FIQIH MUNAKAHAT
Tentang Ihdad
Disusun Oleh :
KOTA METRO
T.P 2017/2018
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah atas segala rizki yang Allah berikan pada kita, atas
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya dan
dalam keadaan tidak kurang suatu apapun.
Semoga isi makalah ini dapat menambah ilmu bagi pembaca dan dapat
dimafaatkan sebaik-baiknya. Dan dalam pengerjaan makalah ini kami tidak lepas
dari kesalahan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..................................................................................... i
KATA PENGANTAR.................................................................................. ii
PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
PEMBAHASAN
KESIMPULAN ............................................................................................ 15
DAFTAR PUSTAKA
iii
PENDAHULUAN
1
PEMBAHASAN
A. Ihdad
و الذين يتوفون منكم و يذرون أزواجا يتربصن بأنفسهن أربعة أشهر و عشرا
1
Hakam Abbas.blogspot.com/2014/01/iddah-dan-ihdad_8760.html
2
’Athif Lamadhoh, Fikih Sunnah Untuk Remaja, (Jakarta: Cendekia
Sentra Musliam, 2007), hal 258
2
kewajiban berkabung untuk suami yang meninggal itu adalah sabda Nabi
SAW yang berbunyi:
معت زينب بنت امaaال سaaافع قaaد بن نaaحدثنا محمد بن مثنى حدثنا محمد بن جعفر حدثنا شعبة عن حمي
ذا ألنيaaنع هaaا أصaaالت إنمaaذراعيها و قaaحته بaaفرة فمسaaدعت بصaaة فaaسلمة قالت توفي حميم ألبي حبيب
وقaaد فaaر ان تحaوم اآلخaaؤمن باهلل و اليaaرأة تaaسمعت رسول هللا صلى هللا عليه و سلم يقول ال يحل الم
لى هللاaبي صaaا و عن زينب زوج النaaثالث إال على زوج أربعة أشهر و عشرا و حدثته زينب عن أمه
)عليه و سلم او عن امرأة من بعض أزواج النبي صلى هللا عليه و سلم (رواه البخاري
3
لى هللاaaول هللا صaaالت أن رسaaعن ابو الربيع الزهراني عن حماد عن أيوب عن حفصة عن أم عطية ق
عليه و سلم قال ال تحد امرأة علي ميت فوق ثالث إال غلى زوج أربعة أشهر و عشرا و ال نلبس ثوبا
قa متف.ارaط او إظفaذة من قسaرت نبaا إال إذا طهaمصبوغا إال ثوب عصب و ال نكتحل و ال تمس طيب
)عليه و هذا لفظ مسلم و ألبي داود و النسائي من الزيادة (و ال نختضب) و للنسائي (و ال تمتشط
“Dari Abu Rabi’ al-Zuhry sesungguhnya aku dari Hammad dari Ayyub dari
Hafshah dari Ummi Athiyyah dia berkata sesungguhnya Rasulullah S.A.W
bersabda tidak boleh berkabung bagi seorang perempuan atas satu mayit
lebih dari tiga malam kecuali atas suami (boleh) empat bulan sepuluh hari
dan janganlah memakai pakaian (yang dimaksudkan untuk perhiasan,
sekalipun pencelupan itu dilakukan sebelum kain tersebut ditenun, atau
kain itu menjadi kasar/kesat (setelah dicelup).” dan janganlah bercelak,
memakai wangai-wangian kecuail ia bersih dari qusth dan adzfar.”
Ali al-Salusi, dalam hal ini juga mendefinisikan ihdad, antara lain
sebagai berikut:
“Di antara makna ihdad secara etimologi adalah mencegah, dan di antara
pencegahan tersebut adalah pencegahan seorang perempuan dari bersolek,
dan termasuk dalam kategori makna ihdad secara bahasa adalah
menjelaskan kesedihan, adapun ihdad menurut terminologi adalah
pencegahan atau menjaganya seorang perempuan dari bersolek dan
termasuk dalam makna ihdad adalah suatu masa tertentu di antara masa-
masa yang dikhususkan, begitu juga di antara makna ihdad adalah
mencegahnya seorang perempuan dari tempat tinggalnya yang bukan tempat
tinggalnya.”
Ihdâd,dalam kitab-kitab kuning, selalu dinyatakan wajibdilakukan bagi
istri yang suaminya wafat dengan tujuan menyempurnakan penghormatan
terhadap ‘Iddah dan Ihdad| Abd Moqsith151 suami dan memelihara
haknya.Ihdâd disyari’atkan dalam ajaran Islam. berdasarkan firman Allah
SWT dalam Surat al-Thalâq (65) ayat 1:
4
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah
kamu ceraikan mereka dapat (menghadapi) ‘iddah-nya (yang wajar) dan
hitunglah waktu ‘iddah itu serta bertakwalah kepada Allah, Tuhanmu.
Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka
(diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang
terang”.
Selain itu, ihdâd juga didasarkan pada sabda Rasulullah SAW: “seorang
perempuan tidak boleh melakukan ihdâd lebih dari tiga hari, kecuali atas
kematian suaminya, maka ia melakukan ihdâd selama empat bulan sepuluh
hari...” (HR. al-Jama’ah kecuali al-Tirmidzi). 3
Ihdad secara etimologi adalah larangan untuk berhias,sedangkan Ihdad
secara terminologi adalah larangan memakai wewangian atau berhias dengan
pakaian untuk mempercantik diri (anggota tubuh). Ibnu Katsir berkata
“Berkabung itu suatu ungkapan, yang intinya ialah: tidak berhias dengan
wangi-wangian dan tidak memakai pakaian dan perhiasan yang bisa menarik
laki-laki. Dan berkabung itu wajib atas perempuan yang kematian seorang
suami”.4
“Seorang wanita tidak boleh ber-ihdad terhadap mayyit selama lebih dari tiga
hari, kecuali terhadap suaminya selama empat bulan sepuluh hari.” [HR. Al-
Bukhari dan Muslim dari Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu’anha]
3
Abd Moqsith Ghazali, ‘Iddah Dan Ihdad Dalam Islam:Pertimbangan Legal Formal Dan
Etik Moral,h.150-151
4
Muhammad Ali As-Shobuni, Rowangul Bayan, “Tafsirul Ayatil Ahkam
Minalqur’an,h.286
5
1) أن تجتنب المرأة المعتدة المتوفى عنها زوجها كل ما يدعو إلى نكاحها ورغبة اآلخرين فيها من طيب
وكحل ولبس ومطيّب وخروج من منزل من غير حاجة.
“Seorang wanita yang berada dalam masa ‘iddah karena ditinggal mati
suaminya hendaklah menjauhi semua yang dapat menarik laki-laki untuk
menikahinya dan suka kepadanya, seperti minyak wangi, celak, pakaian
(yang indah), perhiasan dan keluar rumah tanpa hajat.”5
2) Tidak boleh melakukan ihdad lebih dari tiga hari, kecuali seorang wanita
yang ditinggal mati suaminya maka masa ihdadnya adalah 4 bulan 10 hari,
dan sampai melahirkan apabila sedang hamil .
4) Masa ‘iddah wanita (masa tidak boleh dinikahi oleh laki-laki lain setelah
terpisah dengan suaminya) yang ditinggal mati suaminya sama dengan masa
ihdad-nya, yaitu selama 4 bulan 10 hari, sebagaimana firman Allah ta’ala,
5
Al-Imdad bi Ahkaamil Haddaad, Asy-Syaikh DR. Fayhan Syaali Al-
Mathiri,cet.Univ.Islam Madinah 1404H.h.148
6
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-
istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber-‘iddah) empat
bulan sepuluh hari.” [Al-Baqoroh: 234]
7
َ َل َوالَ نَطَّيa َوالَ نَ ْكت َِح،رًاa َش
ََّب َوال ْ ج َأرْ بَ َعةَ َأ ْشه ٍُر َوعٍ ْث ِإالَّ َعلَى َزو
ٍ َق ثَال ٍ ُِّكنَّا نُ ْنهَى َأ ْن تُ ِح َّد َعلَى َمي
َ ْت فَو
ِ دَانَا ِم ْن َم ِحيa ْت ِإح
هَا فِيa ْض ُّ
ْ َلa َص لَنَا ِع ْن َد الطه ِْر ِإ َذا ا ْغت ََس
َ َوقَ ْد َرخ.بٍ ْب َعص َ ْس ثَوْ بًا َمصْ بُوْ ًغا ِإالَّ ثَوَ َن َْلب
…ار ٍ َظف ْ ت َأِ نُ ْب َذ ٍة ِم ْن ُك ْس
“Kami dilarang berihdad atas mayat lebih dari tiga hari kecuali bila yang
meninggal itu suami maka istrinya berihdad selama empat bulan sepuluh hari.
Selama ihdad itu kami tidak boleh bercelak, tidak boleh memakai wangi-
wangian, dan tidak boleh mengenakan pakaian yang dicelup kecuali pakaian
‘ashbin. Rasulullah memberikan rukhshah bagi kami ketika suci dari haid,
apabila salah seorang dari kami mandi suci dari haidnya ia boleh memakai
sedikit kust azhfar….” (HR. Al-Bukhari no. 313, 5341 dan Muslim no. 3722)
“Wanita yang ditinggal mati suaminya tidak boleh mengenakan pakaian yang
mu’ashfar dan pakaian yang dicelup dengan tanah berwarna merah
(mumasysyaqah). Tidak boleh pula mengenakan perhiasan, tidak boleh
menyemir rambut (ataupun memacari kuku), dan tidak boleh bercelak.” (HR.
Abu Dawud no. 2304, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu
dalam Shahih Abi Dawud)
Kedua: Pakaian perhiasan seperti pakaian yang dicelup agar menjadi indah
misalnya mu’ashfar, muza’far, celupan berwarna merah, dan seluruh warna
yang memperindah pemakainya seperti biru, hijau, dan kuning.
Ketiga: Perhiasan seluruhnya seperti cincin dan yang lainnya. Ibnu Qudamah
rahimahullahu berkata, “Perkataan ‘Atha` rahimahullahu, ‘Dibolehkan
memakai perhiasan dari perak karena yang dilarang adalah perhiasan dari
emas’, tidaklah benar. Karena larangan yang disebutkan dalam hadits sifatnya
umum, dan juga perhiasan akan menambah kebagusan si wanita dan memberi
8
dorongan untuk menggaulinya.” (Al-Mughni, Kitab Al-‘Idad, Fashl Ma
Tajtanibuhul Haddah)
َوقَ ِد، ِإ َّن ا ْبنَتِي تُ ُوفِّ َي َع ْنهَا َزوْ ُجهَا،ِ يَا َرسُوْ َل هللا:ت َ ِت ا ْم َرَأةٌ ِإلَى َرسُو ِل هللا
ْ َصلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَقَال ِ َجا َء
َ ِ ُكلُّ َذل، َم َّرتَي ِْن َأوْ ثَالَثًا-َ ال:صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم
.َ ال:ُك يَقُوْ ل َ ِ َأفَتَ ْك ِحلُهَا؟ فَقَا َل َرسُو ُل هللا،ت َع ْينَهَا
ْ ا ْشتَ َك
Ibnu Hazm rahimahullahu berkata, “Wajib bagi wanita yang berihdad untuk
tidak memakai celak baik karena ada ataupun tidak ada kebutuhan darurat,
sekalipun hilang kedua matanya (buta). Larangan ini berlaku malam dan
siang.” (Al-Muhalla, 10/63)
َما:ال َ َ فَق،ص ْبرًا َ ت َعلَى َع ْينِي ُ صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ِح ْينَ تُ ُوفِّ َي َأبُوْ َسلَ َمةَ َوقَ ْد َج َع ْل
َ ُِي َرسُوْ ُل هللا َّ ََد َخ َل َعل
َّ ِإنَّهُ يَ ُشبُّ ْال َوجْ هُ فَالَ تَجْ َعلِ ْي ِه ِإال: قَا َل. ٌْس فِ ْي ِه ِطيْبَ لَي،ِص ْب ٌر يَا َرسُوْ َل هللا ُ ه َذا يَا ُأ َّم َسلَ َمةَ؟ فَقُ ْل
َ ِإنَّ َما ه َُو:ت
9
،ُطaaي َش ْي ٍء َأ ْمت َِش
ِّ بَِأ:ت
ُ قُ ْل:ت َ ب َوالَ بِ ْال ِحنَا ِء فَِإنَّهُ ِخ
ْ َ قَال. ٌضاب ِ ار َوالَ تَ ْمتَ ِش ِطي بِالطِّ ْي ِ َبِاللَّ ْي ِل َوتَ ْن ِز ِع ْي ِه بِالنَّه
ك ْأ
ِ ال ِّس ْد ُر تُ َغلِّفِ ْينَ بِ ِه َر َس:ال َ َيَا َرسُوْ َل هللاِ؟ ق
Akan tetapi hadits ini dha’if jiddan (sangat lemah) karena sanadnya
munqathi’ (terputus) dan di antara para perawinya ada orang-orang yang
majhul. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu mendhaifkannya dalam Dha’if
Abi Dawud.
Pengecualian yang disebutkan dalam hadits Ummu ‘Athiyyah adalah ت ِ ُك ْس
ارaaaaa
ٍ ْ َأ yakni semacam buhur/dupa/wewangian dan sebagian ulama
َ ظف
mengatakan, Azhfar adalah nama kota yang ada di Yaman. Ada pula yang
mengatakan nama buhur (Fathul Bari, 1/537). Menggunakan buhur setelah
10
mandi suci dari haid dibolehkan karena tujuannya untuk menghilangkan bau
yang tidak sedap di sekitar daerah yang terkena darah haid, bukan tujuannya
untuk berwangi-wangi. (Al-Minhaj, 10/357)
Batasan berhias atau tidak berhias kembalinya kepada ’urf (adat kebiasaan)
setiap zaman dan tempat. Sehingga tidak bisa diberi ketentuan pakaian yang
bentuknya bagaimana dan penampilan bagaimana yang teranggap berhias.
(Taisirul ‘Allam, 2/354)
ب َ وْ بُ عaaَ ثadalah kain bergaris dari Yaman yang diikat benang tenunnya
ٍ a َص
kemudian dicelup, setelahnya ditenun dalam keadaan terikat. Hasilnya berupa
kain berwarna namun masih tersisa warna putih tidak terkena celupannya
(Fathul Bari, 9/608). Pada kain ini ada warna hitam dan putih. (Ihkamul
Ahkam fi Syarhi ’Umdatil Ahkam, kitab Ath-Thalaq, bab Al-’Iddah)
11
Terkadang dari hadits di atas diambil pengertian bolehnya memakai pakaian
yang tidak dicelup dalam masa ihdad, yaitu pakaian yang berwarna putih.
Sebagian pengikut mazhab Malikiyah melarang pakaian putih yang mahal
yang digunakan untuk berpenampilan, demikian pula warna hitam yang
bagus. (Ihkamul Ahkam fi Syarhi ‘Umdatil Ahkam, kitab Ath-Thalaq, bab
Al-‘Iddah)
Pakaian yang dilarang فَ َرaaص ْ (mu’ashfar) yaitu pakaian yang dicelup
ْ ال ُم َع
dengan ‘ushfur (safflower). Menurut Asy-Syaukani, warnanya menjadi merah
sebagaimana dalam Nailul Authar (syarah hadits 560, Kitabul Libas, Bab
Nahyur Rijal ‘anil Mu’ashfar…). Sedangkan menurut sebagian sumber,
terkadang menjadi kekuningan. (ed)
ِ كاَنَ يَ ْنهَى ْال ُمتَ َوفَّى َع ْنهَا َزوْ ُجهَا َع ِن الطِّ ْي
ب َوال ِّز ْينَ ِة
Bila dikatakan, “Ini pakaian biasa”, berarti tidak wajib untuk ditinggalkan,
boleh dikenakan selama ihdad, walaupun pakaian tersebut memiliki model
atau berwarna/bercorak. Tapi bila dikatakan, “Ini pakaian untuk berhias”,
berarti wajib dijauhi selama ihdad, baik pakaian tersebut meliputi seluruh
tubuh atau hanya untuk menutupi sebagiannya seperti celana panjang, rok,
syal, dan sebagainya. (Asy-Syarhul Mumti’, 5/720)
Sama saja baik perhiasan itu dikenakan pada kedua telinga, pada kepala,
leher, tangan, kaki atau di atas dada, seluruh macam perhiasan tidak boleh
dikenakannya. (Asy-Syarhul Mumti’, 5/721)
12
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu berkata, “Seluruh yang dipakai wanita
sebagai perhiasan dalam rangka mempercantik diri tidak boleh dipakai oleh
wanita yang sedang berihdad. Ulama dalam mazhab kami tidak menyebutkan
permata jauhar, yaqut, dan zamrud, namun semuanya itu masuk dalam makna
perhiasan. Wallahu a’lam.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an 3/119)
Berdiam di Rumahnya
Demikian pula mencium minyak wangi karena bila sekedar mencium tidaklah
menempel pada tubuh. Sehingga bila seorang wanita yang sedang berihdad
ingin membeli minyak wangi, tidak menjadi masalah bila ia menciumnya.
(Asy-Syarhul Mumti’, 5/720)
13
Tidak diharamkan baginya melakukan pekerjaan-pekerjaan yang mubah dan
dibolehkan pula baginya berbicara dengan laki-laki sesuai keperluannya, selama
ia berhijab. Demikianlah Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
dilakukan oleh para wanita dari kalangan sahabat apabila suami-suami mereka
meninggal. (Majmu’ Fatawa libni Taimiyah, 17/159)
14
KESIMPULAN
Ihdad adalah masa berkabung seorang perempuan yang ditinggal mati oleh
suaminya yang dalam masa itu tidak boleh bersolek atau berhias dengan memakai
perhiasan, pakaian yang berlebihan, wangi-wangian, celak mata, dan yang
lainnya. Dan tidak boleh juga untuk keluar dari rumah tanpa adanya keperluan.
Hal ini untuk menghormati dan turut belasungkawa atas meninggalnya sang suami
Tidak ada ihdad bagi laki-laki, ihdad hanya untuk wanita. Wanita yang
ditinggal mati oleh suaminya wajib berihdad, jika dia tidak hamil maka selama
empat bulan sepuluh hari, namun jika hamil ihdadnya hanya sampai melahirkan.
Dan hukum ihdad seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya adalah
wajib. Sedangkan ihdad untuk selain suami adalah mubah.
15
DAFTAR PUSTAKA
Hakam Abbas.blogspot.com/2014/01/iddah-dan-ihdad_8760.html
Athif Lamadhoh, Fikih Sunnah Untuk Remaja, (Jakarta: Cendekia Sentra
Musliam, 2007), hal 258
Abd Moqsith Ghazali, ‘Iddah Dan Ihdad Dalam Islam:Pertimbangan Legal
Formal Dan Etik Moral,h.150-151
Muhammad Ali As-Shobuni, Rowangul Bayan, “Tafsirul Ayatil Ahkam
Minalqur’an,h.286
Al-Imdad bi Ahkaamil Haddaad, Asy-Syaikh DR. Fayhan Syaali Al-
Mathiri,cet.Univ.Islam Madinah 1404H.h.148
Soynanurary.info/masa- ihdad-wanita-dan beberapa-kete
16