disimbolkan sebagai kesedihan seorang wanita atas kematian suami. Atau iddah merupakan
konstruksi agama yang lebih menggambarkan nuansa ibadah (ta'abbudi). Alasan ta'abbudi ini
berlaku pada seorang istri yang masih kanak-kanak lalu ditalak atau ditinggal mati suaminya.
Karena anak kecil belum waktunya untuk diajak bersenggama, maka mustahil rahimnya terisi
benih. Kewajiban iddah bagi perempuan yang masih kanak-kanak ini tiada lain hanya untuk
menghormati sebuah ikatan perkawinan. Sebab, tidak menutup kemungkinan setelah terjadi
perceraian ada rasa sesal dari kedua belah pihak. Sehingga terbuka kesempatan untuk kembali
merajut tali kasih sesuai dengan waktu yang tersedia. Sedangkan menurut kalangan mazhab
Hanabilah, iddah adalah masa menunggu bagi wanita yang ditentukan oleh agama, kelompok ini
sama sekali tidak pernah menyinggung mengapa harus ada waktu menunggu bagi seorang wanita
setelah ditalak atau ditinggal mati suaminya.
4
C. Jenis-jenis Iddah
Ada dua macam iddah, yaitu iddah karena perceraian dan iddah karena kematian suami."
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang
beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali sekali
tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah
mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik baiknya.
Kategori kedua adalah perempuan yang diceraikan dan sudah disetubuhi. Bagi perempuan
yang dalam kategori seperti ini, dia memiliki dua keadaan."
a) Perempuan itu dalam keadaan hamil. Masa iddah baginya adalah sampai melahirkan
kandungannya. Allah Swt berfirman dalam surat
al-Thalaq 65:4 :
Artinya: dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-
perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah
tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan
yang hamil
5
b) Perempuan itu tidak dalam keadaan hamil. Dalam keadaan seperti ini, dia tidak luput dari
dua kemungkinan. Pertama, dia masih menstruasi. Dalam keadaan ini iddahnya adalah tiga
kali menstruasi. Allah berfirman dalam surat al-Baqarah 228:
Artinya: wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru tidak
boleh mereka. menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka
beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa
menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan para wanita mempunyai hak yang
seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai
satu tingkatan kelebihan dari pada isterinya dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."
Kata quru disini lebih tepat diartikan dengan menstruasi, bukan suci. Makna ini dikuatkan
sebuah hadis Aisyah. Aisyah menceritakan, Ummu Habibah tengah mengalami menstruasi. Dia
lalu bertanya kepada Rasulullah Saw dan beliau menyuruhnya untuk meninggalkan shalat pada
hari-hari menstruasinya. Kedua, dia tidak mengalami masa-masa menstruasi, seperti anak kecil
yang belum menstruasi atau perempuan dewasa yang sudah menopouse. Masa iddah bagi
perempuan seperti ini adalah selama tiga bulan.
ٍ ٌف ال أج هٍٓ ب ه غٍ ف ئرا ٔع ششا أ شٓش أسب عت ب أَ ف سٍٓ ٌ خشب صٍ أصٔجا ٌٔ ذسٌٔ ي ُ كى ٌ خٕف ٌٕ ٔان ز
= خ ب ٍش ح عً هٌٕ ب ًا ٔ هللا ب ان ً عشٔف ف سٍٓأٌ ف ً ف ع هٍ ف ًٍا ع ه ٍ كى ج ُاح
6
kemudian apabila telah habis iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka
berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. "
7
itu tinggal. Hal ini tentunya membuat masa ‘iddahnya berbeda-beda sesuai
keadaannya.
f. Wanita yang tidak mengalami haid tanpa diketahui sebabnya
Wanita yang mengalami perpisahan dengan suaminya, yang awalnya dia selalu lancar
haid lalu tiba-tiba dia tidak haid kembali tanpa diketahui sebabnya,maka jika haid
wanita tersebut datang kembali maka sang wanita ber’iddah pada masa haid itu.
Apabila haid sang wanita tidak kembali lagi, maka masa ‘iddahnya selama satu tahun
sejak berhentinya haid nya.
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian menikahi wanita- wanita yang beriman,
kemudian kalian hendak menceraikan mereka sebelum kalian mencampurinya, maka sekali kali
tidak Wajib atas mere ka ‘iddah bagi kalian yang kalian minta menyempurnakannya. Maka
berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.“(A1-
Ahzab: 49).
Mut’ah memiliki makna yaitu pemberian untuk menyenangkan hati istri yang diceraikan
sebelum dicampuri.
8
E. Hikmah Iddah
1. Dapat memberikan jalan bagi suami istri untuk kembali membangun pernikahannya, jika
kedua belah pihak masih dapat melihat kesepatan didalamnya untuk memperbaiki keadaan,
sehingga membuat suami istri tersebut kembali rujuk dan membang rumah tangganya yang
harmonis kembali.
2. Untuk membersihkan keadaan rahimm dan dapat mengetahui apakah istri yang diceraikan
tersebut mengalami kehamilan atau tidak didalam rahimnya. Selanjutnya, memelihara
apabila sang wanita tersebut hamil, agar menjadi jelas siapa ayah dari bayi yang dikandung
wanita tersebut.
3. Agar seorang wanita yang diceraikan dapat merasakan kesedihan yang dialami oleh
keluarga suaminya dan anak-anaknya, serta untuk menempati janji suaminya. Hal ini
terjadi apabila ‘iddah tersebut disebabkan oleh kematian suami.
4. Masa ‘iddah berperan untuk melindungi dan menghindari wanita dari tidak
kejelasan garis keturunan yang ada, apabila seorang wanita dipaksa menikah kembali oleh
pihak lain.
5. Masa ‘iddah dianjurkan untuk melindungi hak janin seperti nafkah
dan kebutuhannya setelah dilahirkan didunia apabila wanita yang diceraikan dalam
keadaan sedang hamil.
9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Iddah adalah berasal dari kata al-add dan al-ihsha yang berarti bilangan. Artinya jumlah
bulan yang harus dilewati seorang perempuan yang telah diceraikan (talak) atau ditinggal
mati oleh suaminya. Adapun makna iddah secara istilah adalah masa penantian seorang
perempuan setelah diceraikan atau ditinggal mati oleh suaminya. Akhir masa iddah itu
ada kalanya ditentukan dengan proses melahirkan, masa haid atau masa suci atau dengan
bilangan bulan.
Ada 2 macam iddah:
1. Iddah karena perceraian
2. Iddah karena kematian
Salah satu dalil untuk masa iddah yaitu, ‘Iddah wajib bagi seorang wanita yang
diceraikan oleh suaminya, baik akibat karena kematian atau dijatuhkan talak oleh sang
suami. Berikut merupakan dalil yang menjadi landasan masa ‘iddah sesuai firman Allah
swt sebagai berikut:
“Orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan meninggalkanisteri-isteri,
maka hendaklah para isteri itu menangguhkan diri nya (ber’iddah) empat bulan sepuluh
hari.“(Al-Baqarah: 234).
B. Saran
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat terutama bagi diri penulis sendiri, dan
memberikan manfaat pula bagi para pembaca. Namun, tidak menutup kemungkinan
makalah ini bisa terselesaikan dengan sempurna, maka dari itu kritik dan saran dari para
pembaca kami harapkan terutama dari Bapak dosen pengampuh.
10