Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

FIQIH MUNAKAHAT
Tentang Ihdad

Dosen Pengampu : Hud Leo Perkasa Maki,M.H.I

Disusun Oleh :

1. Helda Noviyani (1602030007)


2. Ika Isnaini (1602030076)
3. Kelin Ama Relfy (1602030027)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) METRO

KOTA METRO

T.P 2017/2018
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah atas segala rizki yang Allah berikan pada kita, atas
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya dan
dalam keadaan tidak kurang suatu apapun.

Dalam pengerjaan makalah ini penulis menyampaikan terimakasih atas


segala bantuan yang telah diberikan. Penulis menyampaikan terima kasih kepada
Allah SWT yang telah memberikan rizki kepada kita serta kesehatan sehingga
tugas ini dapat terselesaikan.

Semoga isi makalah ini dapat menambah ilmu bagi pembaca dan dapat
dimafaatkan sebaik-baiknya. Dan dalam pengerjaan makalah ini kami tidak lepas
dari kesalahan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca.

Metro, Oktober 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..................................................................................... i

KATA PENGANTAR.................................................................................. ii

DAFTAR ISI................................................................................................. iii

PENDAHULUAN ........................................................................................ 1

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ihdad .................................................................... 3


B. Larangan Dalam Masa Ihdad.................................................. 5
C. Anjuran Dalam Masa Ihdad.................................................... 5

KESIMPULAN ............................................................................................ 15

DAFTAR PUSTAKA

iii
PENDAHULUAN

Pernikahan merupakan sesuatu yang amat sakral dalam pandangan Islam.


Pernikahan juga merupakan salah satu sunnah Rasul yang harus di jalani dalam
mengarungi sebuah bahtera kehidupan serta menjadi suatu dasar yang penting
dalam memelihara kemashlahatan umum. Kalau tidak ada pernikahan, maka
manusia akan memperturutkan hawa nafsunya, yang pada gilirannya dapat
menimbulkan bencana dalam masyarakat. Pada dasarnya, dua orang (laki-laki dan
perempuan) melangsungkan pernikahan dan membangun rumah tangga dengan
tujuan untuk memperoleh kebahagian atau dikenal dengan istilah membentuk
keluarga sakinah, mawaddah, warahmah. Akan tetapi, pada kenyataannya tidak
semua rumah tangga yang terbentuk melalui pernikahan dilimpahi kebahagiaan.
Kadang ada saja masalah yang menimbulkan perselisihan yang dapat berujung
pada perceraian.
Islam sebagai agama yang sempurna telah mengatur segala hal tentang
kehidupan, termasuk pernikahan, perceraian ‘thalak’, ruju’, iddah, ihdad dan
sebagainya. Talak dapat dilaksanakan dalam keadaan yang sangat membutuhkan,
dan tidak ada jalan lain untuk mengadakan perbaikan. Hal ini antara lain
dibolehkan apabila suami istri sudah tidak dapat melakukan kewajiban masing-
masing sesuai dengan ketentuan agama, sehingga tujuan rumah tangga yang
pokok yaitu mencapai kehidupan rumah tangga yang tenang dan bahagia sudah
tidak tercapai lagi. Apalagi kalau rumah tangga itu dapat mengakibatkan
penderitaan-penderitaan dan perpecahan antara suami istri tersebut, maka dalam
keadaan demikian perceraian dapat dilaksanakan, yaitu sebagai jalan keluar bagi
segala penderitaan baik yang menimpa suami atau istri.
Namun demikian, bagi wanita yang dicerai oleh suaminya, baik cerai biasa
atau cerai mati (ditinggal mati), tidaklah boleh langsung menikah lagi dengan
laki-laki lain, melainkan ia harus menunggu untuk sementara waktu lebih dahulu.

1
PEMBAHASAN
A. Ihdad

Ihdad secara etimologi adalah menahan atau menjauhi. Secara definitif,


sebagaimana tersebut dalam beberapa kitab fikih, adalah “menjauhi sesuatu
yang dapat menggoda laki-laki kepadanya selama menjalani masa iddah”.
Pembicaraan di sini menyangkut: untuk siapa dia berbuat, kenapa dia berbuat,
apa yang tidak boleh diperbuat dan  hukum berbuat.1
Adapun mengenai untuk siapa, atau atas dasar apa seseorang melakukan
ihdad, hampir semua ulama berpendapat bahwa ihdad  hanya dilakukan untuk
suami yang menikahinya dengan nikah yang sah dan yang meninggal dalam
masa perkawinannya dan tidak berlaku untuk lainnya.
Masa berkabung (ihdad) bagi perempuan yang diatur oleh syari’at. 2
Perempuan berkabung atas kematian suaminya selama empat bulan sepuluh
hari, berdasarkan firman Allah SWT, yang berbunyi:

‫و الذين يتوفون منكم و يذرون أزواجا يتربصن بأنفسهن أربعة أشهر و عشرا‬

“Orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan meninggalkan


isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (beriddah)
empat bulan sepuluh hari…”  (QS. al-Baqarah: 234)

Mengenai kenapa seseorang harus berkabung, maka dalam hal  ini


menjadi bahasan di kalangan ulama. Adapun pendapat yang disepakati
adalah, bahwa ihdad atau berkabung hanya berlaku terhadap  perempuan yang
bercerai dari suaminya karena kematian suaminya.  Inilah maksud semula
dari ditetapkannya berkabung dalam Islam. Tujuannya ialah untuk
menghormati dan mengenang suaminya yang meninggal. Dasar dari

1
Hakam Abbas.blogspot.com/2014/01/iddah-dan-ihdad_8760.html
2
’Athif  Lamadhoh, Fikih Sunnah  Untuk  Remaja,  (Jakarta:  Cendekia
Sentra  Musliam, 2007), hal 258

2
kewajiban berkabung untuk suami yang meninggal itu adalah sabda Nabi
SAW yang berbunyi:

‫معت زينب بنت ام‬aa‫ال س‬aa‫افع ق‬aa‫د بن ن‬aa‫حدثنا محمد بن مثنى حدثنا محمد بن جعفر حدثنا شعبة عن حمي‬
‫ذا ألني‬aa‫نع ه‬aa‫ا أص‬aa‫الت إنم‬aa‫ذراعيها و ق‬aa‫حته ب‬aa‫فرة فمس‬aa‫دعت بص‬aa‫ة ف‬aa‫سلمة قالت توفي حميم ألبي حبيب‬
‫وق‬aa‫د ف‬aa‫ر ان تح‬a‫وم اآلخ‬aa‫ؤمن باهلل و الي‬aa‫رأة ت‬aa‫سمعت رسول هللا صلى هللا عليه و سلم يقول ال يحل الم‬
‫لى هللا‬a‫بي ص‬aa‫ا و عن زينب زوج الن‬aa‫ثالث إال على زوج أربعة أشهر و عشرا و حدثته زينب عن أمه‬
)‫عليه و سلم او عن امرأة من بعض أزواج النبي صلى هللا عليه و سلم (رواه البخاري‬

“Menceritakan padaku Muhammad bin al-Mutsanna menceritakan  padaku


Ja’far, menceritakan padaku Syu’bah dari Humaid bin Nafi’ berkata aku
mendengarkan Zainab binti Umm Salamah berkata Hamim (saudara laki-
lakinya) meninggalkan Ummi Habibah, kemudian Umi Habibah memakai
wangi-wangian berwarna kuning, kemudian mengusapnya dengan dua
tangannya, dan Ummi  Habibah berkata sesungguhnya aku memakai wangi-
wangian ini karena aku mendengarkan Rasulullah S.A.W bersabda, “Tidak 
boleh seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir
berkabungdi atas tiga hari, kecuali untuk suaminya selama  empat bulan
sepuluh  hari. Dan Ummi Habibah memberitahukan tentang ibunya dan
tentang Zainab isteri Rasulullah, dan tentang seorang perempuan yang
menjadi bagian istri Rasul.” (HR. Muslim)

Yang dimaksud dengan ihdad (masa berkabung) adalah masa di mana


seseorang harus memiliki rasa, yaitu; 1) Mempersiapkan. 2) Menata mental.
3) Menambahkan kesabaran bagi orang yang ditinggal. Di mana tiga poin di
sini adalah merupakan tawaran hukum agar seseorang melakukan hal yang
sesuai dengan (‫( )مبادئ الشريعة‬dasar syari’at) dari dasar syari’at tersebut antara
lain, dengan kompromi, keserasian dan keadilan. 
Sedangkan menurut hadits bahwa ihdad adalah:

3
‫لى هللا‬aa‫ول هللا ص‬aa‫الت أن رس‬aa‫عن ابو الربيع الزهراني عن حماد عن أيوب عن حفصة عن أم عطية ق‬
‫عليه و سلم قال ال تحد امرأة علي ميت فوق ثالث إال غلى زوج أربعة أشهر و عشرا و ال نلبس ثوبا‬
‫ق‬a‫ متف‬.‫ار‬a‫ط او إظف‬a‫ذة من قس‬a‫رت نب‬a‫ا إال إذا طه‬a‫مصبوغا إال ثوب عصب و ال نكتحل و ال تمس طيب‬
)‫عليه و هذا لفظ مسلم و ألبي داود و النسائي من الزيادة (و ال نختضب) و للنسائي (و ال تمتشط‬

“Dari Abu Rabi’ al-Zuhry sesungguhnya aku dari Hammad dari  Ayyub dari
Hafshah dari Ummi Athiyyah dia berkata sesungguhnya  Rasulullah S.A.W
bersabda tidak boleh berkabung bagi seorang  perempuan atas satu mayit
lebih dari tiga malam kecuali atas suami (boleh) empat bulan sepuluh hari
dan janganlah memakai pakaian (yang dimaksudkan untuk perhiasan,
sekalipun pencelupan itu dilakukan sebelum  kain  tersebut  ditenun, atau 
kain itu menjadi kasar/kesat (setelah dicelup).” dan janganlah bercelak,
memakai wangai-wangian  kecuail ia bersih dari qusth dan adzfar.”

Ali al-Salusi, dalam hal ini juga mendefinisikan ihdad, antara lain
sebagai berikut:

“Di antara makna ihdad secara etimologi adalah mencegah, dan di antara
pencegahan tersebut adalah pencegahan seorang perempuan  dari bersolek,
dan termasuk dalam kategori makna ihdad secara bahasa adalah
menjelaskan kesedihan, adapun ihdad menurut terminologi adalah
pencegahan atau menjaganya seorang perempuan dari bersolek dan
termasuk dalam makna ihdad adalah suatu masa tertentu di  antara masa-
masa yang dikhususkan, begitu juga di antara makna ihdad adalah
mencegahnya seorang perempuan dari tempat tinggalnya yang bukan tempat
tinggalnya.”
Ihdâd,dalam kitab-kitab kuning, selalu dinyatakan wajibdilakukan bagi
istri yang suaminya wafat dengan tujuan menyempurnakan penghormatan
terhadap ‘Iddah dan Ihdad| Abd Moqsith151 suami dan memelihara
haknya.Ihdâd disyari’atkan dalam ajaran Islam. berdasarkan firman Allah
SWT dalam Surat al-Thalâq (65) ayat 1:

4
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah
kamu ceraikan mereka dapat (menghadapi) ‘iddah-nya (yang wajar) dan
hitunglah waktu ‘iddah itu serta bertakwalah kepada Allah, Tuhanmu.
Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka
(diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang
terang”.
Selain itu, ihdâd juga didasarkan pada sabda Rasulullah SAW: “seorang
perempuan tidak boleh melakukan ihdâd lebih dari tiga hari, kecuali atas
kematian suaminya, maka ia melakukan ihdâd selama empat bulan sepuluh
hari...” (HR. al-Jama’ah kecuali al-Tirmidzi). 3
Ihdad secara etimologi adalah larangan untuk berhias,sedangkan Ihdad
secara terminologi adalah larangan memakai wewangian atau berhias dengan
pakaian untuk mempercantik diri (anggota tubuh). Ibnu Katsir berkata
“Berkabung itu suatu ungkapan, yang intinya ialah: tidak berhias dengan
wangi-wangian dan tidak memakai pakaian dan perhiasan yang bisa menarik
laki-laki. Dan berkabung itu wajib atas perempuan yang kematian seorang
suami”.4

B. Larangan dan Anjuran Wanita Selama Dalam Masa Ihdad

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

‫ش ًرا‬ ْ ‫ َأ ْربَ َعةَ َأ‬،‫ج‬


ْ ‫ش ُه ٍر َو َع‬ ٍ ‫ق ثَاَل‬
ْ ‫ ِإاَّل َعلَى‬،‫ث‬
ٍ ‫زَو‬ ٍ ِّ‫اَل ت ُِح ُّد ا ْم َرَأةٌ َعلَى َمي‬
َ ‫ت فَ ْو‬

“Seorang wanita tidak boleh ber-ihdad terhadap mayyit selama lebih dari tiga
hari, kecuali terhadap suaminya selama empat bulan sepuluh hari.” [HR. Al-
Bukhari dan Muslim dari Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu’anha]

3
Abd Moqsith Ghazali, ‘Iddah Dan Ihdad Dalam Islam:Pertimbangan Legal Formal Dan
Etik Moral,h.150-151
4
Muhammad Ali As-Shobuni, Rowangul Bayan, “Tafsirul Ayatil Ahkam
Minalqur’an,h.286

5
1) ‫أن تجتنب المرأة المعتدة المتوفى عنها زوجها كل ما يدعو إلى نكاحها ورغبة اآلخرين فيها من طيب‬
‫وكحل ولبس ومطيّب وخروج من منزل من غير حاجة‬.

“Seorang wanita yang berada dalam masa ‘iddah karena ditinggal mati
suaminya hendaklah menjauhi semua yang dapat menarik laki-laki untuk
menikahinya dan suka kepadanya, seperti minyak wangi, celak, pakaian
(yang indah), perhiasan dan keluar rumah tanpa hajat.”5

2) Tidak boleh melakukan ihdad lebih dari tiga hari, kecuali seorang wanita
yang ditinggal mati suaminya maka masa ihdadnya adalah 4 bulan 10 hari,
dan sampai melahirkan apabila sedang hamil .

3) Kewajiban seorang wanita di masa ihdad ada lima:


Tinggal di rumah suaminya, tidak boleh keluar dari rumah suaminya kecuali
karena suatu hajat darurat seperti untuk pengobatan karena sakit atau
membeli makanan apabila tidak ada orang lain yang membelikannya.

 Tidak mengenakan wewangian, baik di pakaian maupun di badan.


 Tidak mengenakan perhiasan dengan segala bentuknya.
 Tidak mengenakan pakaian yang indah.
 Tidak mengenakan celak mata.

4) Masa ‘iddah wanita (masa tidak boleh dinikahi oleh laki-laki lain setelah
terpisah dengan suaminya) yang ditinggal mati suaminya sama dengan masa
ihdad-nya, yaitu selama 4 bulan 10 hari, sebagaimana firman Allah ta’ala,

‫ش ًرا‬ ْ ‫س ِهنَّ َأ ْربَ َعةَ َأ‬


ْ ‫ش ُه ٍر َو َع‬ ِ ُ‫صنَ بَِأ ْنف‬ ً ‫َوالَّ ِذينَ يُتَ َوفَّ ْونَ ِم ْن ُك ْم َويَ َذرُونَ َأ ْز َو‬
ْ َّ‫اجا يَتَ َرب‬

5
Al-Imdad bi Ahkaamil Haddaad, Asy-Syaikh DR. Fayhan Syaali Al-
Mathiri,cet.Univ.Islam Madinah 1404H.h.148

6
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-
istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber-‘iddah) empat
bulan sepuluh hari.” [Al-Baqoroh: 234]

Kecuali wanita hamil maka masa ‘iddah-nya sampai melahirkan,


sebagaimana firman Allah ta’ala,

َ َ‫َوُأواَل تُ اَأْل ْح َما ِل َأ َجلُ ُهنَّ َأنْ ي‬


َّ‫ضعْنَ َح ْملَ ُهن‬

“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu ‘iddah mereka itu ialah


sampai mereka melahirkan kandungannya.” [Ath-Tholaaq: 4]
5) Apabila seorang wanita tidak melakukan ihdad selama masa ‘iddah kematian
suami maka ia berdosa, dan apabila ia menikah di masa ‘iddah tersebut maka
nikahnya batil. Adapun jika ia tidak melakukan ihdad dan menikah setelah
berakhir masa ‘iddah maka ia berdosa namun nikahnya sah
6) Tidak boleh keluar rumah untuk sekedar jalan-jalan atau berkunjung dan
boleh mengunjungi keluarganya, seperti ibunya jika dalam keadaan perlu
untuk dikunjungi .
7) Tidak boleh keluar rumah untuk sholat di masjid, bahkan wanita lebih afdhal
sholat di rumah di masa ihdad maupun tidak
8) Boleh menjalani ihdad di selain rumah suaminya apabila ada suatu bahaya
atau fitnah di rumah suaminya
9) Wanita yang tidak menjalani ihdad maka ia berdosa, hendaklah ia memohon
ampun dan bertaubat
10) Wanita yang baru mengetahui kematian suaminya setelah selesai masa ‘iddah
dan ihdad-nya maka tidak ada lagi masa ‘iddah dan ihdad-nya, namun jika
masih tersisa masanya hendaklah ia menjalani waktu yang tersisa saja.6

Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu ‘anha berkata:


6
Soynanurary.info/masa- ihdad-wanita-dan beberapa-ketentuannya/

7
َ ‫ َل َوالَ نَطَّي‬a‫ َوالَ نَ ْكت َِح‬،‫رًا‬a ‫َش‬
َ‫َّب َوال‬ ْ ‫ج َأرْ بَ َعةَ َأ ْشه ٍُر َوع‬ٍ ْ‫ث ِإالَّ َعلَى َزو‬
ٍ َ‫ق ثَال‬ ٍ ِّ‫ُكنَّا نُ ْنهَى َأ ْن تُ ِح َّد َعلَى َمي‬
َ ْ‫ت فَو‬
ِ ‫ دَانَا ِم ْن َم ِحي‬a ْ‫ت ِإح‬
‫هَا فِي‬a ‫ْض‬ ُّ
ْ َ‫ل‬a ‫َص لَنَا ِع ْن َد الطه ِْر ِإ َذا ا ْغت ََس‬
َ ‫ َوقَ ْد َرخ‬.‫ب‬ٍ ْ‫ب َعص‬ َ ْ‫س ثَوْ بًا َمصْ بُوْ ًغا ِإالَّ ثَو‬َ َ‫ن َْلب‬
…‫ار‬ ٍ َ‫ظف‬ ْ ‫ت َأ‬ِ ‫نُ ْب َذ ٍة ِم ْن ُك ْس‬

“Kami dilarang berihdad atas mayat lebih dari tiga hari kecuali bila yang
meninggal itu suami maka istrinya berihdad selama empat bulan sepuluh hari.
Selama ihdad itu kami tidak boleh bercelak, tidak boleh memakai wangi-
wangian, dan tidak boleh mengenakan pakaian yang dicelup kecuali pakaian
‘ashbin. Rasulullah memberikan rukhshah bagi kami ketika suci dari haid,
apabila salah seorang dari kami mandi suci dari haidnya ia boleh memakai
sedikit kust azhfar….” (HR. Al-Bukhari no. 313, 5341 dan Muslim no. 3722)

Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa


sallam bersabda:

َ ‫ب َوالَ ْال ُم َم َّشقَةَ َوالَ ْال ُحلِِّي َوالَ ت َْخ‬


‫ضبُ َوالَ تَ ْكت َِح ُل‬ ِ ‫ْال ُمتَ َوفَّى َع ْنهَا َزوْ ُجهَا الَ ت َْلبَسُ ْال ُم َعصْ فَ َر ِمنَ الثِّيَا‬

“Wanita yang ditinggal mati suaminya tidak boleh mengenakan pakaian yang
mu’ashfar dan pakaian yang dicelup dengan tanah berwarna merah
(mumasysyaqah). Tidak boleh pula mengenakan perhiasan, tidak boleh
menyemir rambut (ataupun memacari kuku), dan tidak boleh bercelak.” (HR.
Abu Dawud no. 2304, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu
dalam Shahih Abi Dawud)

Ibnu Qudamah rahimahullahu menyebutkan ada tiga macam yang harus


dijauhi wanita yang berihdad.

Pertama: Bersolek/menghiasi dirinya seperti memakai pacar, memakai


kosmetik pada wajah, memakai itsmid (celak).

Kedua: Pakaian perhiasan seperti pakaian yang dicelup agar menjadi indah
misalnya mu’ashfar, muza’far, celupan berwarna merah, dan seluruh warna
yang memperindah pemakainya seperti biru, hijau, dan kuning.
Ketiga: Perhiasan seluruhnya seperti cincin dan yang lainnya. Ibnu Qudamah
rahimahullahu berkata, “Perkataan ‘Atha` rahimahullahu, ‘Dibolehkan
memakai perhiasan dari perak karena yang dilarang adalah perhiasan dari
emas’, tidaklah benar. Karena larangan yang disebutkan dalam hadits sifatnya
umum, dan juga perhiasan akan menambah kebagusan si wanita dan memberi

8
dorongan untuk menggaulinya.” (Al-Mughni, Kitab Al-‘Idad, Fashl Ma
Tajtanibuhul Haddah)

Wanita yang ber-ihdad tidak boleh memakai celak, minyak


wangi/wewangian, pakaian yang dicelup kecuali kain ashb, semir, pacar
kuku, pakaian yang dicelup dengan warna merah (mu’ashfar), dan yang
dicelup dengan tanah merah (mumasysyaqah) serta perhiasan.

Tidak Boleh Bercelak secara Mutlak

Zainab bintu Abu Salamah mengabarkan dari ibunya, Ummul Mukminin


Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha:

‫ َوقَ ِد‬،‫ ِإ َّن ا ْبنَتِي تُ ُوفِّ َي َع ْنهَا َزوْ ُجهَا‬،ِ‫ يَا َرسُوْ َل هللا‬:‫ت‬ َ ِ‫ت ا ْم َرَأةٌ ِإلَى َرسُو ِل هللا‬
ْ َ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَقَال‬ ِ ‫َجا َء‬
َ ِ‫ ُكلُّ َذل‬،‫ َم َّرتَي ِْن َأوْ ثَالَثًا‬-َ‫ ال‬:‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
.َ‫ ال‬:ُ‫ك يَقُوْ ل‬ َ ِ‫ َأفَتَ ْك ِحلُهَا؟ فَقَا َل َرسُو ُل هللا‬،‫ت َع ْينَهَا‬
ْ ‫ا ْشتَ َك‬

Datang seorang wanita menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia


berkata, ”Wahai Rasulullah, suami putriku telah meninggal dunia. Sementara
putriku mengeluhkan rasa sakit pada matanya. Apakah ia boleh mencelaki
matanya?” ”Tidak,” jawab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak
dua atau tiga kali.” (HR. Al-Bukhari no. 5336 dan Muslim no. 3709)

Ibnu Hazm rahimahullahu berkata, “Wajib bagi wanita yang berihdad untuk
tidak memakai celak baik karena ada ataupun tidak ada kebutuhan darurat,
sekalipun hilang kedua matanya (buta). Larangan ini berlaku malam dan
siang.” (Al-Muhalla, 10/63)

Ada hadits yang membolehkan memakai celak bila darurat sebagaimana


berita dari ibu Ummu Hakim bintu Usaid. Ketika suaminya wafat dan masih
dalam masa ihdad ia mengeluhkan sakit pada matanya, maka ia pun memakai
celak itsmid. Lalu diutusnya bekas budaknya untuk menanyakan hal itu
kepada Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha. Ummu Salamah radhiyallahu
‘anha pun berkata, “Janganlah engkau bercelak dengannya kecuali bila
memang terpaksa karena sakit yang sangat. Engkau boleh bercelak pada
malam hari namun harus engkau hapus pada siang hari”. Ummu Salamah
radhiyallahu ‘anha lalu berkata:

‫ َما‬:‫ال‬ َ َ‫ فَق‬،‫ص ْبرًا‬ َ ‫ت َعلَى َع ْينِي‬ ُ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ِح ْينَ تُ ُوفِّ َي َأبُوْ َسلَ َمةَ َوقَ ْد َج َع ْل‬
َ ُِ‫ي َرسُوْ ُل هللا‬ َّ َ‫َد َخ َل َعل‬
َّ‫ ِإنَّهُ يَ ُشبُّ ْال َوجْ هُ فَالَ تَجْ َعلِ ْي ِه ِإال‬:‫ قَا َل‬. ٌ‫ْس فِ ْي ِه ِطيْب‬َ ‫ لَي‬،ِ‫ص ْب ٌر يَا َرسُوْ َل هللا‬ ُ ‫ه َذا يَا ُأ َّم َسلَ َمةَ؟ فَقُ ْل‬
َ ‫ ِإنَّ َما ه َُو‬:‫ت‬

9
،ُ‫ط‬aa‫ي َش ْي ٍء َأ ْمت َِش‬
ِّ ‫ بَِأ‬:‫ت‬
ُ ‫ قُ ْل‬:‫ت‬ َ ‫ب َوالَ بِ ْال ِحنَا ِء فَِإنَّهُ ِخ‬
ْ َ‫ قَال‬. ٌ‫ضاب‬ ِ ‫ار َوالَ تَ ْمتَ ِش ِطي بِالطِّ ْي‬ ِ َ‫بِاللَّ ْي ِل َوتَ ْن ِز ِع ْي ِه بِالنَّه‬
‫ك‬ ‫ْأ‬
ِ ‫ ال ِّس ْد ُر تُ َغلِّفِ ْينَ بِ ِه َر َس‬:‫ال‬ َ َ‫يَا َرسُوْ َل هللاِ؟ ق‬

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke tempatku ketika Abu


Salamah wafat sementara aku memakai shabr (jenis celak) pada kedua
mataku. Beliau bertanya, “Apa yang kau pakai pada matamu, wahai Ummu
Salamah?” “Ini cuma shabr, wahai Rasulullah, tidak mengandung
wewangian,” jawabku. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
“Shabr itu membuat warna wajah bercahaya/menyala, maka jangan engkau
memakainya kecuali pada waktu malam dan hilangkan di waktu siang. Jangan
menyisir (mengolesi) rambutmu dengan minyak wangi dan jangan pula
memakai hina` (inai/daun pacar) karena hina` itu (berfungsi) sebagai semir
(mewarnai rambut dan kuku, –pent.).” Ummu Salamah berkata, “Kalau begitu
dengan apa aku meminyaki rambutku, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,
“Daun sidr dapat engkau pakai untuk memolesi rambutmu.” (HR. Abu
Dawud no. 2305)

Akan tetapi hadits ini dha’if jiddan (sangat lemah) karena sanadnya
munqathi’ (terputus) dan di antara para perawinya ada orang-orang yang
majhul. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu mendhaifkannya dalam Dha’if
Abi Dawud.

Dengan demikian, larangan memakai celak merupakan larangan yang mutlak


sekalipun wanita tersebut sedang menderita sakit pada kedua matanya.
Adapun pembolehan memakainya ketika malam lantas dihilangkan pada
siang hari, sandarannya adalah hadits yang sangat lemah sebagaimana
diterangkan di atas. Kalaupun ada keluhan sakit pada mata, bukankah Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan obat-obatan selain celak yang bisa
dipakai untuk menyembuhkan sakit tersebut dengan izin Allah Subhanahu wa
Ta’ala? Seperti obat tetes mata, salep, dan selainnya. Bila demikian, tidak ada
alasan bagi yang berihdad untuk memakai celak dengan dalih sakit mata
karena sakit mata Insya Allah bisa diobati dengan obat-obatan yang lain.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Tidak Boleh Berwangi-wangian

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu berkata, “Dari ucapan Ummu


‘Athiyyah, ‘Kami tidak boleh memakai wewangian’ menunjukkan haramnya
minyak wangi bagi wanita yang sedang berihdad. Yang terlarang di sini
adalah segala yang dinamakan wewangian dan tidak ada perselisihan
pendapat dalam hal ini.” (Nailul Authar, 6/346)

Pengecualian yang disebutkan dalam hadits Ummu ‘Athiyyah adalah ‫ت‬ ِ ‫ُك ْس‬
‫ار‬aaaaa
ٍ ْ ‫َأ‬  yakni semacam buhur/dupa/wewangian dan sebagian ulama
َ ‫ظف‬
mengatakan, Azhfar adalah nama kota yang ada di Yaman. Ada pula yang
mengatakan nama buhur (Fathul Bari, 1/537). Menggunakan buhur setelah

10
mandi suci dari haid dibolehkan karena tujuannya untuk menghilangkan bau
yang tidak sedap di sekitar daerah yang terkena darah haid, bukan tujuannya
untuk berwangi-wangi. (Al-Minhaj, 10/357)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu menyatakan bahwa hadits


Ummu ‘Athiyyah di atas menjadi dalil dibolehkannya menggunakan sesuatu
yang dapat menghilangkan aroma tidak sedap bila memang sifatnya bukan
untuk berhias atau berwangi-wangi seperti menggunakan minyak pada
rambut kepala atau selainnya. (Fathul Bari, 9/609)

Al-Imam Malik rahimahullahu menyatakan bahwa wanita yang ditinggal mati


suaminya boleh berminyak dengan zaitun dan semisalnya selama tidak
mengandung minyak wangi. (Al-Muwaththa`, 2/599)

Tidak Boleh Mempercantik Diri dengan Bersolek

Dalam Asy-Syarhul Mumti’ (5/720-721), Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin


Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu mengatakan bahwa di antara yang
dilarang bagi wanita yang berihdad adalah, “At-tahsin yaitu mempercantik
diri dengan memakai hina` (inai/daun pacar) atau dengan bunga mawar,
pemerah pipi/bibir, celak, atau yang lainnya. Apa saja yang dapat
mempercantik (anggota) tubuhnya, tidak boleh dipakainya sampaipun
membaguskan kuku dengan kutek misalnya. Apa saja yang teranggap
mempercantik dan memperbagus dirinya tidak boleh dipakai/digunakannya
(sampai selesai ihdadnya, –pent.).”

Batasan berhias atau tidak berhias kembalinya kepada ’urf (adat kebiasaan)
setiap zaman dan tempat. Sehingga tidak bisa diberi ketentuan pakaian yang
bentuknya bagaimana dan penampilan bagaimana yang teranggap berhias.
(Taisirul ‘Allam, 2/354)

Tidak Boleh Berpakaian yang Menarik / Dicelup agar Menjadi Indah

Ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Ummu ‘Athiyyah di


ْ ‫ا َم‬aaً‫الَ ت َْلبِسُ ثَوْ ب‬  merupakan dalil dilarangnya seluruh pakaian yang
atas: ‫بُوْ ًغا‬a‫ص‬
dicelup dalam masa ihdad, dengan warna apa saja terkecuali apa yang
dikecualikan dalam hadits, yaitu ‫ب‬ َ ‫ثَوْ بُ َع‬. Demikian yang dinyatakan Al-
ٍ ‫ص‬
Imam Ash-Shan’ani rahimahullahu dalam Subulus Salam (3/314).

‫ب‬ َ ‫وْ بُ ع‬aaَ‫ ث‬adalah kain bergaris dari Yaman yang diikat benang tenunnya
ٍ a ‫َص‬
kemudian dicelup, setelahnya ditenun dalam keadaan terikat. Hasilnya berupa
kain berwarna namun masih tersisa warna putih tidak terkena celupannya
(Fathul Bari, 9/608). Pada kain ini ada warna hitam dan putih. (Ihkamul
Ahkam fi Syarhi ’Umdatil Ahkam, kitab Ath-Thalaq, bab Al-’Iddah)

11
Terkadang dari hadits di atas diambil pengertian bolehnya memakai pakaian
yang tidak dicelup dalam masa ihdad, yaitu pakaian yang berwarna putih.
Sebagian pengikut mazhab Malikiyah melarang pakaian putih yang mahal
yang digunakan untuk berpenampilan, demikian pula warna hitam yang
bagus. (Ihkamul Ahkam fi Syarhi ‘Umdatil Ahkam, kitab Ath-Thalaq, bab
Al-‘Iddah)

Pakaian yang dilarang ‫فَ َر‬aa‫ص‬ ْ (mu’ashfar) yaitu pakaian yang dicelup
ْ ‫ال ُم َع‬ 
dengan ‘ushfur (safflower). Menurut Asy-Syaukani, warnanya menjadi merah
sebagaimana dalam Nailul Authar (syarah hadits 560, Kitabul Libas, Bab
Nahyur Rijal ‘anil Mu’ashfar…). Sedangkan menurut sebagian sumber,
terkadang menjadi kekuningan. (ed)

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:

ِ ‫كاَنَ يَ ْنهَى ْال ُمتَ َوفَّى َع ْنهَا َزوْ ُجهَا َع ِن الطِّ ْي‬
‫ب َوال ِّز ْينَ ِة‬

“Nabi melarang wanita yang suaminya meninggal, memakai minyak wangi


dan berhias.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya 5/204 dan
Abdurrazzaq dalam Mushannaf-nya 7/43)

‘Atha` bin Abi Rabah rahimahullahu berkata, “Adalah Ibnu ‘Abbas


radhiyallahu ‘anhuma memerintahkan wanita yang suaminya meninggal agar
menjauhi minyak wangi/wewangian.” ‘Atha` juga mengatakan, “Wanita yang
suaminya meninggal dilarang memakai minyak wangi dan berhias. Maka
hati-hati si wanita dari mengenakan setiap pakaian yang bila dilihat akan
dikomentari, ‘Ia telah berhias’. Dan tidak boleh baginya mengenakan pakaian
yang dicelup, tidak pula perhiasan.” (Riwayat Abdurrazzaq no. 12111)

Bila dikatakan, “Ini pakaian biasa”, berarti tidak wajib untuk ditinggalkan,
boleh dikenakan selama ihdad, walaupun pakaian tersebut memiliki model
atau berwarna/bercorak. Tapi bila dikatakan, “Ini pakaian untuk berhias”,
berarti wajib dijauhi selama ihdad, baik pakaian tersebut meliputi seluruh
tubuh atau hanya untuk menutupi sebagiannya seperti celana panjang, rok,
syal, dan sebagainya. (Asy-Syarhul Mumti’, 5/720)

Tidak Boleh Memakai Perhiasan

Al-Imam Malik rahimahullahu berkata, “Wanita yang sedang berihdad karena


kematian suaminya tidak boleh mengenakan perhiasan sedikitpun baik berupa
cincin, gelang kaki atau yang selainnya.” (Al-Muwaththa`, 2/599)

Sama saja baik perhiasan itu dikenakan pada kedua telinga, pada kepala,
leher, tangan, kaki atau di atas dada, seluruh macam perhiasan tidak boleh
dikenakannya. (Asy-Syarhul Mumti’, 5/721)

12
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu berkata, “Seluruh yang dipakai wanita
sebagai perhiasan dalam rangka mempercantik diri tidak boleh dipakai oleh
wanita yang sedang berihdad. Ulama dalam mazhab kami tidak menyebutkan
permata jauhar, yaqut, dan zamrud, namun semuanya itu masuk dalam makna
perhiasan. Wallahu a’lam.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an 3/119)

Bagaimana bila Perhiasan Sudah Ada pada Tubuhnya Saat Suaminya


Meninggal?

Bila si wanita dalam keadaan berperhiasan saat suaminya meninggal dunia


maka ia harus melepaskannya, seperti gelang dan anting-anting. Adapun bila
ia memakai gigi emas (gigi palsu dari emas) dan tidak mungkin dilepaskan
maka tidak wajib baginya melepasnya, namun ia upayakan untuk
menyembunyikannya. (Asy-Syarhul Mumti’, 5/721)

Berdiam di Rumahnya

Dalam Majmu’ Fatawa (17/159), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah


rahimahullahu menjelaskan keharusan wanita yang berihdad untuk tidak
berhias dan memakai wewangian pada tubuh serta pakaiannya. Ia harus
berdiam dalam rumahnya, tidak boleh keluar di siang hari kecuali ada
kebutuhan dan tidak boleh pula keluar di waktu malam kecuali darurat. Ia
tidak boleh memakai perhiasan, tidak boleh mewarnai rambut dan kukunya
dengan inai atau selainnya.

Kebiasaan Memakai Pakaian Hitam saat Berkabung

Memakai busana hitam saat berkabung/menjalani masa ihdad, tidak keluar ke


teras/halaman rumah, tidak naik ke teras atas rumah (balkon), tidak mau
melihat bulan saat purnama dengan anggapan karena bulan adalah laki-laki
dan berbagai anggapan khurafat lainnya, merupakan perkara yang tidak
disyariatkan. Bahkan termasuk bid’ah bila si wanita melakukannya dengan
niat ta’abbud (beribadah). Demikian penjelasan Asy-Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-‘Utsaimin t. (Asy-Syarhul Mumti’, 5/723-724)

Yang Tidak Terlarang bagi Wanita yang Sedang Berihdad

Tidak dilarang baginya untuk memotong kuku, mencabut rambut ketiak,


mencukur rambut kemaluan, mandi dengan daun bidara, atau menyisir rambut
karena tujuannya untuk kebersihan bukan untuk berwangi-wangi/berhias. (Al-
Mughni, Kitab Al-‘Idad, Fashl Ma Tajtanibuhul Haddah)

Demikian pula mencium minyak wangi karena bila sekedar mencium tidaklah
menempel pada tubuh. Sehingga bila seorang wanita yang sedang berihdad
ingin membeli minyak wangi, tidak menjadi masalah bila ia menciumnya.
(Asy-Syarhul Mumti’, 5/720)

13
Tidak diharamkan baginya melakukan pekerjaan-pekerjaan yang mubah dan
dibolehkan pula baginya berbicara dengan laki-laki sesuai keperluannya, selama
ia berhijab. Demikianlah Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
dilakukan oleh para wanita dari kalangan sahabat apabila suami-suami mereka
meninggal. (Majmu’ Fatawa libni Taimiyah, 17/159)

14
KESIMPULAN

Ihdad adalah masa berkabung seorang perempuan yang ditinggal mati oleh
suaminya yang dalam masa itu tidak boleh bersolek atau berhias dengan memakai
perhiasan, pakaian yang berlebihan, wangi-wangian, celak mata, dan yang
lainnya. Dan tidak boleh juga untuk keluar dari rumah tanpa adanya keperluan.
Hal ini untuk menghormati dan turut belasungkawa atas meninggalnya sang suami

Tidak ada ihdad bagi laki-laki, ihdad hanya untuk wanita. Wanita yang
ditinggal mati oleh suaminya wajib berihdad, jika dia tidak hamil maka selama
empat bulan sepuluh hari, namun jika hamil ihdadnya hanya sampai melahirkan.
Dan hukum ihdad seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya adalah
wajib. Sedangkan ihdad untuk selain suami adalah mubah.

15
DAFTAR PUSTAKA

Hakam Abbas.blogspot.com/2014/01/iddah-dan-ihdad_8760.html
Athif  Lamadhoh, Fikih Sunnah  Untuk  Remaja,  (Jakarta:  Cendekia Sentra 
Musliam, 2007), hal 258
Abd Moqsith Ghazali, ‘Iddah Dan Ihdad Dalam Islam:Pertimbangan Legal
Formal Dan Etik Moral,h.150-151
Muhammad Ali As-Shobuni, Rowangul Bayan, “Tafsirul Ayatil Ahkam
Minalqur’an,h.286
Al-Imdad bi Ahkaamil Haddaad, Asy-Syaikh DR. Fayhan Syaali Al-
Mathiri,cet.Univ.Islam Madinah 1404H.h.148
Soynanurary.info/masa- ihdad-wanita-dan beberapa-kete

16

Anda mungkin juga menyukai